METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2007 di TN. Kutai, Kalimantan Timur (Lampiran 5).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2007 di TN. Kutai, Kalimantan Timur (Lampiran 5)."

Transkripsi

1 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 007 di TN. Kutai, Kalimantan Timur (Lampiran 5). Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : (1) alat dan bahan pembuatan plot contoh, yaitu tali rafia, pita meter, altimeter, kompas, peta, Geographic Positioning System (GPS), pensil, kamera dan tallysheet; () alat dan bahan pembuatan herbarium untuk membantu identifikasi spesies tumbuhan, yaitu kertas koran, bambu, alkohol dan gunting; dan (3) alat dan bahan untuk pengolahan dan analisis data, yaitu komputer dan flashdish untuk menyimpan data. Metode Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian adalah : (1) data primer, yaitu jumlah spesies dan individu tumbuhan di TN. Kutai; dan () data sekunder, yaitu data kawasan berupa sejarah, topografi dan perkembangan pengelolaan TN. Kutai. Pengumpulan data Jenis data yang dikumpulkan adalah jumlah individu dari spesies-spesies tumbuhan pada tingkat pancang dan pohon sesuai kriteria yang diberikan Kusmana (1995), yaitu : - Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm. - Pohon : pohon dewasa berdiamater 0 cm dan lebih Data jumlah individu spesies-spesies tumbuhan dihimpun dari 16 plot contoh berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang dengan luas masing-masing bentuk sama (atau dianggap sama) di tempat yang sama (Tabel 3). Jumlah

2 individu tingkat pancang diidentifikasi mulai luas 50 m hingga 3 00 m, sedangkan tingkat pohon mulai luas 50 m hingga m. Tabel 3 Bentuk dan luas plot contoh No. Bentuk plot Luas (m ) Ukuran (m) Luas faktual (m ) 1. Bujur sangkar x Persegi panjang 50 5 x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Bujur sangkar x Persegi panjang x Plot-plot contoh (Gambar ) diletakkan sedemikian rupa sehingga mewakili ketinggian dan garis lintang. Terbagi atas blok, yaitu blok Sangkima plot 1-8 (A) disekitar dan Prevab plot 9-16 (B) yang berada disekitar Ketinggian keduanya adalah dpl (Gambar 3). Gambar Sketsa pembuatan plot contoh.

3 B A Gambar 3 Peta ketinggian TN. Kutai. Data yang dicatat adalah jumlah spesies dan jumlah individu dari tingkat pancang dan pohon dari plot-plot contoh yang dibuat. Analisis data Untuk mengetahui ukuran keanekaragaman yang sesuai digunakan : (1) responsifitas, dengan merumuskan hubungan indeks (Y) dengan peubah-peubah jumlah spesies (X 1 ) dan jumlah individu (X ); dan () sensitifitas, dengan melihat hubungan delta indeks yang dihasilkan terhadap delta spesies. Ukuran keanekaragaman spesies yang dibandingkan adalah kekayaan spesies (spesies richness) dan kelimpahan spesies (spesies abundance), yaitu : Kekayaan spesies - Indeks Margalef (Clifford & Stephenson 1975 dalam Magurran 1988), dengan persamaan : D Mg D Mg S N ln S 1 =, dimana ln N : Indeks Margalef : Jumlah spesies : Jumlah individu : Logaritma natural - Indeks Menhinick (Whittaker 1977 dalam Magurran 1988), dengan persamaan :

4 D Mn = D Mg S N Kelimpahan spesies S, dimana N : Indeks Menhinick : Jumlah spesies : Jumlah individu - Simpson (1949) dalam Magurran (1988), dengan persamaan : 1-D = ( ) s 1, dimana i= 1 P i 1-D : Indeks Simpson P i : Proporsi jumlah individu spesies ke i - Indeks Shannon-Wiener, yang dihitung dengan persamaan (Magurran 1988) : H Sebaran spasial spesies ' s i= 1 ( pi)( ln pi) =, dimana : S : jumlah spesies pi : proporsi individu pada spesies ke i ln : Logaritma natural Sebaran spasial spesies digunakan indeks Morisita (Krebs 1989), yaitu : ( x x) ( x) x Id = n, dimana : Id : derajat penyebaran Morisita n : jumlah plot contoh?x : jumlah dari kuadrat total individu suatu spesies?x : jumlah dari total individu suatu spesies Untuk menentukan pola sebaran, dilakukan uji Chi-square, dengan persamaan : χ Mu = n + x 1 x, dimana : Mu : indeks Morisita untuk pola sebaran merata χ 0,975 : nilai Chi-square pada db (n-1), selang kepercayaan 97.5% Untuk menentukan pola sebaran kelompok, dihitung dengan persamaan : χ Mc = 0.05 n + x 1 x, dimana :

5 Mc : indeks Morisita untuk pola sebaran kelompok χ 0,05 : nilai Chi-square pada db (n-1), selang kepercayaan.5% Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan persamaan-persamaan : a. Bila Id = Mc > 1, maka dihitung dengan persamaan : Id Mc Ip = n Mc b. Bila Mc > Id = 1, maka dihitung dengan persamaan : Id 1 Ip = 0.5 Mc 1 c. Bila 1 > Id > Mu, maka dihitung dengan persamaan : Id 1 Ip = 0.5 Mu 1 d. Bila 1 > Mu > Id, maka dihitung dengan persamaan : Id Mu Ip = Mu Dan kaidah keputusan adalah : bila Ip = 0 pola sebaran acak; bila Ip > 0 pola sebaran kelompok; dan bila Ip < 0 pola sebaran merata. Pengujian Hipotesa Untuk menentukan bentuk dan luas plot contoh digunakan grafik luas plot (sumbu X) contoh dengan delta spesies (sumbu Y) masing-masing bentuk (Gambar 4) Delta spesies Luas plot Bujur sangkar Persegi panjang Gambar 4 Hubungan luas plot contoh tiap bentuk dengan delta spesies.

6 Uji beda keanekaragaman untuk bentuk dan luas plot contoh dilakukan dengan membandingkan rata-rata jumlah spesies kedua bentuk plot contoh dan masing-masing luas plot contoh dari bentuk yang terpilih, dengan persamaan (Walpole 198; Jhonson & Bhattacharyya 1987) : x 1 t hitung = s1 s + n 1 x derajat bebas ditentukan dengan (Walpole 198) : n df = s n s 1 n1 n s + n s n + n 1 1 Hipotesis diformulasikan dengan : 1. H 0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman sama pada berbagai bentuk plot contoh dengan taraf uji α 5% (t α/ = 0.05) H 1 0, Besarnya ukuran keanekaragaman tidak sama pada berbagai bentuk plot contoh dengan taraf uji α 5% (t α/ = 0.05). H 0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman sama pada berbagai luas plot contoh dengan taraf uji α 5% (t α/ = 0.05) H 1 0, Besarnya ukuran keanekaragaman tidak sama pada berbagai luas plot contoh dengan taraf uji α 5% (t α/ = 0.05) Kaidah keputusan ditentukan dengan menolak H 0 jika t hitung t tabel pada taraf uji α 5 % (Walpole 198; Jhonson & Bhattacharyya 1987), yang berarti bahwa kedua bentuk plot contoh, dan kedua luas plot contoh yang dibandingkan memiliki keanekaragaman spesies yang berbeda.

7 HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran-ukuran keanekaragaman spesies Hasil pengukuran keanekaragaman spesies yang disajikan dalam bentuk indeks, perlu dilihat untuk memastikan bahwa indeks yang dihasilkan memberikan respon yang baik terhadap perubahan jumlah spesies. Berbagai pendapat mengemukakan bahwa indeks hasil pengukuran masih belum sempurna dan secara inheren memiliki kelemahan (Ludwig & Reynolds 1988; Van Dyke 003). Dengan demikian, pemilihan indeks keanekaragaman menjadi penting dalam pengukuran dan pengamatan keanekaragaman spesies. Tingkat pancang Hasil perhitungan indeks keanekaragaman pada tingkat pancang (Tabel 4) menunjukkan bahwa indeks Margalef selalu memiliki nilai paling tinggi dibandingkan dengan nilai indeks-indeks yang lain. Penambahan jumlah spesies direspon dengan penambahan nilai indeks pada seluruh ukuran plot contoh kecuali luas plot contoh 3 00 m oleh indek Margalef dan Menhinick untuk bentuk bujur Wiener turun pada luas plot contoh 3 00 m. Nilai dari ketiga indeks turun padahal jumlah spesies meningkat. Tabel 4 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang Bentuk plot contoh Bujur sangkar Persegi panjang sangkar. Sedangkan untuk persegi panjang, Margalef, Menhinick dan Shannon- Luas Rata-rata Rata-rata Rata-rata indeks keanekaragaman (m ) jumlah jumlah Shannonwiener Margalef Menhinick Simpson spesies individu Keterangan : nilai indeks yang ditampilkan adalah rata-rata dari 16 kali ulangan

8 Informasi diatas menunjukkan bahwa jumlah individu merupakan peubah penting dalam transformasi nilai indeks keanekaragaman spesies. Penambahan jumlah spesies yang diikuti dengan penambahan jumlah individu yang melebihi proporsinya justru akan menurunkan nilai indeks yang dihasilkan. Hubungan jumlah spesies dan jumlah individu bagi nilai indeks yang dihasilkan (Tabel 5) menunjukkan bahwa indeks Margalef dan Menhinick nyata (P value = 0.00), sedangkan Simpson dan Shannon-Wiener tidak nyata untuk jumlah individu (P value = dan P value = 0.085). Koefisien variasi (R ) tertinggi untuk peubah ini ditunjukkan oleh indeks Margalef (99.%) dan indeks Simpson menunjukkan nilai R paling rendah (8.%). Jumlah spesies terhadap nilai indeks nyata untuk indeks Margalef, Simpson dan Shannon-Wiener (P value = 0.00) dan tidak nyata untuk indeks Menhinick (P value = 0.015). Nilai R paling tinggi ditunjukkan oleh indeks Margalef (96.1%) dan terendah oleh indeks Menhinick (40.%). Sedangkan hubungan lain yang dibangun yaitu nilai indeks yang dihasilkan dengan jumlah individu menunjukkan bahwa jumlah individu tidak nyata (P value > 0.00) untuk semua indeks, demikian halnya dengan nilai R 75% menunjukkan bahwa persamaan matematis ini tidak bisa digunakan, karena kurang dari 75% keragaman total nilai indeks dalam contoh yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan jumlah individu (Walpole 198; Jhonson & Bhattacharyya 1987). Tabel 5 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang Indeks keanekaragaman Regresi P value X 1 P value X R Margalef Y = x x Menhinick Y = x x Simpson Y = x x Shannon-Wiener Y = x x Margalef Y = x Menhinick Y = x Simpson Y = x Shannon-Wiener Y = x Margalef Y = x Menhinick Y = x Simpson Y = x Shannon-Wiener Y = x Keterangan : x 1 = jumlah spesies dan x = jumlah individu

9 Pendekatan dengan menggunakan peubah dan 1 peubah (jumlah spesies) memberikan gambaran bahwa indeks Margalef paling responsif terhadap perubahan jumlah spesies dan jumlah individu (R = 99.% dan 96.1%). Demikian halnya dengan kesensitifan indeks Margalef terhadap delta jumlah spesies yang dihasilkan dari penambahan ukuran plot contoh (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Magurran (1988) bahwa indeks Margalef memiliki kemampuan merespon perbedaan kekayaan spesies yang baik dan kesensitifan tinggi Selisih nilai indeks (%) Margalef Menhinick Simpson Shannon Selisih jumlah spesies (%) Gambar 5 Kesensitifan indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang. Tingkat pohon Hasil perhitungan indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa penambahan jumlah spesies memberikan penambahan nilai indeks hingga luas plot contoh m, pada luas plot contoh m nilai semua indeks mulai turun untuk plot contoh bujur sangkar. Sedangkan untuk plot contoh persegi panjang nilai indeks turun pada luas plot contoh m, padahal rata-rata jumlah spesies meningkat (Tabel 6).

10 Tabel 6 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon Bentuk plot contoh Bujur sangkar Persegi panjang Rata-rata Rata-rata Rata-rata indeks keanekaragaman Luas (m jumlah jumlah ) Shannonwiener spesies individu Margalef Menhinick Simpson Keterangan : nilai indeks yang ditampilkan adalah rata-rata dari 16 kali ulangan Hubungan jumlah spesies dan jumlah individu terhadap nilai indeks keanekaragaman spesies (Tabel 7) menunjukkan bahwa jumlah spesies dan jumlah individu nyata (P value = 0.00) untuk indeks Margalef dan Menhinick, sedangkan Simpson dan Shannon-Wiener tidak nyata untuk jumlah individu (P value = dan P value = 0.096). Nilai R paling tinggi ditunjukkan oleh indeks Margalef (98.5%) dan paling rendah oleh indeks Simpson (48.8%). Hubungan jumlah spesies terhadap nilai indeks nyata untuk indeks Margalef, Menhinick dan Shannon-Wiener. Indeks Simpson memberikan P value untuk hubungan ini 0.00 dengan nilai koefisien variasi paling kecil (4.1%). Sedangkan hubungan lain yang dibangun antara jumlah individu dengan nilai indeks yang dihasilkan menunjukkan bahwa hanya indeks Margalef yang menunjukkan nilai P value nyata, sedangkan indeks-indeks yang lain tidak nyata. Namun demikian hubungan ini tidak cukup kuat karena nilai R seluruh indeks 75% menunjukkan yang berarti bahwa kurang dari 75% keragaman total nilai

11 indeks dalam contoh yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan jumlah individu (Walpole 198; Jhonson & Bhattacharyya 1987). Tabel 7 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon Indeks keanekaragaman Regresi P value X 1 P value X R Margalef Y = x x Menhinick Y = x x Simpson Y = x x Shannon-Wiener Y = x x Margalef Y = x 1 0, Menhinick Y = x Simpson Y = x Shannon-Wiener Y = x Margalef Y = x Menhinick Y = x Simpson Y = x Shannon-Wiener Y = x Keterangan : x 1 = jumlah spesies dan x = jumlah individu Indeks Margalef memiliki koefisien variasi paling tinggi untuk kedua hubungan (98.5% dan 96.1%) sehingga pada tingkat pohon, indeks Margalef memiliki respon paling baik Hal ini juga terlihat pada kesensitifan indeks Margalef (Gambar 6) yang pada banyak titik lebih sensitif dibanding indeksindeks yang lain. Sesuai dengan apa yang dikatakan Magurran (1988) bahwa indeks Margalef memiliki kemampuan merespon perbedaan kekayaan spesies yang baik dan kesensitifan tinggi Selisih nilai indeks (%) Selisih jumlah spesies (%) Gambar 6 Kesensitifan indeks keanekaragaman tingkat pohon. Margalef Menhinick Simpson Shannon

12 Hasil rekapitulasi jumlah spesies plot bujur sangkar menunjukkan bahwa tingkat pancang terdapat 01 spesies dan pohon 198 spesies. Beberapa hasil penelitian diungkapkan sebagai perbandingan keanekaragaman spesies di TN. Kutai, antara lain : Zamora (1997) dalam Montagnini et al. (001) yang melakukan penelitian di Costa Rica menemukan 56 spesies untuk plot contoh seluas 9 ha. Dobson-Loffler (005) mengemukakan bahwa di Swaziland dalam ploat seluas 11 km x 11 km dijumpai 63 spesies yang terdiri atas 35 spesies eksotik dan 597 spesies asli. Van Wyk dan Smith (001) dalam Dobson-Loffler (005) mengemukakan bahwa kawasan Swaziland ini oleh WWF dan IUCN dikatakan sebagai pusat keanekaragaman dan endemik tumbuhan dunia. Oteng- Yeboah (1995) yang melakukan penelitian di TN. Bia (Ghana) mencatat 63 spesies dalam 10 plot permanen berukuran 5 m x 5 m. Effendi et al. (1997) yang melakukan penelitian di Wanariset Sangai, Mentaya Hulu, Kalimantan Tengah dengan membuat plot permanen sebanyak 15 buah berukuran 100 m x 100 m mencatat 07 spesies. Kartawinata et al. (1981) dalam Effendi et al. (1997) mencatat sebanyak 39 spesies tumbuhan di Wanariset Samboja dan di Lempake sebanyak 05 spesies, keduanya di Kalimantan Timur. Inpurwanto dan Abdurachman (1997) yang melakukan penelitian di TN. Bukit Baka, Kalimantan Barat mencatat 59 spesies di hutan primer. Sayangnya, penelitian ini tidak menyebutkan jumlah jalur yang digunakan. Hanya tersedia informasi bahwa penelitian ini menggunakan metode transek sepanjang m, yang di dalamnya dibuat plot contoh berukuran 0 m x 0 m sebanyak 5 plot. Spesies spesies yang saat ini ditemukan jika dibandingkan dengan spesies yang ditemukan pada dekade sebelumnya terlihat jauh berkurang. Cockburn dan Sumardja (1979) yang mengajukan Management Plan untuk Suaka Margasatwa Kutai (saat itu masih bernama Suaka Margasatwa Kutai) menyebutkan spesies antara lain : Shorea leptoclados, S. argentifolia, S. acuminatissima, S. faguetiana, Dipterocarpus caudiferus, dimana saat ini sudah tidak ditemukan lagi dalam plot contoh. Diduga hal ini terjadi akibat kebakaran hutan besar di TN. Kutai tahun yang mengakibatkan ha (>50% luas saat ini) terbakar (Wirawan 1985; Susilo & Rayan 1997).

13 Kebakaran berikutnya terjadi tahun , yang oleh Mori (000) disebutkan lebih merusak ekosistem hutan hujan dataran rendah di Kalimantan Timur. Sebagai informasi, Mori (000) yang membandingkan jumlah spesies sebelum kebakaran tahun 1988 dengan setelah kebakaran 1998 berkurang dari 130 menjadi 108 spesies (16.9%) di Hutan Pendidikan Bukit Suharto Universitas Mulawarman. Kepunahan spesies dimulai dari hilangnya individu-individu dalam spesies (Given 1994). Padahal untuk daerah hutan hujan, karena jumlah spesies melimpah mengakibatkan jumlah individu sedikit. Kondisi ini yang oleh MacKinnon et al.(1986) dikatakan sebagai kerentanan ekosistem hutan hujan. Bentuk plot contoh Tingkat pancang Rata-rata jumlah spesies bentuk bujur sangkar tiap luas plot contoh lebih tinggi dibandingkan persegi panjang. Beberapa luas plot berhimpit yaitu pada luas 50 m, m dan 3 00 m (Gambar 7). Informasi ini menunjukkan bahwa bentuk bujur sangkar menampung jumlah spesies lebih banyak dibandingkan persegi panjang. Hasil uji beda nyata untuk setiap luas plot contoh menunjukkan bahwa pada luas 50 m bentuk bujur sangkar dan persegi panjang tidak berbeda nyata (t hitung = 1.4), demikian halnya untuk luas plot contoh m dan 3 00 m (t hitung = 0.36 dan 0.37). Sedangkan untuk luas plot lainnya menunjukkan keduanya berbeda nyata (Tabel 8) Jumlah spesies Luas plot contoh Bujur sangkar Persegi panjang Gambar 7 Kecenderungan penambahan jumlah spesies tingkat pancang.

14 Tabel 8 Perhitungan uji beda bentuk plot contoh tingkat pancang Luas Bujur sangkar Persegi panjang (m ) x ± SD x ± SD t hitung df Keterangan ± ± Tidak berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Tidak berbeda nyata ± ± Tidak berbeda nyata Tingkat pohon Gambar 8 menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada plot contoh bujur sangkar tingkat pohon lebih tinggi dibandingkan persegi panjang. Hasil uji beda menunjukkan bahwa jumlah spesies kedua bentuk ini berbeda nyata mulai dari 50 m hingga m, dan tidak berbeda nyata pada saat kurva mulai mendatar (t hitung =.05 dan.04) Jumlah spesies Luas plot contoh Bujur sangkar Persegi panjang Gambar 8 Kecenderungan penambahan jumlah spesies tingkat pohon. Hasil ini berbeda dengan Laurance et al. (1998) yang membandingkan bentuk bujur sangkar (100 m x 100 m) dengan persegi panjang (40 m x 50 m) di Central Amazone (Brazil). Keduanya tidak berbeda nyata (P>0.0) walaupun di dua areal yang diuji bentuk persegi panjang selalu lebih tinggi jumlah spesiesnya.

15 Tabel 9 Perhitungan uji beda bentuk plot contoh tingkat pohon Luas Bujur sangkar Persegi panjang (m ) x ± SD x ± SD t hitung df Keterangan ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Berbeda nyata ± ± Tidak berbeda nyata ± ± Tidak berbeda nyata Stochlgren et al. (1995) dalam Keely dan Fotheringham (005) menyebutkan bahwa plot contoh persegi panjang dengan perbandingan lebar dan panjang 1 : 4 mencatat lebih banyak spesies dibandingkan bentuk bujur sangkar dengan luas yang sama. Pendapat ini diuji oleh Keely dan Fotheringham (005) di Sierra Nevada Mountain Range, California (USA) dan disebutkan bahwa bentuk persegi panjang (1 : 4) tidak berbeda nyata dengan bujur sangkar. Condit et al. (1996) dalam Laurance et al. (1998) menyebutkan bahwa hutan hujan di Pasoh (Malaysia) dan Barro Colorado Island (Panama), dan hutan kering di selatan India, untuk 1 ha pada tingkat pohon (= 10 cm DBH) bentuk persegi panjang ( 0 m x 500 m) mencatat % lebih banyak spesies dibandingkan bujur sangkar. Sehingga akhirnya Freese (1961) dalam Stockdale dan Wright (1996) menyebutkan bahwa sejauh ini bentuk persegi panjang menjadi perhatian karena lebih baik dibandingkan bujur sangkar dan lingkaran. Karena menurut Stochlgren (1995) persegi panjang mencakup areal yang lebih beragam, tetapi kecenderungan ini menurut Condit et al. (1996) dalam Laurance et al. (1998) hanya memungkinkan di sedikit areal di hutan-hutan tropis. Keanekaragaman spesies menyebar menurut garis ketinggian dan garis lintang (Odum 1971; Kershaw & Looney 1985;Van Dyke 003) karena merupakan respon dari lingkungannya (Hernandez et al. 006; Soerianegara & Indrawan 005). Posisi TN. Kutai yang berada di sekitar khatulistiwa, batas sebelah timur adalah Selat Makasar menuju daratan searah garis khatulistiwa sepanjang ± 65 Km. Dalam hal ini, poros bentuk persegi panjang memungkinkan menjangkau

16 perbedaan ketinggian tempat lebih baik dibandingkan bujur sangkar, namun kurang dapat menjangkau perbedaan garis lintang. Sedangkan bujur sangkar memungkinkan keduanya memiliki peluang yang sama untuk menjangkau garis ketinggian dan garis lintang. Dengan demikian, garis lintang untuk TN. Kutai lebih berperan dalam penyebaran spesies tumbuhan dan hal ini dijangkau oleh bentuk plot berbentuk bujur sangkar. Sehingga penelitian ini mengungkapkan bahwa plot contoh bujur sangkar yang mencatat jumlah spesies lebih tinggi (.06% untuk tingkat pancang, 15.11% untuk tingkat pohon) dibandingkan persegi panjang. Alasan inilah yang menyebabkan komposisi spesies plot contoh yang berasal dari blok Sangkima (berada sekitar ) berbeda dengan blok Prevab (berada sekitar ). Spesies seperti Dendrocide elliptica, Koompassia excelsa dan Palaquium beccarianum tidak ditemukan di Sangkima tetapi ditemukan di Prevab, sedangkan spesies seperti Dryobalanops lanceolata, Hopea dryobalanoides dan Vatica umbonata berada sebaliknya (Lampiran 6). Perbedaan komposisi vegetasi inilah yang menyebabkan keduanya saling melengkapi sehingga TN. Kutai demikian luas sebagai implikasi dari teori biogeografi (Diamond 1984 dalam MacKinnon et al. 1986; Soule & Wilcox 1980 dalam MacKinnon et al. 1986; Frankel dan Soule 1981 dalam MacKinnon et al. 1986; Simberloff & Abele 1976 dalam MacKinnon et al. 1986; Wilcox 1984 dalam MacKinnon et al. 1986). Dengan demikian, persamaan dari Preston (196) dalam Poole (1974) bahwa hubungan jumlah spesies dan luas areal sebagai persamaan S = CA z, dalam konteks TN. Kutai luas areal (A) dipahami meluas dengan menjangkau garis lintang, sebagaimana pertama kali diusulkan oleh Ir. H. Witkamp tahun 193 seluas ha sebagai Wildreservaat Koetai (Wirawan 1985) melintang mulai dari bawah hingga ke atas garis khatulistiwa (bagian yang yang tidak di arsir di dalamnya adalah TN. Kutai saat ini, Gambar 9). Keberadaan suatu spesies dan individu ditentukan oleh pola penyebaran spasialnya di dalam suatu komunitas (Poole 1974; Krebs 1978; Kershaw & Looney 1985), sehingga metode pengambilan contoh untuk masing-masing penyebaran berbeda (Odum 1971).

17 Gambar 9 Usulan Wildreservaat Koetai oleh Witkamp (193). Sumber : Wirawan (1985) Pengolahan data sebaran spasial yang teridentifikasi di dalam plot contoh menunjukkan bahwa 9.5% spesies tingkat pancang mengelompok, 6.5% acak dan 1% teratur. Pada tingkat pohon menunjukkan bahwa 87.4% mengelompok, acak 10.1% dan teratur.5%. Hasil ini memperlihatkan bahwa spesies-spesies di TN. Kutai menyebar secara kelompok ke arah garis lintang yang tidak bisa dijangkau oleh bentuk persegi panjang dan menuntut luas plot contoh yang cukup luas. Stochlgren (1995) menjelaskan bahwa 10 plot berukuran 1 m x 1 m yang berdampingan berbeda dengan satu buah plot 0 m x 50 dalam kaitannya dengan sebaran spasial spesies. Luas plot contoh Jumlah spesies terbukti lebih banyak ditemukan pada bentuk plot contoh bujur sangkar dibandingkan persegi panjang. Sehingga pembahasan luas plot contoh optimal difokuskan pada plot contoh bujur sangkar. Tingkat pancang Kurva minimum spesies area terlihat mulai mendatar pada luas plot contoh 800 m dan jumlah spesies cenderung tidak bertambah dari luas plot m ke 3 00 m (kurang dari 5%, Gambar 10).

18 Jumlah spesies Plot 1 Plot Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Plot 7 Plot 8 Plot 9 Plot 10 Plot 11 Plot 1 Plot 13 Plot 14 Plot 15 Plot 16 Rata-rata Ukuran plot (m) Gambar 10 Jumlah spesies tiap luas plot contoh bujur sangkar tingkat pancang. Hasil uji beda nyata jumlah spesies tiap luas plot contoh tingkat pancang menunjukkan bahwa luas plot contoh 800 m, m dan 3 00 m tidak berbeda nyata (Tabel 10). Luas plot contoh 800 m ditemukan jumlah spesies ± dan m sebanyak ± (Tabel 7) memiliki t hitung = 0.3. Demikian halnya dengan luas plot contoh 3 00 m yang ditemukan jumlah spesies ± tidak berbeda nyata (t hitung = 0.34). Tabel 10 Uji beda luas plot contoh tingkat pancang Luas plot contoh (m ) N N N N N N N N N N N N N N N N N N TN TN TN Keterangan : N = berbeda nyata, TN = tidak berbeda nyata Luas plot contoh m merupakan luas plot contoh optimal karena selisih jumlah spesies yang ditemukan paling kecil (0.13). Sedangkan luas plot contoh paling banyak ditemukan selisih jumlah spesies adalah pada penambahan luas plot contoh 400 m ke 800 m (1.37) (Gambar 11).

19 45 40 Selisih jumlah spesies Plot 1 Plot Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Plot 7 Plot 8 Plot 9 Plot 10 Plot 11 Plot 1 Plot 13 Plot 14 Plot 15 Plot Luas plot (m) Gambar 11 Hubungan luas plot contoh bujur sangkar dengan selisih jumlah spesies tingkat pancang. Hasil rekapitulasi tingkat pancang menunjukkan bahwa spesies yang ditemukan pada luas plot contoh 3 00 m cenderung tidak menambah jumlah spesies. Pada luas plot contoh m ditemukan Aquilaria malaccensis, Bouea odorata dan Coyilelobium sp. Luas plot contoh 800 m menambah 19 spesies antara lain : Koompassia malaccensis, Hopea rudiformis, Xylopia malayana dan Litsea curtisii. Plot 400 m ditemukan spesie-spesies antara lain : Dipterocarpus cornutus, Shorea asamica dan Diospyros unfolius. Luas 00 m ditemukan spesies, antara lain : S. parvifolia, S. gratissima, Dryobalanops lanceolata dan Aquilaria beccariana. Luas 100 m ditemukan spesies antara lain : S. leprosula, S. johoriensis, Dipterocarpus validus dan Canarium beccarianum. Dan luas plot 50 m ditemukan spesies antara lain : Cananga odorata, Eusideroxylon zwageri, Diospyros borneensis dan Durio griffithii (informasi selengkapnya dalam Lampiran 9). Hubungan nilai indeks Margalef (Y) dengan luas plot contoh (x) dihasilkan persamaan Y = x dengan P value = (tidak nyata). Demikian pula besarnya ragam indeks Margalef yang dapat dijelaskan oleh luas plot contoh (R ) hanya 4.4%, sehingga persamaan ini tidak cukup kuat.

20 Hubungan jumlah spesies (Y) dengan luas plot contoh (x) adalah Y = x dengan P value = dan banyaknya ragam jumlah spesies yang dapat dijelaskan oleh luas plot contoh sebesar 58.0%. Tingkat pohon Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva spesies minimum area mulai mendatar pada luas plot contoh m dan cenderung tidak lagi menambah jumlah spesies dari luas plot m ke m (kurang dari 5%, Gambar 1) Jumlah spesies Plot 1 Plot Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Plot 7 Plot 8 Plot 9 Plot 10 Plot 11 Plot 1 Plot 13 Plot 14 Plot15 Plot 16 Rata-rata Luas plot (m) Gambar 1 Jumlah spesies tiap luas plot contoh bujur sangkar tingkat pohon. Hasil uji beda nyata luas plot contoh tingkat pohon menunjukkan bahwa luas plot contoh m, m dan m tidak berbeda nyata. Luas plot contoh m yang ditemukan jumlah spesies ± dan m sebanyak 55.5 ± memiliki nilai t hitung = Plot contoh m ditemukan jumlah spesies ± dengan plot contoh m yang ditemukan jumlah spesies ± tidak berbeda nyata (t hitung = 0.37). Dan plot contoh m tidak berbeda nyata dengan m (t hitung = 0.01) (Tabel 11).

21 Tabel 11 Uji beda luas plot contoh tingkat pohon Luas plot contoh (m ) 50 N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N TN TN TN Keterangan : N = berbeda nyata, TN = tidak berbeda nyata Selisih jumlah spesies paling kecil ditemukan pada luas plot contoh m (0.06) sehingga luas ini merupakan luas plot optimal. Sedangkan selisih paling besar ditemukan pada plot contoh m (15.94 (Gambar 13) Selisih jumlah spesies Plot 1 Plot Plot 3 Plot 4 Plot 5 Plot 6 Plot 7 Plot 8 Plot 9 Plot 10 Plot 11 Plot 1 Plot 13 Plot 14 Plot 15 Plot Luas plot (m) Gambar 13 Hubungan luas plot contoh bujur sangkar dengan selisih jumlah spesies tingkat pohon. Penambahan spesies baru tidak ditemukan pada luas plot contoh m. Diplospora malaccensis ditemukan pada m. S. leavis, Koompassia excelsa dan Borassodendron borneensis ditemukan pada luas 3 00 m. Palaquium denticulatum, Dryobalanops lanceolata dan Vatica umbonata ditemukan pada luas m. S. gratissima, S. leprosula dan S. ovalis ditemukan pada luas 800 m. Hopea rudiformis, Dipterocarpus cornutus dan S. parvifolia

22 ditemukan pada luas 400 m. S. pouciflora, Dracontomelon dao dan Palaquium rostratum ditemukan pada luas 00 m. Dipterocarpus validus, S. johoriensis dan Octomeles sumatrana ditemukan pada luas 100 m. Dan Eusideroxylon zwageri, Diospyros borneensis dan Durio griffithii ditemukan pada luas 50 m (informasi selengkapnya dalam Lampiran 10). Hubungan nilai indeks Margalef (Y) dengan luas plot contoh (x) dihasilkan persamaan Y = x dengan P value = (tidak nyata). Demikian pula besarnya ragam indeks Margalef yang dapat dijelaskan oleh luas plot contoh (R ) hanya 44.4%. Persamaan Y = x dengan P value = (tidak nyata) ihasilkan untuk menggambarkan hubungan antara jumlah spesies (Y) dengan luas plot contoh (x). Besarnya ragam jumlah spesies yang dapat dijelaskan oleh luas plot contoh (R ) sebesar 60.9%. Beberapa hasil penelitian di daerah lain disajikan sebagai perbandingan untuk luas plot contoh optimal, antara lain : Drees (1954) dalam Soerianegara dan Indrawan (005) mengemukakan bahwa luas minimum untuk hutan Dipterocarpaceae di Bangka sebesar 0.5 ha, sedangkan Nicholson (1965) dalam Soerianegara dan Indrawan (005) mengemukakan bahwa untuk hutan hujan di Kalimantan Utara mendapatkan luas minimum sebesar 0.6 ha dan 1.5 ha. Hal yang sama dikemukakan oleh Richards (195) dalam Soerianegara dan Indrawan (005) bahwa untuk hutan hujan tropika, petak tunggal seluas 1,5 ha sudah cukup, dan Wyatt-Smith (1959) dalam Soerianegara dan Indrawan (005) yang menganggap luas 0.6 ha sudah cukup mewakili. Luas plot contoh optimal seluas 0.6 ha (Nicholson 1965 dalam Soerianegara & Indrawan 005; Wyatt-Smith 1959 dalam Soerianegara & Indrawan 005) bertentangan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pada luas plot 0.6 ha ditemukan selisih jumlah spesies paling tinggi, sehingga luas plot 0.6 ha merupakan titik kritis dalam pengukuran keanekaragaman spesies di TN. Kutai.

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal hutan kerangas yang berada dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan PT. Wana Inti Kahuripan Intiga, PT. Austral Byna, dan dalam

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2010 di Hutan Tanaman Pelawan Desa Trubus, Hutan Kawasan Lindung Kalung Desa Namang, dan Hutan Dusun Air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Hayati

TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Hayati TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman merupakan sebuah konsep yang merujuk pada variasi dan perbedaan dari berbagai individu dalam sebuah komunitas (WCMC 1992), dimana mereka berinteraksi

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah.

3. METODOLOGI PENELITIAN. Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan April 2014 di lahan basah Way Pegadungan Desa Rajawali Kecamatan Bandar Surabaya Kabupaten Lampung Tengah. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Cagar Alam Sukawayana, Desa Cikakak, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga tipe hutan kerangas di Kabupaten Belitung Timur yaitu hutan kerangas primer (Rimba), hutan kerangas sekunder (Bebak)

Lebih terperinci

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali. B III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi, yaitu melakukan pengamatan langsung pada mangrove yang ada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung 21 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2015 di Hutan Mangrove KPHL Gunung Balak Resort Muara Sekampung Kabupaten Lampung Timur. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dengan menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang kearah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang pola sebaran, kerapatan edelweis (Anaphalis javanica) serta faktor-faktor

Lebih terperinci

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember EKOLOGI TEMA 5 KOMUNITAS bag. 2 Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember KOMUNITAS Keanekaragaman Komunitas Pola Komunitas dan Ekoton Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di dua kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu kawasan yang dipengaruhi oleh Samudera Hindia atau Kawasan Pantai Barat (Aceh Barat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang keanekaragaman dan pola distribusi jenis tumbuhan paku terestrial.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan secara sistematik, faktual,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September 2014 di Kawasan Budidaya Desa Fajar Baru Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu. Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan 28 Juni selesai di Taman Hutan. Raya Raden Soerjo Cangar yang terletak di Malang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan 28 Juni selesai di Taman Hutan. Raya Raden Soerjo Cangar yang terletak di Malang BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.1.1 Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan 28 Juni 2011- selesai di Taman Hutan Raya Raden Soerjo Cangar yang terletak di Malang 3.1.2

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 di Repong Damar Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat (Gambar 2).

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT Species Diversity And Standing Stock In Protected Forest Area Gunung Raya Districts Ketapang

Lebih terperinci

EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN

EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN EVALUASI KETAHANAN HIDUP TANAMAN UJI SPESIES DAN KONSERVASI EK-SITU DIPTEROCARPACEAE DI RPH CARITA BANTEN Evaluation of Survival Plantation Try Species of Dipterocarpaceae in Carita Forest Resort Banten

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di

KEANEKARAGAMAN JENIS. Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di KEANEKARAGAMAN JENIS Konsep keanekaragaman jenis (species diversity) berawal dari apa yang di sebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi ( Bahan dan Alat) Penelitian Materi yang digunakan dalam penelitian berupa jenis tumbuhan bawah dan alkohol 70%.

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 49 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penentuan Data Pohon Contoh Untuk penyusunan tabel volume pohon sebagai alat bantu IHMB di PT. Ratah Timber ini diperlukan data-data dimensi pohon dari setiap pohon contoh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur selama 9 hari mulai tanggal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jabon dan vegetasi tumbuhan bawah yang terdapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat yaitu di kawasan Cikaniki dan Koridor TNGHS. Waktu pelaksanaan rangkaian kegiatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR A. Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Kebakaran pada Kawasan Hutan

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di PT. Austral Byna, Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELlTlAN

METODOLOGI PENELlTlAN METODOLOGI PENELlTlAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma, Unit Seruyan Kalimantan Tengah. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 15 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sungai Luar Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang pada bulan April 2014 dapat dilihat pada (Gambar 2). Gambar

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

111. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober tahun 2000 selama kurang lebih

111. METODOLOGI. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober tahun 2000 selama kurang lebih 111. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian - Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober tahun 2000 selama kurang lebih enam bulan, di kawasan hutan Cagar Alarn Serbajadi dan sekitarnya (Kabupaten

Lebih terperinci