BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Implementasi dari Keputusan Menteri Keuangan No.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan nomor 575 (selanjutnya disebut KMK 575) mengatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP) yang: a. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN; atau b. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang PPN dan yang terutang PPN; atau c. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang PPN dan yang tidak terutang PPN; atau d. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang PPN dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN; Maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) dan atau JKP (selanjutnya disebut JKP) yang: 1. Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan; 49

2 50 2. Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya; 3. Nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan. Contoh dari penerapan peraturan tersebut pada perusahaan perkebunan sawit adalah perusahaan perkebunan sawit merupakan PKP yang menghasilkan TBS, dimana TBS termasuk ke dalam Barang Strategis (bukan BKP) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun KMK 575 itu adalah pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi perusahaan terpadu (integrated), dimana perusahaan tersebut selain mempunyai kebun juga sekaligus mempunyai pabrik sebagai tempat perusahaan tersebut mengolah hasil kebunnya menjadi barang siap jual maka penghitungan pengkreditan Pajak Masukan dihitung menurut KMK 575 itu. Berdasarkan penjelasan peraturan tersebut dikatakan bahwa Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan sawit tidak dapat dikreditkan karena TBS bukan merupakan BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah jika perusahaan sawit tersebut tidak melakukan penyerahan TBS tetapi mereka melakukan jasa olah kepada perusahaan lain untuk mengolah TBS milik mereka menjadi CPO dan pada akhirnya yang mereka jual

3 51 adalah CPO dan bukan TBS, apakah Pajak Masukan yang terkait dengan perkebunan sawit menjadi bisa dikreditkan? A.1 Proses Pemeriksaan Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang tata cara pemeriksaan (selanjutnya disebut PMK 17), Direktur Jenderal Pajak (selanjutnya disebut DJP) berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal salah satunya memenuhi kriteria bahwa Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar. Peneliti melakukan penelitian terhadap Putusan Banding atas 2 perusahaan dimana kedua-duanya melaporkan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar di tahun 2009 sehingga untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan terhadap ke-2 perusahaan tersebut maka DJP mengeluarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak atas ke-2 perusahaan tersebut. Surat Perintah Pemeriksaan Pajak diterbitkan DJP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atas semua kewajiban perpajakan yang dipunyai ke-2 perusahaan tersebut, termasuk PPN. Selama proses pemeriksaan terjadi, PT.A dan PT.B sudah melaksanakan kewajibannya untuk: 1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;

4 52 2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain; 3. Memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; 4. Memberikan laporan keuangan yang dbuat oleh Akuntan Publik; 5. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan. Proses Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan salah satunya adalah menerbitkan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (selanjutnya disebut PHP) yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi. Wajib Pajak berkewajiban untuk menerima PHP dan menanggapi PHP tersebut secara tertulis dalam jangka waktu 7 hari sejak diterimanya PHP itu dan menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan secara tertulis atas hasil pemeriksaan dan tidak hadir dalam rangka pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam jangka waktu tersebut, maka hasil pemeriksaan dianggap telah disetujui oleh Wajib Pajak setujui seluruhnya dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan serta kewajiban pajak dari Wajib Pajak akan dihitung sesuai dengan hasil pemeriksaan tersebut. Wajib Pajak bisa memberikan permohonan tertulis kepada Pemeriksa Pajak untuk menunda waktu pemberian tanggapan dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu yang telah diberikan. Tanggapan atas PHP dilaporkan oleh Wajib Pajak ke tempat penerimaan surat di Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar dilampirkan

5 53 dengan bukti bukti pendukung untuk melakukan sanggahan terhadap temuan dari Pemeriksa Pajak. PT.A dan PT.B telah dilakukan pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak dan atas proses pemeriksaan tersebut telah diterbitkan PHP yang harus ditanggapi oleh PT.A dan PT.B. PHP yang diterbitkan oleh Pemeriksa Pajak atas PT.A dan PT.B sama-sama mengkoreksi pengkreditan Pajak Masukan dalam negeri yang dilakukan oleh PT.A dan PT.B. Alasan Pemeriksa Pajak melakukan koreksi tersebut adalah karena berdasarkan gambaran kegiatan usaha Wajib Pajak diketahui bahwa Wajib Pajak hanya mempunyai kebun kelapa sawit dimana seharusnya produk akhir dari perkebunan hanya menjual TBS. Akan tetapi pada kenyataannya produk akhir yang dijual adalah CPO dan Palm Kernel. TBS diolah terlebih dahulu di pabrik perusahaan lain menjadi CPO dan Palm Kernel dan disimpan di tangki penyimpanan sebelum dikirim ke konsumen. Terkadang Wajib Pajak juga melakukan pembelian berupa RBD Olein, Crude Palm Olein, CPO, ataupun Palm Kernel untuk kebutuhan konsumennya. Berdasarkan KMK 575, Pemeriksa melakukan koreksi terhadap Pajak Masukan yang berhubungan dengan aktivitas perkebunan sampai dengan produk akhir TBS tidak dapat dikreditkan karena tidak terutang PPN sedangkan Pajak Masukan yang sehubungan dengan produk akhir CPO dan PK yang terutang PPN, dapat dikreditkan. PT.A dan PT.B memberikan tanggapan atas PHP yang diterbitkan oleh Pemeriksa Pajak dengan alasan bahwa koreksi Pemeriksa tidak berdasar karena kegiatan bisnis Wajib Pajak adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (CPO) yang mengolah TBS sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO

6 54 sebagai hasil dari akhir pabrikasi. TBS yang dihasilkan oleh kebun sendiri yang dimiliki PT.A dan PT.B seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO. Hasil produksi dari industri penghasil CPO ini merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang pada saat penyerahanya kepada pihak pembeli dikenakan PPN. Semua Faktur Pajak (FP) yang kami kreditkan sudah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan sangat jelas terkait erat dengan kegiatan usaha kami sebagai penghasil CPO. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 yang isinya sebagai berikut: Apabila dalam suatu Masa Pajak, Perusahaan Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukkan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. PT.A dan PT.B mengolah semua TBS yang dihasilkan oleh kebun mereka sendiri untuk menghasilkan CPO di pabrik milik pihak lain, yang berarti tidak pernah ada penjualan atau penyerahan TBS kepada pihak luar. Sesuai penjelasan yang diberikan oleh PT.A dan PT.B maka mereka berpendapat bahwa tidak lah tepat jika perusahaan mereka dikategorikan sebagai PKP yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak seperti yang dimaksud dalam KMK 575. Hal ini disebabkan karena isi KMK 575 tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan usaha yang bersifat terpadu (integrated) yang hanya melakukan penyerahan BKP seperti perusahaan PT.A dan PT.B. Pendapat PT.A dan PT.B

7 55 didasarkan pada kenyataan bahwa hasil akhir produk perusahaan yang seluruhnya adalah CPO merupakan BKP. Oleh karena itu, semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP, seperti atas pembelian pupuk untuk kebun, sudah seharusnya dapat dikreditkan. Pemeriksa menerima tanggapan atas PHP dari Wajib Pajak dan mengundang Wajib Pajak untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Dari pembahasan akhir hasil pemeriksaan, koreksi Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemeriksa tetap dipertahankan. Pemeriksa tetap berpendapat bahwa Pajak Masukan atas yang berhubungan dengan aktivitas perkebunan sampai dengan produk akhir TBS tidak dapat dikreditkan karena tidak terutang PPN. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN selama 12 masa, dari masa Januari sampai dengan masa Desember, tahun Jumlah pajak yang kurang dibayar berdasarkan SKPKB PPN yang diterbitkan oleh DJP ditambah dengan sanksi administrasi. A.2 Proses Keberatan Upaya hukum Wajib Pajak untuk mencari keadilan berlanjut ke tingkat keberatan. PT.A dan PT.B mengajukan keberatan atas SKPKB PPN yang diterbitkan oleh DJP. PT.A dan PT.B mengajukan keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan. Untuk memenuhi syarat pengajuan keberatan maka PT.A dan PT.B mengajukan surat keberatan

8 56 dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim SKPKB. Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir pemeriksaan sebelum surat keberatan disampaikan, namun karena tidak ada jumlah koreksi yang disetujui oleh PT.A dan PT.B pada saat pembasahan akhir maka PT.A dan PT.B tidak harus melakukan pembayaran sama sekali. Jangka waktu pelunasan pajak, dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, yang kurang dibayar yang terdapat di dalam SKPKB tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Jika keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian maka Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Untuk menghindari sanksi administrasi tersebut apabila nanti ternyata pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak oleh penelaah keberatan maka PT.A dan PT.B melakukan pembayaran 100% atas pajak yang kurang dibayar berdasarkan SKPKB. Pengenaan sanksi 50% dari jumlah pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan membuat Wajib Pajak harus mempersiapkan betul-betul pengajuan keberatannya karena jika keputusan keberatan tidak sesuai dengan yang diharapkan maka Wajib Pajak harus menanggung sanksi administrasi tersebut. Wajib Pajak mengajukan keberatan dengan alasan kegiatan bisnis Wajib Pajak adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (CPO) yang mengolah TBS

9 57 sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO sebagai hasil dari akhir pabrikasi. TBS yang dihasilkan oleh kebun sendiri yang dimiliki PT.A dan PT.B seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO. Hasil produksi dari industri penghasil CPO ini merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang pada saat penyerahanya kepada pihak pembeli dikenakan PPN. Semua Faktur Pajak (FP) yang kami kreditkan sudah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan sangat jelas terkait erat dengan kegiatan usaha kami sebagai penghasil CPO. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 ayat (5) UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 yang isinya sebagai berikut: Apabila dalam suatu Masa Pajak, Perusahaan Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukkan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. PT.A dan PT.B mengolah semua TBS yang dihasilkan oleh kebun mereka sendiri untuk menghasilkan CPO di pabrik milik pihak lain, yang berarti tidak pernah ada penjualan atau penyerahan TBS kepada pihak luar. Sesuai penjelasan yang diberikan oleh PT.A dan PT.B maka mereka berpendapat bahwa tidak lah tepat jika perusahaan mereka dikategorikan sebagai PKP yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak seperti yang dimaksud dalam KMK 575. Hal ini disebabkan karena isi KMK 575 tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang melakukan usaha yang bersifat terpadu (integrated) yang hanya melakukan penyerahan BKP seperti perusahaan PT.A dan PT.B. Pendapat PT.A dan PT.B

10 58 didasarkan pada kenyataan bahwa hasil akhir produk perusahaan yang seluruhnya adalah CPO merupakan BKP. Oleh karena itu, semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP, seperti atas pembelian pupuk untuk kebun, sudah seharusnya dapat dikreditkan. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa: Ayat (2) : Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Ayat (8) : Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk: a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;

11 59 f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5); g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan ketentuan di atas, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahan hasilnya terutang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali Pajak Masukan seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Berdasarkan ketentuanketentuan di atas dapat kami simpulkan bahwa pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah nyata-nyata

12 60 merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi atau menghasilkan BKP berupa CPO, oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. Pada saat proses keberatan, Wajib Pajak memberikan dokumen-dokumen pendukung, misalnya seperti Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemeriksa Pajak disertai dengan arus uang atas pembelian BKP. Selama proses keberatan, penelaah keberatan tidak meminta data lagi kepada Wajib Pajak karena penelaah keberatan beranggapan bahwa pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak bukan berdasarkan perbedaan penentuan pajak yang kurang bayar melainkan sengketa yang diajukan keberatan lebih disebabkan karena masalah yuridis. Masalah yuridis ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran peraturan oleh Wajib Pajak dan pihak DJP. Dalam batas waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, pihak DJP harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh WP. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan tersebut telah terlewati maka pengajuan keberatan Wajib Pajak dianggap dikabulkan. Sebelum jangka waktu penyelesaian keberatan terlewati, pihak DJP mengeluarkan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (selanjutanya disebut SPUH) beserta pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan. Atas pemberitahuan hasil penelitian keberatan itu, Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menanggapi secara tertulis disertai dengan data, bukti, dan dokumen yang mendukung uraian dalam tanggapan tertulis tersebut dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja sejak tanggal SPUH. Selain memberikan tanggapan secara tertulis, Wajib Pajak juga diberi kesempatan untuk hadir memberikan keterangan kepada penelaah

13 61 keberatan. Apabila Wajib Pajak tidak hadir maka pengajuan keberatan akan diselesaikan sesuai dengan data yang telah ada pada penelaah keberatan. Berdasarkan pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan diketahui bahwa penelaah keberatan menolak keberatan Wajib Pajak dan tetap mempertahankan koreksi dari Pemeriksa Pajak. Alasan penealaah keberatan mempertahankan koreksi Pemeriksa Pajak adalah karena Pajak Masukan atas perkebunan kelapa sawit tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga tidak dapat dikreditkan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 KMK 575. Penelaah keberatan juga beralasan bahwa perlakuan KMK 575 diberlakukan dan diterapkan sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Perlakuan KMK 575 juga telah sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN, sehingga tercipta adanya keadilan pembebanan. Namun usaha PT.A dan PT.B tidak hanya sampai di tingkat keberatan, demi mencari keadilan, PT.A dan PT.B melanjutkan upaya hukum ke tingkat banding.

14 62 A. Analisis Putusan Banding Atas Implementasi dari Keputusan Menteri Keuangan No.575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember Upaya hukum selanjutnya yang ditempuh PT.A dan PT.B untuk mendapatkan keadilan adalah melalui banding ke Pengadilan Pajak. Pengajuan banding ke Pengadilan Pajak harus memenuhi beberapa syarat sehingga surat banding Pemohon Banding bisa dipertimbangkan. Syarat-syarat pengajuan Banding adalah: 1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Banding hanya kepada badan Peradilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan; 2. Permohonan Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas; 3. Permohonan Banding diajukan paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan Salinan Keputusan Keberatan tersebut; Sama halnya dengan proses keberatan, Wajib Pajak tidak diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. Jumlah pajak yang masih belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda

15 63 sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. B.1 Banding PT.A (Banding Masa Pajak Oktober 2009) Pendapat Pemohon Banding (PT.A): 1. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) UU Nomor: 8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, nyata-nyata menggunakan kata "penyerahan", dan disebutkan juga maksud "penyerahan" dalam Pasal 1 angka 4 UU PPN yang berbunyi: "4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak" 2. Bahwa dalam Pasal 1A ayat (1) UU No.8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, yang berbunyi: "Pasal 1A (1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah: a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjlan;" 3. Bahwa dalam memori penjelasan Pasal 16B ayat 3 UU PPN dengan jelas menyebutkan kalimat "Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP/JKP" sebagai berikut: Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan

16 64 4. Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 Nomor. 8/1983 sebagaimana terakhir diubah dengan UU No.42/2009 tentang PPN, yang berbunyi: Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan 5. Bahwa dalam Pasal 1 angka 3 Nomor: 30/PMK.03/2011 tentang perubahan atas PMK Nomor: 70/PMK03/2010 tentang balasan kegiatan dan jenis jasa kena Pajak yang atas ekpornya dikenai PPN: Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, sena menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa 6. Berdasarkan Peraturan Perpajakan di atas, Pemohon Banding berpendapat bahwa saat penyerahan produk akhir berupa CPO dan Palm Kernel merupakan "penyerahan BKP" yang dimaksud dalam UU PPN, oleh karena itu PPN masukan atas pembelian pupuk dan, bahan kimia seharusnya dapat dikreditkan, sedangkan pengiriman TBS dari kebun Pemohon Banding untuk dititip olahkan ke Pabrik Pengolahan Minyak Kelapa Sawit (PMKS) milik PT.H bukan sebagai "penyerahan BKP" sebagaimana yang dimaksud dalam UU PPN;

17 65 7. Pemohon Banding juga memberikan yurispudensi Putusan Pengadilan Pajak atas perusahaan perkebunan Kelapa Sawit lain dimana mereka juga melakukan jasa titip olah untuk mengolah lebih lanjut TBS yang dimilikinya menjadi CPO dan Kernel. Majelis hakim berkesimpulan koreksi Pajak Masukan yang dilakukan terbanding tidak tepat dan harus dibatalkan. Pendapat Terbanding (DJP): 1 Pasal 9 ayat (5) UU PPN Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak 2 Pasal 16B ayat (3) UU PPN "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan." 3 Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a PP Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2007.

18 66 Pendapat Majelis: 1. Pada tahun 2009, Pemohon Banding belum dapat dikatakan melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) industri pengolahan minyak sawit karena belum mempunyai unit/pabrik yang dapat mengolah TBS menjadi CPO; 2. Pemohon Banding melakukan perjanjian jasa titip olah TBS menjadi CPO dan PK kepada PT.H; 3. Berdasarkan kelaziman dalam bisnis dengan perjanjian maklon, barang yang prosesnya telah selesai, hasilnya akan dikembalikan pada pihak yang memberikan pekerjaan, namun dalam proses maklon antara Pemohon Banding dengan PT.H, hasil olah berupa CPO dan PK tidak dikembalikan kepada Pemohon Banding melainkan tetap berada di tangki PT.H dan berdasarkan penjelasan pemohon Banding tidak terdapat biaya sewa tangki. Hal ini menguatkan keyakinan Majelis bahwa Pemohon Banding menyerahkan TBS pada PT.H; 4. Berdasarkan hal tersebut Majelis berkesimpulan bahwa pada dasarnya penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) karena Pemohon Banding tidak mempunyai pabrik pengolahan tandan buah segar yang dapat menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Karnel (PK) sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku penyerahan Tandan Buah Segar milik Pemohon Banding yang dimaklonkan kepada perusahaan jasa tolling dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sesuai Pasal 16B UU PPN;

19 67 5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak Pasal 2 ayat 1 (a) menyebutkan : Bagi Pengusaha Kena Pajak yang: a. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang : 1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan; 6. Bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah : a. b. c. barang hasil pertanian; d. d s t

20 68 bahwa selanjutnya pada Pasal 1 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan: Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang : a. pertanian, perkebunan dan kehutanan; b. c. ; bahwa selanjutnya pada Pasal 2 angka 2 pada peraturan yang sama disebutkan: Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa : a. ; b. ; c. barang pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 huruf c; d....dst dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; 7. Bahwa Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan: Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, balk untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk: a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. impor Barang Kena Pajak tertentu; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 8. Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun

21 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah disebutkan : "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan. 9. Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tanggal 22 Maret 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 1 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Tandan Buah Segar (TBS) telah ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat strategis (BKP strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. B.2 Banding PT.B (Banding Masa Pajak Maret 2009) Pendapat Pemohon Banding (PT.B): a. Bahwa Perusahaan Pemohon Banding hanya melakukan penyerahan CPO yang merupakan Barang Kena Pajak yang telah dipungut PPN. Untuk memproduksi CPO diperlukan bahan baku berupa TBS yang berasal dari kebun perusahaan Pemohon Banding sendiri. Penyerahan produk

22 70 perkebunan ke pabrik bukan merupakan penyerahan kena pajak. Sehingga sesuai dengan peraturan di atas, seluruh Pajak Masukan atas pupuk dan perlengkapan perkebunan lainnya yang berhubungan langsung dalam memproduksi CPO tersebut seharusnya dapat dikreditkan seluruhnya; b. Bahwa penegasan tentang penyerahan antar unit (intern) perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha terpadu telah ada sejak lama yaitu dalam Surat Edaran Nomor SE-03/PJ.3/1985 tertanggal 28 Januari 1985 tentang PPN dalam Perusahaan Terpadu yang Menghasilkan Baik BKP maupun Bukan BKP (Seri PPN-24) yang berbunyi: 1.2 Agraria-industri: Sebagai contoh, Perkebunan yang mengusahakan kelapa sawit (tidak diproses) dan pabrik/kilang minyak kelapa sawit melalui proses produksi, baik untuk dual di dalam negeri maupun ekspor. Pada dasarnya penyerahan antar unit (intern) perusahaan, bukan merupakan Penyerahan Kena Pajak dan karenanya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, tergantung dari barang yang dihasilkan oleh unit-unit yang bersangkutan yaitu berupa Barang Kena Pajak atau bukan Barang Kena Pajak. c. Bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (8) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa: Ayat (2) : Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Ayat (8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk: a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha; c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali mei upakan barang dagangan atau disewakan;

23 71 d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana; f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5); g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak; i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Swat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilalcukan pemeriksaan. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahan hasilnya terutang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali Pajak Masukan seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Bahwa lebih lanjut, Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-undang yang sama menyebutkan bahwa Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Pemohon Banding juga menyampaikan bahwa pernah terdapat sengketa pajak yang hampir sama dengan kasus Pemohon Banding tersebut yang telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 541/B/PK/PJK/2011. Dimana dalam kasus tersebut Mahkamah Agung menolak Permohonan Peninjauan Kembali dari Direktur Jenderal Pajak dengan pertimbangan bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena Putusan Pengadilan Pajak yang membatalkan

24 72 koreksi Terbanding/Pemohon Peninjauan Kembali atas Pajak Masukan atas usaha integrated di bidang industri pengolahan bubur kertas (Pulp) sehingga dapat dikreditkan sudah tepat dan benar sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka dapat Pemohon Banding simpulkan bahwa pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi/menghasilkan BKP berupa CPO, oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya PPN Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. Pendapat Terbanding: a. Pajak Masukan atas perkebunan kelapa sawit tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidak dapat dikreditkan, hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000; b. diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated); c. Bahwa telah sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-undang PPN, sehingga tercipta adanya keadilan pembebanan pajak.

25 73 Pendapat Majelis: a. TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah (belumlah) merupakan penyerahan BKP berupa TBS. Karena, TBS ini : a. Dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama; b. Dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa CPO. b. Bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut : "Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah." c. Bahwa pengertian dari `tujuan produktif' tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk

26 74 kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan. d. Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; e. Bahwa Pasal 9 Ayat (6) dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN), secara lengkap berbunyi sebagai berikut : Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. f. Bahwa dalam persidangan terbukti bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS kepada pihak lain (tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang Pemohon Banding lakukan), sementara disisi lain pihak Terbanding tidak dapat membuktikan adanya penyerahan TBS yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada pihak lain;

27 75 g. Bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas pembelian Pupuk yang dilakukan oleh Pemohon Banding, tidak dapat dikreditkan. B.3 Perbandingan Pendapat Majelis Hakim PT.A dan PT.B Berdasarkan pendapat Majelis Hakim yang menangani PT.A dan PT.B, bisa dilihat perbandingan pendapat antara kedua majelis tersebut pada tabel berikut: Tabel.5.1. Perbandingan Pendapat Majelis PT.A Dan PT.B No PT.A Pendapat Majelis PT.B 1. Wajib Pajak tidak memiliki pabirk untuk mengolah TBS yang dihasilkannya, oleh karena itu TBS tersebut dimaklonkan untuk diolah lebih lanjut menjadi CPO. Penyerahan TBS kepada perusahaan jasa titip olah sudah termasuk ke dalam penyerahan Wajib Pajak tidak memiliki pabirk untuk mengolah TBS yang dihasilkannya, oleh karena itu TBS tersebut dimaklonkan untuk diolah lebih lanjut menjadi CPO. Penyerahan TBS kepada perusahaan jasa titip olah belum termasuk ke dalam penyerahan 2. Majelis tidak berpendapat mengenai pemakaian sendiri TBS untuk tujuan produktif Majelis berpendapat bahwa TBS yang dititip olahkan termasuk ke dalam pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, dan menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif itu belum dikatakan penyerahan selama pemakaian sendiri tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang melakukannya 3. CPO hasil titip olah tetap berada di perusahaan jasa titip olah sehingga memberikan kesimpulan bahwa memang TBS yang dititip olahkan diserahkan kepada perusahaan jasa titip olah CPO hasil titip olah tetap berada di perusahaan jasa titip olah namun Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa tidak ada penyerahan TBS kepada perusahaan jasa tersebut (Sumber: Putusan Pengadilan Pajak terhadap Banding PT.A dan PT.B)

28 76 C. Analisis Sengketa Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Sengketa pajak dalam penelitian ini adalah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (selanjutnya disebut SKPKB) atas koreksi Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN oleh Fiskus. Wajib Pajak melaporkan SPT PPh Badan tahun 2009 dengan status lebih bayar sehingga sebelum Direktorat Jenderal Pajak mengembalikan kelebihan pembayaran, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu, dan hasil pemeriksaan tersebut adalah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (selanjutnya disebut SKPLB) untuk PPh Badan dan SKPKB untuk PPN, SKPKB PPN ini terbit karena tidak sependapatnya antara Wajib Pajak dengan Fiskus terkait penerapan KMK 575 pada pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN. Salah satu hak Wajib Pajak adalah dapat mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan SKPKB PPN yang diterbitkan oleh Fiskus, dan apabila Wajib Pajak masih tidak puas dengan hasil keputusan keberatan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak. Keputusan Pengadilan Pajak atas Banding yang diajukan Wajib Pajak masih tidak sesuai dengan keinginan dari

29 77 Wajib Pajak maka langkah hukum selanjutnya yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak adalah mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Penerapan KMK 575 pada perusahaan perkebunan sawit menyebabkan adanya penafsiran ganda menurut Wajib Pajak dan menurut pemeriksa. Menurut pemeriksa, perusahaan perkebunan sawit merupakan PKP yang menghasilkan TBS, dimana TBS termasuk ke dalam Barang Strategis (bukan BKP) seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 2007 sehingga atas penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh sebab itu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahaan TBS tidak dapat dikreditkan. Menurut Wajib Pajak, penyerahan yang dilakukannya adalah penyerahan yang terutang PPN karena yang mereka serahkan adalah CPO yang merupakan BPK, oleh sebab itu sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang terutang PPN tersebut dapat dikreditkan. Menurut penulis, penentuan apakah Pajak Masukan dapat dikreditkan atau tidak terletak pada penyerahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang Wajib Pajak melakukan penyerahan BKP maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Jika suatu perusahaan perkebunan sawit melakukan penyerahan yang terutang PPN maka sudah seharusnya semua Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan tersebut dapat dikreditkan. Perbedaan penafsiran antara Wajib Pajak dengan pemeriksa bisa disimpulkan terjadi pada saat menentukan apakah terjadi penyerahan atau tidak atas TBS yang dihasilkan oleh perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan perkebunan sawit sudah tentu tidak mempunyai pabrik pengolahan untuk mengolah TBS yang dihasilkannya menjadi CPO sehingga mereka melakukan

30 78 jasa titip olah ke perusahaan lain. Menurut pemeriksa, jasa titip olah yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit merupakan penyerahaan TBS dari perusahaan perkebunan ke perusahaan pengolahan sehingga atas penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut, Pajak Masukan yang terkait atas penyerahaan tersebut tidak dapat dikreditkan. Berbeda pendapat dengan pemeriksa, Wajib Pajak menganggap tidak ada penyerahan TBS kepada perusahaan pengolahan karena memang TBS yang di titip olahkan tersebut tetap menjadi hak milik dari perusaahaan perkebunan sawit. Selain itu, perusahaan perkebunan dipungut PPN dan memotong Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut PPh) 23 atas jasa titip olah tersebut dan bukan atas penyerahan TBS. Termasuk ke dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 1 UU PPN adalah: a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; b. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing; c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; d. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;

31 79 f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang; g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi. Termasuk ke dalam pengertian yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak menurut Pasal 1A ayat 2 UU PPN adalah: a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang; b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang; c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang. Pasal 2 ayat 1 huruf a KMK 575 menyebutkan bahwa bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang: 1. Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan; 2. Digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang PPN, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya.

32 80 Penjelasan pasal ini memberikan contoh bahwa PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung tetapi juga memiliki pabrik pengolahan minyak jagung mempunyai beberapa kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali, dan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya. Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung karena jagung adalah BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung, sedangkan contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya adalah Pajak Masukan untuk perolehan mesinmesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung. Menurut penulis, apa yang tertuang di dalam KMK 575 ini bertentangan dengan apa yang diatur di dalam Pasal 1A ayat 2 UU PPN, seharusnya suatu Keputusan Menteri Keuangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang melainkan hanya menjadi penjelas maksud Undang-Undang karena Undang- Undang secara hierarki berada di atas Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 1A ayat 2 huruf c mengatakan bahwa penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang bukan pengertian dari penyerahan BKP dalam hal PKP memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang. Contoh yang diberikan di dalam KMK 575 adalah perusahaan minyak jagung yang selain

33 81 memiliki pabrik pengolahan tetapi juga memilik kebun untuk menghasilkan jagungnya. Kalau ditinjau dari UU PPN, penyerahan jagung dari unit perkebunan ke unit pabrik tidak termasuk ke dalam pengertian penyerahan BKP, dan yang merupakan pengertian penyerahan BKP adalah pada saat minyak jagung tersebut diserahkan kepada pihak pembeli, dan apabila yang diserahkan merupakan BKP yang terutang PPN maka Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan itu bisa dikreditkan seluruhnya. Berbeda kalau ditinjau dari KMK 575, menurut KMK tersebut, penyerahan jagung dari unit perkebunan kepada unit pabrik termasuk ke dalam pengertian penyerahan namun penyerahan tersebut tidak terutang PPN karena jagung bukan merupakan BKP sehingga Pajak Masukan atas pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung yang terkait dengan penyerahan jagung tersebut tidak dapat dikreditkan. KMK 575 sudah menyebutkan juga mengenai PKP yang melakukan usaha terpadu (integrated), seharusnya usaha terpadu ini merupakan sistem kerja terpadu dimana hasil produk dari suatu unit produksi menjadi bahan baku bagi unit produksi lain yang menghasilkan produk baru yang memiliki nilai tambah. Kasus yang dicontohkan oleh KMK 575 adalah jagung merupakan bahan baku dari pabrik minyak jagung, dengan demikian perpindahan jagung dari unit kebun ke unit pabrik bukan merupakan penyerahan karena memang hal tersebut manjadi satu kesatuan di dalam suatu perusahaan. Jika dikatakan bahwa penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan terpadu adalah minyak jagung (BKP) maka sudah tentu Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan BKP tersebut semuanya dapat dikreditkan.

Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00

Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT. 49902/PP/M.X/16/2014 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

: bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp ,00;

: bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62294/PP/M.XI.B/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa Menurut Terbanding : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan

Lebih terperinci

Menurut Pemohon: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015. Tahun Pajak : 2008

Menurut Pemohon: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015. Tahun Pajak : 2008 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.61397/PP/M.XIB/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan kegiatan unit usaha/divisi kebun sebesar Rp ,00,

Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan kegiatan unit usaha/divisi kebun sebesar Rp ,00, Putusan Nomor : PUT-72658/PP/M.XB/16/2016 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini Koreksi Pajak Masukan yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK

SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK Putusan Nomor : 72764/PP/M.XVA/16/2016 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Koreksi Pajak yang dapat diperhitungkan PPN Barang dan Jasa Masa Pajak

Lebih terperinci

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap sebagai berikut :

: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap sebagai berikut : Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.61621/PP/M.XII B/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak Pokok Sengketa : 2011 : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya atas pokok sengketa tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

bahwa hasil pemeriksaan selengkapnya atas pokok sengketa tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut: Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-87243/PP/M.XVIB/16/2017 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa sengketa terbukti mengenai tarif pajak dalam banding ini adalah koreksi Terbanding

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa PUTUSAN Nomor 1786/B/PK/PJK/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai

Lebih terperinci

PENETAPAN DAN KETETAPAN

PENETAPAN DAN KETETAPAN PENETAPAN DAN KETETAPAN Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Lebih terperinci

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK 2.1 Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak Tentang pengertian pajak, ada beberapa pendapat dari para ahli, antara lain:

Lebih terperinci

November 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010;

November 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 05 April 2010; utusan Nomor : Put-73888/PP/M.XIB/16/2016 enis Pajak : PPN ahun Pajak : 2010 okok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan

Lebih terperinci

: Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015

: Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-63368/PP/M.VIIIA/16/2015 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah adalah koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan

Lebih terperinci

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Disusun oleh : SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009 Oktober 2009 begawan5060@gmail.com begawan5060 1 Pasal 1 Pengertian 1 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014 Direktori Putusan Mahkamaa Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.50322/PP/M.X/16/2014 Jenis Pajak Tahun Pajak : 2009 Pokok Sengketa : Pajak Pertambahan Nilai : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-60826/PP/M.IIIB/99/2015 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap penerbitan Keputusan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.28914/PP/M.I/16/2011

Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.28914/PP/M.I/16/2011 Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.28914/PP/M.I/16/2011 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2007 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah koreksi Dasar Pengenaan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. 1 ALUR KUP WP SPT SKP Inkraacht 3 bulan (dikrim) Daftar Inkraacht Pemeriksaan Keberatan Inkraacht 5 tahun 3 bulan(dite rima)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 Menimbang : a. TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00;

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Pajak Masukan sebesar Rp ,00; Putusan Pengadilan Pajak Nomor : 65791 /PP/M.VIA/16/2015 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Menurut Majelis : bahwa nilai sengketa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.43000/PP/M.XIII/99/2013 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah gugatan terhadap Keputusan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

2012, No.4 2 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pel

2012, No.4 2 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pel No.4, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERPAJAKAN. PAJAK. PPN. Barang dan Jasa. Pajak Penjualan. Barang Mewah. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271) PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 UU No 8 Th 1983 stdtd UU No 18 Th 2000 UU No 42 Tahun 2009 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Putusan : PUT-44259/PP/M.VI/16/2013 Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak : Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP

Putusan : PUT-44259/PP/M.VI/16/2013 Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak : Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Putusan : PUT-44259/PP/M.VI/16/2013 Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak : Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Tahun Pajak : 2009 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 35-1953::UU 2-1968 diubah: UU 11-1994::UU 18-2000 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 51, 1983 (FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 143 TAHUN 2000 (143/2000) TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.46597/PP/M.II/16/2013 Jenis Pajak Tahun Pajak : 28 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Banding Menurut Majelis : Pajak Pertambahan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15 /PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan sektor nonmigas. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, peran penerimaan. tahun 2004 menjadi 74,9% pada tahun 2009.

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan sektor nonmigas. Dalam 5 (lima) tahun terakhir, peran penerimaan. tahun 2004 menjadi 74,9% pada tahun 2009. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang mendapatkan sumber terbesar dari penerimaan pajak. Komposisi pendapatan Negara lebih bertumpu pada sumber sumber penerimaan dari

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN BANDING, PUTUSAN GUGATAN, DAN PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI A Umum DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 15/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 29/PJ/2008 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN

Lebih terperinci

Menurut Majelis : bahwa dasar hukum yang terkait dengan materi gugatan ini adalah :

Menurut Majelis : bahwa dasar hukum yang terkait dengan materi gugatan ini adalah : Nomor Putusan Pengadilan Pajak Put.53311/PP/M.XVIIIB/99/2014 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap Penerbitan Surat

Lebih terperinci

Penggantian ke 2 (dua) :

Penggantian ke 2 (dua) : Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.38645/PP/M.XIII/16/2012 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa dalam pemeriksaan yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. PP (Persero) Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. PT. PP (Persero) Tbk menyediakan berbagai jasa dan solusi

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia PUTUSAN Nomor 581/B/PK/PJK/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut

Lebih terperinci

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Dasar Pengenaan Pajak

: bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Putusan Nomor : Put.69128/PP/M.IA/16/2016 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Tahun Pajak : 2012 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon : bahwa nilai sengketa terbukti dalam

Lebih terperinci

2. Koreksi Pajak Masukan atas jawaban konfirmasi sebesar Rp , Koreksi Pajak Masukan atas Kebun sebesar Rp

2. Koreksi Pajak Masukan atas jawaban konfirmasi sebesar Rp , Koreksi Pajak Masukan atas Kebun sebesar Rp utusan Nomor : Put-73891/PP/M.XIB/16/2016 enis Pajak : PPN ahun Pajak : 2010 okok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

Perpajakan 2 PPN & PPnBM Perpajakan 2 PPN & PPnBM 18 Februari 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Karakteristik PPN 1. Pajak tidak langsung Beban pajak dipikul oleh konsumen akhir. Pengusaha akan

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.49243/PP/M.XI/99/2013. Tahun Pajak : 2009

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.49243/PP/M.XI/99/2013. Tahun Pajak : 2009 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.49243/PP/M.XI/99/2013 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2009 Pokok Sengketa Menurut Tergugat Menurut Penggugat : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah Penerbitan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa PUTUSAN Nomor 1715/B/PK/PJK/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari penghasilan masyarakat, dalam proses pemungutan perlu diatur dalam undang-undang agar dapat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00329/NKEB/WPJ.

bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00329/NKEB/WPJ. Putusan : Put-87868/PP/M.VA/99/2017 Nomor Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2014 Pokok Sengketa Menurut Tergugat Menurut Penggugat Menurut Majelis : bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah

Lebih terperinci

bahwa Koreksi atas PPN Masukan tetap ditolak dan diajukan banding oleh Pemohon Banding dengan alasan sebagai berikut:

bahwa Koreksi atas PPN Masukan tetap ditolak dan diajukan banding oleh Pemohon Banding dengan alasan sebagai berikut: tusan Nomor : Put-73890/PP/M.XIB/16/2016 nis Pajak : PPN hun Pajak : 2010 kok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa Banding ini adalah koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan yang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ.

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK. 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 11 April 2005 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 246/PJ.52/2005 TENTANG PENJELASAN ATAS PEMBERLAKUAN PPN DAN PPn BM DI DAERAH INDUSTRI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAANUNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perpajakan II.1.1. Definisi Pajak Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut : Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Apabila membahas pengertian pajak, banyak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPN. Ekspor. Kegiatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPN. Ekspor. Kegiatan. No.153, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. PPN. Ekspor. Kegiatan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dikemukakan para ahli sebagai berikut: a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH (2002:1)

BAB II LANDASAN TEORI. dikemukakan para ahli sebagai berikut: a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH (2002:1) BAB II LANDASAN TEORI A. Perpajakan Adapun pengertian pajak yang dikemukakan para ahli dari sudut pandang yang berbeda. Beberapa pendapat mengenai definisi pajak yang dikemukakan para ahli sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan 2.1.1. Pajak Penghasilan Badan Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Definisi Pajak Ada bermacam-macam definisi Pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS BAB IV PEMBAHASAN IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS Semua badan merupakan Wajib Pajak tanpa terkecuali, mulai saat didirikan atau saat melakukan kegiatan usaha atau memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR - 14/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-146/PJ./2006 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN

Lebih terperinci

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola

Pajak. Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola Pajak Definisi Pajak Pembagian Jenis Pajak Menurut Sifat Menurut Sasaran Menurut Pengelola Sejarah PPN Pajak Pembangunan I (PPb I) tanggal 1 Juni 1947 dikenakan atas Rumah Makan dan Penginapan Pajak Peredaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk

BAB II LANDASAN TEORI. memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan untuk BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Pajak II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut digunakan

Lebih terperinci

bahwa Surat Tagihan Pajak Nomor 00097/107/12/029/15 tanggal 28 September 2015 tidak termasuk

bahwa Surat Tagihan Pajak Nomor 00097/107/12/029/15 tanggal 28 September 2015 tidak termasuk Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-86336/PP/M.VIA/99/2017 Jenis Pajak : Gugatan Pajak Tahun Pajak : 2016 Pokok Sengketa Menurut Tergugat : bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah penerbitan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. Put-4/PP/M.XIIA/99/2014. Jenis Pajak : Gugatan. Tahun Pajak : 2011

Nomor Putusan Pengadilan Pajak. Put-4/PP/M.XIIA/99/2014. Jenis Pajak : Gugatan. Tahun Pajak : 2011 Nomor Putusan Pengadilan Pajak Put-4/PP/M.XIIA/99/2014 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2011 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap permohonan Pengurangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Pajak dan Fungsi Pajak 2.1.1 Definisi Pajak Menurut Adriani dalam kutipan Soemarso (2007:2), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS

Lebih terperinci

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : PUT /2014/PP/M.VIB Tahun Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2014.

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan Nomor : PUT /2014/PP/M.VIB Tahun Jenis Pajak : PPN. Tahun Pajak : 2014. Putusan Nomor : PUT-112135.16/2014/PP/M.VIB Tahun 2018 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2014 Pokok Sengketa Menurut Terbanding Menurut Pemohon Banding : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 151/PMK.011/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 151/PMK.011/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 151/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN FAKTUR PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN

Lebih terperinci

PPN (Rupiah) CV Lubrima Pratama Agust

PPN (Rupiah) CV Lubrima Pratama Agust : Put. 43692/PP/M.XV/16/2013 Mahkamaa Pengadilan Pajak Nomor Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2008 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi Pajak Masukan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 50/PJ./2009

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 50/PJ./2009 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 50/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK DAN TATA CARA PENERBITAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang

BAB 2 LANDASAN TEORI. undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1.1 Definisi Pajak Dalam Suandy (2011:5) Pajak di definisikan sebagai pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah, yang sebagian dipakai untuk menyediakan barang dan jasa

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara perlakuan akuntansi

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Maia PUTUSAN Nomor 1714/B/PK/PJK/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 376/PJ.02/2017 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 376/PJ.02/2017 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK 31 Agustus 2017 SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR S - 376/PJ.02/2017 TENTANG PENEGASAN TERKAIT PPN YANG DIBEBASKAN ATAS IMPOR BARANG

Lebih terperinci

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF SPESIALISASI ACCOUNT REPRESENTATIVE TINGKAT DASAR BAHAN AJAR Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar Oleh: T i m Widyaiswara Pusdiklat Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa PUTUSAN Nomor 544/B/PK/PJK/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai

Lebih terperinci

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2010 TENTANG 26 Maret 2010 PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 14/PJ/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -17 /BC/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN JALAN BINTARO UTAMA SEKTOR V BINTARO JAYA, TANGERANG SELATAN 15222 TELEPON (021) 7361654-58;

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Gambaran Umum Tentang Perpajakan 1. Definisi Pajak Ada beberapa definisi pajak menurut beberapa para ahli dari dalam maupun luar negeri, diantaranya : Pajak menurut Rochmat Soemitro

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.03/2013 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.03/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG

Lebih terperinci

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN LAMPIRAN I PERATURAN NOMOR : PER165/PJ/2005 TENTANG : PERUBAHAN KETUJUH ATAS KEPUTUSAN NOMOR KEP297/PJ/2002 TENTANG PELIMPAHAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPADA PARA PEJABAT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Tabel Nilai Sengketa atas Objek Pajak sampai dengan Surat Banding N o. 1. Koreksi Positif Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut Rp

Tabel Nilai Sengketa atas Objek Pajak sampai dengan Surat Banding N o. 1. Koreksi Positif Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut Rp Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-50514/PP/M.XIA/16/2014 Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak : 2007 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap

Lebih terperinci

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Adriani seperti dikutip Brotodihardjo (1998) mendefinisikan, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

Lebih terperinci