Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat Menguji Pengaturan Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat Menguji Pengaturan Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia"

Transkripsi

1 Position Paper 1/2014 Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat Menguji Pengaturan Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia Supriyadi Widodo Eddyono Anggara IMDLN Indonesia Media Defense Litigation Network

2 Dipersiapkan dan disusun oleh: Supriyadi Widodo Eddyono Senior Researcher Associate Anggara Senior Researcher Associate Editor : Erasmus A.T. Napitupulu Lisensi Hak Cipta This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License. Diterbitkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) Sekretariat Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu Jakarta Selatan Phone/Fax: infoicjr@icjr.or.id website: Dipublikasikan pertama kali pada: 27 Mei 2014 ii

3 DAFTAR ISI 1. Pendahuluan Ruang Lingkup Kebijakan Konten Internet Di Beberapa Yuridiksi Prinsip Dan Standar Internasional Dalam Kebijakan Pembatasan Konten Perkembangan Dan Inisiatif Internasional Ruang Lingkup Hukum Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia Praktek Pemblokiran Dan Penyaringan (Blocking/Filtering) Di Indonesia Rencana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Kebijakan Konten Tahun Situs Internet Bermuatan Negatif Peran Pemerintah, Penyelenggara dan Masyarakat dalam Kebijakan Konten Tata Cara Pemblokiran Prosedur Normalisasi Kritik atas Rancangan Permenkominfo tentang kebijakan Konten Pembatasan Atau Sensor Terhadap Internet Harus Dilakukan Dengan Undang-Undang Pembatasan Konten Harus Terkait Dengan Penegakan Hukum Pidana Kewenangan Pemerintah (Menkominfo) yang Terlalu Luas Sensor yang Kebablasan Akan Merugikan Publik Pengujian Terhadap Trust+Positif Penutup Simpulan Rekomendasi Lampiran Draft Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penanganan Situs internet bermuatan Negatif Tentang ICJR, IMDLN dan Penulis iii

4 1. Pendahuluan Saat ini, praktik pemblokiran dan penyaringan merupakan praktik yang mulai dilakukan untuk menutup akses pengguna terhadap konten yang tersaji di internet. Beberapa alasan umum praktik pemblokiran dan penyaringan ini, antara lain terkait dengan kontrol terhadap ekspresi politik, baik berupa ekspresi yang dilakukan oleh warga negaranya, maupun sebagai upaya untuk menghalangi pengaruh dari luar negaranya terhadap praktik politik di dalam suatu negara. Selain itu, praktik pemblokiran sering pula didasarkan pada alasan yang terkait dengan pencegahan pornografi serta melindungi moralitas masyarakat. Walaupun begitu praktik pemblokiran dan penyaringan ini telah jamak dilakukan melalui beberapa cara, yakni diantaranya melalui pencegahan pengguna mengakses laman tertentu, pemblokiran Internet Protocol (IP), ekstensi nama domain, dan penutupan suatu laman dari laman server yang ditempatinya. Selain itu, pencegahan akses juga dilakukan dengan menerapkan sistem filter untuk memblok atau membuang laman yang mengandung kata kata kunci tertentu. Dalam beberapa kasus, praktik ini dilakukan secara bervariasi, terdapat kasus kasus dimana pemerintah memblok laman dan penyedia jasa, seperti dalam kasus pemblokiran YouTube dan penyaringan mesin mencari di Cina 1. Dalam beberapa hal praktik ini melibatkan pihak perantara pada saat penyedia jasa yang dipaksa melakukan pemblokiran atau penyaringan pada penggunanya. Pola penyaringan dan pemblokiran jenis ini berlangsung pula di Indonesia, perintah datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada para penyedia layanan (ISP). Beberapa contoh, seperti dalam kasus RIM di Indonesia kewajiban melakukan pemblokiran oleh penyedia jasa dimasukkan sebagai bagian dari perijinan beroperasi Khusus di Indonesia, sebetulnya belum adanya ketentuan yang secara detail mengatur mekanisme dan tata cara pemblokiran/ penyaringan konten. Indonesia juga belum memiliki suatu badan khusus yang independen, yang diberikan mandat untuk melakukan pemblokiran dan penyaringan konten internet. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terbatas hanya memberikan mandat yang terkait dengan konten-konten yang dianggap melawan hukum, namun lupa untuk memasukkan kebijakan kontrol terhadap konten Ruang lingkup kebijakan konten Internet di beberapa yurisdiksi Salah satu dari berbagai isu sosio kultural dalam ranah internet adalah kebijakan konten, isu ini sering dibahas dari berbagai sudut pandang, mulai dari dari hak asasi manusia (kebebasan berekpresi dan kebebasan berkomunikasi), pemerintah dan teknologi. Paling tidak ada tiga kelompok konten yang mendapatkan perhatian 2 yakni: 1. Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global, termasuk dalam hal ini adalah pornografi anak-anak, penyebaran informasi yang mengandung pembenaran terhadap aksi genosida, dan aksi dari organisasi terorisme, yang seluruhnya dilarang berdasarkan hukum Internasional 2. Konten yang sensitif bagi Negara-negara, wilayah atau kelompok etnik tertentu terkait dengan nilai-nilai budaya dan agama di suatu negara. Komunikasi online yang telah semakin global memiliki tantangan bagi nilai-nilai lokal, budaya dan agama di berbagai kelompok masyarakat. Sebagian besar pengendalian konten di Negara-negara Timur Tengah dan Asia secara resmi dibenarkan demi melindungi nilai-nilai budaya tertentu, dan hal ini sering berarti bahwa akses terhadap website pornografi dan perjudian lokal dilarang. 1 Lihat Jovan Kurbalija, Sebuah pengantar tentang tata kelola internet, APJII, hal 144, 2 Ibid 1

5 3. Penyensoran Politis di Internet. Laporan OpenNet Initiative (ONI) pada tahun 2012 menunjukkan tidak kurang dari 32 Negara melakukan penyensoran terhadap konten yang bersifat politik. 3 Saat ini di beberapa yurisdiksi, penerapan kebijakan konten dilakukan dengan banyaknya pilihan-pilihan hukum dan teknis misalnya: melalui penyaringan pemerintah, sistem penyaringan dan peringkat dari swasta, penyaringan konten berdasarkan lokasi geografis, pengendalian konten melalui mesin pencarian, dan menggunakan Web 2.0 dimana pengguna bertindak sebagai kontributor. 4 Pemain utama dalam ranah pengendalian konten biasanya adalah pemerintah yang menentukan konten apa yang harus dikontrol dan bagaimana caranya. Elemen umum bagi penyaringan konten oleh pemerintah adalah pemerintah memiliki sebuah index internet terhadap website yang diblokir bagi warganegaranya. 5 Jika sebuah website termasuk dalam index internet ini, maka akses tidak akan diberikan. Secara teknis, penyaringan ini menggunakan protocol Internet berbasis router, proxy server dan pengalihan arah sistem nama domain (DNS). 6 Selain China, Arab Saudi dan Singapura, beberapa Negara lainnya semakin banyak mengadopsi praktik ini. Australia misalnya menerapkan system penyaringan terhadap halaman-halaman nasional tertentu meskipun bukan halaman-halaman Internasional Prinsip dan Standar Internasional dalam Kebijakan Pembatasan Konten Dalam kebijakan konten, Pasal 19 ayat (3) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih relevan sebagai acuan dalam menentukan jenis-jenis pembatasan terhadap hak atas kebebasan berkepresi. Pembatasan apapun terhadap hak atas kebebasan berkespresi, harus melewati tiga alat uji berikut yang bersifat kumulasi yakni; (a) pembatasan tersebut harus berdasarkan hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktablitias dan keterbukaan); (b) pembatasan itu harus mengacu pada salah satu tujuan yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat (3) konvenan yaitu (i) untuk menjaga hak-hak atau reputasi pihak lain, atau (ii) untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban masyarakat atau kesehatan atau moral public (prinsip legitimasi); dan (c) pembatasan seminimal mungkin (prinisp kepentingan dan keseimbangan). 8 Resolusi PBB No 20/8 Tahun 2010 tentang Perlindungan dan Penikmatan HAM di Internet (The Promotion, Protection and Enjoyment of Human rights on the Internet) 9 menyatakan bahwa perlindungan atas kebebasan berekpsresi mempunyai perlindungan yang sama baik dalam aktivitas yang online maupun yang offline:.menegaskan bahwa hak yang sama yang dimiliki seseorang saat offline juga harus di lindungi ketika ia sedang online khususnya kebebasan berkespresi yang berlaku tanpa melihat batasan dan melalui media apapun yang dipilihnya sesuai dengan pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Konvenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik. Oleh karena itu resolusi tersebut kemudian memberikan seruan menghimbau semua Negara untuk memajukan dan memfasilitasi akses kepada internet dan kerjasama Internasional yang ditujukan pada pembangunan media dan informasi serta fasilitas-fasilitas komunikasi di semua negara. 3 Lihat Internet censorship listed: how does each country compare?, 4 Op.Cit. Jovan Kurbalija 5 Ibid 6 Ibid 7 ibid 8 Lihat ELSAM, Buku Saku kebebasan berekpresi di Internet, mengutip laporan khusus PBB hal Ibid hal. 54 2

6 Pelapor khusus PBB pada 2011, Frank La Rue, telah mengeluarkan beberapa rekomendasi tentang perlindungan kebebasan berkespresi di internet 10 yang dalam laporannya dinyatakan bahwa.kehebatan internet untuk menyebarkan informasi secara cepat dan memobilisasi masa juga menciptakan ketakutan bagi pemerintah atau penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan Internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir konten, memonitor dan mengidentifikasi para aktifis dan kritikus, pemidanaan terhadap ekspresi yang sah serta pengadopsian peraturan tertentu yang membenarkan tindakan-tindakan pembatasan. Penggunaan teknologi penyaringan dan pemblokiran oleh negara merupakan pelanggaran atas kewajiban Negara untuk menjamin kebebasan berekspresi jika tidak memnuhi prinsip-prinsip umum terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berkespresi. Pertama kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum atau diatur oleh hukum tapi menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena-mena. Kedua pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan seperti yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat 3 Kovenan Sipol dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar. Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa di akses karena sudah dianggap illegal. Terakhir konten sering di blok tanpa adanya intervensi atau kemungkinan pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan yang independen. 11 Oleh karena itu maka Pelapor Khusus sangat memperhatikan adanya mekanisme yang digunakan untuk mengatur dan menyaring informasi di internet yang sangat baik dengan kontrol yang berlapis-lapis yang sering tersembunyi dari perhatian masyarakat. 12 Tindakan pemblokiran atau penyaringan harus dilakukan secara trasnparan dan diperlukan untuk mencapai tujuan utama yang diprioritaskan oleh Negara. Dalam setiap tindakan pemblokiran atau penyaringan perlu adanya daftar laman yang diblokir dan informasi detail mengenai keperluan dan pembenaran dilakukannya pemblokiran pada setiap laman. Penjelasan harus diberikan pada laman yang terkena dampak pemblokiran mengenai kenapa mereka di blokir. Mengenai penentuan tentang konten yang harus diblokir maka hal itu harus dilakukan oleh otoritas pengadilan yang kompeten atau sebuah badan yang independen dari pengaruh politik, pengaruh bisnis, atau pengaruh dari pihak yang tidak berwenang lainnya Perkembangan dan Inisiatif Internasional Kekosongan di sisi hukum dalam soal kebijakan konten ini membuat pemerintah di berbagai Negara yang menerapkan pembatasan tingkat tinggi harus memutuskan konten yang perlu di blokir. Namun karena kebijakan ini merupakan isu sensitif bagi setiap masyarakat, maka penerapan instrumen hukum menjadi penting. Pembuatan regulasi nasional dalam hal kebijakan konten bisa menyediakan perlindungan yang lebih baik bagi hak asasi manusia dan menyelesaikan peran Penyedia Jasa Internet yang kadang ambigu dan badan pelaksana serta pemain lain. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai Negara telah memperkenalkan undang-undang kebijakan Internet di Negara masing-masing. Pada tataran Internasional, inisiatif utama muncul dari Negara-negara Uni Eropa dengan undang-undang yang tegas mengatur ekspresi kebencian termasuk anti rasisme dan anti semitisme. Lembaga-lembaga regional di eropa juga telah mencoba untuk menerapkan aturan- 10 Ibid hal Lihat Frank La Rue, Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Promosi dan perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, Paragraf 31, 12 Ibid, Paragraf 29 3

7 aturan ini di dunia maya. Instrumen hukum primer yang membahas permasalah konten adalah Protokol Tambahan Dewan Eropa terhadap Konvensi Kriminal di Dunia Maya (The Convention on Cyber Crimes). 13 Uni Eropa juga telah memulai pengendalian konten, mengadopsi rekomendasi Komisi Eropa melawan rasisme melalui internet. 14 Di tingkat yang lebih praktis Uni Eropa memperkenalkan rencana tindakantindakan untuk internet yang lebih aman di Uni Eropa di dalamnya termasuk poin-poin: Mendorong jaringan hotline untuk pelaporan konten illegal di Eropa 2. Pengendalian konten Vs Kebasan berekpresi 3. Mendorong pengaturan mandiri 4. Mengembangkan peringkat konten, penyaringan, dan penyaringan berdasarkan acuan tertentu 5. Mengembangkan perangkat lunak dan jasa layanan 6. Membangkitkan kesadaran untuk penggunaan internet yang lebih aman Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa juga secara aktif telah mengatur beberapa konferensi dan pertemuan dengan perhatian utama terhadap kebebasan berekspresi dan potensi penyalahgunaan internet (misalnya rasisme, xenophobia dan propaganda antisemit) sejak Organisasi Article 19 juga telah memberikan sebuah rekomendasi penting mengenai pembatasan konten ini, 16 dengan menggunakan peran yang lebih besar oleh penegak hukum, yakni Pertama, setiap orang harus mampu memberi tahu penegak hukum mengenai suatu dugaan tindak kejahatan, termasuk tindak kejahatan online. Jika pihak penegak hukum meyakini bahwa konten yang dipermasalahkan harus dihapus dan masalah tersebut tidak mendesak, mereka harus meminta perintah pengadilan, jika diperlukan dengan dasar Ex Parte. Namun jika situasinya memang mendesak, misalnya terancamnya nyawa seseorang, maka penegak hukum harus diberikan kekuatan undang-undang untuk memerintahkan penghapusan atau pemblokiran akses terhadap konten yang dipermasalahkan sesegera mungkin. Namun demikian, perintah tersebut harus dikonfirmasi oleh pengadilan dalam periode waktu tertentu yang ditetapkan, misalnya 48 jam. Penggunaan mekanisme informal seperti telepon atau untuk meminta host untuk menghapus konten tidak diperbolehkan. Kedua, setiap pengguna internet dapat memberikan pemberitahuan kepada host atau platform media sosial mengenai dugaan konten kejahatan. Dalam kasus semacam ini, host atau platform harus memberitahu lembaga penegak hukum jika komplain tersebut memang berdasar dan layak untuk diteruskan dengan penyidikan. Host atau platform juga dapat memutuskan untuk menghapus konten yang dipermasalahkan sebagai upaya interim sejalan dengan ketentuan layanan mereka. Ketiga, banyak negara memiliki lembaga swasta yang bekerjasama dengan lembaga penegak hukum dan mengoperasikan hotline yang dapat ditelepon oleh setiap pengguna internet jika mereka menduga adanya suatu konten kejahatan yang diposting secara online (lihat misalnya Internet Watch Foundation di Inggris atau SaferNet di Brazil). Dalam kasus-kasus tersebut, hotline biasanya melaporkan konten yang dipermasalahkan kepada host maupun lembaga penegak hukum. Mereka kemudian dapat menanganinya dengan mengikuti proses yang sama (sebagaimana dijelaskan di atas) dan mereka menggunakannya untuk menangani komplain dari publik terkait konten online yang berpotensi kejahatan. 13 Loc Cit. Jovan Kurbalija hal ibid 15 ibid 16 Lihat Article 19, Perantara Internet:Dilema dan Tanggung jawab,

8 Opsi manapun yang dipilih, adalah penting untuk memberitahukan pihak berwenang mengenai setiap tuduhan adanya tindak kejahatan serius sehingga hal tersebut dapat segera ditangani sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam sistem peradilan pidana. Penting pula untuk dipahami bahwa di banyak negara, hukum pidana mencakup banyak jenis pelanggaran minor maupun administratif dan tidak mungkin bagi polisi, demi kepentingan publik, untuk menyidik setiap tuduhan kegiatan online berpotensi kejahatan. Karena alasan yang sama, Jaksa harus mempertimbangkan apakah perlu untuk memproses suatu kasus jika suatu masalah dapat diselesaikan secara lebih efektif dengan menghapus konten (misalnya penghapusan pernyataan rasis di Twitter). Oleh karenanya, penting untuk dipahami bahwa sebagian besar kasus yang terkait dengan tuduhan pelanggaran hukum minor akan jauh lebih bijak untuk menghapus konten yang dipermasalahkan daripada langsung memprosesnya secara hukum Ruang lingkup hukum bloking dan filtering konten Internet di Indonesia Jenis jenis konten yang dilarang dalam berbagai kesepakatan Internasional meliputi: 1. pornografi anak (untuk perlindungan anak) penyebaran kebencian (untuk melindungi hak-hak komunitas yang terpengaruh oleh hal itu) 3. hasutan publik untuk melakukan genosida (untuk melindungi hak-hak orang lain) 4. advokasi nasional terkait rasa atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (untuk menjaga hak-hak orang lain seperti hak untuk hidup) 18 Sedangkan Konten yang dilarang dalam hukum Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang yakni: Dalam UU ITE mengenai pornografi dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 27 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik adan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Insert Pasal 27 ayat (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian Pasal 27 ayat (3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan Pasal 28 ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pasal 29 Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen yang berisik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. 17 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. Menurut pelapor khusus PBB pemblokiran terhadap pornografi anak adalah pengecualian yang jelas dan dibenarkan. Negara juga perlu untuk fokus kepada usaha mereka dalam menghukum orang-orang yang bertanggungjawab dalam memproduksi dan menyebarkan pornografi anak daripada hanya sekedar melakukan tindakan pemblokiran. 18 Lihat Pasal 20 Konvenan Sipol 5

9 Pembatasan konten dalam hukum nasional memasukkan sejumlah syarat yang tidak diatur dalam hukum HAM Internasional, misalnya agama dan kesusilaan dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pembatasan tersebut, selain tidak diatur dalam hukum HAM internasional, juga tidak mempunyai indikator yang jelas yang berakibat punya potensi melanggar HAM jika tidak diatur secara jelas. Selain itu, penggunaannya seringkali didasarkan pada suatu nilai atau keyakinan yang tunggal atau dilakukan berdasarkan kehendak kelompok mayoritas, dan hal ini bertentangan dengan prinsip keberagaman atau perlindungan terhadap kelompok minoritas, sehingga justru menyebabkan atau berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. UU ITE mempunyai masalah, yakni adanya pembatasan dengan dasar melanggar kesusilaan dan rumusan larangan perbuatan atas dasar penghinaan dan penerapannya selalu merujuk pada ketentuan KUHP. Sementara itu, dasar pengaturan atau pembatasan sebagaimana diatur Pasal 28 (2) dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan dalam klausul pembatas yang digunakan sebagai dasar pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat. Namun masalah utama yang mengemuka dalam praktik pemblokiran dan penyaringan adalah belum adanya ketentuan yang secara detail mengatur mekanisme dan tata cara pemblokiran/penyaringan konten. Indonesia juga belum memiliki suatu badan khusus yang independen, yang diberikan mandat untuk melakukan pemblokiran dan penyaringan konten internet. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet. Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law Praktek Pemblokiran dan Penyaringan (blocking/filtering) di Indonesia Sebelum UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan, pemerintah telah berencana untuk melakukan pemblokiran situs internet pada Maret Muhammad Nuh, saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan akan segera melakukan pemblokiran terhadap situs yang berbau pornografi dan kekerasan. Menurut Nuh, pemblokiran ini didasarkan pada akal sehat secara umum. Menurut Menkominfo saat itu Tidak ada yang punya alasan untuk membangun negara dengan menyebarluaskan pornografi dan kekerasan. Saya kira tidak ada yang sepakat. Ini common sense universal value (untuk memblokir situs porno dan kekerasan), dalam jumpa pers mengenai disahkannya Rancangan pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi Undang- Undang oleh DPR di Jakarta. Nuh mengatakan pihaknya melakukan pemblokiran situs porno karena dorongan dari masyarakat luas agar pemerintah bisa meminimalkan akses situs porno dan situs kekerasan lewat internet. Bahkan Menkominfo mendorong internet Indonesia (Indonesia -Security Incident Response Team on InternetbInfrastructure /ID-SIRTII) untuk tidak hanya menjamin keamanan transaksi elektronik tapi juga melakukan pemblokiran dan filtering. 20 Langkah pertama dari Menkominfo, M. Nuh, pada saat itu untuk memblokir internet adalah ketika munculnya film fitna sesaat sebelum UU ITE resmi menjadi UU. Melalui surat dengan No 84/M. KOMINFO/04/08 tertanggal 2 April 2008 yang ditujukan kepada Ketua Umum APJII meminta agar melakukan koordinasi dengan para anggotanya dan pengelola IIX untuk memblokir situs ataupun blog 19 Lihat ELSAM, Buku Saku kebebasan berekpresi di Internet. hal Lihat Indonesia Media Defense Litigation Network dan Intitute for Criminal justice Reform, kebebasan Internet Indonesia, perjuangan Merertas Batas, ICJR-IMDLN, Hal. 20 6

10 yang memuat Film Fitna. 21 Film yang disutradari oleh Geert Wilders, anggota parlemen Belanda dari Freedom Party ini, dianggap melakukan penodaan terhadap agama Islam. Salah satu kelompok masyarakat yang getol meminta pemerintah untuk memblokir situs-situs yang menyediakan konten film Fitna, adalah Majelis Ulama Indonesia. Dalam pernyataannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memblokir situs YouTube, karena dianggap menyebarkan film Fitna. 22 Beberapa situs yang menjadi korban pemblokiran antara lain: YouTube, MySpace, Multiply, Rapidshare, Metacafe. Langkah Menkominfo saat itu merupakan tindakan melanggar konsitutusi karena pemblokiran tidak hanya dilakukan terhadap konten yang menampilkan film Fitna, tetapi terhadap seluruh konten situs. Situs-situs tersebut sama sekali tidak dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari pemblokiran tersebut menghambat masyarakat lain untuk mengakses konten situs-situs yang sangat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat. Kebijakan Menkominfo tersebut berubah setelah mendapat desakan dan gugatan dari masyarakat. Departemen Komunikasi dan Informatika melakukan pencabutan pemblokiran terhadap sejumlah situs tersebut meski tanpa melalui suatu proses hukum yang jelas. Setelah Tifatul Sembiring menduduki pos Menteri Komunikasi dan Informatika, muncul adanya blog yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Kemunculan blog ini menjadi penanda kedua terhadap keinginan pemerintah untuk melakukan blokir dan sensor terhadap internet melalui surat dengan No 600/M.KOMINFO/11/2009 tertanggal 19 November 2009 yang ditujukan kepada seluruh ISP yang beroperasi untuk memblokir blog yang dimaksud 23 Setelah kehebohan tersebut, secara terbuka Menkominfo Tifatul Sembiring juga mengungkapkan keinginannya secara tegas menyatakan bahwa Kementerian Kominfo akan terus melakukan filtering terhadap konten internet yang diduga bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, namun dengan cara yang elegan, cepat, koordinatif dan sistematis secara terus menerus 24 yang kemudian ditindaklanjuti dengan upaya untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia 25 yang telah disiapkan oleh menteri sebelumnya. Dalam materi muatan rancangan peraturan menteri tersebut, penyelenggara jasa internet antara lain dilarang mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya beberapa konten: 26 Rencana pemerintah untuk menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang segera menuai reaksi keras dari masyarakat khususnya kalangan bloger dan penyelenggara jasa media di Indonesia. Secara umum, rencana pemerintah ini dikhawatirkan akan membatasi kerjakerja pemberitaan, dan mengurangi akses informasi masyarakat. Apalagi melihat kecenderungan rezim komunikasi dan informatika yang mengarah ke represif. Selain itu dalam Rancangan Peraturan tersebut Pemerintah juga berencana membentuk Tim Konten Multimedia yang akan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang lebih mirip dengan skema Badan Sensor Internet. 27 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi Jurnalis yang cukup ternama di Indonesia, bahkan berpendapat keras dengan menyatakan RPM Konten Multimedia merupakan ancaman bagi kebebasan pers, karena akan menjadi sensor 2.0, dimana ISP dapat memfilter, memblokir, dan menghilangkan 21 Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal 21 7

11 halaman yang dianggap illegal. Dijelaskan oleh AJI RPM tersebut bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945, dan Pasal 4 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. 28 Meski rencana ini ditentang banyak kalangan, namun Menteri Komunikasi dan Informatika sepertinya akan tetap mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia 29 karena adanya kasus kontes sketsa Nabi Muhammad di Facebook. 30 Namun, alih alih mencabut rencana tersebut, Menteri Kominfo malah membuat RPM Konten Multimedia tersebut menjadi dipecah dua yaitu Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Atau Pengaduan Konten Internet 31 dan Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Pemanfaatan Akses Internet di tempat umum. 32 Kedua Rancangan Peraturan Menteri itu dirancang setelah marak beredarnya video porno yang melibatkan 3 selebriti papan atas Indonesia pada 4 dan 8 Juni Selepas beredarnya video porno yang melibatkan 3 selebriti papan atas Indonesia, Kementerian Kominfo pada 10 Agustus 2010 menegaskan, bahwa pemblokiran situs pornografi internet tetap dilakukan dan untuk itu pada sore hari itu Menteri Kominfo akan menerima laporan kemajuan keberhasilan sejumlah penyelenggara ISP dalam melakukan upaya pemblokirannya. 34 Dan untuk memuluskan rencana pemblokiran tersebut Kementerian Kominfo melalui Dirjend Postel mengeluarkan Surat Edaran Plt Dirjen Postel No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tentang Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Pornografi yang sekaligus juga didistribusikan kepada 6 penyelenggara ISP yaitu Bakrie Telecom, Indosat, Indosat Mega Media, Telkom, Telkomsel, dan XL Axiata. 35 Isu pemblokiran situs internet kembali muncul ketika situs jejaring sosial facebook menampilkan lomba menggambar sketsa wajah Nabi Muhammad SAW. Beberapa kalangan umat Islam meminta kepada pemerintah untuk memblokir situs facebook. Namun pemerintah bersikap hati-hati atas desakan tersebut, karena menurut Pemerintah meski cuma berniat untuk memblokir satu konten tersebut tetapi dapat berakibat terblokir semua akses Facebook. 36 Setelah mendapatkan desakan dari kelompok Islam, perihal adanya event di facebook tentang Everybody Draw Muhammad Day, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan beberapa langkah berikut diantaranya mengirimkan surat protes kepada pengelola Facebook untuk menutup akun tersebut, memblokir address cabang account (URL) dari Everybody Draw Mohammed Day melalui massive trust di Indonesia, meminta ISP untuk ikut memblokir akun tersebut, dan mengajak Asosiasi Pengusaha Warnet Indonesia (AWARI) untuk memblokir situs tersebut. 37 Dengan munculnya Everybody Draw Muhammad Day di facebook, Menteri Kominfo berencana untuk membahas kembali RPM Konten. 38 Rencana Kemenkominfo ini langsung mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam pernyatannya AJI menyatakan bahwa desakan untuk menutup event Everybody Draw Mohammed Day, di situs jejaring sosial facebook, tidak bisa dijadikan alasan untuk mensensor, memblokir, dan memfilter internet. Ditegaskan oleh AJI 28 Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal Ibid hal 23 8

12 Kemenkominfo jangan memanfaatkan kasus halaman event di Facebook tersebut untuk mengesahkan regulasi yang anti demokrasi. 39 Semenjak munculnya kasus dua video porno yang melibatkan selebritis papan atas Indonesia yaitu Nazriel Ilham, Luna Maya, dan Cut Tari yang diunggah melalui situs Youtube pada pada 4 dan 8 Juni 2010 maka dunia internet di Indonesia kembali heboh. 40 Telah muncul beragam reaksi masyarakat, terkait dengan munculnya video tersebut, dari yang serta merta menolak keras dan meminta pemerintah bertindak tegas sampai dengan kelompok yang tak ingin video ini menjadi pemicu munculnya sensor gaya baru. Kemunculan dua video porno inipun membuat pemerintah tidak tinggal diam, sensor internet yang direncanakan oleh Pemerintah melalui RPM Konten seolah menemui momentumnya. Pada 10 Agustus 2010 pemerintah mengumumkan niatnya untuk melakukan pemblokiran situs situs yang berbau pornografi. Secara hukum, pemerintah memang mempunyai landasan untuk melakukan pemblokiran yaitu pada Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 21 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 40 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta pada Pasal 17 jo Pasal 18 huruf a UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pemerintah Indonesia saat ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan program Trust Positive (Trust+), dalam rangka menyaring muatan yang dianggap mengandung muatan pornografi. Menurut Kemenkominfoprogram ini bertujuan untuk memberikan perlindungan pada masyarakat terhadap nilai nilai etika, moral, dan kaidah kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia. Program ini menyusun sebuah pangkalan data yang berisikan Daftar Negatif laman tertentu yang dianggap mengandung konten pornografi atau tidak sesuai dengan etika dan moral bangsa (blacklist). Selain dengan melakukan pencarian dan analisis, daftar laman tersebut juga diperoleh berdasarkan pengaduan dari masyarakat. Daftar laman tersebut kemudian didistribusikan kepada para penyedia layanan (provider) untuk dilakukan pemblokiran. Program ini juga secara berkala melakukan pengecekan terhadap perkembangan situs situs yang ditutup, apakah ada perubahan konten atau tidak. Penyaringan dilakukan pula dengan mempergunakan jasa pihak ketiga, melalui sistem penyaringan berbasis DNS (domain name service). Praktik penyaringan ini dikenal dengan Nawala Project, yang diinisiasi oleh Asosiasi Warung Internet (AWARI). Proyek ini menawarkan DNS Nawala, yang dapat digunakan oleh pengguna akhir atau penyedia jasa internet. DNS Nawala melakukan penapisan situs situs yang dianggap mengandung konten negatif dan tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan budaya Indonesia, khususnya pornografi atau perjudian. Kontroversi penerapan DNS Nawala ini bersumber pada titik mana penapisan semestinya dilakukan, sebagian mendukung model penapisan dengan persetujuan pengguna akhir (end user), sehingga praktik ini memaksakan penerapan penapisan di tingkat penyedia layanan. Dalam praktik penapisan, baik yang dilakukan melaui program Trust+ maupun DNS Nawala, seringkali dijumpai pula kontroversi, yang dipicu oleh terjadinya kesalahan penapisan/pemblokiran. Kesalahan ini terjadi karena proses penyaringan dilakukan berdasarkan kata kunci yang dipersepsikan sebagai bagian dari pornografi atau konten negatif lainnya. Dalam konteks Indonesia, hal ini diperburuk dengan buruknya kualitas rumusan pornografi yang tercantum dalam UU Pornografi yang bersifat karet dan lentur, memungkinkan praktik multitafsir berlangsung. 39 Ibid hal Ibid hal 23 9

13 2. Rencana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Kebijakan Konten Tahun 2013 Sejak 2013, pemerintah melalui Kementerian kominfo memutuskan untuk kembali membuat Rancangan Permenkominfo mengenai Kebijakan Konten di Internet yang akan segera diselesaikan untuk uji publik. Rancangan yang terdiri dari 17 pasal secara ringkas memuat mengenai apa yang dikategorikan sebagai konten negatif, bagaimana peran-peran beberapa pihak mengenai konten negatif, bagaimana prosedur untuk melakukan blokir, dan prosedur normalisasinya. Draft Permen (selanjutnya disebut draft) menyatakan bahwa Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut Pemblokiran adalah aksi yang diambil untuk menghentikan masyarakat untuk mengakses informasi dari sebuah situs bermuatan negatif. Menurut draft, apa yang menjadi tujuan Peraturan Menteri ini, adalah untuk memberikan acuan bagi Pemerintah dan masyarakat terhadap pemahaman situs internet bermuatan negatif dan peran bersama dalam penanganannya; melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif dan atau merugikan. 41 Sedangkan apa yang menjadi ruang lingkup 42 draft ini adalah penentuan situs internet bermuatan negatif yang perlu ditangani; peran Pemerintah dan masyarakat dalam penanganan situs internet bermuatan negatif; tanggung jawab Penyelenggara Jasa Akses Internet dalam penanganan situs bermuatan negatif; tata cara pemblokiran dan normalisasi pemblokiran dalam penanganan situs internet bermuatan negatif 2.1. Situs Internet Bermuatan Negatif Jenis situs internet bermuatan negatif menurut draft Permen yaitu: pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya. Dimana Pornografi yang diartikan adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pengertian ini diambil sesuai dengan pengertian dalam UU Pornografi. 43 Tabel 1 Larangan konten Pengertian Pasal Pornografi gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat Pasal 4 ayat (1) Perjudian Tidak ada penjelasan Pasal 4 ayat (1) Kegiatan lainnya ilegal kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang Pasal 4 ayat (1) dan (2) 41 Lihat Pasal 2 draft 42 Lihat Pasal 3 draft 43 Lihat Pasal 1 angka 1 UU Pornografi 10

14 Sedangkan Kegiatan Ilegal lainnya diartikan sebagaimana merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Direktur Jenderal 44 menyediakan daftar alamat situs yang bermuatan negatif yang disebut TRUST + Positif. 45 Dengan daftar tersebut maka Dirjen dapat memerintahkan kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet untuk melaksanakan pemblokiran pada sisi layanan mereka mengacu kepada TRUST + Positif atau menggunakan layanan pemblokiran dari Penyelenggara Layanan Pemblokiran yang terdaftar. Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat paling sedikit situs-situs dalam TRUST + Positif 46. Trust +Positif ini haruslah diawasi dengan ketat karena daftar ini jangan sampai menimbulkan pelanggaran atas Hak informasi dari para pengguna internet Peran Pemerintah, Penyelenggara, dan Masyarakat 47 dalam Kebijakan Konten Penyelenggaraan layanan pemblokiran Penyelenggaraan layanan pemblokiran dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Penyelenggara Layanan Pemblokiran harus memiliki kriteria sekurang-kurangnya: terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik; berbadan hukum Indonesia; menempatkan pusat datanya di Indonesia; memiliki prosedur operasi yang transparan dan akuntabel. Penyelenggara Jasa Akses Internet Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang terdapat dalam TRUST + Positif. Pemblokiran dapat dilakukan sebagai berikut: pemblokiran mandiri; atau pemblokiran menggunakan layanan pemblokiran yang disediakan Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Dalam hal Penyelenggara Jasa Akses Internet tidak melakukan pemblokiran. Penyelenggara Jasa Akses Internet dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Jasa Akses Internet yang telah menjalankan pemblokiran sebagaimana maka Penyelenggara Jasa Akses Internet tersebut telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pembaruan data atas daftar baru yang masuk kedalam TRUST + Positif. Pembaharuan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1): wajib terlaksana paling sedikit 1 x seminggu untuk pembaharuan rutin; dan wajib terlaksana paling sedikit 1 x 24 jam untuk pembaharuan bersifat darurat. Peran Pemerintah dalam Pelaporan, permintaan pemblokiran Ada tiga mekanisme peran terkait konten negatif yang coba diatur dalam draft permen tersebut pertama masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk meminta pemblokiran atas muatan negatif kedua kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat meminta pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang menjadi bidang kewenangannya ketiga Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif Tata Cara Pemblokiran Prosedur bloking dan filtering konten negatif dalam draft tersebut secara umum dilakukan dengan pertama pelaporan, kedua pemberkasan, dan ketiga penempatkan ke dalam TRUST + Positif. 44 Yang di maksud dengan Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Aplikasi Informatika 45 Lihat draft Pasal 6 46 Lihat draft Pasal 7 47 Lihat draft Pasal 5 11

15 Pelaporan dari masyarakat Dalam hal Penerimaan laporan berupa pelaporan atas: situs internet bermuatan negatif; Pelaporan disampaikan oleh masyarakat kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal melalui fasilitas penerimaan pelaporan berupa aduan dan atau pelaporan berbasis situs yang disediakan; Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan darurat apabila menyangkut hak pribadi, pornografi anak, dan dampak negatif yang cepat di masyarakat dan atau permintaan yang bersifat khusus. Laporan harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; Laporan disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; Terhadap pelaporan Direktur Jenderal kemudian melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; dan penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima; Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST + Positif dalam periode pemberkasan; apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST + Positif dalam periode 1 x 12 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet Pelaporan dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah Laporan dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; Laporan tersebut disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; Terhadap pelaporan tersebut Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Kementerian/Lembaga meliputi: Direktur Jenderal memberikan peringatan melalui kepada penyedia situs untuk menyampaikan adanya muatan negatif. Dalam hal penyedia situs tidak mengindahkan peringatan dalam waktu 2 x 24 jam, maka dilakukan pemberkasan. Dalam hal tidak ada alamat komunikasi yang dapat dihubungi maka langsung dilakukan pemberkasan. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaporan diterima; Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST + Positif dalam periode pemberkasan; apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST + Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet Laporan dari Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan Laporan dilakukan dalam rangka penindakan dan penegakan hukum, dimana Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif. Laporan tersebut harus telah melalui penilaian pada Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan yang bersangkutan. Laporan disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri 12

16 daftar alamat situs dan hasil penilaian. Terhadap pelaporan Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan meliputi: Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak pelaporan diterima; Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST + Positif dalam periode pemberkasan; Apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST + Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet Prosedur Normalisasi Pengelola situs atau masyarakat dapat mengajukan normalisasi atas pemblokiran situs. Tata cara pelaporan normalisasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Draft. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; dan penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima. Apabila situs internet dimaksud bukan merupakan situs bermuatan negatif: menghilangkan dari TRUST + Positif; melakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet atas proses normalisasi tersebut; melakukan pemberitahuan (notifikasi) secara elektronik atas hasil penilaian kepada pelapor. 3. Kritik atas Rancangan Permenkominfo tentang Kebijakan Konten 3.1. Pembatasan atau Sensor terhadap Internet Harus Dilakukan Dengan Undang-Undang Sejalan dengan ketentuan Pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan juga Pasal 28 J UUD 1945, penempatan pembatasan haruslah dibuat dan diatur dengan Undang Undang. Masalah utama regulasi pembatasan konten ini adalah ketiadaan pengaturan lebih lanjut di dalam UU. Begitu luasnya pembatasan yang ada di dalam draft ini berpotensi akan melanggar berbagai hak hak yang masuk dalam kategori kebebasan atas akses informasi. Penempatan pembatasan terhadap konten dalam Rancangan Permen tersebut sudah tidak sesuai dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. 48 Pada dasarnya, pengaturan sensor internet dalam Permen tidak akan cukup mampu menampung artikulasi mengenai pengaturan mengenai sensor internet. Permen memiliki batasan-batasan pengaturan, berdasarkan UU terkait, dimana materi muatan seharusnya hanya berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan yang diatur tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. 49 Karena kebijakan sensor merupakan sebuah tindakan yang melanggar hak untuk mengakses dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan sensor internet merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya 48 Lihat Pasal 19 ayat (3) Kovenan Hak Sipol dan Pasal 28 J UUD Lihat UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 13

17 harus dilakukan dengan undang-undang. Pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya pengawasan dan legalitas dari kebijakan sensor itu sendiri. Kebijakan sensor hanya dibolehkan bilamana memenuhi bebepara pra-syarat berikut yakni adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk melakukan kebijakan sensor (apakah lewat Kejaksaan atau Putusan Pengadilan), dan kedua menekankan tentang perlunya sebuah Undang - Undang yang secara khusus mengatur kebijakan sensor di internet pada umumnya, hingga tata cara sensor internat untuk masing-masing lembaga yang berwenang sesuai undang-undang yang sah Pembatasan Konten Harus terkait dengan Penegakan Hukum Pidana Pengaturan mengenai pembatasan konten, harus selalu dikaitkan dengan konteks penegakan hukum, khususnya yang terkait dengan hukum pidana. Tanpa keterkaitan dengan penegakkan hukum, maka praktik pemblokiran dan penyaringan konten Internet sangat rawan disalah gunakan. Sebagai contoh, pengertian konten negatif dalam Rancangan Permen ini norma pengaturannya yang tidak pasti, persisten secara akurat. Cakupan konten dalam Rancangan Permen ini walaupun di kategorisasikan dalam 3 varian, sebetulnya sangat luas. Konten pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya yang di maksud dalam Rancangan Permen tersebut multi intrepretasi. Pengertian pornografi yang dimaksud membutuhkan kepastian hukum yang ketat mengenai apa yang di maksud dalam draft ini sebagai yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.. pengertian ini sangat luas bahkan lebih luas dari maksud UU Pornografi sekalipun. Pengertian pornografi dalam Rancangan Permen ini tidak sesuai dengan UU Ponografi yang memuat tambahan elemen penting yakni yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak. Tabel 2 Larangan konten Pengertian Catatan Pornografi gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat 1. Pengertian pornografi ini tidak sesuai dengan UU Pornografi yang memuat tambahan elemen penting yakni yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak. 2. Pengertian ini harus di susun secara presisi agar tidak menimbulkan penafsiran tunggal. 3. Memposisikan sebuah konten adalah negatif atau tidak sebaiknya dengan putusan pengadilan atau badan sensor muatan yang dibentuk berdasarkan UU. 4. Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet, Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law. 14

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Perlindungan HAM dalam berinternet Resolusi 20/8 yang dikeluarkan oleh Dewan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Semenjak awal, perdebatan mengenai internet dan hak asasi manusia mengerucut pada isu kesenjangan akses dan upaya penciptaan regulasi untuk membatasi atau mengontrol penggunaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:

Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut: TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (KOMINFO) TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF Diajukan kepada: Direktorat e Business, Direktorat

Lebih terperinci

Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia

Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia Oleh Teguh Arifiyadi (Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC) Kebijakan Internet Censorship di Indonesia Penetrasi pertumbuhan internet di Indonesia dapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ 2010. TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELAPORAN ATAU PENGADUAN KONTEN INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5952 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

15 Februari apa isi rpm konten

15 Februari apa isi rpm konten 15 Februari 2010 http://www.detikinet.com/read/2010/02/15/125757/1299704/399/seperti apa isi rpm konten MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum berfungsi untuk mengatur seluruh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan elektronik, seperti internet, buku, dan surat kabar, saat ini mempunyai pengaruh yang sangat luas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

(USULAN) Tata Cara Kerja 1. Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 2

(USULAN) Tata Cara Kerja 1. Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif 2 (USULA) Tata Cara Kerja 1 Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan egatif 2 Draft per tanggal 1 Maret 2016 1 Draft ini disusun untuk penguatan prosedur penanganan konten negatif yang diterbitkan oleh

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, Konsultasi Publik RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYEDIAAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU KONTEN MELALUI INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bangsa Indonesia sejak lama di kenal sebagai Bangsa yang memiliki Adat Istiadat yang serba sopan dan moral yang sopan. Walaupun demikian ternyata budaya atau kepribadian Indonesia semakin

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.251, 2016 KOMUNIKASI. INFORMASI. Transaksi. Elektronik. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RESTRICTED DOCUMENT PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika 1 DASAR HUKUM PENANGANAN KONTEN NEGATIF SAAT INI 1. Amanat Pasal 40 Undang-undang

Lebih terperinci

TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK

TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK Diajukan kepada: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Oleh Asep Mulyana Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern,

Lebih terperinci

http://www.warungbaca.com/2016/12/download-undang-undang-nomor-19-tahun.html UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. Beragam agama, ras, suku bangsa, dan berbagai golongan membaur menjadi satu dalam masyarakat.

Lebih terperinci

CERDAS ber-media SOSIAL SERI DIGITAL LITERASI RELAWANTIK INDONESIA

CERDAS ber-media SOSIAL SERI DIGITAL LITERASI RELAWANTIK INDONESIA CERDAS ber-media SOSIAL SERI DIGITAL LITERASI RELAWANTIK INDONESIA KOMPOSISI PENGGUNA INTERNET 132,7 JUTA 24% 25-34 29% 35-44 28% > 45 7.8% PEMULA 16.2% IBU RT 62% PRODUKTIF 20,8 SUMATERA 7,7 KALIMANTAN

Lebih terperinci

Kebijakan Privasi (Privacy Policy)

Kebijakan Privasi (Privacy Policy) Halaman 1 Kebijakan Privasi (Privacy Policy) Tanggal perubahan terakhir: 18 Mei 2017 Mitrateladan.org merupakan layanan yang memberikan informasi secara umum dan khusus kepada anggota, dan menjadi aset

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over

1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Kepada Yang Kami Hormati 1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over the Top) 2. Para Penyelenggara Telekomunikasi SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang cukup besar

Lebih terperinci

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan

Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan 1 Pokok-pokok Isi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan I.PENDAHULUAN Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan. Anak. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYEDIAAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU KONTEN MELALUI INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

DRAFT KEBIJAKAN PENANGANAN KELUHAN

DRAFT KEBIJAKAN PENANGANAN KELUHAN DRAFT KEBIJAKAN PENANGANAN KELUHAN PENGELOLA NAMA DOMAIN INTERNET INDONESIA Icon Business Park Unit L1-L2 BSD City Tangerang, Indonesia 15345, Indonesia. www.pandi.id Judul: Kebijakan Penanganan Keluhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX (BACA, TELITI, DAN KONFIRMASI : BUDAYAKAN BIJAK DALAM LITERASI) Madiunkota.go.id Pemerintah Kota Madiun LPPL Radio Suara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA

MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA MAKALAH UU ITE DI REPUBLIK INDONESIA Oleh : Agung Trilaksono / 2110121017 Adi Nugroho H.Q / 2110121022 POLITEKNIK ELEKTRONIKA NEGERI SURABAYA TEKNIK INFORMATIKA 2015-2016 UU ITE di Republik Indonesia BAB

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

Syarat dan Ketentuan Layanan Loketraja.com. (Terms and Conditions)

Syarat dan Ketentuan Layanan Loketraja.com. (Terms and Conditions) Syarat dan Ketentuan Layanan Loketraja.com (Terms and Conditions) Pemberitahuan 1. Perusahaan menyampaikan pemberitahuan kepada Anda melalui e-mail / sms notifikasi mengenai pemberitahuan umum di website

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE I. PEMOHON Muhammad Habibi, S.H., M.H., Kuasa Hukum Denny

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KAMPANYE PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

Rilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum

Rilis Pers Bersama. Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum Rilis Pers Bersama Perppu Ormas Ancaman bagi Demokrasi dan Negara Hukum Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang

Lebih terperinci

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.Pornografi adalah materi

Lebih terperinci

PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN TENTANG RUANG LINGKUP TUGAS ID-SIRTII

PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN TENTANG RUANG LINGKUP TUGAS ID-SIRTII PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN TENTANG RUANG LINGKUP TUGAS ID-SIRTII 1. Apa fungsi dan peran ID-SIRTII? Indonesia Security Incident Response Team on Information Infrastructure (disingkat ID-SIRTII) dibentuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR. PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR. PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI PENGGUNAAN JASA TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNOFFICIAL TRANSLATION

UNOFFICIAL TRANSLATION UNOFFICIAL TRANSLATION Prinsip-prinsip Siracusa mengenai Ketentuan Pembatasan dan Pengurangan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Annex, UN Doc E / CN.4 /

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kepada Yang Terhormat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Jakarta Perkenankan kami: 1. Anggara

Lebih terperinci

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia Oleh : Erasmus A. T. Napitupulu Institute for Criminal Justice Reform Pengantar Penyadapan merupakan alat yang sangat efektif dalam

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PORTAL DAN SITUS WEB BADAN PEMERINTAHAN

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PORTAL DAN SITUS WEB BADAN PEMERINTAHAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PORTAL DAN SITUS WEB BADAN PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19 Kemerdekaan Berekspresi terutamanya kemerdekaan berpendapat memiliki sejumlah alasan menjadi kenapa salah satu hak yang penting dan menjadi indikator terpenting dalam menentukan seberapa jauh iklim demokrasi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

DRAFT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR :.. TAHUN.. TENTANG PENGAMANAN PEMANFAATAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI BERBASIS PROTOKOL INTERNET

DRAFT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR :.. TAHUN.. TENTANG PENGAMANAN PEMANFAATAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI BERBASIS PROTOKOL INTERNET DRAFT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR :.. TAHUN.. TENTANG PENGAMANAN PEMANFAATAN JARINGAN TELEKOMUNIKASI BERBASIS PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

2018, No telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tr

2018, No telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Tr No.45, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Penyelenggaraan TIK. PERATURAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

Ketentuan Penggunaan. Pendahuluan

Ketentuan Penggunaan. Pendahuluan Ketentuan Penggunaan Pendahuluan Kami, pemilik Situs Web ecosway (yang termasuk situs Web ecosway) telah menetapkan ketentuan ketentuan yang selanjutnya di sini disebut ("Ketentuan Penggunaan") sebagai

Lebih terperinci

RPM Konten, banyak Bermasalah

RPM Konten, banyak Bermasalah RPM Konten, banyak Bermasalah Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam beberapa tahun terakhir telah menyiapkan rancangan Peraturan Menteri mengenai Konten Multimedia. Aturan ini mengatur jenis jenis

Lebih terperinci

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana III. Pengaturan Ujaran Kebencian Indonesia memiliki aturan hukum yang melarang ujaran kebencian dan menetapkan sanksi pidana bagi pelakunya. Aturan tersebut memang belum ideal dan masih memerlukan revisi.

Lebih terperinci

7. Hak Cipta Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Hak Cipta Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pedoman Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.

Lebih terperinci

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE Pertemuan 5 Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE 4. Celah Hukum Cybercrime I. Cyberlaw Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar dan seakan akan dunia adalah sebuah kampung kecil yang telah

BAB I PENDAHULUAN. besar dan seakan akan dunia adalah sebuah kampung kecil yang telah BAB I PENDAHULUAN 5.3 Latar Belakang Dunia pada jaman sekarang ini telah mengalami berkembangan yang begitu besar dan seakan akan dunia adalah sebuah kampung kecil yang telah dikonseptualisasikan oleh

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PRINSIP PRIVASI UNILEVER

PRINSIP PRIVASI UNILEVER PRINSIP PRIVASI UNILEVER Unilever menerapkan kebijakan tentang privasi secara khusus. Lima prinsip berikut melandasi pendekatan kami dalam menghormati privasi Anda. 1. Kami menghargai kepercayaan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat dalam diri manusia sejak lahir. Salah satu tokoh yang hidup pada tahun

Lebih terperinci

AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK

AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK Index: ASA 21/1381/2015 7 April 2015 Indonesia: Dua perempuan divonis bersalah di bawah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena postingannya di media

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU No.547, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPR-RI. Kode Etik. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN

Lebih terperinci

Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET

Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DALAM SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN NOMOR PROTOKOL INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK

Lebih terperinci