KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR"

Transkripsi

1 KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR Oleh ; Emi Zulaika, S.H. ABSTRAK Perkawinan anak dibawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang menjadi rahasia umum dan menjadi suatu kebiasaan pada masyarakat itu sendiri. Kemiskinan, sosial ekonomi yang lemah, pekerjaan yang sulit didapat, sarana pendidikan yang terbatas serta pola pikir dari masyarakat itu sendiri telah menyuburkan perkawinan anak dibawah umur. Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam telah memberikan batasan batasan diijinkannya usia ( umur ) untuk melakukan perkawinan tetapi di masyarakat masih saja terjadi perkawinan dibawah umur padahal jika dilihat dari ketentuan undang undang perkawinan hal tersebut sangat bertentangan sekali. Terjadinya suatu pembatalan perkawinan tentunya menimbulkan tidak hanya dampak akibat secara hukum saja tetapi juga menimbulkan dampak secara psikologis bagi suami isteri tersebut apalagi jika suami isteri tersebut salah satunya anak ( bocah ) perempuan dibawah umur yang tentunya usianya masih sangat muda dan secara psikologis tingkat emosionalnya masih tinggi selain itu dampak secara sosial tentunya timbul adanya rasa malu dari pihak keluarga terhadap masyarakat disekitarnya. Kata Kunci : 1.Pembatalan Perkawinan; 2.Anak Dibawah Umur I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari berbagai macam peristiwa yang terus menerus dialaminya seperti halnya kelahiran, perkawinan maupun kematian. Peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum ( rechtsfeit ). Dikatakan sebagai peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang yang akibatnya diatur oleh hukum ( Dudu Duswara Machmudin 2000 : 46 ). Hal itu disebabkan didalam peristiwa hukum ( rechtsfeit ) akan selalu timbul adanya hak dan kewajiban. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa kemasyarakatan yang nantinya akan menimbulkan akibat hukum bagi calon suami - isteri, anak maupun pihak Page 2 Page 1

2 ketiga, karena dalam suatu perkawinan akan timbul adanya suatu hak dan kewajiban yang harus ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masing masing pihak, untuk itulah di Indonesia tentang perkawinan diatur dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara umum dan mengikat seluruh warga negara Indonesia dan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam atau yang disingkat KHI yang berlaku bagi pemeluk agama islam di Indonesia. Hakikat perkawinan menurut Pasal 1 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan hakikat perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) telah memberikan rumusan yang jelas tentang hakikat perkawinan. Hakikat perkawinan yang terdapat dalam kedua aturan tersebut juga di perkuat dengan adanya pendapat para sarjana hukum. Dengan demikian hakikat perkawinan secara umum dapat dikemukakan dengan berdasarkan Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), maupun sebagian pendapat para sarjana hukum adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Dalam undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditentukan prinsip prinsip atau azas azas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri, dimana azas azas atau prinsip prinsip yang tercantum dalam Undang Undang tersebut adalah : 1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal; 2. Dalam Undang Undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilaman dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan Page 2 Page 2

3 kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang undangan yang berlaku; 3. Undang Undang ini menganut azas monogami; 4. Undang Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur; 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang Undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian; 6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri ( Komariah 2008 : 42 ) Azas azas atau prinsip prinsip yang terdapat dalam Undang _ Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan maksud yang jelas tentang perkawinan itu sendiri tetapi dalam kehidupan sehari hari masyarakat, azas azas atau prinsip prinsip perkawinan dalam pelaksanaan kaidah hukum perkawinan masih belum bisa terlaksana dengan baik bahkan seringkali terjadi benturan dalam pelaksanaannya, contohnya masih ada perkawinan anak dibawah umur. Perkawinan anak dibawah umur yang masih banyak terjadi pada masyarakat pedesaan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang menjadi rahasia umum dan menjadi suatu kebiasaan pada masyarakat itu sendiri. Kemiskinan, sosial ekonomi yang lemah, pekerjaan yang sulit didapat, sarana pendidikan yang terbatas serta pola pikir dari masyarakat itu sendiri telah menyuburkan perkawinan anak dibawah umur, padahal Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan batasan batasan usia perkawinan yang diijinkan. Hal ini terjadi tidak lepas dari sikap para orang tua yang menginginkan anaknya untuk segera menikah. Mereka tidak peduli bahwa anak anak mereka masih membutuhkan kebebasan, kesempatan belajar maupun bermain diusianya. Para orang tua beranggapan dengan terjadinya dan Page 2 Page 3

4 terlaksananya suatu perkawinan walaupun yang dinikahkan usianya masih belasan tahun maka beban tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anak berkurang sudah padahal anggapan tersebut tidaklah benar demikian, karena masih akan ada beban yang lainnya jika nantinya terjadi suatu persoalan pada perkawinan tersebut. Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memberikan batasan batasan usia jika melakukan suatu perkawinan. Pada Pasal 7 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : Bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Dalam hal adanya penyimpangan, dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria dan wanita. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 7 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menentukan dengan jelas batasan usia perkawinan dengan demikian tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam Pasal 1 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat tercapai maksudnya pada masyarakat. Kasus yang terjadi dan sangat gencar dibicarakan saat ini adalah kasus pernikahan poligami antara H M. Pujiono Cahyo Widianto yang biasa dipanggil Syech Puji yang berumur 43 tahun seorang pengusaha dimana sebagai pemilik PT Sinar Lendoh Terang dan sekaligus pemilik ( pendiri ) Ponpes Miftahul Jannah Desa Bedono Kabupaten Semarang dengan seorang anak ( bocah ) perempuan yang berumur 12 tahun yang bernama Lutviana Ulfah yang dinikahi secara sirri pada tanggal 8 Agustus Kasus yang menarik perhatian serta timbulnya pro kontra di dalamnya dikarenakan selain pernikahan itu sendiri juga adanya pengangkatan serta pelantikan Lutviana Ulfa yang dalam hal ini sebagai isteri kedua dari Syech Puji diberikan sebuah kedudukan sebagai GM ( General Manager ) pada PT Sinar Lendoh Terang yang didirikannya. Pro kontra yang timbul apakah mungkin seorang anak ( bocah ) perempuan yang baru berusia 12 tahun dapat memimpin sebuah perusahaan yang besar walaupun diakui atau tidak, Page 2 Page 4

5 Lutviana Ulfah bisa berbahasa Inggris dengan lancar dalam memberikan sambutan sesudah pelantikan tersebut. Apakah ini bukan pemaksaan terhadap seorang anak ( bocah ) perempuan yang masih berusia belasan tahun untuk kerja keras. Hal inilah yang akhirnya menjadi sorotan media massa nasional maupun Komnas Perlindungan Anak yang di pimpin Seto Mulyadi yang biasanya di panggil dengan Kak Seto, turun tangan dengan timnya untuk menyelesaikan masalah yang timbul didalamnya dan mencarikan jalan keluarnya yang terbaik bagi semua pihak. Kasus diatas merupakan salah satu contoh kasus kecil terjadinya suatu perkawinan anak dibawah umur yang terjadi didalam masyarakat. Masih banyak kasus kasus lain seperti yang dialami Lutviana Ulfah, dimana mereka menghabiskan waktu di usia yang sangat muda untuk menikah dan mengurus rumah tangga, impian mereka bermain, bersekolah sekolah sampai lulus sarjana, bekerja mencari penghasilan sudah musnah dalam benak mereka. Mereka adalah contoh seperti halnya Lutviana Ulfa yang harus mengalami pernikahan dini namun nasib mereka tidaklah seberuntung Lutviana Ulfa yang pada usianya masih belasan telah menduduki jabatan sebagai GM ( General Manager ) Masalah anak serta hal yang berkaitan dengan perlindungan anak maupun kesejahteraan anak itu sendiri di Indonesia telah diundangkannya pada tanggal 22 Oktober tahun 2002 dalam sebuah Undang Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak menurut pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 Angka ( 1 ) Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 ( delapan belas ) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak menurut pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 Angka ( 2 ) Undang Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Page 2 Page 5

6 Dengan adanya Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pemerintah mempunyai harapan bahwa kehidupan anak anak khususnya anak anak Indonesia dapat terjamin sesuai dengan yang diamanatkan dan perkawinan anak dibawah umur dapat dicegah lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diuraikan secara panjang lebar, terdapat banyak sekali permasalahan yang timbul namun berkaitan dengan judul tersebut maka permasalahan yang nantinya akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Apakah perkawinan anak dibawah umur bertentangan dengan ketentuan Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974? 2. Bagaimana jika terjadi penolakan pembatalan perkawinan akibat tidak dipenuhinya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974? II. PEMBAHASAN 2.1. Perkawinan Anak Dibawah Umur Bertentangan dengan Ketentuan Undang _ Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membina rumah tangga ( keluarga ) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan maksud bahwa perkawinan tidak hanya dilihat dari segi keperdataan saja, tetapi perkawinan juga dilihat dari segi agama, yang artinya perkawinan tidak hanya merupakan urusan kedua calon suami isteri maupun pihak keluarga dan pihak ketiga tetapi juga bahwa perkawinan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan definisi perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pada definisi tentang perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam tertulis dengan jelas bahwa suatu perkawinan merupakan pelaksanaan suatu ibadah dalam rangka untuk mentaati perintah Allah dengan demikian maka Page 2 Page 6

7 tujuan perkawinan itu sendiri menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan perkawinan yang terdapat dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam memberikan pemahaman secara nyata dan jelas tentang perkawinan itu sendiri sehingga diharapkan bahwa perkawinan itu bukan hanya sekedar main main belaka tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan. Perkawinan anak dibawah umur jika dilihat dari ketentuan peraturan undang undang perkawinan yang mengatur tentang syarat usia yang diijinkan untuk menikah sangat bertentangan dengan Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Alasannya pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur tentang syarat syarat perkawinan dan syarat syarat perkawinan itu sendiri dibagi menjadi 2 ( dua ) yaitu : 1. Syarat syarat materiil, yaitu syarat mengenai orang orang yang hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan, ijin, dan kewenangan untuk memberi ijin. 2. Syarat syarat formil, yakni syarat syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah. Syarat syarat materiil yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibedakan lagi dalam: A. Syarat materiil yang absolut ( mutlak ) yang merupakan syarat syarat yang berlaku dengan tidak membeda bedakan dengan siapapun dia akan melangsungkan perkawinan yang meliputi : a. Batas umur minimum pria 19 ( sembilan belas ) tahun dan untuk wanita 16 ( enam belas ) tahun ( Pasal 7 undang Undang No 1 Tahun 1974 ). Dalam hal terdapat penyimpangan dari batas umur tersebut dapat meminta dispensasi kepada pengadilan; b. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara kedua calon mempelai ( Pasal 6 Ayat ( 1 ) Undang Undang no 1 tahun 1974 ); Page 2 Page 7

8 c. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu ) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua ( Pasal 6 Ayat ( 2 ) Undang - Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 ). B. Syarat materiil yang relatif ( nisbi ) merupakan syarat yang melarang perkawinan antara seorang dengan seorang tertentu, yaitu : a. Larangan kawin antara orang orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang Undang No 1 Tahun 1974 : a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas; b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu / bapak tiri; d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi / paman susuan; e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. b. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk poligami karenan telah memenuhi alasan alasan dan syarat syarat ditentukan ( Pasal 9 Undang - Undang No 1 Tahun 1974 ); c. Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan ( Pasal 10 Undang Undang No 1 Tahun 1974 ); d. Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis jangka waktunya ( Pasal 11 Undang Undang no 1 tahun 1974 ). Syarat syarat formil meliputi : Page 2 Page 8

9 a. Pemberitahuan akan dilangsungkan perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang kurangnya 10 ( sepuluh ) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan ( Pasal 3 dan Pasal 4 PP No 9 Tahun 1975 ); b. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatat Perkawinan. Sedang menurut ketentuan Pasal 15 kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang syarat sahnya perkawinan untuk kedua calon mempelai dinyatakan bahwa untuk kemaslahatan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur, yaitu calon suami sekurang kurangnya berumur 19 ( sembilan belas ) tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 ( enam belas ) tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 ( dua puluh satu ) tahun, harus mendapat izin dari : 1). Kedua orang tuanya, atau; 2). Orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya, atau; 3). Wali, orang yang memelihara atau keluarganya yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya, atau; 4). Pengadilan dalam daerah hukum tempat orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan tersebut. dengan demikian baik itu Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam telah memberikan batasan batasan diijinkannya usia ( umur ) untuk melakukan perkawinan tetapi mengapa di masyarakat masih saja terjadi perkawinan dibawah umur padahal jika dilihat dari ketentuan undang undang perkawinan hal tersebut sangat bertentangan sekali, hal ini dikarenakan mereka ( masyarakat ) menganut ketentuan yang terdapat dalam hukum agamanya sebagai dasar untuk melangsungkan suatu perkawinan. Para orang tua beranggapan bahwa seorang anak yang sudah akil baligh dianggap telah dewasa dan bisa menikah. Page 2 Page 9

10 Menurut Syariat Islam seseorang dikatakan dewasa dimana dinyatakan sebagai subyek hukum atau mukallaf ( kewajiban untuk melaksanakan peraturan Allah ) yaitu apabila : a. Ajaran islam sudah sampai kepadanya; b. Berakal ( sehat, tidak gila, atau dalam keadaan tidak sadar, dan sebagainya ); c. Baligh yang ciri cirinya antara lain sudah berumur 15 ( lima belas ) tahun, pernah mimpi bersetubuh, sudah menikah, dan menstruasi ( haid ) bagi wanita. ( Dudu Duswara Machmudin 2000 : 35 ) sehingga dengan demikian walaupun menurut hukum agamanya atau syariat islam adalah dibenarkan tentang perkawinan anak di bawah umur, tetapi hal tersebut tidak dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum perkawinan positif yang berlaku di Indonesia karena perkawinan anak di bawah umur itu bertentangan dengan undang undang perkawinan, undang undang perlindungan anak serta Kitab Undang Undang Hukum Pidana terutama pada Pasal 288 Ayat ( 1 ) KUHP ( tanggal 10/11/2008). Tidak jarang orang tua memberi restu kepada anak anaknya untuk menikah sebelum mencapai umur yang diizinkan oleh undang undang perkawinan sehingga dengan demikian ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26 Ayat ( 1 ) Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana berisi ketentuan yang mengatur mengenai Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua haruslah mendapat perhatian. Pasal 26 Ayat ( 1 ) undang Undang Perlindungan anak berisi tentang : ( 1 ) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak anak. Pasal 26 Ayat ( 1 ) Huruf C Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memberikan secara jelas tentang kewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan anak dibawah umur dan jika telah terjadi adanya hubungan badan antara pria dan wanita pada anak - anak ketentuan yang terdapat dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 88 Undang Undang No 23 Tahun 2002 Page 2 Page 10

11 Perlindungan Anak telah memberikan sanksi yang sangat jelas dan tegas bagi yang melanggarnya dan jika diperlukan lagi sanksi yang lebih tegas maka ketentuan yang terdapat dalam Pasal 288 Ayat ( 1 ) KUH Pidana dapat diterapkan Terjadinya Pembatalan Perkawinan Akibat Tidak Dipenuhinya Ketentuan yang Terdapat dalam pasal 7 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pada kasus perkawinan poligami antara Syeh puji dengan Lutviana Ulfah, KPAI ( Komisi Perlindungan Anak Indonesia ) meminta adanya pembatalan perkawinan dengan maksud bahwa tidak pernah ada atau belum pernah ada terjadinya suatu perkawinan tersebut, tetapi masalah pembatalan perkawinan tersebut menimbulkan adanya pro kontra dan pada kasus perkawinan antara Syech Puji dengan Lutviana Ulfa terjadi adanya penolakan pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan, para ahli hukum berpendapat bahwa tiap perkawinan hanya dapat dinyatakan vernietigbaar ( dapat dibatalkan ), artinya bahwa perkawinan itu hanya dapat dinyatakan batal setelah keputusan hakim atas dasar dasar yang diajukan oleh penuntut yang ditunjuk oleh Undang Undang dengan demikian perkawinan tidak dapat dinyatakan nietigbaar ( batal demi hukum, karena kalau demikian halnya maka tak menjamin kepastian hukum ( Komariah 2008 : 50 ). Alasan alasan suatu perkawinan dapat dibatalkan adalah sebagai berikut: a. Apabila para pihak ( suami isteri ) tidak memenuhi syarat syarat untuk melangsungkan perkawinan, yakni syarat materiil absolut maupun relatif seperti yang ditentukan dalam Pasal 6 s/d Pasal 11 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b. Perkawinan diajukan pada Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak sah; c. Perkawinan dilaksanakan oleh wali nikah yang tidak sah; d. Perkawinan dilakukan tanpa dihadiri oleh 2 ( dua ) orang saksi. Menurut Pasal 26 Ayat ( 2 ) Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hak untuk menuntut pembatalan perkawinan suami isteri berdasarkan pada alasan huruf b, c, dan d ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat Pegawai Page 2 Page 11

12 Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang akan tetapi perkawinan harus diperbaharui supaya sah; e. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum; f. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Menurut Pasal 27 Ayat ( 3 ) Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 ( enam ) bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur ( Komariah 2008 : ). Pasal 23 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan pihak pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Para keluarga dalam garis lurus keturunan lurus ke atas dari suami isteri; 2. Suami atau isteri; 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pada Pasal 24 Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru ( Libertus Jehani 2008 : 40 ). Menurut Pasal 28 Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang dibatalkan menurut Undang Undang tetap mempunyai akibat hukum, baik terhadap suami / isteri dan anak anaknya maupun terhadap pihak ketiga sampai pada saat pernyataan pembatalan perkawinan itu ( Komariah 2008 : 53 ). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku surut terhadap : Page 2 Page 12

13 1. anak anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; 2. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad yang baik; kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan lain yang lebih dahulu; 3. orang ketiga lainnya, sepanjang mereka memperoleh hak hak dengan itikad yang baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap ( Libertus Jehani 2008 : 41 ). Kasus yang terjadi pada perkawinan Syech Puji dengan Lutviana Ulfah dapat dimintakan suatu pembatalan perkawinan jika perkawinan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat ( 2 ) undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tiap tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan berlaku. Mengapa dicatatkan hal ini untuk menjamin kepastian hukum dalam suatu perkawinan. Tetapi pada kasus perkawinan anak dibawah umur antara Syeh Puji dengan Lutviana Ulfah tidak dapat dimintakan suatu pembatalan perkawinan karena perkawinan tersebut adalah perkawinan sirri atau dibawah tangan ( belum dicatatkan ) sehingga negara menganggap tidak pernah atau belum pernah terjadi suatu perkawinan kecuali telah dilakukannya isbath nikah. Isbath nikah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum dari suatu perkawinan yang telah terjadi dan yang belum pernah dicatatkan, setelah adanya isbath nikah maka pihak pihak yang merasa keberatan atas perkawinan tersebut dapat meminta adanya pembatalan suatu pernikahan pada pengadilan agama atau negeri yang berwenang secara relatif.. Jika dilihat dari peraturan perundang undangan yang mengatur tentang hukum perkawinan di Indonesia dapat saja dimintakan pembatalan perkawinan dengan alasan telah terjadi perkawinan anak dibawah umur atau dengan kata lain tidak terpenuhinya syarat syarat materiil baik yang absolut maupun yang relatif yang terdapat dalam suatu perkawinan ( Pasal 6 Pasal 11 Undang Undang No 1 Tahun 1974 ) ataupun dengan alasan yang dibenarkan dalam dalam Undang Undang Perkawinan. Kemudian siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan haruslah mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 23 Undang Undang No 1 Tahun Apakah jika terjadi pembatalan perkawinan tersebut tidak menimbulkan dampak kepada suami isteri dan pihak keluarganya tentunya hal tersebut perlu mendapat suatu perhatian secara khusus, bahwa terjadinya suatu pembatalan perkawinan tentunya Page 2 Page 13

14 menimbulkan tidak hanya dampak akibat secara hukum saja tetapi juga menimbulkan dampak secara psikologis bagi suami isteri tersebut apalagi jika suami isteri tersebut salah satunya anak ( bocah ) perempuan dibawah umur yang tentunya usianya masih sangat muda dan secara psikologis tingkat emosionalnya masih tinggi selain itu dampak secara sosial tentunya timbul adanya rasa malu dari pihak keluarga terhadap masyarakat disekitarnya apalagi jika terjadi pemberitaan secara besar besaran oleh sebuah media massa. Kemudian dengan terjadinya suatu pembatalan perkawinan apakah statusnya dapat dianggap sebagai gadis atau jejaka lagi padahal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, kemudian jika terjadi penolakan pembatalan perkawinan apakah suami isteri tersebut dapat dikenakan suatu sanksi. Dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 tidak ada suatu sanksi bagi suami isteri yang menolak pembatalan suatu perkawinan, yang hanya dikenakan adalah sanksi secara pidana jika terjadi suatu perbuatan secara pidana dalam perkawinan tersebut. III. KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan 1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan demikian terjadinya suatu perkawinan haruslah memenuhi syarat syarat perkawinan itu sendiri yang terdapat dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun INPRES No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sehingga terjadinya perkawinan anak dibawah umur sangatlah bertentangan dengan hukum positif perkawinan yang berlaku di Indonesia. 2. Pembatalan suatu perkawinan haruslah memenuhi alasan alasan yang telah ditentukan oleh Undang Undang Perkawinan, sehingga apabila adnya pihak pihak yang merasa keberatan dengan adanya suatu perkawinan tersebut kemudian meminta adanya suatu pembatalan perkawinan maka pihak pihak yang merasa keberatan harus sudah memastikan apakah perkawinan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat ( 2 ) undang Undang No 1 Tahun 1974, jika belum maka tidak bisa dimintakan suatu pembatalan perkawinan. Page 2 Page 14

15 3.2 Saran 1. Perkawinan anak dibawah umur haruslah mendapat perhatian dengan serius tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari lembaga lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai perhatian khusus dengan masalah wanita dan anak anak maupun dari masyarakat sehingga diperlukan adanya sosialisasi tentang dampak perkawinan anak dibawah umur kepada warga masyarakat maupun orang tua sehingga tidak lagi dengan mudah merestui anaknya untuk menikah di usia dini. 2. Perlu adanya perhatian aparat pemerintah maupun Kantor Pencatat Perkawinan untuk tidak mudah mengeluarkan surat surat ( formulir formulir ) yang berkaitan dengan persyaratan pernikahan jika diketahui bahwa umur dari salah satu calon mempelai belum memenuhi criteria umur yang diijinkan oleh Undang Undang Perkawinan. DAFTAR PUSTAKA BUKU TEKS Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum ( Sebuah Sketsa ), PT Refika Aditama, Bandung, Komariah, Hukum Perdata ( Edisi Revisi ), UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah, Malang, Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya, Forum Sahabat, Jakarta Barat, Rachmadi Usman, Aspek Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam INTERNET diakses tanggal 10 Nopember 2008 Page 2 Page 15

16 Page 2 Page 16

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan peristiwa sakral bagi manusia, karena melangsungkan perkawinan merupakan

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki ketidakmampuan untuk bertahan hidup sendiri. Hal ini membuat manusia belajar untuk hidup berkelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama di dalam

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk BAB I PENDAHULUAN Perkawinan memiliki arti penting bagi setiap orang, didalam kehidupan setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk membentuk sebuah keluarga itu maka setiap

Lebih terperinci

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN Menurut Imam Asy-Syathibi jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh: Wahyu Ernaningsih, S.H.,M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Contohnya dalam hal pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM 34 BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1. Pengertian

Lebih terperinci

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala 75 BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Status Perwalian Anak Akibat Pembatalan Nikah dalam Putusan Pengadilan Agama Probolinggo No. 154/Pdt.G/2015 PA.Prob Menurut

Lebih terperinci

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 Samuji Sekolah Tinggi Agama Islam Ma arif Magetan E-mail: hajaromo@yahoo.co.id Abstrak Perkawinan di bawah tangan

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 ayat (1) PP

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 KEDUDUKAN ANAK AKIBAT BATALNYA PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN DARAH MENURUT HUKUM POSITIF 1 Oleh: Afrince A. Fure 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat

BAB I PENDAHULUAN. dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah. Namun dengan melihat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 974 TENTANG P E R K A W I N A N Menimbang : Mengingat: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, memiliki harkat, martabat serta hak-hak sebagai manusia yang harus dihormati. Anak merupakan tunas,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. bawah umur yang berlaku di Kota Batam ; Sebagaimana berlaku di seluruh

BAB VI PENUTUP. bawah umur yang berlaku di Kota Batam ; Sebagaimana berlaku di seluruh BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Ketentuan hukum positif dan hukum Islam tentang pernikahan anak di bawah umur yang berlaku di Kota Batam ; Sebagaimana berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin

II. TINJAUAN PUSTAKA. UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan UU Perkawinan dalam Pasal 1 berbunyi Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2

BAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa perkawinan yang oleh masyarakat disebut sebagai peristiwa yang sangat penting dan religius. Arti perkawinan sendiri ialah ikatan lahir batin antara seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL 57 BAB IV ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL A. Analisis Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Penolakan Permohonan Dispensasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN A. Analisis Terhadap Dasar pertimbangan Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim Dalam Penetapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai derajat paling tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai derajat paling tinggi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai derajat paling tinggi dibanding makhluk lainnya. Dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI

PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI 1 MODUL ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN PERATURAN PERKAWINAN BAGI PEGAWAI DAN SUMPAH/JANJI PEGAWAI Untuk SMK/MAK Disusun oleh: AROFATUN NUR AINIAH 130412604546 UNIVERSITAS NEGERI MALANG JURUSAN MANAJEMEN PROGRAM

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu BAB I PENDAHULUAN Lembaga perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki Perkawinan atau pernikahan merupakan institusi yang istimewa dalam Islam. Di samping merupakan bagian dari syariah Islam, perkawinan memiliki hikmah

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1 Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: Indeks: PERKAWINAN PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

Tinjauan Hukum Islam terhadap Pernikahan Dini dan Dampaknya pada Masyarakat di Desa Karangmulya Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut

Tinjauan Hukum Islam terhadap Pernikahan Dini dan Dampaknya pada Masyarakat di Desa Karangmulya Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Hukum Islam terhadap Pernikahan Dini dan Dampaknya pada Masyarakat di Desa Karangmulya Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut 1 Suci Lestari, 2 N.Hendarsyah 1,2

Lebih terperinci

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI MODUL 8 UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN Hukum Perdata Dan Hukum Bisnis OLEH : M. BATTLESON SH DESKRIPSI : Hukum Perdata mengatur hubungan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman karakteristik, selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana didalamnya melekat peaturan-peraturan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan Perkara Nomor 1061/Pdt.G/2016/PA.Bwi di Pengadilan Agama Banyuwangi) perspektif UU No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat

Lebih terperinci

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Persoalan nikah bukanlah persoalan baru yang diperbincangkan publik, tetapi merupakan persoalan klasik yang telah dikaji sejak lama.

Lebih terperinci

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG

URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG URGENSI PERSETUJUAN ISTRI DALAM IJIN POLIGAMI SUAMI DI KELURAHAN NGIJO GUNUNGPATI SEMARANG Dian Latifiani Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang Email:dianlatifiani@gmail.com Abstrak.

Lebih terperinci

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 48 BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Kriteria Anak Luar Nikah dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia diciptakan oleh sang kholiq untuk memiliki hasrat dan keinginan untuk melangsungkan perkawinan. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA PENETAPAN Nomor: 01/Pdt.P/2012/PA.Pkc BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Allah SWT. Perkawinan adalah cara yang dipilih oleh. sebagaimana tercantum didalam Al-Qur an surat An-nur ayat 32 :

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Allah SWT. Perkawinan adalah cara yang dipilih oleh. sebagaimana tercantum didalam Al-Qur an surat An-nur ayat 32 : BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan sunnahtullah yang berlaku kepada semua makhluk Allah SWT. Perkawinan adalah cara yang dipilih oleh bagi umat manusia untuk mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga dan

Lebih terperinci

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini Oleh: Nasrullah, S.H., S.Ag., MCL. Tempat : Balai Pedukuhan Ngaglik, Ngeposari, Semanu, Gunungkidul 29 Agustus 2017 Pendahuluan Tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan, manusia pun tak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Aristoteles, seorang filsuf

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 1717/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 1717/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 1717/Pdt.G/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga dan Fungsi Keluarga Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI. sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan 20 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BAGI PEGAWAI NEGERI PADA POLRI A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg A. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Malang Mengabulkan Permohonan Itsbat

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 32/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 32/Pdt.G/2009/PA.GM. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Nomor Perkara : 32/Pdt.G/2009/PA.GM Para pihak : Penggugat Vs Tergugat Tahun : 2009 Tanggal diputus : 31 Maret 2009 Tanggal dibacakan putusan : 31 Maret 2009 Amar : Dikabulkan Kata Kunci : Cerai Gugat

Lebih terperinci

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P E N E T A P A N Nomor XXXX/Pdt.P/PA-Ktbm/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Kotabumi yang telah memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN A. Analisis terhadap ketentuan mengenai batasan usia anak di bawah umur 1. Menurut Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Dan Pengaturannya Mengenai pengertian perkawinan, banyak pendapat para ahli yang berbeda-beda antara yang satu

Lebih terperinci