Pelayanan Publik Sektor Pendidikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pelayanan Publik Sektor Pendidikan"

Transkripsi

1 Policy Brief Pelayanan Publik Sektor Pendidikan Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan Pendidikan Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan pembelajaran dan rekomendasi berdasarkan penerapan konsep, pendekatan, dan pelaksanaan program tata kelola pelayanan publik di sektor pendidikan yang dilaksanakan oleh USAID-Kinerja dan mencakup tiga bidang: Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional (DGP) yang dilaksanakan di enam kabupaten di empat provinsi (Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan). Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) yang dilaksanakan di tiga kabupaten/kota di dua provinsi (Aceh dan Sulawesi Selatan). Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Berorientasi Pelayanan Publik yang dilaksanakan di sembilan kabupaten/kota di empat provinsi (Aceh, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan). Pengalaman Program Kinerja ini diharapkan dapat dijadikan salah satu acuan untuk penyusunan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan publik, khususnya di sektor pendidikan. Hal ini sejalan dengan konsep Nawacita dan arah kebijakan nasional bidang pendidikan sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Konsep dasar program Kinerja adalah peningkatan mutu pelayanan publik yang prima dengan pendekatan yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan responsif. Konsep dan pendekatan tata kelola tersebut dilaksanakan melalui tiga pilar, yakni: Membangun komitmen pemerintah (policy advocacy); Memperkuat penyedia layanan (supply side); Memperkuat penerima layanan (demand side). Membangun komitmen pemerintah Membangun komitmen pemerintah merupakan upaya pertama agar pelayanan publik dapat menjadi kebijakan pemerintah secara berkelanjutan, baik pusat maupun daerah. Kebijakan ini sebaiknya dituangkan ke dalam peraturan perundangan, perencanaan, dan penganggaran. Di era otonomi daerah sekarang ini, komitmen pemerintah daerah menjadi sangat penting karena pemerintah daerah merupakan ujung tombak pelayanan publik sehingga pemerintah daerah mempunyai mandat untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pelayanan publik yang prima. Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota menjadi instrumen yang efektif untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah mempunyai komitmen dalam peningkatan pelayanan publik. Komitmen dan kebijakan ini akan menjadi jelas ketika pemerintah daerah memasukkan programprogram peningkatan pelayanan publik ke dalam perencanaan, baik jangka menengah (RPJMD, Renstra SKPD) maupun tahunan (Renja, RKA SKPD). Hal yang paling penting adalah implementasi, monitoring, dan tindak lanjut laporan hasil monitoring. 1

2 Untuk membangun komitmen pemerintah, Kinerja melaksanakan program-program advokasi kebijakan bersama masyarakat yang bernaung dalam forum multi stakeholder (MSF). Tujuannya adalah agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah mempunyai kepedulian terhadap peningkatan mutu pelayanan publik dan mendorong munculnya kebijakan nyata di daerah-daerah mitra. Penguatan pemberi pelayanan Penguatan pemberi pelayanan dibutuhkan untuk menjamin pelayanan pendidikan kepada masyarakat, orangtua, dan murid disediakan sesuai kebutuhan dan standar pelayanan tertentu yang diatur dalam peraturan perundangan. Dinas Kinerja melaksanakan program penguatan penyedia pelayanan di tingkat kabupaten/kota dan di tingkat unit-unit pelayanan. Di tingkat kabupaten/kota Kinerja memperkenalkan pentingnya tata kelola pendidikan untuk meningkatkan mutu pelayanan publik kepada jajaran pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan dan Bappeda. Di bidang tata kelola distribusi guru, Kinerja mendampingi pemerintah daerah dalam penghitungan distribusi guru berdasarkan data yang valid dan mutakhir. Hasil penghitungan kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan rekomendasi tentang distribusi guru secara proporsional yang ditujukan kepada pengambil keputusan, yakni Pendidikan mempunyai mandat untuk menyediakan guru yang mempunyai kompetensi dan anggaran yang cukup untuk setiap unit pelayanan pendidikan (sekolah). Tanpa guru yang cukup dan kompetensi yang memadai, pelayanan pendidikan bermutu sesuai standar, khususnya dalam proses pembelajaran, tidak pernah akan terwujud. Tanpa anggaran yang cukup, sekolah tidak akan mampu menyelenggarakan program dan kegiatan sekolah sehingga penyediaan pelayanan pendidikan menjadi tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal dan tidak akan pernah mencapai standar nasional pendidikan. Bupati/Walikota. Di beberapa daerah mitra Kinerja, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, dan Kabupaten Barru, pimpinan daerah telah mengeluarkan Peraturan Bupati tentang Pemerataan dan Penataan Guru PNS berdasarkan hasil penghitungan dan rekomendasi teknis tersebut. Pelaksanaan distribusi guru kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan anggaran pemerintah daerah. Pada tahun 2013 Dinas Pendidikan Kabupaten Luwu Utara telah memindahkan 128 guru dari sekolah-sekolah dasar yang berkelebihan guru. Setahun kemudian memindahkan57 guru SMP dan SMA. 2

3 Begitu juga di bidang tata kelola BOSP. Kinerja mendampingi pemerintah daearah dalam penghitungan kebutuhan per siswa per tahun. Penghitungan ini didasarkan pada tujuan pencapaian standar pelayanan minimal dan standar nasional pendidikan. Hasil penghitungan biaya satuan pendidikan, termasuk kesenjangan antara jumlah biaya yang dibutuhkan dan pembiayaan dari sumber-sumber yang tersedia (BOS), kemudian direkomendasikan kepada pimpinan daerah untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan menutup kesenjangan pembiayaaan tersebut. Di Kabupaten Bulukumba, pemerintah daerah telah mengeluarkan Peraturan Bupati untuk memayungi kebijakan pengalokasian dana tambahan untuk setiap sekolah. Demikian juga di Kabupaten Simeulue dan Kota Banda Aceh yang telah mengeluarkan Peraturan Bupati/ Walikota, pemenuhan kebutuhan pembiayaan sekolah dilaksanakan secara bertahap. Ketiga daerah tersebut sudah mengalokasikan dana tambahan ke sekolah-sekolah yang bersumber dari APBD untuk memenuhi kesenjangan pendanaan program sekolah. Di bidang MBS berorientasi pelayanan publik, Kinerja mendorong sekolah-sekolah agar menyelenggarakan kegiatan sekolah berdasarkan pencapaian standar pelayanan serta masukanmasukan dan pengaduan dari murid dan orangtua/wali murid. Pengaduan-pengaduan ini diperoleh melalui survei pengaduan yang dilaksanakan dengan melibatkan ratusan responden masyarakat. Kinerja juga mendorong munculnya kebijakan di tingkat kabupaten/kota agar program MBS berorientasi pelayanan publik dapat diadopsi dan disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya. Di Kota Singkawang, Dinas Pendidikan telah mulai menyebaluaskan praktik-praktik baik MBS berorientasi pelayanan publik ke sekolah-sekolah lain dan merencanakan akan mencakup seluruh sekolah di kota itu. Di Kota Probolinggo, pemerintah kota telah mengeluarkan kebijakan untuk menerapkannya di semua sekolah secara bertahap. Demikian juga pemerintah daerah mitra Kinerja lainnya seperti Kabupaten Barru, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Melawi. Bahkan Kabupaten Sambas, yang bukan daerah mitra Kinerja untuk MBS, juga tertarik dan telah mulai mengadopsi program MBS berorientasi pelayanan publik melalui pelatihan untuk Kepala Sekolah dan Komite Sekolah yang didanai dari sumebr APBD. Penguatan pengguna pelayanan Sisi pengguna pelayanan juga perlu untuk diperkuat sehingga dapat mendorong penyedia pelayanan menyediakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan. Pengguna layanan mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang data dan kegiatan yang diselenggarakan oleh penyedia pelayanan. Pengguna layanan juga berhak atas kesempatan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan program dan kegiatan di semua tahapan: perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Untuk menjamin agar masyarakat dapat ikut serta secara efektif dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan, Kinerja melaksanakan program penguatan forum multi stakeholder melalui pelatihan, pendampingan, dan mendorong terjadinya kerjasama antara forum dan pemerintah yang berkaitan dengan program DGP, BOSP, dan MBS. Pada program DGP dan BOSP, forum multi stakeholder berperan dalam: Penghitungan sebaran guru dan biaya satuan di setiap sekolah; Penyusunan rekomendasi teknis distribusi guru; Konsultasi publik kebijakan distribusi guru; Pengawalan hingga diterbitkannya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Pada program MBS berorientasi pelayanan publik, forum multi stakeholder diwakli oleh Komite Sekolah berperan antara lain dalam hal: Penyusunan rencana kerja sekolah (RKS dan RKAS); Menyeleggarakan survei pengaduan masyarakat; Pengawasan tindak lanjut hasil survei pengaduan; Penggalangan dana masyarakat dan dunia industri. 3

4 Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional Distribusi guru menjadi isu penting dalam upaya pemerataan akses dan mutu pendidikan di tanah air sehingga Pemerintah Pusat mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 5 Menteri Tahun 2011 tentang Penataan dan Pemeraaan Guru Pegawai Negeri Sipil. Tulisan hikmah pembelajaran ini bertujuan untuk memberi masukan kepada pengambil keputusan, khususnya Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menerapkan kebijakan yang dapat memecahkan masalah ketimpangan distribusi guru antar sekolah dan wilayah. Masukan ini didasarkan pada pengalaman Program Kinerja yang membantu enam kabupaten/kota dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan distribusi guru sehingga pelayanan publik bidang pendidikan menjadi lebih merata dan meningkat mutunya. Ketidakmerataan distribusi guru dan dampaknya Karakteristik geografis Indonesia menyebabkan distribusi guru antar wilayah tidak merata. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai wilayah sulit yang dikenal dengan daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Pada umumnya guru enggan ditempatkan dan bertugas di daerahdaerah tersebut dalam jangka waktu yang lama. Di daerah-daerah itu moda transportasi dan fasilitas hidup terutama tempat tinggal dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok sangat terbatas. Akibatnya, guru cenderung terkonsentrasi di daerah-daerah nyaman. Di sisi lain, di daerah-daerah perkotaan pun ketidakmerataan guru antar sekolah kerap terjadi yang disebabkan oleh penempatan dan penataan guru yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis dibandingkan kebutuhan sekolah. Dalam hal penyebaran guru, rasio guru-murid yang rendah, khususnya di tingkat sekolah dasar, tidak otomatis berarti bahwa semua sekolah memiliki jumlah guru yang diperlukan. Bahkan masih banyak sekolah yang kekurangan guru, terutama di daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah tertinggal. Sebagian besar kabupaten/kota tidak memiliki sistem manajemen guru yang efektif untuk menganalisis kekurangan dan kelebihan guru secara cermat di setiap sekolah. Dinas Pendidikan cenderung memberi perhatian lebih pada kekurangan guru dibandingkan kelebihan guru. Ketidakmerataan guru mempunyai dampak negatif pada dua hal. Pertama, pelayanan publik bidang pendidikan di sekolah-sekolah yang kekurangan guru menjadi tidak maksimal karena pada jam pelajaran banyak kelas dibiarkan kosong tanpa kegiatan belajar, kriteria ketuntasan mengajar tidak tercapai, dan akhirnya kompetensi murid menjadi rendah. Kedua, guruguru yang bertugas di sekolah-sekolah yang berkelebihan guru menjadi tidak aktif dan tidak dapat memenuhi jumlah jam mengajar sesuai standar (24 jam per minggu) karena harus berbagi dengan guru lainnya. Keadaan ini menimbulkan kerugian pada guru karena berpengaruh pada pengembangan karir guru, yakni sertifikasi dan kenaikan pangkat yang mensyaratkan terpenuhinya jam mengajar. Sementara itu dapat diasumsikan bahwa peningkatan jumlah guru akan menunjukkan jumlah murid per rombongan belajar menjadi kecil dan dengan demikian proses pembelajaran lebih efektif. Ada dua aspek terkait dengan situasi tersebut yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut, yakni pengangkatan guru baru dan redistribusi guru. Dalam era desentralisasi, tanggung jawab pengangkatan guru menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat berwenang menetapkan kuota jumlah guru PNS. Kuota untuk guru PNS di semua jenjang sekolah terus meningkat dan menyebabkan terus meningkatnya jumlah guru, terutama di tingkat bsekolah dasar. Untuk sebagiannya, peningkatan ini disebabkan oleh perubahan status guru honorer menjadi guru PNS. Logikanya, hal ini akan menyebabkan menurunnya jumlah guru non-pns. Namun, kenyataannya di sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan terpencil masih banyak ditemukan guru yang berstatus honorer, baik yang dibayar oleh pemerintah daerah, maupun oleh sekolah sendiri. Pelimpahan wenangan pengelolaan guru ke pemerintah daerah belum disertai dengan peningkatan kapasitas untuk pengelolaan guru, khususnya berkaitan dengan analisis kebutuhan 4

5 nyata di setiap tingkat dan jenis sekolah. Hal ini tercermin dari masih banyaknya daerah yang berkelebihan guru kelas (dilihat dari rasio guru untuk jumlah kelas) di tingkat SD, dan guru mata pelajaran tertentu di tingkat SMP dan SMA jika dilihat dari jumlah rombongan belajar dan beban mengajar guru. Padahal saat ini dapat diasumsikan bahwa jumlah anak usia sekolah dasar cenderung terus menurun turun. Jelaslah bahwa kelebihan guru menyebabkan inefisiensi penggunaan sumber daya. Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa banyak kabupaten mengalokasikan dana di sektor pendidikan sekitar 30% sampai 40% dari total anggaran daerah, dan 80% sampai 85% dari porsi itu digunakan untuk membayar gaji/honor dan tunjangan guru. Kebijakan saat ini Untuk mengatasi kekurangan guru di daerah 3T, Pemerintah Pusat meluncurkan program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia yang meliputi Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM-3T), Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), Kuliah Kerja Nyata di Daerah 3T, Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif), dan S-1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan (S-1 KKT). Program-program tersebut memang merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai permasalahan pendidikan di daerah 3T. Namun, semua program tersebut merupakan program jangka pendek yang tidak menjawab persoalan lokalitas dan keberlanjutan. Program ini juga menimbulkan masalah baru dalam hal penataan guru di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah daerah cenderung lebih mengandalkan pasokan guru dari Pemerintah Pusat dibandingkan mengurai masalah kekurangan dan ketidakmerataan guru serta menemukan solusi dengan mengangkat, menempatkan, dan menata guru secara mandiri sesuai tanggungjawab otonomi pengelolaan pendidikan di daerah. Program distribusi guru proporsional Kinerja Dalam bidang distribusi guru, Kinerja membantu enam daerah mitra bersama para pemangku kepentingan dalam: Penghitungan dan analisis penyebaran guru; Penyusunan rekomendasi kebijakan dan teknis pelaksanaan distrubusi secara proporsional; Pelaksanaan inovasi dalam distribusi guru secara proporsional. Sebagaimana telah disinggung di depan, pendekatan yang digunakan Kinerja dalam program ini adalah transparan, akuntabel, partisipatif, dan responsif. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa program distribusi guru tidaklah populer dan mempunyai tantangan tersendiri yang kadangkala sulit dihadapi oleh penyelenggara pendidikan. Banyak penolakan dari pihak guru ketika hendak dipindahkan. Pemindahan guru yang dilakukan secara transparan akan menghindari penolakan tersebut. Pemerintah daerah harus menjelaskan secara terbuka kepada guru dan para pemangku kepentingan tentang kondisi sebaran guru, masalah yang ditimbulkannya, dan rencana pemecahannya. Pelibatan guru dan pemangku kepentingan dalam proses distribusi guru menjadi penting. Kinerja mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan program distribusi guru secara bertanggung jawab. Semua biaya program ditanggung oleh pemerintah daerah, termasuk penyediaan insentif untuk guru yang dipindahkan bilamana diperlukan. Pemerintah daerah juga perlu tanggap terhadap keluhan masyarakat, terutama orangtua/wali murid, tentang ketersediaan guru di sekolah. Tanggapan juga perlu diberikan kepada guru yang dipindahkan ketika menghadapi kesulitankesulitan di tempat tugas yang baru. Proses distribusi guru Pendampingan Kinerja bersama organisasi mitra dalam program tata kelola distribusi guru proporsional dilaksanakan melalui proses sebagai berikut: Pembentukan Tim; Penghitungan kondisi sebaran guru antar sekolah dan wilayah; Rekomendasi kebijakan; Uji publik kebijakan; Publikasi kebijakan; 5

6 Penetapan kebijakan dan penerbitan regulasi; Penyusunan petunjuk teknis; Monitoring dan evaluasi. Seluruh proses tersebut dilaksanakan dengan memegang prinsip-prinsip: Dilaksanakan secara transparan dan akuntabel; Melibatkan instansi terakit di luar Dinas Pendidikan (Bappeda, BKD, Bagian Keuangan, Bagian Hukum, DPRD); Melibatkan forum multi stakeholder; Pendampingan intensif. Hasil yang diharapkan Diharapkan proses pendampingan tata kelola distribusi guru dapat menghasilkan: Data sebaran guru yang, valid, dan mutakhir; Analisis distribusi guru di seluruh kecamatan di kabupaten/kota mitra; Rekomendasi teknis distribusi guru proporsional; Rencana kerja distribusi guru proporsional; Skema insentif bagi guru yang ditempatkan di daerah terpencil ; Peraturan Bupati/Walikota; Petunjuk teknis pelaksanaan distribusi guru proporsional; Implementasi distribusi guru secara proporsional sesuai rekomendasi teknis; Keberlanjutan program dengan dukungan forum multi stakeholder; Replikasi praktik-praktik yang baik oleh kabupaten/kota lainnya. Hasil yang dicapai Selama sekitar tiga tahun melaksanakan pendampingan program distribusi guru di enam kabupaten mitra, hasil-hasil yang telah dicapai meliputi: Semua kabupaten mitra telah melaksanakan penghitungan dan analisis sebaran guru secara transparan dan partisipatif menggunakan data guru yang valid dan mutakhir; Enam kabupaten mitra telah menerbitkan Peraturan Bupati, yakni Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Aceh Singkil; Kabupaten Luwu Utara telah melaksanakan mutasi 128 guru SD yang kemudian diikuti oleh pemindahan 57 guru SMP dan SMA/SMK; Kabupaten Barru juga telah melaksanakan mutasi 326 guru dari semua jenjang sekolah Kabupaten Sambas dan Kabupaten Bondowoso sudah menerbitkan Petunjuk PelaksanaanPeraturan Bupati. Replikasi Program Tata Kelola DGP Selain melanjutkan dukungan teknis kepada kabupten mitra melalui organisasi mitra pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk mereplikasi praktik-praktik yang baik penerapan distribusi proporsional. Kinerja menyediakan bantuan teknis terbatas kepada pemerintah daerah yang ingin mereplikasi program ini. Untuk mendukung replikasi, Kinerja juga memperkuat organisasi mitra pelaksana sehingga siap digunakan oleh pemerintah daerah nonmitra. Sampai saat ini Program Tata Kelola DGP telah direplikasi oleh Kabupaten Sampang. Kesimpulan Berdasarkan pengalaman pendampingan Kinerja di enam kabupaten mitra, dapat disimpulkan beberapa hal: Pada dasarnya pemerintah kabupaten mempunyai komitmen untuk melaksanakan program distribusi guru, namun membutuhkan perhatian dan bantuan teknis dari pihak luar; Distribusi guru dapat dilaksanakan jika proses penghitungan dan perumusan kebijakan dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat yang terhimpun dalam forum multi stakeholder. Untuk bisa berperan dalam proses tata kelola distribusi guru proporsional, kapasitas forum 6

7 multi stakeholder perlu diperkuat terlebih dahulu. Pengelolaan data guru belum berjalan dengan baik di banyak daerah sehingga proses penghitungan sebaran guru yang valid dan mutakhir memerlukan waktu yang cukup lama. Meskipun pemerintah telah menyediakan Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) sebagai sistem database pendidikan terpadu, namun implementasinya perlu terus ditingkatkan; Hasil penghitungan dan pemetaan distribusi guru berguna tidak hanya untuk pemerataan guru, namun juga dimanfaatkan sebagai dasar penyusunan kebijakan lainnya seperti penggabungan sekolah yang berdekatan, pembelajaran kelas rangkap bagi sekolah dengan jumlah murid sedikit, dan guru kunjung untuk sekolah di daerah sangat terpencil. 7

8 Tata Kelola Bantuan Operasional Satuan Pendidikan Banyak daerah telah meluncurkan program pendidikan gratis tanpa mengetahui dengan pasti jumlah dana yang dibutuhkan sekolah untuk menyelenggarakan program dan kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian standar pelayanan minimal. Itulah sebabnya diperkirakan sekitar 70% sekolah belum mencapai standar pelayanan minimal yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Bagi sekolah-sekolah yang dana operasional-nya tidak mencukupi, pernyataan sekolah gratis menyulitkan dalam upaya memperoleh dukungan dana dari sumber-sumber lain. Masyarakat beranggapan bahwa dengan program sekolah gratis pemerintah (pusat mapun daerah) telah mampu memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan sekolah. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Sebagai contoh, pada tahun 2012 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan meluncurkan program pendidikan gratis dengan mengalokasi dana sebesar Rp per siswa per tahun untuk sekolah dasar. Padahal jumlah itu belum dapat menutup kesenjangan pembiayaan sekolah yang dari hasil penghitungan biaya operasional satuan pendidikan, membutuhkan total biaya Rp per siswa per tahun. Setelah dikurangi dana dari BOS (Rp ) dan pemerintah provinsi, masih ada kesenjangan sebesar Rp Dengan demikian, penitungan BOSP menjadi besar manfaatnya. Bagi sekolah hasil penghitungan BOSP bermanfaat: Sebagai masukan untuk pedoman mengenai pembiayaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005; Sebagai pedoman dalam penyusunan rencana dan anggaran sekolah dalam rangka pencapaian standar pelayanan publik, standar pelayanan minimal, dan standar nasional pendidikan; Sebagai bahan untuk mengkomunikasikan kebutuhan dana tambahan bagi biaya operasional sekolah dengan pihak-pihak yang berpotensi memberi dana seperti orangtua/ wali murid dan dunia usaha/dunia industri; Sebagai pendukung lancarnya proses kegiatan belajar mengajar sesuai dengan SPM dan SNP. Manfaat penghitungan BOSP yang rinci bagi masyarakat/orangtua adalah sebagai informasi yang transparan dan mudah dimengerti tentang (1) biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh sekolah agar dapat memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu (sesuai standar), dan (2) besarnya dana tambahan yang masih dibutuhkan sekolah untuk menutupi biaya operasionalnya, jika pendapatan sekolah dari pemerintah dan sumber-sumber lain belum mencukupi. Penghitungan BOSP yang rinci, transparan, dan mudah dimengerti akan lebih mudah mendorong partisipasi masyarakat dalam hal pendanaan untuk sekolah. Selain itu masyarakat dapat memperoleh gambaran tentang alokasi penggunaan dana operasional di sekolah, sehingga memberi peluang untuk ikut mengawasi penggunaan dana di sekolah. 8

9 Bagi pemerintah, penghitungan BOSP sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan pendanaan untuk biaya operasional sekolah dan dapat dijadikan acuan untuk: Mengalokasikan dana ke sekolah, misalnya sebagai dana pendamping BOS bilamana masih ada kesenjangan antara BOS dan dana yang dibutuhkan sekolah. Melakukan negosiasi guna mendapatkan tambahan dana pendamping BOS pusat dari pemerintah provinsi. Menetapkan kebijakan tentang pendanaan pendidikan, misalnya kebijakan diperbolehkan atau tidaknya penarikan dana dari orangtua murid jika nilai BOSP lebih tinggi daripada nilai dana BOS pusat ditambah dana pendamping BOS dari APBD Kabupaten/ Kota dan APBD Provinsi. Dalam hal kebijakan Sekolah Gratis perlu diperhatikan bahwa jika sekolah tidak boleh lagi menarik dana dari orangtua/wali peserta didik, maka sekolah harus mendapat dana yang cukup sesuai BOSP dari Pemerintah. Kebijakan Sekolah Gratis tanpa pendanaan yang cukup bagi sekolah akan memaksa sekolah memberikan pelayanan pendidikan yang tidak bermutu. Hasil penghitungan BOSP juga bermanfaat bagi DPRD. Secara struktural DPRD merupakan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota. Dalam kaitannya dengan tugas tersebut, DPRD melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan pemerintah kabupaten secara keseluruhan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai akhir kegiatan. DPRD juga berperan aktif dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang APBD dan sangat menentukan dalam persetujuan usulan anggaran baru dari pemerintah daerah setiap tahunnya, meskipun Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 memberi peluang pemerintah daerah untuk menetapkan Rancangan Peraturan Bupati tentang APBD. Jika DPRD tidak menyetujuinya, maka nilai anggaran maksimalnya adalah sejumlah tahun anggaran sebelumnya. Selain menjadi salah satu bentuk sanksi bagi pemerintah daerah, mekanisme tersebut memberi peluang bagi anggota DPRD untuk memainkan perannya dalam mendorong pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Dengan demikian, bagi DPRD hasil penghitungan BOSP dapat dijadikan acuan dalam penganggaran dan pengawasan penggunaan anggaran untuk biaya operasional pendidikan. Program BOSP Kinerja Dalam bidang BOSP, Kinerja membantu tiga daerah mitra bersama para pemangku kepentingan dalam: 9

10 Penghitungan dan analisis biaya operasional satuan pendidikan di tingkat SD dan SMP; Penyusunan rekomendasi kebijakan dan teknis pengalokasian dana operasional untuk sekolah; Pelaksanaan inovasi dalam distribusi guru secara proporsional. Sama halnya dengan program DGP, pendekatan yang digunakan Kinerja dalam program BOSP adalah transparan, akuntabel, partisipatif, dan responsif seperti digambarkan diagarm di depan. Proses penghitungan BOSP Pendampingan Kinerja bersama organisasi mitra dalam program tata kelola BOSP dilaksanakan melalui proses sebagai berikut: Pembentukan Tim; Penghitungan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk pencapaian standar-standar secara bertahap.; Rekomendasi kebijakan; Uji publik kebijakan; Publikasi kebijakan; Penetapan kebijakan dan penerbitan regulasi; Penyusunan petunjuk teknis; Monitoring dan evaluasi. Seluruh proses tersebut dilaksanakan dengan memegang prinsip-prinsip: Dilaksanakan secara transparan dan akuntabel; Melibatkan instansi terakit di luar Dinas Pendidikan (Bappeda, Bagian Keuangan, Bagian Hukum); Melibatkan forum multi stakeholder; Pendampingan intensif. Hasil yang diharapkan Proses pendampingan tata kelola BOSP dapat menghasilkan: Penghitungan biaya opersional satuan yang dibutuhkan sekolah dengan mengacu pada SPM dan SNP; Analisis kesenjangan pembiayaan operasional sekolah; Rekomendasi teknis pembiayaan operasional sekolah (BOSDA); Rencana kerja pengalokasian BOSDA ke sekolah; Peraturan Bupati/Walikota; Petunjuk teknis pelaksanaan BOSDA; Implementasi BOSDA sesuai rekomendasi teknis; Keberlanjutan implementasi BOSDA dengan dukungan forum multi stakeholder; Replikasi praktik-praktik yang baik oleh kabupaten/kota lainnya. Hasil yang dicapai Hingga saat ini hasil-hasil yang telah dicapai oleh daerah mitra Kinerja adalah sebagai berikut: Ketiga kabupaten/kota mitra Kinerja telah menyelesaikan penghitungan BOSP secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan forum multi stakeholder. Pemerintah daerah juga sudah mengeluarkan Pertaturan Bupati/Walikota. Kabupaten Bulukumba sudah mengalokasi BOSDA sesuai hasil penghitungan BOSP sejak tahun 2012 dan berlanjut hingga tahun Kabupaten Simeulue sudah mengalokasi dana tambahan sejak 2011 walaupun belum menutup secara penuh kesenjangan pembiayaan sekolah. Namun pada akhirnya pemerintah daerah sudah memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan sekolah di tingkat SD dan SMP pada Sama halnya dengan Kabupaten Simeulue, pemerintah Kota Banda Aceh juga sudah mengalokasi dana tambahan sejak Dalam pengalokasian dana penunjang pendidikan (DPP) Kabupaten Simeulue dan Kota Banda Aceh menggunakan formula yang membuat alokasi dana menjadi lebih adil bagi semua sekolah. Berdasarkan pengalaman di Simelue dan Banda Aceh, Kinerja bersama organisasi mitra pelaksana dan MSF mendorong pemerintah daerah lainnya untuk menggunakan formula yang memperhitungkan besar kecilnya sekolah dan tingkat kemajuan sekolah dalam menentukan alokasi dana penunjang pendidikan. 10

11 Replikasi Program Tata Kelola BOSP Disamping melanjutkan dukungan teknis kepada kabupten/kota mitra melalui organisasi mitra pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk mereplikasi praktik-praktik yang baik penerapan Tata Kelola BOSP. Kinerja menyediakan bantuan teknis terbatas kepada pemerintah daerah tang ingin mereplikasi program ini. Untuk mendukung replikasi, Kinerja juga memperkuat organisasi mitra pelaksana sehingga siap digunakan oleh pemerintah daerah nonmitra. Sampai saat ini Program Tata Kelola BOSP telah direplikasi dan mulai dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Sidenreng Rappang, Kota Palopo, Kabupaten Jeneponto, Kota Batu, dan Kabupaten Pakpak Bharat. Kesimpulan Berdasarkan pengalaman pendampingan Kinerja di tiga kabupaten/kota mitra, dapat disimpulkan beberapa hal: Pemerintah telah menaikkan jumlah dana BOS per sekolah. Kenaikan ini sangat membantu sekolah-sekolah untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Meskipun demikian Program Tata Kelola BOSP tetap diperlukan untuk terus mengantisipasi peningkatan kebutuhan sekolah. Selain itu, mengingat dana BOS masih terbatas pada pemenuhan minimal, hasil penghitungan BOSP yang terus diperbaharui akan sangat berguna bagi pemerintah daerah yang mempunyai komitmen untuk meningkatan mutu pelayanan di atas minimal. Sama halnya dengan program DGP, pada dasarnya pemerintah kabupaten mempunyai komitmen untuk melaksanakan program BOSP, namun membutuhkan perhatian dan bantuan teknis dari pihak luar; Program Tata Kelola BOSP dapat dilaksanakan jika proses penghitungan, perumusan kebijakan, dan pengalokasian BOSDA dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat, melalui forum multi stakeholder.*** 11

12 Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik Di Indonesia, konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) telah diperkenalkan dan dilaksanakan sejak tahun 1997/1998. MBS merupakan wujud otonomi sekolah sejalan dengan kebijakan desentralisasi kewenangan pendidikan dan dimaksudkan agar sekolah mempunyai otonomi yang lebih besar untuk menyelenggarakan program dan kegiatannya dengan mendorong peran serta masyarakat melalui komite sekolah. Dalam konteks otonomi, sekolah diberi kewenangan untuk mengatur dirinya dan warga sekolah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundangan. Sekolah diberi wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya sekolah semaksimal mungkin untuk meningkatkan mutu proses dan output pembelajaran. Namun, pada praktiknya pelaksanan MBS perlu lebih ditingkatkan. Sebagian besar sekolah melaksanakan MBS apa adanya, belum dilaksanakan secara maksimal, dan belum mengarah pada perbaikan mutu pelayanan. Di sebagian besar sekolah, pengelolaan masih belum transparan dan akuntabel serta tidak partisipatif, apalagi responsif. Oleh karena itu Kinerja berupaya mendampingi sekolah dan komite sekolah untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sekolah dan mutu pelayanan sekolah. Program MBS Kinerja Konsep utuh MBS mengandung setidaknya tiga komponen yang saling berkaitan, yakni manajemen sekolah, pembelajaran, dan partisipasi masyarakat. Program bantuan teknis Kinerja lebih difokuskan pada dua komponen, yakni manajemen sekolah dan partisipasi masyarakat dengan asumsi bahwa jika dua komponen tersebut bekerja baik, maka akan ada peningkatan komponen pembelajaran. Komponen manajemen cukup luas cakupannya, namun pendampingan Kinerja difokuskan pada perencanaan, penganggaran, dan pelaporan keuangan sekolah. Tujuan utama pendampingan Kinerja di bidang MBS adalah untuk meningkatkan pelayanan publik sekolah sebagai suatu unit layanan di sektor pendidikan. Upaya peningkatan pelayanan publik ini disertai dengan penguatan sisi pengguna layanan yang difokuskan pada peningkatan peran komite sekolah sebagai forum multi stakeholder di tingkat sekolah. Upaya sekolah dalam peningkatan pelayanan publik harus dilakukan sejak awal, secara 12

13 sistematis dan terencana. Oleh karena itu, perencanaan sekolah yang mencakup pencapaian standar pelayanan, standar pelayanan minimal, dan standar nasional pendidikan menjadi sangat penting. Perencanaan dalam konsep MBS berorientasi pelayanan publik harus partisipatif dan responsif. Perencanaan harus dibuat bersama komite sekolah dan berdasarkan data sekolah yang valid dan mutakhir, evaluasi diri sekolah, dan hasil survei pengaduan masyarakat. Survei pengaduan masyarakat di sekolah tergolong hal baru dan langka. Selama ini sekolah tidak dianggap sebagai unit layanan sebagaimana halnya Pukesmas dan Kantor Pos. Survei pengaduan masyarakat mengacu pada Peraturan Menteri PAN 13/2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat. Peraturan ini memberi mandat setiap unit layanan, termasuk sekolah, melaksanakan survei pengaduan masyarakat untuk meningkatkan mutu pelayanannya. Secara umum prinsip MBS berorientasi pelayanan publik yang difasilitasi oleh Kinerja adalah sebagai berikut: Menempatkan sekolah sebagai unit layanan, dimana sekolah sebagai penyedia layanan diwajibkan untuk memberikan pelayanan sesuai standar yang berlaku (Standar Pelayanan Publik, Standar Pelayanan Minimum Pendidikan Dasar, dan Standar Nasional Pendidikan); Memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi pengguna pelayanan (siswa, orang tua dan masyarakat sekitar) untuk menyampaikan masukan, keluhan dan saran guna peningkatan pelayanan sekolah, melalui survei pengaduan ataupun mekanisme lainnya; Proses penyusunan dokumen perencanaan sekolah secara partisipatif, antara pihak sekolah bersama Komite Sekolah; Memberikan informasi yang memadai bagi Komite Sekolah tentang perencanaan, penganggaran, dan pendanaan sekolah, termasuk pelaporan keuangannya dan informasi penting lainnya sebagai upaya penerapan transparansi dan akuntabilitas sekolah; 13

14 Pemerintah Daerah SKPD terkait lebih aktif dalam mendukung upaya peningkatan pelayanan di sekolah; Adanya mekanisme monitoring implementasi MBS berorientasi pelayanan publik oleh forum multi stakeholder; Keterlibatan media massa, termasuk jurnalis warga, dalam mempublikasikan praktikpraktik yang baik, keluhan, dan saran masyarakat untuk mendukung peningkatan pelayanan publik. Hasil yang diharapkan Hasil yang diharapkan dari pendampingan di sekolah-sekolah mitra Kinerja meliputi, namun tidak terbatas pada: Data sekolah yang valid dan mutakhir; Evaluasi diri sekolah; Survei pengaduan masyarakat; Janji perbaikan layanan berdasarkan survei pengaduan; Rekomendasi perbaikan layanan; Perencanaan dan penganggaran sekolah yang partisipatif menggunakan data yang valid dan mutakhir, hasil evaluasi diri sekolah, dan hasil survei pengaduan serta meengakomodasi standar pelayanan, SPM, dan SNP; Implementasi rencana sekolah yang transparan dan akuntabel; Komite sekolah aktif dalam survei pengaduaan, perencanaan sekolah, dan monitoring tindak lanjut janji perbaikan layanan; Laporan kegiatan dan keuangan sekolah terintegrasi, transparan, dan akuntabel; Perbaikan pelayanan sekolah; Perluasan penerapan praktik-praktik MBS yang baik ke sekolah lain. Hasil yang dicapai Bersama organisasi mitra pelaksana, Kinerja, melaksanakan pendampingan pengembangan MBS berorientasi pelayanan publik di 180 sekolah mitra di sembilan kabupaten/kota di empat provinsi (20 sekolah di masing-masing kabupaten/kota). Pendekatan Kinerja telah menunjukkan manfaat yang cukup signifikan di hampir semua sekolah mitra, baik dari aspek peningkatan partisipasi forum multi stakeholder sekolah, transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan kualitas pelayanan sekolah. Sekolah-sekolah menyusun RKS dan RKAS secara partisipatif dan memasukkan program dan kegaiatan menuju pencapaian standar pelayanan serta berdasarkan data yang valid, evaluasi diri sekolah, dan hasil survei pengaduan. Sekolah-sekolah mitra Kinerja melaksanakan survei pengaduan, menganalisis hasilnya menjadi sebuah indeks pengaduan masyarakat, membuat janji perbaikan layanan dan menindaklanjuti pengaduan yang menjadi wewenang sekolah dan menyampaikan rekomendasi tindak lanjut kepada Dinas Pendidikan. Di Kabupaten Barru, ada sekolah yang menyampaikan rekomendasi kepada instansi lain di luar Dinas Pendidikan, yakni Dinas Kesehatan dan Puskesmas untuk memperbaiki layanan UKS. Beberapa kepala sekolah menyatakan bahwa survei pengaduan sangat efektif untuk memperbaiki pelayanan sekolah. Tanpa survei pengaduan, mereka tidak mengetahui apa yang menjadi keluhan dan harapan pengguna layanan. Di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, terlihat jelas perubahan pelayanan sekolah terhadap murid dan siswa. Fasilitas dan kegiatan pembelajaran membaik sehingga murid belajar dengan nyaman. Lingkungan sekolah juga menjadi lebih baik berkat peran serta pemerintah daerah, komite sekolah, dan masyarakat yang tanggap terhadap pengaduan masyarakat. Beberapa sekolah di Kabupaten Melawi telah berhasil meraih dukungan pendanaan dari orangtua/wali murid, masyarakat, dan dunia industri setelah sekolah menerapkan perencanaan yang transparan dan partisipatif. 14

15 Replikasi Program Tata Kelola MBS Setelah melihat dan merasakan manfaat Program Tata Kelola MBS, beberapa daerah mitra Kinerja menyebarluaskan program ini ke sekolah-sekolah lain seperti di Kota Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Barru, dan Kota Singkawang. Bahkan Kota Probolingo pada tahun 2014 menerapkan program ini ke semua SD dan SMP. Sama halnya dengan Program Tata Kelola DGP dan BOSP, selain melanjutkan dukungan teknis Tata Kelola MBS kepada kabupaten/kota mitra melalui organisasi mitra pelaksana dan konsultan paruh waktu, Kinerja mendorong kabupaten/kota non-mitra untuk mereplikasi praktik-praktik yang baik penerapan Tata Kelola MBS. Kinerja menyediakan bantuan teknis terbatas kepada pemerintah daerah tang ingin mereplikasi program ini. Untuk mendukung replikasi, Kinerja juga memperkuat organisasi mitra pelaksana sehingga siap digunakan oleh pemerintah daerah non-mitra. Sampai saat ini Program Tata Kelola MBS telah direplikasi dan mulai dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Pacitan, Kabupaten Mojokerto, dan Kota Mojokerto. Pada tahun Kesimpulan Berdasarkan pengalaman bekerja bersama sekolah dan komite sekolah di berbagai daerah, dapat disimpulkan bahwa: Jika diterapkan dengan benar dan sungguhsungguh, melalui MBS sekolah dapat meningkatkan pelayanannya. Di banyak sekolah, penerapan MBS ternyata tidaklah mudah dan memerlukan pendampingan terus menerus. Untuk menjamin keberlanjutan diperlukan komitmen dan dukungan nyata dari Dinas Pendidikan, khususnya pengawas sekolah, dan komite sekolah. Dengan demikian, penguatan di tingkat kabupaten/kota, UPTD, dan komite sekolah menjadi penting. Penyelenggaraan sekolah yang transparan, partisipatif, dan akuntabel telah terbukti mampu mendatangkan dukungan dari orangtua/wali murid, masyarakat dan dunia usaha. Survei pengaduan, janji perbaikan layanan, dan rekomendasi kepada instansi terkait sangat bermanfaat bagi sekolah untuk meningkatkan pelayanan publik.*** 15

16 Rekomendasi Berdasarkan pengalaman pelaksanaan program pendidikan Kinerja, beberapa rekomendasi perlu disampaikan agar tata kelola pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan sekolah dapat memenuhi standar pelayanan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Tata Kelola Distribusi Guru Proporsional 1. Pemerintah pusat perlu mengeluarkan regulasi yang lebih kuat agar pemerintah daerah bersedia melaksanakan distribusi dan penataan guru secara lebih baik. SKB 5 Menteri tentang Pemerataan dan Penataan Guru PNS belum cukup efektif. Direkomendasikan agar pemerintah pusat menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri tantang petunjuk teknisnya. 2. Pemerintah pusat perlu memberi bimbingan teknis bagi pelaksana di daerah sehingga distribusi dan penataan guru dapat dilaksanakan dengan baik. 3. Pemerintah pusat perlu menerapkan insentif bagi daerah-daerah yang siap melaksanakan distribusi dan penataan guru dengan baik. Sebaliknya sanksi juga perlu diterapkan bagi daerah-daerah yang tidak melaksanakannya. 4. Pemerintah daerah harus melaksanakan distribusi dan penataan guru untuk menajamin pelayanan publik di sektor pendidikan, khususnya di sekolah menjadi lebih baik. 5. Dalam melaksanakan distribusi dan penataan guru, pemerintah daerah perlu melibatkan instansi-instansi pemerintah daerah terkait dan masyarakat melalui forum multi stakeholder. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan distribusi guru dilaksanakan secara transparan dan akuntabel serta dapat diterima oleh berbagai pihak dan mengurangi dampak yang ditimbulkannya seperti penolakan oleh masyarakat dan guru yang akan dipindahkan. 6. Dalam pelaksanaan distribusi guru, pemerintah daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti jenjang sekolah, jarak sekolah, biaya ekonomi, sosial dan psikologis. 7. Pemerintah daerah perlu menyediakan skema insentif, terutama bagi guru-guru yang ditempatkan di daerah terpencil. 8. Untuk menjamin keberlangsungan distribusi dan penataan guru secara proporsional, pemerintah daerah perlu menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota berikut petunjuk teknis pelaksanaannya. Tata Kelola Biaya Operasional Satuan Pendidikan 1. Pada 2015 pemerintah pusat sudah meningkatkan alokasi BOS ke sekolahsekolah yang sangat membantu pencapaian standar pelayanan minimal. Di samping itu pemerintah juga menerapkan formula yang lebih adil bagi sekolah-sekolah dengan jumlah murid sedikit. Namun penghitungan BOSP tetap diperlukan agar pemrintah daerah dapat ikut serta dalam pendanaan sekolah, terutama untuk sekolah-sekolah yang tingkat kemajuan dan kebutuhan berada di atas rata-rata. 2. Apabila dana BOS tidak dapat memenuhi kebutuhan sekolah, pemerintah pusat perlu menerbitkan peraturan yang mewajibkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana tambahan ke sekolah-sekolah untuk menutup kesenjangan pembiayaan operasional sekolah. 3. Dalam proses penyusunan kebijakan, penghitungan BOSP dan pelaksanaannya, pemerintah daerah perlu melibatkan masyarakat melalui forum multi stakeholder sesuai prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan. 16

17 4. Untuk menjamin keberlangsungan alokasi dana tambahan ke sekolah-sekolah (BOSDA), pemerintah daerah perlu menerbitkan regulasi dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota berikut petunjuk teknis pelaksanaannya. Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah 1. Penyelenggara pendidikan di semua tingkatan harus memahami bahwa sekolah merupakan unit pelayaan publik pemerintah di sektor pendidikan sebagaimana disebut dalam Permenpan No.13/2009. Dengan demikian sekolah wajib menyediakan pelayanan bagi murid dan masyarakat sesuai standar pelayanan. 2. Pemerintah pusat perlu menerbitkan peraturan mengenai pelaksanaan manajamin berbasis sekolah untuk menjamin otonomi sekolah dapat dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat melalui komite sekolah. Hirarki legalitas Kepmendiknas No. 044/U/2002 tidak cukup kuat untuk pelaksanaannya. Demikian juga PP No.17/2010 yang walaupun secara hirarki legalitas cukup kuat, namun tidak secara tegas mengatur tentang keharusan sekolah melaksanakan manajemen berbasis sekolah. 3. Untuk menguatkan pelaksanaan manajamen berbasis sekolah yang berorientasi pelayanan publik, pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan yang mewajibkan sekolah melaksanakan survei pengaduan sebagai bagian dari proses perencanaan dan penganggaran sekolah. Survei pengaduan ini kemudian dilanjutkan dengan janji dan pelaksanaan perbaikan layanan sekolah. 4. Untuk menjamin manajemen berbasis sekolah dilaksanakan dengan sungguhsungguh, pemerintah daerah perlu menguatkan peran pengawas sekolah untuk dapat melakukan supervisi dan memberi bimbingan teknis kepada sekolah-sekolah, termasuk komite sekolah. Disamping itu, musyawarah kerja kepala sekolah dapat dijadikan forum untuk menguatkan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah. 5. Dengan meningkatnya tuntutan agar kepala sekolah dan guru melaksanakan tata kelola MBS dengan baik, maka sudah saatnya manajemen SD mempunyai tenaga administrasi sebagaimana di SMP dan SMA/SMK, sehingga kepala sekolah dan guru dapat mencurahkan lebih banyak waktu dan perhatiannya ke peningkatan mutu tata kelola dan kegiatan pembelajaran. ***** 17

Tata Kelola Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA

Tata Kelola Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA 2014 KATA PENGANTAR Peningkatan pelayanan publik oleh unit pelayanan yang dikelola oleh pemerintah daerah merupakan mandat yang diamanatkan dalam berbagai peraturan

Lebih terperinci

TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA

TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA Ringkasan Eksekutif TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA 2014 KATA PENGANTAR Peningkatan pelayanan publik oleh unit pelayanan yang dikelola oleh pemerintah

Lebih terperinci

Berbagi Praktik Baik Tata Kelola Pendidikan

Berbagi Praktik Baik Tata Kelola Pendidikan Berbagi Praktik Baik Tata Kelola Pendidikan Kata Pengantar Chief of Party USAID Kinerja Selamat datang di program peningkatan tata kelola pelayanan publik USAID Kinerja. Buku Berbagi Praktik Baik Tata

Lebih terperinci

Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik

Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik IMPLEMENTED BY RTI INTERNATIONAL AND PARTNERS Ringkasan Eksekutif Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA MODUL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH KINERJA-USAID Gedung BRI II, Lantai 28, Suite 2807 Jl. Jend Sudirman

Lebih terperinci

TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA

TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA TATA KELOLA DISTRIBUSI GURU SECARA PROPORSIONAL (DGP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA 2014 KATA PENGANTAR Peningkatan pelayanan publik oleh unit pelayanan yang dikelola oleh pemerintah daerah merupakan

Lebih terperinci

Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik

Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah Berorientasi Pelayanan Publik IMPLEMENTED BY RTI INTERNATIONAL AND PARTNERS Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA MODUL MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH KINERJA-USAID Gedung BRI II, Lantai 28, Suite 2807 Jl. Jend Sudirman Kav. 44-46 Jakarta,

Lebih terperinci

Tata Kelola Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA

Tata Kelola Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA Seri Pembelajaran dari USAID-KINERJA 2014 KATA PENGANTAR Peningkatan pelayanan publik oleh unit pelayanan yang dikelola oleh pemerintah daerah merupakan mandat yang diamanatkan dalam berbagai peraturan

Lebih terperinci

TATA KELOLA PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG PENDIDIKAN DASAR UNTUK KABUPATEN/KOTA

TATA KELOLA PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG PENDIDIKAN DASAR UNTUK KABUPATEN/KOTA IMPLEMENTED BY RTI INTERNATIONAL AND PARTNERS TATA KELOLA PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG PENDIDIKAN DASAR UNTUK KABUPATEN/KOTA PENGHITUNGAN KEBUTUHAN PEMENUHAN TARGET SPM PENDIDIKAN DASAR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 Rencana Pembangunan TANGGAL Jangka : 11 Menengah JUNI 2013 Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan pembangunan memainkan

Lebih terperinci

POLICY PAPER Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Tahun (Pembelajaran dari Program USAID-KINERJA)

POLICY PAPER Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Tahun (Pembelajaran dari Program USAID-KINERJA) POLICY PAPER Rekomendasi Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Tahun 2015-2019 (Pembelajaran dari Program USAID-KINERJA) Latar Belakang Tulisan ini dimaksudkan untuk mendokumentasikan secara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN DAN PENETAPAN CAPAIAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN TENTANG EVALUASI PELAKSANAAN BOS TINGKAT SDN DI KABUPATEN BANJAR KERJASAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN, DAN PENGEMBANGAN KABUPATEN BANJAR DENGAN LEMBAGA PENELITIAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

RENCANA STRATEGIS BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN RENCANA STRATEGIS BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2016-2021 Kata Pengantar Alhamdulillah, puji syukur kehadirat ALLAH SWT, atas limpahan rahmat, berkat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 13 Mei 2015

KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 13 Mei 2015 KOPI DARAT Kongkow Pendidikan: Diskusi Ahli dan Tukar Pendapat 13 Mei 2015 Topik #1 Manajemen Guru Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019 secara eksplisit menyebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2013-2018 JL. RAYA DRINGU 901 PROBOLINGGO SAMBUTAN

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 28 Maret 2012 Kepada Nomor : 070 / 1082 / SJ Yth. 1. Gubernur Sifat : Penting 2. Bupati/Walikota Lampiran : Satu berkas di Hal : Pedoman Penyusunan Program

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu PERATURAN

Lebih terperinci

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA BUPATI SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA DAN PEDOMAN PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah KEMENTERIAN Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah Mei 2012 Dari BOS ke BOSDA: Dari Peningkatan Akses ke Alokasi yang Berkeadilan Program

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA B adan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Probolinggo menjalankan amanat Misi Kedua dari RPJMD Kabupaten Probolinggo Tahun 2013 2018 yaitu MEWUJUDKAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa agar kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

Strategi UNICEF dalam Mendukung Pemerintah untuk Memperluas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Strategi UNICEF dalam Mendukung Pemerintah untuk Memperluas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Strategi UNICEF dalam Mendukung Pemerintah untuk Memperluas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Seminar Nasional MBS Hotel Ollino, Malang, 29 Nov 2 Des 2013 Struktur Presentasi Latar Belakang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR INSPEKTUR, Drs. Zat Zat Munazat, M.Si NIP Inspektorat Kabupaten Garut

KATA PENGANTAR INSPEKTUR, Drs. Zat Zat Munazat, M.Si NIP Inspektorat Kabupaten Garut Renstra Inspektorat Kabupaten Garut Tahun 2014-2019 Kata Pengantar KATA PENGANTAR Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pendidikan semata-mata bukan hanya tanggungjawab pemerintah pusat tetapi pemerintah daerah dan masyarakat, begitu juga dalam hal pembiayaan

Lebih terperinci

Perencanaan dan Perjanjian Kerja

Perencanaan dan Perjanjian Kerja BAB II Perencanaan dan Perjanjian Kerja 2.1 Rencana Strategis Renstra Bappeda Litbang disusun adalah dalam rangka mewujudkan visi dan misi daerah sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH -1- BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2016-2021 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARRU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perdesaan sebagai basis utama dan bagian terbesar dalam wilayah Kabupaten Lebak, sangat membutuhkan percepatan pembangunan secara bertahap, proporsional dan

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, No.1312, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAGRI. Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Raperda tentang RPJP Daerah dan RPJM Daerah serta Perubahan RPJP

Lebih terperinci

LAPKIN SEKRETARIAT DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 BAB II

LAPKIN SEKRETARIAT DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2015 BAB II BAB II RENCANA STRATEGIS DAN PENETAPAN KINERJA Memaparkan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja tahun yang bersangkutan, serta pembahasan tentang RENSTRA, tujuan dan Sasaran Visi dan Misi, Penetapan Kinerja,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH(RPJMD) KABUPATEN LUWU TIMUR TAHUN 2011-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,

Lebih terperinci

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG

TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan salah satu penentu kemajuan bagi suatu negara (Sagala, 2006).

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Muaro Sijunjung, Februari 2014 INSPEKTUR KENFILKA, SH, MH PEMBINA UTAMA MUDA NIP

KATA PENGANTAR. Muaro Sijunjung, Februari 2014 INSPEKTUR KENFILKA, SH, MH PEMBINA UTAMA MUDA NIP KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita aturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan KaruniaNya sehingga penyusunan Rencana Kerja Inspektorat Daerah Tahun 2015 telah dapat diselesaikan. Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang

Lebih terperinci

DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU KABUPATEN BOYOLALI

DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU KABUPATEN BOYOLALI KATA PENGANTAR Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan berkah dan rahmat-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Dinas Penanaman Modal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR. No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR No. 1, 2013 Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0085 PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM

Lebih terperinci

I - 1 BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I - 1 BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR : 2 TAHUN 2009 TANGGAL : 14 MARET 2009 TENTANG : RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2008-2013 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN APA, BAGAIMANA, DAN MENGAPA

STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN APA, BAGAIMANA, DAN MENGAPA STANDAR PELAYANAN MINIMAL PENDIDIKAN APA, BAGAIMANA, DAN MENGAPA Kualitas SNP (Isi, Kompetensi Lulusan, Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Sarana dan Prasarana, Pengelolaan, Penilaian, Proses, Biaya) SPM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SINJAI TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SINJAI TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SINJAI TAHUN 2008-2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang BAB PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang kepada daerah berupa kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pembangunan secara mandiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan merupakan sarana melaksanakan pelayanan belajar dan proses pendidikan. Sekolah jangan hanya dijadikan sebagai tempat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengamanatkan bahwa agar perencanaan pembangunan daerah konsisten, selaras,

Lebih terperinci

Banyuwangi Tahun telah ditetapkan melalui surat. : 421/ 159/ /2014 tanggal 23 September Berdasarkan

Banyuwangi Tahun telah ditetapkan melalui surat. : 421/ 159/ /2014 tanggal 23 September Berdasarkan KATA PENGANTAR Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2015 telah ditetapkan melalui surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi Nomor : 421/ 159/429.101/2014

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2010 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI Tanggal : 26 Nopember 2010 Nomor : 6 Tahun 2010 Tentang : TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2016 Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Hamid Muhammad, Ph.D. NIP iii

Jakarta, Januari 2016 Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Hamid Muhammad, Ph.D. NIP iii KATA PENGANTAR Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Kementerian Pendidikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 81 TAHUN 2011 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERHUBUNGAN DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam rangka mengaktualisasikan otonomi daerah, memperlancar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, Pemerintah Kabupaten Boyolali mempunyai komitmen

Lebih terperinci

LPF 2 LANGKAH 2 MEMAHAMI KONSEP RENCANA STRATEGIS

LPF 2 LANGKAH 2 MEMAHAMI KONSEP RENCANA STRATEGIS LPF 2 LANGKAH 2 MEMAHAMI KONSEP RENCANA STRATEGIS 1 REVIU Kewajiban pemerintah terhadap hak-hak anak? Memperluas layanan pendidikan Menyediakan pendidikan dasar yang bebas biaya Mempromosikan pembelajaran

Lebih terperinci

Rencana Kerja Dinas Pendidikan Kota Bandung Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem

Rencana Kerja Dinas Pendidikan Kota Bandung Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem BAB I PENDAHULUAN Undang Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara sistematis, terarah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan nilai-nilai atau norma-norma

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG MUSYAWARAH PEMBANGUNAN BERMITRA MASYARAKAT

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA

PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANF PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA PEDOMAN PELAKSANAAN ALOKASI DANA DESA

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat

Lebih terperinci

RKPD Kabupaten OKU Selatan Tahun 2016 Halaman I. 1

RKPD Kabupaten OKU Selatan Tahun 2016 Halaman I. 1 Lampiran : Peraturan Bupati OKU Selatan Nomor : Tahun 2015 Tentang : Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Tahun Anggaran 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Untaian

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Perencanaan dan Perjanjian Kerja

Perencanaan dan Perjanjian Kerja BAB II Perencanaan dan Perjanjian Kerja 2.1 Rencana Strategis Renstra Bappeda Litbang disusun adalah dalam rangka mewujudkan visi dan misi daerah sebagaimana telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang disingkat RPJMD sebagaimana amanat Pasal 264 ayat (1) Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB VI KERANGKA IMPLEMENTASI

BAB VI KERANGKA IMPLEMENTASI BAB VI KERANGKA IMPLEMENTASI Guna mendukung keberhasilan yang terukur implementasi program program pendidikan dan kebudayaan perlu diatur beberapa hal pendukung sebagai berikut: 1) strategi pendanaan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan nasional saat ini sedang mengalami berbagai perubahan yang cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI

BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI BAB VI MONITORING DAN EVALUASI SANITASI 6.1 Gambaran Umum Struktur Monev Sanitasi Tujuan utama strategi Monev ini adalah menetapkan kerangka kerja untuk mengukur dan memperbaharui kondisi dasar sanitasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR: 3 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR: 3 TAHUN 2009 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN TAHUN 2009 NOMOR 3 [ PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR: 3 TAHUN 2009 TENTANG SISTEM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengamanatkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP); Rencana

Lebih terperinci

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mutu pendidikan berkaitan erat dengan proses pendidikan. Tanpa proses pelayanan pendidikan yang bermutu tidak mungkin diperoleh produk layanan yang bermutu. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa untuk menjamin pembangunan dilaksanakan secara sistematis, terarah,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Alhamdulillaah,

KATA PENGANTAR. Alhamdulillaah, KATA PENGANTAR Alhamdulillaah, Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan petunjuk- Nya kami telah menyusun dokumen Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 48.A 2012 SERI : E A BEKPERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 48.A TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 48.A 2012 SERI : E A BEKPERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 48.A TAHUN 2012 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 48.A 2012 SERI : E A BEKPERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 48.A TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH DAERAH YANG ANGGARANNYA

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republi

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republi PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa pendidikan Kota

Lebih terperinci