BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Struktur Permukiman Tidak Terencana Suatu permukiman terbentuk dengan adanya kebijakan yang didukung oleh pemerintah. Kebijakan tersebut umumnya dirancang untuk menjadi acuan dalam membangun suatu kawasan perumahan. Namun, sering sekali kebijakan tersebut ditujukan untuk kelompok menengah keatas. Sedangkan pengaturan untuk tempat tinggal bagi kelompok menengah kebawah tidak diatur dengan tepat. Dari hal tersebut, dapat diamati aspek sosial dan tingkat ekonomi dari seseorang akan berpengaruh dalam menentukan tempat tinggal. Adapun struktur permukiman yang memberikan pengaruh dalam terbentuknya suatu ruang hunian terdiri dari beberapa aspek. Aspek tersebut dapat berupa fisik dan juga nonfisik (Eldefrawi, 2013). Beberapa aspek tersebut antara lain: Sosial morfologi permukiman Dalam suatu perkembangan struktur fisik pada permukiman tidak terencana diamati dari pola-pola khusus, aksesibilitas, sirkulasi, dan ruang-ruang bersosial yang membentuk dimensi ruang. Selain itu, bentuk fisik juga dapat dilihat dari jalan, plot dan pola bangunan yang menghubungkan sosial dari penghuninya. a. Menetap : Mulai mencari tempat untuk memenuhi kebutuhan tinggal. 7

2 8 b. Proliferasi : Mengundang kerabat untuk ikut menetap, menciptakan suatu ruang hunian dan menciptakan sosialisasi antar penghuni. c. Pengenalan : Akibat terjadinya perpindahan kerabat menyebabkan pengembangan struktur fisik dari permukiman tersebut sesuai dengan hubungan sosial antar kelompok. Lebar jalan dan pola bangunan tercipta berdasarkan kebutuhan, interaksi dan korelasi Sosial ekonomi Membangun suatu permukiman yang tidak terencana, tentu juga berhubungan dengan aspek ekonomi. Walaupun dalam konteks permukiman tidak terencana sebagian besar dihuni oleh kelompok menengah kebawah. Mereka tetap memerlukan uang atau biaya dalam membangun tempat tinggalnya. Dengan memenuhi kebutuhan tersebut, tentu akan tercermin pada bentuk fisik rumah tinggal mereka. Adapun rumah tinggal yang terbentuk, tentunya tidak sesuai dengan standarisasi tempat tinggal yang tepat dan juga penggunaan material yang sesuai. Dimensi dari ruang hunian, umumnya akan berbeda apabila dibandingkan dengan rumah pada permukiman terencana Pola Jalan Pada permukiman tidak terencana, pola jalan yang ada umumnya menggunakan berbagai macam dimensi yang berbeda. Jalan tidak hanya digunakan 8

3 9 sebagai jalur penghubung antar ruang, tetapi juga sebagai ruang bersosialisasi. Selain itu, jalan juga digunakan untuk mendukung kegiatan yang akan diadakan di permukiman tersebut. Sehingga, dengan adanya pola yang terbentuk menjadikannya sebagai ruang yang dapat mendukung interaksi antar penghuni. Selain itu, fungsi lain dari jalan juga dapat sebagai : a. Jalan sebagai tambahan rumah Ruang yang tercipta pada jalan yang berada di depan rumah, dapat dijadikan halaman atau teras untuk melakukan interaksi antar tetangga. b. Jalan sebagai lahan kerja Aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan diluar rumah menjadikan penghuni dapat melakukannya tanpa berada jauh dari rumah. Hal tersebut dapat memudahkan penghuni dalam mengawasi tempat tinggalnya. c. Jalan sebagai ruang komersil Beberapa penghuni sering mencari mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhannya sehingga, dengan ruang yag tersedia dapat dimanfaatkan untuk mencari pekerjaan lain. Sabagai contoh, beberapa penghuni membuka warung didaerahnnya. Umumnya, mereka mendirikan warung pada ruang-ruang yang dapat diakses. Sehingga, jalan atau sirkulasi sering dijadikan tempat dalam 9

4 10 membangun warung karena keterbatasan lahan dan juga selalu dilalui oleh penghuni setempat Bentuk dan Pola Bangunan Suatu permukiman informal pada umumnya, dibentuk dengan pola ruang hunian yang mendukung keseharian mereka. Sebagai contoh, ruang hunian terbentuk untuk mendukung mata pencaharian mereka yang mempunyai jarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Contoh lain yaitu, terdapat kawasan perdagangan yang menjadikan para pendatang ingin tinggal di kawasan tersebut agar mudah untuk mengakses lokasi yang dapat memberikan peluang pekerjaan Permukiman Tidak Terencana Dalam suatu kawasan atau perkotaan, kenyataan tumbuhnya permukiman tidak terencana tidak dapat dihindari. Dalam hal ini, permukiman tidak terencana timbul dengan adanya dorongan kebutuhan akan tempat tinggal. Permukiman tidak terencana sering sekali membentuk suatu ruang hunian yang dibangun pada area yang tidak resmi direncanakan sebagai ruang hunian. Ciri khas yang paling menonjol pada permukiman tidak terencana yaitu terlihat pada bangunan-bangunan hunian berkualitas rendah yang tidak mempunyai infrastruktur dan fasilitas sosial yang memadai (Ali & Sulaiman, Hal 2). Pada prinsipnya, suatu permukiman tidak terencana dibangun atas dasar ingin memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi rendah. Dalam hal ini, terbentuknya 10

5 11 suatu permukiman yang tidak terencana selalu menjadi permasalahan yang terdapat di kota-kota besar. Permukiman tidak terencana ini kemudian akan berkembang menjadi lebih besar. Adapun ciri khas yang terlihat jelas pada suatu permukiman tidak terencana yaitu, sebagian besar ruang hunian dibangun tidak sesuai standar perumahan. Sehingga, sering sekali bangunan-bangunan tersebut hanya dibangun seadanya dan tidak mementingkan pengaturan ruang hunian yang layak. Selain itu, infrastruktur yang tidak memadai juga menjadi ciri khas pada permukiman tidak terencana. Fasilitas-fasilitas sosial seperti, pelayanan kesahatan, tempat ibadah maupun sarana pendidikan tidak dirancang dengan baik bahkan, beberapa daerah tidak mempunyai ruang sosial tersebut di sekitar kawasannya. Permukiman tidak terencena memang tidak selalu mempunyai karakteristik yang sama di setiap daerah. Permukiman tidak terencana selalu dipengaruhi aspek yang berbeda-beda pada suatu kawasan. Tetapi, secara garis besar ciri-ciri permukiman tidak terencana dapat terlihat dengan memahami karakteristik yang timbul di kawasan tersebut. Karakteristik pada suatu permukiman tidak terencana dapat ditinjau dengan mengamati beberapa faktor, antara lain: (1) Kepemilikan tanah, (2) Struktur dan fasilitas sosial, (3) Infrastruktur, (4) Ekonomi dan finansial, serta (5) Sosial-budaya (Onyekachi, 2014). Karakteristik pada permukiman tidak terencana dapat diamati dari beberapa faktor yang terdapat di daerah tersebut. Walaupun setiap permukiman tidak terencana mempunyai karakteristik yang berbeda dengan area lain, tetapi ciri khas umum tersebut dapat menjadi suatu acuan dalam menilai suatu 11

6 12 permukiman tersebut dibangun tidak terencana. Faktor kepemilikan tanah adalah salah satu hal paling umum yang dapat diamati dari permukiman tidak terencana. Pada dasarnya, pemerintah memiliki lahan yang sangat banyak. Beberapa digunakan untuk pembangunan suatu kawasan secara berkelanjutan dan ada juga yang bersifat pribadi. Adapun, kepemilikan lahan dari pemerintah tersebut tentunya sudah mempunyai perencanaan dan pengembangan kawasan yang lebih baik. Tetapi, pada perencanaan suatu kawasan tersebut tentu tidak langsung dapat diwujudkan oleh pemerintah karena adanya permasalahan mengenai pendanaan dan persetujuan. Sehingga, dengan tidak adanya kejelasan mengenai suatu lahan yang dimiliki pemerintah para penduduk semakin terdesak akan kebutuhan tempat tinggal mulai menempati ruang-ruang yang berpotensi untuk ditinggali. Dengan dibangunnya permukiman di daerah tersebut, tentu para penghuni tidak mempunyai surat atas kepemilikan tanah karena pada dasarnya lahan yang mereka gunakan tidak dan atau belum diperuntukkan sebagai permukiman yang resmi oleh pemerintah. Selain itu, faktor struktur juga terlihat pada bangunan-bangunan di permukiman tidak terencana. Bangunan pada permukiman tersebut, umumnya dibangun secara tidak permanen dan tidak sesuai standar perumahan. Adapun fasilitas sosial sering sekali tidak dibangun secara layak untuk memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Sehingga, suatu ruang untuk beraktifitas atau interaksi sosial antar penghuni setempat hanya terbentuk secara sederhana. Infrastuktur yang kurang memadai juga terlihat pada permukiman yang tidak terencana. Hal tersebut didorong oleh faktor kepemilikan tanah yang tidak 12

7 13 resmi, sehingga menimbulkan rasa takut akan penghuni lokal untuk menuntut perbaikan infrastuktur yang lebih baik di daerahnya oleh pemerintah. Adapun hal tersebut terjadi, juga didorong oleh tingkat ekonomi dan finansial yang rendah pada penghuni setempat. Sehingga, mereka tidak dapat memperbaiki infrastruktur daerahnya maupun ruang huniannya. Sosial-budaya juga tidak dapat dipisahkan dari faktor terbentuknya suatu permukiman tidak terencana. Umumnya, suatu permukiman tidak terencana dihuni oleh penghuni yang mempunyai persamaan sosial maupun budaya. Sebagai contoh, adanya suatu perkampungan yang dihuni oleh mayoritas suku maupun suatu etnik atau permukiman yang sebagian besar ditempati oleh masyarakat yang bermata pencaharian tertentu. Suatu permukiman tidak terencana juga dapat berkembang semakin besar apabila tidak adanya kebijakan yang jelas dalam mengatasi permasalahn tersebut. Salah satu contohnya, terdapat permukiman yang tumbuh secara tidak terencana pada kota Kaludjerica, Serbia. Struktur perkotaan pada Kaludjerica terjadi secara spontan dan tidak beraturan. Tidak ada bentuk yang pasti dalam mengatur arah pembangunan permukiman di area tersebut. Bentuk dari blok-blok perumahan terjadi secara tidak teratur, ukuran lahan yang berbeda-beda, orientasi bangunan yang tidak tepat, dan posisi antar rumah yang tidak jelas. Sehingga, privasi terhadap antar ruang hunian sangat ada yang membatasi (Radulovic dkk, Hal 7/13). Pola permukiman dapat dilihat pada gambar 2.1. Pada permukiman tidak terencana tersebut, dapat terlihat jelas bahwa pola yang terbentuk terjadi secara abstrak. Permukiman tumbuh secara 13

8 14 spontan pada area-area yang masih kosong dengan tidak menggunakan perencanaan yang seusai terlebih dahulu. Pola sirkulasi jalan juga terbentuk secara tidak beraturan dan tidak adanya pengaturan yang jelas pada sistem sirkulasi. Gambar 2.1 Area Permukiman Tidak Terencana di Kaludjerica, Serbia (Sumber : Republic geodetic authority of Serbia) Selain itu, area hunian tidak dilengkapi dengan area terbuka atau halaman pada bangunannya. Pada sirkulasi juga terlihat tidak adanya jalur pedestrian yang dirancang. Bangunan rumah dan jalan juga tidak mempunyai batas maupun standar jarak yang harus dipenuhi. Adapun, susunan bangunan terbentuk secara tidak teratur dan tidak mempunyai orientasi yang jelas serta antar bangunan tidak mempunyai privasi yang terjaga. Sebagai contoh, dalam satu blok susunan bangunan rumah dapat saling berhadapan, sejajar maupun berbentuk secara diagonal. Sehingga, ruang-ruang 14

9 15 kosong akan terbentuk karena tidak adanya pengaturan akan posisi bangunan untuk mendapatkan area yang sesuai dan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. 2.2 Keadaan Sosial di Permukiman Tidak Terencana Dalam suatu permukiman tidak terencana, keadaan sosial dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya daerah tersebut. Keadaan sosial tersebut dapat didorong oleh persamaan perilaku, aktivitas ekonomi maupun interaksi antar penghuni yang kemudian membentuk suatu ruang hunian (Hurskainen, 2004). Perbedaan kriteria pada suatu permukiman tidak terencana terlihat pada aspek fisik, hubungan spasial, sosial dan perilaku penghuni. Kenyataannya, pertumbuhan penghuni ilegal terjadi sangat pesat dengan menempati area tertentu maupun membangun tempat tinggal permanen. Populasi yang berkembang umumnya didukung oleh keadaan sosial dan latar belakang ekonomi yang sama. Sehingga, setiap permukiman tentu mempunyai karakteristik yang berbeda dalam membentuk area huniannya. Dalam suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana sebagian besar didominasi oleh suatu persamaan keadaan sosial didalamnya. Adanya hubungan spasial membentuk suatu ruang yang dapat digunakan para penghuni untuk berinteraksi atau sebagai area hunian. Pertumbuhan permukiman tidak terencana juga akan mengalami peningkatan apabila terdapat persamaan sosial pada penghuninya. Semakin banyak pertumbuhan populasi pada suatu kawasan juga akan mempengaruhi 15

10 16 perkembangan permukiman tidak terencana. Keadaan sosial sering sekali membentuk suatu ruang yang kemudian berkembang menjadi permukiman yang tidak terencana. Pada permukiman tersebut, tentu akan ditemukan pola-pola yang berkaitan dengan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan dan bentuk permukiman. Selain itu, setiap daerah juga akan akan mempunyai pola yang berbeda karena dapat dipengaruhi lingkungan, topografi lahan maupun fungsi yang berbeda. Adanya perkembangan suatu permukiman yang tidak terencana pasti terjadi secara spontan dan tidak mempunyai perencanaan maupun pengaturan terlebih dahulu. Walaupun, pada dasarnya suatu permukiman tidak terencana terjadi atas persamaan keadaan sosial, tetapi tidak akan pernah ditemukan karakteristik yang benar-benar identik pada kawasan-kawasan tersebut (Fernandez, 2002). Gambar 2.2 Pola Grid di permukiman kumuh, Lima, Peru (Sumber: Fernandez, 2002) Pada permukiman tersebut terlihat jelas adanya pola permukiman yang terjadi membentuk persegi panjang mengikuti garis-garis jalan (gambar 2.2). Susunan pada 16

11 17 area hunian juga teratur dan berorientasi ke jalan. Tetapi, secara keseluruhan pola grid tersebut tidak terjadi secara teratur dan lurus karena adanya kondisi lingkungan yang tidak mendukung pola tersebut. Sehingga, kawasan tersebut terlihat membentuk sebagian pola grid teratur dengan persegi dan terdapat juga grid yang tidak lurus. Gambar 2.3 Pola grid permukiman kumuh Tarna Rosa, Lima, Peru. (Sumber: Fernandez, 2002) Pada contoh permukiman lainnya yang terlihat pada gambar 2.3, sangat jelas terlihat pola grid yang teratur membentuk ruang-ruang hunian secara persegi panjang. Sirkulasi jalan terbentuk secara teratur dan saling berhubungan menjadikan akses pada daerah tersebut lebih mudah untuk dijangkau. Adapun, ruang-ruang hunian berorientasi pada sirkulasi jalan. Sehingga, setiap bangunan akan mendapatkan posisi bangunan yang menghadap ke jalan. Dengan adanya pola grid yang jelas akan membentuk sudut-sudut jalan yang akan banyak dilewati. Pada permukiman tersebuta 17

12 18 tersebut area hunian terbagi menjadi 2 blok permukiman. Salah satu blok terbentuk menjadi pola persegi panjang dan mempunyai akses sirkulasi yang sejajar dan jelas. Gambar 2.4 Pola grid pada permukiman kumuh Dos de Mayo et Primero de Mayo Slums, Lima Peru (Sumber: Fernandez, 2002) Kemudian, terdapat 2 pola grid yang terbentuk pada kawasan yang terlihat pada gambar 2.4. Pola grid yang sejajar telihat pada sisi permukiman di bagian kiri, sedangkan pada area kanan terbentuk garis pola yang tidak sejajar. Pola pada area bagian kanan terbentuk secara abstrak dan tidak berbentuk persegi. Adapun, ruang hunian yang terbentuk pada area kanan, terlihat mempunyai dmensi yang berbedabeda. Sirkulasi pada daerah tersebut juga terbentuk secara abstrak karena mengikuti bentuk lahan yang tidak lurus. Gambar 2.5 Pola permukiman kumuh Cerro El Agustino dan Santa Clara de Bella Luz Slums di Lima Peru. 18

13 19 (Sumber: Fernandez, 2002) Selanjutnya pada permukiman kumuh lainnya yang terdapat di Lima, Peru terbentuk pola yang berbeda yaitu terbentuk secara organik (gambar 2.5). Pola organik yaitu pertumbuhan permukiman yang terjadi secara alami. Pola dari ruangruang hunian dan sirkulasi terbentuk secara abstrak. Tidak ada pola grid yang teratur pada permukiman tersebut. Dimensi-dimensi dari ruang hunian yang terbentuk juga terjadi secara tidak teratur. Gambar 2.6 Pola linear pada permukiman kumuh di Mamede Salvador de Bahia Brazil (Sumber: Fernandez, 2002) Pada gambar 2.6, terlihat pola yang terbentuk merupakan permukiman yang terjadi dengan mengikuti tofografi lahan. Adapun ruang hunian dan sirkulasi jalan terbentuk dengan adanya bentuk kontur yang berbeda-beda pada kawasan tersebut. Ruang hunian dibangun mengelilingi garis kontur di kawasan tersebut. Ruang hunian yang terbentuk mengikuti garis kontur. Semakin rendah ketinggian kontur tanah akan 19

14 20 semakin banyak dibangun ruang hunian dan begitu juga sebaliknya. Sehingga terlihat pada gambar tersebut, di garis kontur yang lebih tinggi bangunan juga semakin sedikit ditemui. Adapun akses jalan yang lebih besar untuk dilalui terdapat pada ketinggian yang lebih rendah. Maka dari itu, terlihat bangunan-bangunan juga lebih banyak tumbuh didaerah dengan ketinggian rendah dan dekat dengan jalan. Gambar 2.7 Pola radial pada permukiman kumuh di Vila Natal (Sumber: Physical And Spatial Characteristic of Slum Territories Vulnerable to Natural Disaster) Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.7, sebagian besar bangunan berorientasi ke kontur yang lebih tinggi. Pola yang terbentuk yaitu radial, dengan adanya ruang-ruang yang terbentuk dengan pola bertingkat sesuai dengan ketinggian tanah yang berbeda. Pola radial membagi 5 blok permukiman secara tegak lurus walaupun tofografi pada lahan tidak rata. Pada permukiman tersebut, dapat terlihat pola seperti terasering yang disusun bertingkat dan sesuai dengan ketinggian konturnya. 20

15 21 Gambar 2.8 Pola paralel yang mengikuti garis kontur. (Sumber: Fernandez, 2002) Pada permukiman yang terlihat pada gambar 2.8, ruang hunian akan terbentuk secara diagonal dari garis kontur. Sehingga, ruang hunian yang tercipa akan mempunyai kemiringan yang sama dengan level kontur. Permukiman ini tidak mengikuti garis kontur secara horizontal, tetapi membentuknya dengan garis vertikal. Adapun, ruang yang terbentuk umumnya tidak dibangun secara berdekatan tetapi hanya berdiri beberapa rumah pada ketinggian tertentu. Dari beberapa contoh tersebut, dapat dilihat banyaknya pola-pola yang terbentuk pada permukiman kumuh yang terjadi secara tidak terencana. Namun, tidak semua permukiman kumuh mengakomodasi wujud kemiskinan pada perkotaan dan atau dengan kata lain semua penduduk setempat selalu miskin. Dalam menghadapi tantangan dari daerah kumuh, peraturan yang berhubungan dengan keberlanjutan kondisi permukiman harus memiliki sistem yang jelas. Hal tersebut dapat dilakukan 21

16 22 dengan cara mengamati aktifitas sosial yang berjalan di daerah tersebut, melakukan pendekatan dengan penghuni lokal dan merencanakan peningkatan dari ruang hunian, infrastruktur dan kondisi lingkungan (Onyekachi, Hal 424). Pada dasarnya, suatu permukiman yang terbentuk secara tidak terencana selalu dikaitkan dengan sosial-ekonomi dari penghuni setempat. Dalam hal ini, sebagian besar penghuni dari permukiman tersebut berasal dari tingkat ekonomi yang rendah. Tetapi, bukan berarti pada setiap permukiman tidak terencana selalu menggambarkan wujud kemiskinan pada kota yang ditempatinya. Permukiman tidak terencana dapat terbentuk dari berbagai alasan dan tidak hanya berasal dari masalah perekonomian. Keadaan sosial tentu memberi pengaruh pada terbentuknya permukiman tersebut, tetapi tetap tidak dapat dijadikan alasan utama. Pemerintah juga mempunyai andil atas terbentuknya permukiman tidak terencana. Hal tersebut dapat dimulai dengan tidak adanya perencanan yang tepat atas suatu lahan maupun penangaan dan solusi atas pertumbuhan populasi yang semakin banyak. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya pendekataan pada penghuni dari permukiman tidak terencana. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, sehingga kemudian dapat mencari solusi untuk memperbaiki maupun melakukan perencanaan pada daerah tersebut. Tetapi, sebagian besar permasalahan atas suatu permukiman tidak terencana selalu dapat mengandalkan peran pemerintah dalam mencari solusi. Sering sekali suatu permukiman tidak terencana mulai terbentuk menjadi lebih besar tanpa terdapat peran pemerintah dalam pengembangannya. Para penduduk suatu permukiman tentu tidak 22

17 23 dapat terus menggantungkan setiap kebutuhan pada pemerintah maupun otoritas lokal. Penduduk juga diharuskan memiliki pengetahuan akan permasalahan, penyebab dan solusi yang memungkinkan untuk daerah huniannya. Penduduk tentu mempunyai kesempatan dalam memanfaatkan dan mengolah ruang hunian mereka. Penduduk juga tetap memerlukan pengawasan, pelatihan maupun bimbingan dari pihak berwenang. Hal tersebut dilakukan, agar penduduk suatu permukiman dapat mengambil langkah dan cara sendiri untuk memperbaiki daerahnya, tetapi masih tetap berada pada peraturan yang telah disepakati (Hurskainen, 2004). Pada permukiman tidak terencana, sering sekali ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan infrastuktur di kawasannya. Hal tersebut terjadi karena suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu memerlukan fasilitas-fasilitas sosial yang sebelumnya tidak dirancang. Sehingga, ketika suatu permukiman itu mulai berkembang, sangat diperlukan adanya infrastruktur yang mendukung dan fasilitas sosial yang memadai. Tetapi, pada suatu permukiman tidak terencana hal tersebut tidak direncakanan terlebih dahulu. Para penghuni hanya berfikir untuk membangun huniannya dan tidak merencanakan untuk mengatur ruang-ruang publik maupun sarana yang diperlukan nantinya. Sehingga, ketika suatu permukiman tidak terencana kemudian mengalami suatu kebutuhan ataupun permasalahan, pemerintah tidak dapat selalu memberikan bantuan langsung pada daeah tersebut. Hal tersebut juga didasari atas kepemilikan lahan yang tidak resmi oleh para penghuni. Sehingga, sering sekali pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi 23

18 24 permasalahan. Maka dari itu, para penghuni setempat perlu memahami permasalahan yang terjadi di daerahnya sendiri agar solusi bagi ruang hunian tersebut dapat ditemukan. 2.3 Pengaruh Aspek Ekonomi Terhadap Terbentuknya Permukiman Tidak Terencana Pada permukiman tidak terencana tentu terbentuk melalui alasan-alasan yang mempengaruhinya. Aspek ekonomi turut memberikan suatu alasan dalam terbentuknya permukiman yang tumbuh secara tidak terencana. Adanya suatu perubahan yang terjadi pada suatu kawasan turut memberi peran dalam pertumbuhan permukiman tersebut. Salah satu faktor tersebut adalahnya peningkatan migrasi pada suatu kawasan. Perubahan yang menyebabkan peningkatan migrasi umunya terjadi akibat adanya peluang pekerjaan baru berdasarkan dua sudut pandang. Pertama, adanya lapangan pekerjaan baru memberikan kesempatan bagi para pendatang untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik dari segi ekonomi. Kedua, apabila diamati melalui perspektif berbeda dengan adanya para pendatang menjadikan populasi manusia di kawasan tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut yang dapat memberikan pengaruh pada terciptanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal para pendatang. Sehingga, dalam memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal diwujudkan dengan cara mencari area hunian yang dirasa tepat sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka (Rani & Shylendra, 2002). Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan permukiman tidak terencana adalah adanya 24

19 25 peningkatan migrasi ke daerah perkotaan. Migrasi tersebut dapat memberikan dampak positif maupun negatif dalam mengembangkan suatu kawasan. Pada dampak positif, adanya migrasi akan memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para pendatang. Hal tersebut tentu akan berpotensi bagi kehidupan para imigran untuk memperoleh penghidupan dari segi perekonomian yang lebih baik. Tetapi, dampak negatif dari peningkatan migrasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan permukiman yang tidak terencana. Para pendatang yang mengharapkan penghidupan yang lebih layak tentu akan memerlukan ruang-ruang untuk tempat tinggal mereka. Selain itu, semakin banyaknya para pendatang yang terjadi akibat perkembangan suatu kawasan akan semakin mendesak keberadaan masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal yang resmi untuk meninggalkan daerahnya. Hal itu dapat terjadi karena daerah yang mereka tempati akan diambil alih oleh para perancang untuk dijadikan lahan perumahan maupun pembangunan yang lain. Sehingga, tercipta dorongan untuk membangun ruang baru pada daerah-daerah yang berpotensi untuk ditempati. Pengaruh aspek ekonomi juga tidak hanya akan membentuk ruang hunian pada permukiman. Terdapat hubungan positif yang secara signifikan antara pola pergerakan pada pejalan kaki dan akses spasial yang dipengaruhi interaksi sosial yang berhubungan dengan aspek ekonomi pada penghuni di permukiman. Adanya pengaruh aspek ekonomi juga dapat terlihat pada pola jalan yang terbentuk. Sebagai contoh, terdapat perbandingan pada permukiman tidak terencana dan permukiman terencana di Cairo. Ezbet bezkhit adalah permukiman tumbuh pada area yang tidak 25

20 26 direncanakan pada area gurun. Pada permukiman tidak terencana tersebut, interaksi yang terjadi akibat adanya ruang komersil yang terdapat di sekitar area hunian cenderung lebih banyak. Sedangkan pada Abu Qatada, yang merupakan permukiman resmi di lahan pertanian, pergerakan pejalan kaki hanya terlihat lebih banyak pada saat ingin menuju ke kota daripada di sirlukasi sekitar tempat tinggal (Mohamed & Mohareb, 2012). Pada gambar 2.10, terlihat perbedaan pola jalan yang terbentuk pada kedua permukiman tersebut. Pada permukiman yang tidak terencana terlihat bahwa pola jalan yang terbentuk tidak terdapat pengaturan maupun perancangan sebelumnya. Sehingga, pola yang terbentuk terlihat abstrak dan tidak beraturan. Berbeda dengan permukiman terencana yang pada pola jalan terlihat lebih teratur dan berbentuk grid. Akses pada jalan utama juga diatur sejajar dan permukiman membentuk pola persegi panjang dengan mengikuti sirkulasi. Gambar 2.10 Pola jalan pada permukiman tidak terencana Ezbet Bezkhit (Kiri) dan Pola jalan pada permukiman terencana (Abu Qatada). (Sumber: Mohamed & Mohareb, 2012) 26

21 27 Tetapi, selain pola jalan yang terbentuk berbeda di kedua permukiman adanya pola jalan yang terbentuk juga berbeda di kedua permukiman. Terdapat perbedaan interaksi dan pergerakan pejalan kaki yang menggunakan ruang sirkulasi tersebut. Hal tersebut dapat dilihat pada perbandingan di kedua area yang terdapat di gambar Gambar Pergerakan dan interaksi penghuni pada area jalan yang terlihat pada Ezbet Bezkhir (kiri) dan Abu Qatada (kanan) (Sumber: Mohamed & Mohareb, 2012) Pada area sirkulasi di kedua permukiman tersebut, terlihat perbedaan jumlah dan tempat-tempat terjadinya interaksi dari penghuni setempat. Pada permukiman yang tidak terencana, pergerakan pengguna jalan tersebar hampir menyeluruh pada kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh pola sirkulasi yang tidak teratur, sehingga pergerakan pada daerah tersebut menyebar kearah yang berbeda-beda menuju akses jalan yang lebih besar. Interaksi juga terjadi di beberapa titik permukiman dan semakin banyak terdapat pada akses jalan menuju kota. Pada permukiman kumuh, 27

22 28 sebagian besar pengguna jalan berasal dari orang dewasa, tetapi ada titik yang didominasi remaja dan seimbang dengan anak-anak. Sedangkan pada permukiman yang terencana, interaksi lebih banyak terjadi pada sirkulasi jalan yang lebih besar. Sebagian besar pengguna jalan melakukan interaksi pada jalan akses menju ke kota. Pengguna jalan juga terlihat didominasi oleh orang dewasa. Para remaja dan anakanak tidak pernah lebih dominan dalam melakukan interaksi di ruang sirkulasi tersebut. Sehingga, dapat terlihat bahwa pada permukiman tidak terencana, penghuni setempat cenderung lebih banyak berinteraksi maupun melakukan pergerakan pada akses yang mereka miliki. Sedangkan pada permukiman terencana, interaksi hanya terjadi pada beberapa titik yang terdapat pada akses jalan besar menuju kota. Dari hal tersebut, dapat dilihat perbedaan gender juga mempengaruhi adanya ruang-ruang yang digunakan sebagai tempat berinteraksi. Interaksi yang terjadi juga terdapat pada ruang-ruang komersil yang terdapat pada permukiman tersebut. Sehingga, aktifitas ekonomi juga tidak dapat dipisahkan dalam terbentuknya suatu ruang interaksi. Suatu bentuk perkotaan ataupun permukiman disatukan dengan adanya interaksi simbiosis dari pembangunan infrastruktur dan aktifitas ekonomi dengan penghuni setempat. Interaksi ini secara sistematis terjadi karena adanya kepentingan dari penghuni setempat untuk terus mengembangkan daerahnya (Bessusi dkk, 2010). Suatu bentuk permukiman sering sekali terjadi karena adanya interaksi, seperti pada permukiman tidak terencana di Kairo, interaksi terjadi pada area sirkulasi dan juga ruang-ruang komersilnya. Aktifitas ekonomi juga selalu berkaitan dengan terbentuknya ruang dan 28

23 29 kemudian menjadi suatu permukiman. Dengan adanya aktifitas ekonomi, penghuni setempat juga akan membutuhkan fasilitas-fasilitas yang mendukung. Sehingga, seiring berjalannya waktu suatu permukiman tidak terencana akan semakin mengembangkan daerahnya agar terus mendukung aktifitas ekonomi mereka. Tentu dari hal tersebut, dapat terlihat dalam pengembangan permukiman terdapat pengaruh dalam membentuk suatu ruang. Adanya faktor yang mempengaruhi dapat terkait dengan sistem budaya, politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda di dunia. Dengan demikian, tentu setiap permukiman mempunyai pola yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tempat ke tempat lain maupun waktu ke waktu. Oleh karena itu, sangat penting penghuni suatu permukiman dalam mengatur hubungan spasial antar area hunian dengan area hunian lainnya berdasarkan aspek jarak, perbedaan fungsi, aspek sosial, ekonomi dan pengaturan lainnya (Sarkar, Hal 1). Adanya aspek yang mempengaruhi terbentuknya suatu ruang hunian tentu menjadikan suatu permukiman mempunyai pola-pola yang berbeda dengan yang lain. Pola yang terbentuk pada suatu permukiman pada dasarnya dipengaruhi oleh keadaan sosial pada kawasan tersebut. Dalam suatu permukiman, tentu memerlukan suatu hubungan spasial antar area hunian lainnya. hal tersebut dilakukan agar terjalin interaksi sosial pada penghuni area tersebut. Adapun suatu area hunian tentu terbentuk melalui aspek yang berbeda-beda. Perbedaan jarak yang dapat diakses atau sistem sirkulasi yang terdapat di suatu permukiman formal tentu akan berbeda apabila dibandingkan dengan permukiman yang terbentuk secara tidak terencana. Area 29

24 30 hunian yang terbentuk pada permukiman tidak terencana juga akan mempunyai perbedaan fungsi. Sebagai contoh, para permukiman formal area hunian hanya digunakan untuk tempat tinggal, tetapi pada permukiman tidak terencana dapat digunakan sebagai hunian dan juga ruang berkumpul. Selain itu, tentu pada permukiman tidak terencana aspek sosial-ekonomi akan terlihat jelas apabila dibandingkan dengan permukiman formal. Pada umumnya, kondisi ekonomi yang rendah menjadi faktor utama yang membentuk suatu permukiman tidak terencana. Sehingga, pada ruang hunian di kedua permukiman tersebut juga akan mudah terlihat perbedaannya. Sebagai contoh pada permukiman tidak terencana, bangunan yang terdapat cenderung dibangun tidak permanen dan juga berada pada lokasi yang tidak direncanakan sebagai area perumahan. 2.4 Aspek Lainnya Dalam Membentuk Permukiman Tidak Terencana Suatu permukiman yang tumbuh secara tidak terencana tentu tidak hanya didorong oleh salah satu aspek tertentu saja. Permukiman tersebut akan terbentuk melalui aspek yang saling berkaitan dengan kondisi maupun situasi yang berbeda yang dapat timbul dari lingkungan maupun penghuni lokal. Sehingga, dalam terbentuknya suatu permukiman akan tercipta pengelompokkan ruang hunian, ruang berkumpul, pola jalan maupun bentuk permukiman yang berbeda-beda di setiap tempat. Pengelompokkan ruang hunian terjadi oleh pengaruh aspek-aspek kehidupan. Aspek tersebut adalah aktivitas ekonomi, sistem sirkulasi, komunikasi, sistem politik, administrasi, budaya dan aktifitas sosial (Sarkar, Hal 1). Aspek kehidupan 30

25 31 selalu mempengaruhi aktifitas maupun perilaku manusia. Sebagai contoh, aktifitas ekonomi akan mendorong seseorang untuk terus memenuhi kebutuhan dengan cara meningkatkan mata pencahariannya yang secara finansial dapat memenuhi setiap keperluannya sehari-hari. Selain itu, aspek ekonomi sering sekali menjadi tolak ukur seseorang dalam menciptakan hubungan spasial yang terjadi di lingkungannya. Pada suatu permukiman yang tidak terencana, sering sekali dilatarbelakangi oleh penghuni dengan tingkat ekonomi yang rendah. Sehingga, terbentuk suatu ruang yang dihuni oleh penghuni dengan persamaan keadaan sosial. Pengelompokkan ruang hunian, juga dapat terbentuk dari sistem sirkulasi di permukiman tersebut. Selain itu, suatu perumahan atau permukiman pada umumnya memerlukan sistem pengaturan secara luas seperti, pengaturan pada zona hunian, lingkungan atau ruang terbuka serta pengaturan jaringan jalan atau jangkauan atau akses ke daerah lain (Rapoport, 2006). Hubungan spasial tentu terjadi dengan adanya komunikasi antar penghuni setempat. Komunikasi yang terjalin tentu dapat terjadi dengan adanya interaksi yang terjadi secara spontan maupun saat direncanakan. Adanya komunikasi yang terjadi sering sekali menciptakan ruang sosial baru di suatu kawasan. Sebagai contoh, dengan adanya sirkulasi yang tidak terlalu besar di suatu permukiman tidak terencana, maka memungkinkan beberapa penghuni akan bertemu saat mengakses jalan tersebut. Dengan adanya pergerakan tersebut, tentu akan menciptakan komunikasi diantara mereka. Komunikasi yang terjadi pada area sirkulasi tersebut tentu sudah tercipta ruang sosial secara tidak langsung karena adanya interaksi antar penghuni. Maka dari 31

26 32 itu, komunikasi sangat berperan dalam membentuk hubungan spasial pada permukiman tidak terencana. Pengaturan-pengaturan yang baik pada suatu permukiman tidak terencana tentunya juga akan membentikan manfaat apabila daerah tersebut dikembangkan menjadi kawasan permukiman yang resmi. Adanya pengembangan perumahan maupun permukiman secara besar-besaran di area perkotaan, memerlukan konsep yang tepat untuk mencapai tujuan. Konsep tersebut dilakukan untuk mendukung pengembangan berkelanjutan, integrasi antar lingkungan sekitar dengan kota, kawasan maupun desa. Sehingga, apabila direncanakan dengan tepat maka akan tercipta suatu konsep yang dapat menghubungkan pengaturan pada modal sosial dan pemberdayaan penghuni ilegal di suatu kawasan (Babei, Ahmad & Gill, 2012.). Sehingga, sangat diperlukan bantuan dari pemerintah tidak hanya dari segi perencanaan suatu akwasan. Tetapi, juga dapat memberikan suatu bimbingan maupun pengaturan bagi para penghuni permukiman tidak terencana. Hal in penting, agar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerahnya, mereka tetap berada pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga, ketika kawasan tersebut sudah mulai berkembang, tidak akan menimbulkan permasalahan baru dan juga dapat memberi kesempatan untuk mengembangkan daerahnya. 32

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kampung Badur merupakan permukiman yang berada di pinggiran sungai Deli di Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun, Medan. Daerah pinggiran sungai, umumnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan permukiman yang dihadapi kota kota besar di Indonesia semakin kompleks. Tingginya tingkat kelahiran dan migrasi penduduk yang tinggi terbentur pada kenyataan

Lebih terperinci

BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN

BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN BAB II RUANG BAGI KEHIDUPAN Untuk memperoleh hasil pemrograman yang maksimal, proses analisa yang dilakukan sebaiknya bersumber pada data yang tersusun dengan sempurna. Data yang sudah terkumpul kemudian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pasar Oeba selain sebagai layanan jasa komersial juga sebagai kawasan permukiman penduduk. Kondisi pasar masih menghadapi beberapa permasalahan antara lain : sampah

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR RUMAH SUSUN SEWA DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN KARANGANYAR

TUGAS AKHIR RUMAH SUSUN SEWA DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN KARANGANYAR TUGAS AKHIR RUMAH SUSUN SEWA DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN KARANGANYAR Diajukan sebagai Pelengkap dan Syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Muhmmadiyah Surakarta Disusun oleh

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN 5.1. Karakteristik Fisik Lingkungan Perumahan Pahandut Seberang

BAB V KESIMPULAN 5.1. Karakteristik Fisik Lingkungan Perumahan Pahandut Seberang BAB V KESIMPULAN Berdasarkan sejarah awal keberadaannya, Perumahan Pahandut Seberang merupakan perpaduan dari dua tipe kronologis. Tipe kronologis pertama dengan kedatangan kelompok etnis Dayak sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar; BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metoda Penentuan Lokasi Penelitian Dalam menentukan lokasi penelitian, lokasi harus mencakup seluruh kriteria yang terkait mengenai permukiman informal. Menurut United

Lebih terperinci

RIVERWALK SEBAGAI RUANG TERBUKA ALTERNATIF DI KAWASAN FLAMBOYAN BAWAH KOTA PALANGKA RAYA

RIVERWALK SEBAGAI RUANG TERBUKA ALTERNATIF DI KAWASAN FLAMBOYAN BAWAH KOTA PALANGKA RAYA Volume 6 / No.2, Desember 2011 Jurnal Perspektif Arsitektur RIVERWALK SEBAGAI RUANG TERBUKA ALTERNATIF DI KAWASAN FLAMBOYAN BAWAH KOTA PALANGKA RAYA Herwin Sutrisno, ST., MT 1 Abstrak Semakin padatnya

Lebih terperinci

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN Daerah pemukiman perkotaan yang dikategorikan kumuh di Indonesia terus meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Jumlah daerah kumuh ini bertambah dengan kecepatan sekitar

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA Vippy Dharmawan 1, Zuraida 2 1+2 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surabaya Jl. Sutorejo Nomor 59 Surabaya

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PROYEK

BAB III DESKRIPSI PROYEK 38 3.1 Gambaran Umum BAB III DESKRIPSI PROYEK Gambar 3. 1 Potongan Koridor Utara-Selatan Jalur Monorel (Sumber : Studi Pra Kelayakan Koridor 1 Dinas Perhubungan Kota Bandung Tahun 2014) Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk semakin meningkat dan tidak terkendali. Hal ini menyebabkan kebutuhan permukiman meningkat. Dengan kebutuhan permukiman yang meningkat,

Lebih terperinci

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo Felicia Putri Surya Atmadja 1, Sri Utami 2, dan Triandriani Mustikawati 2 1 Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Menurut Avelar et al dalam Gusmaini (2012) tentang kriteria permukiman kumuh, maka permukiman di Jl. Simprug Golf 2, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

`BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang `BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jakarta sebagai kota metropolitan dan ibukota negara menjumpai berbagai tantangan permasalahan. Salah satu tantangan tersebut adalah tantangan di bidang manajemen

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian tentang perilaku warga di rumah tinggal di kawasan pantai Purus kota Padang, maka telah di dapatkan jawaban tentang bagaimana orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

BAB I PENDAHULUAN. judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan mengemukakan hal yang melatar belakangi pengambilan judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan ruang lingkup yang menjadi batasan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri BAB V KESIMPULAN Perkembangan fisik Kota Bekasi paling besar terjadi akibat Industrialisasi dan juga Konsepsi Jabotabek. Pada awal pemerintahan Orde Baru melalui program Pelita yang salah satu tujuannya

Lebih terperinci

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah: Parkir adalah suatu kondisi kendaraan yang berhenti atau tidak bergerak pada tempat tertentu yang telah ditentukan dan bersifat sementara, serta tidak digunakan untuk kepentingan menurunkan penumpang/orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hampir seluruh kota di indonesia kini bersifat dualistik. Dualistik berarti telah terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Sujarto, 1981). Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997).

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengabaikan masalah lingkungan (Djamal, 1997). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sering mengalami permasalahan kependudukan terutama kawasan perkotaan, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi

Lebih terperinci

- BAB III - TINJAUAN KHUSUS

- BAB III - TINJAUAN KHUSUS - BAB III - TINJAUAN KHUSUS Pada Skripsi ini mengambil tema RUANG DAN BENTUK 3.1 Pengertian Umum 3.1.1 Ruang Ruang adalah sesuatu yang tersirat apabila kita bicarakan ukuran, jarak, gerak, bentuk dan arah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tantangan pembangunan di Indonesia saat ini adalah mengatasi pengangguran dan kesempatan-kesempatan kerja. Di Indonesia meningkatnya proses modernisasi yang

Lebih terperinci

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga

Lebih terperinci

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) Perancangan Kota CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) OLEH: CUT NISSA AMALIA 1404104010037 DOSEN KOORDINATOR IRFANDI, ST., MT. 197812232002121003 PEREMAJAAN KOTA Saat ini, Perkembangan

Lebih terperinci

MATA KULIAH PERENCANAAN TAPAK

MATA KULIAH PERENCANAAN TAPAK HANDOUT PERKULIAHAN MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU PROF. Dr. H. MAMAN HILMAN, MPd, MT. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen dengan tingkat kepadatan penduduknya yang mencolok, di mana corak masyarakatnya yang heterogen dan

Lebih terperinci

MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN TESIS OLEH INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK

MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN TESIS OLEH INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN TESIS OLEH INGGRID HOSIANNA SIMANJUNTAK 127020005 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014 MORFOLOGI KAMPUNG NELAYAN BELAWAN MEDAN TESIS Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PROPOSAL PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT JUDUL PENGABDIAN : PENDAMPINGAN MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN JEMBATAN DAN KIRMIR SUNGAI CIHALARANG KEL.SUKAPADA KEC. CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG LOKASI KEGIATAN :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan negara Indonesia yang lebih identik dengan perkembangan perkotaan, ternyata menimbulkan masalah permukiman yang lebih kompleks. Salah satu faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia. Seiring dengan rutinitas dan padatnya aktivitas yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah susun adalah sebuah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian diketahui telah terjadi suatu pola perubahan pada unit hunian rumah susun sewa Sombo. Perubahan terjadi terutama pada penataan ruang hunian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek

Lebih terperinci

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH. ISSN No. 2355-9292 Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang. BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Seiring dengan perkembangan Kota DKI Jakarta di mana keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah menjadi masalah dalam penyediaan hunian layak bagi masyarakat terutama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN 38 BAB V KONSEP PERANCANGAN Konsep dasar perancangan kampus sekolah seni rupa dan desain Indonesia yaitu keselarasan dengan lingkungan sekitar dimana berada dalam kawasan kampus Telkom. 5.1 Konsep Rencana

Lebih terperinci

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN 2.1 Lokasi Proyek Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi Campuran Perumahan Flat Sederhana. Tema besar yang mengikuti judul proyek

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan pertanyaan penelitian yaitu: mengetahui karakteristik

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Abstrak... Prakata... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Daftar Lampiran... Daftar Pustaka...

DAFTAR ISI. Abstrak... Prakata... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Daftar Lampiran... Daftar Pustaka... DAFTAR ISI Abstrak... Prakata... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Daftar Lampiran... Daftar Pustaka... i ii iv vi vii viii ix BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1-1 1.2. Perumusan Masalah..

Lebih terperinci

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Tujuan Perencanaan dan Perancangan Perencanaan dan perancangan Penataan PKL Sebagai Pasar Loak di Sempadan Sungai Kali Gelis Kabupaten Kudus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat, khususnya pada kota-kota yang mempunyai kegiatan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. pesat, khususnya pada kota-kota yang mempunyai kegiatan perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Perkembangan Kota Pekalongan Perkembangan kawasan perkotaan di Indonesia saat ini cukup pesat, khususnya pada kota-kota yang mempunyai kegiatan perekonomian utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat mendorong kebutuhan akan hunianpun semakin meningkat, Pesatnya jumlah penduduk di perkotaan akan berpengaruh langsung terhadap

Lebih terperinci

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE

BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE BAB II STEP BY STEP, UNDERSTANDING THE WHOLE PICTURE Pemograman merupakan bagian awal dari perencanaan yang terdiri dari kegiatan analisis dalam kaitan upaya pemecahan masalah desain. Pemograman dimulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Permukiman Padat Kumuh Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992, permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup

Lebih terperinci

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR Oleh: ADHITA KUSUMA DWI CAHYANI L 2D 098 402 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

JUDUL TESIS : Nama : Daniel NRM : PEMBIMBING :

JUDUL TESIS : Nama : Daniel NRM : PEMBIMBING : JUDUL TESIS : PEMBANGUNAN RUSUNAMI CITY PARK CENGKARENG DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN KAWASAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN Nama : Daniel NRM : 3208201836 PEMBIMBING : Prof. Ir. HAPPY RATNA S.

Lebih terperinci

BAB VI DATA DAN ANALISIS

BAB VI DATA DAN ANALISIS BAB VI DATA DAN ANALISIS 4.1 Analisa Kawasan Pemilihan tapak dikawasan Cicadas tidak lepas dari fakta bahwa Kawasan Cicadas termasuk kedalam salah satu kawasan terpadat didunia dimana jumlah penduduk mencapai

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh: JurnalSangkareangMataram 9 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH Oleh: Indah Arry Pratama Dosen Fakultas Teknik Universitas Nusa Tenggara Barat Abstrak: Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya faktor penarik suatu perkotaan dan faktor pendorong dari kawasan perdesaan menjadikan fenomena urbanisasi kerap terjadi di kota-kota di Indonesia. Harapan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kampung kota adalah fenomena yang timbul dari pesatnya pembangunan perkotaan akibat besarnya arus urbanisasi dari desa menuju ke kota. Menurut Rahmi dan Setiawan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1996, United Nations Centre for Human Programme (UNCHS/UN-HABITAT) untuk pertama kalinya mengembangkan Global Urban Indicator Program (GUIP). GUIP merupakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Medan merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir. Sebagian besar

BAB I. PENDAHULUAN. Medan merupakan suatu permukiman yang berada di daerah pesisir. Sebagian besar BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kampung Nelayan Belawan merupakan suatu permukiman tidak terencana yang terletak di Kelurahan Belawan Bahagia, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara.

Lebih terperinci

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 4 BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 1.1 Faktor Tapak dan Lingkungan Proyek Kasus proyek yang dibahas disini adalah kasus proyek C, yaitu pengembangan rancangan arsitektural model permukiman

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR Oleh: RINA AFITA SARI L2D 306 021 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN

BAB III PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN BAB III PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN A. Lokasi Kegiatan Program pengabdian pada masyarakat yang dilakukan di Kelurahan Sukapada merupakan program berkelanjutan yang dimulai sejak bulan Mei 2007. Pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Struktur penelitian ini berhubungan dengan ekologi-arsitektur yaitu hubungan interaksi ekosistem mangrove dengan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir

Lebih terperinci

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1. 2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1. 1 TINJAUAN UMUM Jalan lingkar adalah jalan yang melingkari suatu kawasan, yang berfungsi untuk mengalihkan sebagian arus lalu lintas terusan. Biasanya merupakan bagian jaringan jalan

Lebih terperinci

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV

Penjelasan Substansi. Dokumen Lengkap, ada pada BAB IV Kelurahan/Desa : Caile Kota/kabupaten : Bulukumba NO Substansi 1 Apa Visi Spatial yang ada di dalam RPLP? Bagaimana terapan visi tersebut ke dalam Rencana Teknis Penataan Lingkungan Permukiman kita? Status

Lebih terperinci

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado Windy J. Mononimbar Program Studi Arsitektur dan Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Seperti kota-kota besar lainnya yang berkembang menjadi sebuah metropolitan, Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat juga mengalami permasalahan serius

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan titik awal perubahan atau perkembangan sebuah kota yang ditandai dengan laju pertumbuhan kawasan urban. Laju pertumbuhan ini merupakan tolok ukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kota merupakan sarana untuk menuju perbaikan kualitas kehidupan bangsa secara bertahap. Pembangunan mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap manusia selalu membutuhkan adanya rekreasi dan Olah raga. Jakarta sebagai kota metropolitan kususnya di Jakarta utara, dimana perkembangan penduduknya sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan/aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Judul BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul Kampung Vertikal Kalianyar dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku 1.2 Pengertian Judul Kampung vertikal merupakan konsep hunian yang bertransformasi dari menjadi kampung yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Antara lain disebabkan adanya peluang kerja dari sektor industri dan perdagangan.

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan Karakteristik kawasan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta adalah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan terletak

Lebih terperinci

Elemen permukiman dengan ketidak layak hunian sedang. Lokasi

Elemen permukiman dengan ketidak layak hunian sedang. Lokasi Elemen permukiman dengan ketidak layak hunian sedang RW 3 Lokasi RW 9 RW 10 status lahan RT 1/RW 3 RT 1,2,3,4 Pembahasan Permukiman berdiri di lahan ilegal karena berada di lahan milik pemerintah di bantaran

Lebih terperinci

lib.archiplan.ugm.ac.id

lib.archiplan.ugm.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan dasar berupa pangan, sandang dan papan memiliki berpengaruh yang erat terhadap kelangsungan hidup manusia. Salah satu kebutuhan dasar berupa papan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORERIKAL PENDEKATAN ARSITEKTUR ORGANIK PADA TATA RUANG LUAR DAN DALAM HOMESTAY DAN EKOWISATA SAWAH

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORERIKAL PENDEKATAN ARSITEKTUR ORGANIK PADA TATA RUANG LUAR DAN DALAM HOMESTAY DAN EKOWISATA SAWAH BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORERIKAL PENDEKATAN ARSITEKTUR ORGANIK PADA TATA RUANG LUAR DAN DALAM HOMESTAY DAN EKOWISATA SAWAH 3.1. Tinjauan Pendekatan Arsitektur Organik 3.1.1. Definisi Arsitektur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PKL muncul sebagai salah satu bentuk sektor informal perkotaan. Rachbini dan Hamid (1994) menyebutkan bahwa sektor informal secara struktural menyokong sektor formal.

Lebih terperinci

Morfologi Spasial Lingkungan di Kawasan Malabar-Merbabu Malang

Morfologi Spasial Lingkungan di Kawasan Malabar-Merbabu Malang Morfologi Spasial Lingkungan di Kawasan Malabar-Merbabu Malang Previa Sandyangsani 1, Sigmawan Tri Pamungkas 2, Lisa Dwi Wulandari 2 1 Jurusan Arsitektur Fakultas/Teknik Universitas, Brawijaya Malang 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo)

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro (Dwihatmojo) BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Ruang terbuka merupakan ruang publik yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi, berolahraga, dan sebagai sarana rekreatif. Keberadaan ruang terbuka juga bermanfaat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab (V) Kesimpulan dan saran menjelaskan kesimpulan atas temuan penelitian berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan saran berdasarkan proses penelitian yang dilakukan untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat di ibukota berdampak pada peningkatan jumlah penduduk dan dinamika penggunaan lahan. Pertumbuhan sektor perdagangan, jasa dan industri mendominasi

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan Konsep dasar perancangan meliputi pembahasan mengenai pemanfaatan penghawaan dan pencahayaan alami pada City Hotel yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika dalam sebuah kota tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan yang membawa kemajuan bagi sebuah kota, serta menjadi daya tarik bagi penduduk dari wilayah lain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan permukiman padat huni di tepian sungai perkotaan merupakan bagian dari struktur kota yang menjadi komponen penting kawasan. Menurunnya kualitas ruang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penelitian disini ingin mencari suatu masukan bagi perancangan suatu wilayah yang berorientasikan pada pejalan kaki khususnya di daerah sekitar kawasan Prof. Soedharto,

Lebih terperinci

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi BAB III DESAIN RISET Dalam bab ini akan dibahas metodologi penelitian yang digunakan, unit analisis yang digunakan, data yang mendukung penelitian, pengumpulan data, lokasi penelitian, pemilihan sampel,

Lebih terperinci

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang

Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang Sirkulasi Bangunan Rumah Tinggal Kampung Kauman Kota Malang Rosawati Saputri 1, Antariksa 2, Lisa Dwi Wulandari 2 1 Mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, 2 Dosen Jurusan

Lebih terperinci