BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA"

Transkripsi

1 BAB II KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 1. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa HIR Sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra) dan RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie atau Reglemen Oraginsasi Peradilan). IR merumuskan antara lain merumuskan hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut umum pada pengadilan bumi putra maupun pengadilan golongan Eropa di Hindia Belanda. 26 Setelah berkali-kali diubah dan ditambah, pada kahirnya tahun 1941, IR diganti menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra yang Diperbaharui kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilanpengadilan bumi putra sedangkan jaksa (magistraat) pada pengadilan tersebut berada pada tangan resident atau asisten resident di kabupaten-kabupaten. Setiap magistraat membawahi beberapa jaksa (bumi putra). 27 Menurut sistem HIR jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan melakukan 26 RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal Ibid.

2 penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga (badan atau dinas) negara yang dinamakan openbaar ministeire (badan penuntut umum) yang mempunyai tugas pokok antara lain: Mempertahankan segala peraturan negara; 2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana; dan 3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang. Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau pemeriksaan sebelum dimajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan, dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh hakim. Dalam stadium pertama ini sifatnya masih dalam mencari-cari dan meraba-raba segala sesuatu dilakukan merupakan usaha untuk memperoleh jawaban sementara atas pernyataan apakah telah terjadi kejahatan, dan jika demikian siapa pelakunya dan dalam keadaan bagaimana kejahatan itu dilakukan. Terhadap perbuatan pidana tersebut diadakan tindakan penyidikan dan jika perlu diadakan penyidikan lanjutan, dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari penyidikan dalam arti luas. Tindakan pada pemeriksaan pendahuluan ini pertama-tama ditujukan pada pengumpulan alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang dikumpulkan pertama-tama harus memungkinkan alat penuntutan, sehingga penuntutan umum dapat membentuk suatu permulaan keyakinan tentang hal-hal yang telah terjadi. 28 Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dikenal HIR dan Rbg, dalam HIR Kejaksaan lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah pada saat itu, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS), Marwan Effendy., Loc. ct, hal. 64.

3 berikut: 29 Beberapa wewenang penuntut umum menurut HIR adalah sebagai 1. Berdasarkan Pasal 46 HIR sebagai pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, jaksa karena jabatannya bertugas mengusut dengan seksama, segala kejahatan dan pelanggaran serta menuntut agar si bersalah diadili oleh hakim; 2. Jika terdapat keterangan-keterangan yang cukup menunjukkan bahwa sitersangka itu bersalah sedangkan untuk kepentingan atau pemeriksaan perkaranya itu perlu ditahan, atau untuk menghindarkan ia akan mengulangi prerbuatannya itu, atau menjaga supaya ia tidak melarikan diri, maka jaksa dalam hal-hal tersebut berdasarkan Pasal 75 ayat (1) HIR dapat memerintahkan supaya tersangka itu ditahan; 3. Jaksa dapat dengan seijin hakim menggeledah rumah, bahkan dapat pula melakukan pemeriksaan surat-surat sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78 HIR; 4. Dalam hal kedapatan tertangkap tangan, maka jaksa memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah, agar ditahan dan dibawa kepadanya. Dan apabila dari keterangannya menunjukkan bahwa ia bersalah terhadap perbuatannya itu jaksa diperbolehkan mengadakan penahanan sementara, yang selanjutnya mengeluarkan perintah penahanan sementara demikian menurut ketentuan Pasal 64 HIR; 5. Berdasarkan Pasal 53 HIR pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat), sehingga apabila antara polisi dan jaksa bersamaan mengusut perkara, maka polisi menghentikan penyidikannya dan diserahkan ke jaksa. Bila jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan perkara telah lengkap, maka ia memutuskan apakah ia menyimpangkan perkara (mendeponer) atau menuntut perkara itu dihadapan pengadilan. Dalam hal akan melakukan penuntutan maka dikirimnya berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Negeri setempat. Pada waktu berlakunya HIR khususnya di Jawa dan Madura (untuk luar jawa berlaku Rbg) kedudukan jaksa hanya sebagai adjust magistraat sedangkan (RIB). 29 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui

4 penuntut umumnya magistraat tetap di tangan asisten resident. Sikap dan praktek demikian tidak lepas dari latar belakang kolonialisme pada masa lalu. 2. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa Pemerintahan Jepang Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, maka dengan ditawannya semua pegawai-pegawai Belanda, termasuk Asisten Residen, maka semua pekerjaan Asisten Residen di bidang penuntutan oleh pemerintah tentara Jepang diserahkan kepada jaksa dengan pangkat Thio Kensatsukan (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri). Pada masa ini, Kejaksaan diberi kekuasaan ditugaskan untuk: Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran; 2. Menuntut perkara; 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal; dan 4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum. Pada masa pendudukan Jepang tersebut, alat penuntut umum magistraat dan officier van justitie (pada masa kolonial dan HIR) ditiadakan. Akan tetapi tugas dan wewenang para Jaksa dibebankan pada penuntut umum bumi putra di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, seorang Jaksa Jepang. Dengan demikian Jaksa merupakan satu-satunya penuntut umum. Seluruh Kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi Sihoobucoo (Direktur Departemen Kehakiman) dan kemudian Cianbucoo (Direktur Keamanan) dan untuk tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan untuk tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan disebuti Syuu. 31 hal RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 40. dan Marwan Effendy., Op. cit, 31 Marwan Effendy., Op. cit, hal. 66.

5 Sejak saat itu maka para jaksa telah benar-benar menjadi penuntut umum, dengan penentuan tugas untuk mencari kejahatan (pegawai penyidik), menuntut perkara (pegawai penuntut) dan menjalankan putusan hakim. Keadaan demikian pada masa kedudukan Jepang merupakan suatu perkembangan yang sangat berarti. Oleh karena jabatan Asisten Residen dihapuskan, sehingga berakibat jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah pemerintah langsung residen atau asisten residen tetapi melalui Kepala Kejaksaan Pengadilan stempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo (Direktur Kemanan). 3. Kedudukan Penuntut Umum Setelah Proklamasi Kemerdekaan Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sisitem ketatanegaraan dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia melalui beberapa fase. Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Ini berarti bahwa secara yurudis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak jaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta pada masa penjajahan baik pada

6 pendudukan pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa Jepang berkuasa di Indonesia. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, istilah Kejaksaan dipergunakan secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Balatentara Pendudukan Jepang, yang kemudian diganti dengan undang-undang Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942, Nomor 2 Tahun 1944, dan Nomor 49 Tahun Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan dalam Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942 menegaskan bahwa jaksa yang menjadi satusatunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di negara Republik Indonesia setelah proklamasi. Pada intinya bahwa kedudukan penuntut umum setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan kedudukannya di jaman Hindia Belanda dan kedudukan Jepang. Dengan berdasarkan Pada II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menetapkan berlakunya ketentuan Undang-Undang maupun peraturan pemerintah lain sebelumnya. 32 Ibid, hal. 67.

7 B. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1961 diundangkan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoneia yang pada prinsipnya secara yuridis disebutkan bahwa fungsi penegakan hukum oleh kejaksaan tidak mengalami perubahan. Pengaturannya sama saja pengaturan Kejaksaan setelah Indonesia merdeka. Menurut undang-undnag pokok kejaksaan tersebut, kejaksaan selain bertugas melakukan penuntutan juga berwenang mengadakan penyidikan tambahan atau lanjutan serta melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap alatalat penyidik demikian ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 disebutkan, Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara. Pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa, Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Adapun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 tersebut, kejaksaan mempunyai tugas antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (4), disebutkan bahwa: Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, Kejaksaan mempunyai tugas:

8 (1) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan yang berwenang dan Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana; (2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara; (3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; dan (4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara. Pada ayat (2) disebutkan bahwa jaksa berwenang mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan dengan alat-alat penyidik, menurut ketentuan dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana (waktu itu yang berlaku HIR) dan lain-lain peraturan Negara. Pada ayat (3) ditentukan tugas Kejaksaan untuk mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sedangkan pada ayat (4) ditentukan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara. Mengenai tugas yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) di atas, penjelasan outentik undang-undang tersebut (TLN 2289) mengatakan bahwa: 33 Untuk kesempurnaan tugas penuntutan jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-sejelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai dengan akhir, yang seluruhnya harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini ialah pada akhirnya segala tindakan petugas-petugas yang melakukan penyidikan adalah benarbenar berdasarkan hukum, akan diminta pertanggung jawabannya semua perlakuan terhadap terdakwa itu dari mula-mula terdakwa disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan dan akhirnya apakah tuntutan-tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau 33 M. Karjadi, Himpunan Undang-Undang Terpenting Bagi Penegak Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 684.

9 tidak menurut hukum, sehingga benar-benar perasaan keadilan masyarakat dipenuhi. Demikianlah dapat dipahami pentingnya tidnakan jaksa dalam mengurus sesuatu perkara pidana dari sejak permulaan perkara itu diungkap sampai pada akhir pemeriksaan perkara itu, demi kepentingan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Maka untuk baiknya perkerjaan jaksa perlu sekali ikut serta mengawasi dan mengkoordinasikan penyidikan yang dilakukan oleh alat-alat penyidik untuk memperlancar penyelesaian perkara itu. Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tugas kejaksaan yang terutama adalah melakukan penuntutan di bidang peradilan pidana. Untuk mencapai kesempurnaan penyelesaian suatu perkara pidana baik mengenai perkaranya sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan hukum orang yang kena perkara yang merupakan pedoman bagi para pejabat dalam mengerjakan perkara itu, maka jaksa perlu campur tangan di dalam segala tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap. Jelasnya untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditunjuk pada pekerjaan penuntutan perkara itu di sidang pengadilan, hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa diberi wewenang di bidang penyidikan. Selanjutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan tersebut pada ayat (1) ditentukan Jaksa Agung adalah penuntut umum tertinggi. Pada ayat (2) ditentukan bahwa untuk kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam daerah hukumnya memberi petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat penyidik dengan mengindahkan hirarki.

10 Penjelasan Otentik dari Pasal 7 di atas, khususnya mengenai ayat (2) berbunyi sebagai: 34 Penyidikan adalah sebenarnya merupakan tugas kehakiman (justitie taak). Pekerjaan mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena kseluruhan pekerjaan penyidikan ini ditujukan kepada pekerjaan pada sidang pengadilan. Dalam hubungan ini dimana pada akhirnya jaksa yang menurut Undang-Undang harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan penyidikan perkara ini maka sudah sewajarnyalah bahwa jaksa dibebani pengawasan dan koordinasi alat-alat penyidik, demi kepentingan orang-orang yang kena perkara. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pasal-pasal dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tersebut beserta penjelasannya menyebutkan bahwa, tugas kejaksaan terutama adalah penuntut di bidang pidana. Di samping itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhannya yang pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan, maka jaksa juga mempunyai wewenang di bidang penyidikan. C. Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 yang menggantikan HIR menyebutkan bahwa tugas dan kewajiban jaksa ditentukan lain. Setelah berlakunya KUHAP terdapat pembagian tahapan tugas Kejaksaan yakni tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam Bab Penuntutan yakni terdapat pada Bab XV Ibid, hal RM. Surachman., Op. cit, hal. 35.

11 KUHAP mengenal tahap prapenuntutan, dimana KUHAP memperkenalkan tahapan sejak penuntut umum menerima BAP dari penyidik. Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa yang memeriksa BAP harus menentukan apakah BAP tersebut sudah lengkap atau belum. Lengkap, maksudnya adalah bahwa bukti-bukti dalam BAP cukup dan BAP tersebut juga disusun berdasarkan ketentuan KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat BAP itu belum lengkap, Kejaksaan harus mengembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjukpetunjuk. 36 Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus menyelesaikan penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut penuntut umum. 37 Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak penyerahan BAP tersebut, penuntut umum tidak mengembalikannya kepada penyidik. 38 Berdasarkan bunyi beberapa pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam KUHAP tersebut terdapat perubahan fundamental mengenai tugas-tugas Kejaksaan. Bila dalam perundang-undangan yang lama (HIR), jaksa atau penuntut umum bertugas sebagai penyidik, maka di dalam KUHAP berdasarkan Pasal 1 butir 7 tugas kejaksaan adalah dalam bidang penuntutan saja yaitu melimpahkan perkara pidana ke pengadilann negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan menurut butir 36 Pasal 110 ayat (2) junto Pasal 138, KUHAP. 37 Ibid., Pasal 138 ayat (2). 38 Ibid., Pasal 110 ayat (4).

12 6 huruf a dan b pasal tersebut jaksa melaksanakan keputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksankan penetapan hakim. Penuntut umum tidak ditunjuk lagi sebagai pegawai penyidik oleh karena itu tugas penyidikan diserahan sepenuhnya kepada Kepolisian Negara sepanjang yang tidak menyangkut tindak pidana khusus. Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang. Menurut KUHAP penuntutan adalah tindakan untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan, sedangkan mengenai wewenang penuntut umum diatur dalam Pasal 14 KUHAP. Dalam rangka persiapan tindakan penuntut dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain: 39 a. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana. b. Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan bekas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti dapat dilihat dibawah ini : 1. Mempelajari yang diperiksa adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya. 39 Ibid., hal

13 2. Meneliti yang diperiksa adalah apaklah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara. c. Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP d. Menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, jaksa menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan. e. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan tindakan lain adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. f. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan untuk diadili. g. Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan menghentikan penuntutan dikarenakan tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menuangkan hal itu dalam Surat Ketetapan. Isi surat tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunnya wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka. Wewenang mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah merupakan perwujudan dari asas opportunitas yang dianut oleh hukum positif Negara Indonesia dan hanya Jaksa Agung adalah satu-satunya pejabat yang berwewenang melakukannya. Sedangkan perkara ditutup demi hukum adalah merupakah salah satu kewenangan penuntut umum tersebut dalam Pasal 14 KUHAP hal ini dilakukan karena Nebis In Idem atau terdakwanya meninggal

14 dunia atau kadaluarsa. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 140 ayat (2) Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 40 Terhadap perkara yang ditutup demi hukum tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka bilamana kemudian didapatkan alasan baru. Untuk menjamin kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas opportunitas, Jaksa Agung menuangkannya dalam penetapan atau keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, terhadap perkara yang dikesampingkan ini penuntut umum tidak berwenang. 41 Kenyataan undang-undang di Indonesia menunjukkan, yakni terdapat pada penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan asas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum yang tertinggi berdasarkan pada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak dirugikan. Sehingga satu-satunya pejabat yang diberi wewenang melaksanakan asas opportunitas adalah Jaksa Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang 40 Andi Hamzah., Loc. cit, hal. 166, dan Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan II, hal Jaksa Agung jarang sekali melakukan wewenang mengesampingkan perkara, kalau Jaksa Agung menggunakan kewenangan itu, harus berkonsultasi lebih dahulu dengan Menteri Kehakiman atau Menteri Pertahanan dan Kemanan. Sedangkan dalam perkara-perkara tertentu, Jaksa Agung harus meminta persetujuan Presiden Republik Indonesia. RM. Surachman., Op. cit, hal. 39.

15 mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. D. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Kejaksaan, dalam UU Kejaksaan ada baiknya bila dikemukakan terlebih dahulu sistematiknya. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) terdiri dari 6 Bab dan 36 pasal dengan sistematikanya sebagai berikut: a. Bab I: ketentuan umum terdiri dari 4 pasal, dibagi dalam 3 bagian, yaitu: (1) Bagian pertama, mengenai pengertian (Pasal 1); (2) Bagian kedua, mengenai pengertian (Pasal 2 dan Pasl 3); dan (3) Bagian ketiga, mengenai tempat kedudukan (Pasal 4). b. Bab II: Susunan Kejaksaan, terdiri dari 22 Pasal dibagi dalam 5 bagian, yaitu: (1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 5, 6, dan 7); (2) Bagian kedua, mengenai Jaksa (Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17); (3) Bagian ketiga, mengenai Jaksa Agung Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Muda (Pasal 18, 19, 20, 21, dan 22); (4) Bagian keempat, mengenai Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri dan Pasal Cabang Kejaksaan Negeri (Pasal 23, 24 dan 25); dan (5) Bagian kelima, mengenai Tenaga Ahli dan Tenaga Tata Usaha (Pasal 26). c. Bab III: Tugas dan wewenang, terdiri dari 7 pasal, dibagi dalam 2 bagian, yaitu: (1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 27, 28, 30 dan 31); (2) Bagian kedua, mengenai khusus (Pasal 32 dan 33); d. Bab IV: Ketentuan Peralihan terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 34. e. Bab V: Ketentuan Penutup terdiri dari 2 pasal yaitu Pasal 35 dan Pasal 26. Berdasarkan sistematika UU Kejaksaan tersebut di atas, jelas tergambar Kejaksaan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan serta peranan kejaksaan

16 sebagai penuntut umum dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, ketertiban dan ketenteraman umum. Dalam UU Kejaksaan tepat pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam butir 2 disebutkan, Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sangat luas, yaitu dalam bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. Di samping itu Kejaksaan dapat juga diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang seperti pada Pasal 30 sebagai Jaksa Pengacara Negara dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Tugas pokok Kejaksaan berdasarkan UU Kejaksaan tersebut adalah melakukan penuntutan. Pasal 1 ayat (3) UU Kejaksaan menyebutkan dengan tegas makna penuntutan tersebut yaitu, Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan.

17 Sejak berlakunya KUHAP dan UU Kejaksaan, jaksa atau penuntut umum tidak berwenang melakukan penyidikan karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Kepolisian dan Pegawai Negri Sipil tertentu. Oleh sebab itu, mengenai penuntutan ini, negara Indonesia menganut sistem tertutup artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknik yuridisnya. 42 Akan tetapi jika dihubungkan dengan beberapa ketentuan dalam beberapa perundang-undangan yang ada seperti Pasal 284 ayat (2) KUHAP, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka terhadap perkara-perkara khususnya tindak pidana ekonomi (Undang- Undang Nomor 7 drt Tahun tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi, masih menggunakan bahwa penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan. 43 Lebih luas lagi mengenai tugas dan wewenang kejaksaan dapat dilihat dari bab III yang dibagi menjadi dua yaitu, bagian pertama bersifat umum dan bagian kedua bersifat khusus. 1. Tugas dan Wewenang Bagian Pertama Dalam Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan menentukan bahwa, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dalam UU Kejaksaan berikut: 42 Lilik Mulyadi., Loc. cit, hal Ibid., hal. 25.

18 Pasal 30 (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: 44 a. Melakukan penuntutan; b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 44 Dalam penjelasa Pasal 30 ayat (1) huruf a, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Penjelasan dalam huruf b, dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. Penjelasan dalam huruf c, yang dimaksud dengan keputusan lepas bersyarat adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan. Penjelasan dalam huruf d, kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan dalam huruf e, untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara; 3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

19 e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Dalam Pasal 31 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Lalu dalam Pasal 32 UU Kejaksaan tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya

20 pada Pasal 33 mengatur bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya. 45 Kemudian dalam Pasal 34 UU Kejaksaan menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Berdasarkan tugas dan wewenang Kejaksaan pada bagian pertama UU Kejaksaan ini dapat dipahami bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: Melakukan penuntutan; 2. Melaksanakan penetapan hakim dan ptusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ptusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan pidana lepas bersyarat; 4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Tugas dan Wewenang Bagian Kedua Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Kejaksaan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang yakni: a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 45 Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 46 Marwan Effendy., Op. cit, hal. 128.

21 b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; 47 d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Pasal 36 UU Kejaksaan diatur bahwa: (1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. 48 (2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk 47 Dalam penjelasan huruf c ini, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 48 Penjelasan pada ayat (1) ini untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan tersangka atau terdakwa adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan. Yang dimaksud dengan dalam keadaan tetentu adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.

22 itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. 49 Dalam Pasal 37 UU Kejaksaan, Kejaksaan bertanggung jawab terhadap penuntutan yang dilakukan secara independen, ditentukan: (1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas. 3. Kekuasaan Penuntut Umum Pada Tingkat Persiapan Penuntutan Jaksa sebagai salah satu alat penegak hukum mempunyai tugas pokok antara lain melakukan penuntutan. Dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan umum mempunyai wewenang yang dapat diinventarisir antara lain sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penuntut umum menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal telah mulai dilakukannya terhadap suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana; 2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama maupun kedua sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b KUHAP; 3. Mengadakan prapenuntut sesuai Pasal 14 huruf b KUHAP; 4. Memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP; 5. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, atas permintaan tersangka atau terdakwa, penuntut umum dapat menangguhkan penahanan 49 Dalam penjelasan Ayat (3) ini, selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksaannya dilakukan sesuai ketentuan perundangundangan. 50 M. Yahya Harahap., Loc. cit, hal. 369.

23 serta dapt mencabut penangguhan penahanan dalam keadaan tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana yang telah ditentukan; 6. Meminta dilakukannya praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik berdasar Pasal 80 KUHAP; 7. Berdasarkan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan; 8. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf I KUHAP; dan 9. Sesuai dengan Pasal 143 ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri disertai surat dakwaan beserta berkas perkaranya. Penerapan wewenang penuntut umum ini dalam praktek mungkin akan menimbulkan permasalahan, terutama apabila hasil penyidikan dari penyidik belum dapat menyakinkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Dalam hal ini maka berkas perkara dapat dikembalikan pada penyidik. Dalam hal ini Leden Marpaung menyatakan, Tanpa perhitungan telah berapa kali berkas perkara tersebut mengalami keadaan bolak-balik). 51 Sebab penuntut umum tidak menginginkan penuntutan akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pada akhirnya penuntut umumlah yang bertanggung jawab pada berhasil tidaknya suatu penuntutan di sidang pengadilan. dinyatakan: Selanjutnya menurut Andi Hamzah, dalam melakukan penuntutan 52 Wewenang untuk melakukan penuntutan diawali dengan menyusun surat dakwaan, diakhiri pembacaan penuntutan (requisitoir) pada akhir pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan menyusun surat dakwaan dan pengadilan. Sedangkan menyusun surat dakwaan dan setelah diterimanya berkas perkara dari penyidik pada tahap atau tingkat pemeriksaan tertentu, dalam hal ini penuntut umum diberi kesempatan 51 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo, 1998), hal Andi Hamzah., Op. cit, hal. 169.

24 mempelajari berkas perkara untuk dapat ditkdanya menyusun surat dakwaanya. Tahap atau tingkat itu disebut tahap persiapan penuntutan atau tingkat persiapan penuntutan. Tahap penyidikan tidak dapat dipisahkan dari penuntutan, atau karena tahap penyidikan merupakan dasar bagi penuntuan maka adalah sangat penting suatu kerja sama positif antara penyidik dan penuntut umum. Agar pelaksanaan peradilan dapat memperoleh suatu keputusan yang adil dan tepat maka kerja sama yang terpadu akan sangat membantu. Walaupun pembagian dan pelaksanaan tugas oleh penyidik dan penuntut umum terdapat spesialisasi dan deferensiasi, hal ini tidaklah berarti antara penyidik dan penuntut umum dalam penegakan hukum pidana tidak berhubungan satu sama lain. Untuk itu maka, suatu kerja sama positif diharapkan ada dalam pelaksanaan setiap fungsi, dengan tujuan untuk menghindarkan hal-hal yang kurang serasi, sebab pada akhirnya penuntut umumlah yang bertanggung jawab tentang berhasilnya suatu penyidikan disidang pengadilan. 53 Kerja sama yang demikian bukanlah berarti intervensi sebab setiap pihak tetap memelihara identitas, wewenang dan dasar hukum mereka sendiri. Namun demikian jika identitas (jati diri) dan wewenang dilaksanakan secara kaku akan menimbulkan stagnasi pada satu pihak, dan stagnasi itu sendiri dapat menimbulkan rentetan stagnasi dari tugas dan kewajiban dipihak lain dalam melayani pencari keadilan. 53 Ibid., hal. 160.

25 4. Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Prapenuntutan Prapenuntutan adalah wewenang penuntut umum sebagaimana diatur dalam pasal 14 huruf b KUHAP, yakni dalam hal penuntut umum setelah menerima berkas penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam hal ini penuntut umum harus segera mengembalikan kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakuan penyidikan tambahan sesuai petunjuk yang telah diberikan oleh penuntut umum tersebut. Dalam prapenuntutan ini terdapat hal-hal yang menandakan adanya hubungan antara penyidik dan penuntut yaitu: Pemberitahuan dimualainya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat (1)) KUHAP; 2. Pemberitahuan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2)); 3. Perpanjangan penahanan. Berdasarkan penandaan adanya hubungan penyidik dan penuntut seperti di atas tersebut menunjukkan tahap yang dinamakan tahap prapenuntutan. Dalam perundang-undangan, tidak ada satu pun ditemukan istilah prapenuntutan ini, akan tetapi istilah prapenuntutan tersebut muncul dalam praktek peradilan. Jika dikaitkan dengan Pasal 14, Pasal 110, Pasal 138 KUHAP, nampaklah secara tersirat prapenuntutan itu berada pada tahap dimana perkara tersebut masih berada pada penyidikan dan sebelum penuntutan perkara. 54 M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 369.

26 Pengertian prapenuntutan tersebut adalah tindakan penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara penyidikan ke penyidik disebabkan adanya kekurangan penyidikan disertai petunjuk dalam rangka penyempurnaan. 55 Dalam rangka prapenuntutan terdapat SE No.SE-013/J.A/8/1982 tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan pada tahap prapenuntutan adalah sebagai berikut: a. Karena kesempurnaan hasil penyidikan merupakan faktor penentu terhadap keberhasilan penuntutan yang akan dilakukan oleh penuntutan umum, maka hubungan dengan kerja sama antara b. Jaksa peneliti/calon penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan segera mempelajari dan menelitinya secara seksama sesuai dengan ketentuan pasal 138 KUHAP, untuk memastikan apakah hasil penyidikan sudah lengkap/belum. c. Tahap-tahap tersebut harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap jaksa peneliti/calonn penuntut umum secara materiil dan formil untuk keberhasilan dan kesempurnaan hasil penyidikan yang akan merupakan dasar kelanjutan penuntuan yang akan dilakukannya. Cacat dan kelemahan hasil penyidikan akan sangat menentukan dan mempengaruhi sikap dan pendapat penuntut umum apakah akan melakukan penuntut ataukah menghentikan penuntutannya. d. Tahap prapenuntutan sangat dibatasi tenggang waktu yang telah ditentukan menurut undang-undang, sehingga karenanya harus sungguh 55 Lembaga Bantuan Hukum Surabaya., Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Penerbit Bina Ilmu, 1982), hal

27 diperhatikan oleh setiap jaksa peneliti/calon penuntutan umum, agar tercegah lampaunya waktu dalam hal memberitahukan kepada penyidik tentang pengembalian berkas perkara serta penyampaian petunjuk kepada penyidik. e. Pengembalian perkara dari pihak jaksa penelitian/calon penuntut umum kepada pihak penyidik yang berlangsung bolak-balik berkali-kali harus dicegah dan dihindarkan. f. Kelalaian/ketidakcermatan dan kecerobohan tindakan jaksa penelitian/calon penuntut umum akan dapat membawa akibat berupa : 1. Kemungkinan pengajuan praperadilan. 2. Tuntutan ganti rugi dan rehabilitas 3. Tertutupnya upaya hukum banding serta kasasi dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. g. Memanfaatkan dan mengembangkan serta meningkatkan forum pertemuan antara penuntut umum dan penyidik sebaik-baiknya, demi mencapai pelayanan hukum yang seoptimal mungkin untuk pencari keadilan. Jelaslah betapa pentingnya tindakan penelitian bagi jaksa calon penuntut umum, dimana penelitian terhadap hasil penyidikan yang dilakukan jaksa penuntut umum pada tahap prapenuntutan merupakan rangkaian tindakan penuntutan dan karenanya harus sungguh dihayati serta perlu pengendalian dan pengawasan dari atasan. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum sebagaimana

28 tercantum dalam Pasal 8 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa penyerahan berkas perkara dilakukan: a. Pada tahap pertama penyidikan hanya menyerahkan berkas perkara. b. Dalam tahap penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum Berdasarkan pasal 138 ayat (1) KUHAP yang menyatakan : Penuntut umum telah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu empat belas hari memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikannya itu sudah lengkap atau belum. Dan apabila dikaitkan dengan ketentuan materi Pasal 138 ayat (1) KUHAP, maka penutut umum: a. Mempunyai waktu empat belas hari untuk mempertimbangkan telah lengkap atau belum hasil penyidikan yang diterimanya; b. Apabila dianggap perlu untuk dilengkapi penuntut umum dalam waktu tujuh hari harus sudah mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara pemeriksaan kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk; c. Apabila penuntut umum beranggapan bahwa berkas perkara hasil penyidikan itu sudah lengkap dan sempurna, maka berkewajiban pula memberitahukan kepada penyidik dan bila waktu empat belas hari tersebut sudah terlampaui, maka penyidikan dianggap selesai dan berarti pula tidak dapat dilakukan prapenuntutan; d. Dalam hal berkas perkara hasil penyidikan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik, maka penyidik wajib segera menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pengertian ini dapat secara langsung merugikan tersangka atau terdakwa karena mempersempit dalam memperoleh hak daluarsa penuntutan sebagaimana dalam Pasal 78 dan 80 KUHAP. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan prapenuntutan, jaksa calon penuntut umum dalam memberikan petunjuknya agar sejelas mungkin dan benar-benar sesuai yang diperlukan untuk kepentingan sempurna berkas perakara tersebut. Tujuan dilakukannya prapenuntutan ini adalah dengan maksud pengembalian berkas perkara hasil penyidikan oleh penuntut umum kepada

29 penyidik merupakan penggodokan berkas perkara agar memenuhi kelengkapan formal maupun kelengkapan materiil. Hal ini erat kaitannya sehubungan dengan penuntut umum untuk menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan yang berwenang mengadili. Apabila penuntut umum berpendapat hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya penuntut umum membuat surat dakwaan RM. Surachman., Op. cit, hal. 35.

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM KARYA ILMIAH KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Indeks: ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Indeks: ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright 2002 BPHN UU 5/1991, KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA *7742 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 5 TAHUN 1991 (5/1991) Tanggal: 22 JULI 1991 (JAKARTA) Sumber: LN 1991/59;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sejarah Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penyidikan penting untuk menentukan keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana. Lebih lanjut kegagalan dalam penyidikan dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan upaya pembaharuan hukum nasional dalam Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan dan Penuntutan 1. Penyidikan Pengertian penyidikan secara umum dalam KUHAP dijelaskan dalam Bab I Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: Penyidikan adalah serangkaian tindakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1991 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan upaya pembaharuan

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) JURNAL ILMIAH

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) JURNAL ILMIAH KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA (Studi di Kejaksaan Negeri Medan) JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh

Lebih terperinci

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A. Supit 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Barat, khususnya hukum Belanda. 1 Pada tanggal 1 Mei 1848 di negeri Belanda berlaku perundang-undangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017 KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN ORANG BERDASARKAN PASAL 31 KUHAP 1 Oleh : Nurul Auliani 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa pejabat yang

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 1999 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan dengan perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2 A B S T R A K Hasil penelitian menunjukan bagaimana proses penyelesaian pengembalian berkas perkara pidana

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia pada tanggal 1 Mei Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia pada tanggal 1 Mei Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, adanya perubahan perundangundangan di Negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015 PROSES PELAKSANAAN PRAPENUNTUTAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT KUHAP 1 Oleh: Rajiv Budianto Achmad 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 27 TAHUN 1983 (27/1983) Tanggal : 1 AGUSTUS 1983 (JAKARTA)

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 5 TAHUN TENTANGm KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 5 TAHUN TENTANGm KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 5 TAHUN 1991 TENTANGm KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk meningkatkan upaya pembaharuan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan mengenai penahanan dalam

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memutuskan untuk mengesampingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2 PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas dan kewenangan

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi

BAB I PENDAHULUAN. penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polisi dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana merupakan dua institusi penegak hukum yang memiliki hubungan fungsional sangat erat. Institusi tersebut seharusnya

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia PENGERTIAN PERADILAN Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga

Lebih terperinci