BAB II KAJIAN PUSTAKA MENGENAI HARGA DIRI DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL USIA REMAJA AKHIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA MENGENAI HARGA DIRI DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL USIA REMAJA AKHIR"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA MENGENAI HARGA DIRI DAN KOMPETENSI INTERPERSONAL USIA REMAJA AKHIR A. Konsep Harga Diri 1. Definisi Harga Diri Harga diri yang dimiliki individu menunjukkan bagaimana seorang individu menilai dirinya sendiri. Penilaian ini akan memperlihatkan penerimaan atau penolakan individu terhadap keadaan dirinya. Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang memiliki peranan penting bagi kehidupan individu. Hal ini disebabkan karena harga diri berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Stanley Coopersmith (1967: 4-5) mendefinisikan harga diri (self esteem) sebagai berikut: Self-esteem we refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it expresses an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to be capable, significant, successful, and worthy. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa harga diri (self esteem) merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya sendiri yang diekspresikan melalui sikap menerima atau menolak serta mengindikasikan besarnya keyakinan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan dirinya sendiri. 11

2 12 Menurut John W. Santrock (2003), harga diri adalah dimensi evaluatif yang bersifat global dari diri individu. Sedangkan Rosenberg (Burn, 1993) mengemukakan bahwa harga diri merupakan suatu sikap positif atau negatif individu terhadap dirinya sendiri dimana individu tersebut merasakan bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga. Sementara itu, Lerner dan Spanier (Ghufron & Risnawita, 2010) berpendapat bahwa harga diri adalah tingkat penilaian positif atau negatif individu yang dihubungkan dengan konsep diri. Selanjutnya, Robert A. Baron dan Donn Byrne (2004) mengatakan bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang merujuk pada sikap seseorang terhadap dirinya sendiri mulai dari sangat negatif sampai dengan sangat positif. Senada dengan hal itu, Klass dan Hodge (Ghufron & Risnawita, 2010) berpendapat bahwa harga diri adalah hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu yang diperoleh dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya, penerimaan penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri yang didasarkan pada hubungannya dengan orang lain dan menunjukkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai seseorang yang memiliki kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan, yang diekspresikan melalui sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut.

3 13 2. Sumber-sumber Harga Diri Stanley Coopersmith (1967: 38) mengemukakan bahwa ada empat sumber harga diri, yaitu: a) Kekuatan (power), yaitu kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan mengontrol tingkah laku orang lain yang ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat, serta besarnya pikiran atau pendapat dan kebenaran yang diterima individu dari orang lain. a) Keberartian (significance), yaitu adanya penerimaan, kepedulian, dan rasa kasih sayang yang diterima individu dari orang lain. Hal ini merupakan ekspresi dari penghargaan dan keterarikan orang lain, serta merupakan penerimaan dan popularitas individu. b) Kebajikan (virtue), yaitu kepatuhan individu dalam mengikuti standar moral dan etika; yang ditandai dengan kepatuhan individu dalam menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan dan melakukan tingkah laku yang diharuskan oleh etika, moral, dan agama. c) Kemampuan (competence), yaitu kemampuan untuk sukses dalam memenuhi tuntutan prestasi. Hal ini ditandai dengan keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas dengan baik yang berbedabeda untuk setiap tingkat dan kelompok usia tertentu.

4 14 3. Tingkatan Harga Diri Tingkatan harga diri yang dimiliki oleh setiap individu berbedabeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena harga diri setiap individu berasal dari sumber dan mekanisme pembentukan harga diri yang berbedabeda pula. Menurut Stanley Coopersmith (1967:46), tingkatan harga diri dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu harga diri tinggi, harga diri sedang, dan harga diri rendah. Perbedaan dari ketiganya ditandai oleh adanya perbedaan dalam cara merespon lingkungan, cara beradaptasi, dan perbedaan dalam reaksi afeksi. Karakteristik umum mengenai individu dengan tingkatan harga diri yang tinggi, sedang, dan rendah dijelaskan sebagai berikut: a. Individu dengan Harga Diri Tinggi (High Self Esteem) Individu yang memiliki harga diri tinggi lebih mandiri, memiliki kepercayaan diri yang kuat akan keberhasilan, dan konsisten dalam merespon sesuatu (Coopersmith, 1967:46). Selanjutnya, Stanley Coopersmith (1967:47) menunjukkan bahwa individu yang memiliki harga diri tinggi adalah seseorang yang merasa bahwa dirinya dinilai sebagai seseorang yang berharga, orang yang penting, dan layak dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Selain itu, individu yang memiliki harga diri tinggi mampu mempengaruhi orang lain, percaya diri dengan pandangan yang dianggapnya benar, mampu mempertahankan pendapatnya, mampu mengelola tindakan sesuai dengan tuntutan lingkungan, mampu mengontrol emosi, memiliki

5 15 pemahaman yang baik tentang dirinya, dan sangat menyukai tantangan serta tugas-tugas baru. Sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri mereka sendiri akan membuat individu dengan harga diri yang tinggi memiliki kompetensi sosial dan kemandirian sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, remaja yang memiliki harga diri yang tinggi akan dapat menyusun rencana-rencana masa depannya dan dapat mengarahkan dirinya agar dapat mengaktualisasikan diri. Selain itu, akan membuat remaja dapat bertindak secara tepat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya karena memiliki rasa kompeten dan keyakinan akan hak dan nilai dirinya sendiri. b. Individu dengan Harga Diri Sedang (Median Self Esteem) Individu dengan harga diri sedang memiliki karakteristik yang relatif sama dengan individu yang memiliki harga diri tinggi. Namun, ada beberapa hal yang membedakannya, yaitu individu yang memiliki harga diri sedang memiliki penerimaan diri yang relatif baik, pertahanan yang baik, serta pemahaman dan penghargaan yang baik pula, namun terkadang merasa ragu-ragu dengan penghargaan yang diterimanya dan cenderung tidak yakin terhadap kemampuan yang dimiliki (Coopersmith, 1967: 250). Selain itu, individu ini cenderung memiliki sejumlah pernyataan positif tentang diri mereka, tetapi penilaian mereka mengenai kemampuan, keberartian, dan harapan lebih

6 16 moderat dibanding dengan yang lain. Mereka tidak menilai diri mereka sebagai seseorang yang paling baik, melainkan lebih baik (Coopersmith, 1967: 47). Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rosernberg (Coopersmith, 1967: 141) menunjukkan bahwa individu yang memiliki harga diri sedang cenderung memiliki orientasi terhadap nilai yang kuat dibanding dengan individu yang memiliki harga diri tinggi atau rendah. Mereka peduli pada hampir semua nilai-nilai, tidak hanya pada lingkungan mereka sendiri. c. Individu dengan Harga Diri Rendah (Low Self Esteem) Gambaran diri orang yang memiliki harga diri rendah sangat bertolak belakang dengan gambaran diri orang yang memiliki harga diri yang tinggi dan sedang. Menurut Stanley Coopersmith (1967: 250), individu dengan harga diri yang rendah memiliki perasaan ditolak, ragu-ragu, merasa tidak berharga, merasa terisolasi, tidak memiliki kekuatan, tidak pantas dicintai, tidak mampu mengekspresikan diri, tidak mampu mempertahankan diri sendiri, dan merasa terlalu lemah untuk melawan kelemahan mereka sendiri. Selain itu, individu dengan harga diri rendah cenderung merasa kurang percaya diri, memiliki kekhawatiran dalam mengungkapkan ide-ide yang tidak biasa, tidak ingin mengekspos diri atau menunjukkan perilaku yang mengundang perhatian, dan menyukai hidup dalam bayang-bayang kelompok sosial (Coopersmith, 1967: 71).

7 17 Dengan demikian, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki kesulitan dalam mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya sebagai akibat dari perasaannya yang seringkali berfikir negatif dalam memandang dirinya sendiri. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi terhadap perkembangan harga diri (Coopersmith, 1967: 37), diantaranya adalah sebagai berikut: a. Penghargaan, penerimaan, dan perhatian dari orang-orang terdekat atau orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya Adanya perlakuan dari orang lain yang berupa penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima oleh individu dapat mempengaruhi pada penilaian individu tersebut dalam memandang dirinya sendiri. Stanley Coopersmith (1967: 37) mengemukakan bahwa individu menilai dirinya sendiri sebagaimana dia dinilai oleh orang lain. Dengan demikian, perlakuan dari orang lain yang diterima oleh individu dapat membentuk gambaran dirinya. b. Sejarah kesuksesan dan status sosial Kesuksesan yang telah diperoleh dapat menjadikan individu diterima di lingkungan sosialnya. Kesuksesan menjadi dasar harga diri yang diukur dengan materi-materi dan penerimaan secara sosial (Coopersmith, 1967: 37). Kesuksesan memiliki nilai dan ukuran yang

8 18 berbeda-beda pada setiap individu. Kesuksesan ini dapat berupa hadiah, kepuasan jiwa, dan popularitas. Pemaknaan yang berbeda ini dapat disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk dari kesuksesan tersebut. Sedangkan kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses di mata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. c. Nilai-nilai dan aspirasi/cita-cita yang dimiliki oleh individu dalam menginterpretasi pengalaman Nilai-nilai pada setiap individu berbeda. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai merupakan fungsi yang diperoleh dari orangtua dan figur-figur lain yang penting dalam hidupnya. Kesuksesan, kekuasaan, dan perhatian yang diterima oleh individu tidak menjadi dasar penilaian individu dalam memandang dirinya sendiri secara langsung, tetapi hal tersebut disaring terlebih dahulu melalui cita-cita pribadi dan nilai-nilai yang dipegang oleh individu tersebut (Coopersmith, 1967: 37).

9 19 d. Cara-cara individu dalam mengatasi devaluasi Setiap individu memiliki cara masing-masing untuk merespon devaluasi atau kegagalan. Sehingga, individu dapat memperkecil, mengubah, menekan, atau bahkan menggagalkan tindakan orang lain (Coopersmith, 1967: 37). Individu juga dapat menolak penilaian orang lain atau mungkin sangat sensitif dan menyadari penilaian orang lain kepada dirinya. Kemampuan seseorang dalam menghadapi kegagaln dan penilaian negatif dari orang lain berkaitan dengan kemampuannya untuk mempertahankan harga dirinya, sehingga akan mengurangi kecemasan dan membantu dalam mempertahankan keseimbangan pribadi. B. Konsep Kompetensi Interpersonal 1. Definisi Kompetensi Interpersonal Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Menurut Mc. Ashan (Mansur, 2009), kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai individu, sehingga individu tersebut dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan pengertian interpersonal menurut James P. Chaplin (2004) adalah segala sesuatu yang berlangsung antara dua orang individu yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu yang lainnya. Dengan demikian, arti kata kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan

10 20 dengan orang lain yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu yang lain. Duanne Buhrmester, dkk (1988) mendefinisikan kompetensi interpersonal sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain. Selanjutnya, Spitzberg dan Cupach (Nashori, 2008) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain untuk membentuk suatu komunikasi dan interaksi yang efektif. Kompetensi interpersonal tersebut ditandai dengan adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan (Nashori, 2008). Dengan demikian, individu yang memiliki kompetensi interpersonal cenderung lebih disukai karena dapat membuat orang lain merasa nyaman pada saat berinteraksi dengannya dan dapat membuat interaksi dengan orang lain yang menyenangkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk melakukan hubungan interpersonal secara efektif, dimana di dalamnya terdapat karakteristik-karakteristik psikologis yang meliputi pikiran, perasaan dan tindakan yang mendukung untuk menciptakan, membina dan mempertahankan relasi interpersonal yang baik dan efektif.

11 21 2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh individu terjadi karena aspek yang dimiliki sebagai karakteristik kepribadian individu. Berkaitan dengan hal ini, Duane Buhrmester, dkk (1988) mengemukakan bahwa terdapat lima domain atau aspek kompetensi interpersonal, yaitu sebagai berikut: a) Initiative (kemampuan berinisiatif), yaitu kemampuan untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan orang lain yang diarahkan pada penciptaan suatu hubungan antar pribadi yang baru dengan seseorang yang belum atau baru dikenal maupun tindakan-tindakan yang dapat membantu mempertahankan hubungan yang telah dibina. Duane Buhrmester, dkk. (1988) menyebutkan insiatif sebagai usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dengan individu lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas. b) Negative Assertion (kemampuan untuk bersikap asertif), yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri dari tuduhan yang tidak benar atau mempertahankan hak-hak pribadi secara tegas, kemampuan untuk menolak atas permintaan-permintaan yang tidak masuk akal, dan kemampuan untuk meminta pertolongan atau bantuan saat diperlukan. Perilaku asertif yang paling sederhana menurut Duane Buhrmester, dkk (1988) adalah mampu mengatakan tidak jika diminta untuk melakuka sesuatu yang tidak disukai. Dengan memiliki sikap asertif, individu

12 22 tidak akan diperlakukan secara tidak pantas oleh lingkungan sosialnya dan dianggap sebagai individu yang memiliki harga diri. c) Disclosure (kemampuan untuk bersikap terbuka), yaitu kemampuan untuk mengungkapkan diri kepada orang lain yang berupa pengungkapan ide-ide, pendapat, minat, pengalaman-pengalaman, dan perasaan-perasaannya. Proses pengungkapan diri (self disclosure) adalah proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain atau sebaliknya (Bungin, 2008). Dengan adanya keterbukaan, kebutuhan dua orang akan terpenuhi, yaitu dari pihak pertama kebutuhan untuk bercerita dan berbagi rasa terpenuhi sedangkan bagi pihak kedua dapat muncul perasaan yang istimewa karena dipercaya untuk mendengarkan cerita yang bersifat pribadi. d) Emotional Support (kemampuan untuk memberikan dukungan emosional), yaitu kemampuan untuk memberikan rasa nyaman kepada orang lain yang sedang menghadapi masalah, mengalami kesulitan, atau sedang dalam kondisi tertekan. Hal ini dapat diperlihatkan dengan adanya perhatian, simpati, empati, dan penghargaan terhadap orang lain. e) Conflict Management (kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal), yaitu cara atau strategi untuk menyelesaikan pertentangan dengan orang lain dengan berusaha untuk menyelesaikan permasalahan atau pertentangan dengan orang lain dan dapat merespon

13 23 secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan oleh orang lain agar konflik yang muncul tidak semakin memanas. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal merupakan bagian dari kompetensi sosial (Hurlock, 1980). Kompetensi sosial dipengaruhi oleh partisipasi sosial yang dilakukan oleh individu, semakin besar partisipasi sosial semakin besar pula kompetensi sosialnya. Partisipasi sosial dipengaruhi oleh pengalaman sosial, dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kompetensi interpersonal dipengaruhi faktor pengalaman dimana pengalaman tersebut tidak terlepas dari faktor usia dan kematangan seksualnya. Fuad Nashori (2008) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal 1) Jenis Kelamin Fuad Nashori (2008) mengungkapkan bahwa anak-anak dan remaja laki-laki memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif yang lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Selanjutnya, gerakan-gerakannya yang aktif tersebut menjadi modal untuk berinisiatif dalam melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif, dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi.

14 24 2) Tipe Kepribadian Adler (Nashori, 2008) mengemukakan bahwa ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi ke luar cenderung selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain. 3) Kematangan Fuad Nashori (2008) mengemukakan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya. Ia dapat menerima kelemahan-kelemahan manusia dengan mengetahui bahwa ia punya kelemahan yang sama. 4) Konsep Diri Fuad Nashori (2008) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain. b. Faktor Eksternal 1) Kontak dengan Orangtua Menurut Hetherington dan Parke (Nashori, 2008), kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak anak dengan orangtua, dapat

15 25 menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosial anak dalam lingkungan sekitarnya. 2) Interaksi dengan Teman Sebaya Kramer dan Gottman (Nashori, 2008) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah dalam membina hubungan interpersonal. Selanjutnya, Nurrahmati (Nashori, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, meyakini tersedianya respons yang positif dari lingkungannya. Dari sanalah berkembang kompetensi interpersonal pada diri individu. 3) Aktivitas Aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu dapat mempengaruhi pada tingkat kompentensi interpersonal yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Danardono (Nashori, 2008) membuktikan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kepecintaalaman memiliki perbedaan kompetensi interpersonal yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan

16 26 kepecintalaman. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi interpersonalnya dibanding dengan mahasiswa bukan pecinta alam. 4) Partisipasi Sosial Menurut Hurlock (1980), kompetensi sosial, termasuk kompetensi interpersonal dapat dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Oleh karena itu, semakin besar partisipasi sosial, maka semakin besar pula kompetensi interpersonalnya. Selain itu, diketahui bahwa perlakuan khusus pada individu dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan lain sebagainya (Nashori, 2008). C. Konsep Remaja Akhir 1. Batasan Usia Remaja Akhir Masa remaja disebut juga adolescence. Kata Adolescence berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere, artinya to grow into adulthood atau tumbuh untuk mencapai kematangan (Yusuf & Sugandhi, 2011). Sementara itu, WHO (Sarwono, 2006:9) mendefinisikan remaja sebagai suatu masa dimana individu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual; individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa; serta terjadi peralihan dari ketergatungan sosialekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

17 27 Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini, remaja tidak hanya mengalami perubahan psikologis, tetapi juga fisik dan sosialnya, serta munculnya tanda-tanda pubertas. Istilah remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas, yaitu mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980). Pandangan ini didukung oleh Piaget (Hurlock, 1980) yang menyatakan bahwa secara psikologis remaja adalah suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Monks, Knoers & Haditono (Desmita, 2007:190) membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu: a. Masa pra-remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun) b. Masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) c. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) d. Masa remaja akhir (18-21 tahun). Dilihat dari pembagian remaja di atas, remaja akhir merupakan remaja yang berada pada rentang usia tahun. 2. Ciri-ciri Remaja Akhir Masa remaja akhir ditandai oleh persiapan seorang remaja untuk memasuki peran-peran orang dewasa (Agustiani, 2006: 29). Masa ini ditandai juga dengan persiapan akhir untuk menjalankan peran-peran

18 28 orang dewasa. Selama periode ini, remaja berusaha untuk memantapkan tujuan vokasional mereka dan membentuk sense of personal identity. Tahap remaja akhir (late adolescence) adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian lima hal (Sarwono, 2006), yaitu: a. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek; b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru; c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi; d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain; e. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public). Sementara itu, Muhammad Al-Mighwar (2006) mengemukakan bahwa ciri-ciri remaja akhir adalah sebagai berikut: a. Mulai stabil Pada masa remaja akhir, individu menunjukkan peningkatan kestabilannya dalam aspek-aspek fisik dan psikis. Selain itu, terjadi keseimbangan tubuh atau anggota badan. Pada masa ini juga terjadi kestabilan dalam minat-minatnya, seperti gaya berpakaian, pemilihan sekolah, dan pergaulan dengan sesama jenis ataupun berlainan jenis. Kestabilannya juga terjadi dalam sikap dan pandangan, mereka relatif

19 29 tidak mudah berubah pendirian hanya karena dibujuk atau dihasut oleh orang lain. Akibatnya, remaja akhir lebih dapat menyesuaikan diri dalam berbagai aspek kehidupannya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. b. Citra diri dan sikap-pandangan yang lebih realistis Pada masa ini, remaja mulai menilai dirinya apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya, keluarganya, teman-temannya, seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan realistis ini akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan dirinya dari perasaan kecewa, dan mengahantarkannya pada puncak kebahagiaan. c. Lebih matang dalam menghadapi masalah Masalah yang dihadapi oleh remaja akhir sangat beragam. Namun, remaja akhir dapat menghadapinya dengan lebih matang. Kematangan itu ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalahmasalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Usaha pemecahan masalahnya tersebut mengarahkan remaja akhir untuk menyesuaikan diri dalam situasi perasaan sendiri dan lingkungan di sekitarnya. Kemampuan berpikir dan pandangan yang lebih realistis itulah yang menjadikan remaja akhir mampu memecahkan berbagai masalah secara lebih matang dan realistis.

20 30 d. Lebih tenang perasaannya Pada masa remaja akhir, individu cenderung lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalahnya. Hal ini disebabkan karena remaja akhir telah memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai segala perasaannya dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau halhal lain yang mengakibatkan kemarahan. Dia juga telah berpandangan realistis dalam menentukan sikap, minat, dan cita-cita sehingga adanya berbagai kegagalan dapat disikapinya dengan tenang. 3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir Havighurst (Yusuf & Sugandhi, 2011) mengemukakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu dimana apabila tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu berhasil dituntaskan, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan berikutnya, dan apabila gagal melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada periode tertentu, maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan mengalami kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Justin Pikunas (1969) mengemukakan bahwa remaja pertengahan dan remaja akhir memiliki tugas-tugas perkembangan yang penting, yaitu sebagai berikut:

21 31 a. Mampu menerima bentuk tubuh atau hal-hal yang berkaitan dengan fisiknya; b. Mampu mencapai kemandirian emosional yang ditunjukkan dengan ketidakbergantungan dari orangtua dan orang dewasa lain yang memiliki otoritas tertentu; c. Mampu dan terampil dalam komunikasi interpersonal dan relasi dengan orang lain, baik secara individu maupun dalam kelompok; d. Mampu menemukan model identifikasi; e. Mampu menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan ataupun sumber-sumber yang ada pada dirinya; f. Mampu memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang ada. g. Mampu meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian yang kekanak-kanakan. D. Hubungan antara Harga Diri dengan Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal memiliki kedudukan yang penting bagi remaja karena dapat menunjang kesuksesan masa depan. Dengan memiliki kompetensi interpersonal, remaja diharapkan dapat memahami norma sosial, bersikap penuh pertimbangan, dan mampu bertindak tepat dengan kondisi sosialnya. Sehingga, remaja tersebut dapat diterima dengan baik oleh lingkungan sosialnya dan dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.

22 32 Kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain (kompetensi interpersonal) erat kaitannya dengan bagaimana cara individu menilai dirinya sendiri secara positif, baik kelebihannya maupun kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif dengan menerima dan menghargai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (harga diri tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya. Hubungan ini diperjelas oleh Stanley Coopersmith (1967: 71) yang mengemukakan bahwa sikap-sikap positif dan harapan mengenai diri pada orang yang memiliki harga diri yang tinggi akan membuat individu memiliki kompetensi sosial atau kemandirian sosial yang lebih baik dan kreativitas yang dimilikinya akan membimbingnya untuk lebih tegas dan lebih giat dalam melakukan tindakan sosial. Selanjutnya, Branden (Ghufron & Risnawita, 2010) mengemukakan bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan dan keputusasaan; cenderung lebih berambisi; lebih kreatif dalam pekerjaan; dan memiliki kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa harga diri yang dimiliki oleh seorang individu dapat mempengaruhi pada kompetensi interpersonal.

23 33 E. Hasil Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Harga diri dan Kompetensi Interpersonal pada Remaja Akhir Ada beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan harga diri dan kompetensi interpersonal yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Salah satu penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Faya Noorhalia Elcamila (2008) dengan judul Hubungan Self Esteem dengan Relasi Interpersonal pada Penyandang Tunarungu Usia Dewasa Dini di Lembaga Deaf n Dumb Bandung. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa harga diri memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan relasi interpersonal pada penyandang tunarungu usia dewasa dini di lembaga Deaf n Dumb Bandung, yang berarti semakin tinggi harga diri seseorang, maka akan semakin tinggi pula relasi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah harga diri seseorang, maka semakin rendah pula relasi interpersonalnya. Selain itu, beberapa penelitian lain yang terkait dengan harga diri dan kompetensi interpersonal adalah sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia Sudhar Dina (2010) dengan judul Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Remaja Panti Asuhan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penerimaan diri dengan kompetensi interpersonal pada remaja panti asuhan. Artinya, semakin tinggi penerimaan diri seseorang maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya sebaliknya semakin rendah penerimaan diri maka semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya.

24 34 2. Penelitian yang dilakukan oleh Hartanti (2006) dengan judul Hubungan antara Konsep Diri dengan Kompetensi Interpersonal pada Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas Diponegoro. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal pada pengurus unit kegiatan mahasiswa Universitas Diponegoro. Semakin tinggi konsep diri seseorang, maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya; dan sebaliknya semakin rendah konsep diri, maka semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya. F. Kerangka Berpikir Masa remaja merupakan masa transisi menuju dewasa dimana remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan fisik, psikis, maupun sosial. Seiring perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja tersebut, muncul berbagai tuntutan-tuntutan yang berlaku di masyarakat. Hal ini membuat remaja mau tidak mau harus berusaha untuk selalu menyesuaikan diri agar dapat diterima, diakui, dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya. Tuntutan-tuntutan tersebut akan dapat dipenuhi oleh remaja apabila ia memiliki kemampuan-kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial agar dapat menentukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial tersebut. Kemampuan-kemampuan yang dimaksud adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal diasumsikan sebagai bagian dari kompetensi sosial yang memiliki aspek-aspek, seperti kemampuan

25 35 untuk berinisiatif, bersikap asertif, bersikap terbuka, memberikan dukungan emosional, dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial. Kompetensi interpersonal perlu dimiliki oleh remaja karena hubungan baik yang dijalani oleh remaja akan memberikan dampak yang positif bagi hubungan yang mungkin akan terjadi di masa dewasanya. Sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hightower (Desmita, 2007: 220) ditemukan bahwa hubungan harmonis yang terjalin dengan teman sebaya pada saat remaja akan membentuk kesehatan mental yang positif pada saat dewasa. Menumbuhkan kompetensi interpersonal tidak selamanya mudah karena perkembangan tingkah laku individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami oleh individu selama interaksi dengan orang-orang yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Sebelum berperilaku, individu perlu memperhatikan bahwa ia harus mampu memperhitungkan apakah ia bisa atau tidak berperilaku sesuai dengan aturan atau norma sosial yang ada di lingkungannya. Remaja yang memiliki kemampuan interpersonal akan berani mengemukakan, menghargai serta menerima pikiran, perasaan dan pendapat orang lain secara terus terang. Kompetensi interpersonal erat kaitannya dengan bagaimana cara individu menilai dirinya sendiri secara positif, baik kelebihannya maupun kekurangannya. Dengan demikian, salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam menciptakan dan membina hubungan interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan individu dalam menilai dirinya secara positif dengan menerima hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri (harga diri

26 36 tinggi). Oleh karena itu, tingkatan harga diri yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pada tingkat kompetensi interpersonalnya. Pada kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan interpersonal secara efektif (kompetensi interpersonal). Sebagian remaja akhir yang berstatus sebagai mahasiswa merasa masih belum mampu untuk menjalin hubungan interpersonal dengan baik. Begitupula yang terjadi pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP UPI angkatan Sebagian mahasiswa tersebut seringkali merasa kurang mampu untuk memulai interaksi dengan orang lain, merasa kaku, tidak percaya diri, dan malu pada saat berinteraksi dengan orang lain, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal. Oleh karena itu, bertolak dari kerangka pemikiran di atas, maka ditarik hipotesis sebagai berikut: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara harga diri dengan kompetensi interpersonal pada mahasiswa Jurusan Psikologi FIP UPI angkatan Artinya, semakin tinggi harga diri yang dimiliki oleh seorang remaja, maka akan semakin tinggi pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh remaja tersebut, dan sebaliknya semakin rendah harga diri seorang remaja, maka akan semakin rendah pula kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh remaja tersebut. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran di atas dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini:

27 37 Remaja Akhir Harga Diri Tinggi Harga Diri Rendah Menerima diri sendiri, percaya diri, menilai diri penting, berarti, dan berharga Tidak percaya diri, memandang diri tidak berharga, dan merasa tidak memiliki kemampuan Kompetensi Interpersonal Tinggi Kompetensi Interpersonal Rendah Memiliki inisiatif dalam hubungan sosial, bersikap asertif, bersikap terbuka, memiliki rasa empati, dan aktif menyelesaikan pertentangan dengan orang lain Memiliki kesulitan untuk memulai interaksi sosial, tertutup, acuh tak acuh terhadap orang lain, dan menghindar apabila terjadi konflik Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak akan bisa tahan untuk hidup sendiri di dunia ini. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak akan bisa tahan untuk hidup sendiri di dunia ini. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tidak akan bisa tahan untuk hidup sendiri di dunia ini. Hal ini menuntut manusia agar selalu berusaha untuk melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Marheni (dalam Soetjiningsih, 2004) masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan

Lebih terperinci

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP Dra. Aas Saomah, M.Si JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SMP A. Pengertian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai oleh orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai oleh orang lain. BAB II LANDASAN TEORI A. KOMPETENSI INTERPERSONAL 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Sears, Freedman dan Peplau (1994) mengemukakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI akhir. Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai harga diri, perilaku konsumtif, dan remaja 2.1 Harga Diri 2.1.1 Definisi Harga Diri Menurut Coopersmith (dalam Pohan, 2006) harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal 2.1.2 Definisi Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Merokok 1. Definisi frekuensi Frekuensi berasal dari bahasa Inggris frequency berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarangkerap. Smet (1994) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan manusia terbagi menjadi beberapa fase selama rentang kehidupan. Beberapa fase tersebut diantaranya fase bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagaimana BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagaimana pendapat yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina

HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG. Winda Sari Isna Asyri Syahrina HUBUNGAN ANTARA SECURE ATTACHMENT DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJADI SMAN 2 PADANG Winda Sari Isna Asyri Syahrina Fakultas Psikologi Universitas Putra Indonesia ABSTRAK Tujuan penelitian ini

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu BAB V PEMBAHASAN Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistimatis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu mengembangkan potensinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai dari usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Septri Ardiani, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Septri Ardiani, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu diantara rentang kehidupan individu yaitu antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masa remaja adalah suatu tahap dalam perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa. 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa 1. Pengertian Gaya Hidup Hedonis Pada Mahasiswa Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia dalam masyarakat (Kamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan dua puluh dua tahun. Pada masa tersebut, remaja akan mengalami beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsep Diri Istilah konsep diri biasanya mengarah kepada sebuah pembentukan konsep pribadi dari diri seseorang. Secara umum konsep diri adalah pandangan dan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (zoon politicon). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan diri dari jalinan sosial, dimana manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan pendapatnya, berani tampil di muka umum, memiliki kepedulian sosial, dan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemandirian 2.1.1. Pengertian Kemandirian Menurut Masrun, dkk (1986), kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk berbuat bebas, melakukan sesuatu atas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN

TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu; dan apabila berhasil mencapainya mereka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Remaja. Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah di pelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demikianlah beberapa pandangan negatif anak tunalaras terhadap dirinya serta

BAB I PENDAHULUAN. Demikianlah beberapa pandangan negatif anak tunalaras terhadap dirinya serta BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kami adalah anak nakal. Kami adalah sampah kota! Kami tak pantas dicintai! Demikianlah beberapa pandangan negatif anak tunalaras terhadap dirinya serta kawan-kawannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi caloncalon intelektual. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Melalui pendidikan diharapkan peserta didik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri pada dasarnya adalah kemampuan dasar untuk dapat menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992) menyatakan bahwa kepercayaan

Lebih terperinci

GAMBARAN SELF ESTEEM NARAPIDANA REMAJA BERDASARKAN KLASIFIKASI KENAKALAN REMAJA

GAMBARAN SELF ESTEEM NARAPIDANA REMAJA BERDASARKAN KLASIFIKASI KENAKALAN REMAJA GAMBARAN SELF ESTEEM NARAPIDANA REMAJA BERDASARKAN KLASIFIKASI KENAKALAN REMAJA Studi Deskriptif Mengenai Self Esteem pada Narapidana Remaja di Lapas Anak Bandung dan Lapas Wanita Bandung Oleh : Aryani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke arah kematangan (Muss dalam Sarwono 2010:11). Kematangan disini tidak hanya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

JURNAL HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN KETERAMPILAN INTERPERSONAL SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2016/2017

JURNAL HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN KETERAMPILAN INTERPERSONAL SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 JURNAL HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI (SELF ESTEEM) DENGAN KETERAMPILAN INTERPERSONAL SISWA KELAS X SMA NEGERI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Oleh: NINING DEWI RATIH NPM. 12.1.01.01.0149 Dibimbing oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, karena dalam proses penelitiannya menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan yang terjadi semakin ketat, individu dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan yang memadai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepercayaan diri memegang peranan yang sangat penting dalam meraih kesuksesan, karena dengan kepercayaan diri yang baik seseorang akan mampu mengaktualisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan secara luas dapat diinterpretasikan sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian menjadikannya sebuah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Harga Diri 1.1. Pengertian harga diri Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communication, yang akar katanya adalah communis, tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Manusia sebagai makhluk sosial dalam bertingkah laku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupuan psikologis, yang tentunya bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari melakukan interaksi dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian. Bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian harga diri, dan waria.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian. Bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian harga diri, dan waria. BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan utama penelitian. Bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian harga diri, dan waria. 2.1 Harga Diri 2.1.1.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyesuaian Sosial 2.1.1 Pengertian penyesuaian sosial Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Agar

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan kehidupan seorang manusia berjalan secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012). Remaja merupakan usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan itu juga telah dipelajari secara mendalam. terjadi pada manusia, dan pada fase-fase perkembangan itu fase yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan itu juga telah dipelajari secara mendalam. terjadi pada manusia, dan pada fase-fase perkembangan itu fase yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam menghadapi zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, banyak yang harus dipersiapkan oleh bangsa. Tidak hanya dengan memperhatikan kuantitas individunya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci