Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan"

Transkripsi

1 Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi FT UGM Abstrak Gempabumi 27 Mei 2006 yang melanda Yogyakarta telah membuka informasi baru aspek geodinamika kawasan Pegunungan Selatan. Sumber gempabumi yang berkekuatan 6,3 Mw tersebut diperkirakan terjadi pada zona sesar Opak yang membatasi fisiografi Pegunungan Selatan dan Cekungan Yogyakarta, meskipun sebagian ahli lainnya menempatkannya pada batas fisiografi pegunungan Baturagung dengan Cekungan Wonosari; dimana lokasi kedua tersebut terletak sekitar 10 km dari lokasi pertama. Hasil analisis mekanisme fokal menunjukkan gempabumi tersebut dihasilkan oleh suatu pergerakan sesar geser sinistral berarah TTL-BBD. Secara historis, gempabumi besar dan dangkal di Pegunungan Selatan dilaporkan pernah terjadi pada tahun 1867 di zona sesar Opak. Selain rekaman sejarah gempabumi, kehadiran sesar aktif umumnya mudah diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda dan seringkali menjadi batas pelamparan sedimen-sedimen Resen. Di Pegunungan Selatan, kedua tanda tersebut juga hadir pada zona sesar Opak. Terlepas dari ketidakpastian lokasi patahan aktif penyebab gempabumi 2006, gejala geologi penting berupa sobeknya permukaan sebagai tanda reaktifasi suatu patahan akibat gempabumi tidak dijumpai di sepanjang sesar Opak. Data-data kegempaan tersebut menunjukkan adanya proses deformasi tektonik di Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana proses terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai. Pengukuran deformasi dengan telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di bagian utara Pegunungan Selatan mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke arah utara sejauh 5 mm/bulan. Meskipun angka tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata pergerakan relatif lempeng Eurasia dan Indo-Australia, masih perlu banyak data tambahan untuk melihat proses deformasi di Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Pendahuluan Aktifitas tektonik Jawa didominasi oleh proses subduksi Lempeng Samudera Indo- Australia yang bergerak ke utara dibawah Lempeng Sunda (Eurasia) dengan kecepatan relatif sekitar 6 cm/tahun. Lempeng Indo-Australia miring kearah utara-timurlaut dari Palung Sunda dan mencapai kedalaman sekitar 200 km dibawah busur gunungapi (Gambar 1). Gempabumi yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi di kedalaman yang dangkal pada Lempeng Sunda. Sehingga dapat diduga bahwa gempabumi tersebut bukan disebabkan secara primer oleh proses penunjaman lempeng itu sendiri, melainkan sebagai efek sekundernya, yaitu akibat gaya kompresi 1

2 berarah relatif utara-selatan yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada di daratan. Gempabumi dangkal yang terjadi di daratan seperti tanggal 27 Mei 2006 lalu memang jarang terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur (USGS, 2006). Berbeda dengan Pegunungan Selatan Jawa Barat, sebaran gempabumi dangkal di daerah tersebut mengindikasikan aktifitas tektonik Pegunungan Selatan Jawa Barat lebih kuat daripada Pegunungan Selatan Jawa Timur. Gempabumi 27 Mei 2006 Gempabumi 27 Mei 2006 dengan magnitudo momen 6.3 selama 57 detik telah menyebabkan korban jiwa, korban luka-luka, bangunan hancur, bangunan rusak (Husein et al., 2007a). Kerusakan parah dialami oleh Propinsi Yogyakarta dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dengan total kerugian sebesar 28 triliun rupiah (Pujiyono, 2007). Titik episentrum gempabumi tersebut dilaporkan berbeda-beda oleh beberapa institusi, diantaranya BMG Indonesia, USGS Amerika Serikat, ANSS Amerika Serikat, EMSS Eropa (Gambar 2). Namun semuanya berada di sekitar batas fisiografi Pegunungan Selatan dengan Dataran Yogyakarta. Pada batas kedua fisiografi tersebut diketahui terdapat suatu patahan normal yang menyebabkan terjadinya kontras morfologi (Untung et al., 1973; Sudarno, 1997). Patahan tersebut dikenal dengan nama Sesar Opak karena jejaknya dijumpai di sepanjang aliran Sungai Opak saat ini. Hubungan keruangan antara sebaran titik episentrum dan Patahan Opak menimbulkan dugaan bahwa gempabumi 2006 lalu disebabkan oleh reaktifasi Patahan Opak tersebut (Supartoyo, 2006). Umumnya suatu gempabumi (mainshock) akan diikuti oleh gempabumi susulan (aftershock) sebagai akibat dari pelepasan sisa energi menuju keseimbangan antar blokblok batuan yang bergerak ketika patahan terjadi. Sehingga letak episentrum mainshock juga dapat diketahui dari sebaran episentrum aftershock. Pemantauan aftershock yang direkam oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Universitas Kyushu Jepang menunjukkan sebaran episentrum aftershock disekitar titik episentrum mainshock yang ditetapkan oleh USGS (Fukuoka et al., 2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa titik episentrum mainshock yang ditentukan oleh USGS adalah yang paling mendekati posisi sesungguhnya. Sejarah Kegempaan Jarangnya gempabumi mengguncang Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat juga ditunjukkan oleh data gempabumi masa lalu. Rekaman catatan sejak era kolonial, yaitu semenjak awal abad ke-19, hanya menunjukkan satu kali saja peristiwa gempabumi terjadi di bagian Pegunungan Selatan ini (Visser, 1922). Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempabumi dengan episentrum di 7.8 o S o E (Utsu, 2002). Gempabumi tersebut mengguncang daerah sekitarnya dengan intensitas tinggi, di Kota Yogyakarta dilaporkan hingga skala-ix MMI dan merenggut nyawa 5 orang dan mengakibatkan 372 bangunan hancur. Intensitas kerusakan diduga mengikuti pola struktur Patahan Opak (Visser, 1922), meskipun tidak dilaporkan adanya bukti pergeseran sesar di 2

3 permukaan (Newcomb and McCann, 1987). Melihat dari sebaran intensitasnya, diduga gempabumi ini berlangsung dengan magnitudo yang relatif sama dengan gempabumi 2006 lalu (Husein et al., 2007b). Sebelumnya pada tanggal 14 Januari 1840 terjadi gempabumi dengan episentrum di sebelah timur Banjarnegara, Jawa Tengah (Elnashai et al., 2006). Meski episentrumnya terletak jauh dari Pegunungan Selatan, dilaporkan terjadi tsunami lokal di sepanjang pesisir Wonosari hingga Pacitan (Newcomb and McCann, 1987). Diduga peristiwa ini disebabkan gerakan massa berupa runtuhan batuan (rock fall) di sepanjang pesisir Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat akibat getaran gempabumi (Husein et al., 2007b). Selain dari gempabumi 1840 yang memiliki efek sekunder terhadap Pegunungan Selatan dan gempabumi 1867 yang terjadi langsung di Pegunungan Selatan, tidak ada lagi gempabumi yang terjadi atau berpengaruh secara langsung terhadap Pegunungan Selatan. Meski setelah itu banyak gempabumi yang mempengaruhi Yogyakarta, sebagian besar terjadi di Samudera Hindia di selatan Pegunungan Selatan (Husein et al., 2007b). Struktur Geologi Pegunungan Selatan Sudarno (1997) berdasarkan penyelidikan geologi lapangan menafsirkan adanya 4 (empat) trend struktur yang berkembang di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat, yaitu (dari yang tertua) TL-BD, U-S, BL-Tg, dan B-T. Trend pertama (TL-BD) berkembang sebagai sesar geser sinistral pada batuan dasar (basement) akibat gaya kompresi penunjaman Lempeng Indo-Australia pada kala Eosen Akhir Miosen Tengah. Untuk selanjutnya berdasarkan kesesuaian dengan data regional Jawa, Sudarno (1997) menduga bila trend-trend selain TL-BD bukan merupakan hasil reaktivasi sesar pada basement. Trend kedua (U-S) hadir sebagai sesar geser sinistral di bagian barat Pegunungan Selatan pada akhir Pliosen. Trend ketiga (BL-Tg) berkembang sebagai sesar geser dekstral yang diduga muncul bersama-sama dengan trend kedua sebagai respon terhadap gaya kompresi penunjaman Lempeng Indo-Australia di akhir Neogen. Trend keempat (B-T) hadir sebagai sesar turun akibat gaya regangan yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Selatan di awal Pleistosen. Gaya regangan tersebut juga mengaktifkan beberapa sesar geser tua menjadi sesar turun, seperti yang dialami oleh Sesar Opak. Diluar keempat trend tersebut, ada beberapa trend lain yang dapat teramati. Setiadji et al. (2007) mengamati variasi dari trend pertama (TL-BD) berupa orientasi TTL-BBD dan UTL-SBD, meski tidak diketahui persis hubungan pembentukan trend-trend tersebut satu sama lainnya. Yang menarik adalah kehadiran trend struktur TTL-BBD, karena orientasi tersebut ditunjukkan oleh hasil analisa terhadap data gempabumi 2006 (akan didiskusikan pada bagian berikut). Trend TTL-BBD tentunya juga struktur tua karena mengontrol pelamparan batuan basement di Perbukitan Jiwo Timur dan mengatur orientasi kuesta Lajur Baturagung bagian timur yang tersusun oleh batuan volkaniklastik Oligo-Miosen (Husein dan Srijono, 2007). Solusi Mekanisme Fokal Gempabumi 2006 Gempabumi merupakan getaran bumi akibat adanya pelepasan energi dari suatu pergerakan patahan. Sehingga peristiwa gempabumi dapat dipergunakan untuk mempelajari aktifitas tektonik modern. Salah satu metode analisa yang menghubungkan 3

4 gempabumi dan pergerakan patahan yang populer dipergunakan adalah solusi tensor momen atau mekanisme fokal. Dengan metode ini para ahli seismologi dapat menentukan arah pergeseran, jenis dan orientasi patahan yang menyebabkan gempabumi (Cronin, 2004). Metode ini masih memerlukan kejelian interpretasi karena selalu memberikan 2 kemungkinan untuk bidang patahan yang aktif, yaitu bidang patahan itu sendiri dan yang lain adalah bidang bantu (auxiliary plane) yang tidak memiliki arti secara struktur. Lazimnya pengetahuan akan geologi regional sangat membantu dalam tahap ini ketika harus memutuskan mana bidang patahan yang sesungguhnya dan bidang mana yang hanya sebagai bidang bantu saja. Untuk gempabumi 27 Mei 2006, ada dua solusi mekanisme fokal yang dapat dipelajari, yaitu yang dipublikasikan oleh Pusat Informasi Gempabumi Nasional USGS (NEIC) dan oleh Proyek Centroid-Moment Tensor (CMT) Harvard. Hasil analisa mekanisme fokal USGS menunjukkan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 37 km dengan arah bidang sesar N241 o E/85 o dan slip 10 o dengan bidang bantu N150 o E/80 o dan slip 175 o. Gaya kompresi diperkirakan berasal dari N15 o E. Sedangkan hasil analisa mekanisme fokal Harvard mengindikasikan pergeseran sesar geser sinistral pada kedalaman 33 km dengan orientasi bidang sesar N51 o E/90 o dan slip 14 o dengan bidang bantu N321 o E/76 o dan slip 180 o. Gaya kompresi dihitung berasal dari N186 o E. Hasil kedua analisa tersebut diatas cukup identik, yaitu patahan yang aktif bersifat geser sinistral (rake of slip < 20 o ) akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S. Orientasi bidang patahan kedua analisa tersebut memiliki selisih sebesar 10 o, namun keduanya menunjukkan trend TTL-BBD. Dengan kedalaman sekitar 33 km tentunya sesar yang bergerak termasuk sesar basement atau sesar tua yang mengalami reaktifasi kembali. Hal ini semakin menegaskan bahwa struktur dengan orientasi TTL-BBD merupakan sesar tua yang melibatkan basement (Setiadji et al., 2007; Husein dan Srijono, 2007). Patahan Aktif di Pegunungan Selatan Adanya indikasi keberadaan patahan aktif dengan orientasi TTL-BBD membutuhkan bukti morfologi. Selain rekaman gempabumi, kehadiran sesar aktif umumnya mudah diidentifikasi dari morfologi struktural yang berumur muda dan seringkali menjadi batas pelamparan sedimen-sedimen Resen. Meski demikian, tampaknya untuk menentukan keberadaan sesar aktif penyebab gempabumi 2006 di Pegunungan Selatan berdasarkan morfologi bukan suatu pekerjaan mudah. Di lokasi sekitar titik episentrum mainshock USGS tidak dijumpai adanya kelurusan morfologi struktural dengan orientasi TTL-BBD (Setiadji et al., 2007). Dilihat dari posisinya, titik episentrum USGS tidak berada pada batas pelamparan sedimensedimen Resen dan tidak juga berada pada batas morfologi struktural. Hal ini mengindikasikan patahan aktif tersebut tidak merobek permukaan (blind fault), seperti yang pernah dilaporkan untuk patahan penyebab gempabumi 1867 (Newcomb and McCann, 1987). Kondisi tersebut sebetulnya telah dapat diprediksi bila morfogenesa Pegunungan Selatan dikaji dengan baik. Kompleksitas geomorfologi Pegunungan Selatan sesungguhnya dihasilkan dari interaksi yang rumit dalam kurun waktu yang panjang antara proses endogenik berupa struktur geologi dan aktifitas tektonika dengan proses eksogenik berupa erosi dan peneplainisasi (Husein dan Srijono, 2007). Struktur dengan orientasi TTL-BBD 4

5 hanya dijumpai pada batuan basement dan batuan volkaniklastik Oligo-Miosen, dimana kedua batuan tersebut terdapat di bagian utara Pegunungan Selatan dan membentuk Perbukitan Jiwo serta Lajur Baturagung. Di bagian tengah dan bagian selatan Pegunungan Selatan didominasi oleh batuan karbonat Mio-Pliosen yang membentuk topografi kars Gunung Sewu dan Cekungan Wonosari. Antara batuan volkaniklastik Oligo-Miosen dan batuan karbonat Mio-Pliosen terjadi ketidakselarasan lokal akibat pengangkatan Lajur Baturagung pada awal Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949; Husein dan Srijono, 2007). Proses pengangkatan pertama Lajur Baturagung tersebut ditafsirkan telah melibatkan struktur dengan orientasi TTL-BBD sebagai struktur tertua, karena pengangkatan berikutnya pada Pleistosen Tengah dan Pleistosen Akhir melibatkan orientasi yang berbeda, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg (Husein dan Srijono, 2007). Kedua orientasi terakhir tersebut diatas, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg, berkembang ekstensif di bagian tengah dan selatan Pegunungan Selatan. Pada lokasi di sekitar titik episentrum USGS, kedua orientasi tersebut dapat dengan mudah dikenali sebagai batas morfologi baratdaya Cekungan Wonosari terhadap Gunung Sewu. Dari pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa di daerah titik episentrum USGS, orientasi struktural TTL-BBD yang berkembang pada batuan Oligo-Miosen tertutup oleh orientasi struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg. Sehingga reaktifasi struktur TTL-BBD akibat gempabumi dengan magnitudo 6.3 Mw tersebut kecil kemungkinannya dapat merobek batuan Mio-Pliosen yang tebalnya mungkin mencapai 400 m (angka ini diperkirakan secara kasar dengan mengambil separuh ketebalan maksimum Formasi Wonosari berdasarkan data stratigrafi regional) dan didominasi oleh orientasi BL-Tg dan BBL-TTg. Penutup Data-data kegempaan di Pegunungan Selatan menunjukkan adanya proses deformasi tektonik di Pegunungan Selatan yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana proses terjadinya gempabumi di kawasan pesisir selatan Jawa, proses pengangkatan dan pembentukan morfologi Pegunungan Selatan diduga tidak lepas dari aktifitas subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia; suatu proses tektonik regional yang kini terjadi pada jarak 200 km di selatan garis pantai Pegunungan Selatan. Pengukuran deformasi dengan telemetri pada Bukit Putih di Pegunungan Baturagung yang terletak di bagian timur Lajur Baturagung mengindikasikan pergerakan daerah perbukitan tersebut ke arah utara sejauh 5 mm/bulan (hasil pengukuran selama 2 bulan, Desember 2006 Januari 2007; komunikasi pribadi dengan Ratdomopurbo, Februari 2007). Meskipun angka tersebut tampaknya sesuai dengan kecepatan rerata pergerakan relatif Lempeng Indo- Australia, masih perlu banyak data tambahan untuk melihat proses deformasi di Pegunungan Selatan dan hubungannya dengan pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Penyelidikan keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan harus terus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan dampak bencana gempabumi. Kesulitan identifikasi patahan aktif bila hanya berdasarkan pada indikator morfologi seperti yang terjadi pada gempabumi 2006, membuat para peneliti harus memaksimalkan pemanfaatan metodemetode geofisika. Selain penyelidikan patahan aktif, para peneliti hendaknya juga terus mengembangkan penelitian terhadap kondisi geologi lokal pada daerah padat penduduk di sekitar Pegunungan Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Geologi UGM di 5

6 daerah Bantul memperlihatkan karakter tanah yang dapat bersifat memperkuat getaran gempa ternyata lebih berperan dalam menentukan tingkat kerusakan yang dialami bila terjadi gempabumi (Karnawati et al., 2007). Kesimpulan Gempabumi 27 Mei 2006 terjadi di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat sebagai efek sekunder dari proses penunjaman Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Sunda (Eurasia), yaitu akibat gaya kompresi berarah relatif utara-selatan yang menghasilkan deformasi (strain) pada patahan yang ada di daratan. Data historis menunjukkan gempabumi pernah terjadi di Pegunungan Selatan pada 10 Juni 1867, diduga dengan episentrum, mekanisme dan intensitas kekuatan yang identik dengan gempabumi Hasil analisa mekanisme fokal menunjukkan reaktifasi patahan basement yang bersifat geser sinistral akibat gaya kompresi horisontal relatif U-S dengan orientasi bidang patahan TTL-BBD Reaktifasi sesar TTL-BBD tersebut tidak terekspresikan di permukaan karena tertutup oleh orientasi struktur yang lebih muda dan berkembang pada batuan Mio-Pliosen, yaitu BL-Tg dan BBL-TTg. Untuk mengatasi permasalahan ini, penyelidikan keberadaan patahan aktif di Pegunungan Selatan hendaknya memaksimalkan metodemetode geofisika. Daftar Pustaka Cronin, V. (2004) A Draft Primer on Focal Mechanism Solutions for Geologist. 13 p. Elnashai, A.S., S.J. Kim, G.J. Yun, and D. Sidarta (2006) The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, MAE Center Report No , University of Illinois at Urbana- Champaign, 57 p. Fukuoka, K., S. Ehara, Y. Fujimitsu, U. Harmoko, A. Setyawan, L.D. Setiadji, A. Harijoko, S. Pramumijoyo, Y. Setiadi, Wahyudi (2007) Interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earthquake Hypocenter and Subsurface Structure Deduced From the Aftershock and Gravity Data. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, Star Publisher, New York. Husein, S., D. Karnawati, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo (2007a) Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul. Proceeding Seminar Nasional 2007 Geotechnics for Earthquake Engineering, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pp Husein, S., S. Pramumijoyo, M. Thant, T. Naing, and J. Murjaya (2007b) A Short Note on the Seismic History of Yogyakarta Prior to the May 27, 2006 Earthquake. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, Star Publisher, New York. Husein, S. dan Srijono (2007) Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, November Karnawati, D., S.Husein, S. Pramumijoyo, A. Ratdomopurbo, K. Watanabe, R. Anderson (2007) Earthquake Microzonation and Hazard Maps of the Bantul Area, Yogyakarta, 6

7 Indonesia. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, Star Publisher, New York. Nakano, M., Kumagai, H., Miyakawa, K., Yamashina, T., Inoue, H., Ishida, M., Aoi, S., Morikawa, N., and Harjadi, P. (2006) Source Estimates of the May 2006 Java Earthquake. EOS Transactions, 87 (45), American Geophysical Union. Newcomb K. R., and W.R. McCann (1987) Seismic History and Seismotectonics of the Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, vol. 92, no. B1, p Pujiono, P. (2007) National Policy Reform for Disaster Risk Reduction. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, Star Publisher, New York. Rahardjo, W., Sukandarrumidi, and H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Setiadji, L.D., D.H. Barianto, K. Watanabe, K. Fukuoka, S. Ehara, W. Rahardjo, Ign. Sudarno, S. Shimoyama, A. Susilo, and T. Itaya (2007) Searching for the Active Fault of the Yogyakarta Earthquake 2006 Using Data Integration on Aftershocks, Cenozoic Geo-History, and Tectonic Geomorphology. In: D. Karnawati, S. Pramumijoyo, R. Anderson, and S. Husein (eds.), The Yogyakarta Earthquake of May 27, Star Publisher, New York. Sudarno, Ign. (1997) Kendali Tektonik Terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya. Tesis Magister pada Program Studi Geologi Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, 167 p (tidak dipublikasikan). Supartoyo (2006) Gempabumi Yogyakarta Tanggal 27 Mei Merapi, 3, USGS (2006) M6.3 Java Earthquake of 26 May eqinthenews/2006/usneb6/, diunduh pada bulan Oktober Untung, M., K. Ujang, dan E. Ruswandi (1973) Penyelidikan Gaya Berat di Daerah Yogyakarta Wonosari, Jawa Tengah. Publikasi Teknik Seri Geofisika, no. 3, Direktorat Geologi, Bandung. Utsu, T. (2002) A List of Deadly Earthquakes in the World , International Handbook of Earthquake & Engineering Seismology, Part A, Academic Press, London, p Visser, S. (1922) Inland and Submarine Epicentra of Sumatra and Java Earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te Batavia, 9, p

8 Gambar 1. Penampang sebaran titik hiposentrum gempabumi Jawa Tengah M > 4 semenjak 1964 hingga 2006 (USGS, 2006). Segitiga kuning adalah gunungapi modern. Bintang kuning mengindikasikan estimasi pertama USGS terhadap lokasi episentrum gempabumi 27 Mei Estimasi terakhir bergeser sejauh 10 km ke arah timurlaut Wonogiri Yogyakarta Supartoyo Nakano BMG ANSS EMSS USGS Wonosari N 10 km Samudera Hindia Gambar 2. Sebaran titik estimasi episentrum (simbol bintang kuning) gempabumi 27 Mei 2006 (mainshock) dari berbagai institusi: BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), Supartoyo (Pusat Survey Geologi), Nakano et al., USGS (United States Geological Survey), ANSS (Advanced National Seismic System), EMSS (European-Mediterranian Seismological Centre). Lingkaran garis putus-putus kuning adalah sebaran episentrum gempabumi susulan (aftershock) yang dipantau oleh Universitas Gadjah Mada dan Kyushu University (Fukuoka et al., 2007). Titik estimasi episentrum gempabumi 10 Juni 1867 ditunjukkan oleh lingkaran kuning (Utsu, 2002). Garis putus-putus merah adalah lokasi Sesar Opak (Rahardjo, et al., 1995). 8

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Hubungan Persebaran Episenter Gempa Dangkal dan Kelurusan Berdasarkan Digital Elevation Model di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta I.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bentuk muka bumi yang kita lihat pada saat ini merupakan hasil dari prosesproses rumit yang bekerja sejak dahulu hingga sekarang. Proses-proses tersebut, secara garis

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN

KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN KARAKTERISTIK GEMPABUMI DI SUMATERA DAN JAWA PERIODE TAHUN 1950-2013 Samodra, S.B. & Chandra, V. R. Diterima tanggal : 15 November 2013 Abstrak Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merupakan tempat yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara tektonik, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng mikro Filipina. Interaksi antar lempeng mengakibatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik.

batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempa bumi merupakan peristiwa bergetarnya bumi karena pergeseran batuan pada kulit bumi secara tiba-tiba akibat pergerakaan lempeng tektonik. Pergerakan tiba-tiba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*) POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA Oleh : Hendro Murtianto*) Abstrak Aktivitas zona patahan Sumatera bagian tengah patut mendapatkan perhatian,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Selama peradaban manusia, gempa bumi telah dikenal sebagai fenomena alam yang menimbulkan efek bencana yang terbesar, baik secara moril maupun materiil. Suatu gempa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

Bencana Gempabumi. Salahuddin Husein. Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Bencana Gempabumi. Salahuddin Husein. Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada DRR Action Plan Workshop: Strengthened Indonesian Resilience: Reducing Risk from Disasters Bencana Gempabumi Salahuddin Husein Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada email:

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Tatanan tektonik daerah Kepala Burung, Papua memegang peranan penting dalam eksplorasi hidrokarbon di Indonesia Timur. Eksplorasi tersebut berkembang sejak ditemukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun

Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun Sebaran Jenis Patahan Di Sekitar Gunungapi Merapi Berdasarkan Data Gempabumi Tektonik Tahun 1977 2010 Fitri Puspasari 1, Wahyudi 2 1 Metrologi dan Instrumentasi Departemen Teknik Elektro dan Informatika

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011))

Gambar 1. Peta Seismisitas Indonesia (Irsyam et al., 2010 dalam Daryono, 2011)) BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan tatanan tektoniknya, wilayah Indonesia merupakan daerah pertemuan antara tiga lempeng benua dan samudra yang sangat aktif bergerak satu terhadap

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Australia dan lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Posisi Kepulauan Indonesia yang terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar (Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik) menjadikannya memiliki tatanan tektonik

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng utama yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kompleks Pegunungan Selatan berdasarkan pembagian fisiografi pulau Jawa menurut Van Bemmelen (1949) dibagi menjadi beberapa zona diantaranya, Baturagung Range, Panggung

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu 364 Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu Rahmad Aperus 1,*, Dwi Pujiastuti 1, Rachmad Billyanto 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB III TATANAN GEOLOGI REGIONAL 3.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi zona fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 3.1). Pembagian zona yang didasarkan pada aspek-aspek fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Geologi lingkungan merupakan suatu interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat timbal balik (Dwiputra, 2011). Timbal balik atau saling mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK

BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK BAB II GEMPA BUMI DAN GELOMBANG SEISMIK II.1 GEMPA BUMI Seperti kita ketahui bahwa bumi yang kita pijak bersifat dinamis. Artinya bumi selalu bergerak setiap saat, baik itu pergerakan akibat gaya tarik

Lebih terperinci

Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan.

Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Salahuddin Husein dan Srijono Jurusan Teknik Geologi FT UGM Sari

Lebih terperinci

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT

LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT LOKASI POTENSI SUMBER TSUNAMI DI SUMATERA BARAT Badrul Mustafa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Andalas Email: rulmustafa@yahoo.com ABSTRAK Akibat tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia dimana

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA INTERPRETASI PERGERAKAN SESAR OPAK PASCA GEMPA YOGYAKARTA 2006 MELALUI PENDEKATAN STUDI GEOMORFOLOGI TEKTONIK PADA DAERAH WONOLELO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PLERET, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara

PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS. Bayu Baskara PEMETAAN BAHAYA GEMPA BUMI DAN POTENSI TSUNAMI DI BALI BERDASARKAN NILAI SESMISITAS Bayu Baskara ABSTRAK Bali merupakan salah satu daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami karena berada di wilayah pertemuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Eurasia di bagian Utara, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

Analisis Bahaya Kegempaan di Wilayah Malang Menggunakan Pendekatan Probabilistik

Analisis Bahaya Kegempaan di Wilayah Malang Menggunakan Pendekatan Probabilistik B0 Analisis Bahaya Kegempaan di Wilayah Malang Menggunakan Pendekatan Probabilistik Pambayun Purbandini 1, Bagus Jaya Santosa 1, dan Bambang Sunardi 1 Departemen Fisika, Fakultas MIPA, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009

PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009 PENGARUH GEMPA TEKTONIK TERHADAP AKTIVITAS GUNUNGAPI : STUDI KASUS G. TALANG DAN GEMPABUMI PADANG 30 SEPTEMBER 2009 Ahmad BASUKI., dkk. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Terjadinya suatu

Lebih terperinci

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST

ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST ANCAMAN GEMPABUMI DI SUMATERA TIDAK HANYA BERSUMBER DARI MENTAWAI MEGATHRUST Oleh : Rahmat Triyono,ST,MSc Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang Email : rahmat.triyono@bmkg.go.id Sejak Gempabumi

Lebih terperinci

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017

KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI DESEMBER 2017 KAJIAN TREND GEMPABUMI DIRASAKAN WILAYAH PROVINSI ACEH BERDASARKAN ZONA SEISMOTEKTONIK PERIODE 01 JANUARI 2016 15 DESEMBER 2017 Oleh ZULHAM. S, S.Tr 1, RILZA NUR AKBAR, ST 1, LORI AGUNG SATRIA, A.Md 1

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON Hapsoro Agung Nugroho Stasiun Geofisika Sanglah Denpasar soro_dnp@yahoo.co.id ABSTRACT Bali is located on the boundaries of the two

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Struktur Geologi Trembono terdapat pada Perbukitan Nampurejo yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). Sumosusastro (1956)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia termasuk daerah yang rawan terjadi gempabumi karena berada pada pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Aktivitas kegempaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan

Lebih terperinci

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!! 14 Mei 2011 1. Jawa Rawan Gempa: Dalam lima tahun terakhir IRIS mencatat lebih dari 300 gempa besar di Indonesia, 30 di antaranya terjadi di Jawa. Gempa Sukabumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keunikan geologi kepulauan Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Ketiga lempeng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal menjanjikan dalam eksplorasi minyak dan gas bumi di Cekungan Jawa Timur Utara. Zona Perbukitan Rembang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014 \ 1 A. TATANAN TEKTONIK INDONESIA MITIGASI BENCANA GEOLOGI Secara geologi, Indonesia diapit oleh dua lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik yang subduksinya dapat

Lebih terperinci

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA

ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA A ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA DELISERDANG SUMATRA UTARA ULASAN GUNCANGAN TANAH AKIBAT GEMPA BUMI DELISERDANG SUMATRA UTARA Oleh Fajar Budi Utomo*, Trisnawati*, Nur Hidayati Oktavia*, Ariska Rudyanto*,

Lebih terperinci

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta

Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta Pemetaan Zonasi Mikro Kerentanan Gempabumi Propinsi D.I. Yogyakarta Salahuddin Husein, Subagyo Pramumijoyo, and Dwikorita Karnawati Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada corresponding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pantai selatan Pulau Jawa merupakan wilayah yang paling besar berpotensi gempa bumi sampai kekuatan 9 skala Richter sehingga dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Halini

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

Analisis Kejadian Rangkaian Gempa Bumi Morotai November 2017

Analisis Kejadian Rangkaian Gempa Bumi Morotai November 2017 Analisis Kejadian Rangkaian Gempa Bumi Morotai 18 27 November 2017 Sesar Prabu Dwi Sriyanto Stasiun Geofisika Kelas I Winangun, Manado Pada hari Sabtu, 18 November 2017 pukul 23:07:02 WIB telah terjadi

Lebih terperinci

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih

Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih 62 Bab V Evolusi Teluk Cenderawasih V.1 Restorasi Penampang Rekontruksi penampang seimbang dilakukan untuk merekonstruksi pembentukan suatu deformasi struktur. Prosesnya meliputi menghilangkan bidang-bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian. I.2. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian yang dilakukan mengambil topik tentang gempabumi dengan judul : Studi Mikrotremor untuk Zonasi Bahaya Gempabumi Daerah Surakarta Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada kerangka tektonik yang didominasi oleh interaksi dari tiga lempeng utama (kerak samudera dan kerak benua) yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia

Lebih terperinci

BENCANA GEMPABUMI DI INDONESIA TAHUN 2008

BENCANA GEMPABUMI DI INDONESIA TAHUN 2008 BENCANA GEMPABUMI DI INDONESIA TAHUN 2008 Supartoyo*, Imam A. SADISUN **, Chalid I. ABDULLAH **) *) Surveyor Pemetaan Madya Bidang Pengamatan Gempabumi dan Gerakan Tanah, PVMBG **) Pengajar Program Studi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) secara fisiografi membagi Jawa Barat menjadi 6 zona berarah barat-timur (Gambar 2.1) yaitu: Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen,

Lebih terperinci

EVALUASI KEJADIAN GEMPABUMI TEKTONIK DI INDONSESIA TRIWULAN IV TAHUN 2008 (OKTOBER-DESEMBER 2008)

EVALUASI KEJADIAN GEMPABUMI TEKTONIK DI INDONSESIA TRIWULAN IV TAHUN 2008 (OKTOBER-DESEMBER 2008) EVALUASI KEJADIAN GEMPABUMI TEKTONIK DI INDONSESIA TRIWULAN IV TAHUN 2008 (OKTOBER-DESEMBER 2008) GEDE SUANTIKA Sub Bidang Pengamatan Gempabumi Bidang Pengamatan Gempabumi dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KARAKTERISTIK SESAR KALI PETIR DAN SEKITARNYA KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Kamil Ismail *, Subagyo Pramumijoyo Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang letak geografis berada pada 94-141 BT dan 6 LU - 11 LS. Letak geografisnya, menjadikan Indonesia sebagai negara yang

Lebih terperinci

ANALISA SESAR AKTIF MENGGUNAKAN METODE FOCAL MECHANISM (STUDI KASUS DATA GEMPA SEPANJANG CINCIN API ZONA SELATAN WILAYAH JAWA BARAT PADA TAHUN

ANALISA SESAR AKTIF MENGGUNAKAN METODE FOCAL MECHANISM (STUDI KASUS DATA GEMPA SEPANJANG CINCIN API ZONA SELATAN WILAYAH JAWA BARAT PADA TAHUN ANALISA SESAR AKTIF MENGGUNAKAN METODE FOCAL MECHANISM (STUDI KASUS DATA GEMPA SEPANJANG CINCIN API ZONA SELATAN WILAYAH JAWA BARAT PADA TAHUN 1999-2009) Oleh: Siti Rahmatul Aslamiah Roemaf ABSTRAK: Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2004 yang melanda Aceh dan sekitarnya. Menurut U.S. Geological

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2004 yang melanda Aceh dan sekitarnya. Menurut U.S. Geological BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana alam. Salah satu bencana paling fenomenal adalah terjadinya gempa dan tsunami pada tahun 2004 yang melanda

Lebih terperinci

STUDI AWAL HUBUNGAN GEMPA LAUT DAN GEMPA DARAT SUMATERA DAN SEKITARNYA

STUDI AWAL HUBUNGAN GEMPA LAUT DAN GEMPA DARAT SUMATERA DAN SEKITARNYA STUDI AWAL HUBUNGAN GEMPA LAUT DAN GEMPA DARAT SUMATERA DAN SEKITARNYA Listya Dewi Rifai 1, I Putu Pudja 2 1 Akademi Meteorologi dan Geofisika 2 Puslitbang BMKG ABSTRAK Secara umum, wilayah Sumatera di

Lebih terperinci

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia)

(Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1. Judul dan Deskripsi Riset I (Analisis model geomekanika pada zona penunjaman lempeng untuk estimasi potensi gempa besar di Indonesia) 1.1 Deskripsi singkat Pencitraan tomografi gempa bumi untuk zona

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana

BAB I PENDAHULUAN. konstruksi yang baik dan tahan lama. Bandara merupakan salah satu prasarana I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini, transportasi memiliki peranan yang penting dalam perkembangan suatu negara, sehingga kegiatan perencanaan dalam pembangunan sarana dan prasarana perlu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Pulau Sumatera terletak di sepanjang tepi baratdaya dari Sundaland (tanah Sunda), perluasan Lempeng Eurasia yang berupa daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG Rasmid 1, Muhamad Imam Ramdhan 2 1 Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA 2 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung, INDONESIA

Lebih terperinci

ANALISIS ANOMALI UDARA BEBAS DAN ANOMALI BOUGUER DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR

ANALISIS ANOMALI UDARA BEBAS DAN ANOMALI BOUGUER DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR ANALISIS ANOMALI UDARA BEBAS DAN ANOMALI BOUGUER DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR Aswin 1*), Gunawan Ibrahim 1, Mahmud Yusuf 2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pegunungan Selatan merupakan suatu daerah di bagian selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan zona subduksi antara Lempeng Eurasia di sebelah utara dan

Lebih terperinci

Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul

Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul Kontrol Geologi terhadap Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi mikro di daerah Bantul Salahuddin Husein, Dwikorita Karnawati dan Subagyo Pramumijoyo Jurusan Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU

ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU ANALISIS NILAI PEAK GROUND ACCELERATION DAN INDEKS KERENTANAN SEISMIK BERDASARKAN DATA MIKROSEISMIK PADA DAERAH RAWAN GEMPABUMI DI KOTA BENGKULU Yeza Febriani, Ika Daruwati, Rindi Genesa Hatika Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB V SINTESIS GEOLOGI BAB V INTEI GEOLOGI intesis geologi merupakan kesimpulan suatu kerangka ruang dan waktu yang berkesinambungan mengenai sejarah geologi. Dalam merumuskan sintesis geologi, diperlukan semua data primer maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesar Cimandiri (gambar 1.1) merupakan sesar aktif yang berada di wilayah selatan Jawa Barat, tepatnya berada di Sukabumi selatan. Sesar Cimandiri memanjang dari Pelabuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci