Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM BIDANG KEPERDATAAN KARENA PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEHORMATAN ( STUDI KASUS: ANALISIS PUTUSAN NO. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut ) Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Depok, Abstrak Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan karena pencemaran nama baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif normative legal research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan: pertama, teori dan pengaturan perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan serta teori dan pengaturan tentang pencemaran nama baik. Perbuatan melawan hukum diatur di dalam Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sedangkan pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo Pasal 310 sampai 320 KUH Pidana. Kedua, perlu atau tidaknya putusan pidana untuk mengajukan gugatan perdata karena pencemaran nama baik. Tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di putusan Hakim. Ketiga, analisis terhadap pertimbangan hakim di dalam Putusan No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: i Definisi penghinaan dalam bidang Hukum Perdata perlu dibuat, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dengan menggunakan terminologi Hukum Pidana; ii Pengaturan mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik perlu diatur sehingga menimbulkan kepastian hukum dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara hakim; iii Penggugat seharusnya meminta kepada hakim untuk rehabilitasi nama baik dan kehormatan dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Abstract This thesis discusses the unlawful act in the field of civil cases for defamation. This research is a juridical-normative legal normative research with a literature study. The research methods used to answer the problems: first, the theory of unlawful act and its regulation as

2 well as the theory and the regularion of defamation. Unlawful act is regulated in Article 1365 until 1380 Civil Code, while defamation is regulated in Article 1372 to the 1380 Civil Code and Article 27 paragraph 3 ITE Law in conjunction with Article 310 to 320 of Penal Code. Second, is criminal verdict necessary or not to file a civil lawsuit for defamation. This lack of regulation caused diifferent opinion in the Judge's decision. Third, analysis of the judges' considerations in the Verdict No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. The result of this study suggest that: i Definition of "defamation" in the field of civil law needs to be made, because to avoid ambiguity by using the terminology of the Penal Code, ii There is need the regulation that criminal verdict is not necessary to file a civil lawsuit for defamation, in order to certainty of law and no different of opinion among the judges; iii Plaintiff's should request for rehabilitation of the reputation and honor by way of settlement decisions in public and that defendant made a statement that his act of doing is defamation. Keywords: act ; civil law ; defamation ; reputation ; unlawful Pendahuluan Di Indonesia pembagian bidang-bidang hukum dibagi menjadi 2, yaitu Hukum Material dan Hukum Formal. Hukum Material dibagi menjadi Hukum Publik dan Hukum Privat. Pembahasan di dalam skripsi ini berkaitan dengan hukum privat yaitu hukum dalam bidangnya yang mengutamakan pengaturan kehidupan/kepentingan pribadi dan antarpribadi warga secara langsung dan secara tidak langsung juga mengatur kehidupan kepentingan umum yang merupakan himpunan dari kepentingan pribadi dan antarpribadi itu. 1 Hukum privat dikenal juga sebagai hukum perdata. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dalam lingkup hukum perdata. Istilah "perbuatan melawan hukum" yang akan dibahas dalam bahasa Belanda disebut dengan "onrechtmatige daad" atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah "tort". 2 Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan di dalam skripsi yang akan ditulis ini adalah perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Hal ini dikarenakan untuk perbuatan melawan hukum dalam bidang pidana memiliki pengertian dan pengaturan hukum yang juga berbeda. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang 1 A. Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab(Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 2.

3 disebut dengan "onrechtmatige overheidsdaad" juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan hukum yang juga berbeda. 3 Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum dibidang keperdataan diatur di dalam pasal 1365 sampai pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun, pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik serta ganti rugi dan rehabilitasi diatur di dalam pasal 1372 sampai pasal 1380 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Yang dimaksud dengan penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya adalah kejahatan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUH Pidana) diancam dengan pidana. Pasal 1372 KUH Perdata hanya menyebutkan tuntutan perdata tentang hal penghinaan, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang istilah penghinaan. Pada waktu menentukan Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya pada tahun 1833 perhatian memang ditujukan pada kejahatan-kejahatan yang oleh Code Penal dirangkum sebagai penghinaan. 4 Sudah merupakan yurisprudensi tetap bahwa yang dimaksud dengan perkataan penghinaan dalam Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya adalah perbuatan-perbuatan yang dalam Bab XVI Buku II KUH Pidana diancam dengan pidana. Didalamnya termasuk berbagai bentuk penghinaan; menista, menista dengan tulisan, fitnah, penghinaan ringan dan pengaduan yang bersifat memfitnah. 5 Penulis di dalam penelitian ini ingin membahas teori-teori perbuatan melawan hukum dan pencemaran nama baik. Kemudian penulis juga ingin menganalisis teori-teori perbuatan melawan melawan hukum dan pencemaran nama baik dengan putusan perdata nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. Berdasarkan putusan tersebut, penulis ingin menganalisis pertimbangan dan putusan hakim terhadap gugatan perdata yang diajukan mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan hakim di dalam pertimbangannya mengabulkan gugatan penggugat meskipun penggugat tidak menjelaskan unsur-unsur perbuatan melawan hukum di dalam gugatannya. Penggugat menggugat perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dengan berdasarkan putusan pidana. Kemudian timbul masalah lain, yaitu apakah dalam gugatan pencemaran nama baik harus didasarkan pada putusan pidana atau tidak? Hal ini dikarenakan terdapat pengaturan mengenai pencemaran nama baik dalam sistem hukum pidana Indonesia, yaitu di 3 Ibid., hal Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Binacipta, 1991), hal Ibid., hal. 49.

4 dalam KUH Pidana, UU No. 11 Tahun 2008, UU No. 40 Tahun Sedangkan definisi mengenai pencemaran nama baik tidak terdapat di dalam KUH Perdata, sehingga para ahli biasanya menggunakan terminologi dari KUH Pidana seperti halnya pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 berdasarkan Putusan No. 2/PUU-VII/2009 Judicial Review Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengatakan " Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tidak memberikan pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan unsur-unsur pencemaran nama baik diambil dari pasal-pasal terkait dalam KUHP". Pembahasan Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut : 6 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat 2. Perbuatan itu harus melawan hukum 3. Ada kerugian 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian 5. Ada kesalahan Kelima unsur tersebut harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hum. Apabila ada satu unsur yang tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluasluasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut: 7 a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku berarti melanggar segala peraturan tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian perbuatan melawan hukum secara sempit. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang. b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau 6 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal Munir Fuady, Op. Cit., hal.11

5 Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak subyektif sebagai berikut: 1. Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; 2. Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya. 8 c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam perbuatan ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan dan pengrusakan). 9 d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau Perbuatan yang bertentangan dengan kesusialaan berarti bertentangan dengan norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang dimaksudkannya dengan kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan, yang merupakan hukum, kebiasaan atau agama. 10 e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila salah satu kriteria terpenuhi maka dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Menurut Oemar Senoadji, pengertian penghinaan dapat diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik "aanranding of goede naam" yang dimana dapat menimbulkan klasifikasi legislatif antara pencemaran tertulis (smaadschriff) yang merupakan penghinaan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal dan/atau penghinaan ringan yang merupakan penghinaan yang tidak mengandung pencemaran (tertulis) yang dilakukan terhadap seseorang Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997), hal Rosa Agustina, Op. Cit., hal Ibid., hal Oemar Senoadji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 37

6 Berdasarkan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Indonesia Putusan No. 2/ PUU- VII/ 2009, pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian ini merupakan pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain; pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2); fitnah (Pasal 311); penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan palsu (Pasal 318); dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320). 12 Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang di mata masyarakat atau publik.setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyrakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat dimana perbuatan tersebut dilakukan. 13 Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang tindak-tinduk (perilaku atau kepribadian) seseorang diri sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya. 14 Dari definisi-definisi yang telah disebutkan diatas kemudian timbul pertanyaan mengenai bagaimana definisi pencemaran nama baik menurut KUH Perdata? Pasal 1372 KUH Perdata mengatur tentang tuntutan keperdataan karena penghinaan tanpa memberikan uraian tentang apakah yang dimaksud dengan "penghinaan" (belediging) itu. Maka telah menjadi yurisprudensi tetap bahwa dengan belediging dalam Pasal 1372 s/d 1380 KUH Perdata dimaksudkan perbuatan-perbuatan yang sama sebagaimana yang dalam Bab XVI dari Buku ke- II KUHP diancam hukuman. 15 Salah satu pencemaran nama baik dalam kasus perdata adalah sebagai berikut: Sidang perkara perdata antara Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) melawan Koran Tempo. Pada salah satu bagian berkas dupliknya, Tempo yang diwakili kuasa hukumnya dari LBH Pers menyatakan bahwa gugatan yang diajukan RAPP kabur (obscuur libel) alias tidak jelas. Ketidakjelasan surat gugatan adalah karena penggugat menggunakan dua pasal dari KUH Perdata, yaitu Pasal 1365 dan 1372 secara sekaligus sebagai dasar hukum gugatannya. 12 Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 2/PUU- VII/ Rosa Agustina, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, (Jakarta: LEIP, 2004), hal Ibid., hal Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, 1979),hal. 164

7 Gugatan penggugat tidak jelas atau kabur karena mencampuradukan Pasal 1365 dan Pasal 1372 KUH Perdata. Di luar persidangan, Darwin Aritonang, kuasa hukum Tempo yang lain menyitir pendapat Asser Rutten yang menegaskan bahwa kedua dasar hukum tersebut tidak dapat digunakan secara kumulatif di dalam satu gugatan. Menurut Rutten, kata Darwin, tuntutan perdata berdasarkan fitnah tidak dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365, melainkan memakai Pasal 1372 KUH Perdata. Dengan kata lain, tindak penghinaan berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata adalah aturan khusus atau lex specialis dari Pasal 1365 KUH Perdata, Darwin berujar. Bahkan di dalam berkas dupliknya, kuasa hukum Tempo juga mencuplik putusan PN Jakarta Pusat bernomor 502/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tertanggal 11 Agustus 2004 yang 'mengharamkan' Pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata bersanding bersama di dalam gugatan. Putusan itu pun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Namun menurut Prof. Rosa Agustina, pakar Hukum Perdata Universitas Indonesia, kalangan akademisi maupun praktisi hukum memang terbelah dalam memandang masalah penggabungan kedua pasal itu dalam sebuah gugatan. Meski begitu, Prof. Rosa berpendapat bahwa Pasal 1365 adalah genus dari Pasal Jika Pasal 1365 hanya menguraikan perbuatan melawan hukumnya secara umum. Sementara Pasal 1372 lebih khusus mengenai penghinaannya. Sehingga menurutnya tidak ada masalah ketika dua pasal itu dijadikan dasar hukum dalam satu gugatan. Kemudian menurut kuasa hukum Tempo yang lain, gugatan berdasarkan Pasal 1372 baru bisa diajukan setelah ada putusan pidana. 16 Namun, Menurut Prof. Rosa Agustina dalam keterangannya di portal ketiadaan putusan pidana yang menyatakan telah terjadi penghinaan tidak menjadi halangan untuk menggugat secara perdata. Hal ini dikarenakan penghinaan adalah terminologi pidana. Namun bukan berarti harus menunggu putusan pidana terlebih dulu. Ketiadaan putusan pidana bisa diantisipasi dengan keberadaan Pasal Unsur-unsur penghinaan dalam Pasal 1372 bisa dilengkapi dengan unsur yang terdapat dalam Pasal Salah satu unsur Pasal 1365 adalah perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan salah satu bentuk perbuatan yang melawan hukum adalah melanggar hak subyektif orang lain. Dengan demikian penghinaan dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain. Begitu pula dalam putusan No. 307/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Sel antara Tony Winata melawan Koran Tempo. Dalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa gugatan perdata yang didasarkan pada pasal 1372 KUH Perdata adalah merupakan tuntutan perdata 16 Disadur dari jelas- landasan- hukumnya, pada tanggal 24 Juni 2013.

8 yang menyangkut hal penghinaan, akan tetapi dalam pasal tersebut tidak dijelaskan pengertian penghinaan atau tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai penghinaan sehingga banyak pendapat ahli hukum maupun doktrin yang memberikan arti penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata sama dengan arti penghinaan yang dimaksud dalam hukum pidana termasuk pencemaran nama baik. 17 Majelis juga berpendapat bahwa oleh karena kehormatan seseorang, nama baik, rasa malu dan harga diri adalah merupakan hak subyektif seseorang maka harus ada sikap hatihati dalam pergaulan hidup sesama warga untuk menghormati hak subyektif tersebut. Pelanggaran terhadap hak subyektif atau pelanggaran terhadap sikap hati-hati yang harus dimiliki setiap orang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Walaupun pengertian penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata mempunyai arti yang sama dengan penghinaan menurut hukum pidana, akan tetapi tidak ada ketentuan hukum baik formil maupun materiil yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan dengan adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan. 18 Bahkan jika melihat ketentuan Pasal 1380 KUH Perdata, yang berbunyi: Tuntutan dalam perkara penghinaan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari dilakukannya perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu oleh si penggugat. Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa jangka waktu seseorang untuk melakukan gugatan penghinaan adalah 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan memerlukan waktu yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 1380 KUH Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana. Kemudian pada dasarnya isi pengaturan dari hukum pidana dan hukum perdata memiliki perbedaan. Dari segi isinya, hukum perdata mengatur mengenai hubungan hukum antar orang yang satu dengan yang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum pidana mengatur mengenai hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat Rosa Agustina, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, hal Ibid., hal C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 46

9 Di dalam hukum pidana, penghinaan atau pencemaran nama baik, secara khusus diatur di dalam Bab XVI Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri atas 12 pasal, yakni Pasal 310 sampai Pasal 321. Tindak kejahatan "menghina'', menurut R. Soesilo adalah tindakan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibatnya yang diserang merasa malu. Sementara itu Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan,sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. 20 Selain itu, pencemaran nama baik juga diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun Namun, Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tidak memberikan pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan unsur-unsur pencemaran nama baik diambil dari Pasal pasal terkait dalam KUHP. Hal demikian merupakan konsekuensi logis dari dijadikannya KUHP sebagai sistem pemidanaan atau dasar bagi penyusunan perundang-undangan di luar KUHP, termasuk UU ITE. Di dalam KUHP delik pencemaran nama baik secara eksplisit diatur mulai Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Terkait dengan hal ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah apa makna pencemaran nama baik? Secara singkat dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian ini merupakan pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain; pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2); fitnah (Pasal 311); penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan palsu (Pasal 318); dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320) Djoko Prakoso, Hukum Penitentiere di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal Mahrus Ali, Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No. 2/PUU- VII/2009), (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), hal. 133

10 Di dalam Pasal 27 (3) UU ITE pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik tidak dijelaskan, namun demikian dapat disimpulkan secara logik (sistematik) bahwa yang dimaksud pencemaran nama baik adalah yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang dihubungkan dengan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP. Secara eksplisit rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar". 22 Berdasarkan rumusan Pasal ini pengertian pencemaran atau penghinaan merujuk pada pengertian yang sama dalam KUHP. Hal ini karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP baik berupa aturan umum Buku I maupun aturan khusus Buku II dan III pada hakikatnya merupakan satu kesaturan sistem pemidanaan, sehingga menjadi pedoman bagi peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP. Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 27 ayat (3) di atas, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan aparat penegak hukum agar eksistensi Pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat politik untuk memberangus kreativitas dunia Pers. Pertama, terbuktinya unsur subyektif dan unsur objektif tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bersifat komulatif. Artinya, aparat penegak hukum tidak serta merta menyatakan pelaku bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) bila unsur subyektif terbukti, tapi masih harus membuktikan apakah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik memang melanggar nilai-nilai di masyarakat atau tidak. 23 Menurut hukum perdata, orang yang dihina dapat menuntut: 24 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Mengenai "pemulihan" atau rehabilitasi terdapat 2 pendapat yaitu : Ibid., hal Ibid., hal Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal Ibid., hal. 172

11 1. Pendapat yang antara lain dianut oleh Land menyatakan bahwa pemulihan tersebut merupakan penggantian sejumlah uang untuk kerugian moral dan untuk pencemaran kehormatan. Menurut pendapat ini maka orang yang dihina mempunyai 3 macam tuntutan: a) Tuntutan untuk penggantian kerugian berupa sejumlah uang. b) Tuntutan untuk pemulihan kehormatan dan nama baik berupa penggantian sejumlah uang c) Tuntutan untuk memperoleh keterangan dan penempelan di tempat umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1373 KUH Perdata. 2. Pendapat yang dianut antara lain oleh Diephuis yang menyatakan bahwa dengan istilah "pemulihan" dimaksudkan bahwa pernyataan dari perbuatan tersebut adalah menista atau memfitnah. Menurut pendapat Diephuis dan De Savornin Lohman, orang yang dihina berdasarkan pasal 1372 ayat 1 KUH Perdata mempunyai dua tuntutan yaitu penggantian berupa sejumlah uang dan tuntutan untuk pemulihan sebagaimana yang diatur dalam pasal 1373 KUH Perdata. Penggugat pada dasarnya menggugat Tergugat I dan Tergugat II dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 KUH PERDATA yaitu mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3191/K/Pdt/1984 tanggal 08 Feburari 1986, Menurut hakim, suatu perbuatan dapat dikatakan merupakan Perbuatan Melawan Hukum jika telah memenuhi 4 kriteria, yaitu : 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Melanggar hak subyektif orang lain 3. Melanggar kaedah tata susila 4. Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat. Keempat kriteria tersebut tidak harus dipenuhi secara serentak, tetapi salah satu saja telah terbukti ada dalam suatu perbuatan maka dianggap telah ada suatu Perbuatan Melawan Hukum. Kemudian Perbuatan Melawan Hukum juga mengandung unsur-unsur yang mana keempat kriteria harus dipenuhi secara serentak yaitu : 1. Adanya perbuatan melawan hukum 2. Adanya suatu kerugian 3. Adanya suatu kesalahan

12 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Berdasarkan teori yang telah penulis paparkan sebelumnya, yang dimaksud melanggar hak orang lain ialah melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meiyers, hak subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. 26 Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan pihak ketiga. Dalam hal ini adalah tidak tepat untuk menerapkan ukuran dari sifat melawan hukum pelanggaran hak subyektif. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Seseorang yang merusak barang orang lain atau melukainya dianggap ipso facto telah melakukan perbuatan melawan hukum. 27 Berdasarkan teori tersebut, menurut penulis hak subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. Dalam pertimbangan ini, pada dasarnya pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik merupakan pelanggaran dari hak subyektif seseorang. Meskipun tanpa putusan pidana, jika dalam pembuktiannya dapat dibuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik seseorang, kriteria "melanggar hak subyektif" orang lain sudah dapat terpenuhi. Meskipun demikian, dengan adanya putusan pidana akan semakin menguatkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak subyektif yang dilakukan oleh para Tergugat. Dengan demikian dalam hal ini menurut penulis pertimbangan hakim sudah tepat karena putusan pidana tersebut membuktikan adanya pelanggaran hak subyektif seseorang. Dengan terpenuhi salah satu kriteria, yakni "melanggar hak subyektif" seseorang maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Meskipun tanpa harus menjabarkan unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum itu sendiri. Kemudian menurut Hakim, terhadap kerugian materiil harus ada bukti yang jelas dan terperinci yang dialami oleh Penggugat dari perbuatan tersebut, tidak boleh hanya menyebut 26 Rachmat Setiawan, Op. Cit., hal Ibid., hal. 12

13 begitu saja tanpa didukung bukti yang jelas secara terperinci. Bukti yang diajukan Penggugat yakni bukti P-2 hanya merupakan hitung-hitungan kasar dan tidak didukung dengan buktibukti surat lainnya sehingga hal tersebut menurut hukum bukanlah merupakan bentuk dari kerugian materiil. Terhadap bukti P-3 yang berupa penghitungan pesangon seluruh karyawan yang telah dibayarkan sesuai dengan masa kerja karyawan, didukung dengan keterangan saksi Agus Suyanto dan saksi Endjon Suhendri, maka menurut Majelis Hakim sudah merupakan bentuk kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat yakni sebesar Rp ,-. Terhadap kerugian immateriil, Penggugat meminta ganti rugi berupa kerugian immateriil sebesar Rp ,-. Penggugat merupakan pengusaha yang sangat tergantung dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya. Meskipun terhadap kerugian immateriil tidak dapat diukur dan dinilai secara nyata dan terang mengenai berapa besarnya, dengan mempertimbangkan kedudukan dan status serta nama baik Penggugat sebagai Pengusaha, menurut Majelis Hakim layak jika nilai kerugian immateriil tersebut ditentukan sebesar Rp ,-. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. 28 Hal ini selalu menjadi perdebatan para ahli hukum apakah si pelaku juga harus mengganti kerugian idiil atau tidak. Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v van Bessum cs. Dipertimbangkan sebagai berikut : "Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUH Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya (gederfdelevensvreugde)." Menurut Rutten, konsekuensi dari arrest ini tersebut bahwa dalam menerapkan pasal 1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil. Kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya. 29 Menurut Moegni Djojodirdjo di dalam bukunya, orang yang dihina dapat menuntut: 30 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 28 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,hal Ibid., hal Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal

14 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Pasal 1372 KUH Perdata menentukan bahwa tuntutan keperdataan tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik, kemudian pasal 1373 KUH Perdata menambahkan bahwa orang yang dihina berhak pula menuntut supaya dalam keputusan tersebut juga dinyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan bersifat memfitnah atau menghina dan selanjutnya agar keputusan tersebut atas biaya-biaya orang yang dihukum ditempelkan di tempat umum. 31 Berdasarkan teori-teori yang telah disebutkan, menurut penulis adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasar Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v van Bessum cs. menurut Rutten, konsekuensi dari arrest tersebut bahwa dalam menerapkan pasal 1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil. Kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya. Kemudian dalam gugatan pencemaran nama baik orang yang dihina dapat menuntut: 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Berdasarkan gugatan Penggugat, hakim memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari gugatan ganti rugi atas kerugian materil karena Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti kuat yang secara jelas dan terperinci terkait keuntungan yang akan diperoleh di masa yang akan datang. Oleh karenanya hakim hanya mengabulkan gugatan ganti kerugian materiil terhadap pesangon yang dibayarkan Penggugat terhadap karyawan sejumlah Rp ,-. Terhadap kerugian immateriil, penulis juga sependapat dengan 31 Ibid., hal.169

15 pertimbangan Hakim. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata menyatakan bahwa dalam menilaikan satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, serta pada keadaan. Penilaian Hakim dimaksudkan untuk menentukan besarnya ganti kerugian yang berupa uang baik atas kerugian materiil dan imateriil. Dalam kasus ini, Hakim mempertimbangkan kedudukan dari Penggugat selaku pengusaha yang sangat tergantung dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya, sehingga Hakim mengabulkan ganti kerugian immateriil sebesar Rp ,-. Meskipun jumlah tersebut tidak sebesar dari yang diminta oleh Penggugat. Namun, Penggugat seharusnya juga meminta untuk rehabilitasi terhadap nama baik dan kehormatannya. Hal ini bisa dilakukan dengan meminta Hakim untuk menyatakan penempelan putusan ataupun pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Tergugat merupakan fitnah ditempat umum Kemudian terkait dengan perlu atau tidaknya putusan pidana untuk menggugat pencemaran nama baik, penulis membandingkan 3 putusan. Pada putusan pertama si Penggugat menggunakan putusan pidana dalam menggugat Tergugat karena melakukan pencemaran nama baik. Hakim pada putusan pertama mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Pada putusan kedua, si Penggugat tidak menyertakan putusan pidana sebagaimana yang dilakukan pada putusan pertama. Hakim mempertimbangkan bahwa yang menjadi dasar/ alasan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Para Tergugat adalah masalah tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, yang menurut Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat, maka oleh karenanya sudah selayaknya untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan dari pihak Para Tergugat, yaitu apakah benar Para Tergugat terbukti bersalah atau tidak melakukan tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, maka harus dibuktikan terlebih dahulu dalam perkara pidana. Hal ini berakibat perlunya putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) yang menyatakan bahwa Para Tergugat bersalah melakukan tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat mutlak diperlukan dalam perkara ini karena gugatan Penggugat adalah mengenai gugatan perbuatan melawan hukum akibat tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, yang menurut dalil Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat, sehingga tanpa adanya putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) yang menyatakan bahwa Para Tergugat bersalah melakukan tindak pidana

16 penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat maka gugatan Penggugat tersebut adalah prematur; Kemudian menurut pendapat Ahli yang diajukan oleh Penggugat di persidangan, yaitu Pof. Dr. NUR BASUKI MINAMO, S.HAL., M.Hum, yang pada pokoknya menyatakan gugatan Penggugat mengenai perbuatan melawan hukum akibat perbuatan/tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik adalah prematur karena gugatan tersebut diajukan sebelum ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang menyatakan kesalahan Tergugat. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan Majelis Hakim menyatakan gugatan Penggugat adalah prematur dan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard); Pada putusan ketiga, gugatan diajukan tanpa menyertakan putusan pidana yang menyatakan si Tergugat/Terhina bersalahal. Hakim dalam Mahkamah Agung pun memberikan pendapat bahwa sudah merupakan pendapat umum dan diterima oleh umum terutama pendapat di kalangan sarjana (doktrin) penghinaan secara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1372 KUH Perdata adalah sama dengan penghinaan sebagaimana dimaksud sebagai tindak pidana dalam KUH Pidana termasuk pencemaran nama baik. Dalam hukum perdata yang mengacu kepada Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak ada satu pasal pun yang menentukan definisi dari penghinaan. Hal ini sejalan dan selaras dengan pendapat ahli hukum (doktrin) J. Satrio, S.HAL., dalam bukunya berjudul Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2005 halaman 19, 20, dan 21 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : "Dan selanjutnya telah menjadi pendapat umum di antara para sarjana (di dalam doktrin) bahwa yang dimaksud dengan penghinaan secara perdata adalah dalam arti "penghinaan" sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain "penghinaan" dalam KUH Perdata diberikan arti yang sama dengan "penghinaan" sebagai tindak pidana. Bahwa dalam literatur ilmu hukum juga diakui bahwa tidak ada ketentuan hukum baik formil maupun materiil yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan teori-teori mengenai perlu atau tidaknya putusan pidana dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena

17 pencemaran nama baik. Penulis akan mengulas kembail untuk kemudian dikaitkan dengan pertimbangan ketiga putusan yang telah dipaparkan. Berdasarkan teori yang penulis terangkan sebelumnya, terdapat beberapa alasan bahwa dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. 1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja. Berarti dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik secara perdata tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. 2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Majelis Hakim dapat menilai langsung pembuktian yang diajukan tanpa harus menunggu terlebih dahulu putusan pidana yang menyatakan si Penghinan bersalahal. 3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda. Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum perdata merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. 4. Dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik dalam perdata memiliki jangka waktu 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan memerlukan waktu yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 1380 KUH Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan majelis hakim untuk tidak menerima gugatan pada putusan kedua karena tidak disertakannya putusan pidana yang menyatakan bahwa si Penghina bersalah adalah tidak tepat. Dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus menunggu adanya putusan pidana yang menyatakan bahwa si Penghina bersalah.

18 Kesimpulan 1. Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum perdata di Indonesia diatur di dalam Pasal 1365 sampai Pasal 1380 KUH Perdata Indonesia. Sebelum tahun 1919 unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari 5 unsur, yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Kelima unsur tersebut harus terpenuhi secara bersamaan. Namun setelah tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dan terdapat 5 kriteria, yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku, yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Kelima kriteria tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri tanpa harus diikuti kriteria lainnya. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur menurut hukum perdata dan hukum pidana Indonesia. Pencemaran nama baik menurut Judicial Review Mahkamah Konstitusi adalah suatu tindakan penyerangan terhadap kehormatan dan nama baik. Pengaturan menurut hukum Pidana Indonesia terdapat pada KUH Pidana dan UU ITE. Pengaturan mengenai tindakan penyerangan terhadap kehormatan dan nama baik menurut KUH Pidana antara lain : pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1), pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2), fitnah (Pasal 311), penghinaan ringan (Pasal 315), pengaduan fitnah (Pasal 317), persangkaan palsu (Pasal 318) dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320) yang mana kesemua pasal tersebut ditujukan kepada semua orang yang melanggar dan dengan ancaman hukuman 4 bulan hingga 4 tahun penjara. Pencemaran nama baik menurut KUH Pidana ini dilakukan tanpa melalui media internet. Di dalam UU ITE, pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman hukuman pidana 6 tahun penjara. Pencemaran nama baik menurut UU ITE ini harus melalui media internet. Perbedaan antara kedua undang-undang tersebut adalah dari ancaman hukuman, media, serta unsur-unsurnya. Kemudian, pengaturan menurut hukum Perdata diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata. Si terhina dapat meminta ganti kerugian materiil dan imateriil, rehabilitasi berupa uang serta penempelan keterangan bahwa si terhina merupakan orang yang terhormat. Namun KUH

19 Perdata tidak mendefinisikan unsur-unsur pencemaran nama baik sehingga memerlukan terminologi pidana untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan pencemaran nama baik atau tidak. 2. Ketika mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. Alasannya antara lain: 1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja. 2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. 3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda. Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum perdata merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. 4. Berdasarkan Pasal 1380 KUH Perdata, dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik dalam perdata hanya memiliki jangka waktu 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. 3. Pertimbangan hakim untuk menerima gugatan tersebut meskipun tanpa perlu membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah unsur melawan hukum, sudah tepat. Tergugat telah melanggar hak subyektif Penggugat sehingga tidak perlu membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1919, Hoge Raad memperluas arti dari Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. Namun Penggugat tidak meminta rehabilitasi nama baik dan kehormatan yang telah diatur hak tersebut di dalam Pasal 1373 KUH Perdata.

20 Saran Berikut adalah saran yang Penulis rekomendasikan berdasarkan analisis masalah dan pembahasan dalam penjabaran bab-bab sebelumnya: 1. Menurut penulis perlu definisi tersendiri mengenai pencemaran nama baik menurut hukum perdata. Hal ini dikarenakan sering kali terjadi ambiguitas mengenai arti dari kata penghinaan yang tercantum di dalam Pasal 1372 KUH Perdata. Ambiguitas ini berdampak kepada penggunaan terminologi serta unsur-unsur di dalam KUH Pidana untuk menentukan apakah seseorang telah melakukan pencemaran nama baik atau tidak. Jadi definisi tersendiri mengenai pencemaran nama baik menurut hukum perdata sangat diperlukan. 2. Menurut penulis perlu diatur mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam menerima gugatan pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan menimbulkan ketidakpastian hukum karena seringkali terjadi perbedaan pendapat antara para hakim dalam menerima gugatan pencemaran nama baik tanpa putusan pidana yang telah berkuatan hukum tetap. Padahal sudah disebutkan di dalam Pasal 1380 KUH Perdata untuk gugatan pencemaran nama baik hanya memiliki jangka waktu 1 tahun, sehingga jika menunggu putusan pidana akan memerlukan waktu yang lama dan dapat melebihi jangka waktu daluarsa. 3. Menurut penulis, Penggugat seharusnya juga meminta rehabilitasi kepada Hakim dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan derajat dari nama baik dan kehormatan si Penggugat, sehingga khalayak umum mengetahui bahwa yang dilakukan oleh Tergugat merupakan kebohongan dan nama baik Penggugat menjadi bersih. Kepustakaan Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Agustina, Rosa dkk. Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan. Jakarta: LEIP, Ali, Mahrus. Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

21 Djojodirdjo, A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Halim, A. Ridwan. Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia, Hasan, Djuhaendah. Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997. Mamuji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prakoso, Djoko. Hukum Penitentiere di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, Senoadji, Oemar. Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan. Jakarta: Erlangga, Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta, Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, "Belum jelas landasan hukumnya," // pada tanggal 24 Juni 2013 Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 2/PUU-VII/2009 Undang-undang Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan dengan mekanisme yang sebenarnya pertama kali lahir dari sistem hukum civil law pada zaman Romawi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum keperdataan yang adil dan koheren kiranya penting bagi kelancaran lalu lintas hukum dan sebab itu pula menjadi prasyarat utama bagi tumbuhkembangnya

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA (PMHP/OOD) disampaikan oleh: Marianna Sutadi, SH Pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Januari 2009 Keputusan Badan/Pejabat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN, PERTANGGUNG JAWABAN PERS, PENCEMARAN NAMA BAIK 2.1. Pertanggung jawaban pers terhadap Pencemaran Nama Baik dalam Hukum Pidana Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK 1 Oleh: Deisi A. Bawekes 2

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK 1 Oleh: Deisi A. Bawekes 2 PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK 1 Oleh: Deisi A. Bawekes 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pencemaran nama baik menurut

Lebih terperinci

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian

Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian Berdasarkan keterangan saya sebagai saksi ahli di bidang Hukum Telematika dalam sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Maret 2009, perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh Alexander Imanuel Korassa Sonbai I Ketut Keneng Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di mana pers berada. 1. kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di mana pers berada. 1. kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pers, baik cetak maupun elektronik merupakan instrumen dalam tatanan hidup bermasyarakat yang sangat vital bagi peningkatan kualitas kehidupan warganya. Pers juga merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL TINJAUAN YURIDIS MENGENAI SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA SOSIAL Oleh : Shah Rangga Wiraprastya Made Nurmawati Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017 Ketidakjelasan Rumusan Frasa antar golongan I. PEMOHON Habiburokhman, SH.,MH; Kuasa Hukum: M. Said Bakhri S.Sos.,S.H.,M.H., Agustiar, S.H., dkk, Advokat

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapat oleh penulis dari penyelesaian sengketa pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari interaksi antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang I. PEMOHON Mardhani Zuhri Kuasa Hukum Neil Sadek, S.H.dkk., berdasarkan

Lebih terperinci

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak

Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi Cahyono. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 16424, Indonesia. Abstrak Tanggung Gugat Majikan dan Orang yang Memberi Perintah Kerja Atas Perbuatan Melawan Hukum Bawahannya (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1807 K/Pdt/2006) Ahmad Amiruddin, Rosa Agustina, Ahmad Budi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jasa Konstruksi 1. Pengertian Jasa Konstruksi Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dijelaskan, Jasa Konstruksi adalah layanan jasa

Lebih terperinci

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP) Oleh : Ketut Yoga Maradana Adinatha A.A. Ngurah Yusa Darmadi I Gusti Ngurah Parwata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Cyber

teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Cyber 2 internet yang memudahkan masyarakat untuk mengakses setiap peristiwa yang terjadi di belahan dunia yang lain. Perkembangan teknologi informasi selain menimbulkan dampak positif juga menimbulkan dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli Habibie,

Lebih terperinci

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta Prosiding Seminar Nasional ISBN: 978-602-361-036-5 PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belakangan marak diberitakan tentang tuduhan pencemaran nama baik oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list (milis), meneruskan

Lebih terperinci

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK Oleh: Muchamad Ali Safa at 1. Salah satu ancaman yang dihadapi oleh aktivis adalah jeratan hukum yang diterapkan dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIV/2016 Frasa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dalam UU ITE I. PEMOHON Muhammad Habibi, S.H., M.H., Kuasa Hukum Denny

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional Terdakwa dan/atau Mantan Narapidana Untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Drs. H. Rusli

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 35/PUU-XV/2017 Nominal Transaksi Keuangan Mencurigakan, Kewajiban Pembuktian Tindak Pidana Asal, Penyitaan Kekayaan Diduga TPPU I. PEMOHON Anita Rahayu Kuasa Hukum Antonius

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIA SOSIAL Oleh : Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H. 5 KEPENTINGAN HUKUM YANG HARUS DILINDUNGI (PARAMETER SUATU UU MENGATUR SANKSI PIDANA) : 1. NYAWA MANUSIA. 2.

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis. BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Banyak orang, terutama orang awam tidak paham apa arti Penipuan yang sesungguhnya, yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya Pasal 378, orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi I. PEMOHON Robby Abbas. Kuasa Hukum: Heru Widodo, SH., M.Hum., Petrus

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

Muatan yang melanggar kesusilaan

Muatan yang melanggar kesusilaan SKRIPSI HUKUM PIDANA Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat dapat diaksesnya konten tertentu yg Ilegal - Author: Swante Adi Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE: Distribusi, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP 123 BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017 KAJIAN YURIDIS TENTANG SYARAT UNTUK DAPAT DIPIDANANYA DELIK PERCOBAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER 1 Oleh: Stewart Eliezer Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Asas kesalahan menyatakan dengan tegas

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM, DELIK PENGADUAN FITNAH PASAL 317 AYAT (1) KUH PIDANA DARI SUDUT PANDANG PASAL 108 AYAT (1) KUHAP TENTANG HAK MELAPOR/MENGADU 1 Oleh: Andrew A. R. Dully 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari segi hukum ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada pula perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai dengan norma

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

PENCEMARAN NAMA BAIK DAN REHABILITASI NAMA BAIK

PENCEMARAN NAMA BAIK DAN REHABILITASI NAMA BAIK PENCEMARAN NAMA BAIK DAN REHABILITASI NAMA BAIK Sumber gambar : mail.kaskus.us/showthread.php?t=912738 I. Latar Belakang Pemberlakuan pasal fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan lisan atau

Lebih terperinci

HUKUM & ETIKA PENYIARAN

HUKUM & ETIKA PENYIARAN Modul ke: 06Fakultas Ilmu Komunikasi HUKUM & ETIKA PENYIARAN Hukum Pers dan Delik Penyiaran Dr (C) Afdal Makkuraga Putra Program Studi Broadcasting Hukum Pers dan Delik Pers (Penyiaran) Ada tiga hal pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 385 dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XIV/2016 Frasa penyerobotan lahan garapan Termasuk Penyerebotan pangsa pasar dan Frasa pejabat Termasuk pejabat publik dan privat I. PEMOHON Nuih Herpiandi. II.

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14,17/PUU-V/2007 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XV/2017 Pemidanaan Perbuatan Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Fisik Dan Elektromagnetik Terhadap Penyelenggaraan Telekomunikasi I. PEMOHON 1. Rusdi (selanjutnya

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN LIKUIDATOR SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 148 AYAT (2) UU PT 3.1. Kerugian Dalam Hukum Menurut

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018 Wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan Mengambil Langkah Hukum Terhadap Perseorangan, Kelompok Orang, Atau Badan Hukum yang Merendahkan Kehormatan DPR Dan

Lebih terperinci

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI ISSN 2302-0180 6 Pages pp. 68-73 INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DIKAITKAN DENGAN KEBEBASAN BEREKSPRESI Syaifullah Noor 1, Mohd. Din 2, M. Gaussyah 3 1) Magister Ilmu Hukum Program Banda Aceh e-mail

Lebih terperinci

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn

Pengantar Ilmu Hukum. Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Pengantar Ilmu Hukum Pengertian Pokok dalam Sistem Hukum Disampaikan oleh : Fully Handayani R, SH,M.Kn Subjek Hukum Adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha I. PEMOHON Organisasi Advokat Indonesia (OAI) yang diwakili oleh Virza Roy

Lebih terperinci