BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN SESUAI DENGAN PENANGANAN BISNIS KARTU KREDIT DALAM ATURAN INTERNAL PT.BANK NEGARA INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN SESUAI DENGAN PENANGANAN BISNIS KARTU KREDIT DALAM ATURAN INTERNAL PT.BANK NEGARA INDONESIA"

Transkripsi

1 24 BAB II PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN SESUAI DENGAN PENANGANAN BISNIS KARTU KREDIT DALAM ATURAN INTERNAL PT.BANK NEGARA INDONESIA A. Prinsip Kehati-hatian Dalam Perbankan. 1. Pengertian dan Pengaturan Prinsip Kehati-hatian Dalam Undangundang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Black Law Dictionary memberikan rumusan tentang prinsip sebagai berikut: Principle. A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A truth or proposition so clear that it cannot be proved or contradicted unless by a proposition which is still clearer. That which constitutes the essence of a body or its constituent parts. 34 Terjemahan: Prinsip merupakan sebuah kebenaran mendasar atau doktrin, sebagai hukum, aturan yang komprehensif atau doktrin yang melengkapi dasar atau asal bagi orang lain; yang menetap aturan tindakan, prosedur, atau penentuan hukum. Sebuah kebenaran atau proposisi sehingga jelas bahwa hal itu tidak bisa terbukti atau bertentangan kecuali dengan proposisi yang masih jelas. Itulah yang merupakan esensi dari tubuh atau bagian-bagian penyusunnya. Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU Nomor 10 Tahun Henry Campbell Black, Op.Cit, hal.1357

2 25 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. 35 Ada satu Pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung subtansi prinsip kehati-hatian, yakni Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4) UU Nomor 10 Tahun Pasal 29 ayat (2) menentukan sebagai berikut: Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Pasal 29 ayat (3) menentukan sebagai berikut: Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Pasal 29 ayat (4) menentukan sebagai berikut: Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari Pasal 29 s/d Pasal 37B), maka Pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan 35 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal.18

3 26 prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebihkhusus lagi menururt Anwar Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit. 36 Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, yaitu Pasal 8, 10, dan 11 UU Perbankan. Pasal 8 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menentukan sebagai berikut: Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang dijanjikan. Pasal 10 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menentukan sebagai berikut: Bank Umum dilarang a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c b. melakukan usaha perasuransian c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 11 UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 11 ayat (1) menentukan sebagai berikut: Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 36 Anwar Nasution, Pokok-pokok pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Pertanggungjawaban Bank terhadap Nasabah, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia, Jakarta, tanggal Juni 1997, hal.2.

4 27 Pasal 11 ayat (2) menentukan sebagai berikut: Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 ayat (3) menentukan sebagai berikut Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh per seratus) atau lebih dari modal disetor bank b. Anggota dewan komisaris c. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c d. Pejabat bank lainnya, dan e. Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihakpihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. Pasal ayat (4) menentukan sebagai berikut: Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4). Dalam bagian akhir ayat (2) misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib melaksanakan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senatiasa memelihara

5 28 tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan. Dalam pada itu, dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehatian-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam bentuk self regulations. Anwar menyebutkan bahwa: Ruang aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan risiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit. 37 Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi sehubungan dengan transaksi nasabah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan Nomor 10 Tahun Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh infomasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya. 38 Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bank benar-benar memiliki tanggung 37 Anwar Nasution, Loc.Cit 38 Penjelasan Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan

6 29 jawab terhadap pada nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan.hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya yang bukan hanya sekedar hubungan debitur kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship). 39 Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah diatur secara khusus dalam beberapa paket deregulasi, misalnya paket deregulasi 25 Maret 1989 dan paket deregulasi Februari Salah satu tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan permodalan minimum 8% (delapan persen) dari kekayaan. Paket tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas perbankan Indonesia. 40 Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU Nomor 10 Tahun Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan Surat Keputusan Direksi BI. 39 St. Remi Sjahdeini, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundangundangan, Pidato Ilmiah dalam Rangka Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UNAIR Surabaya, tanggal 16 Desember Deregulasi Perbankan : Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam diakses 20 April 2012

7 30 2. Peraturan Bank Indonesia Tentang Prinsip Kehati-hatian Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur keharusan penggunaan prinsip kehati-hatian oleh perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya. Ketentuan dalam Pasal 2 tersebut tidak diubah oleh undangundang perbankan yang baru, Undang-Undang Nomor 10 Tahun Kemudian prinsip kehati-hatian itu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 pada perubahan Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi: Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia Ketentuan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, dan rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehatihatian. Di dalam ayat (5) disebutkan Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pengertian BI diberi kewenangan untuk menetapkan pengaturan mengenai pelaksanaan kewajiban bank untuk melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Selain itu, BI juga diberi kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Semua itu diberikan oleh undang-undang dalam rangka memastikan dilaksanakannya prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menjalankan usahanya. Surat edaran ini merupakan peraturan pelaksana dari PBI No. 14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan Atas PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang

8 31 Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Surat edaran BI ini diperlukan untuk meningkatkan penerapan aspek kehati-hatian, aspek perlindungan konsumen, dan aspek peningkatan standar keamanan teknologi APMK. Surat Edaran bernomor 14/17/DASP tentang perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dimana resmi berlaku mulai 7 Juni Kepala Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran BI Boedi Armanto dalam surat edaran tersebut menjelaskan materi dalam perubahan SE ini menyangkut perlindungan nasabah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, standar keamanan kartu, kerjasama penyelenggara APMK dengan pihal lain, serta penyampaian laporan. Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 17 /DASP perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu 7 Juni 2012, ringkasannya yaitu: a. Materi yang dimuat dalam perubahan Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain mencakup: 1) prinsip perlindungan nasabah 2) prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian kartu kredit 3) standar keamanan APMK 4) kerjasama antara penyelenggara APMK dengan pihak lain 5) penyampaian laporan. b. Dalam rangka penerapan prinsip perlindungan nasabah, Penerbit APMK diwajibkan:

9 32 1) menyampaikan informasi tertulis kepada calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu atas APMK yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu, dan 2) menyediakan sarana dan nomor telepon yang dapat secara mudah digunakan dan/atau dihubungi oleh calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu dalam rangka melakukan verifikasi kebenaran segala fasilitas yang ditawarkan dan/atau informasi yang disampaikan oleh Penerbit. c. Untuk Kartu Kredit, informasi tertulis sebagaimana yang dimaksud pada butir 2.a yang wajib disampaikan oleh Penerbit Kartu Kredit kepada calon Pemegang Kartu dan Pemegang Kartu Kredit, termasuk pula informasi tentang: 1) Bunga Kartu Kredit yang paling kurang meliputi: a) Besarnya suku bunga Kartu Kredit, baik suku bunga bulanan maupun suku bunga tahunan b) Pola, tata cara dan komponen penghitungan bunga Kartu Kredit dan c) Tata cara serta persyaratan permohonan penghapusan bunga jika terdapat kesalahan dalam pembebanan bunga kartu kredit; Informasi tata cara dan dasar penghitungan bunga kartu kredit harus dilengkapi dengan contoh atau ilustrasi yang mudah dipahami oleh pemegang kartu kredit. Besarnya suku bunga kartu kredit tidak boleh melampaui suku bunga maksimum yang diditetapkan oleh Bank Indonesia.

10 33 2) Tata cara dan persyaratan bagi pemegang kartu kredit untuk mengakhiri dan/atau menutup fasilitas kartu redit, yang paling kurang memuat informasi: a) Persyaratan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit b) Mekanisme pengajuan permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas Kartu Kredit c) Jangka waktu penanganan oleh Penerbit Kartu Kredit terhadap permohonan pengakhiran dan/atau penutupan fasilitas kartu kredit dan d) Informasi penting lainnya yang perlu diketahui oleh pemegang kartu kredit. 3) Ringkasan transaksi pemegang kartu kredit yang mencakup informasi transaksi pemegang kartu kredit selama satu tahun berjalan dihitung sejak bulan mulai berlakunya kartu kredit, yang paling kurang memuat informasi: a) total transaksi pembelanjaan selama satu tahun b) total transaksi tarik tunai selama satu tahun c) total bunga selama satu tahun d) total biaya selama satu tahun e) total denda selama satu tahun f) performa pembayaran pemegang kartu kredit atas tagihan kartu kredit selama satu tahun; dan g) kualitas kredit pemegang kartu kredit posisi terakhir. d. Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kartu kredit penerbit kartu kredit diwajibkan menerapkan manajemen risiko kredit yaitu:

11 34 1) Batas minimum usia calon pemegang kartu kredit a) Kartu Kredit utama adalah 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin b) Kartu Kredit tambahan adalah 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin 2) Batas minimum pendapatan calon pemegang kartu kredit adalah Rp ,00 (tiga juta Rupiah) tiap bulan 3) Batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada Pemegang Kartu Kredit secara kumulatif kepada 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah sebesar 3 (tiga) kali pendapatan tiap bulan 4) Batas maksimum jumlah penerbit kartu kredit yang dapat memberikan fasilitas kartu kredit untuk 1 (satu) Pemegang Kartu Kredit adalah 2 (dua) Penerbit Kartu Kredit 5) Persentase minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit paling kurang sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan. Pembatasan pada huruf b dan huruf c tidak berlaku bagi calon pemegang kartu kredit dan pemegang kartu kredit yang memiliki pendapatan di atas Rp ,00 (sepuluh juta Rupiah) tiap bulan. e. Dalam rangka memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4, Penerbit Kartu Kredit diwajibkan untuk melakukan: 1) Pengkinian data pemegang kartu kredit 2) Penyesuaian plafon kredit dan jumlah penerbit kartu kredit yang dapat memberikan kartu kredit terhadap pemegang kartu kredit yang memiliki

12 35 pendapatan tiap bulan Rp ,00 (tiga juta Rupiah) sampai dengan Rp ,00 (sepuluh juta Rupiah) dan 3) Pengakhiran dan/atau penutupan kartu kredit bagi pemegang kartu Kredit yang memiliki pendapatan di bawah Rp ,00 (tiga juta Rupiah). Untuk pelaksanaan dan penyelesaian ketentuan ini, penerbit kartu kredit diberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun terhitung sejak 1 Januari f. Pembayaran pemegang kartu kredit sebesar 10% (sepuluh persen) dari total tagihan atau lebih tetapi tidak penuh, harus dialokasikan oleh penerbit kartu kredit untuk pembayaran biaya dan denda apabila ada, dan sisanya paling kurang sebesar 60% (enam puluh persen) untuk pemenuhan kewajiban pokok transaksi. g. Sebagai upaya peningkatan keamanan transaksi pemegang kartu kredit, penerbit kartu kredit diwajibkan mengimplementasikan: 1) PIN paling kurang 6 (enam) digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi; dan 2) Transaction alert kepada pemegang kartu kredit dengan menggunakan teknologi layanan pesan singkat (short message service/sms) atau sarana lainnya berdasarkan pilihan Pemegang Kartu Kredit, apabila terdapat transaksi Kartu Kredit yang memenuhi kriteria: a) Transaksi terjadi di pedagang (merchant) yang menurut penerbit kartu kredit memiliki risiko tinggi (high risk merchant);

13 36 b) transaksi terjadi dalam jumlah dan/atau nilai yang besar atau menyimpang dari profil transaksi Pemegang Kartu Kredit; c) transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang berbeda lokasi dalam waktu yang relatif singkat; d) transaksi terjadi berkali-kali di Pedagang (Merchant) yang sama untuk pembayaran pembelanjaan barang dan/atau jasa yang sama; atau e) transaksi pertama atas Kartu Kredit baru. h. Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa: 1) tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku; 2) identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit; 3) tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut: a) menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan; b) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;

14 37 c) penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal; d) penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit; e) penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu; f) penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit; g) penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul sampai dengan pukul wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan h) penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu. Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK. i) Dalam rangka mendukung kajian Bank Indonesia untuk penetapan suku bunga maksimum Kartu Kredit, Penerbit diwajibkan menyampaikan Laporan Laba Rugi (Profit/Loss Report) Kartu Kredit. Laporan ini wajib disampaikan Penerbit Kartu Kredit kepada Bank indoensia secara berkala, yaitu triwulanan. j) Pemberlakuan secara efektif ketentuan dalam SEBI APMK ini diatur sebagai berikut:

15 38 1) ketentuan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian seperti minimum usia calon Pemegang Kartu Kredit, minimum pendapatan calon Pemegang Kartu Kredit, batas maksimum plafon kredit, batas maksimum perolehan Kartu Kredit, maksimum suku bunga Kartu Kredit, dan penyampaian transaction alert, diberlakukan secara efektif per 1 Januari ) ketentuan mengenai migrasi teknologi tanda-tangan menjadi PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk transakasi Kartu Kredit wajib diselesaikan paling lambat 31 Desember Dengan demikian per 1 Januari 2015 penggunaan PIN paling kurang 6 (enam) digit untuk transaksi Kartu Kredit sudah wajib diimplementasikan secara penuh, dan 3) ketentuan-ketentuan lainnya diberlakukan sejak tanggal perubahan SEBI APMK ini diterbitkan. 41 B. Kartu Kredit 1. Pengertian Dan Pengaturan Kartu Kredit Dalam Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 Dalam perkembangan abad modern ini, masyarakat akan lebih mengharapkan adanya kemudahan dalam melakukan segala macam transaksi. Bank sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa, juga harus 41 (diakses 10 September 2012)

16 39 meningkatkan produk pelayanan jasanya. Salah satu produk yang biasanya ada pada setiap bank adalah kartu kredit. 42 Kartu kredit merupakan salah satu alat bayar dalam transaksi perdagangan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Istilah kartu kredit dalam bahasa Inggris disebut dengan credit card yang didalamnya mencantumkan identitas pemegang kartu kredit dan penerbit yaitu bank/perusahaan pembiayaan. Selain menunjukkan identitas pemegang dan penerbit, istilah kartu kredit juga menunjukkan cara pembayarannya yang dilakukan dengan tidak menggunakan uang tunai, meskipun transaksinya dilakukan secara tunai. Kartu kredit ini umumnya dibuat dari bahan plastik dan berukuran kecil, sehingga istilah kartu kredit sering juga disebut kartu plastik. Dengan bentuk ukurannya yang kecil, menjadikan kartu plastik/kartu kredit sebagai alat bayar yang aman, praktis, mudah, dan sekaligus meningkatkan prestise bagi pemegangnya. 43 Berbeda dengan kartu debit, dimana pemilik kartu (nasabah) wajib mempunyai dana yang cukup pada rekening nasabah pada bank yang bersangkutan, maka dalam kartu kredit nasabah benar-benar diberikan kredit. Dalam layanan kartu kredit nasabah tidak diwajibkan mempunyai rekening di bank yang bersangkutan. Jadi, kartu kredit ini hakikatnya merupakan alat pembayaran transaksi yang memberikan fasilitas kredit kepada pemiliknya, dimana pada saat jatuh tempo, 42 Ismail, Managemen Perbankan, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), hal Sunaryo, Op.Cit, hal. 115

17 40 tagihan atas transaksi tersebut dapat dibayarkan penuh atau sebagian yang telah ditentukan minimalnya dan sisanya menjadi fasilitas kredit. 44 Unsur-unsur dari pengertian kartu kredit adalah sebagai berikut. 45 Pertama subjek kartu kredit, subjek kartu kredit adalah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi penggunaan kartu kredit. Pihak-pihak tersebut terdiri atas pemegang kartu kredit (card holder) sebagai pembeli, pengusaha dagang (merchant) sebagai penjual, dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit (issuer). Kedua objek kartu kredit, Objek karu kredit adalah barang/jasa yang diperdagangkan (merchandise) oleh pengusaha dagang sebagai penjual, harga yang dibayar oleh pemegang kartu kredit sebagai pembeli, dan dokumen jual beli (sales document) yang terbit dari transaksi jual beli. Ketiga peristiwa kartu kredit, peristiwa kartu kredit adalah perbuatan hukum (legal act) yang menciptakan perjanjian penerbitan kartu kredit antara pemegang kartu kredit dan penerbit. Di samping itu, perbuatan hukum yang menciptakan penggunaan kartu kredit antara pemegang kartu kartu kredit sebagai pembeli, pengusaha dagang sebagai penjual, dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit. Keempat hubungan kartu kredit, dalam perjanjian penerbitan kartu kredit timbul hubungan hak dan kewajiban. Pemegang kartu kredit wajib menyetorkan dana kepada penerbit, dan penerbit wajib menerbitkan dan menyerahkan kartu kredit kepada pemegang kartu kredit. Dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, pemegang kartu 44 Try Widiono, Op. Cit. hal Sunaryo, Op. Cit, hal. 117

18 41 kredit wajib membayar barang/jasa kepada penjual dengan cara menunjukkan kartu kredit dan menandatangani tanda lunas pembayaran, penjual wajib menyerahkan barang/jasa kepada pemegang kartu kredit sebagai pembeli, dan penerbit wajib membayar kepada penjual yang menyodorkan tanda lunas pembayaran yang ditandatangani oleh pemegang kartu kredit. Kelima jaminan kartu kredit, jaminan (security) bagi penerbit didasarkan pada perjanjian penerbitan kartu kredit. Pemegang kartu kredit adalah orang yang dapat dipercaya oleh penerbit dan wajib mematuhi ketentuan dan persyaratan perjanjian yang telah ditetapkan oleh penerbit. Sesuai dengan perjanjian, secara berkala pemegang kartu kredit membayar tagihan yang disampaikan oleh penerbit. Kepercayaan dan pembayaran tagihan adalah jaminan bagi penerbit untuk membayar harga barang/jasa yang ditagih oleh penjual. a. Dasar Hukum Atas Legalisasi Pelaksanaan Kartu Kredit Di Indonesia. 1) Perjanjian antara para pihak sebagai dasar hukum sebagaimana diketahui sistem hukum kita menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata). Pasal 1338 ayat 1 tersebut menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada pasal 1338 ayat 1 ini maka asal tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.

19 42 2) Perundang-undangan sebagai dasar hukum. Ada berbagai perundang-undangan lain dengan tegas menyebutkan dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini yaitu sebagai berikut: a) Keppres No.6 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan No.61 Tahun 1998 tentang. Pranata hukum kartu kredit di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan tersebut menjadi titik awal sejarah perkembangan pengaturan kartu kredit sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia. 46 Pasal 2 ayat 1 dari Keppres No.61 ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam Pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan kartu kredit adalah badan usaha yang kegiatan usaha nya pengelolaan kartu kredit. Menurut Pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah : 1. Bank. 2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem keuangan kita). 3. Perusahaan Pembiayaan. b) Keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan RI 46 Ibid

20 43 No.448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan Pasal 2 dari Keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga Pembiayaan adalah usaha kartu kredit. Selanjutnya dalam pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa. 47 c) Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun Sehubungan dengan perbankan, kartu kredit legitimasinya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 seperti yang telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwasanya salah satu kegiatan bank adalah melakukan usaha kartu kredit. d) Berbagai peraturan perbankan lainnya yang mengatur yang mengatur lebih lanjut atau menyinggung kartu kredit ini yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. b. Pengaturan Kartu Kredit Segi hukum perdata ada dua sumber hukum perdata untuk kegiatan pembiayaan kartu kredit, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan dibidang hukum perdata. 1) Asas kebebasan berkontrak 47 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 15

21 44 Hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan pembiayaan kartu kredit selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Dalam hubungan hukum kartu kredit terdapat perjanjian, yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit. Perjanjian penerbitan kartu kredit adalah persetujuan antara bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pemegang kartu kredit sebagai peminjam uang. Kemudian penggunaan kartu kredit adalah persetujuan yang melibatkan 3(tiga) pihak, yaitu bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pembayar, pemegang kartu kredit sebagai pembeli dan perusahaan dagang sebagai penjual. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak yang memuat rumusan kehendak berkontrak para pihak yang memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari masingmasing para pihak. 48 Perjanjian penerbitan kartu kredit dan perjanjian penggunaan kartu kredit merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum yang dibuat perjanjian secara sah maka akan berlaku sebagai undang-undang dari pihak-pihak, yaitu bank/ perusahaan pembiayaan, pemegang kartu kredit, dan perusahaan dagang (Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata). Konsekuensi Yuridis selanjutnya, perjanjian tersebut haruis dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral invoidable). Perjanjian penerbit kartu kredit tersebut berfungsi sebagai dokumen 48 Sunaryo, Op.Cit, hal.118

22 45 bukti yang sah bagi bank/perusahaan pembiayaan, pemegang kartu kredit, dan perusahaan dagang. 2) Undang-undang di Bidang Hukum Perdata Perjanjian kartu kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku III KUHPerdata. Sumber hukum utama kartu kredit adalah ketentuan mengenai perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Kedua sumber hukum utama dibahas dalam konteksnya kartu kredit. a) Perjanjian pinjam pakai habis Perjanjian kartu kredit yang terjadi antara bank/perusahaan pembiayaan dan pemegang kartu kredit digolongkan kedalam perjanjian pinjam habis pakai yang diatur dalam Pasal KUH Perdata. Pasal 1754 KUH Perdata menyatakan bahwa pinjaman pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang habis pakai kepada peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama. Dalam pengertian barang habis pakai termasuk juga sejumlah uang yang dipinjamkan oleh pemberi pinjaman. Pemberi pinjaman adalah penerbit, yaitu bank/perusahaan pembiayaan yang berkedudukan sebagai kreditor, sedangkan peminjam adalah pemegang kartu kredit yang berkedudukan sebagai debitur. Karena barang habis pakai yang dipinjam itu adalah sejumlah uang, menurut ketentuan pasal 1765 KUH Perdata pihak-pihak (bank/perusahaan pembiayaan dan pemegang kartu kredit) boleh memperjanjikan pengembalian

23 46 uang pokok ditambah dengan bunga. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian penerbitan kartu kredit tergolong perjanjian khusus yang objeknya adalah barang habis pakai yang di atur dalam Pasal KUH Perdata. Dengan demikian, ketentuan pasal-pasal tersebut berlaku terhadap dan sejauh relevan dengan perjanjian penerbitan kartu kredit, kecuali apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang. b) Perjanjian jual beli bersyarat Perjanjian penggunaan kartu kredit adalah perjanjian yang terjadi antara pemegang kartu kredit sebagai pembeli, perusahaan dagang sebagai penjual dan bank/perusahaan pembiayaan sebagai penerbit dan pembayar. Perjanjian ini merupakan perjanjian (accessoir) dari perjanjian penerbit kartu kredit sebagai perjanjian pokok. Perjanjian ini digolongkan ke dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal KUH Perdata, tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit. Menurut Pasal 1513 KUH Perdata bahwa pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditetapkan menurut perjanjian. Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok, yaitu pembayaran dengan menggunakan kartu kredit yang saat dan tempat pembayaran ketika penjual (perusahan dagang) menyerahkan kepada bank/perusahaan pembiayan surat tanda pembelian yang ditandatangani oleh pemegang kartu kredit. Dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, penjual (perusahaan dagang) setuju menjual barang/jasa kepada pembeli (pemegang kartu

24 47 kredit) dengan menggunakan kartu kredit. Penjual setuju bahwa harga akan dibayar penerbit (bank/perusahaan pembiayaan) ketika surat tanda pembelian yang ditandatangani oleh pembeli diserahkan kepada penerbit. Syarat perjanjian tersebut mengikat penjual dan pembeli sama mengikatnya dengan perjanjian jual beli tersebut. Penerbit juga terikat karena ketika kartu kredit diterbitkan, penerbit akan membayar harga pembelian barang/jasa kepada siapa pun kartu kredit itu digunakan. 49 c. Karakteristik Yuridis Dari Kartu Kredit. Ditinjau dari segi Yuridis ternyata kartu kredit ini mempunyai karakteristik yuridis tertentu yang berbeda dengan alat pembayaran lainnya seperti cek, wesel atau uang tunai. 1) Perjanjian-perjanjian tentang kartu kredit yaitu perjanjian-perjanjian yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam pengeluaran dan pemakaian kartu kredit agak unik apabila ditinjau dari segi hukum. Perjanjian dibagi menjadi dua kategori: a) Antara Penerbit dengan Pemegang Antara pihak penerbit dengan pemegang kartu kredit terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian, biasanya didahului oleh proses di mana pihak pemegang mempelajari terlebih dahulu syarat-syarat dan kondisi yang berlaku terhadap kartu kredit yang bersangkutan. Perjanjian antara pihak penerbit dengan pihak pemegang kartu kredit ini mirip dengan perjanjian kredit bank, dimana hutang 49 Ibid, hal 120

25 48 akan dibayar kembali secara mencicil pada kartu kredit (dalam arti sempit) dan akan dibayar kembali sekaligus pada waktu penagihan dalam kasus kartu pembayaran tunai (charge card). Karakteristik lainnya adalah pembeli pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamkan (in casu pembayaran hutang) sebelum lewat waktu yang telah ditentukan di dalam perjanjian. Lihat Pasal 1759 KUHPerdata kecuali jika ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi yang menurut perjanjian tersebut, pihak peminjam diharuskan membayar hutang sebelum jatuh tempo. b) Antara Pemegang dengan Penjual Barang/jasa Antara pihak pemengang kartu kredit dengan pihak penjual barang dan jasa terdapat hubungan hukum berupa perjanjian, bahkan seringkali secara tidak tertulis. Yang paling lazim tentunya perjanjian jual beli. Yang terjadi adalah perjanjian tiga pihak antara pihak penjual, pembeli dan pemegang kartu. Perjanjian tiga ini merupakan assessoir terhadap perjanjian pokoknya yaitu perjanjian penerbitan kartu kredit antara pihak penerbit dengan pembeli 2) Apakah kartu kredit termasuk surat berharga. Dapat diketahui bahwa dalam KUH Dagang disebutkan beberapa jenis surat berharga seperti cek, wesel, Aksep dan sebagainya. Sebenarnya surat berharga mempunyai tiga fungsi utama sebagai berikut: a) Sebagai alat bayar (alat tukar pengganti uang) b) Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (dapat diperjualbelikan) c) Sebagai surat bukti hak tagih (legitimasi). Sungguhpun kartu kredit telah mirip dengan surat berharga tetapi dalam pengertian hukum belumlah dapat

26 49 dipandang suatu surat berharga. Sebab jika dilihat dari ke tiga fungsi surat berharga tersebut hanya fungsi yang pertama yang dipenuhi oleh kartu kredit. Yaitu fungsi sebagai alat pembayaran (pengganti uang kontan). Sedangkan fungsi kedua tidak terpenuhi sama sekali. Sementara fungsi ketiga juga terpenuhi walaupun secara tidak langsung hak tagih tersebut dapat dipenuhi tetapi bukan oleh kartu kredit, melainkan oleh slip pembayaran yang telah ditandatangani oleh pemegang kartu kredit Prinsip Kehati-hatian Dalam Bisnis Kartu Kredit Prinsip kehati-hatian atau dikenal dengan prudential banking seakan-akan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi lembaga perbankan, khususnya bagi pengurus dan karyawan perbankan karena seseorang kini dengan mudah dijadikan objek penyelidikan, penyidikan, dan dakwaan, dan sekaligus menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana yang digelar oleh para penegak hukum, yang menganggap yang bersangkutan telah melakukan tindakan melanggar prinsip kehati-hatian tanpa adanya dukungan fakta dan data yang memadai, sesuai prinsip dasar tuntutan dalam ilmu hukum. Akibat lebih jauh dari sikap pegawai pegawai perbakan demikian sedikit banyak berpengaruh pada momentum laju pertumbuhan pemberian fasilitas kredit. 51 Jika melihat permasalahan demikian dengan hati yang bening dan jujur, bahasan mengenai prinsip kehati-hatian melahirkan berbagai macam ragam tafsir, diakses 1 September 51 Tri Widiono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Jakarta, Ghalia indonesia, 2009) hal 97

27 50 bias, dan artifisial. Prinsip kehati-hatian merupakan bentuk cita-cita yang paling ideal berada dalam dunia idealisme tertinggi tanpa cacat. Sebenarnya prinsip kehati-hatian adalah suatu nasihat bahwa setiap mahluk harus bersikap hati-hati. Tegasnya nasihat untuk bersikap hati-hati adalah nasihat antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dengan demikian tidaklah tepat jika seseorang yang melanggar nasihat harus dianggap pelanggaran terhadap normatif hukum karena suatu nasihat bukanlah norma hukum, tetapi merupakan tingkatan tertinggi dari suatu nilai idealisme. Sekalipun dalam perkembangannya pelanggaran hukum juga dapat diartikan sebagai juga bukan hanya hukum positif yang berlaku, tetapi juga ketentuan-ketentuan internal, termasuk di dalamnya standart operasional procedure, manual, job description, dan demikian dalam setiap sangkaan atau dakwaan haruslah mendasarkan pada prinsip umum dalam melakukan lain-lain. Namun sangkaan atau dakwaan yang terlebih dahulu harus terbukti adanya delik dan baru pada unsur pertanggungjawaban. 52 Prinsip kehati-hatian juga tidak berlaku untuk suatu kebijakan yang didasarkan pada prinsip judgment rule karena doktrin judgmen rule merupakan suatu doktrin yang didasarkan pada hakikat manusia dengan segala kodratnya, dimana dalam membuat persepsi ke depan, sering mengalami suatu keadaan di mana prediksinya menjadi tidak tepat. Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya, dengan segala kekuranganya mengalami kekeliruan dan/atau kegagalan suatu pencapaian dari harapan yang didasarkan pada prediksi sejak awal. 52 Ibid, hal. 100

28 51 Doktrin business judgment rule memberikan perlindungan kepada seseorang dari kemungkinan adanya kekeliruan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi, dengan kata lain tidak semua wrong dianggap sebagai kesalahan (guility). 53 Kenyataan bertahun-tahun membuktikan bahwa bank merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu negara. begitu besarnya kepercayaan masayarakat terhadap Bank, sehingga sebuah bank menderita "sakit" sedikit saja, pengaruhnya cukup terasa bagi sendi-sendi ekonomi negara. peran otorias moneter, seperti Bank Indonesia mutlak diperlukan guna mengawasi tingkat kesehatan suatu bank. Selain itu, menyadari masih banyaknya laporan kejahatan kartu kredit di masyarakat, Bank Indonesia menerbitkan aturan yang mewajibkan bank-bank meningkatkan fitur keamanan pada kartu kredit yang diedarkan. Salah satu fitur yang disarankan bank sentral adalah memakai teknologi chip. Diharapkan dengan pemakaian chip, keamanan pemakai kartu kredit dapat semakin terjaga. hal ini disebabkan karena teknologi chip memuat sejumlah aplikasi dan pengamanan yang berlapis berbasis kriptogram. Bank Indonesia juga memandang penting program komunikasi dan sosialisasi dalam upaya mencegah praktik kejahatan kartu kredit dengan mengikutsertakan AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dan aparat penegak hukum. adapun wujud program ini telah dilaksanakan 53 Ibid

29 52 seperti gelar kasus AKKI dan aparat penegak hukum. Bulan pengaduan nasabah pemagang kartu (ATM, debet dan kartu kredit) bersama YLKI atau berbasis program edukasi publikmelalui media massa. dan yang tidak kalah penting adalah program apresiasi kepada aparat penegak hukum yang berhasil menangani tindak kejahatan kartu (ATM, debet dan kartu kredit) bersama YLKI atau berbagai program edukasi publik melalui media massa. dan yang tidak kalah penting adalah program apresiasi kepada aparat penegak hukum yang berhasil menangani tindak kejahatan kartu (ATM, debet dan kartu kredit). C. Gambaran Umum Bank Negara Indonesia PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk lebih dikenal dengan Bank BNI merupakan satu dari beberapa bank tertua dan terbesar yang pernah dan sampai saat ini ada di Indonesia. Sejarah berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, erat hubungannya dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus Berdirinya PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada sidang Dewan Menteri Republik Indonesia tanggal 19 September 1945, diputuskan untuk mendirikan sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Walaupun menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan, pada tanggal 5 Juli 1946 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1946, berhasil didirikan bank

30 53 sirkulasi atau Bank Sentral Milik Negara Republik Indonesia dengan nama Bank Negara Indonesia. 54 Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat, bangsa dan Bank Negara Republik Indonesia, selama 66 tahun usia BNI sejak didirikan pertama kali pada tanggal 5 Juli 1946, BNI terus tumbuh dan berkembang bersama Negeri, mengawal pembangunan di berbagai sektor industri, sesuai dengan tagline BNI Melayani Negeri, Kebanggaan Bangsa, berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara Indonesia, merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Bank Negara Indonesia mulai mengedarkan alat pembayaran resmi pertama yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, yakni ORI atau Oeang Republik Indonesia, pada malam menjelang tanggal 30 Oktober 1946, hanya beberapa bulan sejak pembentukannya. Hingga kini, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional, sementara hari pendiriannya yang jatuh pada tanggal 5 Juli ditetapkan sebagai Hari Bank Nasional. 55 Menyusul penunjukan De Javsche Bank yang merupakan warisan dari Pemerintah Belanda sebagai Bank Sentral pada tahun 1949, Pemerintah membatasi peranan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi atau bank sentral. Bank Negara Indonesia lalu ditetapkan sebagai bank pembangunan, dan kemudian 54 Sumber dari Modul BNI ICONS (Integrated & Centralized On Line System) (diakses 1 september 20012)

31 54 diberikan hak untuk bertindak sebagai bank devisa, dengan akses langsung untuk transaksi ke luar negeri. 56 Sehubungan dengan penambahan modal pada tahun 1955, status Bank Negara Indonesia diubah menjadi bank komersial milik pemerintah. Perubahan ini melandasi pelayanan yang lebih baik dan tuas bagi sektor usaha nasional. Sejalan dengan keputusan penggunaan tahun pendirian sebagai bagian dari identitas perusahaan, nama Bank Negara Indonesia 1946 resmi digunakan mulai akhir tahun Perubahan ini menjadikan Bank Negara Indonesia lebih dikenal sebagai 'BNI 46'. Penggunaan nama panggilan yang lebih mudah diingat 'Bank BNI' ditetapkan bersamaan dengan perubahaan identitas perusahaan tahun Tahun 1992, status hukum dan nama BNI berubah menjadi PT Bank Negara Indonesia (Persero), sementara keputusan untuk menjadi perusahaan publik diwujudkan melalui penawaran saham perdana di pasar modal pada tahun Kemampuan BNI untuk beradaptasi terhadap perubahan dan kemajuan lingkungan, sosial-budaya serta teknologi dicerminkan melalui penyempurnaan identitas perusahaan yang berkelanjutan dari masa ke masa. Hal ini juga menegaskan dedikasi dan komitmen BNI terhadap perbaikan kualitas kinerja secara terus-menerus. Pada tahun 2004, identitas perusahaan yang diperbaharui mulai digunakan untuk menggambarkan prospek masa depan yang lebih baik, setelah keberhasilan mengarungi masa-masa yang sulit. Sebutan 'Bank BNI' dipersingkat menjadi 'BNI', 56 Ibid 57 Ibid

32 55 sedangkan tahun pendirian '46' digunakan dalam logo perusahaan untuk meneguhkan kebanggaan sebagai bank nasional pertama yang lahir pada era Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir tahun 2011, Pemerintah Republik Indonesia memegang 60% saham BNI, sementara 40% saham selebihnya dimiliki oleh pemegang saham publik baik individu maupun institusi, domestik dan asing. Saat ini, BNI adalah bank terbesar ke-4 di Indonesia berdasarkan total aset, total kredit maupun total dana pihak ketiga. Kapabilitas BNI untuk menyediakan layanan jasa keuangan secara menyeluruh didukung oleh perusahaan anak di bidang perbankan syariah (Bank BNI Syariah), pembiayaan (BNI Multi Finance), pasar modal (BNI Securities), dan asuransi (BNI Life Insurance).Dengan total aset senilai Rp 299,1 triliun dan lebih dari karyawan pada akhir tahun 2011, BNI mengoperasikan jaringan pelayanan yang luas mencakup outlet domestik dan 5 cabang luar negeri di New York, London, Tokyo, Hong Kong dan Singapura, unit ATM milik sendiri, serta fasilitas Internet banking dan SMS banking yang memberikan kemudahan akses bagi nasabah.berangkat dari semangat perjuangan yang berakar pada sejarahnya, BNI bertekad untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi negeri, serta senantiasa menjadi kebanggaan negara. 58 Pada tahun-tahun selanjutnya telah dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah untuk memantapkan kedudukan Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi. Namun usahanya,sehingga dapat dikatakan bahwa kredit sangat memegang peran 58 Ibid

33 56 yang sangat penting bagi sukses pembangunan, yang pada saat ini salah satu kantor cabangnya adalah PT. Bank Indonesia Negara (BNI). Adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kredit perbankan sehingga merupakan rambu rambu yang harus dipatuhi dan mengingat pemberian kredit mengandung risiko (kegagalan atau kemacetan pelunasan), maka kegiatan usaha pemberian kredit perlu dikelola secara baik dan sehat. Bank sebagai usaha yang melakukan kegiatan usaha pemberian kredit harus mengelolanya dengan baik. Kegiatan pemberian kredit itu harus dikelola secara baik dan berhati-hati agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank. Sehubungan dengan itu, kegiatan usaha pemberian kredit perbankan harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Bank harus membuat perencanaan kredit yang baik sesuai dengan kondisi bank dengan memperhatikan berbagai hal yang dikaitkan dengan materi perencanaan tersebut. Terdapat banyak hal yang dapat dipertimbangkan dalam menyusun rencana perkreditan suatu bak, baik dari segi intern bak maupun dari segi ekstern bank. Suatu rencana perkreditan bank antara lain meliputi target kredit yang akan diberikan, Langkah-langkah untuk mencapai target, dan upaya penanganan kredit bemasalah. Mengenai perincian dan rencana perkreditan tersebut akan dapat ditetapkan sesuai jenis rencana kerja bank, yaitu apakah berupa rencana kerja jangka pendek (tahunan) atau menengah (3 tahunan) yang oleh ketentuan Bank Indonesia disebut Rencana Bisnis, atau jangka panjang (5 tahunan atau lebih). Suatu rencana perkreditan untuk jangka pendek (tahunan) harus lebih rinci, misalnya mencantumkan tentang jenis kredit yang akan diberikan (kredit mikro, kredit kecil, kredit menengah, dan kredit korporasi), target nasabah dan jumlah

34 57 maksimal masing-masing jenis kredit, sektor ekonomi yang akan dibiayai, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pemberian kredit maka bank harus berhati-hati dalam proses penilaian dan keputusan kredit termasuk pengikatan agunan atau jaminan dalam pemberian kredit kepada calon debitur, demikian juga halnya yang harus dilakukan PT. Bank Negara Indonesia (BNI) dalam pemberian kredit kepada nasabah. 59 D. Bisnis Kartu Kredit BNI 1. Sejarah Kartu Kredit Ide penggunaan kartu kredit diawali pada tahun 1950 an secara kebetulan. Peristiwanya terjadi di kota New York, Amerika Serikat pada sebuah restoran. Seorang pengusaha bernama Frank McNamara mengadakan perjamuan makan bagi rekan usahanya di restoran tersebut. Pada saat akan membayar, ia kebingungan dan malu karena ternyata lupa membawa uang tunai sama sekali. Satu-satu tindakan yang dapat dilakukan hanyalah meninggalkan kartu identitas dengan maksud akan membayar kepada restoran tersebut setelah ia pulang untuk mengambil uang tunai dalam jumlah yang cukup. Kartu identitas tersebut berlaku sebagai semacam jaminan bahwa si pengusaha pasti akan melunasi kewajibannya Katarina Melati Siagian, Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit, (Tesis, USU Respository, Medan, 2006), hal Sigit Triandaru dan Totok Budisanto, (Jakarta: Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 2, 2006), hal. 256

perjalanan serta hiburan (travel & entertainment) 2.

perjalanan serta hiburan (travel & entertainment) 2. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan kartu kredit dewasa ini merupakan suatu fenomena yang marak terjadi ditengah-tengah masyarakat. Keberadaan kartu kredit sendiri tidak terlepas dari

Lebih terperinci

No. 14/ 17 /DASP Jakarta, 7 Juni 2012 S U R A T E D A R A N

No. 14/ 17 /DASP Jakarta, 7 Juni 2012 S U R A T E D A R A N 1 No. 14/ 17 /DASP Jakarta, 7 Juni 2012 S U R A T E D A R A N Perihal : Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 11/ 11 /PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.64, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Alat Pembayaran. Kartu. Penyelenggaraan. Perizinan. Pengawasan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT. E. Latar Belakang dan Pengertian Prinsip Kehati-Hatian

BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT. E. Latar Belakang dan Pengertian Prinsip Kehati-Hatian BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT E. Latar Belakang dan Pengertian Prinsip Kehati-Hatian Prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan. Dunia perekonomian yang serba maju, secara psikologis berpengaruh pula

I. PENDAHULUAN. kemajuan. Dunia perekonomian yang serba maju, secara psikologis berpengaruh pula I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat dewasa ini memang sangat pesat dan mengagumkan. Diantaranya terlihat bahwa kebutuhan masyarakat dari hari ke hari selalu mengalami kemajuan. Dunia

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan Berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara Indonesia, merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/52/PBI/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/52/PBI/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/52/PBI/2005 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan

Lebih terperinci

No. 11/10 /DASP Jakarta, 13 April 2009 S U R A T E D A R A N

No. 11/10 /DASP Jakarta, 13 April 2009 S U R A T E D A R A N No. 11/10 /DASP Jakarta, 13 April 2009 S U R A T E D A R A N Perihal : Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Sehubungan dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14 / 2 /PBI/ 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit Kehadiran bank dirasakan semakin penting di tengah masyarakat. Masyarakat selalu membutuhkan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

S U R A T E D A R A N

S U R A T E D A R A N No. 7/60/DASP Jakarta, 30 Desember 2005 S U R A T E D A R A N Perihal : Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Indonesia, merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Indonesia, merupakan bank pertama yang didirikan dan dimiliki oleh BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Sejarah Singkat Perusahaan Berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu di kenal sebagai Bank Negara Indonesia, merupakan bank

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 14 / 2 /PBI/ 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/11/PBI/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang No.82, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum. Konvensional. Jangka Pendek. Likuiditas. Pinjaman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044) PERATURAN

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Manajemen Kartu Plastik

STIE DEWANTARA Manajemen Kartu Plastik Manajemen Kartu Plastik Manajemen Lembaga Keuangan, Sesi 7 Pengertian Merupakan kartu yang dikeluarkan/diterbitkan oleh bank atau lembaga keuangan selain bank yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/20172017 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.24, 2016 KEUANGAN OJK. BPR. Badan Kredit Desa. Transformasi. Status. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5847) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

BAB I. KETENTUAN UMUM

BAB I. KETENTUAN UMUM BAB I. KETENTUAN UMUM 1 1 Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-552/BL/2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2016 TENTANG KEGIATAN USAHA DAN WILAYAH JARINGAN KANTOR BANK PERKREDITAN RAKYAT BERDASARKAN MODAL

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Valuta Asing. Penukaran. Bukan Bank. Usaha. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5932) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undan

2017, No menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undan No.142, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN OJK. Penyertaan Modal. Prinsip Kehatihatian. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6085) PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk kepentingan negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.199, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Laporan Bank. Transparansi. Publikasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5353) PERATURAN BANK INDONESIA

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.07/2017 TENTANG LAYANAN PENGADUAN KONSUMEN DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Gambaran UmumPerusahaan Profil Umum PT. Bank Negara Indonesia, (Persero)

BAB I PENDAHULUAN Gambaran UmumPerusahaan Profil Umum PT. Bank Negara Indonesia, (Persero) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran UmumPerusahaan 1.1.1 Profil Umum PT. Bank Negara Indonesia, (Persero) Berdiri sejak 1946, BNI yang dahulu dikenal sebagai Bank Negara Indonesia, merupakan bank pertama yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung telah

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/6/PBI/2006 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh :

PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : PERTANGGUNGJAWABAN BANK ATAS PENCATATAN PALSU YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI BANK DALAM PENERBITAN SURAT KETERANGAN PENOLAKAN (SKP) BILYET GIRO Oleh : Dr. Hassanain Haykal, SH.,M.Hum ABSTRAK Bank sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 68-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 1999 PERBANKAN. LIKUIDASI. IZIN USAHA. PEMBUBARAN. LEMBAGA KEUANGAN. (Penjelasan dalam

Lebih terperinci

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH 1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

No. 14/ 27/DASP Jakarta, 25 September 2012 S U R A T E D A R A N. Perihal : Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit

No. 14/ 27/DASP Jakarta, 25 September 2012 S U R A T E D A R A N. Perihal : Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit No. 14/ 27/DASP Jakarta, 25 September 2012 S U R A T E D A R A N Perihal : Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit Sehubungan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/14/PBI/2012 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/14/PBI/2012 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/14/PBI/2012 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/ 9 /PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/ 9 /PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, . PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 6/ 9 /PBI/2004 TENTANG TINDAK LANJUT PENGAWASAN DAN PENETAPAN STATUS BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.04/2015 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan Nomor 10 Tahun Menurut Pasal 1 ayat 2

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan Nomor 10 Tahun Menurut Pasal 1 ayat 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan di dalam Undangundang Perbankan 7 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi Undangundang Perbankan Nomor 10 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia tidak dapat di pisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi yang secara terus menerus dari waktu

Lebih terperinci

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.363, 2014 OJK. Perusahaan Pembiyaan. Kelembagaan. Perizinan Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5637) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UU No. 8/1995 : Pasar Modal

UU No. 8/1995 : Pasar Modal UU No. 8/1995 : Pasar Modal BAB1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1 Afiliasi adalah: hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat a. kedua, baik

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BANK PERKREDITAN RAKYAT GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA. Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Perkreditan Rakyat

SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA. Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Perkreditan Rakyat No. 10/ 45 /DKBU Jakarta, 12 Desember 2008 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Perkreditan Rakyat Sehubungan dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN -1- RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR.../POJK.05/2014 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega

2 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Nega LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2015 KEUANGAN. OJK. Dana Pensiun. Investasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5692) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3/POJK.05/2015

Lebih terperinci

No. 18/42/DKSP Jakarta, 30 Desember 2016 S U R A T E D A R A N. Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank

No. 18/42/DKSP Jakarta, 30 Desember 2016 S U R A T E D A R A N. Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank No. 18/42/DKSP Jakarta, 30 Desember 2016 S U R A T E D A R A N Perihal : Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/20/PBI/2016 tentang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/22/PBI/2014 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA DAN PELAPORAN KEGIATAN PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

Lebih terperinci

Syarat dan ketentuan 1. Definisi Dalam syarat dan ketentuan ini, kecuali apabila konteksnya menentukan lain, istilah-istilah berikut ini memiliki arti

Syarat dan ketentuan 1. Definisi Dalam syarat dan ketentuan ini, kecuali apabila konteksnya menentukan lain, istilah-istilah berikut ini memiliki arti Syarat dan ketentuan 1. Definisi Dalam syarat dan ketentuan ini, kecuali apabila konteksnya menentukan lain, istilah-istilah berikut ini memiliki arti sebagai berikut: a. "Angsuran" adalah besar pembayaran

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT MENTERI KEUANGAN, Menimbang: a. bahwa peningkatan akses dunia usaha pada sumber

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2009 Ekonomi. Lembaga. Pembiayaan. Ekspor. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

Kamus Pasar Modal Indonesia. Kamus Pasar Modal Indonesia

Kamus Pasar Modal Indonesia. Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal Indonesia Kamus Pasar Modal A Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; 2

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/10 /PBI/2003 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa dalam menjalankan dan mengembangkan

Lebih terperinci

SYARAT DAN KETENTUAN FASILITAS DANA BANTUAN SAHABAT

SYARAT DAN KETENTUAN FASILITAS DANA BANTUAN SAHABAT SYARAT DAN KETENTUAN FASILITAS DANA BANTUAN SAHABAT Syarat dan Ketentuan Fasilitas Dana Bantuan Sahabat ( Syarat dan Ketentuan Umum ) ini berlaku bagi Nasabah yang permohonan Fasilitas Dana Bantuan Sahabat

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.399, 2015 KEUANGAN OJK. Reksa Dana. Terproteksi. Penjaminan. Indeks. Pedoman Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5817).

Lebih terperinci

2 d. bahwa melalui layanan keuangan tanpa kantor (branchless banking) tersedia produk-produk keuangan yang dapat dijangkau, sederhana, mudah dipahami,

2 d. bahwa melalui layanan keuangan tanpa kantor (branchless banking) tersedia produk-produk keuangan yang dapat dijangkau, sederhana, mudah dipahami, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.350, 2014 KEUANGAN. OJK. Layanan. Tanpa Kantor. Keuangan Inklusif. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5628) PERATURAN OTORITAS JASA

Lebih terperinci

2017, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia t

2017, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia t LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.83, 2017 PERBANKAN. BI. Bank Umum Syariah. Jangka Pendek. Likuiditas. Pembiayaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6045) PERATURAN

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT 1 of 50 8/23/2014 7:22 PM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT MENTERI

Lebih terperinci

SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT

SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT Living, Breathing Asia SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT Syarat dan Ketentuan Dana Bantuan Sahabat ini berlaku bagi Nasabah yang permohonan Dana Bantuan Sahabat telah disetujui. Harap membaca Syarat

Lebih terperinci

Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal;

Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; Kamus Pasar Modal Afiliasi 1 hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; 2 hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris

Lebih terperinci

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /POJK.04/2015 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA

Lebih terperinci

- 1 - SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

- 1 - SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, - 1 - SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 38 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2 / 6 /PBI/2000 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa bank sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Debitur. Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/ Januari 2005 MDC

Sistem Informasi Debitur. Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/ Januari 2005 MDC Sistem Informasi Debitur Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/2005 24 Januari 2005 MDC PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 7/ 8 /PBI/2005 TENTANG SISTEM INFORMASI DEBITUR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa penyelenggara

Lebih terperinci

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth Syarat dan Ketentuan Umum untuk Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth 1. Definisi Syarat dan Ketentuan Umum ANGSURAN adalah suatu

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 176/BL/2008 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/1/PBI/2004 TENTANG PEDAGANG VALUTA ASING GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya turut memelihara dan mendukung pencapaian stabilisasi nilai rupiah,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 16, 1999 BURSA BERJANGKA. PERDAGANGAN. KOMODITI. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. BAPPEBTI. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 BAB IV PEMBAHASAN A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 Dalam putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014 pada halaman 136 poin 10 dan halaman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kredit Macet 1. Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani Credere yang berarti kepercayaan, oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang

Lebih terperinci