UMUR DEWASA BUKAN 21 TAHUN. Drs. H. Masrum, M.H PENGANTAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UMUR DEWASA BUKAN 21 TAHUN. Drs. H. Masrum, M.H PENGANTAR"

Transkripsi

1 UMUR DEWASA BUKAN 21 TAHUN Drs. H. Masrum, M.H PENGANTAR Burgelijk wetboek voor Indonesie (BW), BAB XV, tentang Kebelum-dewasaan dan Perwalian, bagian 1. pasal 330 menyatakan: bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Dengan pasal ini hampir semua orang, termasuk hakim, akademisi, notaries, polisi, jaksa dan praktisi lainnya mendasarkan pendapat dan mengambil putusan, bahkan menjadikan doktrin, bahwa batasan umur dewasa adalah dua puluh satu tahun. Batasan dewasa yang ditetapkan oleh BW yang disusun pada tahun 1847 dan dimuat dalam Stb nomor 23 tahun 1847 mungkin tepat pada zamannya, tetapi pasti sudah tidak sesuai lagi untuk zaman sekarang. Yang pasti, bahwa dalam masyarakat yang serba terbatas dahulu, dimana masyarakat Indonesia kebanyakan masih buta huruf, radio hanya dimiliki para pejabat dan orang yang benar-benar kaya, tidak ada telephone, tidak mengenal Koran dan keterbatasan-keterbatasan alat komunikasi lainnya, pasti jauh berbeda dengan wawasan dan mental anak-anak sekarang yang sejak bayi telah dilengkapi dengan alat komunikasi canggih, koran, radio, televisi, hendphone, computer, internet dan masih banyak lagi fasilitas lainnya. Fasilitas-fasilitas tersebut telah merubah mental anak kearah pendewasaan secara lebih cepat. Anak berumur 21 tahun yang hidup pada tahun 1847 (saat disusunnya BW) mungkin baru mulai mampu merumuskan kehendaknya secara baik dan mulai menyadari atas akibat dari tindakannya, sehingga Ia baru boleh disebut dewasa dan dianggap cakap bertindak hukum, tetapi pasti tidak demikian jika anak tersebut hidup pada tahun Apalagi sekarang ini setiap anak Indonesia sudah harus mengikuti wajib belajar 19 tahun. Anak umur 12 tahun sudah lulus Sekolah Menengah Pertama, anak umur 15 tahun sudah lulus Sekolah Menengah Atas dan bahkan banyak anak umur 19 tahun sudah menjadi sarjana (S-1). Apakah realistis dan masih patut orang yang berumur 19 tahun dianggap anak-anak atau anak di bewah umur atau belum dewas?

2 Sampai detik ini doktrin BW diatas ternyata masih menjadi pendirian dan pendapat umum masyarakat Indonesia, sehingga si belum berumur dua puluh satu tahun selalu dipandang sebagai anak dibawah umur, belum dewasa, belum mempunyai kecakapan bertindak hukum, belum memiliki ahliyatul-ada dan lain sebagainya, padahal seturut dengan perkembangan zaman, batasan dewasa dua puluh satu tahun tersebut sudah tidak sesuai lagi, out of date dan tidak realistic lagi. apalagi keberadaan BW itu sendiri dalam tata hukum kita masih selalu dipertanyakan. Batasan umur dewasa inilah yang akan kita bahas. CAKAP BERTINDAK HUKUM. Cakap menurut para ahli hukum, antara lain Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian berarti: mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Satrio dalam bukunya Penjelasaan Hukum Tentang Batasan Umur, sebagai laporan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Nasional Legal Reform Program (NLRP) tahun 2010 menjelaskan, bahwa kecakapan dapat dipahami dari beberapa ketentuan dalam pasal-pasal BW antara lain: pasal 307, pasal 308 dan pasal 383. Jis. Pasal 45 dan 50 UU no. 1 tahun Jis. Pasal 1330 BW dan pasal 1446 BW, kemudian dapat disimpulkan, bahwa pada azasnya yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa. Dalam hukum islam dikenal istlah baligh yang menurut Wikipedia Ensiklopedia, baligh merupakan istilah bagi seseorang yang telah mencapai kedewasaan, baligh dalam bahasa arab artinya sampai. Maksudnya seseorang telah sampai pada tahap atau masa kedewasaan. Prinsip baligh menurut hukum islam adalah bagi laki-laki telah mengalami mimpi basah (mengeluarkan sperma) dan bagi perempuan telah menstruasi. Apabila kedua indicator tersebut tidak diketahui, Ulama mazhab Syafi i dan mazhab Hanbali berpendapat orang dewasa adalah orang yang telah berumur 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, batasan dewasa menurut hukum islam bukanlah ditentukan dengan umur seseorang, akan tetapi ditentukan apakah sudah ihtilam bagi laki-lakai dan apakah sudah heidh bagi perempuan yang secara sunnatullah pasti akan

3 dialami oleh orang yang normal. Setelah para ulama seperti imam Syafi y mengadakan penelitian, maka dihasilkanlah bahwa anak yang telah mengalami kejadian di atas adalah anak yang berumur 15 tahun. Tentu ukuran dewasa dengan batasan umur itu adalah sekedar dalam rangka memberi kepastian hukum dalam menuntukan dewasa bagi anak-anak di zamannya. Jadi batasan dewasa dengan umur sesungguhnya relative atau nisby terkait dengan tempat dan masa tertentu. Dalam terminology ilmu ushul fiqh (kaidah-kaidah hukum islam), kecakapan bertindak diistilahkan dengan ahliyatul ada, artinya kelayakan seseorang yangucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya dianggap atau direken oleh hukum (syara ). Orang yang memiliki ahliyatul ada dalam kehidupan sehari-hari sering disebut aqil-baligh. Aqil berarti telah berakal, yakni telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, mana yang benar dan mana yang salah serta mana yang haq mana yang bathil. Prof. Dr. Abdulwahab Kholaf dalam kitab ushul fiqhnya menyatakan, bahwa seorang manusia jika dihubungkan dengan kecakapan bertindak (ahliyatul ada ), menurut hukum islam dapat terbagi menjadi tiga kemungkinan: 1. Seseorang yang kehilangan kecakapannya sama sekali, seperti anakanak dimasa kekanak-kanakannya dan orang gila, karena mereka belum atau tidak berakal; 2. Seseorang yang tidak sempurna kecakapannya, yaitu anak yang sudah mampu membedakan baik dan buruk (mumayiz), tetapi dia masih remaja (belum dewasa), termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang kurang akalnya; 3. Seseorang yang sempurnya kecakapannya, yaitu orang yang sudah sampai pada masa dewasa dan berakal (aqil-baligh). Selanjutnya Syekh Abdulwahab menambahkan, bahwa dengan demikian pada asasnya kecakapan bertindak itu dasarnya adalah berakal. Namun berdasarkan kenyataan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berakalnya seseorang selalu bersumber dan bersandar dari adanya kedewasaannya. Oleh karena itu untuk mendapatkan kepastian hukum, maka harus ditetapkan berapa

4 batas seseorang memasuki masa dewasa, baik dewasa atau balighnya itu ditetapkan melalui indikasi-indikasinya, maupun melalaui usianya. BATASAN UMUR DEWASA DI INDONESIA Selama ini batasan umur dewasa dalam arti seseorang dianggap cakap bertindak menurut hukum yang berlaku di Indonesia sangat beragam, antara lain dapat disebut sebagai berikut: 1. Burgelijk Wetboek (BW): genap 21 tahun atau sudah menikah; 2. Hukum Islam: umur 15 tahun atau sudah mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan (Al-Hadits/mazhab Syafi i dan Hambali); 3. UU nomor 27 tahun 1948 tentang DPR: 18 tahun; 4. UU nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anngota DPR: 18 tahun/sudah kawin; 5. UU nomor 29 tahun 1954 tentang Pertahanan Negara RI: 18 tahun; 6. UU nomor 19 tahun 1955 tentang Pemilihan Anggota DPRD: 18 tahun/sudah kawin; 7. UU nomor 66 tahun 1956 tentang Wajib Militer: 18 tahun/sudah kawin; 8. UU nomor 9 tahun 1964 tentang Gerakan Sukarelawan Indonesia: 18 tahun; 9. UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: 18 tahun; 10. UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: 18 tahun; 11. UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: 18 tahun; 12. UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ktenagakerjaan: > 18 tahun; 13. UU nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: 18 tahun atau sudah menikah; 14. UU nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang: 18 tahun; 15. UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik: 17 tahun atau sudah/pernah kawin; 16. UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum: 17 tahun atau sudah/pernah kawin;

5 17. UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak: 18 tahun. Dari beberapa UU yang telah disebutkan di atas, ternyata yang jeles-jelas menyebutkan batas umur dewasa 21 tahun hanyalah BW. Sedangkan UU yang lainnya telah mengikuti perkembangan dan kenyataan di masyarakat yaitu antara 17 fahun dan 18 tahun. Sejak tahun 1948, dengan terbitnya UU nomor 27 tahun 1948 tentang DPR, sesunggungnya para ahli hukum Indonesia dan pembuat undangundang telah menyadari hal ini, sehingga pada saat itu anak yang berumur 18 tahun telah dianggap cakap bertindak hukum karena telah dewasa, bahkan para ahli hukum Indonesia sejak tahun 2008, dengan terbitnya dua UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu, telah menetapkan batas umur dewasa adalah 17 tahun. Pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan secara tegas; anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkaan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. Dan pasal 50 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 juga tegas menyatakan; anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Kedua pasal ini artinya secara tegas telah merubah doktrin BW yang telah berjalan sejak tahun 1847 tersebut tentang batas umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun. Secara agak rinci dapat dijelasakan sejarah perkembangan penggunaan batas umur daalam menentukaan kedewasaan dalam bidang perkawinan dan ketenagakerjaan sebagai berikut: a. Dalam bidang perkawinan Pada saat masih berlaku pasal 29 BW (1847), batasan seseorang boleh melangsungkan pernikahan adalah 18 tahun bagi pria dan 15 tahun bagi wanita. Seorang jejaka yang belum mencapai genap 18 tahun, demikian pula seorang gadis yang berumur belum genap 15 tahun tidak diperbolehkan mengikatkan dirinya atau diikatkan dirinya dalam perkawinan. Kalau begitu maka batas umur dewasa 21 tahun sebagai mana ketentuan dalam pasal 330 BW pasti bukan batas usia untuk perkawinan. Tetapi batas umur dewasa dalam keperdataan lainnya karena tentang batas umur dalam perkawinan menurut BW adalah pasal 29 BW.

6 Kemudian pada tahun 1974, saat mana UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan ternyata usia kawin malah dinaikkan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, sebagaimana bunyi pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: (!) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun, bahkan dikukuhkan oleh Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai mana tertuang dalam pasal 15 ayat (!) yang berbunyi: Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU nomor 1 tahun 1974 yakni seorang suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Namun demikian dalam pelaksanannya ada dua ketentuan yang harus diperhatikan: 1. Seseorang yang belum berumur 21 tahun, untuk dapat melangsungkan perkawinan harus mendapat ijin orang tua atau walinya sebagaimana ketentuan pasal 6 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Pasal 6 ayat (2) UUP menyatakan untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. 2. Seorang laki-laki yang akan kawin, sedang ia berumur di bawah 19 tahun atau seorang wanita yang hendak kawin, sedang ia berumur di bawah 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari Pengadilan (pasal 7 ayat (2) UUP) Keharusan mendapat Ijin kawin dari orang tua atau wali bagi yang hendak kawin sebelum berumur 21 tahun tentu dimaksudkan sebagai ukuran apakah seseorang sudah matang untuk berumah tangga ataukah belum, bukan sebagai patokan kedewasaan seseorang dalam arti memiliki kecakapan bertindak hukum. Si belum berumur 21 tahun sesungguhnya sudah dewasa dan memiliki kecakapan bertindak, tetapi belum matang jiwanya untuk berumah tangga. Oleh karena itu diperlukan ijin orang tua atau walinya bagi mempelai laki-laki yang sudah berumur 19 tahun dan bagi mempelai perempuan yang sudah berumur 16 tahun, tetapi kedua-duanya belum berumur 21 tahun. Lain halnya jika mempelai laki-laki masih berumur di bawah 19 tahun dan mempelai perempuan masih berumur di bawah 16 tahun, maka kepadanya harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Pngadilan lah

7 yang berwenang menetapkan apakah seorang yang berumur dibawah 19 tahun atau 16 tahun patut melakukan perkawinan. Adapun dalam soal hak dan kewajiban, maka yang menjadi tolok ukur kedewasaan seseorang telah diatur di dalam pasal 47 ayat (!) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Soal kedewasaan juga telah diatur dalam pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Dengan demikian dapat disimpulkan: 1. Bahwa menurut UU perkawinan, umur 21 tahun merupakan syarat kawin, sebagai ukuran kematangan seseorangf untuk berumah tangga, bukan sebagai ukuran dewasa; 2. Bahwa menurut UU perkawianan, batas usia dewasa adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.. b. Dalam Bidang Ketenagakerjaan Batasan umur dewasa dalam bidang ketenagakerjaan untuk pertama kali termuat dalam UU nomor 12 tahun 1948 tentang Tenaga Kerja. Pasal 1 angka 2 UU tersebut menyatakan: Orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas. Kemudian umur kedewasaan tersebut oleh UU nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan diturunkan dari 18 tahun menjadi 15 tahun sebagai mana termuat dalam pasal 1 angka 20 UU tersebut yang berbunyi Anak adalaah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam UU ketenagakerjaan yang terakhir, yakni UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas umur dewasa tersebut dikembalikan lagi pada umur 18 tahun, sebagaimana bunyi pasal 1 angka 26 UU tersebut: Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Batasan umur 18 tahun bagi tenaga kerja Indonesia tentu harus dimaknai sebagai dewasa dalam arti cakap bertindak secara keperdataan karena orang berumur 18 tahun telah memiliki legal capacity, atau dalam kaidah hukum islam disebut memiliki ahliyatul ada karena hakekatnya orang yang berumur 18 tahun

8 adalah orang yang telah akil balig, sehingga si berumur 18 tahun dapat dipastikkan telah cakap bertindak hukum atau mukallaf yang oleh karena itu segala hal ikhwalnya harus ditakar dan dipertanggungjawabkan menurut hukum. Perubahan batasan umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun ternyata didukung dan diikuti oleh beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain: 1. UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pasal 8 ayat (2); 2. UU nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pasal 1 angka 8; 3. UU nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1; 4. UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 1 angka 5; 5. UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penjelasan pasal 6; 6. UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (1); 7. UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 26; 8. UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pasal 4; 9. UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pasal 1 angka 5; 10. UU nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan ke-4 atas UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasila, penjelasan pasal 8 ayat (4); 11. UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, pasal 1 ayat (4); 12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor per- 18/men/IX/2007 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, pasal 10; 13. Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.02-IZ tentang Visa singgah, Visa kunjungan, Visa tinggal terbatas, Izin masuk, dan Izin kemigrasian, pasal 1; 14. Keputusan Presiden nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan RI, pasal 1 dan pasal UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak, pasal 1 angka 3; Jadi sejak awal kemerdekaan, negara Republik Indonesia telah berketetaapan, bahwa batas usia dewasa 21 tahun itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat Indonesia. Bisa dipastikan bahwa orang-orang yang berumur belasan tahun saat ini sudah dapat dianggap sebagai orang dewasa, karena mereka kebanyakan sudah kuat gawai, bahkan sudah mampu pisah rumah

9 dan sudah mampu bertanggung jawab atas segala tindakannya. Oleh karena itu sejak awal kemerdekaan, batasan umur dewasa 21 tahun tersebut sudah tidak diikuti lagi dan telah turun menjadi 18 tahun, bahkan dalam bidang politik, kependudukan dan lalu lintas telah ditetapkan 17 tahun. Mengenai BW dan eksistensinya dalam sistim hukum di Indonesia kiranya perlu di kemukakan adanya kesepakatan dan persetujuan secara bulat para ahli hukum Indonesia, dalam kongres majelis ilmu pengetahuan Indonesia pada tahun 1964 yang telah menerima gagasan bapak Sahardjo, S.H., Menteri Kehakiman RI waktu itu untuk menganggap Burgelijk Wetboek (BW) tidak sebagai undang-undang, tetapi hanya sebagai dokumen yang menggambarkan suatu kelompok hukum tertulis. Dengan demikian seharusnya kita semua juga dapat mempertimbangkan, bahwa batasan umur dewasa bagi orang Indonesia saat ini tidak lagi 21 tahun sebagai mana yang ditentukan dalam pasal 330 BW tersebut, tetapi 18 tahun. Di negeri Belanda, negara asal kelahiran BW, Sesungguhnya batasan umur dewasa 21 tahun juga sudah ditinggalkkan sejak tahun Hal tersebut dapat diketahui pada catatan kaki pasal 330 BW dalam enggelbrecth. bahwa sebelum BW diberlakukan, umur dewasa dinegeri Belanda adalah 24 tahun, namun dalam NBW- Belanda sejak tahun 1992 umur dewasa di negeri Belanda telah berubah menjadi 18 tahun. Sekali lagi penulis berpendapat umur dewasa 21 tahun saat in sudah sangat tidak tepat dan bertentangan dengan kenyataan perkembangan masyarakat. PENDIRIAN PERADILAN AGAMA Peradilan Agama baik di tingkat pertama maupun tingkat banding masih ada yang berpendirian batas umur dewasa 21 tahun, tetapi tidak sedikit yang telah berpendirian 18 tahun, bahkan ada yang tidak mau menggunakan usia sebagai batas umur dewasa. Hal tersebut dapat di baca antara lain dalam beberapa putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama misalnya tentang perkara nafkah anak. Diktum amar putusannya ada yang berbunyi: Menghukum Tergugat membayar nafkah anak sebesar Rp setiap bulan sampai dewasa. Namun tidak sedikit yang dictum amar putusannya berbunyi: Menghukum Tergugat membayar nafkah anak sejumlah Rp sampai dewasa (berumur 21 tahun). Bagi pengadilan agama yang dalam dictum amar putusannya tidak menambah kalimat (berumur 21 tahun) setelah kalimat sampai dewasa seperti di Pengadilan Agama Jakarta Pusat memang dapat diasumsikan tidak tegas, tetapi

10 dianggap tidak perlu karena dimaksudkan untuk memberi kelenturan dalam masalah dewasa ini. Bisa saja suatu saat seorang anak yang ditetapkan dewasanya ditentukan berumur 21 tahun dibelakang hari melangsungkan perkawinan pada saat berumur jauh dibawah 21tahun, maka kdewasaannya berubah seketika itu juga, atau bisa jadi seseorang setelah berumur 21 tahun tetapi belum dapat dianggap dewasa karena mungkin kurang akal. Pendirian Pengadilan Agama soal batas usian dewasa umur 21 tahun ini juga jelas dapat diketahui dari pertimbangan hukum hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara Hadlonah, wali nikah dan Perwalian. Mereka cenderung berpendirian batas usia dewasa dalam ketiga bidang perkara di atas merujuk pasal 330 BW yaitu umur 21 tahun, sedangkan umur di bawahnya digolongkan usia tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk). Peradilan Agama berpendirian demikian karena mereka memahami ketentuan pasal 6 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang syarat-syarat perkawinan dan pasal 98 ayat (1) KHI. Menurut hemat saya Pengadilan agama mau memahami pasal 47 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak serta mau memahami pasal 50 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang Perwalian, seharusnya di lingkungan Peradilan Agama tidak perlu terjadi perbedaan soal batas umur dewasa ini karena pasal 47 dan 50 lah yang tepat dijadikan landasan. Pasal 6 UUP yang menyatakan bahwa untuk melangsuangkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua (pasal 6 ayat 2) harus dimaknai sebagai kebijakan pembuat UU untuk memastikan kematangan jiwa seseorang untuk menikah, bukan batas usia baligh menurut hukum. Sedangkan tentang kedewasaan haruslah dipergunakan pasal 47 dan 50, yaitu 18 tahun. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan analisa dan kajian siangkat diatas, maka Penulis menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi kepada pihak berwenang untuk: 1. Bahwa batasan umur dewasa dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebahagian besar sudah tidak lagi menggunakan criteria 21 tahun, tetapi 18 tahun. Oleh karena itu ketentuan pasal 330 BW harus dinyatakan tidak berlaku;

11 2. Bahwa pada saat ini telah terjadi ketidak-selarasan tentang batas umur dewasa antara peraturan perundangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu batas usia 18 tahun segera ditetapkan secara seragam sebagai batas usia dewasa orang Indonesia. Wallahu a lam bis-showab

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan hukum adalah kecakapan. (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat. 2 Orang-orang yang dianggap

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan hukum adalah kecakapan. (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat. 2 Orang-orang yang dianggap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batas usia merupakan salah satu syarat penting dalam melakukan suatu perbuatan hukum. KUHPerdata Pasal 1320 menyebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah sepakat

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 21/Pdt.P/2012/PA. Skh. BISMILLAH HIRRAHMAAN NIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 21/Pdt.P/2012/PA. Skh. BISMILLAH HIRRAHMAAN NIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 21/Pdt.P/2012/PA. Skh. BISMILLAH HIRRAHMAAN NIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN AGAMA SUKOHARJO memeriksa dan mengadili pada tingkat pertama dalam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN A. Analisis terhadap ketentuan mengenai batasan usia anak di bawah umur 1. Menurut Hukum

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim P E N E T A P A N Nomor 0061/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) PP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: HERU SUSETYO Dosen Fakultas Hukum UIEU heru.susetyo@indonusa.ac.id ABSTRAK Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 lahir antara lain dari perjuangan panjang kaum

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim P E N E T A P A N Nomor 0110/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

A. Analisis Putusan Hakim No.193/PID.B/2013/PN.Sda tentang Tindak Pidana

A. Analisis Putusan Hakim No.193/PID.B/2013/PN.Sda tentang Tindak Pidana BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TENTANG SANKSI HUKUMAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR, DAN ANALISIS MENURUT

Lebih terperinci

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 49 BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Poligami di Indonesia 1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kata poligami berasal

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0143/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0143/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor 0143/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada

Lebih terperinci

PUBLIKASI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SITUBONDO. P E N E T A P A N Nomor 0156/Pdt.P/2015/PA.Sit B ISMILLAHIRAHMANNIRAHIM

PUBLIKASI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SITUBONDO. P E N E T A P A N Nomor 0156/Pdt.P/2015/PA.Sit B ISMILLAHIRAHMANNIRAHIM P E N E T A P A N Nomor 0156/Pdt.P/2015/PA.Sit B ISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0053/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0053/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0053/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م

ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hamba- Nya melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya. Secara umum anak adalah seorang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA 77 BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Dasar Penentuan Patokan Asas Personalitas Keislaman di Pengadilan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor 0124/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0124/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P E N E T A P A N Nomor 0124/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar

BAB V PENUTUP A. Ikhtisar BAB V PENUTUP A. Ikhtisar Berkenaan dengan masalah perkawinan, khususnya jika dilihat dari sisi tata caranya, maka sebahagian masyarakat muslim Indonesia ada melakukan perkawinan yang diistilahkan dengan

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor 0031/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor: X/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh mengikatkan diri dalam perkawinan dan untuk membuat perjanjian kawin mereka wajib didampingi oleh orang-orang yang wajib memberikan

Lebih terperinci

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM P E N E T A P A N Nomor 0163/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

KEBERAGAMAN PENGATURAN BATAS USIA DEWASA SESEORANG UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

KEBERAGAMAN PENGATURAN BATAS USIA DEWASA SESEORANG UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA KEBERAGAMAN PENGATURAN BATAS USIA DEWASA SESEORANG UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Agustinus Danan Suka Dharma Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Lebih terperinci

SALINAN PENETAPAN Nomor : 461/Pdt.P/2010/PA.TSe. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN PENETAPAN Nomor : 461/Pdt.P/2010/PA.TSe. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN PENETAPAN Nomor : 461/Pdt.P/2010/PA.TSe. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Tanjung Selor yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim P E N E T A P A N Nomor 0062/Pdt.P/2015/PA.Sit bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah umur bisa menjadi isu yang menarik

Lebih terperinci

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM P E N E T A P A N Nomor 0160/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional

A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Definisi Oprasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara normatif memang orang tua itu sudah menjadi wali bagi anak kandungnya, dan bisa mewakili anaknya di luar dan di dalam pengadilan, hal seperti ini sesuai dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01-IZ.01.10 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M.02-IZ.01.10 TAHUN 1995

Lebih terperinci

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Hukum orang merupakan suatu hukum yang mempelajari ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum. Dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan mengenai

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang telah memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : /Pdt.P/2013/PA.TPI

PENETAPAN Nomor : /Pdt.P/2013/PA.TPI PENETAPAN Nomor : /Pdt.P/2013/PA.TPI BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Tanjungpinang yang mengadili perkara Dispensasi Kawin pada tingkat pertama,

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/2017/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/2017/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/2017/PA.Ktbm ب س م الله ال رح م ن ال رح می DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang telah memeriksa dan mengadili perkara-perkara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA 59 BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TANPA DISPENSASI KAWIN PENGADILAN AGAMA A. Analisis Hukum Terhadap Pelaksanaan Perkawinan di bawah Umur Tanpa Dispensasi Kawin Perkawinan ialah

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA PENETAPAN Nomor: 01/Pdt.P/2012/PA.Pkc BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR Oleh ; Emi Zulaika, S.H. ABSTRAK Perkawinan anak dibawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM

BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM P E N E T A P A N Nomor 0145/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

...Humas Kanwil Kemenag Prov. Jabar

...Humas Kanwil Kemenag Prov. Jabar PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk memenuhi tuntutan perkembangan

Lebih terperinci

PUBLIKASI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SITUBONDO. P E N E T A P A N Nomor 0126/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM

PUBLIKASI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SITUBONDO. P E N E T A P A N Nomor 0126/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM P E N E T A P A N Nomor 0126/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRAHMANNIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 06/Pdt.P/2012/PA.Kbm BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 06/Pdt.P/2012/PA.Kbm BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P E N E T A P A N Nomor : 06/Pdt.P/2012/PA.Kbm BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kebumen yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PELAKSANAANNYA DI KECAMATAN KALINYAMATAN

BAB III TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PELAKSANAANNYA DI KECAMATAN KALINYAMATAN BAB III TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PELAKSANAANNYA DI KECAMATAN KALINYAMATAN A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia

Lebih terperinci

SALINAN PENETAPAN Nomor : 09/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

SALINAN PENETAPAN Nomor : 09/Pdt.P/2011/PA.Pkc. SALINAN PENETAPAN Nomor : 09/Pdt.P/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan tentang pembahasan dan analisis sesuai dengan memperhatikan pokok-pokok permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yang berjudul Pendapat Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF Hukum positif adalah "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor : 0004/Pdt.P/2009/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 0004/Pdt.P/2009/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor : 0004/Pdt.P/2009/PA.Bn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kelas I A Bengkulu yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr.

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr. P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Singaraja yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat pertama dalam sidang

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor:004/Pdt.P/2009/PA.Wno

P E N E T A P A N Nomor:004/Pdt.P/2009/PA.Wno P E N E T A P A N Nomor:004/Pdt.P/2009/PA.Wno DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Wonosari yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م

ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م PENETAPAN Nomor XXXX/Pdt.P/2016/PA.Ktbm. ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang mengadili perkara-perkara perdata pada tingkat pertama

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia 104 BAB 5 PENUTUP 5.1. Kesimpulan 1. Pada dasarnya menurut Hukum Islam, harta suami isteri terpisah. Masingmasing memiliki hak untuk membelanjakan atau menggunakan hartanya dengan sepenuhnya tanpa boleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-VI/2008

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-VI/2008 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 42/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ACARA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kasus Posisi Sebelum menjelaskan mengenai kasus posisi pada putusan perkara Nomor 321/Pdt.G/2011/PA.Yk., penulis akan memaparkan jumlah perkara poligami yang

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENETAPAN Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 A. Sekilas tentang Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 1. Lahirnya Peraturan Menteri

Lebih terperinci

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap

BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN. Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap BABA V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari beberapa penjelasan yang diuraikan di muka terhadap pandangan mazhab Maliki dan mazhab Syafi i tentang menikahkan wanita hamil karena zina, maka penyusun dapat menarik

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN MAJELIS HAKIM DI PENGADILAN AGAMA SIDOARJO NO. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda A. Analisis Yuridis Pertimbangan Dan Dasar

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama Malang dalam Penolakan Izin Poligami

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr A. Analisis terhadap proses penyelesaian wali adhal di Pengadilan Agama Singaraja Nomor.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo BAB I 1. LATAR BELAKANG Salah satu kebutuhan hidup manusia selaku makhluk sosial adalah melakukan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi sosial akan terjadi apabila terpenuhinya dua syarat, yaitu adanya

Lebih terperinci

PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst

PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Gunungsitoli yang memeriksa dan mengadili perkara Perdata Permohonan Penunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

bismillahirrahmanirrahim

bismillahirrahmanirrahim P E N E T A P A N Nomor:0058/Pdt.P/2015/PA.Sit. bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Situbondo yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci