EMERGENCY SAFEGUARD MEASURES (ESM) SEBAGAI JARING PENGAMAN KEBIJAKAN LIBERALISASI SEKTOR JASA Oleh : Tim Perbankan dan Enquiry Point

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EMERGENCY SAFEGUARD MEASURES (ESM) SEBAGAI JARING PENGAMAN KEBIJAKAN LIBERALISASI SEKTOR JASA Oleh : Tim Perbankan dan Enquiry Point"

Transkripsi

1 EMERGENCY SAFEGUARD MEASURES (ESM) SEBAGAI JARING PENGAMAN KEBIJAKAN LIBERALISASI SEKTOR JASA Oleh : Tim Perbankan dan Enquiry Point Pendahuluan Apabila perkembangan negosiasi perdagangan sektor jasa dalam forum World Trade Organization (WTO) yang masih berlangsung sampai saat ini diamati secara cermat, maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang sangat elementer yang mungkin masih sering terjadi dalam sistem perdagangan tradisional, yaitu terbentuknya blokblok perdagangan antara negaranegara maju (developed countries) di satu sisi serta negara-negara berkembang (developing countries) dan negara-negara miskin (leastdeveloped countries/ldcs) di sisi lain. Latar belakang terciptanya blok-blok semacam ini dipicu oleh perbedaan kepentingan yang mendasar di antara negara-negara tersebut. Negara maju yang memiliki keuntungan komparatif dari segi kemampuan ekonomi dan kapabilitas sumber daya manusia serta penguasaan riset dan teknologi, terkesan memaksa negara-negara berkembang dan negara-negara miskin untuk membuka pasar secara agresif sehingga memungkinkan negara-negara maju untuk mengakses pasar secara masif. Sebaliknya negara-negara berkembang dan miskin terlihat lebih defensif dan berusaha menghindar dalam membuka pasar secara lebih jauh sesuai dengan kehendak negara-negara maju. Permintaan pembukaan akses pasar kepada negara-negara maju hanya sebatas pada mode 4 (presence of natural persons), terutama untuk tenaga kerja yang berketrampilan menengah dan rendah. 1 Ungkapan kekecewaan ini secara terang benderang mengemuka dalam meja perundingan pada Council on Trade in Services (CTS) Special Session (SS) dalam Cluster of Meetings untuk perdagangan sektor jasa pada bulan Juni-Juli 2005 di Geneva. Masing-masing kubu mengungkapkan kekecewaan terhadap perkembangan initial offer 1 Sebagai contoh, tenaga kerja yang diunggulkan untuk diekspor ke negara-negara maju antara lain perawat (baik perawat kesehatan maupun perawat orang-orang jompo), teknisi di bidang energi dan sumber daya mineral, pelatih silat dan pelatih bulutangkis, serta ahli dalam perawatan tubuh/spa. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

2 maupun revised offer. Negara-negara maju lebih menginginkan adanya akses pasar yang lebih terbuka untuk sektor-sektor yang telah lama menjadi incaran seperti telekomunikasi, distribusi dan computer & related services yang dari sisi pandang negara-negara berkembang merupakan sektorsektor yang sensitif apabila dikaitkan dengan national objective masing-masing negara. Situasi ini semakin kompleks dengan belum tercapainya kesepakatan dalam negosiasi mengenai isu Emergency Safeguard Measures (ESM) yang diusulkan ASEAN 2. Pembahasan isu ini pada level multilateral telah hampir mencapai 10 tahun sejak terbentuknya Working Party on GATS Rules tahun Sampai saat ini ASEAN tetap bersikukuh bahwa negara-negara berkembang sangat membutuhkan ESM sebagai jaring pengaman (safety net) dalam melakukan pengamanan terhadap national objective yang mungkin akan terganggu sebagai implikasi dari pemberian komitmen dalam Schedule of Specific Commitment (SOC). Bahkan ASEAN dan beberapa negara berkembang 2 Negara anggota ASEAN yang dimaksudkan di sini adalah seluruh anggota ASEAN yang telah menjadi anggota WTO minus Singapore, yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines, dan Thailand. Singapore sama sekali tidak mendukung proposal ASEAN mengenai ESM. Hal ini dapat dimaklumi karena terdapat banyak investasi Singapore di luar negeri. Apabila ESM diterapkan maka investasi ini akan menjadi terancam eksistensinya. mengkaitkan isu ESM dengan negosiasi akses pasar. Akibat alotnya perundingan mengenai isu ESM ini, maka deadline pembahasan ESM yang dimandatkan oleh GATS telah berkali-kali diperpanjang sehingga statusnya saat ini adalah open-ended. Tulisan ini mencoba menggambarkan secara singkat posisi masing-masing kubu terhadap isu ESM dengan argumentasinya masing-masing. Pengaturan ESM dalam GATS ESM diatur dalam Article X GATS yang memberikan mandat kepada negara anggota WTO untuk melakukan negosiasi on the question mengenai ESM dan menegaskan bahwa result shall enter into effect dalam 3 tahun (yaitu tahun 1998). Article X tersebut secara lengkap berbunyi : (1) There shall be multilateral negotiations on the question of emergency safeguard measures based on principle of nondiscrimination. The results of such negotiations shall enter into effect on a date not later than three years from the date of entry into force of the WTO Agreement. (2) In the period before the entry into effect of the results of the negotiations referred to in paragraph 1, any Member may, notwithstanding the provisions of paragraph 1 of Article XXI, notify BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 27 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

3 the Council of Trade in Services of its intention to modify or withdraw a specific commitment after a period of one year from the date on which the commitment enters into force; provided that the Member shows cause to the Council that the modification or withdrawal cannot await the lapse of the three-year period provided for in paragraph 1 of Article XXI. (3) The provisions of paragraph 2 shall cease to apply three years after the date of entry into force of the WTO Agreement. Ditegaskan pula bahwa negosiasi mengenai ESM harus didasarkan pada principle of nondiscrimination. 3 Negosiasi multilateral mengenai ESM menjadi lebih rumit dan memakan waktu yang panjang lebih diakibatkan perbedaan penafsiran mengenai isi Article X tersebut. European Communities (EC), misalnya, menyatakan bahwa frasa on the question of ESM terkait dengan permasalahan mengenai feasibility and desirability 4 dari ESM. Apabila kedua unsur tersebut tidak dapat dibuktikan secara konkrit maka permasalahan mengenai ESM tetap 3 Prinsip ini ditafsirkan sebagai prinsip mostfavored-nation (MFN) yang tidak membedakan diantara sesama penyedia jasa asing yang masuk ke suatu negara anggota WTO. 4 Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada sub topik berikutnya di belakang. mengemuka. Di samping itu perlu juga dilakukan pemahaman yang lebih mendalam mengenai cakupan mandat yang diberikan oleh Article X. Penyusunan suatu safeguard measures harus didasarkan pada situasi yang bersifat emergency, yaitu suatu kejadian/keadaan yang extraordinary yang tidak dapat diprediksi sebelumnya atau lebih dikenal dengan unforeseen development. Keadaan dimaksud bukan disebabkan oleh adanya peningkatan volume perdagangan (impor) atau situasi yang kompetitif antara penyedia jasa asing dan domestik. Mandat Article X juga tidak dimaksudkan untuk menciptakan general exemption baru dalam GATS atau untuk melakukan structural adjustment 5 atau pula melindungi infant industry. 6 Argumentasi untuk melakukan proteksi terhadap infant industry justru didasarkan pada suatu pelanggaran terhadap keuntungan komparatif yang akan diperoleh di masa yang akan datang dan tidak berkaitan dengan memburuknya kondisi pasar dalam negeri. Oleh karena itu situasi yang emergency 5 Istilah ini seringkali digunakan dalam negosiasi mengenai ESM. Artinya kurang lebih merupakan suatu upaya pemulihan struktural terhadap penyedia jasa domestik yang mengalami luka serius (serious injury) yang diakibatkan kehadiran penyedia jasa asing di dalam negeri sebagai konsekuensi logis dari dibukanya akses pasar di dalam negeri. 6 Menurut EC, general exemptions telah diatur secara tegas dalam Article XIV dan XIV bis GATS sedangkan Article XXI telah memberikan prosedur bagi negara anggota WTO yang ingin menarik/memodifikasi (secara permanen) seluruh atau sebagian komitmen yang telah di-tabled. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 28 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

4 lebih terkait dengan pergerakan modal yang mengakibatkan luka serius pada neraca pembayaran atau kebijakan moneter dari negara anggota. Article XII GATS memberikan solusi terhadap serious balance-of payments and external financial difficulties or threat thereof, sedangkan pergerakan modal yang menyebabkan kesulitan pada kebijakan moneter tidak menjadi cakupan GATS karena Annex on Financial Services mengecualikan kegiatan yang dilakukan oleh bank sentral, otoritas moneter atau lembaga publik yang melakukan fungsi mengatur kebijakan moneter atau nilai tukar. Dengan sisi pandang sebaliknya, ASEAN 7 berpendapat bahwa ESM merupakan segala tindakan yang diambil oleh suatu negara anggota terhadap suplai atau konsumsi jasa dari negara anggota lain dengan pertimbangan untuk melakukan withdrawal sementara pada komitmen yang telah dibuat dengan tujuan menyelamatkan dan sekaligus memproteksi industri domestik terhadap serious injury atau ancaman sejenis. Oleh karena itu ESM pada perdagangan sektor barang sebagaimana diatur dalam Agreement on Safeguard masih relevan untuk diterapkan terhadap perdagangan sektor jasa dengan berbagai penyesuaian. Serious injury digambarkan sebagai gangguan yang signifikan terhadap posisi industri domestik, sedangkan ancaman sejenis didefinisikan sebagai serious injury yang bersifat imminent. Perkembangan mengenai ESM Negosiasi Untuk mendukung pandangan tersebut di atas, ASEAN telah mencoba mengajukan contoh konkrit berupa Shangri-la case yang sebetulnya sangat konkrit dan realistis, namun tetap tidak dapat diterima oleh negara maju. Kasus Shangri-la mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa ESM dibutuhkan oleh negara-negara berkembang dan LDCs. Shangri-la digambarkan sebagai suatu negara berkembang agraris yang sebagian besar penduduknya tinggal di desa-desa terpencil. Sebagian besar para pekerja merupakan pekerja kasar (low-skilled labor) pada sektor retail yang bekerja secara part-time dan persentase jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria. Struktur distribusi, seperti halnya di US pada awal abad ke-20, didominasi oleh general stores yang berlokasi di kota-kota kecil. General stores semacam ini memiliki peranan yang sangat penting karena selain berfungsi sebagai pemberi kerja, juga merupakan penyedia bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya. Pada saat Shangri-la BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 29 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

5 membuka akses pasarnya untuk sektor distribusi baik wholesale maupun retail sesuai dengan tuntutan liberalisasi, maka dalam beberapa bulan jagoan jaringan retail modern milik asing menyerbu seluruh kota kecil di Shangri-la dan memberikan dampak yang buruk secara terhadap eksistensi dari general stores sebagai industri domestik. Akibat selanjutnya yang dapat dibayangkan setelah dilakukan full liberalisation adalah bangkrutnya general stores tersebut yang menimbulkan pengangguran yang luar biasa. Sebagai kesimpulan, ESM sebagai jalan keluar sangat dibutuhkan untuk mengatasi hal ini. Beberapa aspek yang menarik dari proposal yang dikemukakan oleh ASEAN adalah : 1. Kondisi Berlakunya ESM a. ESM hanya berlaku apabila terdapat suatu situasi yang bersifat emergency sebagai akibat dari peningkatan suplai atau konsumsi suatu jasa asing yang selanjutnya menimbulkan serious injury atau ancaman yang menyebabkan serious injury terhadap industri domestik yang melakukan suplai berupa like or directly competitive services. 8 8 Konsep ini persis sama dengan konsep like or directly competitive product yang diatur dalam Agreement on Safeguard yang berlaku bagi barang. b. ESM hanya berlaku dalam periode waktu tertentu untuk mencegah atau melakukan remedy terhadap serious injury atau ancamannya dan untuk memfasilitasi adjustment terhadap industri domestik. 9 c. ESM hanya berlaku setelah dilakukan investigasi oleh otoritas yang berwenang, yang dalam hal ini adalah CTS. 2. Elemen ESM a. MFN dimana ESM berlaku secara MFN untuk mengakomodasi principle of non-discrimination sebagaimana diatur dalam Article X GATS. b. Limited window of time dan limited duration sebagaimana telah disebutkan pada butir 1 b di atas. c. Acquired rights, yaitu hak-hak yang diperoleh penyedia jasa asing, khususnya bagi mode 3 yaitu commercial presence. ASEAN berpendapat bahwa dalam cakupan acquired rights, termasuk pula expansionary rights, yaitu hak untuk melakukan ekspansi yang berpotensi menambah parahnya suatu serious injury. 9 Untuk periode waktu ini dikenal konsep limited window of time dimana ESM di-applied untuk berlaku yang dihitung sejak berlakunya komitmen suatu negara dalam SOC serta konsep limited duration, yaitu berapa lama ESM diberlakukan. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 30 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

6 Kritik negara maju lebih banyak ditujukan kepada elemen ini karena dirasakan tidak menjamin kepastian hukum (legal certainty dan predictability). 3. Pengertian dari industri domestik diserahkan pada kebijakan masing-masing negara anggota untuk mengaturnya mengingat agak sulit untuk memperoleh satu definisi yang berlaku secara multilateral. 4. Special and Differential (S&D) Treatment diberlakukan terhadap sektor jasa yang disuplai oleh negara berkembang dalam pemberlakuan ESM mengingat hampir sebagian besar negara berkembang sangat tergantung pada mode 4, yaitu presence of natural persons. Oleh karena itu quantitative restriction terhadap mode 4, misalnya, dikecualikan dari pemberlakuan ESM. 5. Berbeda dengan ketentuan Article XXI GATS mengenai Modification of Schedules yang mengharuskan adanya kompensasi kepada affected member karena bersifat permanen, ASEAN mengusulkan agar kompensasi ditiadakan dalam pemberlakuan ESM mengingat ESM diberlakukan sementara. 6. ESM tidak hanya berlaku terhadap mode 1 : cross border supply sebagaimana halnya yang berlaku terhadap sektor barang, melainkan berlaku pula bagi semua modes of supply mengingat karakteristik sektor jasa yang berbeda dengan sektor barang. Terhadap pendapat ASEAN tersebut di atas, negara-negara maju yang dipelopori oleh US, EC dan Japan menyatakan bahwa hal penting yang menjadi syarat mutlak untuk memberlakukan ESM adalah pemenuhan unsur desirability dan feasibility. Unsur desirability menghendaki penjelasan mengenai mengapa ESM dibutuhkan, kapan ESM dibutuhkan, siapa yang diproteksi, proteksi terhadap siapa, diproteksi dengan cara apa dan kepada siapa ESM akan diberlakukan. Aspek teknis dan modal application dari ESM harus dijawab untuk memenuhi unsur feasibility. Kasus Shangri-la masih belum menggambarkan secara konkrit kedua unsur tersebut Pada dasarnya pendapat negara maju ini masih sangat debatable karena dalam lapangan hukum perdata (internasional) pun dikenal dengan konsep force majeure/hardship atau keadaan memaksa yang membenarkan debitor untuk tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian apabila hal tersebut terjadi akibat adanya unforeseen event. Artinya debitor tidak dapat dianggap default atau wanprestasi dan kemudian dituntut ganti kerugian jika hal itu disebabkan oleh suatu keadaan memaksa yang terjadi di luar kontrol para pihak serta tidak dapat dihindari walaupun dengan the best effort sekalipun. Disamping itu pula ternyata emergency-type measures untuk sektor jasa sebenarnya telah diatur dalam beberapa SOC negara maju seperti Japan dan Bulgaria serta dalam beberapa regional trade arrangement (RTA) seperti NAFTA dan EFTA sehingga menambah kesan bahwa negara maju tidak konsekuen dalam memandang proposal ASEAN mengenai ESM. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 31 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

7 Disamping itu perlu dilakukan semacam national interest test, termasuk economic interest test. Menurut negara maju, proposal ASEAN mengenai ESM cenderung menitikberatkan pada aspek political economy sebagai pembenaran untuk memberlakukan ESM, yaitu untuk mempertanggungjawabkan kepada konstituen dalam negeri terhadap kebijakan liberalisasi yang telah diambil, disamping ESM sebagai katup pengaman untuk melindungi industri domestik terhadap serious injury sehingga akan mendorong konstituen untuk mendukung lebih lanjut kebijakan Pemerintah dalam meliberalisasi akses pasar secara lebih otonomi (autonomous liberalization). Negara maju mengganggap national interest test perlu dilakukan terhadap konsumen domestik dari penyedia jasa asing yang cenderung berpandangan bahwa kebijakan ESM tidak menguntungkan dari aspek competition policy karena menghambat konsumen untuk melakukan pilihan terhadap penyedia jasa yang lebih berkualitas dan lebih murah serta secara kuantitas akan mengurangi jumlah pilihan tersebut. 11 Selain itu juga diingatkan bahwa 11 Permintaan negara maju agar negara proponen ESM melakukan full liberalization, termasuk binding on status quo (existing regulations yang biasanya lebih liberal) terlebih dahulu baru kemudian mengajukan ESM sangatlah tidak realistis. Dengan kondisi asymmetric playing field akan sulit bagi industri domestik di negara berkembang dan LDCs untuk bertempur dengan penyedia jasa asing dalam kondisi full liberalization dengan iklim fairly competitive sekalipun. apabila ESM diterapkan maka sudah dapat dipastikan bahwa akan terjadi penarikan investasi besar-besaran oleh investor asing sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran dan penurunan pendapatan di sektor pajak. Barangkali satu hal yang perlu difikirkan oleh ASEAN sebagai negara proponen dari ESM adalah pendapat negara maju mengenai kolektibilitas data yang konkrit dan komprehensif untuk perdagangan sektor jasa. Berbeda halnya dengan data perdagangan sektor barang, memang secara jujur perlu diakui bahwa secara faktual, sebagian negara-negara berkembang memiliki keterbatasan untuk menyediakan data dimaksud. Tersedianya data yang konkrit dan komprehensif merupakan suatu keharusan untuk memberlakukan ESM karena diperlukan terutama untuk menghitung peningkatan suplai atau konsumsi yang mengakibatkan terjadinya serious injury. Oleh karena itu data tersebut perlu dipersiapkan dan secara komprehensif mencakup keseluruhan modes of supply. Suatu kritik yang cukup tajam adalah pandangan negara maju bahwa ESM sebenarnya tidak diperlukan karena yang cukup dilakukan negara anggota WTO adalah regulatory and implementation framework tanpa mengutak-atik komitmen yang telah diberikan. Disamping itu terdapat banyak fleksibilitas yang ditawarkan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 32 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

8 oleh GATS untuk mengatasi keadaan yang emergency. Fleksibilitas tersebut adalah prudential carve-out yang diatur oleh Annex on Financial Services yang berarti komitmen yang dibuat dapat disimpangi bahkan ditarik kembali dengan alasan untuk melaksanakan prudential principles sesuai dengan international standards atau best practices. Selain itu juga dapat menggunakan ketentuan dalam Article XII GATS mengenai Restrictions to Safeguard the Balance of Payments yang memberikan kesempatan kepada negara anggota untuk menerapkan pembatasan-pembatasan (restrictions), termasuk terhadap transaksi pembayaran dan transfer terkait dengan komitmen yang telah diberikan apabila komitmen dimaksud telah menyebabkan negara tersebut mengalami kesulitan neraca pembayaran dan keuangan eksternal. Article XXI GATS mengenai Modification of Schedules sebagaimana telah disinggung di atas juga dapat digunakan sebagai fleksibilitas. Dikemukakan pula bahwa Article IX Marakesh Agreement Establishing WTO mengenai Decision Making dapat digunakan pula sebagai safeguard untuk menarik kewajiban yang dikenakan kepada suatu anggota WTO. Namun demikian pemanfaatan ketentuan yang lebih dikenal dengan waiver clause ini menjadi lebih rumit karena harus memperoleh keputusan dari Ministerial Conference secara konsesnsus. Bila konsensus tidak tercapai, maka diperlukan suara sebanyak ¾ anggota WTO. Terhadap pendapat negara maju tersebut sebetulnya perlu dikemukakan beberapa tanggapan. Pertama, ESM sebetulnya merupakan upaya terakhir (the last recourse) dalam menanggulangi serious injury dan dalam rangka melakukan structural adjustment apabila seluruh fleksibilitas yang ditawarkan GATS ternyata tidak ampuh. Kedua, ESM sangat berbeda dengan Article XXI GATS karena ESM bersifat sementara, sedangkan Article XXI merupakan modifikasi secara permanen. Ketiga, penggunaan waiver clause menjadi tidak efektif dalam menanggulangi serious injury karena terlalu panjangnya prosedur administratif yang ditempuh oleh negara yang akan mengajukan ESM, sedangkan structural adjustment harus segera dilakukan. 12 Strategi Negosiasi ke Depan Pada prinsipnya strategi negosiasi negara anggota ASEAN sebagai 12 Dapat dibayangkan apabila Indonesia mengalami kembali krisis keuangan seperti yang melanda Indonesia pada tahun 1997 sebagai akibat dari pemberian komitmen di sektor keuangan dan upaya yang harus ditempuh (dengan tidak adanya ESM) adalah Ministerial Conference yang diadakan sekali dalam 2 tahun. Padahal krisis keuangan tersebut harus segera ditangani karena pasti memberikan implikasi buruk yang sangat luas terhadap seluruh sendi kehidupan. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 33 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

9 negara proponen ESM yang mengaitkan isu ESM dengan negosiasi mengenai akses pasar saat ini perlu dipertahankan dengan teguh karena secara kodrati terdapat asymmetric playing field antara penyedia jasa dari negara maju dan penyedia jasa dari negara berkembang serta LDCs. Namun demikian dalam menghadapi negosiasi khususnya mengenai ESM, beberapa crash programs perlu segera dilakukan secara simultan termasuk mempersiapkan data yang komprehensif menyangkut perdagangan sektor jasa serta melakukan penguatan industri domestik sebelum dilakukan full liberalization. Pada sub-sektor perbankan, usaha penguatan kelembagaan bank domestik secara progresif melalui Arsitektur Perbankan Indonesia perlu diapresiasi mengingat tujuan akhir dari usaha tersebut pastilah untuk mempersiapkan, dengan meminjam istilah sepakbola, kekuatan kesebelasan Persib Maung Bandung sebelum bertanding melawan kesebelasan Manchester Red Devils United di Liga Indonesia. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 10 PENANAMAN MODAL TERKAIT PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM KERANGKA WTO (THE TRADE RELATED INVESTMENT MEASURES-TRIMs) A. Agreement on Trade

Lebih terperinci

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI BAHAN KULIAH PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN INVESTASI Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 HUBUNGAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008

BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2008 BAHAN KULIAH HUKUM PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Jl. BungaAsoka Gg. AndalasNo. 1 AsamKumbang, Medan Cellphone : 0813 62260213, 77729765 E-mail

Lebih terperinci

CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA)

CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA) CROSS-CUTTING ISSUES ANTARA SERVICES CHAPTER DAN INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (FTA/EPA/CEPA) HERLIZA DIREKTUR PERUNDINGAN PERDAGANGAN JASA DITJEN KERJA SAMA PERDAGANGAN

Lebih terperinci

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama Hanif Nur Widhiyanti, S.H.,M.Hum. Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya TidakterlepasdarisejarahlahirnyaInternational Trade Organization (ITO) dangeneral

Lebih terperinci

LIBERALISASI PERDAGANGAN. Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global. Urip Sedyowidodo

LIBERALISASI PERDAGANGAN. Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global. Urip Sedyowidodo LIBERALISASI PERDAGANGAN JASA TENAGA KERJA Pengembangan SDM Kompeten Menghadapi Pasar Global Urip Sedyowidodo 1 ASEAN Mutual Recognition Arrangement Pada tgl.19 November 2007, negara-negara ASEAN menandatangani

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Persetujuan Pembimbing... ii Halaman Pengesahan Skripsi... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vii Kutipan Undang-Undang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia

Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Sambutan oleh: Ibu Shinta Widjaja Kamdani Ketua Komite Tetap Kerjasama Perdagangan Internasional Kadin Indonesia Disampaikan Pada Forum Seminar WTO Tanggal 12 Agustus 2008 di Hotel Aryaduta, Jakarta Kepada

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION Oleh : A.A. Istri Indraswari I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Protection

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi hal yang wajar apabila perkembangan peradaban manusia membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era perdagangan global yang

Lebih terperinci

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013

KESEMPATAN KERJA PERDAGANGAN. Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Jakarta, 5 Juli 2013 KESEMPATAN KERJA MENGHADAPI LIBERALISASI PERDAGANGAN Rahma Iryanti Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Jakarta, 5 Juli 2013 1 MATERI PEMAPARAN Sekilas mengenai Liberalisasi Perdagangan

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL

LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL LAPORAN AKHIR ANALISIS KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN SAFEGUARD MEASURES PADA PERDAGANGAN JASA INTERNASIONAL PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) BAHAN KULIAH PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO) Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 PRINSIP-PRINSIP

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION AMONG THE GOVERNMENTS OF THE MEMBER COUNTRIES OF

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009

SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 BAHAN KULIAH WORLD TRADE ORGANIZATION Prof. Sanwani Nasution, SH Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA USU MEDAN 2009 SEJARAH TERBENTUKNYA GATT (1) Kondisi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Perdagangan internasional merupakan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI

ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI ARAH KEBIJAKAN NASIONAL DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL PERDAGANGAN JASA DAN INVESTASI FGD PEMBAHASAN CROSS-CUTTING ISSUES PADA INVESTMENT CHAPTER DALAM PERJANJIAN FTA Medan, 10 Desember 2015 Staf Ahli

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : AKUNTAN PUBLIK ASING DALAM KERANGKA GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES Chaerul Tri Rizki*, FX Joko Priyono Darminto Hartono P. Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro E-mail

Lebih terperinci

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA

KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA KEDUDUKAN BILATERAL INVESTMENT TREATIES (BITs) DALAM PERKEMBANGAN HUKUM INVESTASI DI INDONESIA LATIF, BIRKAH Pembimbing : Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., Msi INTERNATIONAL LAW ; INVESTMENT, FOREIGN KKB

Lebih terperinci

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian Presented by: M Anang Firmansyah IMF Dana Moneter Internasional adalah Salah satu badan khusus dalam system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS ATAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI PERATURAN NASIONAL DIKAITKAN DENGAN UPAYA SAFEGUARDS DALAM WORLD TRADE ORGANIZATION T E S I S SYLVIANA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sebagai negara small open economy yang menganut sistem devisa bebas dan nilai tukar mengambang, tentu saja Indonesia menjadi sangat rentan terhadap serangan krisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha

I. PENDAHULUAN. yang berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya. Salah satu usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap negara selalu berusaha meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Usaha ke arah tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 7 WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) A. Sejarah WTO World Trade Organization (WTO) adalah suatu organisasi perdagangan antarbangsabangsa dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) TERHADAP SEKTOR KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

SKRIPSI PENGARUH GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) TERHADAP SEKTOR KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA SKRIPSI PENGARUH GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) TERHADAP SEKTOR KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA Diajukan oleh: RUSWANDIANA NPM : 060509312 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Hukum

Lebih terperinci

Oleh : Putu Ayu Satya Mahayani I Ketut Sujana Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Oleh : Putu Ayu Satya Mahayani I Ketut Sujana Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Udayana IMPLIKASI HUKUM PERSETUJUAN GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) TERHADAP PENGATURAN KEPARIWISATAAN DI INDONESIA Oleh : Putu Ayu Satya Mahayani I Ketut Sujana Hukum

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.

Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement. BAB IV KESIMPULAN World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan

Lebih terperinci

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK

AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK PASAL 1: AMENDEMEN AMENDEMEN MONTREAL AMENDEMEN ATAS PROTOKOL MONTREAL YANG DIADOPSI OLEH PERTEMUAN KESEMBILAN PARA PIHAK A. Pasal 4, ayat 1 qua Ayat berikut wajib dimasukkan sesudah Pasal 4 ayat 1 ter

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang BAB I A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi setiap negara. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi internasional yang sejak tahun 1995 memiliki peran sentral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi tidak pernah lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth). Karena pembangunan ekonomi mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya

Lebih terperinci

KEPPRES 53/1998, PENGESAHAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE INITIAL PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

KEPPRES 53/1998, PENGESAHAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE INITIAL PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 53/1998, PENGESAHAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE INITIAL PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES *47629 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION

LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION 2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI ANNUAL 2011 SESSION OF THE PARLIAMENTARY CONFERENCE ON THE WORLD TRADE ORGANIZATION JENEWA, 21 22 MARET 2011 BADAN KERJA SAMA ANTAR PARLEMEN 2011 LAPORAN DELEGASI DPR RI KE

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE PEOPLE'S REPUBLIC OF BULGARIA ON ECONOMIC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses gobalisasi sudah melanda hampir di semua negara di dunia,termasuk di Indonesia. Globalisasi berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia dan juga negara-negara,tidak

Lebih terperinci

ERD GANGAN INTERNA INTERN SIONA SION L

ERD GANGAN INTERNA INTERN SIONA SION L PERDAGANGAN INTERNASIONAL PIEw13 1 KEY QUESTIONS 1. Barang-barang apakah yang hendak dijual dan hendak dibeli oleh suatu negara dalam perdagangan internasional? 2. Atas dasar apakah barang-barang tersebut

Lebih terperinci

Liberalisasi jasa..., Naufi Ahmad Naufal, FH UI, 2008

Liberalisasi jasa..., Naufi Ahmad Naufal, FH UI, 2008 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengaturan Perdagangan Jasa dalam Ketentuan General Agreement on Trade in Services (GATS) 2.1. General Agreement on Trade in Services (GATS) dan Latar Belakangnya General Agreement

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL KENDARI, 30 MEI 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL KENDARI, 30 MEI 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL KENDARI, 30 MEI 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami

BAB I PENDAHULUAN. tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Persaingan global merupakan masalah besar bagi industri tekstil dan produk tekstil terutama bagi para pengusaha industri kecil dan menengah yang lebih mengalami masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Saat ini Yunani sedang mengalami Krisis Ekonomi akibat akumulasi hutang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Saat ini Yunani sedang mengalami Krisis Ekonomi akibat akumulasi hutang 149 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saat ini Yunani sedang mengalami Krisis Ekonomi akibat akumulasi hutang yang membengkak. Secara ekonomi, sebelum bergabung dengan Eurozone pemerintah Yunani

Lebih terperinci

MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI

MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI MATERI PERDAGANGAN LUAR NEGERI A. Definisi Pengertian perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antarnegara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang atau jasa atas dasar

Lebih terperinci

IDENTITAS MATA KULIAH

IDENTITAS MATA KULIAH S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 4 KE ATAS B. DESKRIPSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia saat ini sudah tidak dapat terpisahkan lagi dengan

I. PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia saat ini sudah tidak dapat terpisahkan lagi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian Indonesia saat ini sudah tidak dapat terpisahkan lagi dengan perekonomian dunia. Hal ini terjadi setelah dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya

Lebih terperinci

EKONOMI INTERNASIONAL. Dr. M. Anang F., MM

EKONOMI INTERNASIONAL. Dr. M. Anang F., MM EKONOMI INTERNASIONAL Dr. M. Anang F., MM Bab 1 Pengertian EKONOMI INTERNASIONAL Pendahuluan Perkembangan hubungan antar negara dewasa ini terutama pasca Perang Dingin diwarnai dengan isu-isu yang bersifat

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Phone/Fax:

SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta Phone/Fax: DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Phone/Fax: 021-385-8213 www.depdag.go.id KTT ASEAN Ke-13: Penandatanganan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch BAB V PENUTUP V.1 KESIMPULAN Dari uraian dan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch Profit Tax

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI)

BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA. 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) Adapun dasar hukum dari kebijakan Daftar Negatif Investasi

Lebih terperinci

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1

Pengantar Hukum WTO. Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 Pengantar Hukum WTO Peter Van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi 1 PRAKATA Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pak Adolf Warauw S.H., LL.M. dan Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M.,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perdagangan internasional penting dalam ekonomi terutama sebagai sumber devisa negara. Keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional salah satu

Lebih terperinci

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum

SALINAN. t,',?s r. *, J.Tnt NOMOR 17 TAHUN Menimbang : a. pembangunan nasional di bidang ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum SALINAN t,',?s r. *, J.Tnt ", r, o UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTPCO' AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANUATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) demi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) demi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter adalah satu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu

I. PENDAHULUAN. bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada dua tantangan besar yang dihadapi lndonesia saat ini, yaitu bagaimana keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sementara itu kita juga harus mencermati globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah, lembaga lembaga di sektor keuangan, dan para pelaku usaha. Percepatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyatuan dua perusahaan atau lebih menjadi satu kekuatan, pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. penyatuan dua perusahaan atau lebih menjadi satu kekuatan, pada umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Persaingan global membuat banyak perusahaan melakukan berbagai upaya untuk bertahan hingga menjadi pemimpin dalam sektor usaha tersebut. Merger dan akuisisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1992 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF THE SUDAN ON ECONOMIC AND

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi 329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 24 TAHUN 1989 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE GERMAN DEMOCRATIC REPUBLIC ON ECONOMIC AND TECHNICAL COOPERATION

Lebih terperinci

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG JUSTIFIKASI MEKANISME KAWAL PENYELAMATAN KHUSUS (SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM) SEBAGAI BAGIAN DARI PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA (SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT) BAGI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah sebuah program pemberian pinjaman yang dicanangkan oleh IMF. SAPs pada mulanya dirumuskan untuk membendung bencana

Lebih terperinci

Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia. dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa

Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia. dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai perilaku makroekonomi lndonesia dikaitkan dengan liberalisasi perdagangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan : 1. Dari pembahasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN Ecomonic Community (AEC) atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN akan segera diberlakukan pada tahun 2015. AEC merupakan realisasi dari tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan manusia. Perdagangan dipercaya sudah terjadi sepanjang sejarah umat manusia

Lebih terperinci

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO

Poppy Ismalina, M.Ec.Dev., Ph.D., Konsultan ILO DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN PADA HUBUNGAN BILATERAL INDONESIA DAN TIGA NEGARA (CHINA, INDIA, DAN AUSTRALIA) TERHADAP KINERJA EKSPOR-IMPOR, OUTPUT NASIONAL DAN KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA: ANALISIS

Lebih terperinci

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri

Kata Kunci: National Treatment, Pajak Impor Dalam Industri Telepon Genggam, Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri TINJAUAN YURIDIS KEBIJAKAN TINGKAT KANDUNGAN DALAM NEGERI DAN PAJAK IMPOR DALAM INDUSTRI TELEPON GENGGAM DIKAITKAN DENGAN PRINSIP NATIONAL TREATMENT FIKY MARTINO 1287032 ABSTRAK Prinsip National Treatment

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai terbentuk ditandai dengan berbagai peristiwa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI

PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERKEMBANGAN PROFESI AKUNTANSI & ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 PUSAT PEMBINAAN AKUNTAN DAN JASA PENILAI KEMENTERIAN KEUANGAN RI Jakarta, 15 Mei 2013 AGENDA Perkembangan Profesi Akuntansi AEC 2015 2 Pertumbuhan

Lebih terperinci

RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL RELEVANSI KESEPAKATAN PAKET BALI DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh I Putu Ananta Wijaya A.A Sagung Wiratni Darmadi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI, M E M U T U S K A N :

MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI, M E M U T U S K A N : KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN RI NOMOR 527/MPP/KEP/7/2002 TANGGAL 5 JULI 2002 TENTANG TATA KERJA TIM NASIONAL WTO DAN PEMBENTUKAN KELOMPOK PERUNDING UNTUK PERUNDINGAN PERDAGANGAN MULTILATERAL

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasar modal merupakan pasar tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara pihak-pihak pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus fund). Pendapatan

Lebih terperinci