Laporan Akhir Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK ) Blora Tahun DAFTAR ISI... I DAFTAR TABEL... IV DAFTAR GAMBAR...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Akhir Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK ) Blora Tahun DAFTAR ISI... I DAFTAR TABEL... IV DAFTAR GAMBAR..."

Transkripsi

1

2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... I DAFTAR TABEL... IV DAFTAR GAMBAR... VI DAFTAR GRAFIK... VII BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG DASAR HUKUM MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN RKTK KABUPATEN BLORA TAHUN KEDUDUKAN RKTK RUANG LINGKUP KERANGKA PIKIR RKTK SISTEMATIKA PENULISAN RKTK... 9 BAB II POTENSI DAN REALITAS KEADAAN UMUM WILAYAH LUAS DAN LETAK TOPOGRAFI IKLIM BATUAN INDUK DAN TANAH HIDROLOGI PENGGUNAAN LAHAN KEPENDUDUKAN POTENSI DAN KONDISI UMUM HUTAN KABUPATEN BLORA HUTAN NEGARA HUTAN RAKYAT LUAS HUTAN RAKYAT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN KONTRIBUSI EKONOMI PRODUKSI KAYU BULAT HASIL HUTAN BUKAN KAYU JASA LINGKUNGAN / WISATA ALAM INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU PENERIMAAN DANA PSDH KONTRIBUSI TERHADAP PDRB Page i

3 2.3.2 KONTRIBUSI EKOLOGI PELESTARIAN CAGAR ALAM PELESTARIAN KAWASAN LINDUNG REHABILITASI LAHAN KRITIS KONTRIBUSI SOSIAL BUDAYA KONDISI KELEMBAGAAN SEKTOR KEHUTANAN ISU STRATEGIS TERKAIT PENGURUSAN HUTAN DI WILAYAH KABUPATEN KEMISKINAN PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN POLA PENGELOLAAN DAN PEMASARAN HASIL HUTAN RAKYAT RIAP PERTUMBUHAN TANAMAN HUTAN RAKYAT KOMPETENSI DAN KOMITMEN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH BAB III ARAHAN KEBIJAKAN PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN KRITERIA ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN HUTAN KERAGKA ANALISIS SPATIAL HASIL ANALISIS SPASIAL BAB IV VISI DAN MISI PENGURUSAN HUTAN VISI MISI BAB V KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN DAN PELUANG ANALISA KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN ANCAMAN KEKUATAN DAN KELEMAHAN (STRENGTHS & WEAKNESSES) PELUANG DAN ANCAMAN (OPPORTUNITY &THREATS) SINTESIS HASIL ANALISIS SWOT BAB VI TARGET CAPAIAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI UMUM KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK KONSERVASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PERLINDUNGAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK REHABILITASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK PERLINDUNGAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK BUDIDAYA BAB VII KONTRIBUSI MANFAAT PADA PEMBANGUNAN KABUPATEN TARGET KONTRIBUSI EKONOMI Page ii

4 TARGET HASIL HUTAN KAYU TARGET PRODUKSI HASIL HUTAN BUKAN KAYU TARGET PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU TARGET PENGEMBANGAN JASA LINGKUNGAN TARGET KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB TARGET KONTRIBUSI SOSIAL BUDAYA TARGET KONTRIBUSI EKOLOGI BAB VIII PENUTUP Page iii

5 DAFTAR TABEL TABEL II-1 LUAS KAWASAN HUTAN KABUPATEN BLORA BERDASARKAN FUNGSI HUTAN TABEL II-2 DISTRIBUSI LUAS WIAYAH KPH DI KABUPATEN BERDASARKAN FUNGSI HUTAN TABEL II-3 PERKEMBANGAN SEBARAN LUAS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN BLORA MENURUT WILAYAH KECAMATAN SAMPAI DENGAN TAHUN TABEL II-4 VOLUME PRODUKSI KAYU BULAT DAN AFVAL/KAYU BAKAR DARI KAWASAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN RAKYAT TAHUN 2008 S/D TABEL II-5 LUAS LAHAN TUMPANG SARI DAN TANAMAN BAWAH TEGAKAN TABEL II-6 INDUSTRI BERBASIS KEHUTANAN DI KABUPATEN BLORA TABEL II-7 PODUK KAYU OLAHAN KABUPATEN BLORA TAHUN TABEL II-8 REALISASI PEMBAYARAN PSDH 6 KPH DI KABUPATEN BLORA TAHUN TABEL II-9 REALISASI PENERIMAAN PSDH PORSI KABUPATEN BLORA TABEL II-10 KONTRIBUSI SUB SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN ATAS DASAR HARGA BERLAKU (JUTA RP) TABEL II-11 KONTRIBUSI SUB SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN ATAS DASAR HARGA KONSTAN (JUTA RP) TABEL II-12 SEBARAN LOKASI MATA AIR DI LUAR KAWASAN HUTAN TABEL II-13 SEBARAN LOKASI MATA AIR DI DALAM KAWASAN HUTAN TABEL II-14 SEBARAN KAPASITAS DAN PEMANFAATAN WADUK DI KABUPATEN BLORA TABEL II-15 NERACA LUAS LAHAN KRITIS KABUPATEN BLORA (HA) TABEL II-16 DANA SHARING PRODUKSI PERIODE TAHUN 2008 S/D 2012 DARI KPH KEPADA LMDH DI KABUPATEN BLORA TABEL II-17 TABEL JUMLAH LMDH DI KABUPATEN BLORA TABEL II-18 TAKSIRAN KERUGIAN AKIBAT GANGGUAN KEBAKARAN HUTAN TABEL II-19 TAKSIRAN KERUGIAN AKIBAT GANGGUAN PENCURIAN HUTAN TABEL III-1 KRITERIA PENENTUAN ARAHAN SPASIAL RKTK KABUPATEN BLORA TABEL III-2 ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TABEL III-3 LUAS ARAHAN INDIKATIF RKTK KABUPATEN BLORA TABEL V-1 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS INTERNAL KEKUATAN TABEL V-2 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS INTERNAL KELEMAHAN TABEL V-3 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL PELUANG TABEL V-4 MATRIKS EVALUASI FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL ANCAMAN TABEL V-5 SINTESA HASIL AALISIS SWOT TABEL VI-1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI UMUM TABEL VI-2 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK KONSERVASI TABEL VI-3 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PERLINDUNGAN TABEL VI-4 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK REHABILITASI TABEL VI-5 KEBIJAKAN DAN STRATEGI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN Page iv

6 TABEL VI-6 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK PERLINDUNGAN TABEL VI-7 KEBIJAKAN DAN STRATEGI HUTAN RAKYAT UNTUK BUDIDAYA TABEL VII-1 PROYEKSI PRODUKSI KAYU DARI KAWASAN UNTUK PENGUSAHAAN Page v

7 DAFTAR GAMBAR GAMBAR I-1 KEDUDUKAN RKTK DALAM SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN... 7 GAMBAR I-2 KERANGKA PIKIR PENYUSUNAN RKTK KABUPATEN BLORA TAHUN GAMBAR II-1 PETA WILAYAH ADMINISTRASI KABUPATEN BLORA GAMBAR II-2 PETA KETINGGIAN TEMPAT WILAYAH KABUPATEN BLORA GAMBAR II-3 PETA CURAH HUJAN WILAYAH KABUPATEN BLORA GAMBAR II-4 PETA SEBARAN JENIS TANAH WILAYAH KABUPATEN BLORA GAMBAR II-5. PETA POTENSI BAHAN TAMBANG GAMBAR II-6 PETA HIDROLOGI WILAYAH KABUPATEN BLORA GAMBAR II-7 PETA PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN BLORA GAMBAR II-8 PETA KAWASAN HUTAN KABUPATEN BLORA GAMBAR II-9 PETA SEBARAN LOKASI HUTAN RAKYAT KABUPATEN BLORA GAMBAR II-10 PETA KAWASAN LINDUNG KABUPATEN BLORA GAMBAR II-11 PETA LAHAN KRITIS KABUPATEN BLORA GAMBAR III-1 ALUR PROSES PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN KAWASAN HUTAN.. 49 GAMBAR III-2 KRITERIA DAN PARAMETER PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN GAMBAR III-3 KRITERIA DAN PARAMETER PENENTUAN ARAHAN INDIKATIF PERUNTUKAN HUTAN RAKYAT 50 GAMBAR III-4 PETA ARAHAN INDIKATIF RKTK KABUPATEN BLORA GAMBAR V-1 HASIL ANALISIS KWADRAN Page vi

8 DAFTAR GRAFIK GRAFIK II-1 PRODUKSI KAYU BULAT KABUPATEN BLORA TAHUN GRAFIK II-2 GRAFIK II-3 GRAFIK II-4 GRAFIK II-5 GRAFIK II-6 PROSENTASE KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PDRB KABUPATEN BLORA TAHUN TINGKAT PERTUMBUHAN PDRB DAN SUB-SEKTOR KEHUTANAN KABUPATEN BLORA TAHUN GARIS BATAS PENDUDUK MISKIN WILAYAH KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PROSENTASE JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI WILAYAH KAB. BLORA DAN PROV JATENG... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. Page vii

9 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan di Kabupaten Blora merupakan kesatuan ekosistem yang berisi sumber daya alam hayati yang wajib dikelola secara profesional, terencana, dan terpadu guna memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat Kabupaten Blora. Manfaat tersebut tercermin dari perannya sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan terutama karena fungsi hidroorologisnya (penguat Daerah Aliran Sungai (DAS), produksi air, dan penjaga degradasi tanah/lahan), penyedia bahan pangan dan oksigen, pengendali iklim, serta sumber plasma nutfah. Hutan di Kabupaten Blora juga berperan sebagai pemasok bahan baku industri kehutanan (hasil kayu maupun non kayu), lahan investor dalam berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, serta wadah kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Karakteristik sumber daya hutan bersifat multi dimensi, sehingga pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan fungsi ekonomi, kelestarian lingkungan dan dinamika sosial budaya. Sumber Daya Hutan (SDH) Kabupaten Blora yang dikelola dan dikembangkan oleh Pemerintah dan masyarakat mempunyai potensi multi fungsi yang memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari hasil hutan kayu (HHK), melainkan juga berasal dari hasil hutan bukan kayu (HHBK), karbon, nilai biodiversity dan ekosistem. Oleh karena itu dalam jangka panjang pengurusan SDH harus dioptimalkan sehingga mampu mentransformasi potensi ekonomi, lingkungan dan sosial dari SDH menjadi manfaat nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Sumber Daya Hutan bagi Kabupaten Blora merupakan salah satu asset Pemerintah yang mempunyai peranan yang cukup besar, antara lain: 1. Sebagai sistem penyangga kehidupan, terutama fungsi hidrologis (menjaga keseimbangan DAS, menyediakan air dan menjaga degradasi tanah), iklim dan sumber plasma nutfah; 2. Sebagai sumber penyediaan bahan baku industri kehutanan (hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan); 3. Penyerapan investasi, penyerapan tenaga kerja dan sekaligus pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; Page 1

10 4. Penyumbang kontribusi terhadap Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten; 5. Penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa bagi hasil Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sektor kehutanan. Cara pandang terhadap sumberdaya hutan sebagai modal ekonomi menuju cara pandang sumberdaya hutan yang harus dikelola secara lestari melalui 3 (tiga) macam syarat keharusan, antara lain : 1. Terjaminnya kepastian peruntukan kawasan hutan dalam luasan yang cukup dengan sebaran spasial yang proporsional; 2. Terjaminnya kemampuan dan kinerja unit manajemen untuk merealisasikan pengelolaan hutan sebagai ekosistem yang utuh yang memberikan manfaat ekologis, ekonomis dan sosial budaya secara lestari dan berkeadilan; 3. Terjaminnya keterediaan peraturan, perundangan dan penegakan hukum sebagai faktor pemungkin terselenggarakannya pengelolaan hutan secara optimal dan berkelanjutan Di sisi lain, keberadaan hutan di Kabupaten Blora sampai dengan akhir tahun 2013 masih di atas ketentuan minimal luas kawasan hutan sebagaimana amanat Undang- Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, yakni 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS). Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 395/Menhut- II/2004, total luas kawasan hutan di Propinsi Jawa Tengah ± ,00 Ha atau sekitar 19,88 % dari luas daratan. Dari luas kawasan hutan tersebut ± ,54 Ha (14,00%) diantaranya berada di wilayah Kabupaten Blora. Untuk dapat mencapai fungsi dan manfaat luas kawasan hutan yang optimal, diperlukan kegiatan pengelolaan yang didukung dengan perencanaan hutan yang mantap dalam kerangka sinergisitas penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih efektif, partisipatif, ransparan dan bertanggung gugat. Sejalan dengan hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, Pasal 41 ayat (2) disebutkan bahwa instansi kehutanan kabupaten/ kota wajib menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten yang dinilai melalui konsultasi para pihak dan disahkan oleh Bupati/ Walikota. Rencana kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Rencana Kawasan Hutan mempertimbangkan rencana tata ruang dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan daerah, dan selanjutnya merupakan acuan spasial dalam penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan. Rencana kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat KPH merupakan kebutuhan yang sangat mendasar untuk memberikan Page 2

11 arah pengurusan dan pengelolaan hutan ke depan melalui pemanfaatan secara optimal dan lestari guna mentransformasi potensi multi fungsi hutan menjadi barang jasa yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat, serta merealisasikan peran dan posisi penting kehutanan dalam pembangunan kabupaten/kota. Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten yang selanjutnya disebut RKTK adalah rencana yang berisi arahan-arahan makro pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan serta perkiraan kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan wilayah demi terciptanya kesejahteraan masyarakat dan pencapaian posisi strategis sektor kehutanan Kabupaten pada tahun Dengan demikian RKTK merupakan acuan yang harus dipedomani dalam penyusunan rencana pembangunan, investasi, dan rencana kerja kehutanan dalam berbagai skala geografis, jangka waktu, serta fungsifungsi pokok kawasan hutan yang cakupannya lebih rendah. Mempertimbangkan keberadaan sumberdaya hutan dengan segala potensi dan peranannya yang strategis dalam mendukung pembangunan di wilayah Kabupaten Blora, maka kawasan hutan di Kabupaten Blora wajib untuk dipertahankan kecukupan luasnya serta dikelola sesuai dengan fungsinya berdasarkan RKTK Blora yang disusun untuk jangka waktu 20 tahun. Penyusunan RKTK Blora Periode Tahun didasarkan pada hasil analisis spasial maupun realitas dan potensi yang ada di Kabupaten Blora, mencakup di dalamnya kawasan hutan dengan segala fungsinya (fungsi produksi, fungsi konservasi, dan fungsi lindung) serta arahan pengurusan hutan ke depan (perencanaan, pengelolaan, penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pengawasan hutan). Isu-isu strategis dan berbagai permasalahan serta tantangan mendasar yang dihadapi oleh sektor kehutanan di Kabupaten Blora meruakan sebuah hal yang harus diakomodasikan kepentingannya untuk meningkatkan ketajaman dan rasionalitas RKTK Blora Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Page 3

12 Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436); 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2007 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); Page 4

13 11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; 15. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; 16. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217); 17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun ; 18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan; 19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; 20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/ 2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 460); 21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/ 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 381); Page 5

14 22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36 /Menhut-II/ 2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten Tahun (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 911); 23. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jateng Tahun 2003 Nomor 134); 24. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007 Nomor 5 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4); 25. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 28); 26. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 46 Tahun 2012 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi Jawa Tengah Tahun (Berita Daerah Provinsi Jateng Tahun 2012 Nomor 46); 27. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Blora (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2008 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 3); 28. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Blora Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 7); 29. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Blora Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 8) Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 13 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Blora (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 13) 31. Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Blora Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Blora Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Blora Nomor 18) Page 6

15 1.3. Maksud dan Tujuan Penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabuaten Blora dimaksudkan sebagai acuan bagi Pemerintah Daerah dan para pihak dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan hutan dan hutan hak di wilayah administratif Kabupaten Blora Tujuan Penyusunan Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) Blora Tahun adalah : 1. Terbangunnya koordinasi, keterpaduan dan sinergitas pengelolaan sumberdaya hutan tingkat Unit Manajemen Hutan, tingkat Kabupaten, tingkat Propinsi dan tingkat Nasional. 2. Tercapainya proses pengelolaan hutan dengan keseimbangan fungsi ekonomi, kelestarian lingkungan dan dinamika sosial budaya. 3. Terealisasikannya transformasi potensi dan manfaat sumberdaya hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat secara optimal dan lestari. 4. Optimalisasi besaran peran dan posisi kehutanan dalam pembangunan wilayah Kabupaten Blora Kedudukan RKTK Kedudukan RKTK dalam sistem perencanaan kehutanan adalah sebagaimana yang tersajikan pada gambar berikut. Gambar I-1 Kedudukan RKTK Dalam Sistem Perencanaan Kehutanan Page 7

16 RKTK merupakan penjabaran dari RKTP yang disusun di tingkat Kabupaten/Kota. Dalam penyusunan RKTK, harus memperhatikan arahan kebijakan pada RKTP dan RKTN serta Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan. Selanjutnya RKTK dijabarkan ke tingkat yang lebih rendah di tingkat kesatuan pengelolaan hutan (tapak) dalam bentuk RKPH Ruang Lingkup Rencana KehutananTingkat Kabupaten (RKTK) Blora merupakan penjabaran dari RKTN dan RKTP Jawa Tengah Ruang lingkup Rencana KehutananTingkat Kabupaten (RKTK) Blora meliputi : 1. Tujuan, kebijakan dan strategi pengurusan hutan Kabupaten Blora. 2. Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten mencakup seluruh aspek pengurusan hutan, kawasan lindung/ budidaya dan hutan rakyat yaitu perencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pengawasan. 3. Gambaran kondisi saat ini. 4. Target kondisi yang diinginkan. 5. Skenario atau arahan kegiatan pemenuhan dalam rangka menuju target yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan Kerangka Pikir RKTK RKTK merupakan perencanaan kawasan hutan maupun hutan hak yang ada di kabupaten/ kota. Penyusunan RKTK dimulai dari data dan informasi gambaran keberadaan kawasan hutan dan hutan hak di wilayah kabupaten/ kota yang mencakup kondisi umum kawasan hutan negara dan hutan hak di wilayah kabupaten/ kota serta potensi-potensi yang terkandung di dalamnya yang dapat dikelola untuk mendapatkan manfaat dan nilai lebih baik dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Kerangka berfikir RKTK Blora disajikan dalam Gambar 1.2. Page 8

17 Gambar I-2 Kerangka Pikir Penyusunan RKTK Kabupaten Blora Tahun Sistematika Penulisan RKTK BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang (Dasar Hukum, Tujuan, Ruang Lingkup) Sistematika Penulisan. BAB II POTENSI DAN REALITAS 2.1. Potensi dan Kondisi Umum Hutan di Kabupaten Blora Kontribusi Sektor Kehutanan Kabupaten Blora (Ekonomi, Ekologi, dan Sosial) Kondisi KelembagaanSektorKehutananKabupaten Blora Isu StrategisTerkaitPengurusanHutanKabupaten Blora. BAB III ARAHAN INDIKATIF KEBIJAKAN PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN BLORA BAB IV VISI DAN MISI PENGURUSAN HUTAN KABUPATEN BLORA BAB V INDIKASI KEKUATAN, KELEMAHAN, ANCAMAN, DAN PELUANG BAB VI KEBIJAKAN DAN STRATEGI Page 9

18 BAB VII KONTRIBUSI MANFAAT EKONOMI, SOSIAL DAN LINGKUNGAN SEKTOR KEHUTANAN PADA PEMBANGUNAN KABUPATEN BLORA. BAB VIII PENUTUP LAMPIRAN Peta Arahan Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten (RKTK) Blora Tahun (Skala 1: ) Page 10

19 BAB II POTENSI DAN REALITAS 2.1 Keadaan Umum Wilayah Luas dan Letak Blora merupakan Kabupaten yang berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah administratif Kabupaten Blora kurang lebih 1.820,59 km 2. Secara astronomis Kabupaten Blora terletak di antara ,19 s.d ,63 Bujur Timur dan ,37 s.d ,09 Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke timur sepanjang 57 km dan jarak terjauh dari utara ke selatan sepanjang 58 km. Batas-batas yang melingkupi wilayah Kabupaten Blora adalah : Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Ngawi Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Pati, Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Grobogan. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kababupaten Bojonegoro dan Tuban Page 11

20 Gambar II-1 Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Blora Topografi Kabupaten Blora berada di daerah cekungan di antara pegunungan Kendeng Utara dan pegunungan Kendeng Selatan yang membujur dari barat ke timur. Sebagian besar (72,38%) bertopografi datar bergelombang dengan kelas kelerengan 0-15 %. Selebihnya bertopografi agak curam dengan kelas kelerengan 16%-40%. Berada di ketinggian antara 25 meter s.d. 350 meter diatas permukaan laut. Sebaran wilayah berdasarkan ketinggiannya adalah seperti dapat dilihat pada peta ketinggian tempat berikut. Page 12

21 2.1.3 Iklim Gambar II-2 Peta Ketinggian Tempat Wilayah Kabupaten Blora Data iklim tahun 2003 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan jumlah curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.354,7 mm dengan rata-rata jumlah hari hujan sebanyak 85,5 hari. Rata-rata jumlah curah hujan bulanan tahun 2006 s/d tahun 2012 berdasarkan sistim klasifikasi iklim Schmidtz dan Ferguson, wilayah Kabupaten Blora memiliki 4 bulan kering (jumlah curah hujan < 60 mm) dan 7 bulan basah (> 100 mm) dengan nilai Q = 57 %, berada dalam range (33,33 % - 60 %) sehingga tergolong dalam tipe iklim C atau agak basah. Sedangkan menurut klasifikasi iklim Oldemen termasuk dalam tipe iklim D dengan jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm) berturut-turut 3-4 bulan. Page 13

22 2.1.4 Batuan Induk dan Tanah Gambar II-3 Peta Curah Hujan Wilayah Kabupaten Blora Berdasarkan kondisi geologi, formasi batuan induk di Kabupaten Blora dapat diklasifikasikan sebagai : a) Formasi Alluvium, jenis ini terdiri atas tanah lempung, lanau, pasir dan kerikil. Wilayah yang mengandung jenis tanah ini adalah Kecamatan Kunduran, Banjarejo, Ngawen, Blora, Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kedungtuban; b) Formasi Tambak Kromo. Jenis terdiri atas batu lempeng, rapal dan batu gamping. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah semua kecamatan di Kabupaten Blora kecuali Kecamatan Todanan dan Kecamatan Kradenan; c) Formasi Salerejo. Jenis ini terdiri atas batu lempung dan batu gamping. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah Kecamatan Cepu, Sambong, Jepon, dan Banjarejo; d) Formasi Mundu. Jenis ini atas tanah napal. Wilayah yang termasuk dalam jenis ini adalah semua kecamatan di Kabupaten Blora kecuali di Kecamatan Kedungtuban dan Cepu; Page 14

23 e) Formasi Ledok. Jenis ini terdiri atas batu gamping dan batu glukonit.wilayah termasuk dalam formasi ini meliputi Kecamatan Jiken, Jepon, Banjarejo, dan Kunduran; dan f) Formasi Madura. Jenis ini terdiri dari gamping dan karal. Wilayah yang termasuk dalam formasi ini adalah Kecamatan Todanan. Dengan batuan induk di atas, jenis tanah sebagai yang terbentuk dan wilayah sebarannya adalah seperti dapat dilihat pada peta tanah berikut. Gambar II-4 Peta Sebaran Jenis Tanah Wilayah Kabupaten Blora Page 15

24 2.1.5 Hidrologi Gambar II-5. Peta Potensi Bahan Tambang Keberadaan pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan telah banyak membentuk anak-anak sungai yang bermuara pada sungai Lusi untuk wilayah Blora bagian tegah dan barat dan bermuara pada Sungai Bengawan Solo untuk wilayah Blora bagian timur. Sebagian besar anak sungai yang ada hanya dialiri air pada saat musim penghujan, sedang pada musim kemarau pada umumnya dalam kondisi kering. Dalam pewilayahan Daerah Aliran Sungai, sebagian Kabupaten Blora berada di DAS Jratun Seluna, Sub-DAS Lusi, Sub-Sub-DAS : Medang, Sanggrahan, Ingas Jajar, Lusi Hulu, Geger Sapi, Sambongsari, Kedug Waru dan Sub-DAS Juana, Sub-Sub-DAS Juana. Sedang sebagian yang lain berada di DAS Solo, Sub-DAS Wulung. Sub-DAS Lusi meliputi wilayah Kecamatan Blora, Tunjungan, Banjarejo, Jepon, Jiken, Ngawen, Kunduran, dantodanan bagian selatan. Sub-DAS Juana meliputi Kecamatan Todanan bagian Utara. Sub-DAS Wulung, meliputi wilayah Kecamatan Sambong, Cepu, Kedungtuban, Kradenan, Randublatung dan Jati. Page 16

25 Gambar II-6 Peta Hidrologi Wilayah Kabupaten Blora Penggunaan Lahan Bentuk penggunaan lahan wilayah Kabupaten Blora hampir setengahnya atau ,52 Ha (49,77%) berupa kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani, sedangkan selebihnya berbentuk sawah dengan luas ,82 Ha, lahan pekarangan dan pemukiman ,81 Ha, lahan tegalan dengan luas ,01 Ha, waduk 56,96 Ha, perkebunan 4,00 Ha, pertambangan 21,60 Ha dan bentuk penggunaan lain-lain 2.369,08 Ha. Kabupaten Blora dalam tatanan administrasi pemerintahan terdiri dari 16 Kecamatan dengan 271 Desa dan 24 Kelurahan yang mencakup Dusun, Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Page 17

26 Gambar II-7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Blora Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Blora pada tahun 2012 adalah sebanyak jiwa terdiri dari laki-laki jiwa dan perempuan jiwa atau seks ratio sebesar 97,29 penduduk. Tingkat kepadatan penduduk rata-rata adalah 465 jiwa per km 2. Berdasarkan data jumlah penduduk tahun 1993 sampai dengan 2012 menunjukkan laju pertambahan penduduk rata-rata sebesar 0,42 % per tahun. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan pedagang, sisanya adalah dalam bidang industri, konstruksi, jasa, dan lain-lain. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 sebanyak orang (16,27%) dengan laju penurunan kemiskinan rata-rata 4,74 % pertahun. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora tahun 2012 sebesar 5,03 %, sementara laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah Tahun 2013 sebesar 5,8 % dan Nasional 5,78 %. 2.2 Potensi dan Kondisi Umum Hutan Kabupaten Blora Hutan Negara Page 18

27 1. Luas Hutan Negara Berdasarkan SK Penunjukkan Menteri Kehutanan No 359/Menhut-II/2004 tahun 2004 luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah adalah hektar yang tersebar di 35 Kabupaten. Blora merupakan Kabupaten dengan kawasan hutan terbesar di Provinsi Jawa Tengah dengan luas kawasan hutan ± ,54 Ha atau 14,00% dari total luas kawasan hutan di Provinsi Jawa Tengah. Rincian luas kawasan hutan di Kabuaten Blora berdasarkan fungsinya adalah seperti disajikan pada Tabel 2.1. berikut. Tabel II-1 Luas Kawasan Hutan Kabupaten Blora Berdasarkan Fungsi Hutan NO FUNGSI HUTAN LUAS (HA) % 1 KAWASAN KONSERVASI 55,40 0,03 Kawasan Suaka Alam (KSA) / Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Cagar Alam 55,40 2 HUTAN LINDUNG - 3 HUTAN PRODUKSI ,15 49,74 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 147,13 Hutan Produksi (HP) ,02 Jml Kawasan Hutan ,54 49,77 Jml Kawasan Hutan & Konservasi Perairan ,54 49,77 Luas Daratan Kabupaten Blora ,31 100,00 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Kabuaten Blora Pengelolaan Hutan Negara Pengelolaan kawasan hutan negara di Kabupaten Blora dilakukan oleh Perum Perhutani sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2010 pasal 3 ayat (1) : Sesuai dengan Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Dalam operasionalnya pengelolaan kawasan hutan negara terbagi dalam unit-unit Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) sebagai representasi dari unit kelestarian pengelolaan hutan dengan batas-batas pewilayahan tidak identik dengan batas administrasi pemerintahan. Pengelolaan kawasan hutan Kabupaten Blora sesuai batas batas pewilayahannya dikelola oleh tujuh KPH, yaitu : KPH Randublatung, KPH Blora, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan, KPH Pati dan KPH Ngawi. Rincian luas kawasan hutan di Kabupaten Blora yang dikelola oleh masing-masing Page 19

28 KPH berdasarkan fungsi hutan adalah seperti ditampilkan pada Tabel 2.2. dan Gambar 2.1. berikut. Tabel II-2 Distribusi Luas Wiayah KPH di Kabupaten Berdasarkan Fungsi Hutan No KPH Fungsi Hutan (Ha) Jumlah Produksi Produksi Terbatas Cagar Alam * ) 1 KPH Blora , ,02 2 KPH Cepu ,16 30, ,16 3 KPH Randublatung ,22 25, ,62 4 KPH Ngawi 8.689, ,70 5 KPH Mantingan 5.764, ,67 6 KPH Kebonharjo 1.612,77 147, ,90 7 KPH Pati 103,48 103,48 Jumlah ,02 147,13 55, ,54 Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Keterangan : *) di bawah pengelolaan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kementrian Kehutanan Gambar II-8 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Blora Page 20

29 2.2.2 Hutan Rakyat Luas Hutan Rakyat Lahan dengan penutupan hutan saat ini dapat dijumpai di luar kawasan hutan, yaitu di lahan masyarakat yang ditanami dengan jenis tanaman kehutanan yang kemudian diistilahkan sebagai Hutan Rakyat. Hutan Rakyat menjadi sangat berkembang sejak dijalankannya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Fasilitasi Bantuan Bibit, Aksi Penanaman Serentak, Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTPP), Hutan Sekolah, gerakan One Man One Tree (OMOT), One Billion Indonesian Trees (OBIT), Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pesatnya perkembangan hutan rakyat juga ditunjang dengan adanya hutan rakyat pola swadaya maupun pola kemitraan. Data terakhir menunjukkan luas hutan rakyat di Kabupaten Blora telah mencapai ,29 Ha yang tersebar di seluruh wilayah Kecamatan. Perkembangan dan sebaran lokasi hutan rakyat secara rinci ditampilkan pada Tabel 2.3. berikut. Tabel II-3 Perkembangan Sebaran Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Blora Menurut Wilayah Kecamatan Sampai Dengan Tahun 2013 No Kecamatan Jati 776, , , , ,16 2 Randublatung 799, , , , ,36 3 Kradenan 525, , , , ,24 4 Kedungtuban 537, , , , ,24 5 Cepu 246, , , , ,40 6 Sambong 669, , , , ,14 7 Jiken 1.056, , , , ,97 8 Bogorejo 1.628, , , , ,16 9 Jepon 1.133, , , , ,84 10 Blora 1.433, , , , ,54 11 Banjarejo 1.043, , , , ,64 12 Tunjungan 1.005, , , , ,88 13 Japah 1.511, , , , ,44 14 Ngawen 1.219, , , , ,72 15 Kunduran 1.026, , , , ,29 16 Todanan 1.672, , , , ,26 Jumlah , , , , ,28 Sumber : Statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Blora 2013 ; Blora Dalam Angka Tahun 2014 Page 21

30 Gambar II-9 Peta Sebaran Lokasi Hutan Rakyat Kabupaten Blora Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah hutan yang dikembangkan di atas lahan milik. Sebaran dan keragaan hutan rakyat ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah : luas kepemilikan lahan, minat, waktu tumbuhnya minat dan lain-lain. Dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut, keragaan hutan rakyat pada umumnya tersebar secara sporadis dengan kelas umur yang bervariasi. Motivasi masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat, juga cukup bervariasi, antara lain : Sebagai investasi untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjaraangan dan tebangan akhir, Sebagai tabungan bisa diambil sewaktu-waktu membutuhkan atau untuk diwariskan kepada anak-anaknya, Sebagai cara untuk meningkatkan nilai jual tanah, Sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan kayu yang harganya semakin mahal, Sebagai cara untuk menjaga lingkungan khususnya untuk meningkatkan peresapan air hujan ke dalam tanah. Dengan situasi tersebut sampai saat ini pola pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Blora pada umumnya masih bersifat individual. Hutan rakyat yang saat ini sudah menerapkan pola pengelolaan kelompok dan telah lulus sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) tahun 2012 adalah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Jati Mustika kecamatan Blora. Gapoktan lain yang sedang mempersiapkan pola Page 22

31 pengelolaan kelompok dan mempersiapkan proses menuju sertifikasi VLK adalah Gakpoktan Jati Mustika II Kecamatan Ngawen dan Gapoktan Jati Mulyo Kecamatan Todanan. 2.3 Kontribusi Sektor Kehutanan Kontribusi Ekonomi Produksi Kayu Bulat Produksi kayu bulat dari kawasan hutan merupakan produksi gabungan dari 7 KPH Perum Perhutani yang mengelola kawasan hutan di Kabupaten Blora. Jenis kayu bulat yag diroduksi dari hutan negara didominasi oleh jenis Jati, sedang jenis Mahoni/Sonobrit, Sonokeling dan jenis Rimba Campuran hanya menempati porsi tidak lebih dari 3 %. Selain kayu bulat juga dihasilkan kayu bakar/afval yang merupakan kayu sisa yang tidak memenuhi standar ukuran/sortimen panjang dan diameter. Sedangkan produksi kayu bulat dari lahan hutan rakyat merupakan data produksi hutan rakyat dari seluruh wilayah kecamatan yang dilaporkan ke instansi Dinas Kehutanan. Total volume kayu bulat dan kayubakar/afval yang diproduksi dari kawasan hutan negara dan lahan hutan rakyat dalam 6 tahun terakhir secara terinci adalah seperti disajikan pada Tabel 2.4 berikut. Tabel II-4 Volume Produksi Kayu Bulat dan Afval/Kayu Bakar Dari Kawasan Hutan Negara dan Hutan Rakyat Tahun 2008 s/d 2013 No Jenis A PERHUTANI A1 Kayu Bulat 1 Jati 83, , , , , , Mahoni 1, , , , , Sonokeling Rimba Campur ,011 Jumlah (m 3 ) 84, , , , , , A2 Ky Bakar/Afval 1 Jati , , Mahoni Sonokeling Rimba Campur Jumlah (Sm) , , B HUTAN RAKYAT Kayu Bulat (m 3 ) No data No data 7, , , , Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Page 23

32 Grafik II-1 Produksi Kayu Bulat Kabupaten Blora Tahun Volume produksi kayu bulat dari kawasan hutan selama 6 tahun terakhir terlihat cukup fluktuatif. Angka produksi yang fluktuatif tersebut tidak mencerminkan potret kinerja pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh ke 7 KPH Perum Perhutani yang mengelola kawasan hutan di Kabupaten Blora. Faktor yang penyebab terjadinya fluktuasi tersebut adalah rencana penebangan menurut waktu dan tempat yang telah disusun oleh dari masing-masing KPH. Untuk KPH yang wilayah kerjanya berada di Kabupaten Blora dan Kabupaten lainnya, kegiatan penebagannya akan menyebabkan kenaikan produksi bagi Kabupaten Blora jika lokasi tebang yang telah direncanakan berada di wilayah Kabupaten Blora. Demikian pula sebaliknya akan berengaruh pada penurunan produksi ketika lokasi tebangannya berada diluar wilayah Kabupaten Blora. Data produksi kayu bulat dari lahan hutan rakyat terlihat terlalu rendah dan kurang berimbang dengan data luasannya. Data yang terlalu kecil tersebut ternyata terlihat masih mengalami penurunan sejak tahun Dengan pola pengelolaan hutan rakyat yang pada umumnya masih bersifat individual dan sistim administrasi/ tata niaga kayu rakyat yang tidak terlalu mengikat, faktor penyebab rendahnya data produksi tersebut kemungkinan adalah karena tidak adanya laporan produksi ke Dinas Kehutanan Kabupaten Blora. Beberapa alasan tidak adanya laporan ke Dinas Kehutanan antara lain karena volume tebangan per pemilik relatif kecil, untuk digunakan sendiri, diperjualbelikan di bawah tangan kepada tetangga dan lain- lain. Terlebih sejak terbitnya Permenhut Nomor P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal Dari Hutan Hak yang memberikan wewenang kepada Perangkat Desa yang sudah memiliki hak sebagai Penerbit SKAU. Data produksi kayu dari lahan hutan rakyat menjadi semakin tidak termonitor karena selain penerbitan SKAU tidak lagi menjadi kewenangan Dinas Kehutanan, juga belum optimalnya koordinasi data antara petugas penerbit SKAU dengan Dinas Kehutanan. Page 24

33 Hasil Hutan Bukan Kayu Hasil hutan bukan kayu dari kawasan hutan di Kabupaten Blora diproduksi dari pemanfaatan lahan tumpang sari di petak-petak tanaman jati dibawah umur 2 tahun dengan tanaman polowijo dan pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan tanaman empo-empon (temu awak, kencur putih dll). Luas kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk lahan tumpangsari dan penanaman bawah tegakan pada tahun 2008 dan 2013 adalah sebagai berikut. Tabel II-5 Luas Lahan Tumpang Sari dan Tanaman Bawah Tegakan No Jenis Komoditi Satuan Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun Palawija Ha 2, ,53 2 Emponempon Ha , , , , ,75 Sumber : Perum Perhutani Wilayah Administrasi Kabupaten Blora 2013 Melalui gerakan peningkatan produksi pangan berbasis koorporasi seperti dirilis oleh Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah, rata-rata per tahun dapat diproduksi hasil pangan/ polowijo yang dapat diproduksi dari lahan tumpangsari sebanyak ± ton/tahun dengan nilai pada tahun 2012 ± Rp 16,5 miliar Jasa Lingkungan / Wisata Alam Kawasan hutan negara, Blora memiliki lokasi wisata alam yang sangat potensial untuk dikembangkan, antara lain adalah : Wisata Loko Tour menggunakan kereta api dengan pemadangan lebatnya pohon jati di sepanjang jalan yang dilalui kereta hingga di lokasi Gubug Payung. Wisata alam di Gubug Payung dengan daya tarik berupa pohon jati alam dengan usia diperkirakan mencapai antara 100 hingga 200 tahun, terletak di Gubug Payung, 17 Km dari jalan raya Blora Cepu. Wisata jati alam umur 150 tahun sebanyak pohon, terletak di kawasan Temengeng, Kecamatan Sambong. Satu pohon yang mati terjual dengan harga Rp. 1 Milyar dan tercatat dalam dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Page 25

34 Wisata alam jati Denok dengan daya tarik umurnya yang mencapai lebih dari 300 tahun, mendapatkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai jati terbesar dan umurnya tertua di Indonesia, dengan tinggi sekitar 30 meter dan keliling pangkal bawahnya mencapai 839 cm. Terletak di di Dukuh Temetes, Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, tepatnya di petak 62, RPH Temetes, BKPH Temanjang, KPH Randublatung, usianya lebih dari 300 tahun. Dari Blora ke arah Randublatung pada sekitar kilometer 15, belok ke arah barat dengan jarak sekitar 7 kilometer. Wisata alam Goa Terawang. Terletak terletak di kawasan hutan KPH Blora, di pinggir jalan Todanan-Blora, Kecamatan Todanan. Goa Terawang adalah sebuah goa yang memanjang ± 500 m. Dibagian dalamnya terdiri dari 5 goa yang sambung-menyambung. Goa paling depan adalah Terawang 1, goa selanjutnya disebut Terawang 2 dan seterusnya sampai dengan Terawang 5. Setiap goa memiliki detail dinding dan stalaktit-stalagmit di dalamnya yang khas. Pada bagian langit-langit memiliki lubang alami dengan diameter yang bervariasi yang memungkinkan sinar matahari masuk ke dalam gua. Melalui lobang langit-langit menjadi semacam ventilasi sirkulasi udara di dalam gua, memungkinkan pengunjung untuk melihat pohon-pohon jati dan pohon lainnya yang tumbuh di atas goa. Keberadaan potensi wisata alam tersebut sampai saat ini belum dipromosikan secara maksimal sebagai lokasi wisata yang mampu mendatangkan wisatawan domestic maupun manca negara. Wisata alam tersebut akan memiliki prospek bisnis yang lebih maksimal jika pembangannya disinergikan dengan potensi wisata budaya maupun sejarah yang terdapat di Kabupaten Blora, antara lain : Wisata budaya kehidupan masyarakat samin di Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo; Wisata budaya museum Pamudya Ananta Toer; Wisata pengilangan minyak di Kecamatan Cepu; Wisata eksplorasi minyak sumur tua di Desa Semanggi, Ledok, Kawengan; Wisata kerajinan bubut dan industri kreatif akar jati di Desa Jepon dan Jiken; Wisata religi makam Sunan Pojok di seputaran alun-alun Blora; Page 26

35 Wisata sejarah SD Darmorini sekolah wanita pertama di Indonesia; Wisata alam Desa Sayuran Industri Pengolahan Kayu Ketersediaan bahan baku kayu telah mendorong tumbuhnya usaha industri berbasis kehutanan khususnya industri rumah tangga dan industri kecil yang tersebar di Kabupaten Blora. Jenis industri tersebut antara lain adalah industri meubel, bubut kayu, ukir-ukiran, indutri kreatif akar jati sampai dengan industri pengolahan kayu dan furniture. Sampai dengan tahun 2013 berdasarkan statistik tahun 2014 terdapat industri berbasis kehutanan sebanyak Unit, terdiri dari dari industri rumah tangga sebanyak Unit, industri kecil sebanyak 611 Unit, industri sedang sebanyak 16 Unit dan industri besar sebanyak 3 Unit. Keberadaan industri kehutanan tersebut ternyata mampu memberikan kontribusi ekonomi terhadap pembangunan wilayah Kabupaten Blora dengan total produk yang dihasilkan sebesar ± Rp ,- pada tahun 2012 dan menjadi ± Rp ,- pada tahun Data selengkapnya tentang industri berbasis kehutanan ditampilkan pada dua tabel berikut. A Tabel II-6 Industri Berbasis Kehutanan Di Kabupaten Blora No Jenis Industri Industri Rumah Tangga Unit Nilai Prod (Rp. 000) Unit Nilai Prod (Rp. 000) 1 Perabot Ruta (mebel) Bubut Kayu Ukir-ukiran Kayu Jumlah IRT B Industri Kecil 1 Mebel Pengolahan Kayu Industri Kreatif dari Akar Jati Jumlah Industri Kecil C Industri Sedang 1 Pengolahan Kayu Jumlah Industri Sedang D Industri Besar 1 Industri Penggergajian dan Pengawetan 2 Furniture Jumlah Industri Besar Jumlah Industri Sumber : Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2012 dan 2013 Page 27

36 Tabel II-7 Poduk Kayu Olahan Kabupaten Blora Tahun 2013 NO SORTIMEN PRODUKSI (m³) 1 BBI Komponen - 2 Finger joint - 3 Parket block Finish flooring 2, Garden furniture Skirting Decking Listoni - 9 Lamela - 10 Lam parket - 11 Reng Raw sawn timber rimba 12, Kayu Olahan Lain. 4, JUMLAH 19, Sumber : Statistik Kehutanan Kabupaten Blora, Penerimaan Dana PSDH Atas kayu yang diperoduksi dari kawasan hutan Perum Perhutani berkewajiban untuk membayar Dana Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Besarnya realisasi pembayaran dana PSDH yang dibayarkan oleh Perhutani sebagai pihak pengelola hutan di dalam kawasan hutan pada tahun 2013 melalui 6 KPH yang terletak di Kabupaten Blora adalah sebesar Rp ,- Tabel II-8 Realisasi Pembayaran PSDH 6 KPH di Kabupaten Blora Tahun 2013 KPH Realisasi Pembayaran PSDH Per Jenis (Rp) Jumlah PSDH Jati Mahoni Sonokeling Rimba KyBkr/Afval Camp Blora Randublatung Cepu Matingan Kebonharjo Ngawi Jumlah Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, 2013 Sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dana PSDH tersebut harus didistribusikan kepada Pemerintah Kabupaten Penghasil sebesar 32%, Pemerintah Propinsi sebesar 16 %, Pemerintah Kabupaten Non Penghasil dalam satu wilayah Propinsi sebesar 32 % dan Pemerintah Pusat sebesar Page 28

37 20%. Dengan komposisi pembagian tersebut, pada tahun 2013 Kabupaten Blora sebagai daerah penghasil menerima pembagian dana PSDH sebesar Rp ,-. Adapun nilai pembagian dana PSDH untuk Kabupaten Blora sebagai Kabupaten penghasil dalam 5 tahun terakhir adalah seperti dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel II-9 Realisasi Penerimaan PSDH Porsi Kabupaten Blora NO TAHUN PENERIMAAN PSDH Sumber : Perhutani di Wilayah Administrasi Kabupaten Blora, Kontribusi Terhadap PDRB Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah/wilayah dalam suatu periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah. Secara kuantitatif PDRB merupakan nilai barang dan jasa, oleh karena itu PDRB dihitung atas harga berlaku (at current price) dan PDRB atas dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil. Dengan keragaan potensi sumberdaya hutan yang ada dan berbagai kegiatan produktif yang berbasis hutan, sektor kehutanan menjadi sektor yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomial wilayah Kabupaten Blora. Data PDRB Kabupaten Blora periode tahun 2005 s/d 2013 menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Blora selama ini didominasi oleh sektor pertanian. Kehutanan sebagai salah satu sub sektor dibawah sektor pertanian, memiliki peran penting terhadap pembangunan ekonomi Kabupaten Blora. Besaran sumbangan sektor kehutanan terhadp PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan tahun 2000 adalah sebagai berikut : Page 29

38 Tabel II-10 Kontribusi Sub Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp) Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rp) Kontribusi (Juta Rp) Sektor Kehutanan Prosentase Kontribusi Peringkat Kontribusi ,555, , % III ,873, , % III ,181, , % III ,636, , % III ,993, , % III ,472, , % III ,868, , % III ,313, , % III ,976, , % III Sumber : Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2010 ; 2013 ; 2014 Tabel II-11 Kontribusi Sub Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rp) Tahun PDRB Atas Dasar Harga Konstan (Juta Rp) Kontribusi (Juta Rp) Sektor Kehutanan Prosentase Kontribusi Peringkat Kontribusi Prosetase Pertumbuhan ,731, , % II 3.97 % ,803, , % II 2.83% ,883, , % III (3.94)% ,979, , % III 5.90% ,078, , % III 2.19% ,182, , % III 2.93% ,241, , % III 2.80% ,354, , % III (2.13)% ,14% III 1.97% Sumber: Kabupaten Blora Dalam Angka Tahun 2010 ; 2013 ; 2014 Sub-sektor kehutanan memiliki peran strategis terhadap PDRB Kabupaten Blora selama periode tahun 2005 s.d dengan tingkat kontribusi terbesar ke tiga di bawah sektor sub-sektor Tanaman Pangan dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan besaran kontribusi pada tahun 2013 sebesar Rp ,- atau sebesar 12,51%. Selama periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 pertumbuhan riil sektor kehutanan terlihat berfluktuasi. Pada tahun 2007 dan 2012 pernah mengalami pertumbuhan negative, tetapi pada tahun 2013 pertumbuhannya kembali positif sebesar 1,97%. Page 30

39 Grafik II-2 Prosentase Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Kabupaten Blora Tahun Grafik II-3 Tingkat Pertumbuhan PDRB dan Sub-Sektor Kehutanan Kabupaten Blora Tahun Kontribusi Ekologi Hutan sebagai salah satu sumberdaya terbarukan (renewable resource) selain memberikan manfaat yang dapat dihitung (tangible banefit) juga memberikan manfaat kualitatif (intangible benefit) terhadap perbaikan kualitas ekologi dan lingkungan. Intangible benefit hutan ini walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan metode kuantifikasinya akan tetapi semua pihak sepakat jika jasa lingkungan dari keberadaan hutan secara nyata dapat dirasakan dan dinikmati. Sedemikian signifikannya manfaat Page 31

40 yang diperankan hutan terhadap kelestarian ekologi, maka pada tempat-tempat tertentu yang memiliki kerawanan ekologis atau memiliki nilai konservasi tinggi harus ditetapkan sebagai kawasan konservasi, kawasan perlindungan dan wilayah rehabilitasi Pelestarian Cagar Alam 1. Cagar Alam Bekutuk Cagar Alam Bekutuk memiliki luas 25,40 Ha dan merupakan kawasan yang memiliki Nilai Konservasi Tinggi (NKT). Terletak di Petak 37, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gumeng, Bagian Hutan (BH) Bekutuk, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Randublatung. Secara administratif termasuk wilayah Desa Tanggel, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Penunjukan Cagar Alam Bekutuk melalui SK Menteri Pertanian No.596/Kpts/Um/9/1975 tanggal 17 Februari Dikukuhkan melalui SK Menteri Kehutanan No.79/Menhut-II/2004 tanggal 10 Maret Saat ini keseluruhan areal cagar alam Bekutuk merupakan kawasan hutan dengan penutupan berupa vegetasi hutan alam jati. Kewenangan pengelolaan Cagar Alam Bekutuk berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta. Untuk mendukung pengelolaan ekosistemnya telah ditetapkan zona penyangga seluas 331,30 ha berupa Hutan alam sekunder (HAS) Bekutuk yang selama ini menjadi habitat Elang Bido (Spilornis cheela), Biawak (Varanus salvatore) dan Merak Hijau (Pavo muticus). 2. Pelestarian Cagar Alam Cabak I/II Cagar Alam Cabak I/II dengan luas 30,00 Ha. Terletak di Petak 94, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Cabak, Bagian Hutan (BH) Cabak, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cepu. Secara administratif termasuk wilayah Desa Cabak, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Cagar Alam Cabak Page 32

41 I/II ditunjuk berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 6 tanggal 21 Februari 1919, Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919, No. 90. Alasan penunjukan kawasan hutan di petak 94 RPH Cabak sebagai Cagar alam adalah karena dengan kawasan ini merupakan hutan Jati tua yang tersambung langsung dengan ekosistem hutan primer. Namun Jati tua tersebut telah ditebang pada jaman Jepang. Tanaman yang ada saat ini adalah hasil dari penanaman kembali pada tahun Cagar alam seluas 30 Ha yang didominasi tegakan Jati (Tectona grandis) ini pada musim kemarau rawan terjadi kebakaran hutan, baik kebakaran yang berasal dari cagar alam sendiri, maupun kebakaran yang berasal dari rembetan kebakaran di hutan produksi Perum Perhutani yang berbatasan langsung dengan cagar alam. Cagar Alam Cabak I/II berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, Seksi Konservasi Wilayah I Surakarta Pelestarian Kawasan Lindung 1. Sempadan Sungai Sesuai dengan peraturan yang berlaku, utuk melindungi kualitas ekosistem sungai dan fungsi sungai dari proses degradasi akibat erosi dan sedimentasi maka area dalam jarak 100 meter dari tepi kanan kiri di sepanjang sungai perlu dilestarikan dan dilindungi serta ditetapkan sebagai kawasan lindung sempadan sungai. Di wilayah Kabupaten Blora terdapat dua sungai besar, yaitu Sungai Bengawan Solo dan Sungai Lusi. Sungai Lusi terbentang mulai dari wilayah hulu yang berada di pegunungan Kendeng Utara menuju ke hilir dan melintasi wilayah Kabupaten Blora dari arah timur laut menuju ke barat. Menjadi menjadi muara bagi anak-anak sungai yang berada dalam wilayah tangakapan air. Daerah tangkapan air sungai Lusi meliputi dua per tiga wilayah Kabupaten Blora, yaitu meliputi wilayah Kecamatan Blora, Bogorejo, Jiken, Jepon, Banjarejo, Ngawen, Tunjungan, Japah, Todanan dan Kunduran. Sungai Bengawan Solo melintas di sisi timur wilayah Kabupaten Blora dan mejadi batas wilayah Kabupaten Blora dengan Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Daerah tangkapan air sungai Bengawan Solo di Kabupaten Blora meliputi wilayah Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, Kedungtuban, Cepu, Sambong, Jiken bagian timurdan Bogorejo wilayah timur. Page 33

42 2. Kawasan Sekitar Mata Air Kekeringan dan kekurangan air selalu menjadi pesoalan yang berulang setiap musim kemarau datang di Kabupaten Blora. Penutupan hutan di pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan telah membentuk banyak mata air yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Untuk melindungi fungsi dan manfaat mata air diperlukan perlindungan dan pelestarian ekosistem di kawasan sekitar mata air. Sesuai dengan peraturan yang berlaku kawasan spetuar mata air yang harus dilindungi dan dilestarikan adalah dalam radius jarak 200 eter dari mata air atau 12,56 Ha. Sebaran loasi mata air di kabupaten Blora adalah seperti disajikan pada Tabel berikut. Tabel II-12 Sebaran Lokasi Mata Air di Luar Kawasan Hutan No. Nama Sumber Desa/Kecamatan Kpsitas puncak (Lt/dtk) Kpsitas Minimal (Lt/dtk) Manfaat Luas yg diari (Ha) 1 Biting Biting, Sambong Irigasi 14 2 Klampok Klampok, Bogorejo Irigasi 3 Jepang Rejo Jepangrejo, Blora Sukorejo Sukorejo, Tunjungan 16 4 Irigasi 5 Kedungrejo Kedungrejo, Tunjungan Irigasi 6 Kedung Bawang Ds.Sitirejo, Tunjungan Irigasi 7 Kedung Lo Kedungrejo, Tunjungan Irigasi 8 Sari Mulyo Sarimulyo, Ngawen Irigasi Kalinanas Japah, Japah Irigasi 10 Krocok Japah, Japah 26 7 Irigasi 11 Ngawen Ombo Ngawen Ombo, Irigasi 0 Kunduran 12 Cungkup Cungkup, Kunduran Irigasi Karanganyar Karanganyar, Todanan Irigasi Bicak Bicak, Todanan Irigasi Kajengan Kajengan, Todanan 0 Irigasi Cokrowati Cokrowati, Todanan Irigasi Dringo Dringo, Todanan Irigasi Ledok Ledok, Todanan Irigasi Bedingin Bedingin, Todanan Irigasi Gembleb Kedung Wungu, Todanan Irigasi Watu Lunyu Watu Lunyu, Todanan, Irigasi Patiyan Patiyan, Todanan Irigasi Gedung Sari Kedungsari, Todanan Irigasi Rondokuning Rondo Kuning, Kunduran Irigasi 0 Sumber : KLHS, Bappeda, 2011 Page 34

43 Tabel II-13 Sebaran Lokasi Mata Air di Dalam Kawasan Hutan No. Nama Sumber Letak Luas Luas Sempadan 1 Sendang Wedok Petak 68a, RPH Sumengko, BKPH Boto, KPH Randublatung 2 Sendang Lanang Petak 67c, RPH Boto, BKPH Boto, 3 Sendang Kuwung KPH Randublatung Petak 123c, RPH Menden, BKPH Beran, KPH Randublatung 4 Sendang Salak Petak 123a, RPH Trembes, BKPH Temuireng, KPH Randublatung 5 Sendang Apit Petak 14, RPH Sigih, BKPH Boto, 6 Mata Air Banyuasin/ Sumur Uripan 7 Mata Air Delok/ Sendang Tutupan KPH Randublatung Petak 22g, RPH Banyuasin, BKPH Ngliron, KPH Randublatung Petak 51a, RPH Delok, BKPH Tanggel, KPH Randublatung Manfaat 0,1 10,00 Air bersih 0,1 9,70 Air bersih 0,1 2,00 Air bersih 0,1 10,00 Air bersih 0,1 6,70 Air bersih 0,1 8,70 Air bersih 0,1 10,10 Air bersih 8 PAM Wanatirta Cabak, KPH Cepu Air bersih 9 Sendang Batur KPH Cepu Air Wedok bersih 10 Sendang Punggur KPH Cepu Air bersih 11 Sendang Banyu Uyah KPH Cepu Air bersih 12 Sendang Plaosan KPH Cepu Air bersih 13 Sendang Padaan Sili KPH Cepu Air bersih 14 Kedungprahu KPH Cepu Air bersih Luas yg diari (Ha) Masy Desa Sumengko Masy Desa Sumengko Masy Desa Bodeh Masy Desa Doplang Masy Desa Kepoh Masy Desa Ngodo Masy Desa Tanggel 3. Sempadan Waduk Pada prinsipnya air hujan akan lebih memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan jika bisa ditahan selama mungkin untuk tetap berada di daratan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menahan air agar tidak secepatnya mengalir sebagai run off dan kembali ke sungai, salah satu diantaranya adalah dengan pembuatan waduk atau embung air. Guna memenuhi kebutuhan air persawahan Pemerintah telah mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit untuk pembuatan waduk. Fungsi waduk Page 35

44 akan mampu bertahan sesuai yag direncanakan manakala tidak terjadi pendangkalan akibat proses sedimentasi yang berlebih. Untuk melindungi fungsi waduk dari ancaman sedimentasi, perlu dilakukan upaya pelestarian lingungan di sekitar waduk dalam radius 100 m dari batas pemukaan tertinggi air waduk. Di Kabupaten Blora terdapat 7 waduk/ embung yang perlu dilindungi dari ancaman sedimentasi dan pendangkalan yang terlalu cepat. Sebaran lokasi dan debit air dari masing-masing waduk tersebut secara terinci adalah seperti ditampilkan dalam Tabel II-14 Berikut. Tabel II-14 Sebaran Kapasitas dan Pemanfaatan Waduk di Kabupaten Blora No. Nama Waduk Desa / Kecamatan Kpsitas puncak (Lt/dtk) Kpsitas Minimal (Lt/dtk) Manfaat Luas yg diari (Ha) 1 WD. Tempuran Tempuran, Blora Irigasi WD.Greneng Tunjungan 122 Irigasi Emb. Kulur Siti Rejo, Tunjungan Irigasi 4 Jetak Wanger Sarimulyo, Ngawen Irigasi 5 WD. Bruk Ngrambitan, Japah Irigasi WD. Bogem Bogem, Japah Irigasi 30 7 WD. Bradag Bradag, Japah Irigasi 10 Sumber : KLHS, Bappeda, Kawasan Mirip Kriteria Hutan Lindung Kawasan dengan fisiografi seperti kawasan lindung seluas 3.077,75 Ha yang terdapat terutama di Kecamatan Todanan, Jepon bagian Utara dan Jiken bagian Utara 5. Kawasan Rawan Bencana Banjir Longsor Kawasan Rawan Bencana Longsor seluas 1.014,60 Ha yang tersebar di KecamatanTodanan, Bogorejo dan Jiken. Kawasan Rawan Bencana Banjir dari meluapnya sugai Bengawan Solo yang mencapai luasan 2.507,20 tersebar di Kecamatan Cepu Kedungtuban dan Kradenan 6. Kawasan Pelestarian Plasma Nitfah (KPPN) Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Banglean yang menjadi habitat Biawak ( Varanus salvatore ) yang dalam masuk CITES Appendix II, Merak Hijau (Pavo muticus ) yang dilindungi pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam & Ekosistem, PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi, Elang bido (Spilornis cheela) yang dilindungi pemerintah melalui PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi. Page 36

45 Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Randublatung yang menjadi habitat Biawak ( Varanus salvatore ) yang dalam masuk CITES Appendix II, Merak Hijau (Pavo muticus ) yang dilindungi pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam & Ekosistem, PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi, Elang bido (Spilornis cheela) yang dilindungi pemerintah melalui PP RI No 7 tahun 1999, mempunyai nilai umbrella index yang tinggi 7. Kawasan Resapan Air Kawasan resapan air seluas ,85 Ha yang tersebar 13 Kecamatan. Luasnya wilayah sebaran kawasan resapan air ini karena Blora sering mengalami kekurangan air di musim kemarau, sehingga banyak wilayah yang harus dilindungi sebagai kawasan resapan air 8. Kawasan Karst Kawasan Karst jalur Sukolilo sebagai perlindungan tata air bawah tanah dengan luas mencapai 45,30 Ha. Gambar II-10 Peta Kawasan Lindung Kabupaten Blora Page 37

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI

PERKEMBANGAN INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI No. 13/12/33/16/Th.VIII, 15 Desember 2016 PERKEMBANGAN INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI INDEKS KEMAHALAN KONSTRUKSI KABUPATEN BLORA TAHUN 2016 SEBESAR 94,13 Pada tahun 2016, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum KPH Cepu 4.1.1 Letak Geografi dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH Cepu terletak antara 111 16 111 38 Bujur Timur dan 06 528 07 248

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 1/MENHUT-II/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT PROVINSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR EVALUASI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI KPH RANDUBLATUNG BLORA TUGAS AKHIR Oleh : INDAH SUSILOWATI L2D 305 134 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Blora merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Blora merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Blora merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Blora terbagi dalam 16 kecamatan yaitu Kecamatan Jati, Kecamatan Randublatung, Kecamatan

Lebih terperinci

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016 DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016 Disampaikan dalam : Rapat Koordinasi Teknis Bidang Kehutanan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN (RKTK) BLITAR TAHUN 2015-2035 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

Lebih terperinci

Analisis Skalogram Guttman Kabupaten Blora Page 1

Analisis Skalogram Guttman Kabupaten Blora Page 1 Latar Belakang Analisis skalogram adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis pusat-pusat permukiman khususnya hirarki atau orde pusat-pusat permukiman. Adapun yang menjadi subyek di dalam analisis

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

Sekapur. Penutup. Publikasi ini merupakan momentum awal kami sebelum publikasi lain diterbitkan dari hasil pengolahan data final hasil SP2010.

Sekapur. Penutup. Publikasi ini merupakan momentum awal kami sebelum publikasi lain diterbitkan dari hasil pengolahan data final hasil SP2010. Penutup Sekapur Penyelenggaraan Sensus Penduduk 2010 merupakan hajatan besar bangsa yang hasilnya sangat penting dalam rangka perencanaan pembangunan. Pembangunan yang melalui proses perencanaan yang matang

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Berdasarkan penyelenggaraan pelayanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN BLORA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT)

DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DISAMPAIKAN OLEH Ir. BEN POLO MAING (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT) DASAR HUKUM DAN ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI PROV. NTT UUD 1945; Pasal 33 BUMI, AIR DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS KEHUTANAN RUT 2011 Jl. Patriot No. O5 Tlp. (0262) 235785 Garut 44151 RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN 2014-2019 G a r u t, 2 0 1 4 KATA PENGANTAR Dinas Kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG 101 GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG Wilayah Pegunungan Kendeng merupakan bagian dari Kabupaten Pati dengan kondisi umum yang tidak terpisahkan dari kondisi Kabupaten Pati. Kondisi wilayah Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga Naskah Akademis untuk kegiatan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan dapat terselesaikan dengan baik

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN digilib.uns.ac.id 66 BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Grobogan terletak pada posisi 68 ºLU dan & 7 ºLS dengan ketinggian rata-rata 41 meter dpl dan terletak antara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk terselenggaranya

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 36 BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Keadaan Geografi Letak dan Batas Wilayah Kabupaten Ngawi secara geografis terletak pada koordinat 7º 21 7º 31 LS dan 110º 10 111º 40 BT. Batas wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan tidak hanya mempunyai peranan dalam segi ekologi, tetapi sebagai salah satu sumber devisa negara. Dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, dinyatakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT, BIDANG,

Lebih terperinci

KONDISI GEOGRAFIS. Luas Wilayah (Ha)

KONDISI GEOGRAFIS. Luas Wilayah (Ha) B A B KONDISI GEOGRAFIS 3.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Sumedang terletak antara 6º44 70º83 Lintang Selatan dan 107º21 108º21 Bujur Timur, dengan Luas Wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika pembangunan yang berjalan pesat memberikan dampak tersendiri bagi kelestarian lingkungan hidup Indonesia, khususnya keanekaragaman hayati, luasan hutan dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BLORA TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun

DAFTAR ISI. Halaman. X-ii. RPJMD Kabupaten Ciamis Tahun DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR GRAFIK... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... I-5

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan.

I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. 7 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 32/Menhut-II/2013 TENTANG RENCANA MAKRO PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN I. PENDAHULUAN A. Urgensi Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan. Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar Oleh : Ir. HENDRI OCTAVIA, M.Si KEPALA DINAS KEHUTANAN PROPINSI SUMATERA BARAT OUTLINE Latar Belakang kondisi kekinian kawasan

Lebih terperinci

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR i PELUANG PENINGKATAN PERANAN HUTAN PRODUKSI KPH RANDUBLATUNG TERHADAP PENINGKATAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR (Studi Kasus: Kecamatan Randublatung) TUGAS AKHIR Oleh: MEILYA AYU S L2D 001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU Fitra Riau 1 Skema Pendanaan Perhutanan Sosial SKEMA PENDANAAN PERHUTANAN SOSIAL LANDASAN KEBIJAKAN (HUKUM) Banyak

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG Cepu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Blora yang memiliki prospek perkembangan menjadi pusat pengelolaan minyak dan gas Blok Cepu. Untuk mendukung hal itu diperlukan

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.202,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.6/Menhut-II/2012 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Saat ini krisis air merupakan salah satu masalah utama di Kabupaten Rembang, yang aktifitas ekonomi didukung oleh kegiatan di sektor pertanian dan perikanan. Hal ini

Lebih terperinci

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 134, 2016 KEMENLH-KEHUTANAN. Dekonsentrasi. 34 Gubernur. Pelimpahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/MenLHK-Setjen/20152015

Lebih terperinci

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUIBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal 43 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Dilihat dari peta Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Grobogan terletak diantara dua pegunungan kendeng yang membujur dari arah ke timur dan berada

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-Agustus 2015

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 1 Periode: Maret-Agustus 2015 PENENTUAN ZONASI PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL NON LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BLORA BAGIAN SELATAN PROVINSI JAWA TENGAH Dody Bagus Widodo, Budiarto, Abdul Rauf Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang)

Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Sistem Perencanaan Kehutanan Sebagai Pendukung Perencanaan Pengelolaan DAS (Studi di DAS Serang) Oleh: Pamungkas B.P & Irfan B.P DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BALAI PENELITIAN

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan oleh negara Indonesia. Menurut pasal Pasal 33 ayat (3) disebutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu negara mempunyai konstitusi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang digunakan oleh

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci