raga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta akan dapat berdampak kepada kinerja fisik tubuh dan dapat juga mencegah terjadinya
|
|
- Budi Sugiarto Tedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Olah raga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olah raga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta akan dapat berdampak kepada kinerja fisik tubuh dan dapat juga mencegah terjadinya penuaan dini. Berolah raga secara teratur akan dapat memberi rangsangan kepada semua sistem tubuh sehingga dapat mempertahankan tubuh tetap dalam keadaan sehat. Olah raga juga bertujuan untuk rekreasi dan untuk mencapai suatu prestasi dalam suatu kejuaraan (Adiputra, 2008). Olah raga yang baik adalah olah raga yang dilakukan secara teratur dengan memperhatikan kemampuan tubuh dan sesuai dengan takaran berolah raga (Adiputra, 2008). Kita lihat di lapangan, para atlet sering melakukan pelatihan fisik yang berlebihan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi suatu kejuaraan atau pertandingan dalam waktu yang singkat. Pelatihan fisik yang berlebihan dapat menimbulkan resiko yang tinggi bagi atlet dan mungkin tidak memperoleh hasil yang maksimal sehingga akan dapat menimbulkan cedera bagi atlet tersebut. Pelatihan fisik yang berlebihan ini terjadi akibat dari tipe pelatihan yang terlalu berat, intensitas pelatihan yang terlalu banyak, durasi pelatihan yang terlalu panjang dan frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Dampak dari pelatihan fisik yang berlebihan adalah adanya ketidakseimbangan antara pelatihan fisik dengan waktu pemulihan. Pelatihan fisik yang berlebihan dapat berefek buruk pada kondisi homeostasis dalam tubuh, yang akhirnya berpengaruh juga terhadap sistem kerja organ tubuh (Adiputra, 2008). Pelatihan fisik memulai respon fisiologis dan biokimia yang kompleks. Setiap gerakan otot yang cepat dimulai dengan metabolisme anaerobik. Tenaganya berasal dari pemecahan Adenosin Triphosphate (ATP) dengan hasil Adenosin Diphosphate (ADP) dan berlangsung di mitokondria. Pelepasan energi disertai dengan meningkatnya aliran elektron dalam rangkaian respirasi mitokondria sehingga terbentuk oksigen reaktif superoksida (O 2 -), hydrogen peroksida (H 2 O 2 ) 1
2 2 dan upaya pembentukan ATP. Pelatihan cenderung mengosongkan ATP dan meningkatkan jumlah ADP yang tentunya hal itu merangsang ADP katabolisme dan konversi Xanthine dehydrogenase menjadi Xanthene oxidase. Xanthene oxidase inilah akan membentuk radikal bebas (O 2 -). Terbentuknya radikal bebas menyebabkan ketidakseimbangan yang disebut sebagai stress oksidatif dengan hasil akhir rusaknya lemak, protein dan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Berolahraga dengan dosis yang tidak tepat akan menyebabkan radikal bebas bertambah (Adiputra, 2008). Olah raga dengan intesitas tinggi dan durasi lama terbukti dapat menimbulkan kerusakan sel (Sutarina & Edward, 2004). Penelitian yang dilakukan pada tikus yang diberikan beban kerja aktivitas fisik (swimming stress) dengan beban ekor 2% dari berat badan tikus menunjukkan adanya peningkatan kadar Malondialdehide (MDA) yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (Maslachah, 2008). Penelitian pada tikus yang direnangkan, dengan waktu 8 jam/hari dengan lamanya renang 30 menit diikuti 10 menit istirahat selama 28 hari didapatkan radikal bebas pada kelompok perlakuan 235,27 nmol/mg jaringan, sedangkan pada kelompok tanpa perlakuan 196,79 nmol/mg jaringan (Misra et al. 2005). Pelatihan fisik yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan motilitas spermatozoa (Binekada, 2002; Manna et al. 2007). Penelitian tentang pelatihan fisik yang berlebihan (stres fisik) dengan penurunan kualitas spermatozoa menunjukkan bahwa terjadi peningkatan Reactive Oxygen Species
3 3 (ROS) dalam seminal plasma dan penurunan perlindungan oleh antioksidan (Tremellen, 2008). Sitoplasma sel spermatogenik mengandung sejumlah kecil scavenging enzyme, namun enzim antioksidan intrasel ini pun tidak mampu melindungi membran plasma yang melingkupi akrosom dan ekor dari serangan radikal bebas. Pada latihan fisik yang berlebihan jumlah antioksidan intrasel tidak mampu menetralisir radikal bebas, akibatnya muncul stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan testis terutama tubulus seminiferus (Safarinejad et al. 2009). Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia baik berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya (Droge, 2002). Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya, dan bila senyawa ini bertemu dengan radikal baru akan terbentuk radikal baru lagi dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Radikal bebas yang banyak terbentuk di dalam tubuh, dapat menimbulkan kerusakan secara biomolekul yang berdampak pula pada kerusakan struktur dan fungsi sel, yang akhirnya menimbulkan gangguan pada sistem kerja organ secara keseluruhan (Winarsi, 2007). Radikal bebas dapat menyebabkan gangguan sistem reproduksi manusia. Adanya radikal bebas dapat menyebabkan gangguan pada spermatozoa sebesar 30-80% dari kasus infertil (Tremellen, 2008). Radikal bebas ini akan menimbulkan gangguan pada spermatogenesis dan membran spermatozoa
4 4 sehingga menurunkan motilitas spermatozoa dan kemampuan untuk menembus sel telur (ovum). Gangguan membran sel ini disebabkan karena membran sel merupakan salah satu target utama kerusakan atau cedera sel yang diakibatkan oleh berbagai stimuli dari luar termasuk radikal bebas (Sutarina & Edward, 2004). Membran sel spermatogenik mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) sehingga rentan terhadap peroksidasi lipid (Astuti, 2009). Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan DNA spermatozoa khususnya pada integritas DNA pada inti selanjutnya dapat menimbulkan kematian sel (Tremellen, 2008; Aitken & Krausz, 2001). Antioksidan baik endogen maupun eksogen sangat penting bagi fungsi tubuh, karena antioksidan tersebut mampu meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan endogen misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px), sedangkan antioksidan eksogen misalnya vitamin E, vitamin C, β-karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin dan albumin. Pemanfaatan senyawa antioksidan eksogen secara efektif sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya stres oksidatif. Antioksidan eksogen merupakan sistem pertahanan preventif, dimana sistem kerja antioksidan ini adalah dengan memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya (Winarsi, 2007). Βeta karoten merupakan suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik yang dapat berperan pada membran sel spermatozoa untuk mencegah peroksidasi lipid (LPO). Penelitian pada kelinci didapatkan bahwa beta karoten dapat meningkatkan sistem reproduksi kelinci betina dan dapat mendukung terjadinya
5 5 fertilisasi (Ragip et al. 2002). Penambahan beta karoten pada medium EBSS dapat meningkatkan motilitas dan viabilitas spermatozoa sehingga dapat mendukung penatalaksanaan infertilitas pria pada Teknik Reproduksi Bantu (Karyadi, 2003). Belum banyak dilakukan penelitian tentang pemberian beta karoten terhadap proses spermatogenesis. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin membuktikan bahwa beta karoten dapat mencegah gangguan spermatogenesis oleh radikal bebas yang terbentuk karena pelatihan fisik yang berlebih. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih? 2. Apakah beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatosit Pakiten pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih? 3. Apakah beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatid 7 pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih?
6 6 4. Apakah beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatid 16 pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih? 5. Apakah beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan kualitas struktur tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui pemberian beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mencegah gangguan spermatogenesis pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih Tujuan Khusus Mengetahui jumlah sel-sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit yang diberi beta karoten per oral sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih Mengetahui jumlah sel-sel Spermatosit Pakiten pada tubulus seminiferus mencit yang diberi beta karoten per oral sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih Mengetahui jumlah sel-sel Spermatid 7 pada tubulus seminiferus mencit yang diberi beta karoten per oral sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih.
7 Mengetahui jumlah sel-sel Spermatid 16 pada tubulus seminiferus mencit yang diberi beta karoten per oral sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih Mengetahui kualitas struktur tubulus seminiferus mencit yang diberi beta karoten per oral sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih Mengetahui pemberian beta karoten 0,2 mg per oral lebih dapat mempertahankan jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus dibandingkan dengan pemberian beta karoten 0,1 mg per oral pada mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Menambah wawasan bagi ilmu pengetahuan mengenai peranan beta karoten sebagai antioksidan dalam mencegah hambatan spermatogenesis pada mencit yang mendapat pelatihan fisik berlebih Manfaat Praktis Menawarkan beta karoten sebagai antioksidan kepada masyarakat untuk mengatasi keadaan stres fisik akibat pelatihan fisik yang berlebih.
8 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelatihan Fisik Berlebih Berolah raga yang dilakukan secara teratur dengan dosis pelatihan yang tepat dapat mencapai dan mempertahankan keadaan sehat dan kebugaran fisik. Kondisi lingkungan yang memadai dan dosis/takaran pelatihan yang tepat untuk
9 9 setiap individu, meliputi frekuensi, intensitas, tipe dan waktu sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada pelatihan olah raga. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan 3 sampai 4 kali seminggu, dengan intensitas 72-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur) dengan variasi 10 denyut per menit. Tipe pelatihan yang dianjurkan merupakan suatu kombinasi dari latihan aerobik dan pelatihan otot dalam waktu menit, yang mana sebelumnya didahului oleh 15 menit pemanasan dan disusul oleh 10 menit pendinginan (Pangkahila, 2009). Pelatihan berlebih sering akibat dari tipe pelatihan yang terlalu berat, intensitas pelatihan yang terlalu banyak, durasi pelatihan terlalu panjang dan frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Sumber energi yang digunakan pada aktifitas fisik maupun pelatihan daya tahan tinggi diperoleh dari glikogen otot dan proses glukogenesis untuk menghasilkan ATP. ATP yang tersedia dalam jaringan otot terbatas, kebutuhan ATP dipertahankan oleh creatinin phosphate (CP) dan glikogen yang tersimpan dalam otot (Hernawati, 2009). Ada tiga jalur yang dapat memasok ATP tambahan sesuai kebutuhan selama kontraksi otot meliputi: 1) Pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kretainin fosfat ke ADP; 2) fosforilasi oksidatif (siklus asam sitrat dari sistem transportasi elektron); dan 3) glikolisis (Sherwood, 2001). Hidrolisis 1 mol ATP akan menghasilkan energi sebesar 31 kj (7.3 kkal) serta akan menghasilkan produk lain berupa ADP (adenosinediphospate) dan Pi 9 (inorganik fosfat). Kegiatan olahraga dengan aktivitas aerobik yang dominan, metabolisme energi akan berjalan melalui pembakaran simpanan karbohidrat, lemak dan sebagian kecil (±5%) dari pemecahan simpanan protein yang terdapat di dalam tubuh untuk menghasilkan ATP (adenosine triphospate). Aktivitas yang bersifat anaerobik, energi yang akan digunakan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas yang membutuhkan energi secara cepat ini akan diperoleh melalui
10 10 hidrolisis phosphocreatine (PCr) serta melalui glikolisis glukosa secara anaerobik. Proses metabolisme energi secara anaerobik ini dapat berjalan tanpa kehadiran oksigen (O2). Metabolisme anaerobik dapat menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat, yang apabila terakumulasi dapat menghambat kontraksi otot dan menyebabkan rasa nyeri pada otot yang pada akhirnya dapat menyebabkan stres fisik dengan gejala gerakan-gerakan bertenaga saat berolahraga tidak dapat dilakukan secara kontinu dalam waktu yang panjang dan harus diselingi dengan interval istirahat (Hernawati, 2009). Pelatihan fisik berlebih juga akan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi endokrin, seperti peningkatan kadar kortisol dan penurunan kadar testosteron (Maffetone, 2007). Pada pelatihan fisik berlebih terjadi peningkatan sekeresi ACTH dan penurunan kadar LH plasma. Setelah pelatihan fisik berlebih, corticotropin releasing hormon (CHR) menginduksi pelepasan ACTH dan β endorphin. Peningkatan β endorphin dapat menghambat pelepasan gonadotropin (sekresi LH) (Safanirejad, et.al., 2009). Penurunan sekresi LH dapat menyebabkan terjadinya penurunan hormon testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig (Colon, 2007) 2.2 Pembentukan Radikal Bebas akibat Pelatihan Fisik Berlebih Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbita luarnya. Ada elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif
11 11 mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya (Winarsi, 2007). Tubuh mengandung molekul oksigen yang stabil dan yang tidak stabil. Molekul oksigen yang stabil sangat penting untuk memelihara kehidupan sel. Sejumlah tertentu radikal bebas diperlukan untuk kesehatan, tetapi radikal bebas bersifat merusak dan sangat berbahaya. Fungsi radikal bebas dalam tubuh adalah melawan radang, membunuh bakteri dan mengatur tonus otot polos dalam organ dan pembuluh darah (Giriwijoyo, 2004) Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan tiga cara yaitu (Kumar et al. 2005; Eberhardt, 2001): 1. Peroksidasi komponen lipid dari membran sel dan sitosol, yang menyebabkan serangkaian reduksi asam lemak (otokatalisis) yang berakibat kerusakan membran dan organel sel. 2. Kerusakan DNA, yang berakibat mutasi DNA bahkan kematian sel. 3. Modifikasi protein teroksidasi oleh karena terbentuknya cross linking protein, melalui mediator sulfidril atas beberapa asam amino labil seperti sistein, metionin, lisin dan histidin. Bila radikal bebas yang terbentuk bertemu dengan asam lemak tak jenuh ganda dalam membran sel, akan terjadi reaksi peroksidasi lipid dari membran sel tersebut yang mengakibatkan peningkatan fluiditas membran, gangguan integritas membran dan inaktifasi ikatan membran dengan enzim dan reseptor. Tahap akhir reaksi akan dibebaskan aldehid seperti malodialdehyde, pentane, etana dan conjugated diane yang juga bersifat merusak tubuh (Murray et al. 2000).
12 12 Pelatihan fisik memulai respon fisiologis dan biokimia yang kompleks. Setiap gerakan otot yang cepat dimulai dengan metabolisme anaerobik. Tenaganya berasal dari pemecahan ATP dengan hasil ADP atau AMP dan berlangsung di mitokondria. Pelepasan energi disertai dengan meningkatnya aliran elektron dalam rangkaian respirasi mitokondria sehingga pembentukan oksigen reaktif (O 2 -) dan H 2 O 2 dan upaya pembentukan ATP. Pelatihan cenderung mengosongkan ATP dan meningkatkan jumlah ADP yang tentunya akan merangsang ADP katabolisme dan konversi Xanthine dehydrogenase menjadi Xanthene oxidase. Xanthene oxidase inilah akan membentuk radikal bebas (O 2 -). Terbentuknya radikal bebas akan menyebabkan ketidakseimbangan yang disebut sebagai stress oksidatif dengan hasil akhir rusaknya lemak, protein dan DNA. Berolahraga dengan dosis yang berlebih akan menyebabkan radikal bebas bertambah (Adiputra, 2008). 2.3 Antioksidan Pengertian secara kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Pengertian antioksidan secara biologis adalah senyawa yang mampu menangkal dan meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa terhambat (Winarsi, 2007). Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan sistem tubuh, terutama untuk menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel dan asam nukleat. Komponen terbesar yang menyusun
13 13 membran sel adalah senyawa asam lemak tak jenuh yang diketahui sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan. Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa oksidan. Kerusakan oksidatif terjadi akibat rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan. Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH-Px). Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang aktif. Antioksidan sekunder merupakan antioksidan eksogenous atau non enzimatis (Winarsi, 2007). Menurut Soewoto (2001), antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, beta karoten, flavonoid, asam urat, bilirubin dan albumin. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya. Akibatnya radikal bebas tidak beraksi dengan komponen seluler (Winarsi, 2007). Kelompok antioksidan tertier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metioin sulfoksida reduktase, dimana enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Aktivitas fisik yang berlebihan, memerlukan antioksidan lebih banyak. Penggunaan antioksidan vitamin E 600 mg, vitamin C 1000 mg dan beta karoten 30 mg selama 6 bulan dapat menurunkan radikal bebas sebesar 17-36% (Giriwijoyo, 2004).
14 Beta Karoten sebagai Antioksidan Beta karoten merupakan salah satu dari 600 komponen karotenoid yang banyak ditemukan dalam tanaman (Winarsi, 2007). Karotenoid adalah suatu substrat pigmen kuning sampai merah yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Lima puluh di antaranya potensial dapat menjadi vitamin A yang kemudian dinamakan karotenoid pro vitamin A. Beta karoten memiliki struktur dasar berupa satuan isoprene (Mayes (b), 2002). Beberapa isoprene ini bergandengan ujung dengan ujung membentuk rantai konyugasi sebagaimana membentuk struktur karotenoid umumnya. Beta karoten terdiri dari 8 unit isoprene yang melingkar pada ujung-ujungnya dan terlihat seperti di bawah ini: Gambar 2.1. Rumus Bangun Beta Karoten Sumber : Mayes (b), 2002 Beta karoten membentuk 2 molekul vitamin A. Di dalam tubuh manusia, hanya sebagian saja beta karoten yang dikonversi menjadi vitamin A dan sisanya disimpan sebagai cadangan (Mayes(b), 2002). Proporsi beta karoten yang dikonversi dikontrol oleh kadar/status vitamin A, sehingga tidak sampai menjadi hipervitaminosis vitamin A. Beta karoten memainkan peranan biologis yang penting walaupun dalam status sebagai provitamin. Penyerapan vitamin beta
15 15 karoten ke dalam tubuh manusia memerlukan garam empedu melalui usus halus bagian atas. Sebagian beta karoten dikonversi menjadi vitamin A di dinding mukosa usus. Absorpsi beta karoten sangat cepat, dengan watu penyerapan maximum dapat terjadi 2 samapi 6 jam setelah makanan masuk dalam pencernaan. Sisa beta karoten disimpan dalam jaringan lemak sehingga terlihat berwarna kekuningan. Beta karoten dijual dalam bentuk kapsul gelatin keras dan lembut, dalam tablet multivitamin dan formula vitamin antioksidan di pasaran (Roche, 2000). Beta karoten memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan dengan menetralisir radikal bebas yang timbul dari reaksi normal biokimia tertentu ataupun dari sumber eksogen seperti polusi udara, asap rokok, pelatihan fisik berlebih, dll. Beta karoten juga dapat meredam singlet oxygene, suatu molekul yang reaktif yang terbentuk dari pajanan sinar ultraviolet pada kulit, sehingga dapat mencegah berkembangnya menjadi sel kanker. Singlet oxygene seperti radikal bebas lainnya dapat memicu pembentukan rantai reaksi radikal bebas selanjutnya (Roche, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Ronal menunjukkan bahwa pemberian beta karoten mg/hari selama 2 bulan pada pria dan wanita umur 50 tahun dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh seperti meningkatnya sel limposit yang lebih aktif sehingga dapat melindungi tubuh terhadap kanker, infeksi virus dan bakteri (Atmosukarto & Rahmawati, 2003). Beta karoten ini juga dapat meredam singlet oxygene dan mengurangi perubahan lemak menjadi radikal bebas dengan jalan merusak lipid peroksidase pada sperma. Penelitian-penelitian di laboratorium melaporkan bahwa efek beta
16 16 karoten sinergis dengan efek vitamin E dan vitamin C. Suplemen beta karoten juga dapat meningkatkan imun dan integritas kulit (Roche, 2000). 2.5 Peranan Beta Karoten dalam Spermatogenesis Beta karoten adalah suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik sehingga berperan pada membran sel termasuk sel spermatozoa untuk mencegah peroksidasi lipid (LPO). Peroksidasi lipid adalah reaksi rantai yang timbul oleh radikal hidroksil terhadap asam lemak tak jenuh dari fosfolipid dan glikolipid yang menyusun membran sel. Radikal bebas hidroksil adalah suatu oksidan kuat yang terbentuk dari proses biologis alamiah yang berturut-turut, pertama terbentuk hydrogen peroksida (H 2 O 2 ) terutama terbentuk karena aktivitas enzim-enzim oksidase yang terdapat dalam retikulum endoplasma dan periksisom (Mayes(a), 2002). Enzim-enzim tersebut mengkatalis terbentuknya hydrogen peroksida ini kemudian terbentuk radikal hidroksil ( OH). H 2 O 2 merupakan oksidan yang kuat dan dapat mengoksidasi berbagai senyawa yang terdapat dalam sel. Daya rusak H 2 O 2 bukan hanya karena senyawa tersebut merupakan oksidan yang kuat, tetapi juga karena menghasilkan radikal hidroksil bila bereaksi dengan logam transisi Fe ++ dan Cu + yang disebut reaksi Fenton. Radikal hidroksil juga terbentuk dari H 2 O 2 dengan ion superoksida yang dikenal dengan reaksi Haber-Weiss (Mayes(a) & (b),2002; Winarsi,2007). Radikal hidroksil adalah yang paling reaktif di antara senyawa-senyawa oksigen reaktif, bila dengan asam lemak tak jenuh dapat menimbulkan reaksi
17 17 berantai yang dikenal dengan peroksidasi lipid. Akibat reaksi berantai ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel dan dapat juga terjadi ikatan silang antara dua asam lemak atau antara asam lemak dengan rantai peptide yang timbul karena reaksi dua radikal. Semua hal di atas menyebabkan kerusakan parah pada membran sel termasuk sel spermatozoa. Radikal hiroksil juga mengadakan reaksi dengan asam-asam amino penyusun protein. Sistein adalah yang paling rawan karena mengandung gugus sulfhidril yang paling peka terhadap serangan radikal hidroksil. Pembentukan ikatan disulfide menimbulkan ikatan intra atau antar molekul, sehinga protein kehilangan fungsi biologisnya termasuk enzim-enzim kehilangan aktivitasnya. Melalui dua mekanisme inilah (memutus asam lemak dan protein kehilangan fungsi biologisnya) suatu oksidan atau radikal bebas merusak membran sel dan merusak aktivitas enzim yang berhubungan dengan pembentukan energi spermatozoa sehingga menurunkan motilitas bahkan dapat merusak sel spermatozoa sendiri dan besar kemungkinan akan memperburuk morfologi dan selanjutnya menurunkan motilitas spermatozoa. Peranan antioksidan seperti beta karoten, vitamin E, vitamin C, glutathion dan antioksidan lainnya adalah untuk membersihkan dan meredam oksidan atau radikal bebas di atas. Antioksidan seperti beta karoten adalah senyawa yang dapat memberi elektron kepada radikal bebas atau oksidan sehingga senyawa radikal stabil (Mayes(b), 2002).
18 Spermatogenesis pada manusia Spermatogenesis adalah proses yang kompleks dan terjadi secara kontinyu memerlukan waktu cukup panjang dari pembelahan dan diferensiasi sel induk spermatogonia sampai menjadi spermatozoa matang. Proses ini berlangsung di testis dan merupakan hal yang sangat penting menentukan fertilitas seorang pria. Proses spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus yang terletak di testis selama kehidupan seksual aktif. Proses spermatogenesis terjadi dari rangsangan hormon gonadotropin hipofise anterior, yang dimulai rata-rata usia 13 tahun dan berlanjut sepanjang kehidupan (Gupta, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses spermatogenesis (Gupta,2005) yaitu: a. Faktor dalam (endogen): - Hormonal - Psikologis - Genetik - Umur - Maturasi b. Faktor luar (eksogen): - Bahan kimia atau obat-obatan - Fisik berupa bendungan, suhu, radiasi oleh sinar X dan getaran ultrasonic - Vitamin dan gizi seperti vitamin A, vitamin E dan glutamine - Trauma dan keradangan.
19 19 Gambar 2.2 Spermatogenesis Pada Manusia (Sumber: Eroschenco, 2003) Satu siklus spermatogenesis pada manusia membutuhkan waktu 70 ± 4 hari untuk memproduksi spermatozoa dari spermatogonium. Spermatogenesis secara fungsional menjadi 3 tahap, yaitu: spermatositogenesis, meiosis dan spermiogenesis Spermatositogenesis Tahap spermatositogenesis terjadi proliferasi atau perbanyakan dari sel induk spermatogonia. Spermatogonia mengalami pembelahan mitosis dan dari pembelahan satu spermatogonium induk terbentuk dua sel spermatogonia yang baru, satu sel induk spermatogonia terus berdeferensiasi sedangkan yang lain tetap menjadi spermatogonium. Spermatogonium induk disebut Spermatogonium Ad. (dark type A Spermatogonium) dan dari Spermatogonium Ad akan dihasilkan sepasang Spermatogonia Ad baru dan salah satu dari generasi Spermatogonia Ad membelah dan menghasilkan sepasang Spermatogonia Ap (pale type A. Spermatogonia), yang selanjutnya berkembang menjadi Spermatogonia B (Gupta,
20 ). Selanjutnya Spermatogonium B ini akan bermitosis menjadi spermatosit primer dan untuk membedakan Spermatogonium A dan Spermatogonium B dengan melihat intinya. Pada Spermatogonium A intinya oval, jernih, selaput inti tipis, sedangkan Spermatogonium B intinya bulat, mengandung kromatin kasar dan selaput inti tebal (Gupta, 2005) Meiosis Pada fase meiosis ini terjadi pembelahan dari spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan diikuti dengan terjadinya reduksi jumlah kromosomnya. Fase meiosis ini ada 2 tahap yaitu meiosis I dan meiosis II Meiosis I Setelah sintesis DNA dan pembentukan kromatid sejenis lengkap, spermatosit preleptoten memasuki profase (profase I) dari pembelahan meiosis pertama (meiosis I) yang ditunjukkan dengan masa yang panjang. Selama profase, ukuran sel induk dan nukleusnya meningkat secara progresif, bentuk nukleus yang menunjukkan perubahan penting dari kromosom adalah dasar untuk mengklarifikasi spermatosit primer. Tahap-tahap urutan profase I adalah leptoten I, zygoten I, pakhiten I, diploten I dan diaknesis I. Kromosom menjadi padat pada spermatosit leptoten, tetapi tidak berpasangan dan nampak seperti filamen halus dan benang kromatin berbintik-bintik dalam nukleus.
21 21 Spermatosit zygoten, sedikit lebih besar ditunjukkan oleh benang kromatin yang panjang dan lebih tebal dan mulai tampak seperti karangan bunga karena kromosom menggumpal pada satu sisi nucleus (Gupta, 2005) Kromosom sudah lengkap berpasangan pada Spermatosit pakiten, dan bertahan sampai sekitar 2 minggu. Setiap kromosom terdiri dari sepasang kromatid sejenis yang bergabung pada sentromernya. Pasangan kromosom homolog ini masing-masing berisi 4 kromatid dan disebut sebagai bifalen atau tetrad. Spermatid pakiten ditandai oleh nukleus yang ovoid dan besar, berisi bahan kromatid yang tebal dan pendek serta nukleus berbentuk spheris yang menonjol. Pasangan kromosom telah terpisah hampir di sepanjang lengannya, kecuali pada tempat dimana kiasma berlokasi pada spermatosit diploten dan bila dibandingkan Spermatosit pakiten, spermatosit diploten merupakan tipe sel induk yang terbesar dengan nukleus yang lebih besar dan daerah yang lebih terang di antara tonjolan pita kromatin. Selama diakinesis I kromosom terus memendek untuk mencapai pemadatan maksimal dan terlepas seluruhnya dari membran nukleus. Setelah masa profase I yang panjang, tahap selanjutnya adalah meiosis I berjalan secara cepat. Diakinesis I akan segera diikuti oleh metaphase I. Tahap ini membran nukleus mulai memisah, timbul benang-benang spindel dan pasangan kromosom mensejajarkan diri pada poros ekuatorial sel dengan berorientasi pada sentromer di kutub yang berbeda. Pasangan kromosom homolog tersebut selanjutnya berpisah, sedangkan sentromer dengan kromatid sejenis bergerak menuju kutub
22 22 sel yang berlawanan selama anaphase I. Tahap telofase I kromosom haploid akan berkelompok pada sel yang berlawanan. Setelah tahap ini, sel akan membelah membentuk dua spermatosit sekunder yang masing-masing berisi pasangan kromosom haploid (23 kromosom atau 1 N jumlah kromosom), dengan kromatid sejenis yang masih bergabung pada sentromernya (2N kandungan DNA). Spermatosit sekunder berbentuk spheris dan lebih kecil dari spermatosit primer. Nukleusnya bulat dan berwarna lebih gelap, berisi pola kromatid yang relatif homogen dengan beberapa gumpalan kromatid yang besar. Spermatosit sekunder, waktu hidup pendek ± 8 jam, gambar kurang spesifik sehingga secara histologik sulit diidentifikasikan (Gupta, 2005) Meiosis II Setelah interfase yang singkat, spermatosit sekunder memasuki pembelahan meiosis II, yang mirip dengan pembelahan mitosis, hanya sel yang memasuki meiosis II mengandung jumlah kromosom haploid. Selama metaphase II ke dua puluh tiga kromosom spermatosit sekunder masing-masing berisi 2 kromatid sejenis dan bergabung bersama pada sentromernya, akan mengatur diri pada poros ekuatorial sel. Selama anaphase II, sentromer membelah secara longitudinal dan kromatid sejenis terpisah dari kromosomnya dan mulai bergerak ke kutub sel yang berlawanan. Kromatid akan berkelompok pada kutub yang berlawanan selama telofase II dan sel akan membelah untuk membentuk 2 spermatid yang masing-
23 23 masing berisi sejumlah kromosom haploid dan kandungan DNA haploid (1N) (Gupta, 2005) Spermiogenesis Fase spermiogenesis ini akan terjadi perubahan morfologi dan fungsional tanpa diikuti pembelahan sel dari spermatid menjadi spermatozoa. Spermiogenesis dibagi dalam 4 fase yait fase golgi, fase cap (fase tutup), fase akrosom dan fase pematangan atau maturasi (Gupta,2005; Sadler, 2000). 1. Fase golgi, terbentuk butiran kromosom dalam alat golgi spermatid. Butiran ini nantinya akan bersatu membentuk satu bentukan dengan akrosom disebut granula akrosom. Granula akrosom ini melekat ke salah satu sisi inti yang bakal jadi bagian depan spermatozoa. 2. Fase cap, granula akrosom semakin membesar, bertambah pipih dan menuju bagian depan inti, sehingga akhirnya terbentuk semacam tutup (cap) spermatozoa. 3. Fase akrosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleuplasma berkondensasi dan sementara inti spermatid memanjang dengan batas kaudal menyempit dan membentuk sudut sehingga inti kelihatan lebih pipih dan tutup (cap) mengitari bagian ventral inti. Bahan-bahan akrosom menyebar dan berada pada bagian pada bagian ventral inti, pemanjangan dan pemipihan inti berlangsung terus sehingga bagian anterior spermatid dari bentuk bundar sampai menjadi agak pipih dan pada saat spermatid telah mencapai panjang maksimum, bahan-bahan akrosom telah menutup seperempat bagian anterior spermatid.
24 24 4. Fase maturasi (pematangan), bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa, terjadi perubahan spermatid sesuai dengan ciri spesies, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk inti dan perkembangan serta maturasi dinding spermatozoa dan selanjutnya melepaskan diri dari epitel seminiferus menuju lumen menjadi spermatozoa bebas. Jadi pada fase spermiogenesis ini dikenal beberapa perkembangan spermatid yang terakhir yaitu : a. Pembentukan akrosom yang menutupi lebih dari setengah permukaan inti b. Perubahan dalam bentuk dan derajat kondensasi dari nukleus c. Pembentukan leher, bagian tengah dan ekor d. Meluruh sebagian besar sitoplasma. Gambar 2.3 Tubulus Seminiferus pada pembesaran 400 kali (Sumber: Indira, 2008)
25 Spermatogenesis pada mencit Spermatogenesis pada mencit terjadi selama 35 hari. Spermatogenesis terjadi dalam tiga tahap yaitu fase proliferasi, meiosis, dan spermiogenesis. Fase proliferasi dimulai dari pembelahan spermatogonia yang terjadi beberapa kali sehingga menghasilkan Spermatogonia tipe A2, A3, dan A4. Spermatogonia A4 mengalami pembelahan menghasilkan spermatogonia intermedia yang kemudian akan membelah lagi menghasilkan Spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B ini selanjutnya akan mengalami mitosis sehingga terbentuk spermatosit primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten (Gilbert, 1985, Premesemara, 2010). Fase meiosis terdiri dari dua tahap yaitu meiosis I dan II yang masingmasing terdiri dari fase profase, metafase, anafase, dan telofase. Profase pada meiosis I meliputi leptoten, zigoten, pakhiten, diploten, dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya spermatosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami meiosis II dan berakhir dengan pembentukan spermatid (Johnson & Everitt,1990, Pramesemara, 2010). Fase selanjutnya adalah spermiogenesis yang merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa yang terdiri dari 16 tingkat. Tahapan tahapan itu antara lain : 1. Tahap 1, dimulai dengan pembentukan spermatid yang baru sebagai akibat dari pembelahan mitosis yang kedua. Di daerah golgi timbul beberapa struktur yang bulat yang disebut idiosom.
26 26 2. Tahap 2, terlihat adanya granula proakrososm pada idiosom, jumlah granula biasanya dua dimana yang satu biasanya lebih besar. 3. Tahap 3, terjadi penggabungan granula proakrosom sehingga terbentuk granula akrosom yang besar yang berbatasan dengan nukleus. 4. Tahap 4, ditandai dengan membesarnya granula dan letaknya lurus di atas nukleus. 5. Tahap 5, ditandai dengan bertambah pipihnya cap (tutup) dan bergerak menuju ke samping nukleus perpanjangannya. 6. Tahap 6, pertumbuhan cap (tutup) mengalami kemajuan yang cukup pada permukaan luar nukleus. 7. Tahap 7, pertumbuhan pada bagian depan cap (tutup) terus berlangsung sampai menutup sepertiga sampai setengah bagian inti dan ini disebut sebagai head cap. 8. Tahap 8, disini dimulai tahap akrosom. Sistem akrosom bergerak ke arah basal nulkeus dan nukleus spermatid memanjang. 9. Tahap 9, ditandai dengan perubahan bentuk nukleus spermatid nyata, yaitu ujung kaudal menyempit dan membentuk sudut, sehingga kelihatan lebih pipih. 10. Tahap 10, bahan bahan akrosom telah berada pada dinding dorsal inti, pemanjangan dan pemipihan inti berjalan terus sehingga spermatid menjadi sempit pada bagian depan. 11. Tahap 11, terjadi perubahan ujung kaudal spermatid bentuk bundar sampai menjadi agak pipih.
27 Tahap 12, spermatid telah mencapai panjang yang maksimum. Akrosom telah menutup seperempat bagian anterior spermatid dan tampak seperti struktur bentuk biji di atas nukleus. 13. Tahap 13, bentuk spermatid sudah hampir sama dengan spermatozoa dewasa, yaitu mengalami pemendekan dratis hampir 20%. 14. Tahap 14, terjadi penyempurnaan akrosom, bentuk dan penampakan spermatozoa dewasa telah tercapai. 15. Tahap 15, terjadi penyempurnaan bentuk inti dan perkembangan serta maturasi dinding spermatozoa. 16. Tahap 16, menggambarkan spermatozoa melepaskan diri dari epitel seminiferus menuju ke lumen menjadi spermatozoa bebas. 2.8 Tubulus Seminiferus Anatomi dan Histologis Tubulus Seminiferus Tubulus seminiferus adalah bagian dari organ reproduksi pria yang terletak di dalam testis yang berperan penting dalam proses spermatogenesis. Tubulus seminiferus berbentuk tabung dengan panjang sekitar cm dan diameter µm. Di dalam testis, tubulus seminiferus dimampatkan dan terletak di dalam lobulus testis (Gupta, 2005). Testis manusia merupakan organ padat berbentuk bulat oval yang masingmasing berukuran 4 x 2,5 cm, yang terletak di dalam skrotum dan dibungkus oleh tunika albugenia pada bagian dalam serta tunika vaginalis di bagian luarnya.
28 28 Testis dibagi oleh septa-septa jaringan ikat menjadi buah lobuli. Masing-masing lobulus berisi satu sampai empat buah tubulus seminiferus (Gupta, 2005; Sherwood, 2001). Hampir 80% massa testis terdiri dari sel-sel spermatogenik di dalam tubulus seminiferus, sedangkan 20% sisanya terdiri dari jaringan ikat, pembuluh darah dan sel-sel yang ada di antaranya. Tubulus seminiferus merupakan pabrik spermatozoa, tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Tubulus seminiferus dibedakan menjadi tubulus seminiferus kontortus dan tubulus seminiferus rektus. Tubulus seminiferus kontortus dari masing-masing lobulus testis bergabung membentuk tubulus seminiferus rektus, yang merupakan saluran lurus yang langsung menghubungkan tubulus seminiferus dengan rete testis dibagian posterior testis. Dari rete testis ini selanjutnya spermatozoa akan dialirkan melalui duktus eferentes kemudian memasuki epidydimis dan siap untuk dikeluarkan (Gupta, 2005; Sherwood, 2001). Secara histologi, tubulus seminiferus merupakan suatu struktur berbentuk tabung yang dindingnya tersusun atas lapisan epitel tubulus seminiferus dan tunika propria. Tunika propria merupakan komponen dinding tubulus yang terluar, yang terdiri dari berkas-berkas anyaman serat kolagen tipe I yang tersusun atas sel-sel fibroblas. Pada beberapa jenis mamalia seperti tikus, di antara jaringan ikat terdapat pula sel-sel myoid yang menyerupai sel-sel otot polos. Komponen epitel dari tubulus seminiferus terdiri dari dua jenis sel yaitu : 1. Sel penyangga yang non-proliferatif (sel Sertoli) 2. Sel-sel epitel germinal yang proliferatif.
29 29 Sel-sel epitel germinal akhirnya akan menghasilkan spermatozoa. Antara komponen jaringan ikat dan epitel dipisahkan oleh lapisan tipis membran basalis. Ruang interstitial antara tubulus seminiferus satu dengan yang lainnya diisi oleh jaringan ikat longgar yang mengandung kapiler peritubular yang padat, saluran limfatik, sel-sel mesenkim dan kadang-kadang makrofag. Terdapat juga sebaran kelompok-kelompok sel Leydig yang berperan dalam produksi hormon testosteron Kerusakan Tubulus Seminiferus Seperti halnya sel-sel di bagian tubuh yang lainnya, sel-sel penyusun tubulus seminiferus juga dapat mengalami cedera oleh berbagai hal yang mengakibatkan kerusakan struktur maupun fungsi sel tersebut. Oleh karena fungsi utama tubulus seminiferus adalah untuk spermatogenesis maka faktor-faktor yang merusak struktur tubulus seminiferus akan menimbulkan gangguan pada proses spermatogenesis. Secara umum kerusakan tubulus seminiferus dapat digambarkan ke dalam empat kategori (Burkitt, 1993) : 1. Atrofi tubuler yaitu keadaan dimana terjadi kehilangan sel-sel spermatogenik di dalam tubulus seminiferus, menurunnya diameter tubulus seminiferus dan tampak penebalan pada membran basalis (Robbins & Cotran, 2004). 2. Nekrosis tubuler yaitu kerusakan seluruh unsur sel di dalam tubulus seminiferus, terlihat adanya sisa-sisa bahan nekrotik, tampak membran
30 30 basalis mengalami kerusakan akibat terjadinya lisis, dan terlihat adanya sel radang. 3. Hilangnya sel-sel intermedia, pada keadaan ini tampak sel-sel Sertoli, spermatosit primer dan spermatid tanpa spermatogenesis. 4. Penurunan spermatogenesis yaitu penurunan paling sedikit 75% jumlah spermatozoa yang terlihat dalam lumen dengan bentuk intermedia yang utuh. BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Berpikir Dari rumusan masalah dan teori di atas, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut : proses spermatogenesis yang terjadi pada tubulus seminiferus dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal yang mempengaruhi proses spermatogenesis antara lain : hormon khususnya hormon testosteron, genetik/strain, psikologi, maturasi, dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi proses spermatogenesis
31 31 yaitu makanan (vitamin dan gizi), pelatihan fisik berlebih, zat kimia, dan faktor fisik(suhu, radiasi), trauma dan keradangan. Pelatihan fisik yang berlebih menyebabkan timbulnya radikal bebas sehingga akan dapat menimbulkan terjadinya ketidakseimbangan (stres oksidatif). Radikal bebas yang terbentuk berefek pada kerusakan sel-sel spermatogenik dengan cara merusak komponen lipid dari membran sel. Spermatozoa rentan dari proses lipid peroksidasi karena struktur dari membran sel spermatozoa sangat tinggi kandungan asam lemak tak jenuhnya, dimana penting untuk mengatur proses spermatogenesis. Pemberian beta karoten sebagai antioksidan eksogen dapat membantu mencegah terjadinya kerusakan sel, termasuk sel-sel spermatogenik. Beta karoten yang mempunyai sifat pemutus rantai, bersifat lipofilik dapat berperan pada membran sel termasuk sel spermatozoa untuk mencegah terjadinya peroksidasi lipid (LPO). Jadi, pemberian beta karoten diharapkan mampu mencegah gangguan spermatogenesis pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. 3.2 Kerangka Konsep 31 Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini : Faktor Internal 1. Hormon 2. Genetik 3. Psikologi 4. Maturasi 5. Umur Pelatihan fisik berlebih dan pemberian beta karoten Faktor Eksternal 1. Makanan 2. Kimia/obat-obatan 3. Fisik 4. Trauma 5. Keradangan
32 32 Spermatogenesis Jumlah Spermatogonium A, Spermatosit pakhiten, Spermatid 7 dan 16, dan perbaikan kualitas struktur Tubulus Seminiferus. Spermatogenesis Jumlah Spermatogonium A, Spermatosit pakhiten, Spermatid 7 dan 16, dan kualitas lumen Tubulus Seminiferus. Gambar 3.1 Bagan kerangka konsep penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatogonium A pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih. 2. Beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatosit Pakiten pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih. 3. Beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatid 7 pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih.
33 33 4. Beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan jumlah sel-sel Spermatid 16 pada tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih. 5. Beta karoten per oral sebagai antioksidan dapat mempertahankan kualitas struktur tubulus seminiferus mencit setelah menerima pelatihan fisik berlebih. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan randomized pre-test post-test control group design (Cohen et al., 2007)
34 34 Pre-test P1 Post-test O1 O2 R P2 P S RA O3 O4 P3 O5 O6 Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian Keterangan : P S R = Populasi = Sampel = Randomisasi RA = Random Alokasi O1 = Pemeriksaan awal sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus pada kelompok kontrol sebelum diberi beta karoten dan pelatihan fisik berlebih O2 = Pemeriksaan sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus pada kelompok kontrol tanpa pemberian beta karoten dan setelah mendapatkan pelatihan fisik berlebih. O3 = Pemeriksaan awal sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus 34 pada kelompok perlakuan sebelum pemberian beta karoten dosis 0,1 mg dan sebelum mendapatkan pelatihan fisik berlebih. O4 = Pemeriksaan sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus pada kelompok perlakuan setelah pemberian beta karoten dosis 0,1 mg dan setelah mendapat pelatihan fisik berlebih.
35 35 O5 = Pemeriksaan awal sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus pada kelompok perlakuan sebelum pemberian beta karoten dosis 0,2 mg dan sebelum mendapat pelatihan fisik berlebih. O6 = Pemeriksaan sel-sel spermatogenik dan kualitas tubulus seminiferus pada kelompok perlakuan setelah pemberian beta karoten dosis 0,2 mg dan setelah mendapat pelatihan fisik berlebih. P1 = Perlakuan pada kelompok kontrol tanpa pemberian beta karoten (diberikan minyak zaitun (olive) 0,5 ml) dan pemberian pelatihan fisik berlebih pada mencit. P2 = Perlakuan pada kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten dosis 0,1 mg dan pemberian pelatihan fisik berlebih pada mencit. P3 = Perlakuan pada kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten dosis 0,2 mg dan pemberian pelatihan fisik berlebih pada mencit. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan pemeriksaan histopatologi dikerjakan di Laboratorium Patologi Balai Penyelidik Penyakit Veteriner Denpasar (BPPV). Penelitian dilaksanakan dalam waktu 8 (delapan) minggu, dengan rincian sebagai berikut: 1. Satu minggu untuk persiapan 2. Lima minggu untuk perlakuan 3. Satu minggu untuk pembuatan dan pembacaan sediaan histopatologi.
36 36 4. Satu minggu untuk analisis statistik dan penyusunan usulan kelayakan. 4.3 Penentuan Sumber Data Kriteria Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah mencit jantan dewasa strain Balb-C dengan kriteria sebagai berikut : Kriteria inklusi - Berat Badan gram - Umur 2 3 bulan - Sehat - Satu hibrid Kriteria ekslusi Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi namun karena sesuatu hal dikeluarkan dari sampel sebelum pelaksanaan penelitian seperti mencit tidak mau makan Kriteria Drop Out Adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi namun karena sesuatu hal dikeluarkan dari sampel selama penelitian seperti mencit tidak mau makan atau sakit.
37 Besar Sampel Pocock (2007) Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini didasarkan pada rumus n = 2σ 2 (µ2 - µ1) 2 x ƒ (α,β) Keterangan : N = jumlah sampel Σ = SD ( standar deviasi ) kelompok perlakuan dengan penberian beta karoten ƒ ( α,β ) = Besarnya didapat dari tabel (Pocock, 2007) µ1 = Rerata hasil Spermatogonium A pada kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten. µ2 = Rerata hasil spermatogonium A pada kelompok pre-test. Dari penelitian pendahuluan didapatkan data : 1. Standar deviasi (σ) kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten = 6,94 2. Rerata hasil Spermatogonium A pada kelompok perlakuan dengan dengan pemberian beta karoten (µ2) = 85,80 3. Rerata hasil Spermatogonium A pada kelompok pre-test (µ1) = 98, ƒ ( α,β ) = 10,5
38 38 Jadi, jumlah sampel (n) yang didapat 6.7 ~ 7, dan ditambah 1 ekor mencit untuk masing-masing kelompok sebagai cadangan. Dalam hal ini, pada masing masing kelompok terdapat 8 ekor mencit. Jadi total mencit yang diperlukan 48 ekor mencit jantan Teknik Pengambilan Sampel Oleh karena sampel ini bersifat homogen yaitu mencit jantan yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian berdasarkan kriteria inklusi, maka diambil secara acak sederhana untuk mendapatkan jumlah sampel. Sampel yang dipilih dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok perlakuan tanpa pemberian beta karoten, kelompok perlakuan dengan pemberian beta karoten dosis 0,1 mg dan kelompok perlakuan pemberian beta karoten dosis 0,2 mg 4.4 Variabel Penelitian Identifikasi Variabel Variabel yang akan diukur adalah jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakiten, Spermatid 7, Spermatid 16, dan kualitas struktur tubulus seminiferus setelah perlakuan selama 35 hari Klasifikasi Variabel Variabel Bebas : Pelatihan fisik berlebih, dosis pemberian beta karoten.
39 Variabel Tergantung : Jumlah sel Spermatogonium A, Spermatosit Pakiten, Spermatid 7, Spermatid 16, tingkat perbaikan lumen tubulus seminiferus Variabel Kendali : Strain mencit jantan, umur, berat badan, lingkungan (suhu, kelembaban, cahaya), kesehatan mencit Definisi Operasional Variabel Pelatihan fisik berlebih pada mencit adalah pelatihan berlebih yang diukur berdasarkan waktu maksimal kemampuan renang mencit pada ember berdiameter 35 cm dengan kedalaman air 20 cm, yang dilakukan setiap hari selama 65 menit (Binekada, 2002), dengan lama pelatihan 35 hari Dosis pemberian beta karoten adalah pemberian sediaan antioksidan beta karoten dalam bentuk serbuk yang dilarutkan dengan minyak zaitun (olive) 0,5 ml yang diberikan 1 kali sehari secara oral melalui zonde dan diberikan 6 jam sebelum dilakukan pelatihan fisik berlebih. Dosis pemberian beta karoten mengacu pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Ronal, yaitu pemberian beta karoten mg per hari pada pria dewasa. Berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis menurut Laurance & Bacharah (Get & Barnes, 1994), maka perhitungan konversi dosis untuk beta karoten adalah sebagai berikut:
40 40 Dosis manusia pada pria dewasa (rata-rata berat ± 70 kg) = 30 mg Dosis mencit 20 gr = 0,0026 x 30 mg = 0,078 mg Jika dosis manusia pada pria dewasa (rata-rata berat ± 70 kg) = 60 mg Dosis mencit 20 gr = 0,0026 x 60 mg = 0,156 mg Jadi dosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,1 mg dan 0,2 mg per hari Sel sel spermatogenik diamati pada stadium VII tubulus seminiferus dengan menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400 kali dan diamati dalam 5 lapang pandang (mulai dari kiri atas bergeser ke kanan atas, bergeser ke tengah, bergeser ke kiri bawah dan bergeser ke kanan bawah) pada setiap preparat dari testis kanan dan testis kiri kemudian dijumlahkan dan dirata-ratakan : Jumlah sel Spermatogonium A: jumlah sel dengan bentuk bulat, dekat membran basal, inti berbentuk lonjong dengan kromatin halus dan selaput inti tipis yang diamati dan dihitung di bawah mikroskop. Jumlah sel Spermatosit Primer Pakiten: jumlah sel berbentuk bulat, besar, inti gelap dengan kromosom terlihat jelas yang diamati dan dihitung di bawah mikroskop. Jumlah sel Spermatid 7: jumlah sel berbentuk bulat, lebih kecil dari Spermatosit Pakiten, inti bulat, pucat dan terang yang diamati dan dihitung dibawah mikroskop.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat latihan fisik dipahami sebagai olahraga. Olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta berdampak pada kinerja fisik. Olahraga
Lebih terperinciPEMBAHASAN. 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit. Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi
1 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Efek Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Spermatogenesis Mencit Pada penelitian ini, data menunjukkan bahwa kelompok yang diberi pelatihan fisik berlebih selama 35 hari berupa latihan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah konsumen rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Tidak
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. spermatozoa. Perkembangan ini diawali dari Primordial Germ Cell (PGC)
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatogenesis Pada Manusia Spermatogenesis adalah perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa. Perkembangan ini diawali dari Primordial Germ Cell (PGC) membentuk sel tunas
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berasal dari emisi pembakaran bahan bakar bertimbal. Pelepasan timbal oksida ke
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran atau polusi merupakan perubahan yang tidak dikehendaki yang meliputi perubahan fisik, kimia, dan biologi. Pencemaran banyak mengarah kepada pembuangan
Lebih terperinciOLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed
OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. Senyawa 2-Methoxyethanol (2-ME) tergolong senyawa ptalate ester (ester
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Infertilitas merupakan masalah yang memiliki angka kejadian yang cukup besar di Indonesia. Penyebab infertilitas pria dipengaruhi oleh banyak faktor,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok merupakan masalah penting sekarang ini. Rokok bagi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebiasaan merokok merupakan masalah penting sekarang ini. Rokok bagi sebagian orang sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini terjadi transisi epidemiologi yakni di satu sisi masih tingginya penyakit infeksi seperti thypus abdominalis, TBC dan diare, di sisi lain mulai meningkatnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Angka kejadian infertilitas masih menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Infertilitas adalah ketidakmampuan terjadinya konsepsi atau memiliki anak pada
Lebih terperinciSET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS)
04 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 4 REPRODUKSI SEL 1 (MITOSIS & MEIOSIS) Pembelahan sel dibedakan menjadi secara langsung (amitosis) dan tidak langsung (mitosis dan meiosis).
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh hasil bahwa nilai F=96,7, sementara itu nilai F tabel = 3,68, maka nilai
4.1 Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis statistika dengan menggunakan ANOVA, maka diperoleh hasil bahwa nilai F=96,7, sementara itu nilai F tabel = 3,68,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME Hasil pengamatan pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latihan fisik merupakan pergerakan tubuh yang dilakukan oleh otot dengan terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuan untuk memperbaiki
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Berdasarkan tipe kambing PE digolongkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas fisik adalah kegiatan hidup yang harus dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan, dan
Lebih terperinciREPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.
REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse
Lebih terperinciSistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infertilitas adalah salah satu masalah kesehatan utama dalam hidup, dan sekitar 30% infertilitas disebabkan faktor laki-laki (Carlsen et al., 1992; Isidori
Lebih terperinciMITOSIS DAN MEIOSIS. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed. BIOLOGI KEPERAWATAN 2009
MITOSIS DAN MEIOSIS TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed. BIOLOGI KEPERAWATAN 2009 SIKLUS SEL G1(gap 1): periode setelah mitosis, gen-gen aktif berekspresi S (sintesis): fase sintesis DNA (replikasi), kromosom
Lebih terperinciSIKLUS & PEMBELAHAN SEL. Suhardi S.Pt.,MP
SIKLUS & PEMBELAHAN SEL Suhardi S.Pt.,MP Proses reproduksi aseksual dimulai setelah sperma membuahi telur. PEMBELAHAN SEL Amitosis (Pembelahan biner) Pada umumnya bakteri berkembang biak dengan pembelahan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak digunakan di dunia. Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine) digunakan untuk mengontrol gulma
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monosodium Glutamat (MSG) sudah lama digunakan diseluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam amino (Geha et al., 2000), dikarenakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa negara berkembang seperti Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar sehingga aktivitas maupun pola hidup menjadi sangat beraneka ragam. Salah satu
Lebih terperinciADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Pengaruh polisakarida krestin dari ekstrak jamur Coriolus versicolor terhadap kecepatan motilitas spermatozoa mencit Hasil pengamatan pengaruh polisakarida
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi, stroke, sirosis hati, katarak,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan
Lebih terperinciPembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi
Pembelahan Sel Muhammad Ridha Alfarabi Istiqlal, SP MSi Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa akan dapat menjelaskan mitosis dan meiosis pada tanaman Sub Pokok Bahasan :
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan yang sangat signifikan, banyak sekali aktivitas lingkungan yang menghasilkan radikal bebas sehingga
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan
I. PENDAHULUAN Infertilitas merupakan suatu masalah yang dapat mempengaruhi pria dan wanita di seluruh dunia. Kurang lebih 10% dari pasangan suami istri (pasutri) pernah mengalami masalah infertilitas
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kerusakan oksidatif dan injuri otot (Evans, 2000).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latihan fisik secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit diabetes (Senturk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai
Lebih terperinciPEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH
TESIS PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENCEGAH GANGGUAN SPERMATOGENESIS MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH NI KETUT SOMOYANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan pola hidup serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan pada persoalan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merokok merupakan suatu masalah kesehatan pada masyarakat dan merupakan ancaman besar bagi kesehatan di dunia (Emmons, 1999). Merokok memberikan implikasi terhadap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plumbum adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dan paling banyak ditemukan di lingkungan (WHO, 2010). Logam plumbum disebut non essential trace element
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang mana asam glutamat-d hanya dapat digunakan oleh organisme tingkat
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efek negatif MSG pada testis Monosodium glutamat (MSG) di dalam tubuh akan mengalami penguraian menjadi bentuk asalnya, yaitu asam glutamat.1-4 Asam glutamat yang terkandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik secara teratur mempunyai efek yang baik terutama mencegah obesitas, penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung koroner, dan osteoporosis (Thirumalai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memiliki anak adalah impian setiap pasangan yang sudah menikah. Namun tidak setiap pasangan dapat mewujudkan impian tersebut dengan mudah. Kegagalan pasangan usia reproduktif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanpa disadari, setiap hari semua orang membutuhkan makanan untuk dapat bertahan hidup karena makanan merupakan sumber utama penghasil energi yang dapat digunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik yang dilakukan dengan teratur dapat mencegah penyakit kronis seperti kanker, hipertensi, obesitas, depresi, diabetes dan osteoporosis (Daniel et al, 2010).
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. asap rokok serta ekstrak akuades biji sirsak (KP 1, KP 2 dan KP 3 ). KN yang tidak
BAB V PEMBAHASAN A. Tebal Epitel Tubulus Seminiferus Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil berupa terdapat perbedaan tebal epitel tubulus seminiferus yang bermakna antara kelompok
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Aktivitas fisik merupakan setiap pergerakan tubuh akibat kontraksi otot
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas fisik merupakan setiap pergerakan tubuh akibat kontraksi otot rangka yang membutuhkan kalori lebih besar daripada pengeluaran energi saat istirahat. Aktivitas
Lebih terperinciMEKANISME SEL. Mitosis & Meiosis
MEKANISME SEL Mitosis & Meiosis MITOSIS MEIOSIS Nama Anggota : Khaidir Adam Wijaya M. Saifullah Romadhon Yanuar Setia Budi Rahmawan Yulianto Gabryna Auliya Nugroho Reindy Katon Bagaskara MITOSIS Pembelahan
Lebih terperinciOOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti
OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuak merupakan hasil sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuak merupakan hasil sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata) sejenis minuman yang merupakan hasil fermentasi dari bahan minuman/buah yang
Lebih terperinciBAHAN AJAR DASAR-DASAR GENETIKA
BAHAN AJAR DASAR-DASAR GENETIKA OLEH: IR. SUPRIYANTA, MP. JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2004 Topik 1 Pendahuluan Dalam bidang biologi, kita mengenal suatu organisme
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neoplasma adalah suatu massa jaringan abnormal yang berproliferasi cepat, tidak terkoordinasi melebihi jaringan normal dan dapat menetap setelah hilangnya rangsang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya sehari-hari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia senantiasa dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya sehari-hari. Pada lingkungan yang kadar logam beratnya cukup tinggi, kontaminasi dalam makanan,
Lebih terperinciPengertian Mitokondria
Home» Pelajaran» Pengertian Mitokondria, Struktur, dan Fungsi Mitokondria Pengertian Mitokondria, Struktur, dan Fungsi Mitokondria Pengertian Mitokondria Mitokondria adalah salah satu organel sel dan berfungsi
Lebih terperinciKromosom, DNA, Gen, Non Gen, Basa Nitrogen
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung Mata Kuliah : Biologi Umum Kode MK : Bio 612101 Tahun Ajaran : 2014/2015 Pokok Bahasan : Genetika Jani Master, M.Si.
Lebih terperinciSEL DAN JARINGAN MATERI BAHAN PELATIHAN UNTUK GURU-GURU SMA / MA OLEH: DRS. TAUFIK RAHMAN, MPD UPI BANDUNG
SEL DAN JARINGAN MATERI BAHAN PELATIHAN UNTUK GURU-GURU SMA / MA OLEH: DRS. TAUFIK RAHMAN, MPD UPI BANDUNG NANGRO ACEH DARUSSALAM 5-10 JULI 2007 1 SOAL TES SEL DAN JARINGAN Petunjuk: 1. Jawablah pertanyaan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap
BAB V PEMBAHASAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak Etanol Pegagan terhadap gambaran histopatologis testis tikus yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak memiliki medium atau dapat merambat melalui ruang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kanker merupakan suatu jenis penyakit berupa pertumbuhan sel yang tidak terkendali secara normal. Penyakit ini dapat menyerang semua bagian organ tubuh dan dapat menyebabkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Namun tanpa disadari radikal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini meningkatnya pencemaran lingkungan berdampak negatif pada kesehatan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Namun tanpa disadari radikal bebas secara alami
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal bebas dan antioksidan. Hal ini terjadi karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya
Lebih terperinciPEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik
PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi
Lebih terperinciPERBEDAAN MITOSIS DAN MEIOSIS Sel yang aktif membelah melewati suatu siklus yang berlangsung secara teratur dikenal sebagai siklus sel. Siklus sel dibedakan atas dua stadia, yaitu stadium istirahat (interfase)
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Radikal Bebas dan Reactive Oxygen Species (ROS)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Radikal Bebas dan Reactive Oxygen Species (ROS) Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum
39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum lycopersicum L.) terhadap perubahan histologi kelenjar mammae mencit betina yang diinduksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka pengguna telepon seluler (ponsel) atau handphone di Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Roy Morgan Research di Australia
Lebih terperinciFUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP
TUGAS MATA KULIAH NUTRISI TANAMAN FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP Oleh : Dewi Ma rufah H0106006 Lamria Silitonga H 0106076 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 Pendahuluan Fosfor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari pengolahan makanan dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari pengolahan makanan dengan cara penggorengan. Minyak kelapa sawit merupakan jenis minyak utama yang digunakan masyarakat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen rokok terbesar di dunia,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara konsumen rokok terbesar di dunia, sebanyak 31,4% orang dewasa di Indonesia adalah perokok. Konsumsi rokok oleh seseorang individu
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) 2.1.1 Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan pepaya dapat diklasifkasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anti Aging Medicine (AAM) adalah ilmu yang berupaya memperlambat proses penuaan dan meningkatkan kualitas hidup. Proses menjadi tua memang akan terjadi pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infertilitas merupakan salah satu masalah penting bagi setiap orang. Infertilitas pada pria berkaitan erat dengan spermatogenesis. Proses ini dipengaruhi oleh dua faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kesehatan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan jabatan, kekuasaan ataupun kekayaan. Tanpa kesehatan yang optimal, semuanya akan menjadi
Lebih terperinciPEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.
PEMBELAHAN SEL Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran Mahasiswa memahami mengenai posisi sel, kromosom, dan DNA dalam dalam kaitannya dengan organisme Mahasiswa memahami jenis-jenis
Lebih terperinciProtein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.
PROTEIN Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringanjaringan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa. fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008).
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Definisi Kebisingan Kebisingan adalah suatu bunyi intensitas tinggi, merupakan pencemaran yang mengganggu dan tidak disukai, dan mengganggu percakapan dan merusak
Lebih terperinciorganel yang tersebar dalam sitosol organisme
STRUKTUR DAN FUNGSI MITOKONDRIA Mitokondria Mitokondria merupakan organel yang tersebar dalam sitosol organisme eukariot. STRUKTUR MITOKONDRIA Ukuran : diameter 0.2 1.0 μm panjang 1-4 μm mitokondria dalam
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah
1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit degeneratif yang merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia. DM merupakan penyakit kelainan sistem endokrin utama yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN. dibandingkan dengan unggas-unggas lainnya seperti ayam. Fakultas Peternakan
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Itik Cihateup termasuk kedalam jenis unggas air yang memiliki sifat fisiologik terbiasa dengan air dan kemampuan thermoregulasi yang rendah dibandingkan dengan unggas-unggas
Lebih terperinciANALISIS MEIOSIS PENDAHULUAN
1 ANALISIS MEIOSIS PENDAHULUAN Latar Belakang Stadium haploid dari siklus seksual dihasilkan dari proses pembelahan inti yang disebut meiosis. Meiosis berlangsung pada sel-sel yang terdapat di dalam jaringan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. makanan tersebut menghasilkan rasa yang lezat dan membuat orang yang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini wisata kuliner sangatlah digemari oleh banyak orang, dimana setiap mereka berkunjung ke suatu daerah wisata hal utama yang dituju ialah mencicipi makanan khas
Lebih terperinciPada keadaan demikian, kromosom lebih mudah menyerap zat warna, misalnya sudan III, hematoksilin, methylen blue, dan kalium iodida.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gen yang menentukan sifat suatu makhluk hidup dibawa oleh struktur pembawa gen yang mirip benang dan terdapat di dalam inti sel (nukleus). Kromosom hanya dapat diamati
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metabolisme Energi Otot Rangka Kreatin fosfat merupakan sumber energi pertama yang digunakan pada awal aktivitas kontraktil. Suatu karakteristik khusus dari energi yang dihantarkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit tidak menular yang bersifat kronis dan jumlah penderitanya terus meningkat di seluruh dunia seiring dengan bertambahnya jumlah populasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi protokol penatalaksanaan dan efektivitas pengobatan infertilitas pria di Surabaya pada tahun 2000 menyatakan masalah infertilitas pria merupakan masalah yang
Lebih terperinciReproduksi seksual merupakan cara yang paling umum bagi organisma Eukariot untuk menghasilkan turunannya. Reproduksi seksual melibatkan pergantian
MEIOSIS Reproduksi seksual merupakan cara yang paling umum bagi organisma Eukariot untuk menghasilkan turunannya. Reproduksi seksual melibatkan pergantian generasi sel haploid (membawa sepasang kromosom)
Lebih terperinciPEMBELAHAN MITOSIS PADA TUDUNG AKAR BAWANG MERAH (Allium Cepa)
PEMBELAHAN MITOSIS PADA TUDUNG AKAR BAWANG MERAH (Allium Cepa) LAPORAN PRAKTIKUM UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Genetika 1 yang dibimbing oleh Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M.Pd dan Andik Wijayanto, S.Si,
Lebih terperinciS E L. Suhardi, S.Pt.,MP
S E L Suhardi, S.Pt.,MP Foreword Struktur sel, jaringan, organ, tubuh Bagian terkecil dan terbesar didalam sel Aktivitas metabolisme sel Perbedaan sel hewan dan tumbuhan Metabolisme sel Fisiologi Ternak.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada lingkungan hidup masyarakat terutama perubahan suhu, udara, sinar UV,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi informasi dan ekonomi telah membawa perubahan pada lingkungan hidup masyarakat terutama perubahan suhu, udara, sinar UV, polusi dan berbagai
Lebih terperinciBAB 1 PEBDAHULUAN. kalangan usia <18 tahun dan persentasenya sebesar 51,4%. Sementara itu, insiden
BAB 1 PEBDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebiasaan merokok sudah menjadi kebiasaan manusia sejak ratusan tahun yang lalu dan jumlah penggunanya semakin meningkat. Di Amerika perokok baru bertambah 6.300 orang
Lebih terperinciA. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel
A. Pengertian Sel Sel adalah unit strukural dan fungsional terkecil dari mahluk hidup. Sel berasal dari bahasa latin yaitu cella yang berarti ruangan kecil. Seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh
Lebih terperinciDan lain-lainnya hanya di
PEMBELAHAN SEL Disusun oleh: Theresia retno kristanti (131434029) Wida hening sukma C (131434014) Anna maria (131434024) Vera yosefita (131434 Siwi saptarani (131434026) Stevani Widha (131434010) Tia ariana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kesehatan, bahkan pada bungkus rokok-pun sudah diberikan peringatan mengenai
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan hal yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan menurut data WHO tahun 2011, jumlah perokok Indonesia mencapai 33% dari total jumlah penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Minuman isotonik atau dikenal juga sebagai sport drink kini banyak dijual
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minuman isotonik atau dikenal juga sebagai sport drink kini banyak dijual di pasaran. Menurut Badan Standar Nasional (1998), minuman isotonik merupakan salah satu produk
Lebih terperinci