BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan kuman penyebab utama penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer, duodenal ulcer, gastric carcinoma dan primary gastric B-cell lymphoma. Infeksi H. pylori sering ditemukan juga pada beberapa kasus nonulcer dyspepsia dan merupakan prevalensi yang banyak ditemukan di dunia. Infeksi kronik dapat terjadi sampai beberapa tahun dan dapat menyebabkan perubahan di dalam mukosa gaster yang pada akhirnya dapat menyebabkan ulkus bahkan kanker gaster. Habitat kuman H. pylori terbatas pada sel mukosa tipe gaster, terutama daerah antrum dan ditetapkan paling sering pada lapisan paling dalam dari mukosa yang melapisi sel epitel serta tidak akan terlihat apabila mukosa masih menutupi sel epitel (Graham dan Graham, 2002; Liska, 2004; Gatta dkk., 2013). Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman berbentuk spiral pada mukosa lambung. Pada tahun 1893, seorang sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali diutarakan oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu 1

2 dinamakan Vibrio rugula. Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori. Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori (Holston, 2002). Infeksi H. pylori dan keluhan dispepsia merupakan dua fenomena yang umum terjadi pada komunitas besar. Beberapa penelitian dengan endoskopi mengevaluasi prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia non ulkus; menunjukkan bahwa kedua fenomena ini sering berhubungan, dengan rerata proporsi sekitar 50 60%pasien dengan dispepsia non ulkus menunjukkan adanya H. pylori di dalam lambung. Pada penelitian prevalensi tersebut juga dikatakan bahwa infeksi H. pylori pada individu tanpa gejala (asimtomatik) menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi pada pasien dengan gejala dispepsia non ulkus tersebut. Beberapa penelitian uji klinik juga menunjukkan adanya hubungan kausal antara terapi infeksi H. pylori dengan skor pengurangan gejala dispepsia. Akan tetapi hal ini masih kontradiksi (Liska, 2004). Prevalensi infeksi H. pylori sangat bervariasi antar negara maupun kelompok populasi dalam satu Negara. Hasil studi klinis di Indonesia 2

3 menunjukkan bahwa prevalensi H. pylori pada pasien dengan ulkus peptikum adalah %, dan pada pasien dispepsia non-ulseratif, prevalensi H. pylori menjadi 20-40%. Dalam studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia pada tahun , ditemukan bahwa prevalensi tertinggi di Yogyakarta (30,6%), dan terendah di Jakarta (8%). Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di RS. M. Djamil Padang yang menemukan prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 60% dengan uji serologis, dan 45% dengan uji histopatologis (Utia dkk., 2010). Secara keseluruhan prevalensi infeksi H. pylori mencapai 40%. Studi sero-epidemiologi beberapa kota di Indonesia didapatkan frekuensi IgG anti Hp positif yaitu Malang, Solo dan Medan (34-37%), Mataram 54%, Denpasar 35%, Surabaya 36%, Jakarta 50-67%, Jakarta 52,3%, dan Trenggalek 45,6% (Agung dkk., 2011). Laporan sementara dari studi epidemiologi di Jakarta oleh Divisi Gastroenterologi menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori sebesar 52,3% dari 310 pasien, sedangkan di Yogyakarta pada tahun 2009 sebesar 22,2% dari total pasien yang melakukan gastroskopi di RSUP Dr. Sardjito (Utia dkk., 2010; Triwikatmani, 2014). Terdapat beberapa regimen terapi eradikasi H. pylori yaitu terapi tripel (PPI dan 2 antibiotik), terapi quadrapel (PPI, 2 antibiotik dan bismuth subsalisilat), dan terapi sekuensial (PPI dan 3 antibiotik), dengan durasi 7-14 hari. Di Indonesia, salah satu kendala terapi tripel adalah tingginya angka kekebalan terhadap metronidazol. Dari 7 penelitian uji klinik dengan menggunakan plasebo dan koloidal bismuth subsitrat pada terapi dispepsia non ulkus, 4 penelitian 3

4 menunjukkan perkembangan gejala dispepsia non ulkus secara klinis signifikan dengan tingkat eradikasi H. pylori (Liska, 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori tidak berhubungan dengan perkembangan gejala dispepsia non ulkus. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada 12 bulan follow-up antara kelompok perlakuan (15%) dan kelompok plasebo (11%). Kedua kelompok menunjukkan tidak ada keluhan dispepsia pada akhir penelitian. Sampai saat sekarang ini tidak terdapat terapi infeksi H. pylori dengan tingkat keefektifan 100%. Beberapa antimikroba telah digunakan untuk terapi H. pylori dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda. Pada prinsipnya dalam eradikasi H. pylori harus menggunakan kombinasi obat-obat sinergistik yang dapat membunuh kuman H. pylori (Talley dkk., 1999; Soemohardjo, 2002). Dalam memberikan terapi eradikasi yang menggunakan gabungan obatobat anti infeksi sedapat mungkin ada 2 komponen aktifitas obat yang penting, yaitu obat-obat yang aktif intraluminal untuk membunuh kuman yang ada dalam mukus, dan komponen obat yang aktif secara sistemik. Obat bismuth bekerja secara intraluminal, sedangkan antibiotika berfungsi secara sistemik. Belakangan timbul konsep baru dalam terapi eradikasi, yaitu gabungan antara obat penghambat pompa asam dengan 2 jenis antibiotika yang lebih dikenal dengan terapi tripel. Konsep ini berdasarkan pengertian bahwa banyak antibiotika yang bekerja suboptimal pada ph rendah, ternyata dapat bekerja baik bila ph tersebut dinaikkan mendekati enam. Obat penghambat pompa asam yang sering digunakan adalah omeprazol (Marshall, 1993; Soemohardjo, 2002; Kho, 2010). 4

5 Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa khasiat omeprazol juga dapat menghambat kuman H. pylori, walaupun tidak dapat menimbulkan eradikasi. Bila diberikan dalam dosis 40 mg/hari untuk individu dewasa selama 2 minggu dan kemudian dilakukan biopsi dan pembiakan untuk kuman H. pylori, maka hasil biakan dapat negatif. Akan tetapi bila dilakukan biopsi dan biakan H. pylori satu bulan kemudian, hasilnya akan kembali positif. Oleh karena itu gabungan omeprazol dan antibiotika merupakan gabungan yang sinergistik (Soemohardjo, 2002). Keberhasilan eradikasi H. pylori dengan menggunakan berbagai rejimen sebenarnya dipengaruhi 2 faktor, yaitu tingkat kepatuhan pasien dan sensitivitas antibiotika yang digunakan. Kepatuhan pasien, pada prakteknya dipengaruhi secara langsung oleh jumlah obat yang harus diminum setiap hari. Apabila tingkat kepatuhan pasien rendah, ini akan mengakibatkan tingkat kesembuhan eradikasi H. pylori menjadi lebih rendah. Terapi tripel untuk eradikasi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan dan kesembuhan eradikasi H. pylori (Liska, 2004). Faktor lain yang berpengaruh pada keberhasilan eradikasi H. pylori adalah resistensi terhadap antimikroba yang digunakan. Masalah kekebalan H. pylori terhadap antimikroba mula-mula terjadi pada metronidazol. Di negara-negara barat,resistensi H. pylori terhadap antimikroba yang paling tinggi adalah jenis imidazol, klaritromisin (72,8%) dan metronidazol (86,4%). Di negara-negara sedang berkembang kekebalan terhadap metronidazol sudah mendekati 100%. 5

6 Salah satu kendala terapi tripel di Indonesia adalah tingginya angka kekebalan terhadap metronidazol (Soemohardjo, 2002; Gatta dkk., 2013). Dalam penelitian meta-analisis tentang eradikasi infeksi H. pylori yang dialukan oleh Gatta dkk.(2013) didapatkan hasil bahwa antara terapi eradikasi sequensial lebih baik dibandingkan terapi tripel (baik selama 7 hari ataupun 10 hari), namun pada terapi selama 14 hari terapi tripel lebih baik daripada sequensial namun tidak terlalu signifikan (81,3% banding 80,8%). Gatta dkk. (2013) juga menyebutkan bahwa sequensial terapi lebih baik dibandingkan dengan kuwadrapel terapi pada terapi selama 14 hari (86,2% banding 84,9%). Soemohardjo (2009) menyatakan bahwa terdapat konsensus nasional mengenai eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan bahwa eradikasi H. pylori : 1. Sangat dianjurkan pada ulkus duodeni, ulkus ventrikuli, pasca reseksi kanker lambung dini, dan limfoma MALT. 2. Dianjurkan pada dispepsia tipe ulkus, gastritis kronik aktif berat, gastropati AINS (NSAID), dan gastritis hipertrofik. 3. Tidak dianjurkan pada penderita asimtomatik. Dari latar belakang tersebut dapat diketahui bahwa banyaknya pilihan kombinasi terapi eradikasi H. pylori, baik dual, teripel ataupun kuwadrapel, serta masih terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait pemberian antibiotik pada pasien terinfeksi H. pylori dengan diagnosis atau keadaan yang berbeda, oleh karena itu hal tersebut akan mempengaruhi pola pengobatan dalam pemilihan 6

7 terapi eradikasi dan luaran klinis (terutama gejala yang terkait dengan peningkatan asam) yang dihasilkan pada pasien yang terinfeksi H. pylori. Terapi eradikasi yang diberikan harus tepat sesuai dengan kondisi pasien dikarenakan semakin meningkatnya tingkat resistensi antibiotik, sehingga diperlukan modalitas tata laksana terapi yang tepat dan menunjukkan luaran klinis yang membaik berdasarkan konsensus para ahli dan pola pengobatan yang sesuai di setiap rumah sakit. Hubungan antara H. pylori dan keluhan yang dirasakan oleh pasien sangat penting untuk diteliti, karena sebagian besar pasien positif H. pylori merasakan keluhan dispepsia. Namun sampai saat ini di Indonesia jarang dilakukan penelitian terkait penurunan gejala dispepsia pada pasien terinfeksi H. pylori setelah dilakukan terapi. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta? b. Bagaimanakah luaran klinis setelah diberikan terapi pada pasien yang terinfeksi H. pylori? 7

8 C. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan asli karya penulis sendiri dan bukan merupakan plagiat dari hasil penelitian orang lain. Penelitian tentang terapi eradikasi H. pylori pernah dilakukan oleh: a. Gottrand dkk. (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Omeprazole Combined with Amoxicillin and Clarithromycin in the Eradication of Helicobacter pylori in Children with Gastritis: A Prospective Randomized Double-Blind Trial. Gottrand dkk. (2001), melakukan penelitian dengan terapi tripel (omeprasol, amoksisilin, klaritromisin) dan terapi dual (amoksisilin dan klaritromisin) selama 7 hari. Pada penelitian ini yang dinilai adalah tingkat eradikasi, efek samping dan resistensi antibiotika. Alat diagnostik yang digunakan adalah histopatologi, tes urese cepat, C-urea breath test. Pada diagnosis pertama digunakan pemeriksaan histopatologi dan tes urese cepat, dan pada saat evaluasi setelah akhir terapi digunakan alat diagnostik C-urea breath test. Hasil dari penelitian tersebut yaitu, eradikasi H. pylori pada kelompok I yang mendapatkan terapi tripel sebesar 74,2%, sedangkan pada kelompok II yang mendapatkan terapi dual, hasil eradikasinya sebesar 9,4%. Dari penelitian tersebut pula diketahui bahwa resistensi klaritromisin sebesar 7,7%. Perbedaan dengan penelitian ini adalah Gottrand dkk. (2001) membandingkan tingkat eradikasi, efek samping serta resistensi antibiotik antara 2 rejimen (omperazol, amoksisilin, klaritromisin dibanding dengan 8

9 amoksisilin, klaritromisin) dengan metode prospektif sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti kali ini bersifat retrospektif dan tidak bisa mengetahui efektivitas terapi eradikasi, melainkan untuk mengetahui pola pengobatan serta luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan terapi. b. Manes (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Empirical prescribing for dyspepsia: randomized controlled trial of test and treat versus omeprazole treatment. Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain randomized controlled trial yang bertujuan untuk membandingkan efektivitas dari tes H. pylori dan memperlakukan strategi dengan percobaan empiris omeprazol pada pasien dispepsia. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang hanya mendapatkan terapi proton pump inhibitor (PPI), dan kelompok yang mendapatkan PPI serta antibiotik. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,0001) antara kelompok yang mendapatkan terapi antibiotik beserta obat golongan PPI dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan obat golongan PPI terkait dengan perbaikan gejala dispepsia setelah 12 bulan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manes (2003) adalah mambandingkan perbaikan keluhan dispepsia yang diamati selama 12 bulan antara kelompok yang mendapatkan omeprazol, klaritromisin, tinidazol dengan kelompok yang hanya mendapatkan omeprazol, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti dengan disain potong lintang 9

10 dan retrospektif sehingga tidak bisa mengetahui perbaikan keluhan dalam beberapa waktu kedepan, serta peneliti mengambil semua rejimen obat yang digunakan, tidak spesifik hanya pada satu rejimen saja. c. Liska (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Hasil Guna Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori Pada Anak Menggunakan Terapi Tripel Dibanding Terapi Dual. Liska (2004) melakukan penelitian dengan terapi dual (omeprasol, klaritromisin) dan terapi tripel (omeprasol, klaritromisin, amoksisilin). Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara terapi eradikasi dual dengan terapi eradikasi teripel. Diagnosis infeksi H. pylori ditetapkan dengan pemeriksaan histopatologi melalui pengambilan spesimen biopsi lambung dengan endoskopi. Efektivitas terapi eradikasi dilihat dengan hasil pemeriksaan histopatologi spesimen biopsi lambung sesudah terapi eradikasi H. pylori selama 2 minggu, yang menunjukkan hasil negatif atau tidak ditemukan bakteri H. pylori. Hipotesis dari penelitian ini ialah terapi dual lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tripel. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah peneliti tidak membandingkan efektivitas antar 2 rejimen obat, melainkan mengetahui luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan terapi, serta sampel yang diambil adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (tidak dibataskan oleh usia). 10

11 d. Fischbach (2005) dalam Nature Clinical Practice Gastroenterology and Hepatology yang berjudul How Effective are Quadruple Therapies as firstline H. pylori Eradication Therapies?: Meta-analysis. Fischbach (2005) melakukan penelitian pada 7151 pasien dengan disain penelitian Meta-analysis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terapi kuwadrapel dengan kombinasi metronidazol, tetrasiklin, penghambat asam dan bismuth merupakan regimen yang paling banyak dipakai (56%). Penggunaan omeprazol pada tregimen tersebut menunjukan pengaruh tingkat eradikasi sebesar 6%. Penggunaan regimen tersebut selama hari dapat menghasilkan tingkat eradikasi lebih dari 85%, bahkan pada pasien resisten metronidazol. Suatu analisa regresi meta menunjukkan bahwa terapi kuwadrapel pada pasien resisten metronidazol lebih efektif (11%) jika dibandingkan dengan terapi tripel. Tingkat eradikasi terapi kuwadrapel pada pasien resisten klaritromisin sebesar %, jika dibandingkan dengan terapi tripel maka menunjukkan perbedaan sebesar 25-61%. Efek samping yang dihasilkan antara penggunaan terapi tripel dan kuwadrapel tidak jauh berbeda. Resistensi metronidazol dapat menurunkan tingkat eradikasi sebesar 9%. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti kali ini adalah peneliti hanya ingin mengetahui luaran klinis pasien setelah diberikan 11

12 terapi, sedangkan penelitian oleh Fischbach (2005) ingin mengetahui tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi pada terapi kuwadrapel. e. Agah dkk. (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Comparison of Azithromycin and Metronidazole in a Quadruple-Therapy Regimen for Helicobacter pylori Eradication in Dyspepsia. Agah dkk. (2009) melakukan penelitian double-blind RCT pada 60 pasien dispepsia yang terinfeksi H. pylori. Diagnosis awal menggunakan tehkik endoskopi dan Rapid Urea test. Pasien secara acak menerima terapi kuwadrapel selama 2 minggu. Pada kelompok I (n=30) pasien menerima metronidazol 500mg bid, amoksisilin 1g bid, omeprazol 20mg bid, bismuth 240mg bid, dan kelompok II (n=30) menerima azitromisin 500mg satu kali sehari selama 1 minggu, amoksisilin 1gr bid, omeprazol 20mg bid dan bismuth 240mg bid selama 2 minggu. Efektivitas terapi eradikasi dilihat dengan tehnik Rapid Urea Test setelah 2 bulan dilakukan eradikasi terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat eradikasi antara 2 kelompok tidak jauh berbeda yaitu 68% pada kelompok I, dan 69% pada kelompok II. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Agah dkk., (2009) adalah Agah dkk., (2009) membandingkan efektivitas antara azitromisin dan metronidazol pada terapi kuwadrapel, sedangkan peneliti kali ini tidak 12

13 membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. f. Hajiani (2009) dalam Jundishapur Journal of Microbiology yang berjudul Treatment for Helicobacter pylori infection, an overview. Hajiani (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat eradikasi H. pylori setelah diberikan terapi dengan durasi 2 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas terapi eradikasi 3 kombinasi obat yang diberikan selama 7 hari (PPI based triple therapies) dengan kombinasi omeprasol 20mg bid, amoksisilin 1gr, klaritromisin 500mg atau dengan metronidazol 400mg, klaritromisin 250mg. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan kesamaan antara lansoprazol 30mg bid, rabeprazol 20mg satu kali sehari, pantoprazol 40mg bid, dan esomeprazol20mg bid, dengan omeprazol pada terapi tripel. Eradikasi H. pylori pada terapi tripel menggunakan metronidazol menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 80-90%. Resistensi metronidazol sebesar 70% (di Asia sebesar 62,7%), klaritromisin dan furazolidon 10%, amoksisilin 20%, tetrasiklin dan ciprofloksasin sebesar 5% pada pasien tukak peptik dan dispepsia yang tidak resisten pada amoksisilin dan asam klavulanat. Terapi tripel dengan kombinasi metronidazol, bismuth subsitrat dan tetrasiklin memiliki tingkat eradikasi sebesar 80,7% pada pasien yang sensitif metronidazol dengan resistensi metronidazol sebesar 64%. Terapi tripel dengan kombinasi amoksisilin, tetrasiklin dan omeprazol dengan durasi 7-14 hari menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 86%. 13

14 Terapi sekuensial dengan kombinasi 3 antibiotik menunjukkan tingkat eradikasi yang lebih besar dibandingkan terapi standar (89% versus 77%), namun hasil ini akan berbeda jauh pada pasien yang resisten klaritromisin (89% versus 29%). Terapi kuwadrapel dengan kombinasi PPI, bismuth 525mg qid, dan dua antibiotik (misal metronidazol 500mg qid, tetrasiklin 500mg qid) selama 2 minggu. Suatu penelitian menggunakan 137 pasien yang mendapatkan kapsul kombinasi 3 antibiotik (bismuth 140mg, metronidazol 125mg, tetrasiklin 125mg) dan omeprazol 20mg bid (Kelompok I), yang dibandingkan dengan 137 pasien yang mendapatkan terapi omeprazol 20mg, amoksisilin 1g, klaritromisin 500mg bid, dan bismut selama 10 hari (Kelompok II), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat eradikasi antara 2 kelompok tidak jauh berbeda yaitu kelompok I sebesar 88% dan kelompok II sebesar 83%. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Hajiani (2009) adalah Hajiani (2009) membandingkan efektivitas antara terapi teripel, kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. g. Utia dkk. (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Clinical Evaluation of Dyspepsia in Patients with Functional Dyspepsia, with The History of Helicobacter pylori Eradication Therapy in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta. 14

15 Utia dkk. (2010) dalam penelitiannya (cross-sectional study) menggunakan 21 sampel pasien positif H. pylori. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbaikan gejala dispepsia non-ulseratif setelah terapi eradikasi, mengetahui status H. pylori setelah terapi eradikasi, dan untuk mempelajari proporsi peningkatan gejala dispepsia pada pasien nonulseratif dengan H. pylori negatif. Setelah dilakukan eradikasi, sebanyak 81% pasien ditemukan dengan status H.pylori negatif, dan pada umumnya pasien mengalami perbaikan gejala dispepsia. Persentase dari perbaikan gejala dispepsia pada pasien dengan status H. pylori negatif setelah eradikasi adalah 76,4%. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Utia dkk. (2010) adalah penelitian Utia dkk. (2010) merupakan penelitian prospektif menggunakan Global Overall Symptoms of Dyspepsia Scale (GOS) dalam penilaian perbaikan keluhan dispepsia, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti melihat dari keluhan atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam medis pasien. h. Gatta dkk. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul Global Eradication Rates for Helicobacter pylori Infection: Systematic review and metaanalysis of sequential therapy. Gatta dkk. (2013) dalam penelitiannya menggunakan 46 RCT yang sudah di review dan dianalisis. Penelitian ini membandingkan antara terapi sekuensial dan terapi lain. Sebanyak 5666 pasien yang secara acak 15

16 menerima terapi sekuensial dan 7866 pasien menerima terapi lain. Secara keseluruhan tingkat eradikasi terapi sekuensial ialah 84,3%. Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 7 hari (86,5% versus 71,5%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 15%, tingkat eradikasi sekuensial 24% lebih besar dari PPI-amoksisilin-klaritromisin, dan 15,9% lebih besar dari PPI-amoksisilin-metronidazol). Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 10 hari (84,3% versus 75,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 9%). Terapi sekuensial tidak jauh lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 14 hari (80,8% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 0,5%). Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi kuwadrapel dengan regimen bismuth (86,2% versus 84,9%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 1,3%). Terapi sekuensial lebih baik namun tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan terapi kuwadrapel tanpa menggunakan regimen bismuth (81,7% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 0,4%). Tingkat eradikasi terapi sekuensial pada pasien yang resisten klaritromisin ialah sebesar 72,8%, pada pasien resisten metronidazol sebesar 86,4%, sedangkan pada pasien yang resisten klaritromisin dan metronidazol hanya sebesar 37%. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Gatta dkk. (2013) adalah Gatta dkk. (2013) membandingkan efektivitas antara terapi teripel, 16

17 kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. i. Xu dkk. (2013), dalam penelitian yang berjudul Symptom Improvement after helicobacter pylori eradication in patients with functional dyspepsia- A multicenter, randomized, prospective cohort study. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan gejala pada pasien dispepsia fungsional positif H. pylori. Total sampel sebanyak 644 psien dispepsia fungsional yang kemudian dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan eradikasi dan kelompok yang tidak mendapatkan eradikasi. Pada kelompok yang mendapatkan eradikasi, dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan terapi tripel dan kelompok yang mendapatkan terapi kuwadrapel. Satu bulan setelah eradikasi, dilakukan pengecekan kembali menggunakan UBT dan didapatkan hasil total eradikasi sebanyak 76,36%. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok yang mendapatkan terapi tripel dengan terapi kuwadrapel pada tingkat eradikasi H. pylori. Dalam hal perbaikan gejala, kelompok yang mendapatkan terapi eradikasi mengalami perbaikan gejala yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi eradikasi, namun tidak ada perbedaan signifikan antara terapi tripel dan kuwadrapel dalam perbaikan gejala dispepsia. 17

18 Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk. (2013) adalah Xu dkk. (2013) dalam penilaian perbaikan keluhan menggunakan Gastrointestinal Symptom Rating Scale yang dipantau secara berkala (4 minggu, 8 minggu, 12 minggu dan 52 minggu), perbaikan keluhan yang dinilai spesifik yaitu pada pasien dengan keluhan postprandial distress syndrome (PDS) dan pasien dengan keluhan epigastric pain syndrome (EPS), sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti melihat dari keluhan atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam medis pasien, serta peneliti tmengambil semua keluhan yang dirasakan oleh pasien. j. Onyekwere dkk. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Rabeprazole, clarithromycin, and amoxicillin Helicobacter pylori eradication therapy: Report of an efficacy study. Penelitian ini bertuuan untuk mengetahui efektivitas pada terapi teripel (rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin) dalam eradikasi H. pylori dan mengetahui faktor yang mempengaruhi perbaikan klinis pasien dan hal-hal yang merugikan terapi teripel. Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan kombinasi antara rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin memberikan efek dan keamanan yang baik dalam eradikasi H. pyloridengan nilai rata-rata eradikasi 87,2%, perbaikan keluhan pasien sebesar 95%, serta jenis kelamin dan usia tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam perbaikan klinis pasien, baik pada durasi 7 hari ataupun durasi 10 hari (p=0,78). 18

19 Perbedaan penelitian yang dilakukan Onyekwere dkk. (2014) merupakan penelitian prospektif dengan menggunakan rejimen rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin dengan durasi 7 dan 10 hari, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini adalah peneliti mengambil semua rejimen obat yang digunakan, baik yang menggunakan antibiotik maupun tanpa menggunakan antibiotik. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Bagi pasien Pasien bisa mendapatkan pengobatan dan penanganan yang lebih baik dari klinisi, sehingga tingkat kesembuhan penyakit akan lebih besar serta frekuensi dan keluhan dispepsia bisa berkurang. 2. Bagi keilmuan Salah satu bahan acuan dalam penatalaksanaan terapi eradikasi H. pylori sehingga para klinisi dapat memberikan pelayanan dan perawatan yang terbaik kepada pasien terinfeksi H. pylori. 3. Bagi penelitian Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya. 19

20 E. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk : a. Mengetahui pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta. b. Mengetahui luaran klinis pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta. 20

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia menurut kriteria Rome III didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang berlokasi di epigastrium, terdiri dari nyeri ulu hati atau ketidaknyamanan, bisa disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tukak peptik merupakan penyakit akibat gangguan pada saluran gastrointestinal atas yang disebabkan sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh mukosa lambung

Lebih terperinci

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD SINDROMA DISPEPSIA Dr.Hermadia SpPD Pendahuluan Dispepsia merupakan keluhan klinis yg sering dijumpai Menurut studi berbasis populasi tahun 2007 peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dr 1,9% pd th

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan konsentrasi obat yang efektif selama periode yang diperlukan, terutama untuk obat-obat yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saluran pencernaan merupakan gerbang utama masuknya zat gizi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan tubuh baik untuk melakukan metabolisme hingga aktivitas sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Penelitian Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal Disease (SRMD) pada pasien kritis pertama kali muncul lebih dari empat dekade lalu. Beberapa penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi, sedangkan di negara maju < 40%. Infeksi Helicobacter pylori lebih banyak didapatkan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: TRI SUWARNI K 100050200 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori Dispepsia Organik Dispesia Non Organik Dispesia Diagnosa Penunjang Pengobatan H. pylori Tes CLO Biopsi Triple therapy Infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulkus Peptikum 2.1.1 Definisi Ulkus peptikum merupakan luka terbuka dengan pinggir edema disertai indurasi dengan dasar tukak tertutup debris (Tarigan, 2009). Ulkus peptikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekitar 500.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya terkena penyakit tukak peptik, dan 70% terjadi pada usia 25 sampai 64 tahun. Biaya yang dikeluarkan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008 EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : DIYAH PURBAWATI WISENO PUTRI K 100 050

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tukak peptik merupakan penyakit akibat ketidakseimbangan fisiologis antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dengan faktor pelindung (pertahanan dan perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Sekitar 10-40% anggaran kesehatan di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut kriteria Roma III, dispepsia kronis didefinisikan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015 EVALUATION OF PEPTIC ULCER MEDICATION USE IN PATIENTS WITH PEPTIC ULCER

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang

PENATALAKSANAAN DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang PENATALAKSANAAN DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengantenaga ahli (gastroenterolog

Lebih terperinci

PEMANFAATAN UJI NAPAS UREA C-14 UNTUK DETEKSI INFEKSI HELICOBACTER PYLORY PADA PENDERITA DYSPEPSIA DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK ABSTRAK

PEMANFAATAN UJI NAPAS UREA C-14 UNTUK DETEKSI INFEKSI HELICOBACTER PYLORY PADA PENDERITA DYSPEPSIA DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK ABSTRAK PEMANFAATAN UJI NAPAS UREA C-14 UNTUK DETEKSI INFEKSI HELICOBACTER PYLORY PADA PENDERITA DYSPEPSIA DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK B O Kadharusman, M Sasongko, N Hayati, I S Hapsari, I Jumadi Sri Insani WW,

Lebih terperinci

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI INFEKSI HELICOBACTER PYLORI Juwita Sembiring, Herlina Maria Sitorus Divisi Gastroentero-Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran RSUP. H. Adam Malik Medan RSU Pirngadi Medan PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisi Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu (Dys-) dan (Pepse) yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai pencernaan yang buruk (bad digestion)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling sering mengenai organ paru-paru. Tuberkulosis paru merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah penyakit jantung pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI DISPEPSIA Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam, Sub-bagian Gastroentero-Hepatologi. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Rumah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dihadapkan pada dua masalah dalam pembangunan kesehatan, yaitu penyakit menular yang masih belum banyak tertangani dan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu kasus kegawatan dibidang gastroenterologi yang saat ini masih menjadi permasalahan dalam bidang kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lambung merupakan perluasan organ berongga besar berbentuk kantung dalam rongga peritoneum yang terletak di antara esofagus dan usus halus. Saat keadaan kosong, bentuk

Lebih terperinci

Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak

Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak Sari Sari Pediatri, Vol. Vol. 2, No. 2, No. 2, Agustus: 2, 822000-89 Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak Badriul Hegar Helicobacter pylori (H. pylori) berkolonisasi di dalam lambung manusia, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang memiliki efek analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja secara perifer. Obat ini digunakan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM ISLAM KUSTATI SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: ATIKAH MUYASSAROH K 100050217

Lebih terperinci

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA Ruli Yanti ¹; Amaliyah Wahyuni, S.Si, Apt ²; drg. Rika Ratna Puspita³

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan desain cross sectional. Desain cross sectional digunakan untuk menentukan angka prevalensi

Lebih terperinci

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE (DUGeM) PR0GHlllltG B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE t &' r @q; {b - * e, * S* * 4i-f,"i,# wt Saann?fu 30 S@- Sore(,Dry, "h6e O6fro4& 2Oll Peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data Profil Kesehatan Indonesia menyebutkan bahwa penyakit infeksi dan parasit tertentu menempati urutan kedua dari data 10 penyakit utama penyebab kematian di rumah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ansietas 2.1.1. Definisi Kecemasan atau ansietas adalah suatu sinyal yang menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Penelitian ini mengidentifikasi penggunaan obat off-label dosis pada pasien dewasa rawat inap di Rumah

Lebih terperinci

GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK. Muhammad Yusuf

GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK. Muhammad Yusuf GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK Tesis Oleh: Muhammad Yusuf DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang Ilmu Penyakit Dalam divisi Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. 4.2. Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG (DISPEPSIA, GASTRITIS, TUKAK PEPTIK) RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KELUARGA SEHAT PATI TAHUN 2015

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG (DISPEPSIA, GASTRITIS, TUKAK PEPTIK) RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KELUARGA SEHAT PATI TAHUN 2015 POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG (DISPEPSIA, GASTRITIS, TUKAK PEPTIK) RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KELUARGA SEHAT PATI TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Rinza Bagus Prakoso K100120169 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

KONSENSUS NASIONAL Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori

KONSENSUS NASIONAL Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) Kelompok Studi Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI) KONSENSUS NASIONAL Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori Editor: Marcellus Simadibrata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah istilah yang dipakai untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Resistensi bakteri terhadap antimikroba telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan berbagai dampak yang merugikan sehingga dapat menurunkan mutu pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare, infeksi saluran nafas, malaria, tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya bervariasi pada setiap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional yaitu penelitian diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi bagaimana dan mengapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara umum yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat menimbulkan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas

Lebih terperinci

INTISARI. Ari Aulia Rahman 1 ; Yugo Susanto 2 ; Rachmawati 3

INTISARI. Ari Aulia Rahman 1 ; Yugo Susanto 2 ; Rachmawati 3 INTISARI GAMBARAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUANG DAHLIA (PARU) DENGAN DIAGNOSIS TB PARU DENGAN ATAU TANPA GEJALA HEMAPTO DI RSUD ULIN BANJARMASIN PADA TAHUN 2013 Ari Aulia Rahman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah penyakit saluran pencernaan seperti gastritis. Masyarakat pada umumnya mengenal gastritis dengan sebutan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia penyakit infeksi menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan, sebab penyakit ini mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi menyerang masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian anak usia di bawah 5 tahun di negara berkembang pada tahun 2011 (Izadnegahdar dkk, 2013).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pre-eklamsia adalah hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan yang biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan. Pada pre-eklamsia, ditandai dengan hipertensi

Lebih terperinci

Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Di RSU Anutapura Palu

Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Di RSU Anutapura Palu Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) 2017; 3 (2): 126 131 ISSN : 2442-8744 (electronic) http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/galenika/index DOI : 10.22487/j24428744.2017.v3.i2.8772

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia yang mengarah modern ditandai gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan yang dapat merangsang peningkatan asam lambung, seperti:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgetik, antipiretik, serta anti radang dan banyak digunakan untuk menghilangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir- akhir ini sering dibicarakan tentang boraks yang terdapat pada beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran beberapa bahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang mempunyai efek mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman sedangkan toksisitasnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini berupa deskriptif non eksperimental dengan menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan suatu sindrom yang ditandai gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak yang berkembang dengan sangat cepat berlangsung lebih

Lebih terperinci

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat (Antibiotic prescription of children outpatient in BLUD RS Ratu Zalecha Martapura:

Lebih terperinci

Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori pada anak

Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori pada anak Juli-September 2004, Vol.23 No.3 Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori pada anak Edi Setiawan Tehuteru Staf Medis Fungsional Tim Kerja Anak RS Kanker Dharmais ABSTRAK Helicobacter pylori (H.pylori)

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS Konsep Medik : 1. Pengertian Gastritis berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Secara umum Gastritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan kerusakan jaringan ( Davis dan Walsh, 2004). Nyeri merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan kerusakan jaringan ( Davis dan Walsh, 2004). Nyeri merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nyeri merupakan pengalaman sensoris atau emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan ( Davis dan Walsh, 2004). Nyeri merupakan salah satu gejala

Lebih terperinci

GAMBARAN ENDOSKOPI PADA PASIEN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN

GAMBARAN ENDOSKOPI PADA PASIEN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ENDOSKOPI PADA PASIEN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN 2015 Latar Belakang: Dispepsia adalah nyeri yang berulang dan persisten atau rasa tidak nyaman di daerah perut bagian

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA. PADA KELUARGA Tn. H KHUSUSNYA Tn. H DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN: GASTRITIS DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL I

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA. PADA KELUARGA Tn. H KHUSUSNYA Tn. H DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN: GASTRITIS DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL I 0 ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. H KHUSUSNYA Tn. H DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN: GASTRITIS DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL I KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome) yang disertai dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pola makan disuatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor budaya, agama/kepercayaan,

Lebih terperinci

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN Deisy Octaviani 1 ;Ratih Pratiwi Sari 2 ;Soraya 3 Gastritis merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Timbulnya suatu penyakit berpengaruh terhadap perubahan gaya hidup dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah satunya gangguan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA Paula A. Tahtinen, et all PENDAHULUAN Otitis media akut (OMA) adalah penyakit infeksi bakteri yang paling banyak terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah salah satu infeksi yang terjadi di usus halus dan banyak terjadi di negara yang beriklim tropis. persamaan demam tifoid masyarakat umum biasa menyebutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, yang menimbulkan konsolidasi paru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat menyerang saluran pernafasan bagian atas maupun

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulkus didefinisikan sebagai defek pada mukosa saluran pencernaan yang mengenai lapisan mukosa hingga submukosa atau lebih. Ulkus mungkin terjadi pada seluruh saluran

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian. 21 BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian. 2.1 Bahan Sediaan obat uji yang digunakan adalah kapsul yang mengandung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap perubahan dalam kehidupan manusia dapat menimbulkan stress. Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan kecemasan yang erat kaitannya dengan pola hidup. Akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dispepsia adalah adanya perasaan nyeri dan tidak nyaman yang terjadi di bagian perut atas ditandai dengan rasa penuh, kembung, nyeri, beberapa gangguan mual-mual, perut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari

BAB I PENDAHULUAN. kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Insiden karsinoma kolorektal masih cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari kematian karena kanker

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna (Lutter,

Lebih terperinci