BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS Pada bab ini akan diuraikan pembahasan yang dimulai dengan hasil pengamatan selama pengujian dan dilanjutkan dengan analisis mengenai perilaku kinerja spesimen link dan sambungannya berupa baut-pelat ujung tipe flush. IV.1. Spesimen Link Dalam sub bab ini pembahasan masalah mengenai beberapa parameter yang menunjukkan karakteristik perilaku benda uji dibawah pengaruh beban siklik yang merupakan interaksi respon antara elemen link dan elemen sambungannya. Diantara parameter yang berfungsi sebagai indikator perilaku adalah hubungan bebanperpindahan (kurva histeretik), perilaku material baja dari elemen link dalam zona elastik dan plastik baik pada pelat badan maupun pada pelat sayap dan ragam keruntuhan (mode failure) yang terjadi sebagai indikator tercapainya kapasitas ultimit spesimen pada akhir percobaan. IV.1.1. Pengamatan Pada Zona Elastik Sebelum membahas perilaku kurva histeretik yang merepresentasikan perilaku spesimen secara utuh (link dan elemen sambungan) maka terlebih dahulu akan diuraikan perilaku bagian-bagian elemen tertentu secara lebih spesifik. Hal ini bisa dilakukan melalui kurva beban regangan uniaksial hasil bacaan uniaxial strain gauge atau melalui kurva beban regangan geser hasil bacaan rosette. Dalam penelitian ini perilaku pelat sayap dalam zona elastik diamati dari sejumlah data bacaan uniaxial strain gauge, sedangkan perilaku pelat badan diamati dari data bacaan rosette. Untuk selanjutnya istilah setengah siklus perpindahan arah keatas dari aktuator disebut siklus tarik dan setengah siklus perpindahan arah kebawah disebut siklus tekan. 53

2 a. Pelat Badan Panel Ujung Spesimen 1 merupakan link tanpa Side Extended Plate (SEP), untuk pengecekan perilaku elastik amplitudo perpindahan yang diberikan sebesar 3mm untuk tarik (atas) dan 4mm untuk tekan (bawah) masing-masing sebanyak ½ siklus. Saat mencapai perpindahan sebesar 4mm angka beban geser dari aktuator sebesar V 1 =111,6 kn, regangan geser pada rosette kiri (R 11 ) dan rosette kanan (R 12 ) berturut turut sebesar γ xy11 =1.69μ, γ xy12 =1.6μ. Sedangkan tegangan Von Misses yang terjadi sebesar f vm11 =265,96 MPa untuk rosette kiri dan sebesar f vm12 =25,38 MPa untuk rosette kanan, berarti nilai ini masih jauh lebih kecil dari tegangan leleh Von Misses sebesar f yw =516 MPa. Melihat bentuk kurva yang masih berupa garis lurus seperti pada Gambar IV.1.(a) ini membuktikan kondisi material pelat badan profil WF masih berada dalam zona perilaku elastik. Hasil ini juga mengindikasikan bekerjanya perangkat dan instrumen strain gauge dengan baik Beban Aktuator (kn) , -2, -1, 1, 2, 3, Beban Aktuator (kn) , -2, -1, 1, 2, 3, Reg γ 1 Spec Reg γ 1 Spec 2 (a) (b) Gambar IV.1. Kurva beban-regangan geser elastik pada pelat badan : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Pada spesimen 2 yang merupakan link dengan SEP perpindahan yang diberikan sebesar 4,5mm untuk tarik dan 5,5mm untuk tekan masing-masing ½ siklus. Pada perpindahan 5,5mm gaya geser aktuator maksimum didapatkan sebesar V 2 =163,67 kn. Perpindahan tersebut berpadanan dengan regangan geser pada rosette kiri (R 21 ) dan rosette kanan (R 22 ) berturut turut sebesar γ xy21 =2.498μ, γ xy22 =2.411μ. Tegangan 54

3 Von Misses yang terjadi sebesar f vm21 =37,59 MPa untuk rosette kiri dan sebesar f vm22 =357,41 MPa untuk rosette kanan, kondisi ini juga mengindikasikan kelelehan belum terjadi. Untuk mengidentifikasi kemiripan perilaku spesimen, dilakukan dengan menghitung nilai tegangan Von Misses yang ada untuk setiap satuan perpindahan yang terjadi diantara kedua spesimen tersebut (tegangan satuan Von Misses). Pada spesimen 1 nilai tegangan satuan Von Misses yang terjadi didapatkan sebesar S vm1 = 265,96Mpa/4mm = 66,49MPa/mm, sedangkan untuk spesimen 2 sebesar S vm2 = 37,59Mpa/5.5mm = 67,38MPa/mm. Rasio S vm2 /S vm1 sebesar 1,134 atau lebih besar 1,34% menunjukkan bahwa dalam rentang zona elastik kedua spesimen menunjukkan nilai besaran tegangan satuan Von Misses yang hampir sama meskipun mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal penambahan SEP. b. Pelat Sayap Panel Ujung Data regangan pada pelat sayap panel ujung diambil dalam waktu dan besaran perpindahan yang sama dengan regangan pada pelat badan hasil bacaan dari rossette. Pada spesimen 1, perpindahan sebesar 4mm menyebabkan regangan yang terjadi sebesar ε x =626μ, nilai ini berpadanan dengan tegangan uniaksial sebesar σ x =137,72 MPa. Tegangan tersebut masih jauh dari nilai tegangan leleh hasil uji kupon sebesar f yf =49 MPa. Sedangkan pada spesimen 2 untuk perpindahan sebesar 5,5mm regangan yang terjadi sebesar ε x =58μ, nilai ini berpadanan dengan tegangan uniaksial sebesar σ x =127,6 MPa. Tegangan tersebut mengindikasikan pelat sayap belum mengalami kelelehan. 55

4 Dari hasil bacaan uniaxial strain gauge pada pelat sayap yang di plot seperti Gambar IV.2 untuk kedua spesimen tersebut terlihat grafik beban regangan masih berbentuk garis lurus pada kondisi beban bolak-balik, fakta ini memastikan kondisi seluruh bagian elemen profil WF masih berada dalam zona perilaku elastik Beban Aktuator (kn) Beban Aktuator (kn) Regangan 1 (Spec1) (a) -2. Regangan 9 (Spec2) (b) Gambar IV.2. Kurva beban-regangan uniaksial elastik pelat sayap : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Meskipun dengan perpindahan aktuator (displacement) dan gaya yang lebih besar pada spesimen 2, terlihat tegangan pelat sayap yang dihasilkan lebih kecil. Jika di perhitungkan nilai tegangan setiap satuan perpindahan yang diberikan untuk spesimen 1 diperoleh sebesar S vm1 = 137,72Mpa/4mm = 34,25 MPa/mm. Sedangkan untuk spesimen 2 sebesar S vm2 = 127,6Mpa/5.5mm = 23,2 MPa/mm. Rasio S vm2 /S vm1 yang terjadi sebesar,677 yang berarti lebih kecil 32,26%. Angka ini mengindikasikan dengan penambahan SEP intensitas tegangan satuan Von Misses jadi semakin kecil, luasan yang bekerja pada pelat sayap untuk menahan tarikan (tension) dan tekanan (compression) menjadi semakin besar sehingga dihasilkan tambahan tegangan yang lebih kecil. Intensitas tegangan satuan yang kecil ini menyebabkan terjadinya penundaan fraktur pada ragam keruntuhan pelat sayap akibat penambahan SEP. Untuk memperoleh nilai tegangan fraktur yang sama pada spesimen 1 maka spesimen 2 harus menerima perpindahan yang lebih besar sehingga konsekuensinya tentu akan membutuhkan siklus pembebanan yang lebih banyak. 56

5 IV.1.2. Pengamatan Pada Zona Inelastik Pembahasan perilaku zona inelastik terfokus kepada riwayat kelelehan pada posisi pelat badan dan pelat sayap dari kedua spesimen. Selanjutnya untuk rentang zona inelastik pasca kelelehan dan fully plastic pembahasan lebih banyak kepada perilaku visual dari spesimen pada setiap siklus pembebanan. a. Riwayat Kelelehan Spesimen Pada spesimen 1 untuk gaya geser dalam arah tarik diperoleh regangan geser berdasarkan data hasil bacaan rosette pada pelat badan sebesar γ xy1 =2.529μ, regangan utama 1 ε w11 =1.397,55μ dan regangan utama 2 ε w21 =2.74,55μ. Nilai regangan tersebut berpadanan dengan tegangan Von Misses sebesar f vm1 =519,866 MPa. Tegangan tersebut merupakan tegangan leleh dan terjadi pada gaya geser aktuator sebesar V yw1 =158,16 kn dan perpindahan sebesar δ y1 =8,1 mm. Nilai ini ditetapkan sebagai beban leleh spesimen 1 dalam arah tarik. Sedangkan untuk gaya geser dalam arah tekan didapatkan regangan geser sebesar γ xy1 =3.47μ, regangan utama 1 ε w11 =2.11,22μ dan regangan utama 2 ε w21 = μ. Pada regangan itu tegangan Von Misses yang terjadi sebesar f vm1 =516,2 MPa. Tegangan leleh tersebut terjadi pada gaya geser sebesar V yw1 =27,23 kn dan perpindahan δ y1 =8,1 mm yang ditetapkan sebagai beban leleh spesimen 1 dalam arah tekan. Kelelehan berikutnya terjadi pada pelat sayap saat gaya geser dalam arah tarik sebesar V yf1 =179,36 kn dan perpindahan sebesar δ yf1 =1,12mm, regangan uniaksial pada saat itu sebesar ε f1 =2.221μ yang menghasilkan tegangan sebesar f yf1 =488,62 MPa. Nilai tersebut relatif hampir sama dengan besaran tegangan leleh hasil uji kupon pelat sayap sebesar 49 MPa. Urutan kelelehan tersebut dapat dilihat pada kurva histeretik (kurva beban aktuator vs perpindahan) Gambar IV.3 dibawah. Titik merah menandakan kelelehan pelat badan telah terjadi terlebih dahulu dan titik kuning menunjukkan kelelehan pelat sayap yang terjadi pada tahap berikutnya. 57

6 Beban Aktuator (kn) Beban Aktuator (kn) PerpindahanΔ (mm) -4 Perpindahan Δ (mm) (a) (b) Gambar IV.3 Riwayat kelelehan pada kurva histeretik untuk : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Saat gaya geser arah tarik pada spesimen 2 sebesar V yw2 =156,35 kn dan perpindahan sebesar δ y2 =8,8 mm, diperoleh tegangan leleh Von Misses sebesar f vm2 =527,939 Mpa. Tegangan tersebut berpadanan dengan besaran regangan geser γ xy2 =2.449μ, regangan utama 1 ε w12 =1.772,36μ dan regangan utama 2 ε w22 =1.829,36μ. Untuk gaya geser dalam arah tekan sebesar V yw2 =23,48 kn dan perpindahan δ y2 =8,16 mm didapatkan tegangan leleh saat tercapainya tegangan Von Misses sebesar f vm2 =527,25 Mpa. Saat itu nilai regangan geser γ xy2 =3.518μ, regangan utama 1 ε w12 =2.18,43μ dan regangan utama 2 ε w22 =1.41,43μ. Selanjutnya kelelehan terjadi pada pelat sayap saat beban tarik sebesar V yf2 =174,49 kn dan perpindahan sebesar δ yf2 =1,4mm, regangan uniaksial pada pelat sayap saat itu sebesar ε f2 =2.232μ yang menghasilkan tegangan sebesar f yf2 =491,4 MPa. Nilai tersebut telah melewati besaran tegangan leleh hasil uji kupon pelat sayap sebesar 49 MPa. Hubungan beban regangan geser pada pelat badan untuk spesimen 1 dan spesimen 2 diplot dalam bentuk kurva hasil olahan data bacaan rosette seperti dalam Gambar IV.4 dibawah. Pada masing-masing kurva tersebut terlihat kelelehan pelat badan terjadi pada titik warna merah dan biru. Setelah titik tersebut kurva yang semula 58

7 masih cenderung berupa garis lurus menjadi lebih landai sebagai indikasi kelelehan dan plastifikasi telah terjadi pada pelat badan Beban Aktuator (kn) f y 1-2, -15, -1, -5, 5, 1, 15, 2, -1-2 f y Beban Aktuator (kn) f y 1-2, -15, -1, -5, 5, 1, 15, 2, -1-2 f y Regangan γ2 (Spec 1) -4 Regangan γ1 (Spec 2) (a) (b) Gambar IV.4. Kurva beban-regangan geser inelastik pelat badan sampai siklus 3δ y (perhitungan pada lampiran E): (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Kurva hubungan beban regangan pelat sayap dapat dilihat pada Gambar IV.5. Pada kurva tersebut besaran titik kelelehan pelat sayap ditandai dengan titik warna merah dan biru. Pelat sayap yang mengalami kelelehan sewaktu gaya geser tarik diberikan kepada spesimen adalah yang mengalami gaya tekanan (compression), hal ini terlihat dengan nilai regangan yang berharga negatif. Pada kurva Gambar IV.5 terlihat posisi titik leleh (merah dan biru) terletak pada posisi kemiringan landai bukan pada titik merah jambu yang merupakan peralihan kemiringan curam (elastik) ke kemiringan landai (plastik) sebagaimana lazimnya titik leleh terjadi. Ini terjadi karena pelat sayap berada dalam kondisi pembebanan tekan sehingga kecenderungan tekuk lokal pelat sayap walaupun dalam nilai yang masih kecil langsung mempengaruhi regangan uniaksial. Distorsi regangan ini semakin signifikan dengan adanya ketidak sempurnaan pemasangan perekat adhesive CN, sehingga tekukan pelat sayap menjadi tidak kompatibel dengan perpendekan regangan strain gauge. 59

8 Beban Aktuator (kn) f y fy , -4, -2, 2, 4, 6, Beban Aktuator (kn) f y 1. f y. -6, -4, -2, 2, 4, 6, Reg 11 (Spec 1) -4. Regangan 12 (Spec 2) (a) (b) Gambar IV.5. Kurva beban-regangan uniaksial pelat sayap sampai siklus 3δ y : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Dari data-data terukur berupa angka dan bentuk geometri kurva beban regangan yang ada terlihat perilaku kelelehan, urutan kelelehan, besar beban leleh dan regangan geser inelastik pasca leleh untuk kedua spesimen cenderung sama. Dari sini dapat disimpulkan penambahan SEP tidak mempengaruhi sifat fisik dan perilaku spesimen pada zona elastik. Dengan demikian semua kriteria disain yang diberlakukan terhadap spesimen 1 dapat diterapkan langsung pada spesimen 2. b. Perilaku Inelastik Pelat badan Perilaku spesimen dalam rentang inelastik lebih banyak di fokuskan pada perilaku secara visual, hal ini karena sejumlah data yang diperoleh dari rosette dan uniaxial strain gauge tidak lagi akurat. Berikut akan diberikan rinciannya dalam bentuk deskripsi untuk setiap siklus perpindahan : Pelat Badan Spesimen 1: Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal, belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan. 6

9 Siklus 2.δy (γ p =.36 rad) ; Sedikit terlihat goresan-goresan kecil pada cat di bagian pelat badan panel bagian tepi kiri dan kanan, ini mengindikasikan mulai terjadinya deformasi (regangan) yang cukup signifikan sebagai tanda semakin besarnya regangan geser yang terjadi. Sementara pada pelat badan panel bagian tengah belum terlihat adanya perubahan. Siklus 3.δy (γ p =.54 rad) ; Goresan-goresan kecil pada cat semakin memanjang di bagian tengah pelat badan pada panel bagian tepi kiri dan kanan, goresan yang terjadi dalam arah atas dan bawah juga semakin bertambah banyak. Pada pelat badan panel bagian tengah belum terlihat perubahan yang berarti. Siklus 4.δy (γ p =.72 rad) ; Goresan goresan cat pada pelat badan bagian tepi kiri dan kanan berubah menjadi garis tonjolan yang menandakan permukaan cat mulai terkelupas, hal ini menandakan semakin membesarnya regangan geser yang terjadi. Sedangkan pada pelat badan panel bagian tengah mulai terbentuk goresan-goresan halus yang menandakan mulainya terbentuk deformasi yang agak signifikan. Siklus 5.δy (γ p =.9 rad) ; Cat yang sudah menonjol sewaktu siklus sebelumnya sudah banyak sisinya yang mengelupas namun belum lepas dari pelat badan panel bagian tepi, tonjolan yang ada semakin menjalar. Pada pelat badan panel bagian tengah semakin banyaknya goresan goresan kecil dan makin bertambah panjang, sebagian mulai menonjol menandakan adanya inisiasi pengelupasan. Siklus 6.δy (γ p =.18 rad) ; Pengelupasan cat bertambah banyak walaupun sedikit yang terlepas pada pelat badan panel bagian tepi kiri dan kanan sebagai tanda regangan geser yang terbentuk semakin signifikan. Serbuk karbon pada pelat badan yang ada dibawah cat mulai berjatuhan. Tonjolan tonjolan cat pada pelat badan panel bagian tengah semakin terbentuk terutama pada bagian keliling las intermediate stiffener. 61

10 Siklus 7.δy (γ p =.126 rad) ; Banyaknya cat pada pelat badan panel bagian tepi yang berjatuhan beserta serbuk karbonnya, tonjolan cat terjadi hampir disemua permukaan dan hampir semuanya mengelupas. Pada pelat badan panel bagian tengah juga sudah meratanya tonjolan-tonjolan cat, terutama di sekeliling intermediate stiffener. Pelat Badan Spesimen 2: Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Identik dengan spesimen 1, belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal. Belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan. Siklus 2.δy (γ p =.36 rad) ; Goresan-goresan kecil mulai terbentuk pada pelat badan panel bagian tepi dan tengah dengan jumlah dan panjang yang terlihat hampir sama. Berarti telah terjadi regangan geser yang hampir sama besar di kedua panel. Siklus 3.δy (γ p =.54 rad) ; Goresan kecil mulai bertambah panjang dan bertambah banyak arah ke atas dan bawah pelat badan dengan kuantitas dan intensitas yang sama antara pelat badan panel bagian tepi dan tengah. Berarti penyebaran regangan geser hampir sama besar terjadi pada kedua panel tersebut. Siklus 4.δy (γ p =.72 rad) ; Pada pelat badan panel bagian tepi dan tengah mulai terjadi tonjolan cat terutama pada sekeliling panel hubungan las antara pelat badan dengan intermediate stiffener. Hal ini menandakan adanya cat yang sudah mulai mengelupas, berarti regangan geser semakin signifikan besarnya. Goresan goresan yang terjadi juga semakin banyak dan merata di kedua panel. Siklus 5.δy (γ p =.9 rad) ; Pada pelat badan panel bagian tengah dan tepi semakin banyak tonjolan cat yang menandakan berkembangnya cat yang terkelupas namun belum lepas dari pelat badannya. Intensitas dan kuantitas yang ada pada kedua panel terlihat hampir sama besar. Regangan geser semakin besar pada kedua panel. 62

11 Siklus 6.δy (γ p =.18 rad) ; Pengelupasan cat pada pelat badan terjadi dimana-mana dan hampir merata pada kedua panel ini ditandai dengan banyak dan meratanya tonjolan cat yang ada. Berarti disipsi energi yang ada bekerja penuh pada kedua panel pelat badan. Lapisan serbuk karbon pada setiap panel pelat badan mulai berjatuhan. Siklus 7.δy (γ p =.126 rad) ; Makin banyak cat dan serbuk karbon yang berjatuhan dan menyebarnya pengelupasan cat pada kedua panel bagian tepi dan tengah. Plastifikasi dalam skala besar telah terjadi di kedua panel sebagai bagian yang mendisipasikan energi secara efektif. Siklus 8.δy (γ p =.144 rad) ; Pelepasan cat dan jatuhnya serbuk karbon pada kedua pelat badan semakin merata, terbentuk garis-garis putih halus yang banyak pada permukaan baja pelat badan (tidak pada cat). Siklus 9.δy (γ p =.162 rad) ; Semua cat sudah terkelupas pada kedua panel pelat badan hanya saja masih ada yang belum jatuh. Serbuk karbon juga semakin berjatuhan di kedua panel. Serat serat berbentuk garis putih pada panel pelat badan semakin jelas terlihat, hal ini mengindikasikan gejala necking pada material. Ada retak kecil di sudut las sambungan pelat badan dengan intermediate stiffener. Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Semakin banyak dan memanjangnya serat serat putih pada baja pelat badan berarti makin dalamnya zona necking yang dimasuki. Terjadi fraktur pada sambungan las pelat badan dengan intermediate stiffener. c. Perilaku Inelastik Pelat Sayap Seperti halnya pada perilaku pelat badan, maka perilaku pelat sayap dalam rentang zona inelastik di deskripsikan untuk setiap siklus perpindahannya sebagai berikut : 63

12 Pelat Sayap Spesimen 1: Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal, belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi uniaksial titik yang cukup signifikan dan belum adanya tekuk pada pelat sayap tekan. Siklus 2.δy (γ p =.36 rad) ; Terlihat sedikit adanya garis-garis tipis pada cat di bagian pelat sayap yang tertekan sebagai tanda inisiasi tekuk pada pelat sayap. Sedangkan pada pelat sayap sewaktu tarik belum memperlihatkan perubahan yang berarti. Siklus 3.δy (γ p =.54 rad) ; Garis-garis tipis pada cat semakin bertambah panjang dan banyak, mulai terlihat inisiasi tekuk (mild buckling) sewaktu pelat sayap tertekan. Siklus 4.δy (γ p =.72 rad) ; Tekuk pada pelat sayap mulai terlihat membesar dan cat di permukaannya mulai menonjol menandakan mulai terkelupasnya cat. Siklus 5.δy (γ p =.9 rad) ; Tekuk sangat terlihat jelas berbentuk huruf S antara pangkal link dengan stiffener panel 1 saat tekan terjadi pada pelat sayap. Gejala retak rambut terlihat pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung saat terjadi tarikan pelat sayap namun hanya pada sisi terluar. Siklus 6.δy (γ p =.18 rad) ; Tekuk yang terjadi pada pelat sayap saat tekan semakin signifikan pada panel terluar, mulai terjadi penjalaran retak las pada sambungan pelat sayap dengan pelat ujung ke arah memanjang las saat bekerja beban tarik. Siklus 7.δy (γ p =.126 rad) ; Tekuk yang besar terjadi saat pelat sayap panel terluar mengalami tekan dan saat pelat sayap tersebut tertarik terjadilah fraktur pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung yang sebelumnya sudah mengalami penjalaran retak. Saat mulai memasuki siklus 8.δy seluruh pelat sayap yang mengalami tarik putus dengan diiringi habisnya kekuatan link. 64

13 Pelat Sayap Spesimen 2: Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Identik dengan spesimen 1 belum terlihat adanya perubahan geometri elemen link secara visual dibandingkan dari kondisi awal. Belum ada terlihat pengelupasan cat yang menandakan adanya deformasi titik yang cukup signifikan dan belum adanya tekuk pada pelat sayap yang tertekan. Siklus 2.δy (γ p =.36 rad) ; Goresan kecil pada cat pelat sayap panel tepi mulai terbentuk saat pelat sayap mengalami tekan, belum terlihat adanya tekuk (flange buckling) yang signifikan terjadi. Siklus 3.δy (γ p =.54 rad) ; Goresan kecil pada cat makin bertambah banyak sewaktu pelat sayap panel tepi tertekan namun gejala tekuk masih belum terlihat. Siklus 4.δy (γ p =.72 rad) ; Semakin banyaknya goresan saat pelat sayap panel bagian tepi mengalami tekan namun tetap belum adanya gejala inisiasi tekuk saat pelat sayap tertekan. Hal ini menandakan dengan adanya SEP inisiasi tekuk pada pelat sayap dapat ditunda (delay). Siklus 5.δy (γ p =.9 rad) ; Gejala tekuk pelat sayap bagian tepi mulai terlihat walaupun masih kecil (mild buckling) saat pelat sayap tertekan. Pelat sayap panel bagian tengah juga mulai menunjukkan adanya gejala tekuk yang diindikasikan dengan bergelombangnya pelat sayap tersebut. Namun belum terlihat adanya inisiasi retak pada sambungan las pelat sayap dengan pelat ujung maupun dengan SEP. Siklus 6.δy (γ p =.18 rad) ; Inisiasi tekuk pada pelat sayap panel bagian tepi mulai agak membesar begitu juga dengan pelat sayap panel bagian tengah saat pelat sayap tertekan. Goresan cat mulai menjadi tonjolan sebagai tanda terkelupasnya cat pada pelat sayap, ini berarti tekuk yang makin signifikan juga telah terjadi. 65

14 Siklus 7.δy (γ p =.126 rad) ; Inisiasi retak pada las antara pelat sayap dengan SEP mulai terjadi. Tekuk pada pelat sayap panel bagian tepi dan tengah juga semakin besar walaupun belum bergelombang secara signifikan. Siklus 8.δy (γ p =.144 rad) ; Terjadi penjalaran retak memanjang pada las sambungan pelat sayap dengan SEP, inisiasi retak melintang pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung mulai terbentuk. Tekuk pada pelat sayap di panel tengah dan tepi mulai membesar (bergelombang). Siklus 9.δy (γ p =.162 rad) ; Retak bukaan memanjang terjadi pada las sambungan pelat sayap dengan SEP, namun kekuatan link belum terpengaruh. Terjadi penjalaran retak melintang pada las sambungan pelat sayap dengan pelat ujung saat beban tarik, tekuk semakin tampak bergelombang pada pelat sayap di kedua panel saat tekan terjadi. Siklus 1.δy (γ p =.18 rad) ; Tekuk yang besar terjadi pada pelat sayap panel bagian tepi dan tekuk medium pada pelat sayap panel tengah. Fraktur terjadi bersamaan pada las memanjang sambungan pelat sayap dengan SEP dan pada las melintang sambungan pelat sayap dengan pelat ujung. IV.1.3. Kurva Beban-Perpindahan (Hysteretic Curve) Kurva histeretik merupakan kurva yang menunjukkan hubungan antara besaran beban (load) dengan besaran perpindahan (displacement) yang diberikan sepanjang siklus tertentu. Kurva tersebut dibentuk dari output data yang berasal dari bacaan load cell dan LVDT aktuator Dartec atau dari bacaan LVDT Data Logger. Dari data kurva histeretik ini banyak informasi yang diperoleh sebagai refleksi perilaku spesimen secara utuh terutama kinerjanya dibawah beban siklik baik berupa data kekakuan, daktilitas, kekuatan dan besaran dari disipasi energi yang terjadi untuk setiap siklus pembebanannya. 66

15 Kurva histeretik ideal yang harus dimiliki oleh setiap spesimen adalah kurva yang mempunyai geometri gemuk, tidak memiliki pinching, daktilitas yang besar dan efek bausschinger minimal. Spesimen yang kurvanya memenuhi sejumlah kriteria diatas secara garis besar akan berperilaku stabil (tidak terjadi tekuk lokal dan tekuk elemen dalam zona elastik) dan memiliki kemampuan mendisipasi energi yang besar dalam rentang zona inelastik dibawah beban siklik. Kurva ideal tersebut seperti diilustrasikan dalam Gambar IV.6. Gambar IV.6 Kurva histeretik ideal [5] Deskripsi kurva histeretik dapat dijelaskan dari Gambar IV.7. Kurva dimulai dari titik asal koordinat o pada saat beban dan perpindahan bernilai. Setiap siklus histeretik berdasarkan protokol pembebanan dengan kontrol perpindahan dimulai dari nilai amplitudo 2.δ y, 3.δ y, 4.δ y dan seterusnya akan jelas terlihat terwakili dalam kurva tersebut. Untuk amplitudo sebesar 1.δ y material masih berada dalam zona elastik, bentuk ini diwakili titik o-a-o dalam kurva untuk siklus loading (o-a) unloding (a-o) dalam ½ siklus tarik, jika ½ siklus lagi dilanjutkan maka grafik akan membentuk garis lurus putus-putus o-a 1 -o untuk loading unloading dalam arah bawah (siklus tekan). Dalam eksperimen ini siklus penuh elastik tidak ditampilkan dalam kurva histeretik namun di plot secara terpisah untuk pembahasan dalam perilaku elastik tersendiri. 67

16 4 Beban (kn) o c1 2 c 3 4 f f g a 1 e g h h -1 d d e -2-3 b b a -4 Perpindahan Δ (mm) Gambar IV.7 Deskripsi kurva histeretik Amplitudo sebesar 2.δ y dilakukan sebanyak 1 siklus penuh loading unloading (siklus tarik) dan loading unloading (siklus tekan) yang di dalam kurva diwakili oleh titik-titik o-b-c-d-f-g-h. Jika 1.δ y bernilai 8,1 mm maka berarti perpindahan sebesar 16,2 mm (atas) dan -16,2 mm (bawah) dari aktuator diberlakukan kepada spesimen dalam 1 siklus saja. Setengah siklus berupa siklus tarik diwakili oleh titik o-b-c-d dan setengah siklus berikutnya berupa siklus tekan diwakili oleh titik d-f-g-h. Selanjutnya sama seperti siklus 2.δ y, maka untuk amplitudo sebesar 3.δ y 1 siklus penuh diwakili oleh titik h-b -c -d -f -g -h. Untuk siklus tarik loading-unloading diwakili oleh titik h-b -c -d sedangkan untuk siklus tekan diwakili oleh titik d -f -g - h. Dari hasil eksperimen untuk spesimen 1 dan spesimen 2 plotting kurva histeretik dapat dilihat seperti pada Gambar.IV.8. Kurva (a) dari gambar mewakili spesimen 1 berupa link yang tanpa menggunakan SEP sebagai perkuatan pelat sayap sedangkan kurva (b) mewakili spesimen 2 berupa link dengan SEP sebagai perkuatan pelat sayap. 68

17 Beban Aktuator ( kn) Beban Aktuator (kn) Perpindahan Δ (mm) -4 Perpindahan Δ (mm) (a) (b) Gambar IV.8 Kurva histeretik : (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 (SEP) Pada spesimen 1 kurva yang terbentuk sudah memuaskan dengan bentuk yang gemuk dan tanpa terjadinya pinching. Kemiringan kurva yang ada pada setiap siklusnya juga tidak terlalu landai yang mengindikasikan kekakuan yang cukup baik secara kualitatif. Jumlah siklus yang bisa dicapai sampai terjadi keruntuhan (failure) sebanyak 7.δ y, sedangkan keruntuhan terjadi saat pencapaian puncak awal siklus 8.δ y. Dengan adanya penambahan SEP pada spesimen 2 kurva yang terbentuk cenderung hampir sama secara kualitatif dengan spesimen 1, namun perbedaan yang paling signifikan terjadi pada jumlah siklus total yang bisa dicapai yaitu sebanyak 1.δ y. Keruntuhan terjadi saat proses loading awal memasuki siklus 11.δ y. a. Kurva Beban-Perpindahan Elastik (Elastic Hysteretic Curve) Pembebanan dalam beberapa siklus dengan besaran amplitudo yang kecil pada zona elastik ini dimaksudkan untuk beberapa tujuan diantaranya selain perhitungan untuk mengetahui angka kekakuan elastik spesimen juga untuk mengecek kesiapan dan kesempurnaan kerja dari instalasi instrumentasi LVDT dan strain gauge yang terpasang. Dalam rentang beban ini dengan sejumlah siklus yang diberikan dapat 69

18 diklarifikasikan keakurasian instrumentasi yang terpasang karena perilaku elastik material tidak akan pernah berubah besarannya berapapun jumlah repetisi siklus yang diberikan. Tujuan lain dari pembebanan dalam zona elastik adalah untuk melakukan inspeksi dan monitoring kekuatan dan kekakuan dari setiap elemen sambungan spesimen serta loading frame. Dari rentang pembebanan elastik ini dapat diketahui intensitas pengencangan sambungan baut spesimen dan kesempurnaan pengangkuran baut dari loading frame untuk mencegah terjadinya pengangkatan frame sewaktu bekerja beban dalam siklus tarik (arah atas). Kurva beban-perpindahan elastik dari spesimen 1 dibentuk dengan memberikan perpindahan sebanyak 2 siklus dengan masing-masing sebesar 4mm sebanyak satu siklus dan 6mm juga satu siklus, hasilnya dapat dilihat seperti Gambar IV.9. Untuk perpindahan sebesar 4mm dalam arah tarik didapatkan kekakuan sebesar K e1 =23,73 kn/mm dan dalam arah tekan sebesar K e1 =27,51 kn/mm. Sedangkan untuk perpindahan sebesar 6mm didapatkan kekakuan dalam arah tarik sebesar K e1 =21,5 kn/mm dan dalam arah tekan sebesar K e1 =29,31 kn/mm. Kurva pada Gambar IV.9. yang terbentuk dari kedua perpindahan yang diberikan berupa garis lurus dalam kondisi siklik, hal ini membuktikan indikasi spesimen masih berperilaku elastik dalam zona amplitudo tersebut. Dari kedua data diatas nilai kekakuan rata-rata dalam arah tarik sebesar K eav1 =22,61 kn/mm dan dalam arah tekan sebesar K eav1 =28,41 kn/mm. Perbedaan kekakuan dalam kedua arah disebabkan masih ada pengaruh terangkatnya loading frame sewaktu beban tarik. Perpindahan absolut spesimen dalam arah tarik bernilai lebih kecil daripada arah tekan karena terangkatnya loading frame saat perpindahan maksimum aktuator diberikan. Konsekuensinya kapasitas spesimen yang seharusnya terjadi tidak bisa dicapai. Perbedaan ini tetap terjadi meskipun koreksi terhadap besaran terangkatnya 7

19 frame sudah dilakukan dalam pengolahan data. Oleh karena itu sebagai indikator kinerja spesimen data-data yang dipakai diambil dari perpindahan dalam arah tekan Beban Aktuator (kn) Beban Aktuator (kn) Perpindahan Δ (mm) Perpindahan Δ (mm) (a) (b) Gambar IV.9. Kurva beban-perpindahan elastik spesimen 1: (a) 4 mm (b) 6 mm Kurva beban-perpindahan pada spesimen 2 yang dibentuk seperti pada Gambar IV.1 berasal dari 2 siklus, yaitu sebesar 4 mm dan 5.5 mm. Dari perpindahan 4 mm didapatkan kekakuan dalam arah tarik sebesar K e2 =26,91 kn/mm dan kekakuan dalam arah tekan sebesar K e2 =26,63 kn/mm. Sedangkan untuk perpindahan 5 mm kekakuan dalam arak tarik sebesar K e2 =21,43 kn/mm dan dalam arah tekan sebesar K e2 =29,76 kn/mm. Nilai rata-rata dari data diatas untuk kekakuan tarik sebesar K eav2 =24,17 kn/mm dan kekakuan tekan sebesar K eav2 =28,19 kn/mm. Berdasarkan kekakuan dari kedua spesimen terlihat untuk kekakuan tekan nilai yang didapatkan tidak terlalu berbeda yaitu sebesar K eav1 =28,41 kn/mm untuk spesimen 1 dan untuk spesimen 2 sebesar K eav2 =28,19 kn/mm. Rasio K eav1 / K eav2 diperoleh sebesar 1,78 (berbeda,78%). Hal ini mengindikasikan penambahan SEP tidak mempengaruhi nilai kekakuan spesimen secara keseluruhan dalam zona elastik, bisa diasumsikan perilaku setiap bagian elemen link dan sambungannya tidak akan berbeda jauh. Fakta ini bisa dijadikan dasar sementara untuk menerapkan secara langsung kriteria disain link dan sambungannya yang ditetapkan dalam peraturan tanpa perlu ada faktor koreksi tertentu untuk kasus penambahan perkuatan SEP. 71

20 Namun kesimpulan final baru bisa ditetapkan jika tinjauan analisis secara menyeluruh sudah selesai dilakukan Beban Aktuator (kn) Beban Aktuator (kn) Perpindahan Δ (mm) Perpindahan Δ (mm) (b) (b) Gambar IV.1. Kurva beban-perpindahan elastik spesimen 2 : (a) 4 mm (b) 5,5 mm Kasus ini berbeda dengan kriteria disain sambungan baut dengan menggunakan Extended End Plate (EEP). Perilaku pada sambungan EEP tanpa Flange Extended Stiffener (FES) sangat berbeda jika dibandingkan dengan sambungan EEP yang memakai FES. Dari segi kinerja EEP dengan FES jauh lebih kaku, lebih kuat dan lebih stabil terhadap inisiasi tekuk pelat sayap jika dibandingkan dengan EEP tanpa FES. Gaya dalam dan tegangan yang terjadi akan berbeda sangat jauh karena perbedaan kekakuan yang juga sangat signifikan. Berkurangnya tegangan pada posisi panel tepi dekat sambungan yang sangat kaku mengakibatkan panel yang berfungsi sebagai bagian pendisipasi energipun bergeser semakin menjauhi sambungan pada kasus EEP dengan FES. Untuk kekakuan tarik terlihat seolah-olah terjadi peningkatan nilai dari sebesar K eav1 =22,61 kn/mm untuk spesimen 1 menjadi K eav2 =24,17 kn/mm untuk spesimen 2. Hal ini bisa terjadi karena pada spesimen 2 besaran terangkatnya loading frame dapat direduksi dengan memaksimalkan pengencangan baut angkur, memperbaiki lubang baut kaki frame dan memperkaku kaki loading frame dengan balok kanal. Walaupun demikian nilai kekakuan tarik ini masih belum bisa dijadikan referensi, 72

21 dikarenakan nilai yang dicapai masih berada dibawah nilai kekakuan tekannya akibat lendutan balok kanal pengaku yang tidak bisa dihilangkan. b. Kurva Beban-Perpindahan Inelastik (Inelastic Hysteretic Curve) Gambar IV.11 mengilustrasikan proses kelelehan spesimen baik untuk spesimen 1 maupun spesimen 2. Pada spesimen 1 kelelehan dalam arah tarik ditandai dengan tercapainya titik y 1 seperti pada gambar, titik tersebut ekivalen dengan nilai beban leleh sebesar V y1 =158,16 kn dan perpindahan sebesar δ y1 =8,1 mm. Pada kondisi ini tegangan Von Misses yang terjadi pada pelat badan sebesar f vm1 =519,86 MPa yang berarti melampaui kriteria kelelehan sebesar f y =516 MPa berdasarkan uji kupon. Sedangkan untuk kondisi tekan pada titik y 1 kelelehan berada pada besaran beban V y1 =27,23 kn dan perpindahan δ y1 =8,1 mm. Tegangan Von Misses pada kondisi tersebut di pelat badan sebesar f vm1 = 516,2 MPa Kelelehan pada spesimen 2 pada kondisi arah tarik ditandai dengan tercapainya titik y 2 yang berpadanan dengan nilai beban leleh sebesar V y2 =156,35 kn dan perpindahan leleh sebesar δ y2 =8,8 mm. Pada kondisi tersebut tegangan Von Misses yang terjadi sebesar f vm2 =527,93 Mpa, ini berarti juga melampaui kriteria kelelehan berdasarkan uji kupon. Sedangkan untuk kondisi arah tekan pada titik y 2 seperti pada gambar IV.11, kelelehan terjadi saat beban sebesar V y2 =23,48 kn dan perpindahan δ y2 =8,16 mm. Nilai ini sepadan dengan tegangan Von Misses sebesar f vm2 =527,25 MPa. Dari kedua data diatas terlihat rasio beban leleh pada kondisi tekan diantara kedua spesimen sebesar 1,18 atau berbeda 1,84%. Nilai ini relatif kecil untuk disebut sebagai suatu perbedaan. Untuk sejumlah siklus dan amplitudo perpindahan, perilaku geometris kurva dan besaran gaya geser yang terjadi antara spesimen 1 dan spesimen 2 relatif sama. Perbedaan signifikan yang terjadi ada pada jumlah total siklus yang dibutuhkan untuk tercapainya keruntuhan spesimen, fakta ini membuktikan penambahan SEP tidak mempengaruhi besaran gaya geser leleh titik pertama (first yield) dari spesimen. 73

22 y 1 2 y 2 Beban Aktuator (kn) y 1-2 Beban Aktuator (kn) y Perpindahan Δ (mm) -4 Perpindahan Δ (mm) (a) (b) Gambar IV.11 Titik leleh pertama: (a) Spesimen 1 (b) Spesimen 2 Pada spesimen 1 keruntuhan terjadi di siklus awal pencapaian puncak 8.δ y (64,8mm). Sedangkan kapasitas gaya geser maksimum terjadi di siklus 7.δ y (56,8mm) atau setara dengan γ u1 =,126 rad yaitu sebesar V uc1 =351,82 kn dalam arah siklus tekan dan sebesar V ut1 =36,27 kn dalam arah tarik. Adapun ragam keruntuhan (mode failure) yang terjadi berupa fraktur pada material pelat sayap yang dilas sebagai penghubung profil WF dengan pelat ujung. Ragam keruntuhan seperti ini merupakan tipe keruntuhan yang bersifat getas (brittle) dan selalu dihindari dalam kasus spesimen berdaktilitas rendah. Dalam percobaan ini karena spesimen sendiri sudah melewati nilai kapasitas rotasi γ p =,8 rad dan berarti sudah berperilaku sangat daktail, maka keruntuhan ini diperbolehkan dan dapat diterima oleh peraturan [2]. Inisiasi fraktur spesimen 1 terjadi dan mulai terlihat pada siklus 6.δ y (48,8mm) yang ditandai dengan terbentuknya retak awal dalam arah melintang pelat sayap pada sambungan profil WF dengan pelat ujung. Pada saat ini walaupun sudah ada inisiasi retak namun kapasitas penampang masih tetap meningkat dan belum mengalami penurunan. Kejadian fraktur spesimen 1 ini dapat dilihat pada Gambar IV

23 (a) (b) Gambar IV.12. Ragam keruntuhan fraktur las spesimen 1 pada pelat sayap-pelat ujung : (a) Tampak bawah (b) Tampak atas Dengan adanya penambahan SEP pada spesimen 2, fraktur yang seharusnya terjadi pada siklus 8.δ y bisa di tunda lebih lambat sampai tercapai siklus 1.δ y (81mm) atau setara dengan γ u2 =,18 rad. Pada akhir siklus tersebut gaya geser ultimit yang bisa dicapai sebesar V uc2 =392,98 kn untuk siklus tekan dan sebesar V ut2 =342,52 kn untuk siklus tarik. Rasio V uc2 / V uc1 dan V ut2 / V ut1 masing masing sebesar 1,117 dan 1,118, berarti gaya geser ultimit spesimen 2 lebih besar sekitar 11,7% dan 11,83% dari spesimen 1. Ragam keruntuhan yang terjadi semakin bertambah, yang pertama berupa fraktur pada sambungan las pelat sayap dengan pelat ujung, yang kedua fraktur sambungan las antara pelat Side Extended Plate (SEP) dengan pelat sayap profil dan yang ketiga terjadinya fraktur pada sambungan las pelat badan profil dengan intermediate stiffener. Fraktur yang semula terjadi pada spesimen 1 dapat ditunda pada spesimen 2 dikarenakan bertambahnya luasan penahan tegangan tarik pada pelat sayap dengan adanya SEP, sehingga tegangan yang semula seharusnya sama dengan spesimen 1 pada siklus 7.δ y bisa direduksi. Dengan tertundanya fraktur pada pelat sayap maka kapasitas penampang bisa ditingkatkan lagi sampai mencapai nilai V uc2 =392,98 kn, konsekuensinya redistribusi tegangan dan plastifikasi semakin banyak tersalurkan 75

24 dari panel terluar (tepi) ke hampir seluruh panel di dalam link. Dengan demikian bagian link yang berfungsi sebagai pendisipasi energi semakin banyak, ini berarti energi kumulatif yang bisa didisipasikan juga semakin banyak. Pada lokasi las di titik pelat badan yang disambung dengan intermediate stiffener terjadi tambahan tegangan dalam arah tegak lurus pelat badan akibat proses pengelasan. Tambahan tegangan tarik merupakan efek dari proses susut (shrinkage) daerah fusi (fusion zone) yang tertahan oleh kedua sisi material yang dilas, sehingga pelat badan yang dilas tersebut juga mengalami tegangan tarik tambahan (σ 3 ). Dengan adanya tegangan tambahan tersebut (σ 3 ) maka pelat badan yang sudah mengalami kombinasi tegangan geser dan tegangan aksial akan lebih cepat mencapai tegangan fraktur jika dibandingkan dengan pelat badan pada posisi yang lain [8]. Ilustrasi fenomena ini seperti terlihat pada Gambar IV.13 dibawah. HAZ σ fl τ w Stiffener Stiffener σ 3 σ 3 Pelat badan Daerah fusi σ fl τ w (a) (b) Gambar IV.13. Fraktur pada pelat badan : (a) Efek kegetasan HAZ pada pelat badan (b) Tegangan tarik tambahan pada pelat badan akibat kekangan susut daerah fusi pada las. Berdasarkan referensi dari Bruneau, M disebutkan efek pemanasan dan pendinginan mendadak saat pengelasan berlangsung pada daerah Heat affected Zone (HAZ) menjadikan susunan kristal material baja berubah menjadi lebih keras dan bersifat getas sehingga mudah mengalami fraktur [8]. Efek kegetasan bertambah diperoleh dari prosedur penggepengan (flattened) senyawa selain metal (non metallic) sewaktu proses rolling pabrikasi profil WF. Prosedur penggepengan menyebabkan senyawa 76

25 selain metal tersebut berperilaku sebagai retak mikro, posisi retak mikro ini tersebar diseluruh material baja. Kombinasi dari kegetasan dan retak mikro ini jika dikenai tegangan tambahan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penjalaran retak sehingga memudahkan terjadinya sobekan lamella pada pelat badan tersebut. Kejadian fraktur pada spesimen 2 ini dapat dilihat pada Gambar IV.14. dibawah (a) (b) Gambar IV.14. Ragam keruntuhan fraktur las spesimen 2 : (a) Las pelat sayap-pelat ujung dan las pelat sayap-sep (b) Las intermediate stiffener-pelat badan link Dari kurva histeretik pada Gambar IV.8 juga bisa dibuat kurva back bone perpindahan monotonik dan kurva envelope histeretik, seperti terlihat dalam Gambar IV.15. (a) dan (b). Kurva envelope histeretik merupakan kurva yang dibuat dengan menghubungkan titik-titik terluar dari kurva histeretik tersebut sehingga membentuk suatu kurva tertutup. Sedangkan kurva backbone monotonik merupakan kurva yang dibentuk dengan menghubungkan sejumlah titik-titik beban maksimum pada setiap siklus perpindahan. Kurva envelope histeretik memperlihatkan bentuk, kemiringan dan struktur geometrik kurva antara spesimen 1 dan spesimen 2 yang cenderung tipikal, hal ini berarti kedua spesimen mempunyai perilaku yang sama dalam setiap siklus pembebanan siklik. Namun pada spesimen 2 dengan jumlah siklus yang lebih banyak 77

26 maka kurva envelope yang terbentuk menjadi lebih luas, ini berarti energi yang mampu didisipasikan secara total menjadi lebih besar. Begitu juga dengan indikator kekakuan (stiffness) dan kekuatan (strength) yang dapat terlihat dari kurva monotonik, kecenderungan kekakuan dan kekuatan yang hampir sama antara spesimen 1 dan spesimen 2 terlihat dengan hampir berimpitnya kurva pada siklus dibawah 5.δ y. Secara detail tentang kekuatan, kekakuan, daktilitas dan disipasi energi akan dibahas dalam sub bab kinerja spesimen. Dari kedua kurva histeretik yang terbentuk dapat dikatakan tidak ada gejala pinching sebagai akumulasi sejumlah kelemahan seperti efek kinking pada pelat ujung ataupun telah terjadinya plastifikasi baut (tekuk lentur baut) secara signifikan. Kurva pada kedua spesimen tersebut selalu meningkat kapasitasnya untuk setiap siklus dan berbentuk gemuk. Jadi tujuan eksperimen untuk mencapai pendekatan perilaku elemen sambungan las dalam memikul beban siklik bisa dikatakan sudah tercapai Beban Aktuator (kn) Beban Aktuator (kn) Spc2 Spc1-4. Perpindahan (mm) Spc2 Spc Perpindahan Δ (mm) Spc2 Spc1 (a) (b) Gambar IV.15. (a) Kurva back bone (b) Kurva envelope histeretik 78

27 IV.2. Sambungan Dalam penelitian ini tinjauan terhadap perilaku elemen sambungan di fokuskan terhadap baut dan pelat ujung. Parameter yang diamati terhadap peninjauan baut hanya berupa perpanjangan (elongasi) bukan regangan yang terjadi di dalam baut. Hal ini dikarenakan terbatasnya peralatan dan sumber daya untuk membuat baut yang dilengkapi dengan strain gauge di dalamnya. Perpanjangan baut ini diamati dengan menggunakan LVDT kapasitas 5 mm yang di instalasi seperti dalam gambar setup dan instrumentasi pada bab sebelumnya. Oleh karena itu kriteria kelelehan baut tidak bisa di dapatkan secara pasti dalam sejarah siklus pembebanannya, indikator yang bisa dijadikan sebagai kriteria kelelehan adalah berupa pendekatan bentuk geometri kurva hubungan Bebanperpanjangan baut. Jika kurva yang terjadi sudah mengalami perubahan kelandaian yang signifikan maka kriteria asumsi terjadinya kelelehan dan plastifikasi bisa ditetapkan terjadi pada titik perubahan tersebut. Pengamatan terhadap pelat ujung yang dilakukan juga difokuskan hanya pada parameter besaran deformasi ujung teratas dari pelat ujung yang diukur dengan menggunakan LVDT seperti yang telah dijelaskan dalam bab setup dan instrumentasi. Keterbatasan sumber daya juga menjadi alasan utama tidak dipakainya strain gauge pada sisi sisi pelat ujung dalam pengukuran regangan untuk penentuan kriteria kelelehan. Dalam penentuan kondisi kelelehan dan plastifikasi pada pelat ujung digunakan metode yang sama dengan baut, yaitu dengan pendekatan melalui pengamatan kurva beban deformasi. Kelelehan bisa dikatakan terjadi jika telah ada perubahan kemiringan yang signifikan dari kurva tersebut. 79

28 IV.2.1. Baut Data hubungan antara perpanjangan baut dan beban aktuator yang diberikan pada spesimen 1 tersaji dalam Tabel IV.1 dan grafik Gambar IV.16. Pada tabel tersebut tercantum nilai perpanjangan baut untuk kondisi beban aktuator dalam keadaan tekan. Pemilihan ini dilakukan karena beban dalam arah tekan merupakan kondisi yang lebih tinggi tingkat akurasi kebenarannya, disamping karena terbatasnya jumlah LVDT yang ada sehingga dipilih hanya baut sisi atas untuk diamati. No Siklus Tabel IV.1 Perpanjangan baut spesimen 1 Rotasi (rad) Beban Aktuator V 1 Perpanjangan Baut δ b1 (kn) (mm) - elastik - elastik 26,34,1 - elastik 47,5,21 - elastik 82,91,41 - elastik 123,81,62 - elastik 145,61,7 - elastik 173,6,81 1,36 28,99,98 2,54 271,49 1,37 3,72 34,75 1,71 4,9 323,78 1,86 5,18 336,68 2, 6, ,18 2,8 7, ,82 2,2 Kurva pada Gambar IV.16 menggambarkan hubungan beban perpanjangan baut memperlihatkan mulai dari kondisi beban kn sampai kepada nilai beban V 1 =346,18 kn dengan elongasi δ b1 =2,8 mm. Kemiringan kurva yang terjadi cenderung berbentuk garis lurus tanpa adanya perubahan kemiringan yang signifikan pada tahap pembebanan tertentu. Secara visual hal ini mengindikasikan kondisi baut secara keseluruhan sampai nilai beban tersebut masih berada dalam fase perilaku elastik. Walaupun demikian tetap tidak bisa dikatakan baut masih berada dalam kondisi fully elastic, bisa jadi dalam tingkatan ukuran titik material elemen sudah ada bagian terkecil dari baut yang mengalami kelelehan. Karena itu idealnya sangat 8

29 diperlukan kontribusi strain gauge yang ditanam dalam baut untuk kepentingan observasi kriteria kelelehan baut tersebut. Perubahan kemiringan grafik mulai terlihat pada saat beban ultimate V u1 = kn tercapai. Perpanjangan baut maksimum yang terjadi pada beban ultimit tersebut sebesar δ b1 =2,2 mm. Posisi ini diasumsikan sebagai titik terjadinya kelelehan pertama baut (first yield) Beban Aktuator (kn) Perpanjangan Baut δ b (mm) Gambar IV.16 Kurva beban-perpanjangan baut spesimen 1 Asumsi kelelehan juga dikuatkan oleh fakta-fakta visual dari kondisi real baut yang ada di lapangan selama dan setelah pengujian selesai. Dari foto-foto pada Gambar IV.17 terlihat secara geometrik pada saat akhir percobaan kondisi baut masih seperti pada kondisi awal percobaan. Tidak terjadi sedikitpun retak, tekuk, perubahan panjang, maupun stripping pada drat (thread) baut. Sepanjang siklus pembebanan yang diberlakukan pun terlihat dalam pengamatan baut yang semula mengalami perpanjangan akan selalu kembali ke ukuran semula sebagaimana teramati melalui LVDT. Proses ini berlangsung sampai kondisi loading selesai, berganti dengan unloading serta dilanjutkan dengan pembebanan dalam arah berlawanan (reverse loading). 81

30 Dari data-data visual diatas yang menggambarkan tidak adanya perubahan bentuk dan geometrik baut secara signifikan dapat disimpulkan sepanjang siklus pembebanan sampai tercapainya rotasi inelastik γ p1 =,126rad baut masih berperilaku dalam zona elastik. Plastifikasi mulai terjadi saat tercapainya beban ultimate tanpa adanya kegagalan fraktur baut. (a) (b) Gambar IV.17 Kondisi baut spesimen 1 di akhir siklus : (a) Terpasang (b) Setelah dilepas Pada spesimen 2 rekaman hubungan beban perpanjangan baut yang terjadi tercantum pada Tabel IV.2 dan grafik Gambar IV.18. Dapat dilihat kurva yang terbentuk secara geometrik cenderung berbentuk garis lurus mulai dari awal pembebanan sampai tercapainya beban siklus ke 7 atau 8.δ y sebesar V 2 =385,78 kn (perpanjangan 1,66 mm). Selanjutnya pada siklus ke-8 atau 9.δ y yang merupakan beban ultimit dengan V u2 =39,73 kn terjadi perubahan kemiringan, kurva yang terbentuk menjadi lebih landai dari sebelumnya dengan perpanjangan maksimum yang terjadi sebesar δ b2 =1,73 mm. Seperti halnya dengan spesimen 1 dapat ditetapkan pada titik terjadinya perubahan kemiringan kurva telah terjadi pelelehan atau plastifikasi dari baut. Akan tetapi secara exact tetap masih perlu peninjauan yang lebih akurat dengan menggunakan strain gauge yang tertanam pada baut. 82

31 No Siklus Tabel IV.2 Perpanjangan baut spesimen 2 Perpanjangan Baut (δ b2 ) (mm) Beban Aktuator Rotasi (V (rad) 2 ) (kn) - elastik,, - elastik 31,75,1 - elastik 6,81,22 - elastik 13,4,51 - elastik 187,85,76 - elastik 223,66,9 - elastik 245,6 1, 1,36 276,99 1,14 2,54 315,94 1,34 3,72 336,1 1,43 4,9 353,31 1,48 5,18 366,15 1,55 6, ,6 1,58 7, ,78 1,65 8,162 39,73 1,73 Dari pengamatan selama berlangsungnya siklus pembebanan, unloading, reverse loading dan sampai terjadinya kegagalan struktur (kapasitas ultimit) terlihat secara visual perpanjangan yang semula dialami baut juga akan kembali ke kondisi panjang awal sebelum pembebanan. Tapi setelah tercapainya beban ultimit bukaan pelat ujung yang terjadi terlihat sedikit agak permanen walaupun besarannya sangat kecil. Fakta ini bisa dijadikan argumentasi terjadinya plastifikasi pada baut. Besaran bukaan ini juga akan dibahas dalam sub bab perilaku pelat ujung Beban Aktuator (kn) Perpanjangan Baut δb (mm) Gambar IV.18 Kurva beban-perpanjangan baut spesimen 2 83

32 Setelah proses pengujian selesai pada baut tetap tidak terdapat adanya retak, tekuk, perpanjangan dan stripping yang berarti pada ulir (thread). Dari sejumlah ulir (drat) yang ada ditemukan cuma sedikit serpihan pecahan pecahan kecil mata drat yang tidak besar kontribusinya terhadap kekuatan baut. Dokumentasi kondisi ini terlihat pada Gambar IV.19. (a) (b) Gambar IV.19 Kondisi baut spesimen 2 akhir siklus : (a) Terpasang (b) Setelah dilepas Dari data perpanjangan baut untuk kedua spesimen diatas dapat diperbandingkan perbedaan perilaku yang terjadi, untuk lebih jelasnya kurva beban-perpanjangan kedua spesimen diplot menjadi satu seperti pada Gambar IV.2. Dari kurva tersebut terlihat pada spesimen 2 untuk setiap siklus dengan perpindahan aktuator yang sama pada siklus awalnya menghasilkan perpanjangan baut yang lebih besar, namun untuk siklus selanjutnya justru spesimen 1 menghasilkan perpanjangan yang lebih besar. Besarnya perbedaan perpanjangan yang terjadi untuk siklus dan perpindahan yang sama pada kedua spesimen dicantumkan dalam Tabel IV.3 dan grafik Gambar IV.21. Dari data tersebut terlihat untuk siklus-siklus selanjutnya perpanjangan yang lebih besar dimiliki oleh spesimen 1 dalam rentang 19% sampai dengan 33%, sedangkan beban yang lebih besar justru diterima spesimen 2. 84

33 Beban Aktuator (kn) Spc-1 Spc Perpanjangan Baut δ b (mm) Gambar IV.2 Kurva beban-perpanjangan baut gabungan kedua spesimen Perbedaan perpanjangan baut antara kedua spesimen disebabkan masalah faktor besaran tegangan tarik awal (proof load) yang timbul akibat perbedaan torsi dalam proses pengencangan baut. Karena baut pada spesimen 2 mengalami pengencangan torsi yang lebih besar daripada baut pada spesimen 1, sehingga baut tersebut memperoleh gaya jepit (clamping) yang lebih besar pula. Sebagai konsekuensinya perpanjangan (elongasi) yang terjadi menjadi lebih kecil walaupun baut spesimen 2 menerima gaya tarik lebih besar akibat momen yang timbul. Karena mengalami gaya jepit (clamping) yang lebih besar akibat tegangan tarik awal yang juga lebih besar, baut pada spesimen 2 telah mengalami pelelehan (plastifikasi) pada perpanjangan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan baut pada spesimen 1. Terlihat pada tabel jika baut pada spesimen 1 dengan elongasi δ b1 =2,2 mm masih elastik sedangkan baut pada spesimen 2 dengan elongasi sebesar δ b2 =1,73 mm sudah berperilaku inelastik. Jadi tambahan tegangan tarik awal yang lebih besar semakin mempercepat proses kelelehan baut namun dengan perpanjangan yang lebih kecil. 85

BAB III KAJIAN EKSPERIMENTAL. Berikut ini akan diuraikan kajian dalam perencanaan program eksperimental yang dilaksanakan mencakup :

BAB III KAJIAN EKSPERIMENTAL. Berikut ini akan diuraikan kajian dalam perencanaan program eksperimental yang dilaksanakan mencakup : BAB III KAJIAN EKSPERIMENTAL Berikut ini akan diuraikan kajian dalam perencanaan program eksperimental yang dilaksanakan mencakup : III.1. Studi Kasus Kasus yang ditinjau dalam perencanaan link ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam era akhir tahun 70-an telah berkembang suatu paradigma dalam pengembangan disain struktur baja tahan gempa, yaitu dengan merencanakan lokasi kerusakan bagian

Lebih terperinci

PENINGKATAN KINERJA LINK GESER DENGAN SAMBUNGAN BAUT TIPE FLUSH YANG MEMIKUL BEBAN SIKLIK TESIS

PENINGKATAN KINERJA LINK GESER DENGAN SAMBUNGAN BAUT TIPE FLUSH YANG MEMIKUL BEBAN SIKLIK TESIS PENINGKATAN KINERJA LINK GESER DENGAN SAMBUNGAN BAUT TIPE FLUSH YANG MEMIKUL BEBAN SIKLIK TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh:

Lebih terperinci

Kajian Eksperimental Peningkatan Kinerja Link Geser pada Sistem Rangka Baja Berpengaku Eksentrik

Kajian Eksperimental Peningkatan Kinerja Link Geser pada Sistem Rangka Baja Berpengaku Eksentrik oestopo, Panjaitan. ISSN 0853-2982 Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil Kajian Eksperimental Peningkatan Kinerja Link Geser pada Sistem Rangka Baja Berpengaku Eksentrik uslinang oestopo Kelompok

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SIKLIS PENDISIPASI ENERGI PIPA TEGAK

STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SIKLIS PENDISIPASI ENERGI PIPA TEGAK STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SIKLIS PENDISIPASI ENERGI PIPA TEGAK Junaedi Utomo 1, Muslinang Moestopo, Adang Surahman 3 dan Dyah Kusumastuti 4 1 Mahasiswa S3, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT Pembebanan Batang Secara Aksial Suatu batang dengan luas penampang konstan, dibebani melalui kedua ujungnya dengan sepasang gaya linier i dengan arah saling berlawanan yang berimpit i pada sumbu longitudinal

Lebih terperinci

Kajian Eksperimental Bresing Tahan Tekuk pada Bangunan Tahan Gempa di Indonesia

Kajian Eksperimental Bresing Tahan Tekuk pada Bangunan Tahan Gempa di Indonesia Andarini, Moestopo. ISSN 0853-2982 Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil Kajian Eksperimental Bresing Tahan Tekuk pada Bangunan Tahan Gempa di Indonesia Abstrak Rhonita Dea Andarini Alumni

Lebih terperinci

KAJIAN NUMERIK STRUKTUR RANGKA TERBREIS EKSENTRIK DENGAN LINK YANG DAPAT DIGANTI

KAJIAN NUMERIK STRUKTUR RANGKA TERBREIS EKSENTRIK DENGAN LINK YANG DAPAT DIGANTI KAJIAN NUMERIK STRUKTUR RANGKA TERBREIS EKSENTRIK DENGAN LINK YANG DAPAT DIGANTI Nugraha Bintang Wirawan 1 1 Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Sumatera, Lampung, Indonesia Abstract: The Eccentric

Lebih terperinci

BAB V. Resume kerusakan benda uji pengujian material dapat dilihat pada Tabel V-1 berikut. Tabel V-1 Resume pola kerusakan benda uji material

BAB V. Resume kerusakan benda uji pengujian material dapat dilihat pada Tabel V-1 berikut. Tabel V-1 Resume pola kerusakan benda uji material BAB V ANALISIS HASIL EKSPERIMEN 5.1 UMUM Hasil eksperimen pada 10 benda uji menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan pada benda uji satu sama lain. Bab ini menampilkan pembahasan hasil eksperimen dengan

Lebih terperinci

PERILAKU STRUKTUR BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK

PERILAKU STRUKTUR BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK PERILAKU STRUKTUR BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK Raja Marpaung 1 ), Djaka Suhirkam 2 ), Lina Flaviana Tilik 3 ) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Polsri Jalan Srijaya Negara Bukit Besar Palembang

Lebih terperinci

BAB 4 PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

BAB 4 PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA BAB 4 PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA 4.1 Studi Eksperimental 4.1.1 Pendahuluan Model dari eksperimen ini diasumsikan sesuai dengan kondisi di lapangan, yaitu berupa balok beton bertulang untuk balkon yang

Lebih terperinci

BAB III UJI LABORATORIUM. Pengujian bahan yang akan diuji merupakan bangunan yang terdiri dari 3

BAB III UJI LABORATORIUM. Pengujian bahan yang akan diuji merupakan bangunan yang terdiri dari 3 BAB III UJI LABORATORIUM 3.1. Benda Uji Pengujian bahan yang akan diuji merupakan bangunan yang terdiri dari 3 dimensi, tiga lantai yaitu dinding penumpu yang menahan beban gempa dan dinding yang menahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI

PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BALOK KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI PERENCANAAN SISTEM RANGKA PEMIKUL MOMEN KHUSUS PADA KOMPONEN BAL KOLOM DAN SAMBUNGAN STRUKTUR BAJA GEDUNG BPJN XI Jusak Jan Sampakang R. E. Pandaleke, J. D. Pangouw, L. K. Khosama Fakultas Teknik, Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Baja Baja adalah salah satu bahan konstruksi yang paling banyak digunakan. Sifat-sifatnya yang penting dalam penggunaan konstruksi adalah kekuatannya yang tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Sambungan Balok-Kolom Pacetak Hutahuruk (2008), melakukan penelitian tentang sambungan balok-kolom pracetak menggunakan kabel strand dengan sistem PSA. Penelitian terdiri

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan perilaku struktur bambu akibat beban rencana. Pengujian menjadi penting karena bambu merupakan material yang tergolong

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut : 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembebanan Struktur Perencanaan struktur bangunan gedung harus didasarkan pada kemampuan gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam Peraturan

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU TEKUK TORSI LATERAL PADA BALOK BAJA BANGUNAN GEDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM ABAQUS 6.7. Oleh : RACHMAWATY ASRI ( )

STUDI PERILAKU TEKUK TORSI LATERAL PADA BALOK BAJA BANGUNAN GEDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM ABAQUS 6.7. Oleh : RACHMAWATY ASRI ( ) TUGAS AKHIR STUDI PERILAKU TEKUK TORSI LATERAL PADA BALOK BAJA BANGUNAN GEDUNG DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM ABAQUS 6.7 Oleh : RACHMAWATY ASRI (3109 106 044) Dosen Pembimbing: Budi Suswanto, ST. MT. Ph.D

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pelat baja vertikal (infill plate) yang tersambung pada balok dan kolom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari pelat baja vertikal (infill plate) yang tersambung pada balok dan kolom BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Steel Plate Shear Walls Steel Plate Shear Walls adalah sistem penahan beban lateral yang terdiri dari pelat baja vertikal (infill plate) yang tersambung pada balok dan kolom

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Spesifikasi Benda Uji Benda Uji Tulangan Dimensi Kolom BU 1 D mm x 225 mm Balok BU 1 D mm x 200 mm

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Spesifikasi Benda Uji Benda Uji Tulangan Dimensi Kolom BU 1 D mm x 225 mm Balok BU 1 D mm x 200 mm BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas hasil dari analisa uji sambungan balok kolom precast. Penelitian dilakukan dengan metode elemen hingga yang menggunakan program ABAQUS. memodelkan dua jenis

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA LINK TERHADAP VARIASI TIPE PENGAKU PADA RANGKA BERPENGAKU EKSENTRIS

ANALISA KINERJA LINK TERHADAP VARIASI TIPE PENGAKU PADA RANGKA BERPENGAKU EKSENTRIS ANALISA KINERJA LINK TERHADAP VARIASI TIPE PENGAKU PADA RANGKA BERPENGAKU EKSENTRIS Alfin Septya Nugroho, Data Iranata, Budi Suswanto. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut

Lebih terperinci

Jenis las Jenis las yang ditentukan dalam peraturan ini adalah las tumpul, sudut, pengisi, atau tersusun.

Jenis las Jenis las yang ditentukan dalam peraturan ini adalah las tumpul, sudut, pengisi, atau tersusun. SAMBUNGAN LAS 13.5.1 Lingkup 13.5.1.1 Umum Pengelasan harus memenuhi standar SII yang berlaku (2441-89, 2442-89, 2443-89, 2444-89, 2445-89, 2446-89, dan 2447-89), atau penggantinya. 13.5.1.2 Jenis las

Lebih terperinci

Bab II STUDI PUSTAKA

Bab II STUDI PUSTAKA Bab II STUDI PUSTAKA 2.1 Pengertian Sambungan, dan Momen 1. Sambungan adalah lokasi dimana ujung-ujung batang bertemu. Umumnya sambungan dapat menyalurkan ketiga jenis gaya dalam. Beberapa jenis sambungan

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA LINK YANG DAPAT DIGANTI PADA STRUKTUR RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIK TIPE SPLIT-K

KAJIAN KINERJA LINK YANG DAPAT DIGANTI PADA STRUKTUR RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIK TIPE SPLIT-K KAJIAN KINERJA LINK YANG DAPAT DIGANTI PADA STRUKTUR RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIK TIPE SPLIT-K Muslinang Moestopo, Yudi Herdiansah, Ben Novarro Batubara 1. PENDAHULUAN Struktur Rangka Berpengaku Eksentrik

Lebih terperinci

PERILAKU LENTUR BETON MUTU TINGGI YANG DIKEKANG DENGAN BAJA MUTU TINGGI

PERILAKU LENTUR BETON MUTU TINGGI YANG DIKEKANG DENGAN BAJA MUTU TINGGI PERILAKU LENTUR BETON MUTU TINGGI YANG DIKEKANG DENGAN BAJA MUTU TINGGI Zulfikar Djauhari *) dan Iswandi Imran**) 1 PENDAHULUAN Salah satu detail penulangan yang penting untuk menghasilkan respon struktur

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas hasil dari analisis uji sambungan balok kolom pracetak. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode elemen hingga yang menggunakan program ABAQUS CAE

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan Tahap Sarjana pada

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BRESING TAHAN TEKUK

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BRESING TAHAN TEKUK PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BRESING TAHAN TEKUK Rhonita Dea Andarini 1), Muslinang Moestopo 2) 1. Pendahuluan Masalah tekuk menjadi perhatian dalam desain bangunan baja. Tekuk menyebabkan hilangnya

Lebih terperinci

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS Ketentuan Perencanaan Pembebanan Besar beban yang bekerja pada struktur ditentukan oleh jenis dan fungsi dari struktur tersebut. Untuk itu, dalam menentukan jenis beban

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Disain Kapasitas Berdasarkan SNI beton yang berlaku (SNI 03-2847-06), struktur beton bertulang tahan gempa pada umumnya direncanakan dengan mengaplikasikan konsep daktilitas.dengan

Lebih terperinci

A. Struktur Balok. a. Tunjangan lateral dari balok

A. Struktur Balok. a. Tunjangan lateral dari balok A. Struktur Balok 1. Balok Konstruksi Baja Batang lentur didefinisikan sebagai batang struktur yang menahan baban transversal atau beban yang tegak lurus sumbu batang. Batang lentur pada struktur yang

Lebih terperinci

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder Dalam penggunaan profil baja tunggal (seperti profil I) sebagai elemen lentur jika ukuran profilnya masih belum cukup memenuhi karena gaya dalam (momen dan gaya

Lebih terperinci

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder

PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder PLATE GIRDER A. Pengertian Pelat Girder Dalam penggunaan profil baja tunggal (seperti profil I) sebagai elemen lentur jika ukuran profilnya masih belum cukup memenuhi karena gaya dalam (momen dan gaya

Lebih terperinci

Latar Belakang : Banyak bencana alam yang terjadi,menyebabkan banyak rumah penduduk rusak

Latar Belakang : Banyak bencana alam yang terjadi,menyebabkan banyak rumah penduduk rusak Bab I Pendahuluan Latar Belakang : Kebutuhan perumahan di Indonesia meningkat seiring pertumbuhan penduduk yang pesat. Banyak bencana alam yang terjadi,menyebabkan banyak rumah penduduk rusak Latar Belakang

Lebih terperinci

viii DAFTAR GAMBAR viii

viii DAFTAR GAMBAR viii vi DAFTAR ISI HALAMAN DEPAN... I LEMBAR PENGESAHAN... II HALAMAN PERNYATAAN... III HALAMAN PERSEMBAHAN... IV KATA PENGANTAR... V DAFTAR ISI... VI DAFTAR GAMBAR... VIII DAFTAR TABEL... XI INTISARI... XII

Lebih terperinci

Gambar 5.1 Tegangan yang terjadi pada model 1.

Gambar 5.1 Tegangan yang terjadi pada model 1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tegangan dan Regangan Gambar 5.1, Gambar 5.2, Gambar 5.3 dan Gambar 5.4 memperlihatkan sebaran tegangan dan regangan yang terjadi pada model 1 dan 2 akibat beban yang diberikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian gempa yang sering terjadi di Indonesia menyebabkan banyak korban berjatuhan. Kejadian gempa ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia, sehingga potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beton banyak digunakan sebagai bahan bangunan karena harganya yang relatif murah, kuat tekannya tinggi, bahan pembuatnya mudah didapat, dapat dibuat sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Material Beton II.1.1 Definisi Material Beton Beton adalah suatu campuran antara semen, air, agregat halus seperti pasir dan agregat kasar seperti batu pecah dan kerikil.

Lebih terperinci

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial 2.1. Umum Akibat beban luar, struktur akan memberikan respons yang dapat berupa reaksi perletakan tegangan dan regangan maupun terjadinya perubahan bentuk.

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1 1 Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan Pascasarjana, Bandung ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI KINERJA DINDING GESER

BAB IV EVALUASI KINERJA DINDING GESER BAB I EALUASI KINERJA DINDING GESER 4.1 Analisis Elemen Dinding Geser Berdasarkan konsep gaya dalam yang dianut dalam SNI Beton 2847-2002, elemen struktur dinding geser tidak dicek terhadap kegagalan gesernya.

Lebih terperinci

Torsi sekeliling A dari kedua sayap adalah sama dengan torsi yang ditimbulkan oleh beban Q y yang melalui shear centre, maka:

Torsi sekeliling A dari kedua sayap adalah sama dengan torsi yang ditimbulkan oleh beban Q y yang melalui shear centre, maka: Torsi sekeliling A dari kedua sayap adalah sama dengan torsi yang ditimbulkan oleh beban Q y yang melalui shear centre, maka: BAB VIII SAMBUNGAN MOMEN DENGAN PAKU KELING/ BAUT Momen luar M diimbangi oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Eksperimen Sambungan Balok-Kolom Sistem Pracetak Ertas, dkk (2006) melakukan penelitian tentang sambungan daktail pada struktur rangka pemikul momen pracetak.

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Umum Pada bab ini akan dilakukan analisis terhadap model yang telah dibuat pada bab sebelumnya. Ada beberapa hal yang akan dianalisis dan dibahas kali ini. Secara umum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembebanan Struktur Dalam perencanaan struktur bangunan harus mengikuti peraturanperaturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman. Pengertian

Lebih terperinci

Kinerja Hubungan Pelat-Kolom Struktur Flat Plate Bertulangan Geser Stud Rail dan Sengkang Dalam Menahan Beban Lateral Siklis

Kinerja Hubungan Pelat-Kolom Struktur Flat Plate Bertulangan Geser Stud Rail dan Sengkang Dalam Menahan Beban Lateral Siklis ISBN 978-979-3541-25-9 Kinerja Hubungan Pelat-Kolom Struktur Flat Plate Bertulangan Geser Stud Rail dan Sengkang Dalam Menahan Beban Lateral Siklis Riawan Gunadi 1, Bambang Budiono 2, Iswandi Imran 2,

Lebih terperinci

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur

Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur STUDI PERILAKU SAMBUNGAN BALOK PRACETAK UNTUK RUMAH SEDERHANA TAHAN GEMPA AKIBAT BEBAN STATIK Leonardus Setia Budi Wibowo 1 Tavio 2 Hidayat Soegihardjo 3 Endah Wahyuni 4 dan Data Iranata 5 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR

STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR STUDI EKSPERIMENTAL HUBUNGAN BALOK-KOLOM GLULAM DENGAN PENGHUBUNG BATANG BAJA BERULIR Rizfan Hermanto 1* 1 Mahasiswa / Program Magister / Jurusan Teknik Sipil / Fakultas Teknik Universitas Katolik Parahyangan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: gempa, kolom dan balok, lentur, geser, rekomendasi perbaikan.

ABSTRAK. Kata Kunci: gempa, kolom dan balok, lentur, geser, rekomendasi perbaikan. VOLUME 8 NO. 1, FEBRUARI 2012 EVALUASI KELAYAKAN BANGUNAN BERTINGKAT PASCA GEMPA 30 SEPTEMBER 2009 SUMATERA BARAT ( Studi Kasus : Kantor Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

Hukum Hooke. Diktat Kuliah 4 Mekanika Bahan. Ir. Elisabeth Yuniarti, MT

Hukum Hooke. Diktat Kuliah 4 Mekanika Bahan. Ir. Elisabeth Yuniarti, MT Hukum Hooke Diktat Kuliah 4 Mekanika Bahan Ir. lisabeth Yuniarti, MT Hubungan Tegangan dan Regangan (Stress-Strain Relationship) Untuk merancang struktur yang dapat berfungsi dengan baik, maka kita memerlukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISIS

BAB IV HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISIS IV-1 BAB IV HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISIS Data hasil eksperimen yang di dapat akan dilakukan analisis terutama kemampuan daktilitas beton yang menggunakan 2 (dua) macam serat yaitu serat baja dan serat

Lebih terperinci

KAJIAN NUMERIK PERILAKU LINK PANJANG DENGAN PENGAKU DIAGONAL BADAN PADA SISTEM RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIS

KAJIAN NUMERIK PERILAKU LINK PANJANG DENGAN PENGAKU DIAGONAL BADAN PADA SISTEM RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIS KAJIAN NUMERIK PERILAKU LINK PANJANG DENGAN PENGAKU DIAGONAL BADAN PADA SISTEM RANGKA BAJA BERPENGAKU EKSENTRIS Nidiasari, Bambang Budiono 1 PENDAHULUAN Baja merupakan alternatif bangunan tahan gempa yang

Lebih terperinci

T I N J A U A N P U S T A K A

T I N J A U A N P U S T A K A B A B II T I N J A U A N P U S T A K A 2.1. Pembebanan Struktur Besarnya beban rencana struktur mengikuti ketentuan mengenai perencanaan dalam tata cara yang didasarkan pada asumsi bahwa struktur direncanakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu pengujian mekanik beton, pengujian benda uji balok beton bertulang, analisis hasil pengujian, perhitungan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menampilkan hasil pengujian karakteristik material bata dan elemen dinding bata yang dilakukan di Laboratorium Rekayasa Struktur Pusat Rekayasa Industri ITB. 4.1. Uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan struktur beton, baja dinilai memiliki sifat daktilitas yang dapat dimanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan struktur beton, baja dinilai memiliki sifat daktilitas yang dapat dimanfaatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangunan yang berada di daerah rawan gempa seperti Indonesia, harus direncanakan untuk dapat memikul gaya lateral yang disebabkan oleh gempa. Baja merupakan alternative

Lebih terperinci

KAJIAN PERILAKU LENTUR PELAT KERAMIK BETON (KERATON) (064M)

KAJIAN PERILAKU LENTUR PELAT KERAMIK BETON (KERATON) (064M) KAJIAN PERILAKU LENTUR PELAT KERAMIK BETON (KERATON) (064M) Hazairin 1, Bernardinus Herbudiman 2 dan Mukhammad Abduh Arrasyid 3 1 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional (Itenas), Jl. PHH. Mustofa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kondisi geografis Indonesia terletak di daerah dengan tingkat kejadian gempa bumi tektonik yang relatif tinggi. Maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk memperkecil

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ENERGI PADA PERCOBAAN BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK DAN MONOTONIK. Raja Marpaung 1 ) Suhadi 2 ) Lina Flaviana Tilik 3 )

PERBANDINGAN ENERGI PADA PERCOBAAN BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK DAN MONOTONIK. Raja Marpaung 1 ) Suhadi 2 ) Lina Flaviana Tilik 3 ) PILAR Jurnal Teknik Sipil, Volume 9, No., September 0 ISSN: 909 PERBANDINGAN ENERGI PADA PERCOBAAN BETON BERTULANG AKIBAT PEMBEBANAN SIKLIK DAN MONOTONIK Raja Marpaung ) Suhadi ) Lina Flaviana Tilik )

Lebih terperinci

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BALOK BERLUBANG

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BALOK BERLUBANG PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BALOK BERLUBANG TUGAS AKHIR Oleh : Komang Haria Satriawan NIM : 1104105053 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA 2015 NPERNYATAAN Yang bertanda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA II.1. Material baja Baja yang akan digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi baja karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembebanan Komponen Struktur Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur direncanakan cukup kuat untuk memikul semua beban kerjanya. Pengertian beban itu

Lebih terperinci

ANALISIS SAMBUNGAN PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN KOLOM DENGAN MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI (HTB) (Studi Literatur) TUGAS AKHIR

ANALISIS SAMBUNGAN PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN KOLOM DENGAN MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI (HTB) (Studi Literatur) TUGAS AKHIR ANALISIS SAMBUNGAN PORTAL BAJA ANTARA BALOK DAN KOLOM DENGAN MENGGUNAKAN SAMBUNGAN BAUT MUTU TINGGI (HTB) (Studi Literatur) TUGAS AKHIR DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI TUGAS-TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT UNTUK MENEMPUH

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... vi. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. HALAMAN PERSEMBAHAN... vi. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR NOTASI... xii

Lebih terperinci

Pertemuan I,II,III I. Tegangan dan Regangan

Pertemuan I,II,III I. Tegangan dan Regangan Pertemuan I,II,III I. Tegangan dan Regangan I.1 Tegangan dan Regangan Normal 1. Tegangan Normal Konsep paling dasar dalam mekanika bahan adalah tegangan dan regangan. Konsep ini dapat diilustrasikan dalam

Lebih terperinci

4.3.7 Model G (Balok Lintel) Pengujian dan Perilaku Histeresis

4.3.7 Model G (Balok Lintel) Pengujian dan Perilaku Histeresis 4.3.7 Model G (Balok Lintel) 4.3.7.1 Pengujian dan Perilaku Histeresis Keretakan awal dinding benda uji Model G terjadi pada drift.67% (simpangan 2mm) berupa retak geser sliding di atas dan di bawah balok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencanaan suatu struktur bangunan gedung bertingkat tinggi sebaiknya mengikuti peraturan-peraturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu

Lebih terperinci

Desain Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa

Desain Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa Mata Kuliah : Struktur Beton Lanjutan Kode : TSP 407 SKS : 3 SKS Desain Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa Pertemuan 13, 14 TIU : Mahasiswa dapat mendesain berbagai elemen struktur beton bertulang TIK

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI TUGAS AKHIR Oleh : I Gede Agus Krisnhawa Putra NIM : 1104105075 JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( )

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( ) Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA (3109 106 045) Dosen Pembimbing: BUDI SUSWANTO, ST.,MT.,PhD. Ir. R SOEWARDOJO, M.Sc PROGRAM SARJANA LINTAS JALUR JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 2. AISC (2005), Seismic Provision for Structural Steel Building. Chicago, American Institute of Steel Construction.

DAFTAR PUSTAKA. 2. AISC (2005), Seismic Provision for Structural Steel Building. Chicago, American Institute of Steel Construction. DAFTAR PUSTAKA 1. AISC (005), Prequalified Connection for Special and Intermediate Steel Moment Frames for Seismic Application, Chicago, American Institute of Steel Construction.. AISC (005), Seismic Provision

Lebih terperinci

Letak Utilitas. Bukaan Pada Balok. Mengurangi tinggi bersih Lantai 11/7/2013. Metode Perencanaan Strut and Tie Model

Letak Utilitas. Bukaan Pada Balok. Mengurangi tinggi bersih Lantai 11/7/2013. Metode Perencanaan Strut and Tie Model Letak Utilitas Antoni Halim, structure engineer, DS&P EKSPERIMEN BALOK BETON DENGAN BUKAAN Mengurangi tinggi bersih Lantai Bukaan Pada Balok Metode Perencanaan Strut and Tie Model Truss - analogy model

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR 3.1. Pemodelan Struktur Pada tugas akhir ini, struktur dimodelkan tiga dimensi sebagai portal terbuka dengan penahan gaya lateral (gempa) menggunakan 2 tipe sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gempa di Indonesia Tahun 2004, tercatat tiga gempa besar di Indonesia yaitu di kepulauan Alor (11 Nov. skala 7.5), gempa Papua (26 Nov., skala 7.1) dan gempa Aceh (26 Des.,skala

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Analisis Lentur Balok Mac. Gregor (1997) mengatakan tegangan lentur pada balok diakibatkan oleh regangan yang timbul karena adanya beban luar. Apabila beban bertambah maka pada

Lebih terperinci

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT 2.1 KONSEP PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG RAWAN GEMPA Pada umumnya struktur gedung berlantai banyak harus kuat dan stabil terhadap berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balok dan kolom adalah elemen struktur yang berfungsi untuk membentuk kerangka dari suatu bangunan. Balok adalah elemen struktur yang dirancang untuk menahan dan mentransfer

Lebih terperinci

STUDI PERILAKU SAMBUNGAN BALOK PRACETAK UNTUK RUMAH SEDERHANA TAHAN GEMPA AKIBAT BEBAN STATIK

STUDI PERILAKU SAMBUNGAN BALOK PRACETAK UNTUK RUMAH SEDERHANA TAHAN GEMPA AKIBAT BEBAN STATIK STUDI PERILAKU SAMBUNGAN BALOK PRACETAK UNTUK RUMAH SEDERHANA TAHAN GEMPA AKIBAT BEBAN STATIK Leonardus Setia Budi Wibowo Tavio Hidayat Soegihardjo 3 Endah Wahyuni 4 dan Data Iranata 5 Mahasiswa S Jurusan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. ur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor N u harus memenuhi : N u. N n... (3-1)

BAB III LANDASAN TEORI. ur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor N u harus memenuhi : N u. N n... (3-1) BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Batang Tarik Menurut SNI 03-1729-2002-2002 pasal 10.1 menyatakan bahwa komponen struktur ur yang memikul gaya tarik aksial terfaktor N u harus memenuhi : N u. N n... (3-1) Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembebanan Komponen Struktur Dalam perencanaan bangunan tinggi, struktur gedung harus direncanakan agar kuat menahan semua beban yang bekerja padanya. Berdasarkan Arah kerja

Lebih terperinci

PERILAKU BATANG TEKAN PROFIL BAJA SIKU TUNGGAL PADA STRUKTUR RANGKA BATANG

PERILAKU BATANG TEKAN PROFIL BAJA SIKU TUNGGAL PADA STRUKTUR RANGKA BATANG ISSN 2088-9321 pp. 103-112 PERILAKU BATANG TEKAN PROFIL BAJA SIKU TUNGGAL PADA STRUKTUR RANGKA BATANG M. Arief Rahman Panjaitan 1, Purwandy Hasibuan 2 1,2) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Jl. Tgk.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pemodelan Benda Uji pada Program AutoCAD 1. Penamaan Benda Uji Variasi yang terdapat pada benda uji meliputi diameter lubang, sudut lubang, jarak antar lubang, dan panjang

Lebih terperinci

PERILAKU SIKLIK BALOK PRATEGANG PARSIAL PRATARIK AKIBAT PERBEDAAN RASIO TULANGAN

PERILAKU SIKLIK BALOK PRATEGANG PARSIAL PRATARIK AKIBAT PERBEDAAN RASIO TULANGAN PERILAKU SIKLIK BALOK PRATEGANG PARSIAL PRATARIK AKIBAT PERBEDAAN RASIO TULANGAN Titik Penta Artiningsih Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor Jl. Pakuan PO Box 452, Ciheuleut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pekerjaan struktur seringkali ditekankan pada aspek estetika dan kenyamanan

I. PENDAHULUAN. Pekerjaan struktur seringkali ditekankan pada aspek estetika dan kenyamanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pekerjaan struktur seringkali ditekankan pada aspek estetika dan kenyamanan selain dari pada aspek keamanan. Untuk mempertahankan aspek tersebut maka perlu adanya solusi

Lebih terperinci

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR BAB IV PERMODELAN STRUKTUR IV.1 Deskripsi Model Struktur Kasus yang diangkat pada tugas akhir ini adalah mengenai retrofitting struktur bangunan beton bertulang dibawah pengaruh beban gempa kuat. Sebagaimana

Lebih terperinci

Kuliah ke-6. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax:

Kuliah ke-6. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax: Kuliah ke-6 Bar (Batang) digunakan pada struktur rangka atap, struktur jembatan rangka, struktur jembatan gantung, pengikat gording dn pengantung balkon. Pemanfaatan batang juga dikembangkan untuk sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Konstruksi Baja merupakan suatu alternatif yang menguntungkan dalam pembangunan gedung dan struktur yang lainnya baik dalam skala kecil maupun besar. Hal ini

Lebih terperinci

STUDI ANALISIS DAN EKSPERIMENTAL PENGARUH PERKUATAN SAMBUNGAN PADA STRUKTUR JEMBATAN RANGKA CANAI DINGIN TERHADAP LENDUTANNYA

STUDI ANALISIS DAN EKSPERIMENTAL PENGARUH PERKUATAN SAMBUNGAN PADA STRUKTUR JEMBATAN RANGKA CANAI DINGIN TERHADAP LENDUTANNYA STUDI ANALISIS DAN EKSPERIMENTAL PENGARUH PERKUATAN SAMBUNGAN PADA STRUKTUR JEMBATAN RANGKA CANAI DINGIN TERHADAP LENDUTANNYA Roland Martin S 1*)., Lilya Susanti 2), Erlangga Adang Perkasa 3) 1,2) Dosen,

Lebih terperinci

PROPOSAL TUGAS AKHIR DAFTAR ISI

PROPOSAL TUGAS AKHIR DAFTAR ISI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii LEMBAR PERSEMBAHAAN... iii HALAMAN MOTTO... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR LAMPIRAN...xii

Lebih terperinci

TULANGAN GESER. tegangan yang terjadi

TULANGAN GESER. tegangan yang terjadi TULANGAN GESER I. PENDAHULUAN Semua elemen struktur balok, baik struktur beton maupun baja, tidak terlepas dari masalah gaya geser. Gaya geser umumnya tidak bekerja sendirian, tetapi berkombinasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicegah dengan memperkuat struktur bangunan terhadap gaya gempa yang

BAB I PENDAHULUAN. dicegah dengan memperkuat struktur bangunan terhadap gaya gempa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan bangunan akibat gempa secara konvensional dapat dicegah dengan memperkuat struktur bangunan terhadap gaya gempa yang bekerja padanya. Namun, hasil ini sering

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencaaan struktur bangunan harus mengikuti peraturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan struktur bangunan yang aman. Pengertian beban adalah

Lebih terperinci

Struktur Baja 2. Kolom

Struktur Baja 2. Kolom Struktur Baja 2 Kolom Perencanaan Berdasarkan LRFD (Load and Resistance Factor Design) fr n Q i i R n = Kekuatan nominal Q = Beban nominal f = Faktor reduksi kekuatan = Faktor beban Kombinasi pembebanan

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SAMBUNGAN DENGAN ALAT SAMBUNG SEKRUP PADA ELEMEN STRUKTUR BAJA RINGAN

STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SAMBUNGAN DENGAN ALAT SAMBUNG SEKRUP PADA ELEMEN STRUKTUR BAJA RINGAN STUDI EKSPERIMENTAL PERILAKU SAMBUNGAN DENGAN ALAT SAMBUNG SEKRUP PADA ELEMEN STRUKTUR BAJA RINGAN Sabril Haris 1 dan Hazmal Herman 2 1,2 Universitas Andalas, Padang, Indonesia sabril_haris_hg@ft.unand.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami retak-retak. Untuk itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur,

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL SAMBUNGAN KOLOM-KOLOM PADA SISTEM BETON PRACETAK DENGAN MENGGUNAKAN SLEEVES

STUDI EKSPERIMENTAL SAMBUNGAN KOLOM-KOLOM PADA SISTEM BETON PRACETAK DENGAN MENGGUNAKAN SLEEVES STUDI EKSPERIMENTAL SAMBUNGAN KOLOM-KOLOM PADA SISTEM BETON PRACETAK DENGAN MENGGUNAKAN SLEEVES 1. PENDAHULUAN Iswandi Imran, Liyanto Eddy, Mujiono, Elvi Fadilla Sistem beton pracetak telah banyak digunakan

Lebih terperinci

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Batang Tarik Pertemuan - 2

a home base to excellence Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 Batang Tarik Pertemuan - 2 Mata Kuliah : Perancangan Struktur Baja Kode : TSP 306 SKS : 3 SKS Batang Tarik Pertemuan - 2 TIU : Mahasiswa dapat merencanakan kekuatan elemen struktur baja beserta alat sambungnya TIK : Mahasiswa mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Beton bertulang telah dikenal luas dalam penggunaan material struktur bangunan, dengan pertimbangan pemanfaatan kelebihan perilaku yang dimiliki masing-masing komponen

Lebih terperinci