KUALITAS UDARA DALAM RUANG DENGAN KEJADIAN SICK BUILDING SYNDROME DI GEDUNG 4 KANTOR PUSAT BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA PUSAT, TAHUN 2012
|
|
- Hartono Irawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 KUALITAS UDARA DALAM RUANG DENGAN KEJADIAN SICK BUILDING SYNDROME DI GEDUNG 4 KANTOR PUSAT BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA PUSAT, TAHUN 2012 Christabel Caroline Franswijaya 1, Haryoto Kusnoputranto 2 1. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia 2. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia christabel_cf@hotmail.com; haryoto_k@yahoo.com Abstrak Sick Building Syndrome (SBS) merupakan masalah yang sering dialami oleh penghuni gedung namun penyebabnya tidak diketahui pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dalam ruang dengan kejadian SBS di gedung 4 BPS Jakarta Pusat. Digunakan disain studi cross-sectional, variabel independen adalah kualitas udara dalam ruang (kadar PM 10, suhu, kelembaban) dan karakteristik individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, durasi penggunaan komputer). Analisa statistik memberikan hasil proporsi kejadian SBS adalah 45,2%, dari enam variabel yang berhubungan signifikan secara statistik adalah jabatan sekretarial (p-value=0,022, OR=3,714). Lantai dengan kadar PM 10, suhu, dan kelembaban tinggi memiliki kejadian SBS yang tinggi juga, dan sebaliknya. Kata kunci: sick building syndrome, kualitas udara dalam ruang, PM 10 Abstract Indoor Air Quality and Sick Building Syndrome in the 4th Building of BPS Headquarters, Central Jakarta, in Sick Building Syndrome (SBS) is a frequent problem experienced by residents of buildings but the causes are still unknown. This study aims to determine the relationship between the indoor air quality with SBS occurence in 4th building of BPS, Central Jakarta. We used cross-sectional study design, with the indoor air quality (PM 10 levels, temperature, humidity) and individual characteristics (gender, occupation, duration of computer use) as independent variables. From the results of statistical analysis, SBS incidence proportion is 45.2%, from all six variables the one that is statistically significant is secretarial position (p-value = 0.022, OR = 3.714). Floors with high PM 10 levels, temperature, and high humidity have a high incidence of SBS as well, and vice versa. Keywords: sick building syndrome, indoor air quality, PM Pendahuluan Sick Building Syndrome (SBS) merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan situasi dimana penghuni gedung mengalami gangguan kesehatan akut yang berhubungan dengan waktu yang dihabiskan selama berada di dalam sebuah gedung, namun gangguan tersebut bukanlah penyakit yang spesifik dan penyebabnya juga tidak diketahui secara pasti 1. Sindrom ini umumnya terjadi pada pekerja atau karyawan yang bekerja di dalam ruangan tertutup dengan waktu kerja 8 jam atau lebih per harinya. Beberapa gangguan kesehatan yang termasuk dalam SBS adalah gangguan kesehatan akut, seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, atau tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau kasar, pusing, mual, sulit berkonsentrasi, mata berair, iritasi kulit, hidung berair, merasa ingin muntah, merasa lelah, dan gangguan lainnya 1,2.
2 Beberapa penelitian di berbagai tempat menemukan adanya cukup banyak gedung yang kualitas udaranya buruk dan memiliki prevalensi SBS tinggi. Woods (1989) memperkirakan bahwa gedung di Amerika Serikat memiliki masalah-masalah yang dapat menyebabkan SBS, dengan jumlah pekerja yang mungkin terpajan sekitar juta orang 3. Di Indonesia gedung yang sudah bersertifikat gedung hijau baru ada 2 gedung yaitu Menara BCA PT. Grand Indonesia dan Sampoerna Strategic Square (gbcindonesia.org) 4, dan selain itu ada 1 gedung yang sudah bersertifikat gedung hijau namun masih dalam tahap pembangunan, yaitu gedung Kantor Manajemen Pusat PT. Dahana (Persero). Kota Jakarta yang didominasi gedung bertingkat ternyata hampir semua gedungnya belum memenuhi kriteria gedung sehat. Penelitian yang dilakukan oleh Sobari (1994) di gedung PDII Jakarta yang memberikan hasil prevalensi SBS yang cukup besar, yaitu sebesar 53,62% 5. Kejadian SBS umumnya disebabkan oleh kualitas udara dalam ruang kerja yang buruk, yang dipengaruhi oleh ventilasi yang buruk, kontaminan kimia yang bersumber dari dalam dan luar ruang, serta kontaminan biologi seperti jamur dan bakteri (EPA, 1991) 1. Menurut Burge (2004), faktor penyebab SBS yang utama adalah ventilasi, suhu ruang, kelembaban ruang, kualitas udara ambien, bakteri dan jamur, serta debu. Penelitiannya menunjukkan bahwa SBS umumnya terjadi pada pekerja dengan jenis kelamin wanita, pekerja dengan kelompok pekerjaan rendah, pekerja yang terpajan debu kertas, asap rokok, debu di ruang kerja, menggunakan komputer secara berlebihan, suhu ruang kerja yang terlalu tinggi (lebih dari 23 C pada ruangan ber-ac), laju ventilasi kurang dari 10 liter/detik/orang, gedung ber-ac sentral, gedung yang kurang maintenance, dan gedung yang frekuensi pembersihannya kurang 6. Gedung 4 kantor pusat Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta Pusat saat ini menempati bangunan setinggi 7 lantai, dan gedung ini belum memiliki sertifikat gedung hijau. Pekerja di kantor pusat BPS bekerja kurang lebih 8 jam per harinya dan seluruh ruangan tertutup dan menggunakan AC split. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan kondisi lingkungan gedung kantor pusat BPS dapat menimbulkan SBS pada pekerjanya. Masalah ini cukup serius namun sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai SBS di BPS Jakarta Pusat. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk melihat hubungan dan pengaruh kualitas udara dalam ruang di gedung 4 kantor pusat BPS Jakarta Pusat dengan kejadian SBS pada pekerjanya. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan disain studi crosssectional, di Gedung 4 Kantor Pusat Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat pada bulan November Januari Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai baik tetap maupun training, yang bekerja di gedung 4 kantor pusat BPS, Jakarta Pusat pada waktu penelitian, tidak termasuk office boy dan satpam. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pekerja di kantor pusat BPS, Jakarta Pusat dengan kriteria inklusi sampel adalah pekerja yang bekerja di dalam ruang di gedung minimal 7 jam per hari dan kriteria eksklusi sampel yaitu pekerja yang sedang mengalami ISPA, alergi dan/atau asma, sedang mengalami sakit berat, dan/atau sedang mengandung. Kriteria eksklusi ditetapkan untuk mencegah kerancuan dalam penelitian. Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini dihitung dengan rumus besar sampel menurut Lwanga & Lemeshow (1991) 7, dengan presisi 10%, derajat kepercayaan 95%, proporsi variabel dependen di populasi dari data penelitian sebelumnya oleh Rani (Rani, 2011) sebesar 72,7% 8, serta besar populasi sasaran sebanyak 395 pegawai. Dari perhitungan didapat jumlah sampel minimal sebanyak 64 orang dan sampel yang diambil berjumlah 73 orang. Sampel diambil dengan menggunakan non-probability sampling (non-random sampling) yaitu purposive sampling. Jenis data berupa data kuantitatif yang meliputi kadar PM 10, suhu, kelembaban, jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer dengan sumber data yaitu data primer yang diperoleh melalui observasi, kuisioner, dan pengukuran. Alat yang digunakan adalah WBGT QuesTemp 36 untuk mengetahui suhu dan kelembaban, EPAM 5000 Haz- Dust untuk mengetahui kadar PM 10, dan kuisioner untuk mengetahui keluhan SBS dan faktor individu. Data dikumpulkan melalui observasi, pengisian kuisioner, dan pengukuran. Data SBS merupakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner yang diisi sendiri oleh responden yang bersangkutan. Data faktor individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer) diambil dengan menggunakan kuisioner yang diberikan bersamaan dengan kuisioner keluhan SBS. Sedangkan untuk data kadar PM 10, suhu dan kelembaban juga merupakan data primer yang diambil dengan melakukan pengukuran dengan menggunakan EPAM 5000 Haz-Dust dan WBGT QuesTemp 36. Suhu yang diukur merupakan suhu kering ruangan pada saat penelitian. Pengukuran PM 10 dilakukan pada 7 titik yaitu 1 titik pada tiap lantai selama satu jam, sedangkan pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama kurang lebih menit di masing-masing
3 titik. Pengukuran dilakukan dalam periode waktu yang sama dengan pengambilan data SBS dari responden dengan kuisioner. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis univarat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi variabel bebas (independen), variabel terikat (dependen), maupun deskripsi karakteristik responden. Analisis univariat dilakukan pada variabel-variabel yaitu kualitas udara (kadar PM 10, suhu, dan kelembaban), kejadian SBS, serta faktor individu. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square untuk analisis hubungan antara kualitas udara yang telah dikelompokkan dan karakteristik individu karena variabel independen dan dependen sama-sama variabel katagorik. Kadar PM 10, suhu, dan kelembaban sebelum dianalisis dengan uji chi square dikelompokkan menjadi dua kelompok sesuai dengan definisi operasional. Faktor individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan computer) juga dikelompokkan menjadi dua sampai tiga kelompok berdasarkan definisi operasional, lalu dianalisis juga menggunakan uji chi square. Jika nilai sig p dari uji chi square > 0,05 maka hipotesis penelitian diterima, dan jika nilai sig p 0,05 maka hipotesis ditolak. 3. Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden. Berikut merupakan nilai distribusi dan frekuensi dari karakteristik responden, yaitu jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer dalam penelitian ini. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Variabel n=73 % Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Kelompok pekerjaan Manajerial Teknis Sekretarial Durasi penggunaan komputer Tidak sama sekali < 2 jam per hari 2 jam per hari ,2 54,8 9,6 27,4 63,0 6,8 2,7 90,4 Persentase jenis kelamin responden hampir seimbang, namun yang lebih banyak adalah responden perempuan (54,8, sedangkan responden laki-laki ada 45,2%. Sebagian besar responden memiliki kelompok pekerjaan sekretarial (63,0, selebihnya responden dengan kelompok pekerjaan teknis (27,4 dan yang paling sedikit responden dengan kelompok pekerjaan manajerial (9,6. Mayoritas responden menggunakan komputer lebih dari 2 jam per hari (90,4, sedangkan sisanya ada yang tidak menggunakan komputer (6,8 dan menggunakan komputer dibawah 2 jam per hari (2,7. Kualitas Udara dalam Ruang. Nilai distribusi frekuensi kualitas udara yang meliputi kadar PM 10, dalam ruang dalam penelitian ini digambarkan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2. Distribusi Kualitas Udara dalam Ruang Menurut Lokasi/Lantai Tempat Kerja Variabel Lt. 1 Lt. 2 Lt. 3 Lt. 4 Lt. 5 Lt. 6 Lt. 7 Kadar PM 10 0,09 9 0,01 6 0,06 1 0,03 4 0,04 4 0,15 8 0,00 9 (mg/m ) Suhu 26,1 25,8 25,5 25,5 25,9 26,1 25,6 ( C) Kelem -baban Relatif ( Kadar PM 10 terendah adalah di lantai 7 yaitu 0,009 mg/m 3, dan kadar PM 10 tertinggi adalah di lantai 6 yaitu 0,158 mg/m 3. Suhu terendah adalah suhu di lantai 3 dan lantai 4 yaitu 25,5 C dan kelembaban relatif terendah terdapat di lantai 7 yaitu 64%. Sedangkan suhu tertinggi adalah suhu di lantai 1 dan lantai 6 yaitu 26,1 C, dan kelembaban relatif tetinggi adalah kelembaban di lantai 6 yaitu 79%. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kualitas udara di lantai 6 lebih buruk dibanding lantai lainnya karena kadar PM 10, suhu, dan kelembaban relatif yang tinggi, dan kualitas udara yang paling baik adalah di lantai 7, karena kadar PM 10, suhu, dan kelembaban relatif yang rendah dan berada pada batas normal. Variabel kualitas udara yang diteliti dalam penelitian ini adalah kadar PM 10, suhu, dan kelembaban relatif. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi satu sama lain karena dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa lantai dengan suhu yang tinggi maka kelembabannya juga tinggi, demikian sebaliknya. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi kadar PM 10 karena kadar PM 10 yang tinggi ditemukan pada lantai dengan suhu dan kelembaban yang juga tinggi. Secara teoritis menurut Burroughs & Hansen (2008), suhu dan kelembaban yang tinggi umumnya mempercepat penguapan bahanbahan material dan VOCs, kelembaban tinggi juga
4 dapat mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pada udara 9. Kejadian SBS. Aditama (1992) menyatakan bahwa SBS baru dapat dipertimbangkan bila lebih dari 20% penghuni gedung mengalami keluhan 10. Dari hasil analisis data didapatkan hasil bahwa ada 45,2% pegawai yang mengalami minimal 1 keluhan selama 2 minggu terakhir. Kasus SBS dialami oleh 33 responden (45,2 dengan kriteria orang tersebut mengalami minimal 1 keluhan dan hilang ketika tidak sedang berada di dalam gedung (pulang, di rumah, dan/atau sedang libur) sedangkan sisanya tidak mengalami SBS (tidak mengalami gejala sama sekali dan/atau mengalami gejala namun tidak hilang ketika di luar gedung). Jumlah kasus yang ditemukan cukup tinggi, mencapai hampir setengah dari responden. Tabel 3. Data Kasus SBS Keluhan SBS n % Kasus 1 keluhan dan hilang ,8 ketika diluar gedung Bukan Tidak ada keluhan ,2 kasus Ada keluhan tapi tidak 16 hilang ketika diluar gedung Total ,0 Tabel 4. Distribusi Kasus SBS Berdasarkan Lantai Tempat Responden Bekerja Sick Building Syndrome Total Lantai SBS Tidak SBS Responden n % n % n % ,9% 13 59,1% % ,0% 3 50,0% 6 100% ,0% 3 60,0% 5 100% ,5% 10 62,5% % ,0% 6 60,0% % ,8% 2 22,2% 9 100% ,0% 3 60,0% 5 100% Total 33 45,2% 40 54,8% % Kasus SBS paling banyak terjadi di lantai 6 (77,8 dan paling sedikit ditemukan pada lantai 4 (37,5. Pada lantai 1, 2, 3, 5, dan 7, kasus SBS ditemukan namun tidak mencapai lebih dari 50%, berkisar antara 40-50%. Kejadian SBS paling banyak ditemukan di lantai 6, dimana suhu dan kelembaban relatif udara cukup tinggi dibandingkan lantai lainnya. Sedangkan di lantai 4 dan 7 dimana suhu dan kelembaban relatif udara rendah, kasus SBS yang ditemukan sedikit. Burroughs & Hansen (2008) menyebutkan bahwa suhu dan kelembaban yang tinggi dapat memberikan rasa tidak nyaman dan mempengaruhi keberadaan kontaminan di udara. Rasa tidak nyaman dapat meningkatkan sensitivitas dan mengakibatkan pegawai mengalami keluhan-keluhan yang tidak dapat diketahui penyebab pastinya 9. Tabel 5. Jenis dan Jumlah Keluhan yang Dialami Responden Jenis Keluhan n % Pada mata 15 20,5 Pada pernapasan 29 39,7 Pada tenggorokan 24 32,9 Pada kulit 9 12,3 Pusing 31 42,5 Meriang, demam 17 23,3 Kelelahan 17 23,3 Mual, muntah 8 11,0 Sakit perut, diare 10 13,7 Lainnya 4 5,5 Tabel 6. Waktu Munculnya Gejala SBS pada Responden Waktu n % Munculnya Gejala Pagi 3 9,1 Siang 17 51,5 Sore 13 39,4 Total ,0 Keluhan yang paling banyak dialami responden selama 2 minggu terakhir adalah keluhan pada pernapasan. Keluhan ini dialami satu kali atau lebih dalam 2 minggu terakhir oleh 29 responden dari 73 responden (39,7. Sedangkan keluhan yang paling sedikit dialami adalah keluhan mual, muntah yaitu berjumlah 8 responden (11. Keluhan paling sering terjadi saat siang hari ketika sebelum/setelah istirahat (51,5 dan saat sore ketika akan pulang kerja (39,4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang berada di dalam ruangan, maka semakin rentan ia untuk mengalami SBS. Gejala SBS umumnya dirasakan setelah berada dalam gedung dalam waktu yang cukup lama, setelah 1-2 jam. Semakin lama seseorang berada di dalam gedung, semakin terpajan ia dengan udara dalam ruang dan faktor risiko lainnya sehingga meningkatkan risiko untuk mengalami SBS. Puncaknya saat siang hari, kemudian setelah itu
5 pegawai akan keluar gedung untuk beristirahat, sehingga gejala SBS yang dirasakan berkurang, dan hal ini ditunjukkan dengan persentase kejadian SBS yang sedikit lebih kecil pada sore hari dibandingkan pada siang hari. Karakteristik Responden dan Kejadian SBS. Dari hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian SBS, diperoleh ada sebanyak 14 (42,4 responden laki-laki mengalami SBS. Sedangkan di antara responden perempuan ada sebanyak 19 (47,5 yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai P-value 0,844, atau dengan kata lain tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai lakilaki dan perempuan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian SBS. Hasil OR yang diperoleh sebesar 1,228, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai dengan jenis kelamin perempuan lebih berisiko 1,228 kali untuk mengalami SBS dibandingkan pegawai laki-laki. Tabel 7. Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian SBS Variabel SBS Tidak SBS p OR (95 % CI) n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 19 47, ,5 0,884 1,228 Perempuan 10 30, ,7 0,5-3,1 Kelompok Pekerjaan Sekretarial 26 56, ,5 0,022 3,714 Manajerial dan teknis 18 29, ,0 1,3-10,5 Durasi Penggunaan Komputer Tidak sama 3 42,9 4 57,1 1,000 1,111 sekali dan < 2 jam per hari 2 jam per 30 45, ,5 0,2-5,4 hari p = nilai p pada hasil uji statistik OR = Odds Ratio CI = Confident Interval Ketika analisis hubungan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS dilakukan, didapat hasil bahwa nilai expected pada 2 sel (33,3 ternyata lebih kecil dari 5, dengan nilai expected terkecil 3,16. Karena itu, dilakukan pengelompokkan ulang pada 3 kategori tersebut (manajerial, teknis, sekretarial), dimana manajerial dan teknis dijadikan 1 kategori karena merupakan kelompok pekerjaan yang tidak terlalu banyak berada di dalam ruangan secara terus-menerus, dan kelompok pekerjaan sekretarial dibiarkan tetap. Hasil analisis ulang pada hubungan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS diperoleh bahwa ada sebanyak 7 (25,9 pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis yang mengalami SBS. Sedangkan diantara pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial, ada 26 (56,5 yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,022, artinya ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis dengan pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial (ada hubungan yang signifikan antara kelompok pekerjaan dengan kejadian SBS). Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR=3,714, artinya pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial memiliki peluang 3,714 kali untuk terkena SBS dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis. Hal ini sejalan dengan penelitian Burge, Hedge, Wilson, Bass, & Robertson (1987) bahwa pegawai sekretarial lebih berisiko dibanding pegawai teknis, dan pegawai teknis mengalami lebih banyak gejala dibanding pegawai manajerial 11. Pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial merupakan staf yang menghabiskan sepanjang jam kerjanya di kubikel kerja, melakukan pekerjaan administratif sehingga sepanjang hari mereka menghirup udara dalam ruang yang sama dan jarang melakukan aktivitas fisik. Sedangkan pegawai dengan kelompok pekerjaan teknis memiliki kecenderungan untuk beraktivitas diluar ruang, dan ada beberapa yang memiliki jam kerja di dalam ruang lebih sedikit dari jam kerja pegawai lain. Pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial lebih berfungsi sebagai supervisor, tidak setiap hari mereka masuk kantor dan ketika di dalam kantor mereka cenderung bergerak, sehingga dapat dikatakan pegawai dengan kelompok pekerjaan teknis dan manajerial lebih berkesempatan untuk menghirup udara luar ruang lebih banyak dan melakukan aktivitas fisik lebih sering dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial. Halhal tersebut dapat menyebabkan pegawai dengan kelompok pekerjaan lebih rendah lebih berisiko mengalami SBS. Selain itu, pegawai dengan kelompok pekerjaan rendah umumnya lebih mudah mengalami stress dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan lebih tinggi, dan stress dapat meningkatkan sensitivitas terhadap udara dalam ruang. Hasil analisis durasi penggunaan komputer dengan SBS, didapat bahwa nilai expected pada 4 sel (66,7 ternyata kurang dari 5, dengan nilai expected terkecil 0,90. Karena itu, dilakukan pengelompokkan ulang pada 3 kategori tersebut, yaitu kategori tidak menggunakan komputer sama sekali dan menggunakan selama kurang dari 2 jam per hari dijadikan 1 kategori,
6 dan kategori menggunakan komputer lebih atau sama dengan 2 jam per hari dibiarkan tetap. Setelah dilakukan analisis ulang, diperoleh bahwa ada sebanyak 3 (42,9 pegawai yang tidak menggunakan komputer atau menggunakannya dibawah 2 jam mengalami SBS. Sedangkan diantara pegawai dengan penggunaan komputer sama dengan atau lebih dari 2 jam, ada 30 (45,5 yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan komputer dengan kejadian SBS. Hasil OR yang diperoleh sebesar 1,111, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai dengan penggunaan komputer lebih dari atau sama dengan 2 jam per hari lebih berisiko 1,111 kali untuk mengalami SBS dibandingkan pegawai yang tidak menggunakan komputer atau menggunakannya dibawah 2 jam per hari , ,4 0,537- Tabel 8. Kualitas Udara dalam Ruang dan Kasus SBS Variabel SBS Tidak SBS p OR (95 % n % n % CI) Kadar PM 10 > 0,15 mg/m ,3 5 41,7 0,495 1,885 0,15 mg/m 3 6,610 Suhu > 26 C 16 51, ,4 0,479 1, C 17 40, ,5 0,615-3,999 Kelembaban relatif > 70% 16 51, ,4 0,479 1,569 70% 17 40, ,5 0,615-3,999 p = nilai p pada hasil uji statistik OR = Odds Ratio CI = Confident Interval Data kadar PM 10, suhu dan kelembaban dalam ruang selain dianalisis dengan uji T independen, dianalisis juga dengan menggunakan uji chi square. Uji ini dilakukan untuk melihat nilai OR dan perbedaan kondisi dalam dua kelompok, yang mengalami SBS dan yang tidak. Hasil analisis hubungan antara kadar PM 10 dalam ruang dengan kejadian SBS diperoleh bahwa ada sebanyak 26 (42,6 pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 sama dengan atau dibawah 0,15 mg/m 3 mengalami keluhan SBS. Sedangkan diantara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 diatas 0,15 mg/m 3 ada 7 (58,3 yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,495 maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 rendah dan kadar PM 10 tinggi (tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar PM 10 dengan kejadian SBS). Hasil OR yang didapat sebesar 1,885, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 tinggi berisiko 1,885 kali untuk mengalami SBS dibanding pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 rendah. Jika dilihat dari persentase dan bukan secara statistik, terdapat perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 tinggi dan kadar PM 10 rendah. Pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 dibawah atau sama dengan 0,15 mg/m 3 mayoritas tidak mengalami SBS (kejadian SBS 42,6, sedangkan pegawai yang berada dalam ruangan dengan kadar PM 10 diatas 0,15 mg/m 3 mayoritas mengalami SBS (kejadian SBS 58,3 walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok. Hasil analisis hubungan antara suhu ruang dan kelembaban ruang dengan kejadian SBS memberikan hasil sama yaitu diperoleh bahwa ada sebanyak 17 (40,5 pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu dibawah atau sama dengan 26 C dan kelembaban dibawah atau sama dengan 70% mengalami keluhan SBS. Sedangkan diantara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi (diatas 26 C) dan kelembaban diatas 70% ada 16 (51,6 yang mengalami SBS. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,479 maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan proporsi kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu rendah dan suhu tinggi (tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian SBS). Hasil OR yang didapat sebesar 1,569, artinya jika sampel diperbesar, ada kecenderungan pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi berisiko 1,885 kali untuk mengalami SBS dibanding pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu rendah atau cenderung normal. Jika dilihat dari persentase dan bukan secara statistik, terdapat perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu tinggi dan kelembaban tinggi dengan pegawai dalam ruangan dengan suhu rendah dan kelembaban rendah. Pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu dibawah atau sama dengan 26 C dan kelembaban dibawah atau sama dengan 70% mayoritas tidak mengalami SBS, sedangkan pegawai yang berada dalam ruangan dengan suhu diatas 26 C dan kelembaban diatas 70% mayoritas mengalami SBS walaupun perbedaannya tidak terlalu mencolok.
7 Tabel 9. Distribusi Kasus SBS dan Kualitas Udara Dalam Ruang di Gedung 4 Kantor Pusat BPS Sick Building Lantai SBS Tidak PM 10 baban Syndrome Kadar Kelem- Suhu SBS ,099 26,1 74% (40,9 (59, ,016 25,8 67% (50 ( ,061 25,5 67% ( (37,5 5 4 (40,0 6 7 (77,8 7 2 (40,0 (60 10 (62,5 6 (60,0 2 (22,2 3 (60,0 0,034 25,5 67% 0,044 25,9 69% 0,158 26,1 79% 0,009 25,6 64% Di lantai 6 dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban paling tinggi (0,158 mg/m 3, 26,1 C, dan 79, ditemukan paling banyak kasus SBS. Sedangkan di lantai 3, 4 dan 7 dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban relatif rendah, ditemukan sedikit kasus SBS. Data kualitas udara diukur pada 7 titik yaitu 1 titik pada tiap lantai. Dari 7 lantai, ditemukan keluhan SBS dialami oleh mayoritas pegawai pada dua lantai (lantai 2 dan 6) dan lima lantai lainnya mayoritas pegawainya tidak mengalami keluhan SBS. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi satu sama lain karena dari hasil pengukuran dapat dilihat bahwa lantai dengan suhu yang tinggi maka kelembabannya juga tinggi, demikian sebaliknya. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi kadar PM 10 karena kadar PM 10 yang tinggi ditemukan pada lantai dengan suhu dan kelembaban yang juga tinggi. Ditemukan juga pada lantai dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban yang tinggi, SBS lebih banyak terjadi. Sedangkan pada lantai dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban yang rendah, SBS tidak banyak. Analisa statistik tidak memberikan hasil adanya perbedaan yang signifikan kejadian SBS pada lantai dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban tinggi dengan kadar PM 10, suhu dan kelembaban lebih rendah. Dari ketiga parameter ini, yang paling dominan berperan dalam kejadian SBS adalah kadar PM 10, karena dari hasil OR didapat, yang paling besar adalah OR dari analisa statistik antara kadar PM 10 dengan SBS. 4. Kesimpulan dan Saran Dari penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa gejala/keluhan SBS dialami oleh lebih dari 20% penghuni gedung, yaitu 45,2%, dengan persentase kasus terendah ada di lantai 4 yaitu 37,5%, dan tertinggi ada di lantai 6 yaitu 77,8%. Keluhan SBS paling sering terjadi pada siang hari (51,5 dan keluhan yang paling banyak dialami adalah keluhan pada pernapasan (pilek, flu, sesak napas, batuk, bersinbersin), pada tenggorokan (gatal, kering, suara parau, sakit tenggorokan, sering sariawan), pusing (pusing, kepala terasa berat, sulit konsentrasi, pening, migren, mudah mengantuk), merasa badan panas dingin (meriang) atau demam), serta kelelahan, lemas, lesu, dan gemetar. Kualitas udara dalam ruang di gedung 4 kantor pusat BPS Jakarta Pusat umumnya masih dibawah standar, yaitu rata-rata kadar PM 10 adalah 0,06 mg/m 3 (terendah 0,009 mg/m 3 di lantai 7, tertinggi 0,158 mg/m 3 di lantai 6); rata-rata suhu udara dalam ruang adalah 25,7 C (terendah 25,5 C di lantai 3 dan 4, tertinggi 26,1 C di lantai 1 dan 6); rata-rata kelembaban relatif udara dalam ruang adalah 69,57% (terendah 64% di lantai 7, tertinggi 79% di lantai 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketiga faktor kualitas udara dalam ruang tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan kejadian SBS (P-value uji T independen untuk kadar PM 10 =0,149, suhu=0,348, kelembaban=0,153, P-value uji chi square kadar PM 10 =0,495, suhu=0,479, kelembaban=0,479), namun jika dilihat proporsinya, maka dapat disimpulkan bahwa di lantai/ruangan dengan kadar PM 10, suhu, dan kelembaban yang tinggi terdapat banyak pegawai yang mengalami keluhan SBS. Sedangkan dari ketiga karakteristik individu (jenis kelamin, kelompok pekerjaan, dan durasi penggunaan komputer), yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian SBS hanya kelompok pekerjaan sekretarial (P-value = 0,022 dan OR = 3,714), dimana pegawai dengan kelompok pekerjaan sekretarial memiliki peluang 3,714 kali untuk terkena SBS dibanding pegawai dengan kelompok pekerjaan manajerial & teknis. Sebagai lembaga berwenang, Balai Hiperkes dan K3 DKI Jakarta perlu lebih proaktif dan melakukan penawaran untuk pemantauan secara berkala pada gedung-gedung perkantoran mengenai kualitas udara dan tidak hanya menunggu permintaan, juga sebaiknya membantu dalam penanggulangan dan pengendalian jika kualitas udara ternyata melampaui standar yang ada. BPS sendiri perlu melakukan maintenance dan pembersihan AC dan saluran udara secara berkala, agar
8 kelembaban udara tetap terjaga pada batas normal, karena AC dan saluran udara yang jarang dibersihkan dapat menyebabkan banyak jamur dan bakteri yang tinggal sehingga udara menjadi lembab. Suhu ruangan kerja yang pada umumnya sudah ideal, sebaiknya terus dijaga agar tidak melebihi 26 C atau dibawah 23 C, idealnya sekitar C. Pertukaran udara dari luar dan dalam gedung perlu dimaksimalkan dengan cara membuka ventilasi dan jalur masuk udara luar berupa jendela dan/atau pintu yang ada secara berkala dan menghentikan penggunaan AC selama beberapa waktu, misalnya satu jam per harinya. Hal ini dilakukan agar ada pertukaran dan penyegaran udara, yaitu udara segar dari luar masuk ke dalam ruang dan kontaminan termasuk partikulat dari dalam ruang dapat keluar. Selain itu secara berkala juga perlu dilakukan monitoring terhadap kadar PM 10, suhu, dan kelembaban dalam ruang agar dapat dijaga tetap sesuai dengan standar. 8. Rani, A. P. (2011) Analisis Faktor yang Berhubungan Dengan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pegawai Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. 9. Burroughs, H. E., & Hansen, S. J. (2008). Managing Indoor Air Quality (4th Edition ed.). Lilburn: The Fairmont Press, Inc. 10. Aditama, T. Y. (1992). Sindrom Gedung Sakit. Cermin Dunia Kedokteran (70), Burge, P. S., Hedge, A., Wilson, S., Bass, J. H., & Robertson, A. (1987). Sick building syndrome: A study of 4373 office workers. Ann Occup Hyg 31, Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Bapak Prof. dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM, Dr. PH. selaku dosen pembimbing, Bapak Dr. Ricki M. Mulia selaku penguji luar dari Balai Hiperkes dan K3 DKI Jakarta, Ibu Laila Fitria, SKM, MKM selaku penguji luar dari Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI, orangtua dan keluarga, sahabat-sahabat terdekat, teman-teman seangkatan dan semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan dan penulisan penelitian ini. Daftar Acuan 1. Environmental Protection Agency. (1991, February). Indoor Air Facts No. 4 (revised) Sick Building Syndrome. Dipetik Oktober 23, 2012, dari EPA: 2. Molhave, L. (1987). The sick buildings: A subpopulation among the problem buildings. Indoor Air 2, Woods, J. E. (1989). Cost avoidance and productivity in owning and operating buildings. Occup Med State of Art 4, Green Building Council Indonesia. (2012). Greenship Certified Existing Building. Dipetik November 4, 2012, dari GBC Indonesia: site/ / /greenship-certified-eb 5. Sobari. (1994). Kajian Prevalensi Sick Building Syndrome (Kasus Gedung Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Jakarta). Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 6. Burge, P. S. (2004). Sick Building Syndrome. Occup Environ Med, 61, Lwanga, S.K., & Lemeshow, S. (1991). Sample Size Determination in Health Studies: A Practical Manual. Geneva: World Health Organization.
9
BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standar. (1)
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit akibat lingkungan semakin hari semakin menimbulkan problema kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi lingkungan yang di bawah standar. (1) Umumnya di
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Kerangka Konsep Variabel bebas Variabel terikat Suhu Udara Kelembaban Udara Keluhan Sick Building Syndrome Angka Total Mikrobiologi Udara Gambar 3.1 Kerangka konsep B. Hipotesis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup untuk hidup secara optimal.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan. Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (occupational disease), penyakit akibat hubungan kerja (work related disease)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan pembangunan menuju industrialisasi dapat membawa berbagai resiko positif maupun negatif yang mempengaruhi para pekerja dan keluarganya. Resiko positifnya
Lebih terperinciStudi Analisis Pengaruh Kondisi Lingkungan Kerja Terhadap Sick Building Syndrome (SBS) Pada Karyawan di Gedung Perkantoran Perusahaan Fabrikasi Pipa
Studi Analisis Pengaruh Kondisi Lingkungan Kerja Terhadap Sick Building Syndrome (SBS) Pada Karyawan di Gedung Perkantoran Perusahaan Fabrikasi Pipa Angga Satria Tritama 1, Farizi Rachman 2, Denny Dermawan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jakarta sebagai kota metropolitan di Indonesia memiliki berbagai masalah, salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan adalah masalah pencemaran udara. Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tahunnya di dunia (Sugiato, 2006). Menurut Badan Kependudukan Nasional,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara merupakan masalah yang sedang dihadapi oleh berbagai negara. Pencemaran udara terjadi karena meningkatnya industri, perubahan perilaku dalam masyarakat,
Lebih terperinciBAB V HASIL PENELITIAN
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Univariat 5.1.1 Konsentrasi Partikulat yang Diukur Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan di lokasi pertambangan Kapur Gunung Masigit, didapatkan bahwa total
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. polusi udara atau sekitar 5% dari 55 juta orang yang meninggal setiap tahun di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut data WHO, setiap tahun sekitar tiga juta orang meninggal karena polusi udara atau sekitar 5% dari 55 juta orang yang meninggal setiap tahun di dunia. Seribu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga memberikan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok di bidang kesehatan, udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan pemasaran (Manuaba, 1983). Aspek yang kurang diperhatikan bahkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi terjadi peningkatan persaingan usaha yang menyebabkan kebanyakan pengusaha lebih memperhatikan masalah permodalan, manajemen, dan pemasaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja yang buruk dapat mengakibatkan masalah bagi. kesehatan karyawan. Jenis bangunan, alat dan bahan, proses pekerjaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lingkungan kerja yang buruk dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan karyawan. Jenis bangunan, alat dan bahan, proses pekerjaan serta ventilasi yang kurang baik di
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Konsep VARIABEL BEBAS KUALITAS UDARA : Suhu Kelembaban Kecepatan Gerak Udara Kadar debu Jumlah Kuman VARIABEL TERIKAT Sick Building Syndrome VARIABEL PENGGANGGU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tahun di dunia. Angka morbiditas sebagai dampak dari polusi udara jauh lebih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data WHO menyatakan bahwa terdapat sekitar tiga juta orang meninggal karena polusi udara atau sekitar 5% dari 55 juta orang yang meninggal setiap tahun di dunia. Angka
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus kontrol untuk mencari hubungan seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya
Lebih terperinciTanggal : Nomor Responden : Lokasi :
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN ANALISA KUALITAS FISIK DAN MIKROBIOLOGI UDARA RUANGAN BER-AC DAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME PADA PEGAWAI BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH KOTA MEDAN DI GEDUNG WALIKOTA MEDAN
Lebih terperinciBAB 6 HASIL PENELITIAN. Gambar 6.1 Sumber Pencahayaan di ruang Radar Controller
BAB 6 HASIL PENELITIAN 6.1 Pengukuran Lingkungan Kerja 6.1.1 Pengukuran Pencahayaan Ruang Kerja Radar Controller Pada ruang Radar Controller adalah ruangan bekerja para petugas pengatur lalu lintas udara
Lebih terperinciKuesioner Penelitian
Kuesioner Penelitian A. Tujuan Sebagai syarat penelitian skripsi, Potensi kejadian sick building syndrome pada karyawan Office PT. Bridgestone Tire Indonesia Bekasi Plant 2016 B. Data umum No Pertanyaan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap nilai kapasitas vital
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Explanatory research yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel bebas dan variabel terikat melalui pengujian
Lebih terperinciUNIVERSITAS INDONESIA. Skripsi
UNIVERSITAS INDONESIA Skripsi HUBUNGAN ANTARA KUALITAS FISIK UDARA DALAM RUANG (SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF) DENGAN KEJADIAN SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA PEGAWAI KANTOR PUSAT PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI
Lebih terperinciADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI
SKRIPSI HUBUNGAN KUALITAS FISIK UDARA INDOOR (PM2,5) DAN KARAKTERISTIK KARYAWAN DENGAN KEJADIAN SICK BUILDING SYNDROME (SBS) DI PERPUSTAKAAN KAMPUS B UNIVERSITAS AIRLANGGA Oleh: NOLA FITRIA UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,
Lebih terperinciArgon 0,93% Ne, He, CH4, H2 1,04% Karbon Dioksida 0,03% Oksigen 20% Nitrogen 78% Udara
Karbon Dioksida 0,03% Argon 0,93% Ne, He, CH4, H2 1,04% Oksigen 20% Nitrogen 78% Udara Apa Itu Pencemaran Udara? Pencemaran udara bebas (Out door air pollution), Sumber Pencemaran udara bebas : Alamiah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang maupun negara maju (WHO, 2008). Infeksi saluran
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang paling umum diderita pada setiap individu. Frekuensi ISPA secara umum terjadi dua kali lebih sering
Lebih terperinciBAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruangan merupakan suatu tempat aktivitas manusia di mana hampir 90 % dari waktu yang ada, waktu dihabiskan manusia di dalam ruangan, jauh lebih lama dibandingkan di
Lebih terperinciHUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN
HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN Mira Yunita 1, Adriana Palimbo 2, Rina Al-Kahfi 3 1 Mahasiswa, Prodi Ilmu
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa kesehatan lingkungan merupakan suatu keseimbangan yang harus ada antara manusia dengan lingkungannya
Lebih terperinciARTIKEL RISET URL artikel:
ARTIKEL RISET URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1202 Analisis Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan dalam Ruangan Administrasi Gedung Menara UMI Makassar
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Rancangan Studi Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan rancangan Cross Sectional, yaitu mengukur variabel independen dan dependen secara bersamaan.
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sekarang ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan yang utama di dunia, khususnya di negara berkembang. Pencemaran udara dapat terjadi
Lebih terperinciKUALITAS UDARA DALAM RUANG KELAS BER-AC DAN KELUHAN KESEHATAN SISWA
KUALITAS UDARA DALAM RUANG KELAS BER-AC DAN KELUHAN KESEHATAN SISWA Indoor Air Quality and Health Complaints among Elementary School Students Corie I. Prasasti, Sudarmaji, dan Retno Adriyani Departemen
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di bidang industri merupakan perwujudan dari komitmen politik dan pilihan pembangunan yang tepat oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi segenap
Lebih terperinciJurnal Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA DENGAN GANGGUAN KETULIAN PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT
PENELITIAN ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA DENGAN GANGGUAN KETULIAN PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT Merah Bangsawan*, Holidy Ilyas* Hasil survey di pabrik es di Jakarta menunjukkan terdapat gangguan pendengaran
Lebih terperinciVol. 10 Nomor 1 Januari 2015 Jurnal Medika Respati ISSN :
Vol. Nomor Januari Jurnal Medika Respati ISSN : 97-7 HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN ASMA PADA ANAK USIA 6 TAHUN DI PUSKESMAS RAWAT INAP WAIRASA SUMBA TENGAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya volume dan kapasitas paru-paru manusia hanya dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Tetapi selain itu, faktor penyakit dan aktifitas seseorang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari. Secara klinis ISPA ditandai dengan gejala akut akibat
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan case control.
20 III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan case control. Pendekatan case control adalah suatu penelitian non-eksperimental yang menyangkut bagaimana
Lebih terperinciHUBUNGAN VENTILASI, LANTAI, DINDING, DAN ATAP DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI BLANG MUKO
HUBUNGAN VENTILASI, LANTAI, DINDING, DAN ATAP DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI BLANG MUKO Safrizal.SA Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Teuku Umar E-mail: friza.maulanaboet@gmail.com Abstrak
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Berdasarkan jenisnya penelitian ini adalah penelitian
38 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Berdasarkan jenisnya penelitian ini adalah penelitian observasional, karena di dalam penelitian ini dilakukan observasi berupa pengamatan, wawancara
Lebih terperinciBAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah di lakukan di Kecamatan Pancoran Mas pada bulan Oktober 2008 April 2009 dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Lebih terperinciKARAKTERISTIK KARYAWAN YANG BEKERJA PADA RUANGAN YANG MENGGUNAKAN AC DAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME DI GEDUNG TVRI KOTA MEDAN TAHUN 2012
KARAKTERISTIK KARYAWAN YANG BEKERJA PADA RUANGAN YANG MENGGUNAKAN AC DAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME DI GEDUNG TVRI KOTA MEDAN TAHUN 212 Pramayana A.P Sinaga 1, Evi Naria 2, Surya Dharma 3 1 Program
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyebaran suatu penyakit merupakan akibat dari hubungan interaktif antara manusia dan lingkungannya. Agent penyakit dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui udara,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang The Global Initiative For Asthma (GINA) menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari asma sedunia. Semakin meningkatnya jumlah penderita asma di dunia membuat berbagai badan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini adalah ilmu kesehatan anak terutama pada penyakit pneumonia. 2. Waktu Penelitian
Lebih terperinciSKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Msayarat OLEH: YULITA PUTRI NIM
ANALISA KUALITAS FISIK DAN MIKROBIOLOGI UDARA RUANGAN BER-AC DAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME PADA PEGAWAI BADAN PENGELOLA KEUANGAN DAERAH KOTA MEDAN DI GEDUNG WALIKOTA MEDAN TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat, penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan pada orang dewasa,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah explanatory research, yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel bebas
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)
32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Geografi Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas) Puskesmas yang ada di Kabupeten Pohuwato, dimana
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM. Putri Rahayu H. Umar. Nim ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS PARU PETERNAK AYAM (Studi Pada Peternakan Ayam CV. Malu o Jaya dan Peternakan Ayam Risky Layer Kabupaten Bone Bolango) Putri Rahayu H. Umar Nim. 811409003 ABSTRAK
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross
39 III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Metode ini merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika hubungan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. juga merupakan status lambang sosial (Keman, 2005). Perumahan merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dimanapun berada membutuhkan tempat untuk tinggal yang disebut rumah. Rumah berfungsi sebagai tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul dan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 10 hari
Lebih terperinciKata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado
HUBUNGAN ANTARA STATUS TEMPAT TINGGAL DAN TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK (BREEDING PLACE) DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2015 Gisella M. W. Weey*,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Kabila Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja Puskesmas
Lebih terperinci*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD
HUBUNGAN ANTARA STATUS TEMPAT TINGGAL DAN TEMPAT PERINDUKAN NYAMUK (BREEDING PLACE) DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2015 Gisella M. W. Weey*,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut
Lebih terperinciLampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan
Lampiran 1. Denah Rumah Tahanan Negara Kelas I Tanjung Gusta Medan Lampiran 2. Data angka penyebab kematian pada narapidana dan tahanan di Indonesia tahun 2011 No Nama Penyakit Jumlah 1 HIV/AIDS 105 2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan manusia akan protein hewani, ini ditandai dengan peningkatan produksi daging
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan ayam merupakan salah satu sektor yang penting dalam memenuhi kebutuhan manusia akan protein hewani, ini ditandai dengan peningkatan produksi daging dan telur
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit pada bayi usia 1-6 tahun. ISPA merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen yang disebabkan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah dasar fundamental bagi pembangunan manusia. Tanpa memandang status sosial semua orang menjadikan kesehatan sebagai prioritas utama dalam kehidupannya.
Lebih terperinciMARGA JALAN ACHMAD YANI NO. 90 DENPASAR TUGAS AKHIR. Oleh : A.A I. Agung Semarayanthi NIM: JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
ANALISIS SICK BUILDING SYNDROME PADA GEDUNG SATKER PELAKSANAAN JALAN NASIONAL WILAYAH II PROVINSI BALI BALAI PELAKSANAAN JALAN NASIONAL VIII DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA JALAN ACHMAD YANI NO. 90 DENPASAR
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit ISPA merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi ini, Seluruh Negara dituntut untuk memasuki perdagangan bebas sehingga jumlah tenaga kerja yang berkiprah disektor industri akan bertambah sejalan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian / lebih dari saluran nafas mulai hidung alveoli termasuk adneksanya
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. demikian upaya-upaya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan perlindungan tenaga
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intensitas pembangunan yang semakin meningkat, seiring oleh pemanfaatan ilmu dan teknologi di berbagai bidang yang lebih maju, telah mendorong pesatnya laju pertumbuhan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya
Lebih terperinciANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO Aan Sunani, Ratifah Academy Of Midwifery YLPP Purwokerto Program Study of D3 Nursing Poltekkes
Lebih terperinciANALISA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka***
ANALISA FAKT RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU Dhilah Harfadhilah* Nur Nasry Noor** I Nyoman Sunarka*** * Program Studi Pendidikan Dokter UHO ** Bagian Kimia Bahan Alam Prodi Farmasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian
Lebih terperincicommit to user BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa, masalah kesehatan lingkungan di Indonesia menjadi sangat kompleks terutama
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (survei) analitik, yang
37 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (survei) analitik, yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan restropective.
Lebih terperinciGANGGUAN KESEHATAN PADA PEMULUNG DI TPA ALAK KOTA KUPANG. Health Problems of Scavengers at the Alak Landfill, Kupang City
Siprianus Singga : Gangguan Kesehatan pada Pemulung di TPA Alak Kota Kupang GANGGUAN KESEHATAN PADA PEMULUNG DI TPA ALAK KOTA KUPANG Health Problems of Scavengers at the Alak Landfill, Kupang City Siprianus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak menular. Penyakit asma telah mempengaruhi lebih dari 5% penduduk dunia, dan beberapa indicator telah menunjukkan
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KATARAK PADA PASIEN YANG BEROBAT DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT, KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT
ISSN : 2477 0604 Vol. 2 No. 2 Oktober-Desember 2016 65-71 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KATARAK PADA PASIEN YANG BEROBAT DI BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT, KOTA MATARAM, NUSA TENGGARA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi sekarang ini menuntut pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja ditempat kerja. Dalam pekerjaan sehari - hari pekerjaan akan terpajan dengan berbagai
Lebih terperinciBAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
59 BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Gedung 1 Gedung 1 merupakan gedung yang memiliki tiga lantai dan sebuah basement. Pengukuran kualitas udara dalam ruangan pada gedung ini dilakukan di basement,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagi kelangsung hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling banyak terjadi di Indonesia
Lebih terperinciKUALITAS UDARA BEBERAPA RUANG PERPUSTAKAAN DI UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO BERDASARKAN UJI KUALITAS FISIKA. Fransiska Lintong
KUALITAS UDARA BEBERAPA RUANG PERPUSTAKAAN DI UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO BERDASARKAN UJI KUALITAS FISIKA 1 Josefine D Sahilatua 2 Vennetia R Danes 3 Fransiska Lintong Bagian Fisika Fakultas Kedokteran
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Pada penelitian ini peneliti memilih tipe pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal
Lebih terperinciKHALIMATUS SAKDIYAH NIM : S
HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI (MASKER) DENGAN FREKUENSI KEKAMBUHAN ASMA PADA PEKERJA INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI KECAMATAN BUARAN KABUPATEN PEKALONGAN Skripsi KHALIMATUS SAKDIYAH NIM : 08.0285.S
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang berjumlah 96 pasien sesuai
32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada bulan Agustus Desember 2016. Peserta penelitian adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, yang disebabkan oleh agen infeksius yang dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciJUMLAH BAKTERI DAN JAMUR DALAM RUANGAN DI JURUSAN ANALIS KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PONTIANAK
JUMLAH BAKTERI DAN JAMUR DALAM RUANGAN DI JURUSAN ANALIS KESEHATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PONTIANAK Slamet Poltekkes Kemenkes Pontianak, Jl. 28 Oktober Siantan Hulu, Pontianak Abstrak:
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat. (1) Penyebab utama kebutaan adalah katarak, glaukoma, kelainan refraksi, dan penyakit-penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri. Resiko bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja adalah bahaya kecelakaan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indikator derajat kesehatan masyarakat di Indonesia salah satunya di lihat dari angka kematian dan kesakitan balita. Masa balita merupakan kelompok yang rawan akan
Lebih terperinciABSTRAK. Kata Kunci : Kadar debu kayu industri mebel, keluhan kesehatan pekerja, Kepustakaan : 9 ( )
DAMPAK PAPARAN DEBU KAYU TERHADAP KELUHAN KESEHATAN PEKERJA MEBEL SEKTOR INFORMAL DI SINDANG GALIH KELURAHAN KAHURIPAN KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2012 Satria Dimas Aji 1) Sri Maywati dan Yuldan
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA WAKTU TANGGAP PERAWAT PADA PENANGANAN ASMA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LAMA WAKTU TANGGAP PERAWAT PADA PENANGANAN ASMA DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL Nazwar Hamdani Rahil INTISARI Latar Belakang : Kecenderungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. besar. Salah satu industri yang banyak berkembang yakni industri informal. di bidang kayu atau mebel (Depkes RI, 2003).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri mempunyai peranan penting yang sangat besar dalam menunjang pembangunan di Indonesia. Banyak industri kecil dan menengah baik formal maupun informal mampu menyerap
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain studi cross-sectional.
37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain studi cross-sectional. Menurut Notoadmojo (2010) dalam penelitian cross sectional variabel sebab
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan studi analitik observasional. Disebut analitik karena mejelaskan faktor-faktor risiko dan penyebab terjadinya outcome, dan observasional
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KUALITAS FISIK DAN MIKROBIOLOGI UDARA DENGAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME
HUBUNGAN ANTARA KUALITAS FISIK DAN MIKROBIOLOGI UDARA DENGAN KELUHAN SICK BUILDING SYNDROME PADA UNIT CUTTING DAN SEWING PT. SAI APPAREL INDUSTRIES SEMARANG TAHUN 2016 Devy Sri Rissanty*), Eni Mahawati**)
Lebih terperinciPHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN
HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA BALITA DI DESA TALAWAAN ATAS DAN DESA KIMA BAJO KECAMATAN WORI KABUPATEN MINAHASA UTARA Ade Frits Supit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama pada balita (Kartasasmita, 2010). Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus
Lebih terperinci