BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia berasal dan terbentuk dari masyarakat adat yang bersifat multi etnik. Keragaman etnik dan dengan sendirinya keragaman budaya merupakan mutiara terpendam yang memerlukan penanganan yang sangat hatihati, terutama dalam memilih indikator untuk menetapkan jati diri bangsa Indonesia. Kelangkaan pakar dan pengamat serta tenaga ahli bangsa Indonesia yang memusatkan perhatian mereka pada budaya Indonesia yang bersifat multi etnik ini, sesungguhnya turut bertanggung jawab terhadap kenyataan yang ada sekarang ini, yakni kurang atau tidak dipahaminya secara benar dan tepat mengenai karakteristik budaya Indonesia tersebut oleh generasi penerus. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai 1

2 kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa sehingga tuntutan akan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang benar-benar mampu menangani setiap kasus tindak pidana korupsi tidak dapat dielakkan lagi 1. Seluruh rakyat Indonesia sepakat bahwa tindak pidana korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air, karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat bahkan sudah sampai tahap sebagai pelanggaran hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bukan hanya merupakan persoalan dan penegakan hukum semata-mata, tetapi juga merupakan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sama-sama sangat parahnya dengan persoalan hukum, sehingga harus segera dibenahi secara simultan. Alasan mengapa tindak pidana korupsi harus dianggap sebagai sebuah persoalan sosial adalah karena korupsi telah mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tindak pidana korupsi pun harus dianggap sebagai persoalan psikologi sosial, karena tindak pidana korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit untuk disembuhkan. 2 Pemberantasan korupsi secara global kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara. Hal ini terbukti dengan telah disahkannya konvensi internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur tentang menentang 1 Diakses dari diakses tanggal 5 Maret Romli Atmasasmita, Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 9 2

3 korupsi yang berjudul United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tahun Akibat tindak pidana korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam pembukaan (preambule) konvensi UNCAC Konvensi yang telah di ratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa: Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law; ("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;") Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan, apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption / UNCAC 2003) yang diikuti oleh Indonesia pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko bersama 137 negara lainnya menjadi bukti awal komitmen Indonesia untuk memperbaiki diri melalui pemberantasan korupsi. Dengan ikut sertanya Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tanggal 21 maret 2006 yang kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006, menunjukkan kesungguhan Indonesia untuk benar-benar mengimplementasikan konvensi ini. 3

4 Adanya dukungan internasional yang kuat melalui konvensi ini diharapkan oleh pemerintah Indonesia dapat mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah berubah sebanyak 5 kali, akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut dianggap tidak memadai karena belum secara khusus membahas tentang kerjasama internasional dalam hal pengembalian aset 3. Disahkannya UNCAC 2003 juga tidak begitu saja sanggup mengatasi masalah korupsi yang menggerogoti bangsa ini. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan banyak usaha dan kesungguhan tidak hanya dari institusi penegak hukum namun juga dari seluruh elemen masyarakat, karena pelaksanaan UNCAC 2003 tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga menuntut peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Pemberantasan korupsi sebenarnya telah menjadi perhatian Indonesia terutama setelah berakhirnya era orde baru yang jatuh karena rasa ketidakpercayaan masyarakat atas pemerintah yang korup. Telah banyak terobosan yang dilakukan terutama dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi) sebagai state auxiliary body yang khusus menangani korupsi. Dibentuknya KPK sebagai jalan keluar untuk mempercepat pemberantasan korupsi yang dianggap masih berjalan tersendat selama ini. 3 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruption 4

5 Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi ini, maka KPK mempunyai kewajiban untuk memastikan terimplementasinya UNCAC 2003 tersebut. Langkah awal untuk implementasi UNCAC 2003 adalah menyelaraskan undang-undang tindak pidana korupsi dan peraturan perundang-undangan yang lain dengan sejumlah ketentuan yang tercantum dalam UNCAC Tentunya implementasi UNCAC 2003 tidak harus menunggu hingga seluruh peraturan perundangan terharmonisasi dengan UNCAC 2003, karena sebenarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengarah pada pemberantasan dan pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang diperintahkan oleh konvensi. Program atau kegiatan yang berhubungan dengan ranah pemberantasan korupsi tidak hanya berpusat pada kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan penindakan (penyidikan dan penuntutan) namun termasuk kegiatan yang berhubungan dengan ranah pencegahan korupsi. Luasnya pemberantasan korupsi yang diharapkan oleh UNCAC 2003 ini mengandung arti pentingnya peran serta semua pihak, terutama pemerintah untuk mensukseskan pemberantasan korupsi. Komitmen pemerintah menjadi penting mengingat pemerintah adalah subyek dan obyek dalam UNCAC 2003 ini. Terkait dengan UNCAC 2003, komitmen pemerintah seharusnya dititikberatkan pada usaha pengembalian aset dan bantuan timbal balik. Karena konvensi ini mengikat banyak negara untuk secara aktif membuka peluang dalam pengembalian hasil kejahatan korupsi yang tentunya akan banyak menguntungkan bagi Indonesia. 5

6 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi menurut United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003? 2. Bagaimana hubungan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? 3. Bagaimana bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003? C. Tujuan Penulisan berikut : Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kerjasama internasional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi; 2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan konvensi PBB mengenai tindak pidana korupsi dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; 6

7 3. Untuk mengetahui bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis, yakni untuk menambah bahan penelitian bagi literatur yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, serta sebagai dasar penelitian selanjutnya pada bidang yang sama. 2. Manfaat praktis, yakni sebagai pengingat bagi pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak melanggar ketentuan yang ada yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. E. Keaslian Penulisan Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum, maka penelitian ini mengangkat suatu materi dari mata kuliah pilihan, yaitu hukum pidana internasional, khususnya yang membahas mengenai tindak pidana korupsi yang dituangkan dalam sebuah judul penelitian United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam rangka pengajuan judul penelitian ini, maka harus terlebih dahulu mendaftarkan judul tersebut ke bagian departemen Hukum Internasional dan telah 7

8 diperiksa pada arsip bagian departemen Hukum Internasional. Judul yang diangkat dinyatakan disetujui oleh departemen Hukum Internasional pada tanggal 13 November Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan pada bagian departemen Hukum Internasional pada khususnya dan Fakultas Hukum pada umumnya, diketahui bahwa belum ada penelitian yang secara khusus membahas tentang United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga keaslian penulisan yang dituangkan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya. F. Tinjauan Kepustakaan Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporanlaporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yakni yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas. 1. Pengertian perjanjian internasional menurut Prof.Mochtar Kusumaatmadja 4 Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 4 Mochtar Kusumaatmadja,dkk, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal.117 8

9 Dari batasan di atas jelaslah bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. 2. Organisasi dan Organisasi Internasional Beberapa pengertian organisasi menurut para ahli, yaitu 5 : a. Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubunganhubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama b. James D. Mooney mengemukakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama c. Chester I. Bernard berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih d. Stephen P. Robbins menyatakan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan Sedangkan pengertian organisasi internasional menurut para ahli antara lain 6 a. Bowwet D.W. :...tidak ada suatu batasan mengenai organisasi publik internasional yang dapat diterima secara umum. Pada umumnya organisasi ini merupakan organisasi permanen (sebagai 5 Diakses dari, diakses pada tanggal 4 Maret Diakses dari, INTERNASIONAL-101, diakses pada tanggal 4 Maret

10 contoh, jawatan pos atau KA) yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral yang disertai beberapa kriteria tertentu mengenai tujuannya b. Starke hanya membandingkan fungsi, hak dan kewajiban serta wewenang dari lembaga internasional dengan negara yang modern. Starke berpendapat : Pada awalnya seperti fungsi suatu negara modern mempunyai hak, kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki beserta alat perlengkapannya, semua itu diatur oleh hukum nasional yang dinamakan hukum tata negara sehingga dengan demikian organisasi internasional sama halnya dengan alat perlengkapan negara modern yang diatur oleh hukum konstitusi nasional c. Sumaryo Suryokusumo berpendapat bahwa organisasi internasional adalah suatu proses; organisasi internasional juga menyangkut aspekaspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu. Organisasi internasional juga diperlukan dalam rangka kerja sama menyesuaikan dan mencari kompromi untuk menentukan kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama serta mengurangi pertikaian yang timbul d. T. Sugeng Susanto menjelaskan yang dimaksud dengan organisasi internasional dalam pengertian luas adalah bentuk kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional untuk tujuan yang bersifat internasional. Pihak-pihak yang bersifat internasional itu dapat berupa 10

11 orang-perorangan, badan-badan bukan negara yang berada di berbagai negara atau pemerintah negara. Adapun yang dimaksud dengan tujuan internasional ialah tujuan bersama yang menyangkut kepentingan berbagai negara e. Boer Mauna menyebutkan bahwa pengertian organisasi internasional menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, yang mana dalam pasal itu disebutkan bahwa organisasi internasional adalah organisasi antar pemerintah. Menurut Boer Mauna, pengertian yang diberikan konvensi ini sangat sempit karena hanya membatasi diri pada hubungan antar pemerintah. Menurutnya, defenisi inimendapat tantangan dari para penganut defenisi yang luas menurut NGO s 7 3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations/UN/PBB) 8 Tujuan Berdirinya PBB : PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 Oleh negara-negara Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina (sekarang Republik Rakyat Tiongkok), Perancis, Uni Soviet (sekarang Rusia), dan Inggris. PBB didirikan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan, untuk mengembangkan hubungan persahabatan dan kerjasama antar bangsa dalam memecahkan masalah-masalah ekonomi, 7 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2008, PT. Alumni, Bandung, hal Mizwar Djamily,dkk, Mengenal PBB dan 170 Negara Di Dunia, Cetakan Keenam, Penerbit PT. Kreasi Jaya Utama, hal.10 11

12 sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan, serta memajukan penghormatan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Disamping itu PBB juga bertujuan untuk menjadi pusat dalam merukunkan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama diatas. 4. Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif 9. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut : a) Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009); 10 b) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); c) Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat 9 Prinst Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal.2 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

13 pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009); d) Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); e) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); f) Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); g) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999); h) Pemborong ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan 13

14 perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) 11 ; i) Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); j) Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); k) Pegawai negeri atau orang lain selain Pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang, atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001). Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut : a) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. 14

15 yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001); b) Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); c) Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana disebut dalam ayat (1) huruf a dan huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); d) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); e) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan 15

16 kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); f) Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui itu patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); g) Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); h) Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 13 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001). 5. Sedangkan yang dimaksud dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah : United Nations Convention against Corruption (UNCAC) is a multilateral convention negotiated by members of the United Nations. It is the first global legally binding international anti-corruption instrument. In its 71 Articles divided into 8 Chapters, UNCAC requires that States Parties implement several anti-corruption measures which 12 Diakses dari, diakses pada tanggal 4 Maret

17 may affect their laws, institutions and practices. These measures aim at preventing corruption, criminalizing certain conducts, strengthening international law enforcement and judicial cooperation, providing effective legal mechanisms for asset recovery, technical assistance and information exchange, and mechanisms for implementation of the Convention, including the Conference of the States Parties to the United Nations Convention against Corruption (CoSP). Konvensi UNCAC 2003 merupakan konvensi multilateral yang dinegosiasikan oleh anggota PBB. Konvensi ini merupakan instrumen hukum intenasional pertama tentang anti - korupsi yang mengikat secara global. Konvensi ini terdiri atas 71 artikel yang terbagi menjadi 8 bab. Dalam konvensi UNCAC 2003 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak menerapkan beberapa langkah-langkah anti - korupsi yang dapat mempengaruhi hukum mereka baik secara institusi maupun praktik. Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah korupsi, kriminalisasi perilaku tertentu, memperkuat penegakan hukum internasional dan kerjasama yudisial, menyediakan mekanisme hukum yang efektif untuk pemulihan aset, bantuan teknis dan pertukaran informasi, dan mekanisme pelaksanaan Konvensi, termasuk Konferensi Negara-Negara Pihak pada konvensi PBB melawan Korupsi ( CoSP ). 13 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menganalisis norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang Diterjemahkan melalui situs diakses pada tanggal 4 Maret 17

18 undangan dan putusan-putusan hakim. Menurut Prof. Soerjono Soekanto 14, penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap azas-azas hukum; penelitian terhadap sistematika hukum; penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; penelitian sejarah hukum; dan penelitian perbandingan hukum. 2. Sumber Data Penelitian hukum pada umumnya membedakan sumber data ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sumber data dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yakni terdiri dari 15 : a) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini berupa : 1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun ) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi 3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) ) Unied Nations Convention Against Corruption (UNCAC) ) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2008, hal Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, 2003, hal

19 b) Bahan hukum sekunder adalah bahan acuan yang bersumber dari buku-buku, surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti karya ilmiah sarjana, jurnal-jurnal hukum, dan hasil penelitian. c) Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus-kamus dan ensiklopedia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen atau bahan pustaka merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis. 16 Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian. 17 Pengertian lain, menyatakan bahwa Studi Kepustakaan (Library Research), yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari bukubuku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 16 Soerjono Soekanto, op.cit, hal Andre Yuris, Berkenalan dengan Analisis Isi (Content Analysis), diakses tanggal 30 Juni

20 4. Analisis Data Menurut Berndl Berson, Content analysis is a research technique for the objective, systematic and quantitative description of the manifest content of communication. 18 (kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi). Teknik analisis data dapat digolongkan sebagai berikut : a. Teknik analisis data kuantitatif yaitu menganalisis dengan pengukuran data statistik secara obyektif belalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel yang menghubungkan antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis b. Teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan berupa huruf, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif, karena lebih cenderung menggunakan pendekatan teoritis yang lebih mengutamakan dalamnya data daripada jumlahnya. H. Sistematika Penulisan Penelitian skripsi harus mempermudah dalam pemahaman mulai dari awal permasalahan hingga pembahasan. Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : hal Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989, 20

21 Bab pertama dimulai dari memaparkan latar belakang lahirnya permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 (tiga) inti masalah, serta menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian, dan menjabarkan kerangka teori dan konsep serta metode penelitian. Bab kedua mulai membahas permasalahan yang pertama yaitu bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi menurut konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Bab ini terdiri dari Sejarah Terbentuknya konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 ; Kedudukan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional;Kekuatan Mengikat konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003; Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang kemudian terbagi lagi atas : Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur Dalam konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003; Negara-Negara yang Telah Meratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003;dan poin terakhir: Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bab ketiga berisi tentang hubungan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang: Ratifikasi konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Oleh Indonesia dan Negara Lainnya; Akibat Hukum dari Ratifikasi konvensi United Nations Convention 21

22 Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Indonesia; Pengaruh konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di Indonesia; Pengaruh konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Terhadap Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bab keempat membahas permasalahan akhir, yaitu bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Bab ini akan memaparkan lebih jelas tentang Ketentuan Ketentuan konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional; dan Ketentuan-Ketentuan konvensi United Naions Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang Belum Diadopsi dalam Hukum Nasional. Bab kelima merupakan bab penutup dari skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran yang berdasarkan hasil dari penelitian. 22

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif dalam mengatur kehidupan serta pergaulan masyarakat internasional.

BAB I PENDAHULUAN. efektif dalam mengatur kehidupan serta pergaulan masyarakat internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional yang ada pada saat ini memiliki peranan yang sangat efektif dalam mengatur kehidupan serta pergaulan masyarakat internasional. Berkembangnya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan Organisasi Internasional itu sendiri, yang sudah lama timbul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini telah berada dalam tahap yang parah, mengakar dan sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini. PAPARAN WAKIL MENTERI LUAR NEGERI NILAI STRATEGIS DAN IMPLIKASI UNCAC BAGI INDONESIA DI TINGKAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL PADA PERINGATAN HARI ANTI KORUPSI SEDUNIA JAKARTA, 11 DESEMBER 2017 Yang terhormat

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cita-cita untuk melaksanakan amanat para pejuang kemerdekaan bangsa dan Negara yang kini berada di pundak para aparatur Negara (Pemerintah) bukanlah pekerjaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana

Penanggungjawab : Koordinator Tim Pelaksana CAKUPAN PEKERJAAN KOORDINATOR SEKTOR DAN STAF ADMINISTRASI PADA SEKRETARIAT PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI (STRANAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dewasa ini semakin. meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Kasus korupsi biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dewasa ini semakin. meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Kasus korupsi biasanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dewasa ini semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Kasus korupsi biasanya berhubungan dengan kekuasaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. UNODC dan KPK memandang bahwa korupsi tidak dapat digolongkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. UNODC dan KPK memandang bahwa korupsi tidak dapat digolongkan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan UNODC dan KPK memandang bahwa korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) akan tetapi sudah menjadi kejahatan yang luar biasa (extraordinary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hukum pidana, ditandai oleh perubahan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh dinamika doktrin dan ajaran-ajaran

Lebih terperinci

KEBIJAKAN INDONESIA MERATIFIKASI United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC)

KEBIJAKAN INDONESIA MERATIFIKASI United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) KEBIJAKAN INDONESIA MERATIFIKASI United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) SKRIPSI Oleh UMMI KULSUM NIM. 030910101062 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI JANGKA PANJANG TAHUN 2012-2025 DAN JANGKA MENENGAH TAHUN 2012-2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara hukum yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG Delik Korupsi Dalam Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi disamping sudah diakui sebagai masalah nasional juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah terjadi

Lebih terperinci

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini membuktikan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

538 KOMPILASI KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 2001/134, TLN 4150] Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tindak pidana yang menjadi permasalahan seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan korupsi merupakan masalah yang sangat sentral dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah penyakit yang tidak mudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Lemahnya penegakan hukum dan dihentikannya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI Delik Korupsi Dalam Rumusan Undang-Undang 1 1 Bab 07 Never let corruptors unpunished DELIK KORUPSI DALAM RUMUSAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun

Lebih terperinci

SALAH PERSEPSI SOAL KORUPSI

SALAH PERSEPSI SOAL KORUPSI SALAH PERSEPSI SOAL KORUPSI Oleh: ANATOMI MULIAWAN Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Pemberantasan korupsi merupakan isu yang sedang hangat di Indonesia. Rasanya semua media

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi,

BAB I PENDAHULUAN. keamanan masyarakat dengan cara merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang sifatnya serius karena menimbulkan masalah serta ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013 lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama, pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah rezim

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI KOMISI NEGARA DALAM PENYIDIKAN ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI KOMISI NEGARA DALAM PENYIDIKAN ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI KOMISI NEGARA DALAM PENYIDIKAN ABSTRAKSI ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI Fakultas Hukum Universitas 45 Mataram Komisi Pemberantasan Korupsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian

METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis

Lebih terperinci

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia XVIII Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya, Negara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa

BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ), tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat perekonomian negara tersebut. Apabila membahas tentang perekonomian suatu negara, maka tidak lepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) Oleh : Candra Puspita Dewi I Ketut Sudantra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reformasi berjalan lebih dari satu dasawarsa cita- cita pemberantasan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi berjalan lebih dari satu dasawarsa cita- cita pemberantasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alasan mendasar terjadinya reformasi tahun 1998 karena pemerintahan waktu itu yaitu pada masa orde baru telah terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan

BAB I PENDAHULUAN. governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi,

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951 Oleh: Titik Juniati Ismaniar Gede Marhaendra Wija Atmadja Bagian

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo Oleh : Surya Abimanyu NIM: E. 1104073 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption yang artinya

BAB I PENDAHULUAN. Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption yang artinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan berita perseteruan antara dua lembaga negara yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia saat ini terus menerus berupaya memerangi tindak pidana korupsi dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan adalah konvensi internasional

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait

BAB III. PENUTUP. internasional dan merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi terkait BAB III. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan apa yang telah disampaikan dalam bagian pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. Dewan Keamanan berdasarkan kewenangannya yang diatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Sebelum membahas pengertian tindak pidana korupsi, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai Pengertian tindak pidana, Tindak Pidana adalah tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya Oleh : Dewi Asri Yustia Abstrak Apakah kita masih bangga dengan Negara kita? apabila kita melihat catatan dari Ignatius Haryanto dalam artikelnya

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mewujudkannya perlu secara terus menerus ditingkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci