Nadya Febrina, Neng Djubaedah, Farida Prihatini. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia
|
|
- Suparman Sumadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH TERHADAP KEDUDUKAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NOMOR: 978/Pdt.G/2011/Pa.Sda) Nadya Febrina, Neng Djubaedah, Farida Prihatini Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia nadya.febrina@yahoo.com Abstrak Skripsi ini berisi tentang akibat hukum pembatalan perkawinan karena hubungan darah terhadap kedudukan anak berdasarkan analisis Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/Pa.Sda. Pokok permasalahan membahas bagaimana kedudukan anak yang dilahirkan setelah perkawinan kedua orang tuanya dibatalkan karena adanya hubungan darah. Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dimana sumber data diperoleh dari data sekunder dan data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan pembatalan perkawinan karena hubungan sedarah ini tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan, sehingga dalam hal ini anak tersebut merupakan anak sah dan memiliki hubungan nasab dan dapat saling mewarisi dengan kedua orang tuanya dan keluarga kedua orang tuanya. The Legal Consequences of a Marriage Annulment by Blood Relation to a Child s Legal Status (Analysis of the Religious Court Decision Sidoarjo Number: 978/ Pdt.G/ 2011/ Pa.Sda) Abstract This thesis describes the legal consequences of a marriage annulment by blood relation to the child s legal status based on the analysis of the Religious Court Decision Sidoarjo Number : 978 / Pdt.G / 2011 / Pa.Sda. The issue is how the child s legal status after the marriage of his parents was canceled because of the blood relation. This research is the juridical-normative research where the data sources obtained from secondary data and primary data. The results showed that marriage annulment decision because of the blood relation is not retroactive to children who were born in a marriage, so in this case the child is legitimate and has nasab relation and inherit each other with their parents and their parents s families. Keywords: marriage by blood relation, marriage annulment, child s legal status.
2 Pendahuluan Dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Dengan adanya keturunan dari perkawinan tersebut merupakan akibat yang sangat penting dari kehidupan berkeluarga. Pekawinan merupakan peristiwa hukum dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. 1 Suatu perkawinan dikatakan sah jika dalam perkawinan tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya, sedangkan jika suatu perkawinan kurang salah satu atau beberapa rukun atau syarat-syaratnya maka perkawinan tersebut tidak sah dan perkawinan tersebut dapat dibatalkan baik oleh para pihak yang telah melangsungkan perkawinan tersebut maupun pihak ketiga yang berkepentingan. 2 Tidak sahnya suatu perkawinan dapat terjadi sebab tidak dipenuhinya salah satu di antara rukun-rukunnya disebut dengan perkawinan yang batal, sedangkan karena tidak dipenuhi salah satu diantara syarat-syaratnya disebut dengan perkawinan yang fasid. Perkawinan fasid adalah perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan namun syarat-syarat nikah yang ditetapkan syara rusak atau cacat. 3 Istilah pembatalan ini mengandung arti yang sangat luas, sebab dengan dibatalkannya perkawinan berarti tidak dapat untuk dilanjutkan atau kembali seperti semula. Hal ini berarti bahwa dengan dibatalkannya itu akan menjadikan suatu masalah dan akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang mempunyai itikad baik. 4 Akibat dari adanya suatu perkawinan yaitu timbulnya hubungan antara suami istri, timbulnya harta benda dalam perkawinan, dan timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan antara anak dan orang tua akan timbul sejak anak dilahirkan. Anak yang memiliki hubungan sah menurut hukum akan memiliki hak yang dilindungi. Anak yang dilahirkan dari 1 Muhammad Ihsan, Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Statua Anak Ditinjau Dari Perspekif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2012), hlm Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, ed.1, cet.2, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm T. Rizal Paripurnawan, Segi Hukum Dari Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan Menurut KUHPerdata, UU No.1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, (Skripsi Universitas Indonesia, Depok,1986),hlm.2.
3 suami istri menjadi persoalan dan mendapat perhatian yang khusus sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 5 Menurut Undang-Undang Perkawinan, putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian, atau atas keputusan pengadilan. Hal yang tidak diinginkan tersebut akan menimbulkan banyak masalah, baik masalah terhadap kedudukan suami istri, kedudukan anak, dan masalah waris. Putusnya perkawinan karena putusan hakim terjadi karena pemohon pembatalan perkawinan yang diajukan oleh para pihak yang merasa dirugikan dengan adanya perkawinan tersebut. 6 Seperti halnya dengan perceraian, pembatalan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai pada derajat tertentu adalah suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan perkawinannya tersebut. 7 Dalam penulisan ini masalah yang akan di bahas lebih lanjut adalah mengenai pembatan perkawinan akibat hubungan darah. Pembatalan perkawinan sering kali terjadi karena masih banyak pihak-pihak yang tidak menaati rukun dan syarat perkawinan yang telah ditentukan. Pembatalan suatu perkawinan dapat membawa masalah terhadap suatu perkawinan yang telah terjadi, terutama jika telah dilahirkan anak dari perkawinan tersebut. Keadaan ini menjadi pertanyaan bagaimana sebenarnya kedudukan hukum anak tersebut. Pembatalan perkawinan ini tentu mempengaruhi status anak yang dilahirkan dari perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah. Oleh karena itu, pokok permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kedudukan anak menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam? 5 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hlm Retno Noordiwati, Pembatalan Perkawinan Disebabkan Adanya Hubungan Keluarga, (Tesis Magister Kenotariatan, Depok, 2006), hlm 3. 7 Merry Yuanissa Istiqomah, Kajian Yuridis Status Hukum Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, %20%28102%29hukum_1.pdf?sequence=1, diakses pada 1 November 2014.
4 2. Bagaimana analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang pembatalan perkawinan karena hubungan darah? 3. Bagaimana akibat hukum Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda terhadap kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan karena adanya hubungan darah antara suami dan istri bersangkutan? Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan anak menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui dan memahami analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang pembatalan perkawinan karena hubungan darah. 3. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda terhadap kedudukan anak dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan karena adanya hubungan darah antara suami dan istri bersangkutan. Tinjauan Teoritis Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang sakral antara seorang laki-laki yang disebut suami dengan seorang wanita yang disebut isteri. Dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa sebuah perkawinan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan unsur keagamaan, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahiriyah saja tetapi juga memiliki unsur batiniyah yang memilki peran penting dalam sebuah ikatan perkawinan. 8 Perkawinan menurut hukum Islam merupakan salah satu perbuatan hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat. Pengertian perkawinan menurut Pasal 2 jo. Pasal 3 KHI yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah 8 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 347.
5 Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah (tentram), mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (saling mengasihi). 9 Undang-Undang Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan, tetapi hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Dalam Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan menentukan bahwa: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perauturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat sahnya perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa dalam perkawinan harus ada persetujuan atau ada kata sepakat dari kedua belah pihak calon mempelai, artinya kedua calon suami-istri tersebut setuju atau sepakat untuk mengikatkan diri di dalam suatu ikatan perkawinan tanpa paksaan dari pihak manapun, karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga bahagia dan kekal dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Persetujuan bebas itu merupakan unsur hakekat dari perkawinan, oleh karena itu harus dilakukan atas kesadaran calon suami dan istri. 10 Selain itu untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Batas usia atau umur untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ialah bagi pria sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun 10 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2004), hlm. 23
6 dan bagi wanita sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun. Pasal tersebut menentukkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. Batasan usia kedua calon mempelai ini adalah untuk menghindari perkawinan yang dilakukan oleh calon suami atau istri yang dibawah umur. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan sub d, Undang- Undang menganut prinsip bahwa calon suami dan istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujukan tujuan perkawinan dan mendapatkan keturunan yang baik, oleh sebab itu Undang-Undang mngatur mengenai batasan umur bagi sema orang yang akan melangsungkan perkawinan. 11 Dalam melangsungkan perkawinan, calon suami dan istri harus memperhatikan larangan-larangan perkawinan karena hal ini juga merupakan syarat-syarat perkawinan. Dalam 8 Undang-Undang perkawinan mengatur bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Menurut hukum Islam perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. 12 Rukun adalah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. 13 Rukun perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya syatu perkawinan, bila salah satu dari rukun nikah 11 Ibid.,hlm Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm. 13 Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Dierjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Departemen Agama, 1984, hlm. 34.
7 tidak terpenuhi maka tidak terjadi suatu perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus dipenuhi oleh para subjek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad perkawinan. 14 Pasal 14 KHI mengatur bahwa rukun perkawinan adalah: a. Calon mempelai laki-laki b. Calon mempelai Perempuan c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan pekawinan d. Dua Orang saksi e. Ijab yang dilakukan oleh wali qabul yang dilakukan oleh suami. Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam al-qur an yang termuat dalam Q.S al- Baqarah (2): 221 tentang larangan perkawinan karena perbedan agama: Janganlah kamu kawini perempuan musyrik hingga dia beriman; jangan kamu kawini laki-laki musyrik hingga dia beriman; Orang musyrik itu membawa kepada neraka sedangkan Tuhan membawa kamu kepada kebaikan dan keampunan Larangan Perkawinan dengan karena hubungan darah, semenda, dan saudara sesusuan juga diatur dalam Q.S. an-nisa (4): 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua 14 Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 308.hlm. 107.
8 perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 15 Dalam Pasal 39 KHI menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab: a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya (2) Karena pertalian kerabat semenda: a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan: a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya. Sebelum perkawinan berlangsung, perlu diadakan pemeriksaan terlebih dahulu mengenai kedua calon mempelai, hal ini guna mengetahui apakah syarat-syarat perkawinan yang diperlukan telah dipenuhi dan tidak ada halangan yang merintangi pelaksanaan perkawinan tersebut. Jika ternyata salah satu atau keduanya tidak terpenuhi, maka pelaksanaan perkawinan itu harus dicegah. Namun apabila perkawinan tersebut terlanjur telah dilaksanakan, maka harus diadakan pembatalan perkawinan ke pengadilan Agama melalui permohonan pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal Hasbi As-Shiddiqi, Al-Qur an dan terjemahannya: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur an, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm 120.
9 Undang-Undang Perkawinan. 16 Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan, yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; b. Suami atau istri; c. Pejabat berwenang, hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Dalam Pasal 73 KHI mengatur bahwa yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri; b. suami atau istri; b. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang- Undang. c. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Dalam Pasal 74 KHI ditentukan bahwa: (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pembatalan perkawinan ditujukan semata-mata agar tidak menimbulkan akibat hasil dari perkawinan itu tidak terlindungi oleh hukum, baik dalam hukum Agama maupun hukum negara karena adanya kekurangan-kekurangan persyaratan tersebut atau adanya pelanggaranpelanggaran yang telah dilakukan sebelum melangsungkan perkawinan, perkawinannya 16 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 107.
10 menjadi tidak sah. 17 Pembatalan perkawinan juga dapat membawa akibat baik terhadap suami istri maupun keluarganya, seperti akibat hukum terhadap kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan karena adanya hubungan darah. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Perkawinan, menentukan bahwa: (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 75 KHI menentukan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. perkawinan yang batal karena salah satu sumai atau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap. Dari ketentuan isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa pembatalan perkawinan tidak membawa akibat hukum terhadap kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan dan sebelum terjadinya pembatalan perkawinan. Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu bertujuan untuk meneruskan keturunan dari keluarga tersebut. Anak yang dilahirkan oleh wanita sebagai seorang istri seorang pria yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah itu dikatakan sebagai 17 Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam (Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 63.
11 anak yang sah. Sebagai anak sah, selain mempunyai hubungan dengan ibunya, ia juga mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya. 18 Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan yang rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 99 KHI bahwa Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Neng Djubaedah mengutip pendapat Ahmad Ahzar Basyir bahwa Pasal 42 Undang- Undang Perkawinan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dapat dilihat mengenai sahnya anak dalam dua kemungkinan, yaitu anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. 19 Dalam hal penafsiran secara mutlak terhadap ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menurut Ahmad Azhar Basyir, maka kapan pun anak itu dilahirkan, asalkan dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dan tanpa memperhatikan apakah laki-laki yang menjadi suami ibunya adalah orang yang menyebabkan kehamilan atau bukan, maka dapat dipastikan bahwa ketentuan Undang-Undang itu tidak sejalan dengan Hukum Islam, karena anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah belum tentu dibuahkan dalam perkawinan yang sah. 20 Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai anak luar kawin. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 memberikan status yang berbeda dengan pengaturan yang ada sebelumnya yaitu dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga Ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan 18 Nuruddin, Op.Cit., hlm Neng Djubaedah, Op.Cit., hlm Ibid., hlm. 309.
12 berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 21 Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah ini diatur dalam Pasal 100 KHI yang menentukan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara itu Pasal 186 KHI menentukan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Dari Pasal tersebut, terlihat bahwa anak yang lahir diluar perkawinan atau yang disebut dari anak luar nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya yang dimana dalam hukum kewarisan pun, anak tersebut tidak bisa mendapatkan warisan dari ayahnya. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian ini, dilakukan terhadap hukum positif, yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan KHI yang mengatur pembatalan perkawinan karena hubungan darah terhadap kedudukan anak. Dilihat dari sifatnya tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala, 22 sedangkan penelitian analitis merupakan penelitian yang bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan terkait Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda mengenai dengan kedudukan hukum seorang anak akibat pembatalan perkawinan karena hubungan darah. Pada penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan, yang meliputi buku-buku mengenai perkawinan, pembatalan perkawinan, dan kedudukan anak, skripsi dan artikel. Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hakim Pengadilan Agama dan Anggota Majelis Ulama Indonesia untuk menunjang keakuratan data TELAH%20BACA.pdp, diakses pada 25 Desember Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 5.
13 Pembahasan 1. Analisis terhadap Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang pembatalan perkawinan karena hubungan darah Pembatalan perkawinan merupakan proses memutuskan suatu hubungan perkawinan antara suami dan istri. Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu perbuatan seseorang karena tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh syara. 23 Hal tersebut dilarang atau diharamkan oleh agama. Jadi, secara umum, batalnya suatu perkawinan tersebut adalah rusak atau tidak sahnya suatu perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau rukun yang dilarang oleh agama seperti yang terjadi ada kasus di Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/Pa.Sda antara Termohon I (suami) dan Termohon II (istri). Di dalam Islam jika perkawinan karena hubungan sedarah tersebut terjadi karena ketidaktahuan para pihak maka perbuatan tersebut terlepas dari ancaman dosa walaupun di dalam hukum jelas hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang. Perkawinan karena hubungan darah ini tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan zina, karena konsepnya berbeda dengan zina apalagi perkawinan antara saudara seibu tersebut karena ketidaktahuan dari para pihak itu sendiri. 24 Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Sidoarjo tersebut yaitu membatalkan perkawinan antara Termohon I dengan Termohon II, maka hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam. Jika di lihat dari pihak yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pegadilan Agama Sidoarjo, maka kedudukan Pemohon yang merupakan ibu kandung dari Termohon I dan Termohon II telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 23 Undang-Undang jo. Pasal 73 KHI jo. Pasal 74 KHI. Hakim memberikan pertimbangan bahwa perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tersebut adalah termasuk perkawinan yang dilarang karena masih memiliki hubungan sedarah yaitu saudara seibu, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S an-nisa (4):23. Selain itu pertimbangan hakim ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Pasal 8 huruf 23 Manan, Op.Cit., hlm Wawancara dengan K.H. Aceng Toha Abdul Qadir, anggota Majelis Ulama Indonesia Depok, Depok 18 November 2014.
14 b jo Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 39 jo Pasal 70 huruf d angka 1 KHI. Oleh karena itu berdasarkan penjelasan di atas pertimbangan hakim sudah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Perkawinan, KHI dan Hukum Islam. Dengan adanya Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda, menimbulkan akibat hukum terhadap hubungan suami istri antara Termohon I dan Termohon II. Di dalam putusan tersebut juga dinyatakan bahwa akta nikah mereka tidak berkekuatan hukum tetap sehingga tidak mengikat Termohon I dan Termohon II karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada, maka status mereka berubah seperti halnya laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah. Pada kenyataannya memang mereka sudah melakukan perkawinan tetapi secara hukum mereka dianggap tidak pernah melakukan perkawinan karena hubungan perkawinan mereka tersebut dilarang secara hukum maupun agama. 25 Dalam putusan tersebut hakim tidak memutuskan mengenai pembagian harta bersama dan bagaimana keduduan anak yang dilahirkan dari perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tersebut. Mengenai harta bersama pasti telah terjadi percampuran harta antara suami dan istri apalagi sudah ada perkawinan, tetapi hal ini dapat menjadi kesepakatan para pihak dalam menentukan pembagian harta bersama yang ada pada saat mereka membangun rumah tangga, sehingga tidak menjadi masalah apabila tidak ditentukan oleh hakim Pengadilan Agama. 2. Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Yang Dibatalkan Karena Hubungan Darah Pembatalan perkawinan karena hubungan darah seperti yang terjadi dalam kasus tersebut tentu akan menimbulkan akibat bagi suami istri dan anak yang dilahirkan. Kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan hubungan sedarah ini tidak dapat dipandang sama dalam setiap kasus, untuk menentukan kedudukan anak tersebut harus dilihat latar belakang sebab terjadinya perkawinan sedarah tersebut, contohnya jika terjadi perkawinan sedarah dimana pihak suami maupun istri sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka adalah mempunyai kekerabatan yang dilarang melakukan perkawinan. Maka jika keduanya sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah hilangnya beban hukum atas tiga kelompok orang yaitu orang yang khilaf, orang yang lupa dan orang yang dipaksa. Selamanya keduanya tidak mengetahui sama sekali Wawancara dengan Suryadi, S.Ag, M.H., Hakim Pengadilan Agama Depok, Depok, 11 November
15 adanya cacat nikah dari aspek larangan perkawinan, maka selama mereka tidak mengetahui cacat tersebut, hubungan suami istri yang telah berjalan selama ini adalah sah sebagaimana perkawinan yang legal dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Dengan demikian, maka masalah nasab anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap dihubungkan dengan suami istri tersebut sebagai ayah dan ibunya, sebagaimana halnya status anak sah lainnya. Demikian pula masalah warisnya, anak yang lahir dari perkawinan hubungan sedarah tersebut mempunyai hak saling mewaris dengan ibu dan ayahnya tersebut. 26 Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dilihat dengan adanya pembatalan perkawinan antara Termohon I dan Termohon II menyebabkan hubungan perkawinan diantara mereka dianggap tidak pernah ada, tetapi tidak demikian dengan status dari anak yang dilahirkan tersebut. Anak yang dilahirkan akibat pembatalan perkawinan tersebut tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, walaupun kedua orang tuanya tidak mempunyai hubungan sebagai suami istri lagi, sehingga keberadaan anak tersebut tetap diangap sah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang- Undang Perkawinan maka pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Mengenai status anak juga terdapat dalam Pasal 75 dan Pasal 76 KHI. Pasal 75 KHI mengatur bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Sementara itu Pasal 76 KHI menyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya telah dibatalkan, maka si anak tetap wajib dipelihara oleh kedua orang tuanya. Hak dan kewajiban anak tersebut tetap ada, sehingga anak tetap mendapatkan haknya sebagai seorang anak yang wajib dipenuhi oleh orang tuanya sampai si anak dewasa dan sebaliknya anak tersebut juga memiliki kewajiban terhadap kedua orang tuanya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan, selain itu hal ini juga diatur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khususnya untuk dapat tumbuh berkembang secara wajar, oleh karena itu anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan keadaan yang baik di lingkungannya, serta anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam 26 M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, cet. 1, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2014), hlm. 153.
16 kandungan maupun sesudah dilahirkan. Dengan kata lain anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang sangat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya yang wajar. 27 Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa anak yang lahir dari perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tetap mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan ayahnya dan juga berhak saling mewarisi sebagai anak yang sah. Dalam Pasal 176 KHI menentukan bahwa anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersamasama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Mengenai status anak dari Termohon I dan Termohon II tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan karena hubungan darah tersebut adalah anak sah. Menurut Bapak Suryadi, S.Ag, M.H., Hakim Pengadilan Agama Depok mengenai kedudukan anak tersebut disebutkan atau tidak di dalam putusan pengadilan maka tidak akan menjadi suatu masalah, karena baik disebutkan atau tidak disebutkan kedudukan anak tersebut tetap dianggap sah di mata hukum yang berlaku baik hukum negara maupun hukum Islam. 28 Berdasarkan penjelasan di atas memang tidak ada masalah mengenai disebutkan atau tidaknya kedudukan anak tersebut di dalam putusan hakim, tetapi ada baiknya kedudukan anak tersebut ditegaskan lagi di dalam putusan pengadilan. Hal ini dilakukan karena tidak semua masyarakat mengerti mengenai hukum apalagi mengenai akibat yang ditimbulkan karena pembatalan perkawinan ini, dengan adanya penegasan kedudukan anak tersebut maka kedudukan anak menjadi jelas. Kesimpulan 1. Dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 99 KHI menentukan bahwa Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Ketentuan tersebut tidak sejalan dengan hukum Islam, karena anak yang dilahirkan dalam 27 Rahmadi Indra Tektona, Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak KorbanPerceraian, TERHADAP%20PERLINDUNGAN%20HAK%20ANAK%20KORBAN%20PERCERAIAN, diakses pada 3 November Wawancara dengan Suryadi, S.Ag, M.H., Hakim Pengadilan Agama Depok, Depok, 11 November
17 perkawinan yang sah belum tentu dibuahkan dalam perkawinan yang sah. Maka menurut Neng Djubaedah seharusnya anak sah didefinisikan sebagai anak yang dibuahkan dan dilahirkan dalam dan akibat perkawian yang sah minimal 6 (enam) bulan qamariyah sejak perkawinan berlangsung. 2. Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang pembatalan perkawinan karena hubungan darah antara Termohon I dengan Termohon II, maka hal ini sudah sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa (4): 23, Pasal 8 huruf (b) jo Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan, Pasal 39 jo Pasal 70 huruf d angka 1 KHI bahwa perkawinan antara saudara seibu adalah perkawinan yang dilarang. 3. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 75 huruf b KHI jo. Pasal 76 KHI maka keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan. Dengan adanya Putusan Pengadilan Agama Sidoarjo Nomor: 978/Pdt.G/2011/PA.Sda anak yang dilahirkan akibat pembatalan perkawinan tersebut tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya, walaupun kedua orang tuanya tidak mempunyai hubungan sebagai suami istri lagi, sehingga kedudukan anak tersebut adalah sah dan tetap mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan ayahnya dan juga berhak saling mewarisi sebagai anak yang sah serta ayahnya berhak menjadi wali apabila anak tersebut akan menikah. Batalnya perkawinan kedua orang tua dari anak tersebut tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan kedua orang tuanya, sehingga hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya tidak putus. Saran 1. Pegawai KUA (Pegawai Pencatat Nikah) harus melakukan penelitian secara seksama berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 agar tidak terjadi pemalsuan data atau kekeliruan informasi yang diterima dari para pihak. 2. Sebelum melaksanakan perkawinan para pihak juga harus memperhatikan dan mengetahui latar belakang keluarga dari calon istri atau suaminya agar terhindar dari ketidaktahuan para pihak terhadap identitas suami atau istrinya tersebut. 3. Bagi calon mempelai sebaiknya lebih memahami pendidikan dan pengetahuan agama seperti syarat dan rukun nikah yang di tetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan dan
18 hukum Islam apalagi mengenai siapa aja orang yang dilarang untuk dinikahi, hal ini dilakukan agar dapat mencegah terjadinya perkawinan sedarah dan menghindari adanya pembatalan terhadap suatu perkawinan. Daftar Referensi Buku Anshary, M. Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional. cet. 1. Bandung: CV. Mandar Maju, As-Shiddiqie, Hasbi. Al-Qur an dan terjemahannya: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al- Qur an. Jakarta: Depag RI, Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkaiwnan dan Keluarga di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, Departemen Agama RI. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji.Jakarta: Departemen Agama, Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, Hakim, Abdul Hamid. Mabadi Awaliyah. cet.1. juz 1. Jakarta: Bulan Bintang, Ichsan, Achmad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam (Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum). Jakarta: Pradnya Paramita, Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Penerbit Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Kencana, Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT.
19 Bina Aksara, Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Syarifuddin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. cet.2. ed.1. Jakarta: Kencana, Skripsi/ Tesis Ihsan, Muhammad. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Statuas Anak Ditinjau Dari Perspekif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Skripsi Universitas Indonesia, Depok, Noordiwati, Retno. Pembatalan Perkawinan Disebabkan Adanya Hubungan Keluarga. Tesis Magister Kenotariatan, Depok, Paripurnawan, T. Rizal. Segi Hukum Dari Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan Menurut KUHPerdata, UU No.1 Tahun 1974 dan Hukum Islam,. Skripsi Universitas Indonesia, Depok,1986. Internet Istiqomah, Merry Yuanissa. Kajian Yuridis Status Hukum Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. %20%28102%29hukum_1.pdf?sequence=1. Diakses pada 1 November Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Febuari TELAH%20BACA.pdp, diakses pada 25 Desember Tektona, Rahmadi Indra. Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak KorbanPerceraian. =6754&title=KEPASTIAN%20HUKUM%20TERHADAP%20PERLINDUNGAN%2 0HAK%20ANAK%20KORBAN%20PERCERAIAN. Diakses pada 3 November Wawancara
20 Agus Yunih. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Jakarta Selatan, 24 November 2014 H. Asrorum Ni am Sholeh. Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta Pusat, 27 November K.H. Aceng Toha Abdul Qadir. Anggota Majelis Ulama Indonesia Depok. Depok 18 November Suryadi. Hakim Pengadilan Agama Depok. Depok, 11 November 2014.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan
Lebih terperinciFakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia.
Analisis Pembatalan Perkawinan Karena Saudara Sesusuan dan Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan (Studi Kasus Permohonan Pembatalan Perkawinan Nomor 15/Pdt.G/2012/PA.PKc) Fakhrani Ahliyah, Farida
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap manusia diatas permukaan bumi ini pada umumnya selalu menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Sesuatu kebahagiaan itu
Lebih terperinciBAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Lebih terperinciBAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia
BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH
BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
Lebih terperinciProsiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah
Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN (FASAKH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN ISTRI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN
Lebih terperincidigilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.
DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin
10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
Lebih terperinciMENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki
MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan merupakan salah satu asas pokok yang paling utama dalam kehidupan rumah tangga yang sempurna. Perkawinan bukan hanya merupakan satu jalan yang amat
Lebih terperinciUndang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
Lebih terperinciIMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974
IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan
Lebih terperinciBentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pembatalan Perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan Yaitu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
Lebih terperinciSAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK
SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir
Lebih terperinciFH UNIVERSITAS BRAWIJAYA
NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan
Lebih terperinciLex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016
KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum
Lebih terperinciUndang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita
Lebih terperinciBAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu
BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut
Lebih terperinciH.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6
BAB I PENDAHULUAN Dalam kehidupan, manusia tidak dapat hidup dengan mengandalkan dirinya sendiri. Setiap orang membutuhkan manusia lain untuk menjalani kehidupannya dalam semua hal, termasuk dalam pengembangbiakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
34 BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1. Pengertian
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA
59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah
Lebih terperinciBAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN
52 BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN Perkawinan dibawah tangan banyak sekali mendatangkan kerugian daripada kebaikan terutama terhadap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah menjadikan makhluk-nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan betina begitu pula tumbuhtumbuhan dan lain sebagainya.
Lebih terperinciPEMBATALAN PERKAWINAN DAN PENCEGAHANNYA Oleh: Faisal 1
PEMBATALAN PERKAWINAN DAN PENCEGAHANNYA Oleh: Faisal 1 Abstrak Mengingat tidak seharusnya suatu perkawinan itu dibatalkan, karena suatu perkawinan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana
Lebih terperinciBAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR
BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1994), hlm 453 Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Allah SWT
Lebih terperinciBAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD
BAB IV KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP STATUS PERKAWINAN KARENA MURTAD A. Analisis Persamaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Status Perkawinan Karena Murtad Dalam
Lebih terperinciBAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN. Dari Penelitian yang penulis lakukan dilapangan 8 (delapan) orang responden. 1) Nama : KH.
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Menjelaskan Persepsi Ulama Dari Penelitian yang penulis lakukan dilapangan 8 (delapan) orang responden. 1. Deskripsi Satu a. Identitas Responden 1) Nama : KH.
Lebih terperinciBAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kebutuhan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena ia tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami isteri saja tetapi
Lebih terperinciUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk sosial, dalam kehidupanya tersebut manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya, dari interaksi
Lebih terperinciBAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN
BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,
Lebih terperinciBAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala
75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara
Lebih terperinciImplikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Oleh: Pahlefi 1 Abstrak Tulisan ini bertujuan membahas dan menganalisis apakah
Lebih terperinciBAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo
BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW
BAB I PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari dua jenis, pria dan wanita. dengan kodrat jasmani dan bobot kejiwaan yang relatif berbeda yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling
Lebih terperinciPenyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini
Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan
Lebih terperinciTINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik antara satu dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama
Lebih terperinciBAB III Rukun dan Syarat Perkawinan
BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
Lebih terperinciP E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
1 P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan
Lebih terperinciBAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.
BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta:
141 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta: Darussalam, 2004. Ali, Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1990. Bisri, Cik Hasan.
Lebih terperinciAKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Dan Pengaturannya Mengenai pengertian perkawinan, banyak pendapat para ahli yang berbeda-beda antara yang satu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan
Lebih terperinciKAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN
KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN Mochammad Didik Hartono 1 Mulyadi 2 Abstrak Perkawinan
Lebih terperinciThe Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict
The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan
1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan
Lebih terperinciLex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016
KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah
1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1
BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan
20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau
Lebih terperinciBAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata
BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia karena dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan kelangsungan generasinya. Pengertian Perkawinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) PP
Lebih terperinciBAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA
BAB TIGA PERKAHWINAN KERANA DIJODOHKAN MENURUT UNDANG UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM INDONESIA 3.0 Pendahuluan Perkahwinan adalah sunnatullah yang berlaku bagi semua umat
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH A. Isbat Nikah 1. Pengertian Isbat Nikah Kata isbat berarti penetapan, penyungguhan, penentuan. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan
Lebih terperinciP E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh:
1 P E N E T A P A N NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Marisa yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **
Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 1 Maret 2017 Perlindungan Hukum Terhadap Wanita Dan Anak ( Sukma Rochayat) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dalam undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat penting dalam, masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan
Lebih terperinciwww.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan
Lebih terperinciKAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu amalan sunah yang disyari atkan oleh Al- Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, segala sesuatu
Lebih terperincisegera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik
2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita. kehidupan umat manusia. Perseorangan maupun kelompok.
1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN. A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pembatalan perkawinan adalah pembatalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang dialami dua insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari karunia Tuhan Yang Maha Esa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kedudukan mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling berhubungan antara satu dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia berlainan jenis yaitu seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri tersebut diantaranya
Lebih terperinci