Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta 2002

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta 2002"

Transkripsi

1

2 Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Ind r Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2013 ISBN Judul I.HEALTH SERVICES ORGANIZATION AND ADMINISTRATION II. HEALTH PLANNING III. HEALTH POLICY Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang All rights reserved. Kementerian Kesehatan RI, Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten Tahun 2013, Penulis : Sri Irianti dkk, Editor : Agus Suwandono, Anwar Musadad, Susilowati Herman Cet-1 Jakarta; Lembaga Penerbitan Badan Litbangkes, 2013, 198 hlm. Uk. 21 cm x 29.7 cm Diterbitkan oleh : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Anggota IKAPI No. 468/DKI/XI/2013 Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Kotak Pos 1226 Telepon: (021) pes. 224, (021) , Faksimile: (021) LPB@litbang.depkes.go.id; Website: terbitan.litbang.depkes.go.id Didistribusikan oleh : Tim Riskesdas 2013 Copyright 2013 pada Lembaga Penerbitan Balitbangkes Jakarta Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta Barang siapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh ribu rupiah). i

3 Ind r POKOK-POKOK HASIL RISET KESEHATAN DASAR PROVINSI BANTEN PENULIS : Sri Irianti, Andre Yunianto, Max J. Herman, Dwi Sisca Kumala Putri, Rini Sasanti Handayani, Mulyono Notosiswoyo, Dasuki, Oster Suriani Simarmata, Kristina Tobing, Sulistyowati Tuminah, Puguh Prasetyoputra, Rina Marina BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 i

4 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufik dan hidayah-nya, sehingga Riskesdas 2013 telah selesai dilaksanakan. Riskesdas merupakan kegiatan riset kesehatan dasar berbasis masyarakat, yang dilaksanakan secara berkala. Riskesdas menghasilkan indikator kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pembangunan kesehatan. Hasil akhir Riskesdas 2013 disajikan dalam dua buku yaitu buku 1: Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan buku 2: Riskesdas 2013 Dalam Angka. Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 berisi hasil analisis variabel utama pembangunan kesehatan, dilengkapi dengan filosofi, teori dan justifikasi pengumpulan variabel dan indikator. Riskesdas 2013 dalam Angka menyajikan hasil lebih rinci dalam bentuk tabel. Kedua buku ini merupakan satu kesatuan, pembaca disarankan membaca buku 1 untuk mendapatkan gambaran komprehensif mengenai Riskesdas dan buku 2 untuk memperoleh informasi lebih rinci. Analisis disajikan secara deskriptif dan kecenderungan untuk melihat perubahan indikator Informasi kecenderungan dapat dimanfaatkan program untuk mengevaluasi strategi yang telah diterapkan, sehingga dapat diidentifikasi kemajuan kinerja provinsi dan perbaikan yang dibutuhkan. Laporan Riskesdas 2013 dapat diunduh melalui website Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur Poltekkes, Pimpinan Perguruan Tinggi, Kepala Balitbangda, dan berbagai institusi yang membantu kelancaran Riskesdas Kontribusi semua pihak dari tahap persiapan, pembuatan instrumen, pengumpulan dan analisis data serta penulisan laporan sangat kami apresiasi. Ungkapan serupa juga kami tujukan kepada para koordinator wilayah beserta jajaran administratornya, para penanggung jawab operasional, para enumerator di lapangan, sehingga pelaksanaan Riskesdas 2013 dapat berjalan lancar. Semoga laporan ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca dan semoga Allah SWT melimpahkan barokah-nya kepada kita. Wassalamu alaikum wr.wb. Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat sebagai Koordinator Wilayah II Riskesdas 2013 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Dr. D. Anwar Musadad, SKM, M.Kes. ii

5 SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI Assalamu alaikum wr.wb. Dalam lima tahun terakhir ini Pembangunan Kesehatan telah diperkuat dengan tersedianya data dan informasi yang dihasilkan oleh Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas. Tiga Riskesdas telah dilaksanakan di Indonesia, masing masing pada tahun 2007, 2010, dan Riskesdas 2013 berbasis komunitas, mencakup seluruh provinsi di Indonesia dan menghasilkan data serta informasi yang bermanfaat bagi para pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan. Dengan adanya data dan informasi hasil Riskesdas, maka perencanaan dan perumusan kebijakan kesehatan serta intervensi yang dilaksanakan akan semakin terarah, efektif dan efisien. Saya minta agar segenap pengelola dan pelaksana pembangunan kesehatan memanfaatkan data dan informasi yang dihasilkan Riskesdas dalam merumuskan kebijakan dan mengembangkan program kesehatan, demi terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Saya juga mengundang para pakar perguruan tinggi, para pemerhati kesehatan, para peneliti Badan Litbangkes, dan para anggota APKESI (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia) untuk mengkaji hasil Riskesdas 2013, guna mengindentifikasi asupan bagi peningkatan Pembangunan Kesehatan dan penyempurnaan Sistem Kesehatan Nasional. Dengan demikian dapat dikembangkan tatanan kesehatan yang semakin baik bagi Rakyat Indonesia. Ucapan selamat dan apresiasi saya sampaikan kepada para responden, enumerator, para penanggung jawab teknis Badan Litbangkes dan Poltekkes, para penanggung jawab operasional dari Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, para pakar dari universitas dan BPS, serta semua pihak yang terlibat dalam Riskesdas 2013 ini. Peran dan dukungan anda sangat penting dalam mendukung upaya menyempurnakan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pembangunan Kesehatan di negeri ini. Semoga buku ini bermanfaat. Billahitaufiq walhidayah, Wassalamu alaikum wr. wb. Jakarta, 1 April 2014 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dr. dr. Trihono, MSc iii

6

7 RINGKASAN HASIL RISKESDAS 2013 Laporan ini berisi hasil-hasil dari Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (Riskesdas 2013) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) untuk Provinsi Banten. Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama telah dilakukan, meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007). Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi. Desain Riskesdas adalah potong-lintang (cross-sectional) dengan jumlah sampel sebanyak rumah tangga dari 271 Blok Sensus (BS) yang berada di 8 kabupaten/kota. Jumlah rumah tangga pada setiap BS adalah 25 rumah tangga. Tidak semua rumah di semua BS dapat dikunjungi dan disurvei, maka response rate rumah tangga sebesar rumah tangga (98,58%) dan individu sebesar individu (92,27%). Pengumpulan data dilakukan oleh enumerator yang berlatarbelakang pendidikan minimal Diploma III Kesehatan dari kabupaten/kota di Provinsi Banten yang memenuhi syarat recruitment dan telah dilatih terlebih dahulu. Data yang telah dikumpulkan di masing-masing BS kemudian dimasukkan dalam program secara bertahap yang merupakan bagian dari sistem manajemen data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Data yang telah masuk ke dalam sistem manajemen data kemudian dibersihkan, diolah dan dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam dua buku. Buku 1 memuat tentang beberapa indikator dan variabel penting yang disajikan dalam bentuk gambar dan tabel, sedangkan semua variabel Riskesdas dalam tabel disajikan pada buku 2 yaitu Provinsi Banten dalam Angka (Riskesdas 2013). Hasil-hasil Riskesdas Provinsi Banten 2013 sebagai berikut: 1. Akses dan Pelayanan Kesehatan Akses dan pelayanan kesehatan meliputi pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan menurut moda transportasi berdasarkan kabupaten/kota, karakteristik tempat tinggal dan indeks kepemilikan aset. Untuk Provinsi Banten, 67,0 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 60,5 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Kota Serang (90,4%) sedangkan terendah di Kabupaten Tangerang (59,5%). Proporsi pengetahuan rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 42,1 persen dan perdesaan 27,9 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor di perkotaan 58,8 persen dan perdesaan 50,8 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 7,8 persen dan perdesaan 13,0 persen. 2. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik v

8 (OG) dan sumber informasi tentang OG. Terdapat 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdiri dari obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 28,8 persen dan antibiotika 21,3 persen. Rumah tangga yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kota Tangerang Selatan (54,4%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (20,2%). Dari 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 82,3 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Secara provinsi 50,9 persen rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa resep (38,9%). Terdapat 37,8 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,7%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Sebesar 83,6 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,6 persen obat program pemerintah. Sejumlah 42,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu dipromosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik di masyarakat. Sejumlah (33,0%) dari rumah tangga di Provinsi Banten memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (78,4%) dan ramuan (40,7%). Proporsi rumah tangga dengan alasan utama coba-coba cukup tinggi untuk Yankestrad keterampilan dengan pikiran (16,5%), perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya dampak negatif dari cara pengobatan yang belum terstandarisasi. 3. Kesehatan Lingkungan Lingkup kesehatan lingkungan meliputi air untuk keperluan rumah tangga, air minum, sanitasi, status kepemilikan rumah dan kondisinya. Data kondisi rumah meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk penerangan dan memasak, serta penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD dan malaria). Klasifikasi jenis sumber air minum digunakan kriteria Joint Monitoring Programme (JMP) antara WHO UNICEF Menurut JMP tersebut, jenis sumber air minum dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber air minum improved dan sumber air minum unimproved. Yang termasuk klasifikasi sumber air minum improved adalah ledeng/pdam, sumur bor/pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan penampungan air hujan (PAH). Sedangkan sumber air minum unimproved meliputi air kemasan (bottle water), air isi ulang, air dari tangki truk, sumur gali tak terlindung, dan mata air tak terlindung. Namun apabila rumah tangga tersebut menggunakan sumber air untuk keperluan lain seperti memasak dan untuk keperluan kebersihan diri (personal hygiene) menggunakan sumber air yang improved, maka air kemasan termasuk dalam klasifikasi sumber air minum improved. Pengertian improved tidak berarti lebih baik kualitas air minumnya, tetapi lebih menekankan pada keberlanjutan ketersediaan dan aspek ekonominya. Air kemasan maupun air isi ulang umumnya lebih mahal harganya daripada air ledeng/pdam. Selanjutnya, proporsi akses air minum improved tersebut akan dibandingkan pula dengan target MDGs nasional pada tahun 2015 untuk air minum sebesar 68,87 persen, dengan rincian untuk perkotaan sebesar 75,29 persen dan perdesaan sebesar 65, 81 persen. Kota Tangerang Selatan paling tinggi proporsinya dalam memenuhi kebutuhan air minum dari sumber yang improved, yaitu sebesar 82,8 persen kemudian diikuti oleh Kabupaten Lebak (80,3%) dan Kabupaten Pandeglang (70,8%). Ke tiga kabupaten dan kota tersebut memiliki cakupan melebihi cakupan provinsi Banten yang hanya 65 persen. vi

9 Bila dibandingkan dengan target nasional dalam mencapai tujuan ke 7 dari MDGs tentang akses rumah tangga terhadap air minum improved, ke tiga kabupaten dan kota tersebut di atas telah melampauinya, walaupun masih 2 tahun lagi dari target MDGs. Sebaliknya, ke lima kabupaten dan kota lainnya (Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang) masih ketinggalan, baik bila dibandingkan dengan proporsi Provinsi Banten maupun target MDGs. Di antara delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, seluruh rumah tangga di Kabupaten Lebak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi air bagi setiap anggotanya minimum 20 liter atau lebih perhari dan merupakan wilayah yang tertinggi. Sebaliknya, proporsi terendah adalah Kabupaten Tangerang yaitu sebesar 93,9 persen. Secara umum, proporsi kelompok dewasa laki-laki yang mengambil air semakin meningkat searah dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan yang tertinggi adalah pada kuintil terendah, dan menurun seiring dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok ekonomi terendah, beban perempuan dalam pengambilan air untuk keperluan rumah tangga masih tinggi. Dalam hal sanitasi dasar, Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang paling besar dalam kepemilikan sanitasi improved (93,5%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang (46,4%). Bila dibandingkan dengan target nasional MDGs bidang sanitasi (62,4%), Banten telah memenuhi target. Sedangkan kabupaten/kota yang memenuhi target adalah lima kabupaten /kota, yaitu Kota Tangerang Selatan (93,5%), Kota Cilegon (87,2%), Kota Serang (80,9%) Kota Tangerang (80,1%), dan Kabupaten Tangerang (64.4%). Pengelolaan sampah domestik yang baik belum merupakan upaya maksimal yang dilakukan oleh kabupaten/kota yang ada di Banten karena masih banyak rumah tangga yang membakar dan membuang sampahnya secara sembarangan. Hanya 1,8 persen rumah tangga perdesaan dan 48,5 persen di perkotaan yang mengelola sampahnya dengan baik. 4. Penyakit Menular Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ispa, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis). Lima daerah dengan period prevalence ISPA tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (32,1%), Kabupaten Tangerang (29,1%), Kota Serang (28,7%), Kabupaten Serang (27,3%), dan Kota Tangerang (25,7%). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan 3,8 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Pandeglang (3,0% dan 5,7%), Kota Tangerang (2,3% dan 5,9%), Kota Serang (2,0% dan 4,4%), Kabupaten Serang (1,9% dan 4,0%), dan Kota Cilegon (1,8% dan 6,1%). Prevalensi penduduk Banten yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan (nakes) tahun 2013 adalah 0.4 persen. Kabupaten Serang adalah daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi (0,9%) sedangkan dua daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi berikutnya ada di Kabupaten Pandeglang dan Kota Serang dengan prevalensi masing-masing 0,6 persen. Prevalensi hepatitis Banten sebesar 0,7 persen. Dua daerah dengan prevalensi hepatitis tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (1,4%) dan Kota Cilegon (1,0%) sedangkan Period prevalence diare Banten 6,4 persen dan insiden diare untuk seluruh kelompok umur adalah 3,5 persen. Insiden malaria pada penduduk Banten adalah 1,4 persen sedangkan prevalensi malaria adalah 4,3 persen. Empat daerah dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (4,4% dan 8,5%), Kota Cilegon (2,2% dan 7,1%), vii

10 Kota Tangerang (2,0% dan 6,3%) dan Kota Serang (1,7% dan 15,1%). Insiden dan prevalensi malaria terendah di Kabupaten Lebak (0,2% dan 1,1%). 5. Penyakit Tidak Menular (PTM) Prevalensi PTM merupakan gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Kota Tangerang (6,6%), diikuti Kota Serang (5,6%), Kota Cilegon (4,9%), dan Kabupaten Pandeglang (4,2%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (4,6%), diikuti Kota Tangerang (3,5%), Kota Serang (3,0%), dan Kabupaten Tangerang (2,7%). Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Kota Tangerang (2,4 ), diikuti Kota Tangerang Selatan (1,9 ), Kota Serang (1,7 ), Kabupaten Tangerang (0,8 ), dan Kabupaten Pandeglang (0,5 ). Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Prevalensi diabetes (DM) dan hipertiroid di Banten berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi maupun yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di empat kabupaten/kota yang sama, yaitu Kota Cilegon (2,2% dan 2,8%), Kota Tangerang (1,8% dan 2,5%), Kota Tangerang Selatan (1,7% dan 1,9%) dan Kabupaten Tangerang (1,4% dan 1,7%). Sedangkan prevalensi hipertiroid tertinggi di Kota Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 0,9%), Kota Serang (0,7%), dan Kota Tangerang Selatan (0,4%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 23,0 persen, tertinggi di Kota Tangerang (24,5%), diikuti Kabupaten Tangerang (23,6%), Kabupaten Pandeglang (23,2%) dan Kabupaten Lebak (22,7%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan dan yang didiagnosis nakes serta minum obat masing-masing 8,6 persen. Jadi, responden yang terdiagnosis hipertensi oleh nakes seluruhnya minum obat sendiri. Prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,0 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Tangerang Selatan (1,0%) diikuti Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang masing-masing 0,8 persen, 0,7 persen, dan 0,6 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (2,2%) diikuti Kota Cilegon (2,1%), Kota Serang (1,3%) dan Kota Tangerang Selatan (1,2%). Prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,09 persen dan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kabupaten Tangerang (0,20%), disusul Kota Tangerang Selatan (0,15%) dan Kabupaten Serang (0,07%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Prevalensi stroke di Banten berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 5,1 permil dan yang terdiagnosis nakes dan gejala sebesar 9,6 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kota Tangerang Selatan (7,7 ), diikuti Kabupaten Pandeglang (6,6 ), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang masingmasing 5,1 permil dan 5,0 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (17,0 ), viii

11 Kabupaten Serang (12,4 ), Kota Cilegon (9,7 ), diikuti Kota Tangerang sebesar 9,1 permil. Prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi PJK tertinggi pada kelompok umur tahun yaitu 2,4 persen menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun ke atas. Berdasar tingkat pendidikan, prevalensi PJK tertinggi pada masyarakat dengan pendidikan paling tinggi (1,1% dan 1,5%). Begitu pula berdasar tingkat kepemilikan, prevalensi PJK tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas yaitu 1,2 persen dan 1,4 persen. Berdasar PJK terdiagnosis dokter maupun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala prevalensi lebih tinggi diperkotaan daripada diperdesaan. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes dan yang didiagnosis nakes dengan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi tertinggi pada umur 75 tahun ke atas (53,8 dan 91,7 ). Prevalensi yang terdiagnosis tenaga kesehatan lebih tinggi pada wanita (5,5 berbanding 3,8 ), demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala lebih banyak pada kelompok perempuan daripada laki-laki (10,8 berbanding 8,4 ). Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Banten sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 0,4 persen, diikuti oleh Kabupaten Serang (0,3%), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Sementara Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang masing masing 0,1 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Banten sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (0,9%), diikuti oleh Kabupaten Pandeglang (0,8%) dan Kota Tangerang (0,7%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di Banten 9,5 persen dan berdasarkan diagnosis dan gejala 20,6 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kabupaten Pandeglang (21,0%), diikuti oleh Kabupaten Lebak (13,0%), Kota Tangerang (9,5%) dan Kabupaten Serang (9,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala, tertinggi di Kabupaten 6. Cedera Pandeglang (37,7%), diikuti oleh Kota Cilegon (22,6%) dan Kota Tangerang (22,4%). Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter tertinggi pada kelompok umur tahun (0,4%) kemudian mengalami penurunan pada kelompok umur tahun (0,2%) dan taun (0,1%) namun kembali meningkat pada kelompok umur 75 tahun ke atas (0,2%). Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (1,4%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,5%) dibanding perempuan (0,3%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah (0,9%), masyarakat perdesaan (0,5%) serta masyarakat petani/nelayan/ buruh (0,6%) dan status ekonomi kuintil indeks kepemilikan terbawah (0,6%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala. Prevalensi tertinggi pada umur 75 tahun ke atas (37,9% dan 58,4%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (11,6%) dibanding laki-laki (7,4%) demikian juga yang didiagnosis nakes dengan gejala pada perempuan (24,2%) lebih tinggi dari laki-laki (17,1%). Prevalensi cedera menurut provinsi adalah 9 persen. Prevalensi cedera tertinggi ditemukan di Kota Serang (13,7%) dan terendah di Kota Tanggerang Selatan (3,0%). Kabupaten/ kota yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka provinsi sebanyak lima kabupaten/kota. Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (45,1%) dan jatuh (38,4%). Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0% ix

12 meliputi transportasi darat lain (7,5%), terkena benda tajam/tumpul (6,2%), kejatuhan (1,9%), terbakar (0,6%), gigitan hewan (0,1%) dan lainnya (0,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan (60,1 persen) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (35,3%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kota Serang (10,7%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Lebak (2,8%). Proporsi jatuh tertinggi di Kabupaten Lebak (46,5%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (23,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Kabupaten Serang (11,0%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (3,6%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Kota Serang (1,4%) dan terendah (tanpa kasus) di Kabupaten Lebak, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (0,5%) dan terendah (tanpa kasus) terjadi di 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang (3,3%) dan terendah (tanpa kasus) di Kota Tangerang Selatan. Secara provinsi, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,4 persen selanjutnya di rumah (40,9%), sekolah (5,5%) dan olahraga (3,8%). Kabupaten/ kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kabupaten Serang (49%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (24,7%). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kota Cilegon (8,5%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,9%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka provinsi sebanyak 4 kabupaten/ kota Proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah di Kabupaten Serang (29,2%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri, proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka provinsi (3,3%) yaitu 10,6 persen, terjadi di Kabupaten Pandeglang dan terendah di Kota Tangerang (tanpa kasus). Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera pada perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan, kecuali pada area pertanian dan tempat terjadinya cedera lainnya. Menurut kuintil indeks kepemilikan tampak bahwa mayoritas kecenderungan proporsi semakin tinggi seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di area pertanian yang menunjukkan sebaliknya, yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di tempat tersebut semakin rendah. Sedangkan untuk tempat kejadian selain tempat-tempat tersebut menunjukan pola yang tidak teratur. 7. Kesehatan Gigi dan Mulut Proporsi penduduk umur 10 tahun ke atas sebagian besar (97,1%) menyikat gigi setiap hari. Daerah dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (98,9%) dan terendah Kabupaten Serang (95,3%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi pagi, yaitu sebesar 96,9 persen dengan urutan tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 98,3 persen, dan yang terendah di Kota Cilegon sebesar 95,6 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Banten hanya 1,5 persen, Kota Tangerang Selatan tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar yaitu 4,5 persen. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa Decayed/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan x

13 8. Disabilitas belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filled/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Indeks DMF-T Indonesia sebesar 3,7 dengan nilai masing-masing: D-T=1,6; M-T=2,0; F-T=0,09; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 370 buah gigi per 100 orang. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin. Sebanyak 5,9 persen penduduk Banten mengalami kesulitan berdiri dalam waktu lama, Kesulitan untuk berjalan jauh dialami oleh 5,7 persen penduduk banten, dan 5,1 persen penduduk Banten. Prevalensi penduduk Banten dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 5,1 persen, bervariasi dari yang tertinggi di Kota Cilegon (9,9%) dan yang terendah di Kota Tangerang Selatan (2,6%). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata rata penduduk Banten tidak dapat berfungsi optimal selama 5,1 hari. Rerata hari produktif hilang tertinggi di Kabupaten Lebak (8,7 hari) dan terendah di Kota Serang (3,2 hari). 9. Kesehatan Jiwa Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Prevalensi gangguan jiwa berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat nasional (1,7 ). Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung anggotanya yang mengalami gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak di perdesaan. Rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. 10. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) di jamban dan perilaku mencuci tangan dengan air dan sabun. Rerata perilaku BAB di jamban di Provinsi Banten adalah 83,3 persen. Proporsi terendah ada di Kabupaten Lebak (62,6%) dan tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (99,7%). Proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Banten adalah 48,3 persen, dengan proporsi terendah ada di Kabupaten Pandeglang (28,5%) dan tertinggi Kota Tangerang Selatan (78,5%). Proporsi perokok saat ini di Banten sebesar 31,3 persen. Proporsi perokok saat ini terbanyak di Kabupaten Pandeglang dengan perokok setiap hari 31,5 persen dan kadang-kadang merokok 3,3 persen. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari tertinggi ada pada kelompok umur tahun (35,9%) dan terendah tahun (0,4%). Proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (49,9% banding 1,2%). xi

14 Rerata batang rokok yang dihisap per orang per hari di Banten adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kota Serang (13 batang). Dalam Riskesdas 2013 indikator yang dapat digunakan untuk PHBS berbeda dengan indicator PHBS pada Riskesdas 2007, yaitu sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun Secara umum proporsi rumah tangga dengan PHBS baik di Banten adalah 34,2 persen, dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah Kabupaten Lebak (12,7%). 11. Pembiayaan Kesehatan Hasil Riskesdas menunjukkan 54,5 persen penduduk Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 4,8 persen penduduk, asuransi kesehatan swasta sebesar 3,7 persen, tunjangan kesehatan perusahaan sebesar 4,3 persen dan kepemilikan Jamkesda sebesar 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (23,9%) dan Jamsostek (8,7%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk individu yang sama. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (66,8%), sedangkan yang terendah adalah pegawai (40,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 49,4 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamsostek. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 54,5 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Penduduk daerah perdesaan lebih banyak yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau di warung (29,9%) dari pada perkotaan (26,6%). Sebaliknya dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan perkotaan lebih besar, yaitu sebesar Rp.3.000, lebih besar dari angka provinsi (Rp.2.000). Di perdesaan, median biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp.1.500,-. Sebanyak 9,7 persen penduduk Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp ,-. Penduduk Kota Cilegon merupakan daerah tertinggi yang melakukan rawat jalan (15,2%) dengan median biaya sebesar Rp Penduduk Kota Tangerang Selatan merupakan yang terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,2%) namun dengan pengeluaran rerata sebesar Rp yang juga merupakan pengeluaran tertinggi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. 12. Kesehatan Reproduksi Proporsi penggunaan KB saat ini di Banten 61,4 persen. Proporsi penggunaan KB terendah di Kota Tangerang Selatan (50,6%) dan tertinggi Kabupaten Lebak (71,1%). Sedangkan proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Kota Serang (12,2%) dan terendah di Kota Cilegon (7,7%). Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/iud, diafragma dan kondom. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kabupaten Lebak (67,4%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (38,9%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Kota Serang (11,5%) dan paling rendah di Kabupaten Pandeglang (2,8%). Sebanyak 95,6 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 90,8 persen (Kabupaten Pandeglang) dan 99,7 persen (Kota Cilegon). xii

15 Namun untuk ANC minimal 4 kali, Kota Tangerang Selatan (94,6%) merupakan wilayah dengan cakupan paling tinggi dibanding wilayah lainnya. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (88,4%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (55,5%), Posyandu (17,7%) dan Puskesmas/Pustu (10,2%). Sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (65,4% dan 62,0%). Sehingga penolong linakes (persalinan dengan tenaga kesehatan) untuk kualifikasi tertinggi sebesar 84,1 persen dan kualifikasi terendah adalah 76,3 persen. 13. Kesehatan Anak dan Imunisasi Persentase BBLR di Banten (9,7%) dengan persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Serang (14,4%) dan terendah di Kota Tangerang dan Kota Cilegon masing-masing sebesar (6,0%). Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Kota Tangerang (69,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (13,3%). Secara provinsi, terdapat 10,4 persen anak bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Kota Serang (23,1%) dan terendah di Kota Tangerang, tanpa kasus. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (53,1%) daripada di perdesaan (29,9%) dan terdapat 14,9 persen anak umur bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 67,0 persen, kabupaten/kota dengan persentase KN1 tertinggi adalah Kota Tangerang (84,9%) dan terendah di Kabupaten Serang (43,5%). Frekuensi penimbangan > 4 kali pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu sebesar 35,9%. Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sedikit lebih rendah (33,9%) begitu pula dengan frekuensi penimbangan 1-3 kali (30,2%). 14. Status Gizi Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 76,8% lebih rendah daripada di perdesaan (83,8%). Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan tampak persentase tertinggi pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun pada kuintil menengah bawah dan terendah pada kuintil teratas (64,7%). Di Provinsi Banten, prevalensi berat-kurang (underweight) pada balita sebesar 17,2 persen, terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Prevalensi berat-kurang Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi berat-kurang nasional tahun 2013 (19,6%). Prevalensi balita berat-kurang tertinggi ialah di Kabupaten Serang (24,4%) dan terendah di Kota Tangerang (10,9%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi berat-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30 persen. Pada tahun 2013, prevalensi gizi berat-kurang pada anak balita di Provinsi Banten sebesar 17,2 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mendekati prevalensi tinggi. Prevalensi balita pendek di Provinsi Banten sebesar 33 persen, yang terdiri dari 16,4 persen sangat pendek dan 16,6 persen pendek. Prevalensi balita pendek di Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (37,2%). kabupaten/kota dengan prevalensi balita pendek tertinggi ialah Kabupaten Pandeglang (38,6%) dan terendah ialah Kota Tangerang (28,6%). xiii

16 15. Kesehatan Indera Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-e (dengan dan tanpa pin-hole) pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas Prevalensi kebutaan Provinsi Banten pada Riskesdas 2013 sebesar 0,3 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional (0,4%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, masing-masing 1,1%, diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak (masing-masing 0,2% dan 0,1%). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,0 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,3 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 54 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia. xiv

17 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i KATA PENGANTAR... ii SAMBUTAN... iiii RINGKASAN HASIL RISKESDAS iv DAFTAR ISI... xv DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... xxi Daftar Singkatan... xxvi BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ruang lingkup Riskesdas Pertanyaan Penelitian Tujuan Riskesdas Kerangka Pikir Alur Pikir Riskesdas Pengorganisasian Riskesdas Manfaat Riskesdas Persetujuan Etik Riskesdas BAB 2 METODOLOGI RISKESDAS Disain Lokasi Populasi dan Sampel Variabel Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data Manajemen Data Keterbatasan Riskedas Pengolahan dan Analisis Data Gambaran Umum Provinsi Banten BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Akses dan Pelayanan Kesehatan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Kesehatan Lingkungan Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Cedera Kesehatan Gigi dan Mulut Disabilitas Kesehatan Jiwa xv

18 3.10 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pembiayaan Kesehatan Kesehatan Reproduksi Kesehatan Anak dan Imunisasi Status Gizi Kesehatan Indera DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvi

19 DAFTAR TABEL Tabel Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan persepsinya tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Banten Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber energi untuk penerangan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Insiden dan prevalen malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Insiden dan prevalen malaria menurut karakteristik, Provinsi Banten xvii

20 Tabel Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur 15 tahun dan hipertensi pada umur 18 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan strokepada umur 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendipada umur 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Komponen D, M, F, dan index DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Banten Tabel Indikator Disabilitas menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Banten Tabel Indikator Disabilitas menurut Karakteristik Responden, Provinsi Banten Tabel Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi Penduduk Umur 10 Tahun yang Berperilaku Benar Dalam Buang Air Besar dan Cuci Tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten xviii

21 Tabel Proporsi Penduduk Umur 10 Tahun menurut Kebiasaan Merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi Penduduk Umur 10 Tahun menurut Kebiasaan Merokok dan Karakteristik, Provinsi Banten Tabel Rerata Jumlah batang Rokok yang Dihisap Penduduk Umur 10 Tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten, Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun sesuai jenis aktivitas fisik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun dengan perilaku konsumsi berisiko menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanyamenurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Tabel Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Tabel Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Provinsi Banten Tabel Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase kunjungan neonatal pada anak umur 0-59 bulanmenurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3) pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten xix

22 Tabel Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase proses mulai menyusui anak umur 0-23 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun yang menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik,provinsi Banten Tabel Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Provinsi Banten Tabel Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Tabel Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur 5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Banten xx

23 DAFTAR GAMBAR Gambar Kerangka pikir Riskesdas 2013 (dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep model BLUM... 3 Gambar Alur pikir Riskesdas Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota,provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menurut fasilitas kesehatan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan,provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut tempat tinggal Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang sumber air minumnya improved menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender yang biasa mengambil air minum, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air menurut gender dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang konsumsi air perharinya memenuhi standar minimum, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan air per harinya memenuhi akses dasar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang konsumsi air per harinya memenuhi standar minimum menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut tempat tinggal, Provinsi Banten xxi

24 Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kuintil indeks kepemilikan aset, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air sebelum diminum, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah domestik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan status bangunan tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga menurut kepemilikan rumah dan karakteristiknya, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pencegahan gigitan nyamuk, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi per minggu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi menurut karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut karakteristik, Provinsi Banten Gambar Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Period prevalence pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten xxii

25 Gambar Insidensi pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Provinsi Banten Gambar Prevalensi TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi Hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Insidens Diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Insiden Malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Provinsi Banten Gambar Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi penduduk 10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi penduduk 10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko, Provinsi Banten Gambar Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut frekuensi makanan bersumber tepung terigu 1 kali/hari, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik Gambar Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Gambar Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Banten Gambar Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Banten Gambar Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Banten Gambar Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkankelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkankelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatandalam mendapatkan pelayanan KB, Banten Gambar Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi kelahiran yang melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Banten Gambar Proporsi kelahiran yang menurut konsumsi zat besi (Fe) dan jumlah yang dikonsumsi,provinsi Banten xxiii

26 Gambar Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Banten Gambar Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancaramenurut karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Banten Gambar Proporsi kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin dan kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Persentase kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut tempat bersalin di RS vs di rumah/lainnya dan karakteristik, Provinsi Banten Gambar Proporsi kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut pelayanan pemeriksaan masa nifas, Provinsi Banten Gambar Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR) pada balita, Provinsi Banten 2013* Gambar Kunjungan neonatal, neonatal lengkap, dan tidak kunjungan neonatal, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Provinsi Banten Gambar Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan balita 4 kali dalam 6 bulan terakhirmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi status gizi BB/U <-2SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pendek anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi kurus (IMT/U) anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Banten Gambar Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pendek remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten xxiv

27 Gambar Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur tahun menurut Kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>18 tahun)menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi risiko KEK wanita usia subur (WUS) Tidak Hamil tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi kebutaan pada responden umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Banten Gambar Prevalensi pterygiumdan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Gambar Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Banten Gambar Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur 5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten xxv

28 Daftar Singkatan µg/l : microgram per Liter ACT : Artemisinin-based combination therapy ADA : American Diabetes Assocation Amanat Persalinan : Menyambut Persalinan Agar Aman dan Selamat ANC : Antenatal care ANC 4x + : proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan. APN : Asuhan Persalinan Normal ART : Anggota Rumah Tangga Asabri : Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ASI : Air Susu Ibu Askes : Asuransi kesehatan BAB : Buang air besar Badan Litbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balita : Bawah lima tahun BB : Berat Badan BB/TB : Berat badan/tinggi Badan BB/U : Berat badan/umur BBLR : Berat Badan Lahir Rendah BP : Balai Pengobatan BPS : Badan Pusat Statistik BS : Blok Sensus Buku KIA : Buku Kesehatan Ibu dan Anak CPR : Contraceptive Prevalence Rate D : Diagnosis dokter/tenaga kesehatan D1 : Diploma 1 D3 : Diploma 3 DG : Diagnosis atau gejala Dinkes : Dinas Kesehatan DM : Diabetes Mellitus DO : Diagnosis tenaga kesehatan atau minum obat sendiri EIU : Eksresi Iodium Urin EKG : Elektro Kardio Gram EMD : Effective Medical Demand FKM : Fakultas Kesehatan Masyarakat G : Gejala klinis spesifik penyakit GAKI : Gangguan Akibat Kekurangan Iodium GATS : Global Adults Tobacco Survey GDP : Glukosa Darah Puasa GDPP : Glukosa Darah Pasca Pembebanan GDS : Glukosa Darah Sewaktu GGK : Gagal ginjal kronik Hb : Hemoglobin HDL : High-Density Lipoprotein HIV/ AIDS : Human Immunodeficiency Virus Infection / Acquired Immunodeficiency Syndrome ICCIDD : International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders ICF : International Classification of Functioning IFCC : International Federation of Clinical Chemistry IMD : Inisiasi Menyusu Dini IMT : Indeks Massa Tubuh Indeks DMF-T : Penjumlahan dari D(Decay), M(Missing), F(Filling)-T (teeth) IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat xxv

29 ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut IU : International Unit IUD : Intra Uterine Device Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja JMP : Joint Monitoring Programme JNC : Joint National Committee JPK : Jaminan Pemeliharaan Kesehatan K1 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 1 kali tanpa memperhitungkan periode waktu pemeriksaan K1 ideal : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil pertama kali pada trimester 1 K4 : Proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan ibu hamil selama 4 kali dan memenuhi kriteria yaitu minimal 1 kali pada trimester 1, minimal 1 kali pada trimester 2 dan minimal 2 kali pada trimester 3. Kadinkes : Kepala Dinas Kesehatan Kasie litbang : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Kasie Litbangda : Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan Daerah Kasie puldata : Kepala Seksi Pengumpulan Data Kasubdin : Kepala Sub Dinas Katim : Ketua Tim KB : Keluarga Berencana KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga KEK : Kurang Energi Kronis KEPK : Komisi Etik Penelitian Kesehatan Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan Kespro : Kesehatan Reproduksi KF : Pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. KIA : Kesehatan Ibu dan Anak KIO3 : Kalium Iodat KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi KK : Kepala Keluarga KLB : Kejadian Luar Biasa KMS : Kartu Menuju Sehat KN : Kunjungan Neonatal Korwil : Koordinator Wilayah Lansia : Lanjut usia LDL : Low-Density Lipoprotein LH : Lahir Hidup LiLA : Lingkar Lengan Atas Linakes : Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan) LM : Lahir Mati LN : Luar Negeri LP : Lingkar Perut MDGs : Millennium Development Goals Menkes : Menteri Kesehatan MI : Missing Indeks MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang MPASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu Nakes : Tenaga Kesehatan NCEP-ATP III : National Cholesterol Education Program- Adult Treatment Panel III NLIS : Nutrition Landscape Information System Non MKJP : Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang xxvi

30 OAT : Obat Anti Tuberkulosis OG : Obat Generik OT : Obat Tradisional P4K : Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi PB : Panjang Badan PBTDK : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan PCA : Principal Component Analysis PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi PDBK : Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan PERDAMI : Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia PERHATI : Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan Perpres : Peraturan Presiden PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat PJK : Penyakit Jantung Koroner PM : Penyakit Menular PMT : Pemberian Makanan Tambahan PNS : Pegawai Negeri Sipil Polindes : Pondok Bersalin Desa Poltekkes : Politeknik Kesehatan Poskesdes : Pos Kesehatan Desa Poskestren : Pos Kesehatan Pesantren Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PPI : Program Pengembangan Imunisasi Ppm : Part per million PPS : Probability Proportional To Size PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronis PSU : Primary Sampling Unit PT : Perguruan Tinggi PTI : Performance Treatment Index PTM : Penyakit Tidak Menular PUS : Pasangan Usia Subur Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat Pustu : Puskesmas Pembantu PWS KIA : Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak RB : Rumah Bersalin RDT : Rapid Diagnostic Test RI : Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RKD : Riskesdas RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RS : Rumah Sakit RT : Rumah Tangga RTI : Required Treatment Index SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah SDM : Sumber Daya Manusia SKN : Sistem Kesehatan Nasional SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMA/MA : Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah SMP/MTS : Sekolah Menengah Pertama/MadrasahTsanawiyah SP 2010 : Sensus Penduduk 2010 SPK : Standar Pelayanan Kebidanan SRQ : Self Reporting Questionnaire STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional xxvii

31 TB : Tinggi Badan TB : Tuberkulosis TB/U : Tinggi badan/umur TGT : Toleransi Glukosa Terganggu TKP : Tempat Kejadian Perkara TNI/Polri : Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian RI U : Ukur UI : Universitas Indonesia UKBM : Upaya kesehatan Bersumberdaya Masyarakat UNAIR : Universitas Airlangga UNHAS : Universitas Hasanuddin UNICEF : United Nations Children s Fund USI : Universal Salt Iodization UU : Undang Undang WG : Washington Group WHO : World Health Organization WHODAS 2 : WHO Disability Assessment Schedule 2 WUS : Wanita Usia Subur Yankestrad : Pelayanan Kesehatan Tradisional xxviii

32 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Visi rencana pembangunan jangka panjang nasional adalah Indonesia yang maju, adil dan makmur. Visi tersebut direalisasikan pada delapan misi pembangunan. Misi pembangunan kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan; dan menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik. Sistem kesehatan nasional pada tahun 2012 memasukkan penelitian dan pengembangan dalam salah satu sub sistem dari tujuh sub sistem yang ada (UU No 17 Tahun 2000). Untuk mencapai visi dan misi di atas, maka salah satu strategi Kementerian Kesehatan RI adalah Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan serta berbasis bukti dengan mengutamakan pada upaya promotif dan preventif. Untuk itu diperlukan data kesehatan berskala nasional berbasis fasilitas maupun komunitas yang dikumpulkan secara berkesinambungan dan dapat dipercaya (SKN, PP Nomor 72 Tahun 2012). Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan. Pada buku ini laporan difokuskan pada hasil pelaksanaan Riskesdas di Provinsi Banten. Pada tahun 2007, Riskesdas pertama meliputi indikator kesehatan utama, yaitu status kesehatan (penyebab kematian, angka kesakitan, angka kecelakaan, angka disabilitas, dan status gizi), kesehatan lingkungan, konsumsi gizi rumah tangga, pengetahuan-sikap-perilaku kesehatan (Flu Burung, HIV/AIDS, perilaku higienis, penggunaan tembakau, minum alkohol, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan) dan berbagai aspek mengenai pelayanan kesehatan (akses, cakupan, mutu layanan, pembiayaan kesehatan), termasuk sampel darah anggota rumah tangga (kecuali bayi) pada sub sampel daerah perkotaan (Balitbangkes, 2007). Hasil Riskesdas 2007 telah banyak dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan dan penyelenggara program kesehatan baik dipusat maupun daerah. Selain telah digunakan sebagai bahan penyusunan RPJMN , data Riskesdas juga telah digunakan sebagai dasar penyusunan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) (Balitbangkes, 2010) yang berguna untuk membuat peringkat kabupaten/kota berdasarkan hasil pembangunan kesehatan serta sebagai dasar Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) (Permenkes No. 27 Tahun 2012). Pada tahun 2013 dilakukan kembali Riskesdas yang serupa dengan tahun 2007 yaitu dengan keterwakilan sampel hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut mewakili tingkat provinsi dan sampel biomedis mewakili tingkat nasional. Tahapan persiapan Riskesdas 2013 telah dilakukan selama satu tahun pada 2012, diawali dengan meninjau kembali indikator kesehatan yang dikumpulkan pada Riskesdas 2007 untuk meningkatkan kualitas data. Selanjutnya beberapa indikator ditambahkan seperti Pemukiman dan Ekonomi, Farmasi dan pelayanan kesehatan tradisional, Kesehatan Mental ditambah informasi mengenai gangguan jiwa berat dan pasung, Kesehatan Reproduksi, Frekuensi Konsumsi Makanan Olahan yang Bersumber dari Tepung Terigu, Kesehatan Indera Pendengaran, Pemeriksaan Iodium dalam Air dan Pemeriksaan Iodium Urin pada Wanita Usia Subur (WUS). Indikator status ekonomi dikembangkan dari komposit variable aset, yang termasuk dalam Blok IX Pemukiman dan Ekonomi. Untuk merespon polemik mengenai sunat perempuan, pada Riskesdas 2013 ditambahkan informasi sunat perempuan. Sebaliknya ada satu indikator Riskesdas 2007 yang tidak dikumpulkan, seperti konsumsi gizi rumah tangga dengan alasan akan dilakukan survei tersendiri. Demikian pula ada beberapa variabel yang tidak 1

33 dikumpulkan antara lain ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang HIV/AIDS, kebiasaan minum minuman beralkohol, pengetahuan tentang flu burung, dan kebisingan di sekitar rumah tangga. 1.2 Ruang lingkup Riskesdas 2013 Seperti telah diuraikan sebelumnya, fokus Riskesdas 2013 ini adalah untuk mengumpulkan data berbasis masyarakat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi perubahan status kesehatan di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional termasuk IPKM dan indikator MDGs kesehatan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian untuk Riskesdas 2013 yaitu: 1) Bagaimanakah pencapaian status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2013? 2) Apakah telah terjadi perubahan masalah kesehatan spesifik disetiap provinsi, dan kabupaten/kota dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013? 3) Apa dan bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi status kesehatan masyarakat di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota? 4) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan masalah kesehatan? 5) Bagaimana korelasi antar faktor terhadap status kesehatan? Laporan ini baru dapat menjawab pertanyaan penelitian 1 dan 2 sedangkan pertanyaan penelitian 3,4 dan 5 akan dilaporkan tahun 2014 dalam bentuk analisis lanjut. 1.4 Tujuan Riskesdas 2013 Tujuan Umum: Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administrasi. Tujuan Khusus: 1) Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumber daya di berbagai tingkat administrasi. 2) Menyediakan peta status dan masalah kesehatan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada tahun ) Menyediakan informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari tahun 2007 ke tahun ) Menilai kembali disparitas wilayah kabupaten/kota menggunakan IPKM. 5) Mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan perubahan status kesehatan. 2

34 1.5 Kerangka Pikir FUNGSI SISTEM KESEHATAN TUJUAN SISTEM KESEHATAN Visi, Misi, Strategi, dan Kebijakan Pendidikan, Pekerjaan, Status Ekonomi Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Kesehatan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Pembiayaan Kesehatan Manajemen Sumber Daya Akses Pelayanan Kesehatan Pemerataan & Keadilan Pembiayaan Kesehatan : tidak dikumpulkan dalam Riskesdas 2013 Derajat Kesehatan Kesehatan Lingkungan Status Gizi Kesehatan Reproduksi Kesehatan Bayi dan Balita Morbiditas Penyakit Menular Penyakit Tidak Menular Penyakit Bawaan Gangguan Indera Kesehatan Jiwa & gangguan emosional Gigi dan Mulut Cedera Disabilitas Kecacatan Pemeriksaan Spesimen Darah Status Iodium Gambar Kerangka pikir Riskesdas 2013 (dikembangkan dari Gabungan Sistem Kesehatan WHO dengan konsep Model BLUM 3

35 1.6 Alur Pikir Riskesdas 2013 Alur pikir (Gambar 1.6.1) ini secara skematis menggambarkan enam tahapan penting dalam Riskesdas 2007 dan Keenam tahapan ini terkait erat dengan ide dasar Riskesdas untuk menyediakan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan serta dapat menghasilkan estimasi yang dapat mewakili rumah tangga dan individu sampai ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Siklus yang dimulai dari Tahapan 1 hingga Tahapan 6 menggambarkan sebuah pemikiran yang sistematis dan berlangsung secara berkesinambungan. Dengan demikian, hasil Riskesdas 2013 bukan saja harus mampu menjawab pertanyaan kebijakan, namun dapat memberikan arah bagi pengembangan kebijakan berikutnya. Untuk menjamin kelayakan dan ketepatgunaan dalam penyediaan data kesehatan yang sahih, akurat dan dapat dibandingkan, maka pada setiap tahapan Riskesdas 2013 dilakukan upaya penjaminan mutu yang ketat. Substansi pertanyaan, pengukuran dan pemeriksaan Riskesdas 2013 mencakup data kesehatan yang mengadaptasi sebagian pertanyaan World Health Survey pada tahun 2002 yang dikembangkan oleh World Health Organization dan diacu oleh 70 negara di dunia. 4

36 1. Indikator Status gizi Kesehatan Ibu & Anak Morbiditas PM, PTM Cedera & Kes. Jiwa Disabilitas Kecacatan Sanitasi lingkungan Perumahan & Pemukiman Pengetahuan, Sikap & Perilaku Farmasi dan Pelayanan Kes.Tradisional Akses Pel. Kesehatan Pembiayaan Kes. Policy Questions Research Questions 6. Indikator Tabel dasar Hasil pendahuluan nasional Hasil pendahuluan provinsi Hasil akhir nasional Hasil akhir provinsi 2. Disain Alat Pengumpul Data Kuesioner wawancara, pengukuran, pemeriksaan Validitas Reliabilitas Dapat diterima Riskesdas Statistik Deskriptif Bivariat Multivariat Uji Hipotesis 3. Pelaksanaan Riskesdas 2013 Pengembangan Manual Riskesdas Pengembangan modul pelatihan Pelatihan pelaksana Penelusuran sampel Pengorganisasian Logistik Pengumpulan data Supervisi / bimbingan teknis Validasi 4. Manajemen Data Riskesdas 2013 Editing Entri data Cleaning follow up Perlakuan terhadap missing data Perlakuan terhadap outliers Consistency check Analisis syntax appropriateness Pengarsipan Gambar Alur pikir Riskesdas

37 1.7 Pengorganisasian Riskesdas 2013 Dasar hukum persiapan Riskesdas 2013 adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 113/MENKES/SK/III/2012 tentang Tim Riset Kesehatan Nasional Berbasis Komunitas Tahun Organisasi persiapan pelaksanaan Riskesdas 2013 dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan No. HK.02.04/I.4/15/2013, tanggal 2 Januari 2013 tentang Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun Organisasi pengumpulan data Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: 1. Di tingkat pusat dibentuk Tim Penasehat, Tim Pengarah, Tim Pakar, Tim Teknis, Tim Manajemen dan Tim Pelaksana Pusat : Tim Penasehat terdiri dari Menteri Kesehatan RI, Kepala BPS dan Pejabat eselon I Kementerian Kesehatan. Tim Pengarah terdiri dari Kepala Badan, Pejabat eselon I dan sektor terkait. Tim Pakar terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing. Tim Teknis terdiri dari Pejabat eselon II, Peneliti di lingkungan Badan Litbangkes Tim Manajemen terdiri dari Pejabat eselon II, eselon III dan staf Badan Litbangkes Tim Pelaksana Pusat membentuk Koordinator Wilayah (korwil), setiap korwil yang akan mengkoordinir beberapa provinsi. 2. Di tingkat provinsi dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi: Tim Pelaksana di tingkat provinsi diketuai oleh Kadinkes Provinsi, Kasubdin Bina Program, Peneliti Badan Litbangkes, dan Kasie Litbang/Kasie Puldata Dinkes Provinsi. 3. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Tim Pelaksana Riskesdas Kabupaten/Kota : Tim Pelaksana di tingkat kabupaten/kota diketuai oleh Kadinkes Kabupaten, Kasubdin Bina Program tingkat kabupaten, Peneliti Badan Litbangkes, Politeknik Kesehatan (Poltekkes), dan Kasie Litbangda Dinkes Kab/Kota. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk tim pengumpul dan manajemen data. Setiap tim pengumpul data mencakup 6 BS (150 Rumah tangga). Tiap tim pengumpul data terdiri dari 5 orang yang diketuai oleh seorang ketua tim (Katim). Kualifikasi tim pengumpul dan manajemen data termasuk Katim, minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan. Tenaga pengumpul dan manajemen data direkrut dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dan lain-lain. Dibeberapa daerah yang kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data digunakan staf dinas kesehatan kabupaten/kota dengan persetujuan kepala bidang masing-masing untuk dibebaskan dari tugas rutin. Untuk Riskesdas 2013 di Provinsi Banten, Dasar Hukumnya adalah Surat Keputusan Kepala Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI,No.HK.02.04/IV.1/1285/2013 Tentang Pembentukan Tim Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 Korwil II. 1.8 Manfaat Riskesdas 2013 Manfaat Penelitian: 1. Untuk kabupaten/kota : a. Mampu menyusun perencanaan program lebih akurat sesuai perkembangan masalah kesehatan dalam enam tahun terakhir. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. c. Mampu merencanakan dan melaksanakan survei kesehatan lanjutan di wilayahnya. 2. Untuk provinsi dan pusat : a. Mampu memetakan perubahan masalah kesehatan dan menajamkan prioritas pembangunan kesehatan antar wilayah. b. Mempunyai bahan advokasi yang berbasis bukti. 6

38 c. Mampu merencanakan penelitian lanjutan sesuai dengan permasalahan kesehatan. 3. Untuk Peneliti a. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut. b. Sebagai sumber data untuk pengembangan indeks kesehatan. 4. Untuk Institusi Pendidikan a. Sebagai sumber data untuk bahan penulisan tugas akhir. b. Sebagai sumber data untuk analisis lebih lanjut dikaitkan dengan sumber data lainnya. 1.9 Persetujuan Etik Riskesdas 2013 Pelaksanaan Riskesdas tahun 2013, telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI dengan nomor LB.02.01/5.2/KE.006/2013. Persetujuan etik, naskah penjelasan serta formulir Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) dapat dilihat pada Lampiran. 7

39 2.1 Disain BAB 2 METODOLOGI RISKESDAS 2013 Riskesdas di Provinsi Banten adalah sebuah survei yang dilakukan dengan desain cross sectional. Desain Riskesdas Provinsi Banten 2013 terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di seluruh pelosok Provinsi Banten, yang terwakili oleh penduduk provinsi dan kabupaten/kota. 2.2 Lokasi Sampel Riskesdas 2013 mewakili Provinsi Banten yang tersebar di delapan kabupaten/kota di seluruh Provinsi Banten. 2.3 Populasi dan Sampel Populasi dalam Riskesdas Provinsi Banten 2013 adalah seluruh rumah tangga yang mewakili delapan kabupaten/kota. Sampel rumah tangga dalam Riskesdas Provinsi Banten 2013 dipilih berdasarkan listing Sensus Penduduk (SP) Proses pemilihan rumah tangga dilakukan BPS dengan two stage sampling, sama dengan metode pengambilan sampel Riskesdas 2007/Susenas Berikut ini adalah uraian singkat proses penarikan sampel dimaksud Penarikan Sampel Blok Sensus Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Riskesdas Provinsi Banten memilih BS yang telah dikumpulkan SP Pemilihan BS dilakukan sepenuhnya oleh BPS di masing-masing kabupaten/kota dengan memperhatikan status ekonomi, dan rasio perkotaan/perdesaan. Untuk sampel biomedis, penarikan sampel dilakukan secara stratified random sampling dengan strata berdasarkan besarnya angka prevalensi malaria dan TB-paru hasil Riskesdas Secara keseluruhan di Banten jumlah sampel yang dipilih untuk kesehatan masyarakat adalah sebesar 271 BS dengan rumah tangga. Dari setiap kabupaten/kota diambil sejumlah BS yang representative (mewakili) rumah tangga/anggota rumah tangga di Kabupaten/ Kota tersebut. Riskesdas Provinsi Banten 2013 berhasil mengumpulkan data dari seluruh BS. Jumlah sampel BS, rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat dikunjungi di setiap Kabupaten/ Kota dapat dilihat pada Tabel

40 Sampel Dikunjungi Response rate (%) Sampel Dikunjungi Response Rate (%) Sampel Wawancara Response Rate (%) Tabel Distribusi rumah tangga dan anggota rumah tangga sampel kesehatan masyarakat yang dapat dikunjungi (response rate) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Blok Sensus Rumah tangga Individu Kabupaten/kota Kab. Pandeglang , ,13 Kab. Lebak , ,46 Kab. Tangerang , ,09 Kab. Serang , ,07 Kota Tangerang , ,76 Kota Cilegon , ,70 Kota Serang , ,96 Kota Tangerang Selatan , ,22 BANTEN , ,27 Penarikan sampel Rumah tangga/anggota Rumah tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 25 (dua puluh lima) rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling). Pemilihan sampel rumah tangga ini dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis Kabupaten yang sudah dilatih. Penarikan sampel Biomedis Sampel untuk pengukuran biomedis merupakan sub-sampel dari BS yang mewakili nasional. Pada BS yang terpilih untuk biomedis di Provinsi Banten (59 BS), rumah tangganya dan anggota rumah tangganya selain dikumpulkan variabel kesehatan masyarakat juga dilakukan pemeriksaan biomedis. Pemeriksaan biomedis meliputi pemeriksaan glukosa darah, hemoglobin dan malaria. Pemeriksaan dilakukan langsung di lapangan sedangkan untuk pengambilan sampel biomedis meliputi pengambilan sampel darah, urin, dan air. 2.4 Variabel Berbagai pertanyaan terkait dengan indikator bidang kesehatan dioperasionalisasikan menjadi pertanyaan riset dan akhirnya dikembangkan menjadi variabel yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai cara. Dalam Riskesdas 2013 terdapat lebih 315 variabel yang tersebar dalam 2 (dua) jenis kuesioner (lihat file terlampir), dengan rincian variabel pokok sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat Blok II. Keterangan Rumah tangga Blok III. Keterangan Pengumpul Data Blok IV. Keterangan Anggota Rumah tangga Blok V. Akses dan Pelayanan Kesehatan Blok VI. Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Blok VII. Gangguan Kesehatan Jiwa Berat dalam Keluarga Blok VIII. Kesehatan Lingkungan Blok IX. Pemukiman dan Ekonomi. Blok X. Keterangan Wawancara Individu Blok XI, Keterangan Individu 9

41 a. Penyakit Menular b. Penyakit tidak Menular c. Cedera d. Gigi dan Mulut e. Ketidakmampuan/Disabilitas f. Kesehatan Jiwa g. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku h. Pembiayaan Kesehatan i. Kesehatan Reproduksi j. Kesehatan Anak dan Imunisasi k. Pengukuran dan Pemeriksaan l. Pemeriksaan mata m. Pemeriksaan THT n. Pemeriksaan Status Gigi Permanen o. Pengambilan Spesimen Darah dan Sampel Urin. 2.5 Alat Pengumpul Data dan Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan alat dan cara pengumpul data dengan rincian sebagai berikut: 1) Pengumpulan data rumah tangga dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.RT dan Pedoman Pengisian Kuesioner a. Responden untuk Kuesioner RKD13.RT adalah kepala keluarga atau ibu rumah tangga atau anggota rumah tangga yang dapat memberikan informasi. b. Dalam Kuesioner RKD13.RT terdapat keterangan tentang apakah seluruh anggota rumah tangga diwawancarai langsung, didampingi, diwakili, atau sama sekali tidak diwawancarai. 2) Pengumpulan data individu pada berbagai kelompok umur dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan Kuesioner RKD13.IND dan Pedoman Pengisian Kuesioner. 3) Responden untuk Kuesioner RKD13.IND adalah setiap anggota rumah tangga. 4) Khusus untuk anggota rumah tangga yang berusia kurang dari 15 tahun, dalam kondisi sakit maka wawancara dilakukan terhadap anggota rumah tangga yang menjadi pendampingnya. 5) Instrumen yang akan digunakan pada Riskesdas 2013 adalah sebagai berikut: a. Timbangan badan b. Alat ukur tinggi badan c. Alat ukur lingkar pinggang dan lengan atas d. Lup, senter, pinhole, tali ukur 6 meter, snellen chart e. Spekulum f. Kaca mulut, antiseptik, tisu, sarung tangan, masker g. Peralatan pemeriksaan dan pengiriman spesimen biomedis (darah, urin, air dan garam) 6) Untuk data biomedis, hasil pemeriksaan darah dan pengambilan spesimen dikumpulkan dengan menggunakan formulir tersendiri 2.6 Manajemen Data Proses manajemen data Riskesdas Provinsi Riau 2013 dilakukan oleh Tim manajemen Data Pusat (Balitbangkes) terdiri dari Receiving Batching, Edit, Entri, Penggabungan Data, Cleaning, dan Imputasi. Seluruh kegiatan tersebut membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan. Proses manajemen data dilakukan di lokasi pengumpulan data dan juga di pusat, yaitu di Balitbangkes Jakarta. Proses yang dilakukan pada lokasi pengumpulan data adalah 10

42 Receiving Batching, Edit, Entri, pengiriman data, sedangkan proses lainnya dilakukan oleh tim manajemen data di pusat. Tim Manajemen Data yang dipusatkan di Jakarta mengkoordinir manajemen data Riskesdas 2013 secara keseluruhan, baik proses maupun asal data. Terobosan manajemen data Riskesdas 2013 adalah hasil entri di lokasi pengumpulan data dikirim ke tim manajemen data melalui . Laporan kemajuan pengumpulan data dan manajemen data dapat dikomunikasikan dan dilihat dalam web. Urutan kegiatan manajemen data secara rinci adalah sebagai berikut Receiving dan Batching Proses Receiving dan Batching adalah pencatatan penerimaan kuesioner hasil wawancara. Pencatatan dilakukan pada elektronik file yang berisi tentang identitas wilayah yang telah diwawancarai, jumlah Rumah tangga dan Anggota Rumah tangga yang diwawancarai dan jumlah yang telah dientri. Manfaat dari proses ini untuk mencocokkan konsistensi jumlah data yang diwawancarai, dientri, dikirim, dan diterima oleh tim manajemen data. Selain itu untuk memantau sampel yang belum diwawancarai. Hal ini untuk menghindari adanya data yang hilang karena proses-proses input atau pengiriman elektronik Editing Pengumpulan data Riskesdas 2013 di laksanakan oleh tim yang terdiri dari empat pewawancara dan salah satunya merangkap menjadi Ketua Tim. Tim tersebut didampingi oleh penanggung jawab teknis (PJT) Kabupaten/ Kota yang berfungsi sebagai supervisor yang terlibat langsung di lapangan selama kurang lebih satu bulan. Dalam pelaksanaan pengumpulan data Riskesdas 2013, editing merupakan salah satu mata rantai yang secara potensial dapat menjadi kontrol kualitas data. Editing mulai dilakukan oleh supervisor atau PJT Kabupaten/Kota semenjak pewawancara selesai melakukan wawancara dengan responden. PJT Kabupaten/ Kota harus memahami makna dan alur pertanyaan. PJT Kabupaten/Kota melakukan editing kuesioner meliputi pemeriksaan kembali kelengkapan jawaban, termasuk konsistensi alur jawaban, untuk setiap responden pada setiap Blok Sensus. Kelengkapan jawaban dan konsistensi alur jawaban, antara lain seperti : 1. Semua pertanyaan terisi sesuai dengan kelompok kriteria yang ditentukan. Contohnya, pertanyaan kesehatan reproduksi hanya diperuntukkan bagi perempuan berumur tahun 2. Blok pemeriksaan dan pengukuran sudah terisi 3. Memeriksa kesesuaian kode bahan makanan 4. Kelengkapan formulir TB dan formulir Malaria (T1 dan T2), termasuk stiker nomor laboratorium, sebelum dilakukan entri data Entry Program entri data Riskesdas 2013 termasuk Provinsi Riau, dikembangkan menggunakan software CSPro 4.0. Program entri tersebut mencakup kuesioner rumah tangga, individu, konsumsi, dan pemeriksaan Malaria-TB yang dapat diintegrasikan. Entri Data kuesioner kesehatan masyarakat dan hasil pemeriksaan RDT malaria dilakukan oleh tim pengumpul data di lokasi pengumpulan data. Sedangkan data hasil pemeriksaan spesimen TB dari PRM di-entri oleh PJT Kabupaten/Kota. Hasil pemeriksaan apusan darah tebal malaria dilakukan oleh Tim Puslitbang Biomedis dan Farmasi di Jakarta, maka entri data juga dilakukan oleh tim tersebut. Pertanyaan pada kuesioner Riskesdas 2013 ditujukan untuk responden dengan berbagai kelompok umur yang berbeda. Kuesioner tersebut juga banyak mengandung skip questions (pertanyaan lompatan) yang secara teknis memerlukan ketelitian untuk menjaga konsistensi dari satu blok pertanyaan ke blok pertanyaan berikutnya. Oleh karena itu dibuat program entri yang diperkuat dengan batasan-batasan entri secara komputerisasi. Prasyarat ini menjadi penting untuk menekan kesalahan entri. Hasil pelaksanaan entri data ini menjadi salah satu 11

43 bagian penting dalam proses manajemen data, khususnya yang berkaitan dengan cleaning data. Data elektronik yang berupa file hasil entri data diserahkan oleh pengumpul data kepada PJT Kabupaten/Kota. PJT Kabupaten/ Kota menerima data elektronik tersebut dan mengirimnya ke Tim Manajemen Data melalui bersama file Receiving Batching bernama Formulir Kontrol Data.xls. Pengiriman dilakukan setiap selesai entri 1 (satu) Blok Sensus. Setelah mengirim data elektronik dan file formulir kontrol data, PJT Kabupaten/Kota mengisi laporan kemajuan (progress report) berbasis web di Hasil kemajuan pengumpulan data, penerimaan data dan cleaning data dapat diakses melalui web di alamat Penggabungan Data File-file data yang telah dikirim oleh PJT Kabupaten/Kota, digabung oleh tim manajemen data. Setiap anggota tim manajemen data di pusat, bertanggung jawab untuk menangani data dari 1 sampai dengan 2 provinsi. Penanggung jawab data melakukan penggabungan data, kemudian transfer data dari *.dat menjadi *.sav. Langkah selanjutnya dilakukan cleaning sementara agar dapat segera memberi umpan balik pada tim pewawancara untuk memperbaiki data. Setelah seluruh data mempunyai status bersih sementara selesai digabung, dilanjutkan dengan penggabungan data elektronik secara nasional. Hasil penggabungan data dari 2798 Blok Sensus terdiri dari file Rumah tangga, file daftar Anggota Rumah tangga, file Individu, file bahan makanan, file kandungan bahan makanan, dan file pemeriksaan TB paru Data Cleaning Tahapan cleaning dalam manajemen data merupakan proses yang penting untuk menunjang kualitas. Proses ini dilakukan juga dalam Riskesdas Tim Manajemen Data di pusat melakukan cleaning awal pada data elektronik setiap provinsi pada saat menerima data elektronik dari PJT Kabupaten/Kota. Apabila ada data yang perlu dikonfirmasi ke tim pengumpul data di kabupaten/kota, maka tim Manajemen Data pusat akan berkoordinasi dengan PJT Kabupaten untuk entri ulang bila perlu dan mengirimkan kembali yang sudah diperbaiki melalui . Cleaning sementara hanya dilakukan pada variabel-variabel tertentu yang dianggap sangat berisiko untuk salah. Setelah penggabungan keseluruhan provinsi, dilakukan cleaning variabel secara keseluruhan. Tim Manajemen Data menyediakan pedoman khusus untuk melakukan cleaning data Riskesdas. Perlakuan terhadap missing values, no-responses, pencilan-pencilan amat menentukan akurasi dan presisi dari estimasi yang dihasilkan Riskesdas Imputasi Imputasi adalah proses untuk penanganan data-data missing dan outlier. Tim Manajemen Data melakukan imputasi data elektronik secara nasional. Pada data Riskesdas 2013 imputasi dilakukan untuk data kontinyu yang memiliki pencilan. Sedangkan data missing hanya ada pada pertanyaan Blok Perilaku Seksual dan tetap dipertahankan missing dengan keterangan tidak bersedia menjawab. 12

44 2.7 Keterbatasan Riskedas 2013 Beberapa keterbatasan yang disebabkan faktor manajemen antara lain adalah: 1) Blok sensus tidak terjangkau, karena ketidak-tersediaan alat transportasi menuju lokasi dimaksud, atau karena kondisi alam yang tidak memungkinkan seperti ombak besar. Riskesdas tidak berhasil mengumpulkan 2 blok sensus yang terpilih. 2) Sejumlah rumah tangga yang menjadi sampel ternyata tidak seluruhnya dapat dijumpai oleh Tim Enumerator Rumah tangga yang berhasil dikunjungi Riskesdas 2013 adalah sebanyak 98.6 persen yang tersebar diseluruh kabupaten/kota (lihat Tabel 2.3.1). 3) Sejumlah anggota rumah tangga dari rumah tangga yang terpilih tidak seluruhnya bisa diwawancarai oleh Tim Enumerator Riskesdas Pada saat pengumpulan data dilakukan, sebagian anggota rumah tangga tidak ada di tempat. Jumlah anggota rumah tangga yang berhasil dikumpulkan adalah 92,3 persen. (lihat Tabel 2.3.1). 2.8 Pengolahan dan Analisis Data Hasil pengolahan dan analisis data dipresentasikan pada Bab Hasil dan Pembahasan Riskesdas yang mengikuti blok kuesioner Riskesdas. Jumlah sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Riskesdas 2013 yang terkumpul seperti tercantum pada Tabel Pada laporan ini seluruh analisis dilakukan berdasarkan jumlah sampel rumah tangga maupun anggota rumah tangga setelah missing values dan outlier dikeluarkan. Seluruh variabel Riskedas pada saat analisis dilakukan prosedur yang sama, yaitu mengeluarkan missing values dan outlier serta dilakukan pembobotan sesuai dengan jumlah masing-masing sampel. Jumlah sampel Riskesdas 2013 cukup untuk kepentingan analisis yang memberikan gambaran nasional maupun provinsi. Pada Bab Hasil dari masing-masing blok menjelaskan jumlah sampel yang digunakan untuk kepentingan analisis 2.9 Gambaran Umum Provinsi Banten Gambaran Geografi dan Wilayah Administrasi Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan UU No 23 tahun 2000 (BPS Provinsi Banten, 2012). Secara geografis Provinsi Banten terletak antara sampai Bujur Timur, serta sampai Batas-batas wilayah Banten, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Wilayah laut Provinsi Banten merupakan salah satu jalur laut potensial. Selat Sunda yang menjadi salah satu wilayah laut Provinsi Banten merupakan Jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar, yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu, Provinsi Banten merupakan jalur penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Provinsi Banten terutama Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Provinsi Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura. 13

45 2.9.2 Gambaran Demografis Jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2012 sebanyak jiwa dengan jumlah laki-laki dan perempuan dengan rerata pertumbuhan sebesar 2,16 persen antara tahun (BPS Provinsi Bnaten, 2012). Persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi dari yang terendah sebesar 3,52 persen di Kota Cilegon hingga yang tertinggi sebesar 26,66 persen di Kabupaten Tangerang. Sex ratio sebesar 105, berarti terdapat 105 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Sex Ratio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kota Tangerang Selatan sebesar 102 dan tertinggi adalah Kota Serang sebesar 106. Dengan luas wilayah sebesar 9.662,92 km2, rerata hunian per 1 km2 sebanyak jiwa. Jumlah rumah tangga adalah dengan jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,19 orang per rumah tangga. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak jiwa (67,01%) dan di daerah perdesaan sebanyak jiwa (32,99%). Angkatan kerja sebanyak orang dengan rincian jumlah pekerja sebanyak orang dan pengangguran sebesar orang. Upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp ,- pada tahun Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 sebesar 6.26 persen dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar serta angka melek huruf sebesar 96,51. 14

46 3.1 Akses dan Pelayanan Kesehatan BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan fasilitas kesehatan (faskes) yang terdiri dari rumah sakit pemerintah dan swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, posyandu, poskesdes atau poskestren, dan polindes, terkait erat dengan akses rumah tangga terhadap faskes. Sampel rumah tangga yang diwawancarai dan dianalisis sebanyak rumah tangga. Data yang ditampilkan berupa persentase rumah tangga dengan pengetahuan tentang keberadaan faskes tertentu Keberadaan Fasilitas Kesehatan Keberadaan fasilitas kesehatan secara nasional menurut provinsi pada pada hasil ini diuraikan tentang pengetahuan rumah tangga pada RS pemerintah, RS swasta, bidan praktek dan posyandu. Data secara lengkap tentang fasilitas kesehatan ini secara nasional dan berdasarkan karakteristik yang diuraikan tentang tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan, secara provinsi 67,0 persen rumah tangga mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta diketahui oleh 60,5 persen rumah tangga. Rumah tangga yang mengetahui keberadaan rumah sakit pemerintah tertinggi di Kota Serang (90,4%) sedangkan terendah di Kabupaten Tangerang (59,5%). Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan rumah sakit swasta tertinggi di Kota Tangerang Selatan (87,8%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (10,4%). 15

47 Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan bidan praktek atau rumah bersalin menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pada Gambar menunjukkan pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan praktek bidan atau rumah bersalin secara provinsi angkanya 72,0 persen, namun jika dilihat antar kabupaten/kota, maka tertinggi di Kota Cilegon (88,8%) dan terendah di Kabupaten Serang (54,4%). Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui keberadaan posyandu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan rumah tangga tentang keberadaan posyandu secara provinsi angkanya 67,5 persen. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, maka tertinggi di Kota Cilegon (90,4%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (58,3%). 16

48 3.1.2 Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan Keterjangkauan faskes dalam Riskesdas 2013 ini dilihat dari aspek moda transportasi yang digunakan, waktu tempuh (dalam satuan menit), dan biaya transportasi menuju faskes. Moda transportasi yang digunakan menuju faskes dapat berupa mobil pribadi, kendaraan umum, jalan kaki, sepeda motor, sepeda, perahu, transportasi udara (kecuali ke posyandu, poskesdes, dan polindes) dan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi. Waktu tempuh rumah tangga menuju faskes dihitung dalam satuan menit dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu 15 menit; menit; menit; dan > 60 menit. Biaya transportasi menuju faskes dikelompokkan dalam 3 kategori untuk pengobatan modern (rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas, praktek dokter atau klinik dan praktek bidan atau rumah bersalin), yaitu Rp ; >Rp dan >Rp ,-). Biaya transportasi dikelompokkan dalam 2 kategori untuk Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) yaitu di posyandu, poskesdes atau poskestren dan polindes yaitu Rp dan >Rp Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Proporsi pengetahuan rumah tangga yang menggunakan berbagai moda transportasi sepeda motor menuju rumah sakit pemerintah, berdasarkan tempat tinggal di perkotaan 42,1 persen dan perdesaan 27,9 persen. Untuk penggunaan kendaraan umum di perkotaan 31,7 persen dan perdesaan 50,6 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi, di perkotaan 15,3 persen sedangkan di perdesaan 18,7 persen. Data dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka

49 Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui moda transportasi ke Puskesmas berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Proporsi pengetahuan rumah tangga menuju puskesmas yang dapat menggunakan kendaraan umum di perkotaan 19,7 persen dan perdesaan 21,0 persen. Sedangkan yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi di perkotaan 13,1 persen dan perdesaan 11,6 persen. Rumah tangga yang menggunakan sepeda motor, di perkotaan 58,8 persen dan di perdesaan 50,8 persen, sedangkan yang jalan kaki di perkotaan 7,8 persen dan di perdesaan 13,0 persen. Menurut kuintil indeks kepemilikan, bahwa yang tertinggi adalah dengan sepeda motor pada rumah tangga menengah atas (60,9%) dan terendah rumah tangga menengah bawah (47,4%). Sedangkan pada kelompok jalan kaki tertinggi pada rumah tangga teratas (13,3%) dan terendah di rumah tangga terbawah (10,3%). Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menurut fasilitas kesehatan, Provinsi Banten

50 Waktu tempuh rumah tangga menuju fasilitas kesehatan di rumah sakit pemerintah tertinggi pada menit (34,4%) dan terendah < 15 menit (12,4%). Pola ini berbeda dengan waktu tempuh menuju rumah sakit swasta dimana tertinggi pada menit (41,5%) dan terendah > 60 menit (9,8%). Sedangkan pada fasilitas kesehatan di puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin, poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu terbanyak pada waktu tempuh 15 menit. Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Pengetahuan tentang waktu tempuh rumah tangga menuju rumah sakit pemerintah menurut tempat tinggal dengan waktu menit, tertinggi di perkotaan (35,5%) sementara di perdesaan 20,0 persen. Dengan waktu menit di perkotaan 35,2 persen dan perdesaan 31,9 persen. Sedangkan dengan waktu tempuh 15 menit di perkotaan 15,8 persen dan perdesaan 2,6 persen. Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan, dengan waktu tempuh menit, tertinggi pada rumah tangga menengah (36,0%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (16,7%). Dengan waktu tempuh menit, tertinggi pada rumah tangga menengah atas (38,6%) dan terendah pada rumah tangga terbawah (29,4%). 19

51 Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan terdekat, Provinsi Banten 2013 Biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, puskesmas atau puskesmas pembantu, praktek dokter atau klinik, praktek bidan atau rumah bersalin dibagi dalam 3 kategori yaitu Rp ,-; >Rp Rp dan > Rp,50.000,-. Biaya transportasi masih didominasi pada Rp ,- di rumah sakit pemerintah (55,6%), rumah sakit swasta (67,6%), puskesmas atau puskesmas pembantu (88,6%), dokter praktek atau klinik (91,7%) dan praktek bidan atau rumah bersalin (95,6%). Gambar Proporsi rumah tangga yang mengetahui biaya transportasi menuju UKBM terdekat, Provinsi Banten 2013 Biaya transportasi menuju Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat seperti poskesdes atau poskestren, polindes dan posyandu dibuat dalam 2 kategori yaitu Rp ,- dan > Rp ,-. Pada biaya transportasi ini masih banyak yang Rp ,- yaitu di poskesdes atau poskestren (94,8%), polindes (99,1%) dan posyandu (99,0%). 20

52 3.2 Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Bahasan Farmasi dan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) bertujuan mengetahui proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, proporsi rumah tangga yang memiliki pengetahuan benar tentang Obat Generik (OG) dan sumber informasi tentang OG. Pertanyaan Yankestrad mencakup jenis dan alasan memanfaatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Analisis dikelompokkan menjadi tiga: 1) Obat dan Obat Tradisional (OT); 2) Pengetahuan rumah tangga tentang obat generik (OG), dan 3) Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad). Farmasi dan Yankestrad merupakan bahasan baru yang dikumpulkan informasinya pada Riskesdas Obat dan Obat Tradisional (OT) di Rumah tangga Gambar menunjukkan bahwa atau 36,6 persen dari rumah tangga yang menyimpan obat untuk swamedikasi, terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obat yang tidak teridentifikasi. Gambar Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat dan jenis obat yang disimpan, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 28,8 persen dan antibiotika 21,3 persen. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi menunjukkan penggunaan obat yang tidak rasional dan ilegal. Table menggambarkan variasi rumah tangga yang menyimpan obat untuk keperluan swamedikasi, dengan proporsi tertinggi rumah tangga di Kota Tangerang Selatan (54,4%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (20,2%). Rerata sediaan obat yang disimpan kurang lebih tiga macam, tertinggi di Kota Cilegon (3,9) dan terendah di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang masing-masing 2,5. 21

53 Tabel Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat, dan rerata jumlah obat yang disimpan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Menyimpan obat Kabupaten/kota Ya (%) Rerata jumlah obat Kab. Pandeglang 20,2 3,2 Kab. Lebak 29,4 2,5 Kab. Tangerang 33,3 2,7 Kab. Serang 23,2 2,5 Kota Tangerang 45,9 2,8 Kota Cilegon 45,7 3,9 Kota Serang 46,9 2,9 Kota Tangerang Selatan 54,4 2,8 Banten 36,6 2,8 Berdasarkan karakteristik, hampir tidak ada perbedaan dalam hal jenis obat yang disimpan di rumah tangga (Tabel 3.2.2). Karakteristik Tempat tinggal Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Obat keras Obat bebas Antibiotika Obat tradisional Obat tidak teridentifikasi Perkotaan 27,7 87,3 19,7 17,8 1,3 Perdesaan 34,3 85,9 28,7 10,5 4,4 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 25,8 82,4 25,8 14,7 0,8 Menengah bawah 32,1 84,8 24,3 12,1 3,8 Menengah 28,5 86,3 16,2 19,0 2,9 Menengah atas 30,0 87,6 27,7 16,2 0,9 Teratas 27,0 89,5 16,3 18,0 1,1 Banten 28,8 87,0 21,3 16,6 1,9 Dari 36,6 persen rumah tangga yang menyimpan obat, 82,3 persen rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter (Tabel 3.2.3). Variasi antar kabupaten/kota, proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (90,3%) dan terendah di Kota Cilegon (67,0%). Demikian halnya dengan antibiotika, hampir 85 persen rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep, dengan proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (93,7%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (75,8%). Tabel menunjukkan toko obat/warung dan apotek merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga dengan proporsi masing-masing 43,4 persen dan 37,1 persen. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung lebih tinggi di perkotaan, demikian pula proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan. Namun, 19,0 persen rumah tangga memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan (nakes), proporsi tertinggi di perdesaan (33,3%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, cenderung semakin rendah memperoleh obat dari sumber nakes. Proporsi rumah tangga yang 22

54 mendapatkan obat dari pelayanan kesehatan formal (puskesmas, rumah sakit, klinik) lebih tinggi di perdesaan (22,2%) dari pada di perkotaan (15,5%). Tabel Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras dan antibiotika tanpa resep menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Obat keras Jenis obat tanpa resep Antibiotika Kab. Pandeglang 75,3 75,8 Kab. Lebak 79,7 79,4 Kab. Tangerang 79,2 81,7 Kab. Serang 83,4 83,2 Kota Tangerang 84,4 88,6 Kota Cilegon 67,0 76,0 Kota Serang 81,7 81,1 Kota Tangerang Selatan 90,3 93,7 Banten 82,3 84,9 Karakteristik Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber mendapatkan obat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Apotek Toko obat/ warung Pemberian org lain Sumber obat Yankes formal Nakes Yankestrad Penjual OT keliling Tempat tinggal Perkotaan 40,6 44,7 1,2 15,5 16,0 0,8 1,0 Perdesaan 20,2 37,4 0,5 22,2 33,3 0,5 1,3 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 9,0 47,5 1,7 24,0 31,3 0,0 2,7 Menengah bawah 27,1 46,2 0,8 17,1 23,1 0,0 1,6 Menengah 32,5 49,5 0,7 17,2 18,0 0,4 0,7 Menengah atas 39,7 38,9 0,6 18,5 21,7 0,8 0,8 Teratas 51,8 40,0 1,6 12,2 11,6 1,7 0,8 Banten 37,1 43,4 1,0 16,6 19,0 0,8 1,0 Tabel menunjukkan status obat yang ada di rumah tangga untuk tujuan swamedikasi. Status obat dikelompokkan menurut obat yang sedang digunakan, obat untuk persediaan jika sakit, dan obat sisa. Obat sisa dalam hal ini adalah obat sisa resep dokter atau obat sisa dari penggunaan sebelumnya yang tidak dihabiskan. Di Provinsi Banten, 50,9 persen rumah tangga menyimpan obat untuk persediaan, lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga yang menyimpan obat sisa (38,9%). Proporsi rumah tangga yang menyimpan obat untuk persediaan juga lebih tinggi di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas. 23

55 Karakteristik Tempat tinggal Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan status obat yang disimpan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Status obat di rumah tangga Sedang digunakan Untuk persediaan Obat sisa Perkotaan 27,5 55,9 36,4 Perdesaan 35,5 27,1 51,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 33,1 22,3 57,3 Menengah bawah 34,8 36,9 41,9 Menengah 27,7 51,6 38,6 Menengah atas 30,0 49,6 38,8 Teratas 24,3 67,3 32,4 Banten 28,9 50,9 38, Pengetahuan Rumah tangga tentang Obat Generik (OG) Bahasan ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar dan berpengetahuan benar, serta persepsinya mengenai OG. Definisi rumah tangga berpengetahuan benar tentang OG adalah rumah tangga yang mengetahui bahwa obat generik merupakan obat yang khasiatnya sama dengan obat bermerek dan tanpa menggunakan merek dagang. Selain itu pada sub-blok ini juga disajikan proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi OG. Tabel menunjukkan bahwa secara provinsi terdapat 37,8 persen rumah tangga yang mengetahui atau pernah mendengar mengenai OG. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,7%) tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang OG. Tabel menunjukkan pengetahuan benar tentang OG rendah baik di rumah tangga perkotaan maupun di perdesaan. Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi proporsi rumah tangga dengan pengetahuan benar tentang OG. Tabel menunjukkan 83,6 persen rumah tangga mempunyai persepsi OG sebagai obat murah dan 71,6 persen obat program pemerintah. Sebanyak 42,5 persen rumah tangga mempersepsikan OG berkhasiat sama dengan obat bermerek. Persepsi tersebut perlu di promosikan lebih gencar untuk mendorong penggunaan OG lebih luas dan lebih baik dimasyarakat. Proporsi rumah tangga dengan persepsi bahwa OG adalah obat tanpa merek dagang, cukup rendah (18,0%), padahal persepsi tersebut adalah salah satu persepsi benar yang diharapkan diketahui masyarakat luas. 24

56 Kabupaten/kota Tabel Proporsi rumah tanggayang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Mengetahui tentang OG Pengetahuan tentang OG Benar Kab. Pandeglang 11,3 7,2 92,8 Kab. Lebak 17,4 13,6 86,4 Kab. Tangerang 31,8 13,5 86,5 Kab. Serang 14,6 15,0 85,0 Kota Tangerang 57,9 17,5 82,5 Kota Cilegon 44,8 15,0 85,0 Kota Serang 46,4 9,7 90,3 Kota Tangerang Selatan 74,1 9,0 91,0 Banten 37,8 13,3 86,7 Salah Karakteristik Tempat tinggal Tabel Proporsi rumah tanggayang mengetahui dan berpengetahuan benar tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Mengetahui tentang OG Pengetahuan tentang OG Benar Perkotaan 48,6 13,9 86,1 Perdesaan 11,8 7,1 92,9 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 5,4 0,9 99,1 Menengah bawah 20,9 14,4 85,6 Menengah 37,8 11,0 89,0 Menengah atas 49,1 12,4 87,6 Teratas 74,3 16,1 83,9 Salah 25

57 Karakteristik Tempat tinggal Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan perseps tentang obat generik (OG ) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Obat gratis Obat murah Obat bagi pasien miskin Persepsi rumah tangga tentang OG Dapat dibeli di warung Obat tanpa merek dagang Khasiat sama dg obat ber merek Obat program pemerin-tah Perkotaan 35,9 84,6 31,9 13,6 18,5 44,4 72,7 Perdesaan 45,6 74,3 36,6 17,2 13,4 23,6 61,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 53,1 65,5 35,2 21,0 3,7 23,9 58,4 Menengah bawah 46,2 78,4 39,3 14,5 19,0 40,5 73,6 Menengah 37,7 81,4 33,9 13,4 15,1 37,9 67,3 Menengah atas 35,6 85,3 31,3 13,7 17,3 40,3 70,5 Teratas 32,9 86,6 29,7 13,7 21,1 49,3 75,6 Banten 36,7 83,6 32,3 13,9 18,0 42,5 71,6 Sumber informasi tentang OG di perkotaan maupun perdesaan paling banyak diperoleh dari tenaga kesehatan (66,6%). Informasi oleh tenaga kesehatan ini, juga merata pada semua kuintil indeks kepemilikan (Tabel 3.2.9). Sumber informasi OG dari media cetak dan elektronik lebih banyak di akses oleh rumah tangga dengan kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan sumber informasi tentang obat generik (OG) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Media cetak Media elektronik Sumber informasi tentang OG Tenaga kesehatan Kader, toma Teman, kerabat Pendidikan Tempat tinggal Perkotaan 27,3 58,3 66,7 13,7 13,1 6,9 Perdesaan 25,1 49,5 65,9 20,5 18,6 7,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 11,1 42,5 61,5 10,8 13,3 0,0 Menengah bawah 19,4 45,1 61,5 13,2 13,3 2,2 Menengah 21,9 49,4 68,0 13,3 11,0 3,7 Menengah atas 24,0 56,6 67,8 13,6 9,5 7,2 Teratas 36,7 68,4 66,8 16,2 18,7 10,7 Banten 27,1 57,5 66,6 14,3 13,6 6,9 26

58 3.2.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tradisional (Yankestrad) Yankestrad terdiri dari empat jenis, yaitu Yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu, aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), keterampilan dengan alat (akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem, dan akupresur), keterampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan patah tulang, dan refleksi), dan keterampilan dengan pikiran (hipnoterapi, pengobatan dengan meditasi, prana, dan tenaga dalam). Gambar dan tabel pada bahasan berikut ini menyajikan informasi proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam satu tahun terakhir, jenis-jenis Yankestrad yang dimanfaatkan serta alasan utama memanfaatkannya. Satu rumah tangga memanfaatkan lebih dari satu jenis Yankestrad. Gambar Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan, Provinsi Banten 2013 Sejumlah dari (33,0%) rumah tangga di Provinsi Banten memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir. Jenis Yankestrad yang dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah keterampilan tanpa alat (78,4%) dan ramuan (40,7%) (Gambar 3.2.2). Tabel menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad bahkan lebih dari satu jenis, dijumpai tertinggi di Kota Serang (48,3%) dan terendah di Kabupaten Serang (13,8%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad ramuan tertinggi di Kabupaten Serang (55,5%) dan yang terendah di Kota Cilegon (19,7%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan alat tertinggi di Kota Tangerang Selatan (29,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (3,5%). 27

59 Kabupaten/kota Tabel Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Pernah memanfaat-kan Yankestrad Ramuan Jenis Yankestrad Keterampilan Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran Kab. Pandeglang 26,4 29,5 3,6 82,3 0,9 Kab. Lebak 16,6 46,6 6,9 68,4 0,4 Kab. Tangerang 40,3 41,7 8,9 74,0 3,3 Kab. Serang 13,8 55,5 3,5 80,9 2,4 Kota Tangerang 47,8 45,5 11,4 83,9 1,7 Kota Cilegon 42,6 19,7 4,4 91,7 4,5 Kota Serang 48,3 44,1 10,7 84,7 0,6 Kota Tangerang Selatan 19,9 24,3 29,7 62,9 2,2 Banten 33,0 40,7 10,3 78,4 2,2 Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat tertinggi di Kota Cilegon (91,7%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (62,9%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan dengan pikiran tertinggi di Kota Cilegon (4,5%) dan terendah di Kabupaten Lebak (0,4%). Tabel menunjukkan proporsi rumah tangga yang memanfaatkan Yankestrad keterampilan tanpa alat di perdesaan (80,8%), lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (77,9%). Sebaliknya, pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan alat di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (11,9% vs 3,1%). Yankestrad dengan pikiran dimanfaatkan rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan dengan proporsi yang seimbang. Karakteristik Tabel Proporsi rumah tangga yang pernah memanfaatkan Yankestrad dalam 1 tahun terakhir dan jenis Yankestrad yang dimanfaatkan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Pernah memanfaat-kan Yankestrad Ramuan Jenis Yankestrad Keterampilan Dengan alat Tanpa alat Dengan pikiran Tempat tinggal Perkotaan 38,1 41,5 11,9 77,9 2,3 Perdesaan 20,7 36,9 3,1 80,8 2,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 22,0 39,0 3,7 74,5 3,4 Menengah bawah 29,4 46,9 2,5 78,5 4,8 Menengah 34,6 40,7 6,4 81,5 0,4 Menengah atas 37,3 41,6 13,7 76,4 2,2 Teratas 40,1 35,0 20,4 79,3 1,5 Banten 33,0 40,7 10,3 78,4 2,2 28

60 Tabel memperlihatkan alasan utama terbanyak pemanfaatan berbagai Yankestrad oleh rumah tangga. Yankestrad ramuan, keterampilan dengan alat, dan keterampilan tanpa alat sebagian besar dimanfaatkan rumah tangga dengan alasan utama menjaga kesehatan, kebugaran. Proporsi rumah tangga dengan alasan utama coba-coba cukup tinggi untuk Yankestrad keterampilan dengan pikiran (16,5%). Alasan utama karena putus asa terlihat sangat dominan pada pemanfaatan Yankestrad keterampilan dengan pikiran (22,7%). Jenis Yankestrad Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan alasan utama terbanyak memanfaatkan Yankestrad, Provinsi Banten 2013 Menjaga kesehatan, Kebugaran Alasan memanfaatkan Yankestrad Tradisi, Lebih Cobacoba kepercayaan manjur Putus asa Yankestradramuan 59,8 16,4 13,7 4,8 2,0 1,8 Keterampilandengan alat 39,5 11,1 18,7 12,4 5,9 8,1 Keterampilan tanpa alat 57,1 1,4 20,5 15,0 0,6 3,4 Biaya murah Keterampilan dengan pikiran 5,2 13,4 25,8 16,5 22,7 9,3 29

61 3.3 Kesehatan Lingkungan Beberapa variabel kesehatan lingkungan yang penting telah dikumpulkan pada Riskesdas 2013 sebagai bahan analisis status kesehatan lingkungan yang dapat digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan dalam mengevaluasi program dan kebijakannya dalam rangka pengendalian faktor risiko lingkungan secara efektif dan efisien. Hasil Riskesdas 2013 yang termasuk dalam blok kesehatan lingkungan meliputi air untuk keperluan rumah tangga, air minum, sanitasi, dan status kepemilikan rumah dan kondisi rumah dan perumahan. Data kondisi rumah meliputi jenis bahan bangunan, lokasi rumah dan kondisi ruang rumah, kepadatan hunian, jenis bahan bakar untuk penerangan dan memasak, serta penggunaan atau penyimpanan pestisida/insektisida dan pupuk kimia dalam rumah. Di samping itu, disajikan data perilaku rumah tangga dalam menguras bak mandi berkaitan dengan risiko penyebaran penyakit tular vektor (DBD dan malaria). Sebagai unit analisis adalah rumah tangga, dengan jumlah sampel untuk Provinsi Banten sebanyak rumah tangga. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung kondisi rumah dan sekitarnya. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan status kesehatan lingkungan menurut kabupaten/kota, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan aset. Jumlah rumah tangga yang berhasil diwawancarai dan diamati kondisi rumahnya sebanyak (98,58%) Air Minum dan Air untuk Keperluan Rumah tangga Ruang lingkup air dalam laporan Riskesdas 2013 meliputi, jenis sumber air minum, rerata pemakaian air perorang perhari sebagai akses dasar, jarak dan waktu tempuh ke sumber air minum yang terletak di luar rumah, kelompok gender yang mengambil air, kualitas fisik air minum dan pengolahan air minum. Dalam buku laporan ini hanya beberapa variabel penting yang disajikan dalam bentuk gambar dan tabel. Air untuk keperluan rumah tangga diperlukan untuk menghitung proporsi air kemasan yang dapat dimasukkan dalam jenis sumber air minum improved dan tidak disajikan pada laporan ini. Tabel dari seluruh variabel yang dikumpulkan secara lengkap disajikan dalam Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka Klasifikasi jenis sumber air minum digunakan kriteria Joint Monitoring Programme (JMP) antara WHO UNICEF (WHO, 2006a). Menurut JMP tersebut, jenis sumber air minum dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber air minum improved dan sumber air minum unimproved. Yang termasuk klasifikasi sumber air minum improved adalah ledeng/pdam, sumur bor/pompa (dengan pompa tangan maupun listrik), sumur gali terlindung, mata air terlindung, dan penampungan air hujan (PAH). Sedangkan sumber air minum unimproved meliputi air kemasan (bottle water), air isi ulang, air dari tangki truk, sumur gali tak terlindung, dan mata air tak terlindung. Namun apabila rumah tangga tersebut menggunakah sumber air untuk keperluan lain seperti memasak dan untuk keperluan kebersihan diri (personal hygiene) menggunakan sumber air yang improved, maka air kemasan (bottle water) termasuk dalam klasifikasi sumber air minum improved. Pengertian improved tidak berarti lebih baik kualitas air minumnya, tetapi lebih menekankan pada keberlanjutan ketersediaan dan aspek ekonominya. Air kemasan maupun air isi ulang umumnya lebih mahal harganya daripada air ledeng/pdam. Selanjutnya, proporsi akses air minum improved tersebut akan dibandingkan pula dengan target MDGs nasional pada tahun 2015 untuk air minum sebesar 68,87 persen, dengan rincian untuk perkotaan sebesar 75,29 persen dan perdesaan sebesar 65,81 persen (Bappenas, 2012). Baru pada Riskesdas 2013 yang dikumpulkan data tentang jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga, selain data tentang sumber air minum. Sehingga, data nasional tentang proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air improved telah memasukkan sebagian proporsi rumah tangga yang menggunakan air kemasan yang memenuhi kriteria JMP (air kemasan dapat dimasukkan sebagai sumber air minum improved bila sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya menggunakan sumber air improved). Oleh karena itu, data tingkat nasional tentang kecenderungan rumah tangga menurut jenis sumber air improved tahun 2013 tidak dapat dibandingkan dengan data sejenis pada tahun 2007 dan 2010, karena data jenis sumber air 30

62 Kabupaten/kota minum improved pada tahun-tahun tersebut tidak memperhitungkan jenis sumber air untuk keperluan rumah tangga lainnya dalam analisis data deskriptifnya. Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air minum improved menurut kabupaten dan kota di Provinsi Banten tahun Kota Tangerang Selatan paling tinggi proporsinya dalam memenuhi kebutuhan air minum, yaitu sebesar 82,8 persen kemudian diikuti oleh Kabupaten Lebak (80,3%) dan Kabupaten Pandeglang (70,8%). Ke tiga kabupaten/kota tersebut memiliki cakupan akses ke sumber air minum improved Provinsi Banten yang hanya 65 persen. Bila dibandingkan dengan target nasional dalam mencapai tujuan ke 7 dari MDGs tentang akses rumah tangga terhadap air minum improved, ke tiga kabupaten/kota tersebut di atas telah melampauinya, walaupun masih 2 tahun lagi dari target MDGs. Sebaliknya, ke lima kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten masih ketinggalan, baik bila dibandingkan dengan proporsi Provinsi Banten maupun target MDGs dalam air minum, dengan proporsi terendah dimiliki oleh Kota Cilegon (44,7%), meskipun dengan perkiraan peningkatan setiap tahunnya 2 persen (Bappenas, 2012), cakupan air minum improved untuk Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon tidak dapat memenuhi target MDGs. Kota Cilegon Serang Tangerang Kota Tangerang Kota Serang BANTEN Pandeglang Lebak Kota Tangerang Selatan % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Improved Unimproved Gambar Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Apabila dilihat dari proporsi rumah tangga yang mempunyai akses ke sumber air minum improved menurut karakteristik wilayah, rumah tangga perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi rumah tangga perkotaan, yaitu 66,6 persen berbanding 64,3 persen. Namun, angka-angka tersebut masih di bawah target MDGs Bahkan proporsi akses ke sumber air minum improved rumah tangga perkotaan lebih rendah bila dibandingkan proporsi Provinsi Banten yang sebesar 65,0 persen (Gambar 3.3.2). 31

63 Kuintil indeks kepemilikan Tempat tinggal Perkotaan BANTEN Perdesaan % 20% 40% 60% 80% 100% Improved Unimproved Gambar Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut tempat tinggal Provinsi Banten 2013 Gambar menggambarkan proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke sumber air minum improved menurut indeks kepemilikan aset. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya kuintil teratas dan menengah bawah yang memiliki akses lebih baik dan telah memenuhi target MDGs tahun Sedangkan ke tiga kuintil lainnya memiliki akses lebih rendah, bahkan pada kuintil menengah atas memiliki akses paling rendah yaitu 50,2 persen. Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah % 20% 40% 60% 80% 100% Improved Unimproved Gambar Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum improved menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Aspek gender dalam rumah tangga sangat penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan pengelolaan air rumah tangga termasuk pengambilan air minum dari sumber di luar rumah tangga (World Bank, 2010). Pengambilan air di luar rumah berlaku bagi rumah tangga yang mengambil air di luar rumah dalam kurun waktu 6 menit atau lebih atau yang berjarak 100 meter atau lebih. Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga di Provinsi Banten menurut kelompok gender yang mengambil air minum dari luar rumah. Sebagian besar (75,2%) yang mengambil air adalah orang dewasa laki-laki, kemudian diikuti oleh dewasa perempuan (23,7%), kelompok anak lakilaki (0,6%), dan yang terendah adalah kelompok anak perempuan (0,4%). 32

64 Dewasa Anak-anak Dewasa perempuan Dewasa laki-laki Anak perempuan Anak laki-laki Gambar Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender yang biasa mengambil air minum, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari proporsi gender yang mengambil air minum dari luar rumah menurut kabupaten/kota pada Gambar 3.3.5, maka hampir seluruh kota dan kabupaten didominasi oleh laki-laki, kecuali Kabupaten Lebak. Sedangkan bila dilihat dari kelompok anak laki-laki, maka proporsi tertinggi adalah Kabupaten Serang (1,4%) dan dikuti oleh Kota Serang dan Kabupaten Lebak, dengan proporsi yang sama yaitu 1,2 persen. Sebaliknya, proporsi tertinggi untuk kelompok anak perempuan adalah Kabupaten Tangerang (1,2%) Kabupaten/kota Dewasa perempuan Dewasa laki-laki Anak perempuan Anak laki-laki Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga menurut kelompok gender dan karakteristik wilayah yang mengambil air minum dapat dilihat pada Gambar Proporsi kelompok dewasa laki-laki di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang sama di perdesaan, yaitu 81,3 persen berbanding 62,3 persen. Bila proporsi dewasa laki-laki di ke dua wilayah perkotaan dan perdesaan tersebut dibandingkan dengan kelompok yang sama di provinsi, maka perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan maupun provinsi. Demikian pula bila proporsi kelompok anak 33

65 laki-laki di ke tiga wilayah tersebut dibandingkan, maka kelompok anak laki-laki di perdesaan paling besar proporsinya, yaitu 1,0 persen dibandingkan dengan 0,6 persen dan 0,5 persen. Sebaliknya, di perkotaan, proporsi anak perempuan lebih tinggi daripada di perdesaan. Anak-anak Perdesaan BANTEN Perkotaan Dewasa Dewasa laki-laki Dewasa perempuan Anak laki-laki Anak perempuan Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air dari luar rumah menurut gender dan tempat tinggal, Provinsi Banten Proporsi rumah tangga menurut gender dan kuintil kepemilikan aset dapat dilihat pada Gambar Secara umum, proporsi kelompok dewasa laki-laki yang mengambil air semakin meningkat searah dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Sebaliknya, proporsi kelompok dewasa perempuan yang tertinggi adalah pada kuintil terendah, dan menurun seiring dengan meningkatnya indeks kepemilikan aset. Namun hal tersebut tidak terjadi pada kelompok anak laki-laki dan anak perempuan. Proporsi terendah pada kelompok anak laki-laki terdapat pada kuintil menengah bawah (0,1%) dan sedikit meningkat pada kuintil teratas (0,2%) dan tertinggi pada kuintil terbawah. Pada kelompok anak perempuan, proporsi tertinggi pada kuintil menengah atas (0,8%) dan terendah pada kuintil terbawah (0,2%). 34

66 Dewasa Anak-anak Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Kuintil indeks kepemilikan Dewasa perempuan Dewasa laki-laki Anak perempuan Anak laki-laki Gambar Proporsi rumah tangga yang mengambil air menurut gender dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Menurut WHO (2003), konsumsi air untuk kebutuhan domestik dapat diklasifikasikan berkaitan dengan persyaratan kesehatan dari kebutuhan minimum hingga kebutuhan yang optimal. Konsumsi minimum perorang perhari diperkirakan 20 liter, yang digunakan untuk minum dan personal hygiene, namun 20 liter tersebut belum dapat menjamin terpeliharanya kesehatan secara optimal. Dari 20 liter tersebut, setiap orang perharinya diperkirakan menggunakan air untuk bertahap hidup minimum adalah 7,5 liter dengan memperhitungkan orang yang sedang menyusui (WHO, 2003). Gambar menggambarkan proporsi rumah tangga berdasarkan kabupaten/kota dan konsumsi minimum air untuk keperluan domestik. Di antara delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten, seluruh rumah tangga di Kabupaten Lebak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi air bagi setiap anggotanya minimum 20 liter atau lebih perhari dan merupakan wilayah yang tertinggi. Sebaliknya, proporsi terendah adalah Kabupaten Tangerang yaitu sebesar 93,9 persen. Dari Tabel (Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013) juga dapat dilihat kisaran penggunaan air di Provinsi Banten untuk seluruh kebutuhan rumah tangga perorang perhari dari 7,5 liter sampai dengan lebih dari 300 liter. Dari kisaran tersebut hanya 12,8 persen rumah tangga yang menggunakan air kurang dari 50 liter, di mana batas 50 liter dianggap cukup untuk kebutuhan air perorang perhari dikaitkan dengan kesehatan. 35

67 Tempat tinggal 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% L < 20 L Kabupaten/kota Gambar Proporsi rumah tangga yang konsumsi air perharinya memenuhi standar minimum, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari proporsi rumah tangga menurut tempat tinggal, rumah tangga di perdesaan sedikit lebih rendah proporsinya dalam penggunaan air setiap harinya untuk kebutuhan domestik dasar, yaitu 96,1 persen dibandingkan dengan perkotaan (97,4%). Bila dibandingkan dengan proporsi rumah tangga di seluruh Provinsi Banten, maka proporsi rumah tangga perdesaan juga lebih kecil. Proporsi rumah tangga menurut tempat tinggal dan penggunaan air untuk keperluan rumah tangga dapat dilihat pada Gambar Perkotaan BANTEN Perdesaan % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% < 20 L 20 L Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan air per harinya memenuhi akses dasar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi air sesuai standar minimum menurut kuntil indeks kepemilikan aset. Proporsi rumah tangga yang menggunakan air untuk seluruh kebutuhan rumah tangganya semakin meningkat searah dengan peningkatan kuintil indeks kepemilikan aset. Rumah tangga pada kuintil teratas paling tinggi proporsinya dalam menggunakan air sebanyak 20 liter atau lebih (98,7%). 36

68 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Terbawah Menengah Menengah Menengah Teratas bawah atas Kuintil indeks kepemilikan 20 L < 20 L Gambar Proporsi rumah tangga yang konsumsi air per harinya memenuhi standar minimum menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Beberapa cara pengolahan air sebelum diminum dilakukan oleh rumah tangga di delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten (Gambar ). Proporsi mengolah air terbesar adalah di Kabupaten Pandeglang (91,5%) dan terendah adalah Kota Cilegon (32,7%). Bila dibandingkan dengan proporsi tingkat Provinsi Banten (56,4%), hanya tiga kabupaten yang memiliki proporsi rumah tangga terbesar yang mengolah airnya sebelum diminum, yaitu Kabupaten Pandeglang (91,5%), Kabupaten Lebak (89,5%) dan Kabupaten Serang (69,6%). Ya Tidak 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kabupaten/kota Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga yang mengolah airnya sebelum diminum menurut tempat tinggalnya. Lebih banyak proporsi rumah tangga di perdesaan yang mengolah airnya dibandingkan dengan perkotaan, yaitu 82,9 persen berbanding 45,4 persen. Demikian pula bila dibandingkan dengan di provinsi, rumah tangga di perdesaan tetap lebih tinggi, 37

69 Tempat tinggal Perkotaan BANTEN Ya Tidak Perdesaan % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan indeks kepemilikan aset, dari 56,4 persen rumah tangga yang mengolah airnya, proporsi tertinggi adalah kuintil terbawah (89,0%). Selanjutnya, semakin meningkat indeks kepemilikan aset, semakin menurun proporsi rumah tangga yang mengolah airnya, dengan proporsi terendah sebesar 25,0 persen pada kuintil teratas. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Terbawah Menengah bawah Menengah Kuintil indeks kepemilikan 62 Menengah atas 75 Teratas Tidak Ya Gambar Proporsi rumah tangga yang mengolah air sebelum diminum menurut kuintil indeks kepemilikan aset, Provinsi Banten 2013 Beberapa cara pengolahan air sebelum diminum oleh rumah tangga di Provinsi Banten meliputi, pemasakan/pemanasan, ditambahkan larutan tawas/klorin, disaring/filtrasi, penyinaran matahari, disaring dan ditambah larutan tawas/klorin (Gambar ). Dari 56,4 persen rumah tangga yang mengolah airnya, cara pengolahan air yang paling banyak adalah dengan pemasakan/pemanasan (97,8%), sedangkan sisanya sebesar 2,2 persen rumah tangga melakukan cara pengolahan air dengan penyinaran matahari (1,6%), disaring (0,5%), dan disaring sebelum ditambahkan larutan tawas/klorin (0,5%). 38

70 Pemanasan/dimasak Ditambah larutan tawas/klorin Disaring/filtrasi saja Penyinaran matahari Disaring dan ditambah larutan tawas/klorin Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pengolahan air sebelum diminum, Provinsi Banten Sanitasi Pengertian sanitasi secara sempit adalah akses ke tempat pembuangan tinja berupa jamban atau kloset, sedangkan dalam arti luas meliputi pengelolaan sampah dan air limbah secara efektif termasuk perilaku higienis dalam rangka pemeliharaan kesehatan. Variabel sanitasi yang dikumpulkan meliputi kepemilikan sarana buang air besar berdasarkan tempat tinggal dan kuintil kepemilikan aset, jenis tempat pembuangan akhir tinja, sarana sanitasi improved, sarana penampungan air limbah dan pengelolaan sampah rumah tangga/domestik. Menurut Bappenas (2012) target nasional MDGs untuk sanitasi sebesar 62,4 persen dengan rincian, perkotaan sebesar 76,82 persen dan perdesaan sebesar 55,55 persen. Tentu saja, cakupan tersebut harus memenuhi kriteria JMP untuk sanitasi improved, yaitu yang terdiri dari jamban siram/leher angsa yang dialirkan melalui sewer terpusat, jamban dengan leher angsa (water-seal latrine) ke tangki septik, jamban cubluk dengan ventilasi dan dudukan/slab, dan jamban kompos (WHO, 2006a). Pada Riskesdas 2013 ini yang termasuk dalam jenis sanitasi improved adalah jamban leher angsa atau plengsengan yang terhubung dengan tangki septik dan dimiliki sendiri oleh setiap rumah tangga. Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga menurut kepemilikan tempat buang air besar (BAB) dan tempat tinggalnya. Secara keseluruhan di Provinsi Banten, cakupan tempat BAB yang dimiliki sendiri sebesar 76,7 persen. Sisanya terdiri dari milik bersama (6,7%), milik umum (3,4%), dan BAB sembarangan (13,2%). Di perdesaan, proporsi jamban milik sendiri hanya 54,8 persen dan proporsi tersebut lebih rendah dibandingkan perkotaan yang mencapai 85,8 persen dan Provinsi Banten yang mencapai 76,7 persen. 39

71 Kuintil indeks kepemilikan Tempat tinggal Perkotaan BANTEN Perdesaan % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Milik Sendiri Milik bersama Umum Sembarangan Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air besar menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan kepemilikan tempat BAB dan kuintil indeks kepemilikan aset dapat dilihat pada Gambar Pada gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan aset, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memiliki jamban, demikian pula bila digabungkan dengan jamban milik bersama maupun umum, terlihat bahwa proporsinya semakin meningkat sesuai dengan peningkatan indeks kepemilikan aset. Namun masih ada rumah tangga yang BAB sembarangan pada kuintil menengah atas. Teratas 99.7 Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah % 20% 40% 60% 80% 100% Milik Sendiri Milik bersama Umum Sembarangan Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan tempat buang air menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved menurut kabupaten/kota, yang merupakan komposit dari variable jamban leher angsa, jamban plengsengan, kepemilikan (milik sendiri), dan mempunyai tangki septik. Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang paling besar dalam kepemilikan sanitasi improved (93,5%), sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang (46,4%). Bila dibandingkan dengan target nasional MDGs bidang sanitasi, terdapat lima kabupaten/kota yang memenuhi target, yaitu Kota Tangerang Selatan (93,5%), Kota Cilegon (87,2%), Kota Serang (80,9%) Kota Tangerang (80,1%), dan Kabupaten Tangerang (64.4%), walaupun masih ada waktu kurang dari 2 tahun lagi untuk memenuhi target MDGs

72 Improved Unimproved 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan proporsi rumah tangga menurut karakteristik tempat tinggal dan uintil kepemilikan aset. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, yaitu 77,9 persen berbanding 45,4 persen. Bila dilihat dari kuintil kepemilikan aset, semakin tinggi kuintilnya semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi improved, walaupun masih terdapat sejumlah kecil rumah tangga yang memiliki sarana sanitasi unimproved. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Unimproved Improved Unimproved Improved Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas sanitasi yang improved menurut tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten 2013 Jenis sarana penampungan air limbah rumah tangga di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar Hanya 17,7 persen rumah tangga yang mempunyai sarana air limbah tertutup yang dapat dikatakan baik, sedangkan sisanya (82,4%) merupakan gabungan dari jenis dan cara pembuangan air limbah rumah tangga, yaitu air limbah dibuang langsung ke got/sungai (54,7%), penampungan terbuka (11,4%), penampungan di luar pekarangan (9,0%) dan 7,3 persen tanpa penampungan (dibuang di atas tanah). 41

73 Penampungan tertutup/spal Penampungan di luar pekarangan Langsung ke got/sungai Penampungan terbuka Tanpa penampungan (di tanah) Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan penampungan air limbah, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan beberapa cara pengelolaan sampah domestik yang dilakukan oleh rumah tangga di Provinsi Banten. Membakar sampah masih merupakan cara pengelolaan sampah yang paling banyak dilakukan oleh rumah tangga di Provinsi Banten, diikuti oleh pengelolaan dengan cara diangkut petugas (34,4%), dibuat kompos (0,4%) dan lainnya (20,9%). Proporsi rumah tangga yang mengelola dalam kelompok lainnya meliputi cara-cara ditimbun, ditimbun dalam tanah, dan dibuang sembarangan. Cara-cara pengelolaan sampah yang dianggap baik adalah diangkut petugas dan dibuat kompos Dibakar Dibuat kompos Diangkut petugas Lainnya Gambar Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah domestik, Provinsi Banten 2013 Gambar menggambarkan proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestiknya di delapan kabupaten/kota yang ada di Banten. Kualitas pengelolaan sampah dianggap baik bila sampah yang dikumpulkan di tingkat rumah tangga akan diangkut petugas secara rutin atau dibuat kompos. Sampah yang diangkut oleh petugas diasumsikan akan diolah pada sanitary landfill atau diolah pada tempat yang telah ditentukan peruntukannya. Sebaliknya, pengelolaan dikategorikan tidak baik bila sampah yang terkumpul dibakar, ditimbun dalam tanah atau dibuang sembarangan termasuk dibuang ke sungai/parit/laut. Secara 42

74 keseluruhan, proporsi rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan baik di Provinsi Banten hanya 34,8 persen. Bila dilihat dari delapan kabupaten/kota, semua kota di Provinsi Banten mempunyai proporsi pengelolaan sampah lebih baik dari provinsinya, yaitu Kota Tangerang (68,2%), Kota Tangerang Selatan (62,9%), Kabupaten Serang (40,9%), dan Kota Cilegon (39,5%). Bila melihat proporsi rumah tangga yang membuat kompos sangat kecil, maka ke empat kota tersebut mengandalkan cara pengelolaan sampahnya dengan cara diolah secara terpusat, baik sanitary landfill atau cara lain yang terpusat. Baik Tidak baik 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kabupaten/kota Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan kualitas pengelolaan sampah domestik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah dan karakteristik tempat tinggal dan kuintil kepemilikan aset. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini bahwa rumah tangga di perdesaan jauh lebih sedikit yang mengelola sampahnya dengan baik dibandingkan di perkotaan. Bila dilihat dari indeks kepemilikan, semakin tinggi indeksnya semakin besar proporsi rumah tangga yang mengelola sampahnya dengan baik, dengan kisaran 2,4 persen sampai dengan 74,4 persen. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tidak baik Baik Tidak baik Baik Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Gambar Proporsi rumah tangga menurut cara pengelolaan sampah, tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten

75 3.3.3 Perumahan Indikator perumahan yang disajikan meliputi beberapa variabel penting seperti status kepemilikan rumah tinggal, rumah menurut karakteristik tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan aset, kepadatan hunian dalam rumah, jenis bahan bakar untuk penerangan, jenis bahan bakar untuk masak, cara pencegahan gigitan nyamuk dalam rumah, dan keberadaan bahan kimia dalam rumah. Seluruh variabel perumahan yang diteliti disajikan dalam bentuk tabel dan dapat dilihat pada Buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka Gambar menyajikan proporsi rumah tangga menurut status kepemilikan rumah yang sedang dihuni di Provinsi Banten. Lebih dari 75 persen rumah tangga memiliki rumah untuk dihuni, sedangkan sisanya sebanyak 24,6 persen statusnya bukan milik sendiri, meliputi kontrak (14,2%), bebas sewa/milik keluarga (8,0%), sewa (1,1%), bebas sewa/milik orang lain (0,8%), rumah dinas (0,4%) dan lainnya (0,1%) Milik sendiri Kontrak Sewa Bebas sewa (milik orang lain) Bebas sewa (milik keluarga) Rumah dinas Lainnya Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan status bangunan tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga berdasarkan karakteristiknya dapat dilihat pada Gambar Di daerah perdesaan, lebih banyak proporsi rumah yang statusnya adalah milik sendiri (89,3%), sedangkan di perkotaan hanya 69,6 persen. Bila status kepemilikan rumah dilihat dari indeks kepemilikan aset, pada kuintil terbawah hampir sama proporsinya dalam kepemilikan rumah dengan kuintil teratas, yaitu antara 86,9 persen dengan 87,3 persen. Proporsi terendah yang memiliki rumah sendiri terdapat pada kuintil menengah (63,8%). 44

76 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Milik sendiri Bukan milik sendiri Milik sendiri Bukan milik sendiri Perkotaan Perdesaan Tempat tinggal Terbawah Menengah Menengah Menengah bawah atas Kuintil indeks kepemilikan Teratas 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar Proporsi rumah tangga menurut kepemilikan rumah dan karakteristiknya, Provinsi Banten 2013 Kepadatan hunian rumah merupakan salah satu faktor dalam penentuan rumah sehat. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, standar kepadatan hunian dalam rumah adalah 8 m2/orang. Secara keseluruhan di Banten, proporsi rumah tangga yang memenuhi persyaratan kepadatan hunian sebanyak 87,5 persen (Gambar ). Bila dilihat dari ke semua kabupaten/kota yang ada, hanya Kota Tangerang yang mempunyai proporsi paling rendah (79,0%). Sebaliknya, Kota Cilegon merupakan kota yang proporsi rumah tangganya paling tinggi dalam pemenuhan persyaratan kepadatan hunian (95%). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 8 m2/orang <8 m2/orang Kabupaten/kota Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan kepadatan hunian menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari karakteristiknya, di perdesaan (88,1%) sedikit lebih tinggi proporsi rumah tangga yang memenuhi persyaratan kepadatan hunian dibandingkan dengan perkotaan (87,3%). Sedangkan bila dilihat dari karakteristik kepemilikan, maka semakin tinggi kuintil kepemilikan aset, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang memenuhi syarat kepadatan hunian rumah, dengan kisaran antara 81,5 persen hingga 97,3 persen. 45

77 100% 98% 96% 94% 92% 90% 88% 86% 84% 82% 80% 8 m2/orang <8 m2/orang 8 m2/orang <8 m2/orang % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Gambar Proporsi rumah tangga menurut kepadatan hunian berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Tabel menyajikan proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber penerangan di kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara keseluruhan, hampir semua rumah tangga mempunyai sumber penerangan yang relatif aman yaitu listrik lebih 99,0 persen, sedangkan sebagian kecil (0,6%) menggunakan sumber energi yang tidak aman bagi kesehatan, karena bersumber dari minyak tanah/kerosene. Meskipun asap dari minyak tanah belum bisa dibuktikan bersifat karsinogenik, tetapi lampu yang berbahan bakar minyak tanah seperti petromaks, pelita/obor dan sejenisnya dapat mengeluarkan emisi debu partikulat halus (fine particulate matter), CO, NOx, dan SO2 yang merupakan polutan udara dalam rumah (Lam, dkk, 2012). Tidak ada perbedaan yang antara kuintil tertendah dan tertinggi dalam penggunaan listrik, namun sejumlah kecil masih ada rumah tangga yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk penerangan, terutama pada kuintil terbawah perlu mendapat perhatian. 46

78 Tabel Proporsi rumah tangga berdasarkan jenis sumber energi untuk penerangan menurut karaktistik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Listrik PLN Listrik non PLN Jenis sumber penerangan rumah Petromaks/aladin Pelita/sentir/obor Lainnya Tempat tinggal Perkotaan 99,4 0,5 0,1 0,1 0,0 Perdesaan 99,4 0,3 0,1 0,2 0,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 98,5 0,6 0,2 0,5 0,2 Menengah bawah 99,3 0,6 0,1 0,0 0,0 Menengah 99,5 0,4 0,1 0,0 0,0 Menengah atas 99,8 0,2 0,0 0,0 0,0 Teratas 99,7 0,3 0,0 0,0 0,0 Gambar menyajikan proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar untuk memasak yang dikelompokkan menjadi aman dan tidak aman. Yang termasuk aman adalah listrik dan gas elpiji, sedangkan yang tidak aman meliputi minyak tanah, arang/briket/batok kelapa dan kayu bakar. Meskipun dalam MDGs perhatian hanya ditujukan pada bahan bakar padat yang dianggap membahayakan kesehatan, namun minyak tanah juga dapat mengeluarkan emisi yang berbahaya bagi kesehatan (Lam, dkk, 2012). Bahan bakar untuk memasak sebagian besar sudah dalam kategori aman dari segi kesehatan (81,8%), namun proporsi rumah tangga yang masih menggunakan bahan tidak aman (18.2%) perlu mendapat perhatian Bahan bakar aman Minyak tanah Arang/briket/batok kelapa Kayu bakar Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar memasak menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar Kota Tangerang Selatan menempati proporsi terbesar dalam penggunaan bahan bakar aman untuk memasak (99,4%) dan yang terendah adalah Kabupaten Lebak (43,7%). 47

79 Aman Tidak Aman 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Kabupaten/kota Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Bila dilihat dari karakteristik tempat tinggal, terdapat perbedaan proporsi yang cukup besar dalam penggunaan bahan bakar untuk memasak (Gambar ). Di perkotaan proporsinya 93,5 persen dan di perdesaan sebesar 53,7 persen. Demikian pula proporsi antar indeks kepemilikan aset, terlihat kuintil menengah sampai dengan teratas proporsinya lebih dari 96 persen, sedangkan kuintil terbawah hanya 27,2 persen Aman Tidak aman Aman Tidak aman 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah bawah Tempat tinggal Menengah Kuintil indeks kepemilikan Menengah atas Teratas 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan bahan bakar/energi utama untuk memasak menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Ketersediaan ventilasi alam pada bangunan rumah hunian yang cukup merupakan salah satu persyaratan rumah sehat, yaitu minimum 10 persen dari luas lantai bangunan sesuai Kepmenkes 829/1999 (Depkes, 1999). Ventilasi yang dianggap cukup pada Riskesdas 2013 meliputi pula ventilasi buatan (air conditioner). Gambar memperlihatkan proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup menurut berbagai tiga jenis ruangan dalam rumah dan kabupaten/kota. 48

80 % Ventilasi cukup Secara keseluruhan, ketersediaan ventilasi cukup di Provinsi Banten masih rendah proporsinya, baik untuk ruang tidur, ruang masak, maupun ruang keluarga. Bila dilihat proporsi antar kabupaten/kota, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang relatif lebih tinggi proporsi ventilasi yang cukup. Sedangkan bila dibandingkan antar jenis ruangan, maka ruang keluarga yang paling tinggi proporsinya di tiap-tiap kabupaten/kota Ruang tidur Ruang masak Ruang keluarga Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi rumah tangga yang berventilasi cukup menurut karakteristik, dapat dilihat pada Gambar Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga berventilasi cukup lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan. Bila dibandingkan antar ke lima kuintil, maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang berventilasi cukup. Namun secara keseluruhan, proporsi rumah tangga berventilasi cukup pada kelompok kuintil yang paling atas pun masih di bawah 60 persen. 49

81 Ruang tidur Ruang masak Ruang keluarga Ruang tidur Ruang masak Ruang keluarga Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Gambar Proporsi rumah tangga yang memiliki ventilasi cukup berdasarkan jenis ruangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan proporsi rumah tangga di Banten menurut cara pencegahan dari gigitan nyamuk. Jawaban rumah tangga bisa lebih dari satu jenis cara pencegahan. Karena tidak ada pilihan mengenai kelambu berinsektisida atau tidak, maka diasumsikan bahwa kelambu dalam gambar ini tidak mengandung insektisida, sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok non kimiawi. Bila dilihat dari cara kimiawi, proporsi yang terbanyak adalah obat nyamuk bakar (43,1%). Sedangkan bila dilihat dari cara non kimiawi, pemasangan kasa nyamuk merupakan proporsi yang lebih besar dibandingkan kelambu. Tetapi bila dilihat secara keseluruhan, caracara kimiawi masih mendominasi dibandingkan cara non kimiawi Kelambu Kasa nyamuk Obat nyamuk bakar Repelen 0.5 Insektisida Minum obat Non-Kimiawi Kimiawi Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan cara pencegahan gigitan nyamuk, Provinsi Banten

82 Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Kabupaten/kota Gambar menyajikan proporsi rumah tangga menurut frekuensi menguras bak mandi dalam satu minggu untuk pencegahan jentik nyamuk Aedes Aegypti di delapan kabupaten/kota di Banten. Perilaku menguras bak mandi dikatakan baik bila rumah tangga minimal sekali dalam seminggu melakukannya. Dari sejumlah rumah tangga yang mempunyai bak mandi, proporsi tertinggi yang menguras bak mandi secara baik adalah Kota Tangerang (97,3%) dan Kabupaten Tangerang (96,3%) proporsi terendah adalah Kabupaten Pandeglang (72,0%). Kota Tangerang Tangerang Kota Tangerang Selatan Lebak Kota Cilegon Kota Serang BANTEN Serang Pandeglang % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Satu kali Lebih dari satu kali Tidak pernah Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi per minggu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang menguras bak mandinya minimum sekali dalam seminggu lebih banyak di perkotaan (94,6%) dibandingkan di perdesaan (83,4%). Sedangkan bila dilihat dari semua strata indeks kepemilikan, terlihat bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan, semakin tinggi baik pula proporsi rumah tangga dalam menguras bak mandi (Gambar ). Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah Perdesaan Perkotaan % 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Satu kali Lebih dari satu kali Tidak pernah Gambar Proporsi rumah tangga berdasarkan perilaku menguras bak mandi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Penyimpanan bahan pestisida dan bahan kimia lainnya di dalam rumah berpotensi untuk terjadinya polusi udara dalam rumah, tergantung jenis bahan kimianya. Gambar

83 menyajikan proporsi rumah tangga yang menyimpan bahan kimia termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3) menurut kabupaten/kota di Banten. Secara keseluruhan, proporsi rumah tangga yang menyimpan bahan kimia atau produk kimia sebesar 14, 8%. Di antara delapan kabupaten/kota, Kota Tangerang (23,2%) yang paling banyak menyimpan bahan kimia dan yang paling sedikit adalah Kabupaten Serang (6,7%). Kota Tangerang Kota Cilegon Pandeglang Kota Serang Kota Tangerang Selatan BANTEN Tangerang Lebak Serang % 20% 40% 60% 80% 100% Ya Tidak Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan proporsi rumah tangga yang menyimpan/menggunakan bahan kimia di dalam rumah menurut karakteristik. Berdasarkan tempat tinggal, lebih banyak rumah tangga perkotaan yang menyimpan/menggunakan bahan kimia dibandingkan perdesaan, dengan proporsi 16,6 persen dibandingkan 10,7 persen. Di antara ke lima strata indeks kepemilikan aset, tampak bahwa semakin tinggi indeks kepemilikan, semakin tinggi pula proporsi rumah tangga yang menyimpan/menggunakan bahan kimia tersebut. Ya Tidak Ya Tidak 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tempat tinggal Kuintil indeks kepemilikan Gambar Proporsi rumah tangga yang menggunakan/menyimpan pestisida/insektisida/pupuk kimia menurut karakteristik, Provinsi Banten

84 3.4 Penyakit Menular Informasi mengenai penyakit menular pada Riskesdas 2013 diperoleh dari seluruh kelompok umur dengan total sampel responden di 8 kabupaten/kota seluruh Provinsi Banten. Informasi yang diperoleh berupa insiden, period prevalence dan prevalensi penyakit yang dikumpulkan melalui teknik wawancara menggunakan kuesioner baku (RKD13.IND), dengan pertanyaan terstruktur secara klinis dan informasi laboratorium bila diperlukan. Responden ditanya apakah pernah didiagnosis menderita penyakit tertentu oleh tenaga kesehatan (D: diagnosis). Responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis, ditanyakan lagi apakah pernah/sedang menderita gejala klinis spesifik penyakit tersebut (G: gejala). Jadi insiden, period prevalence dan prevalensi diukur berdasarkan onset penyakit, merupakan data yang didapat dari D maupun G (DG) yang ditanyakan dalam kurun waktu tertentu. Insiden diukur dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang, period prevalence dalam kurun waktu 1 bulan atau kurang dan prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun atau kurang. Data penyakit menular yang dikumpulkan terbatas pada beberapa penyakit, yaitu penyakit yang ditularkan melalui udara (infeksi saluran pernapasan atas/ispa, pneumonia, dan tuberkulosis paru), penyakit yang ditularkan oleh vektor (malaria), penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lewat penularan lainnya (diare dan hepatitis) Penyakit yang Ditularkan Melalui Udara Tabel menunjukkan insiden, period prevalence, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui udara, meliputi ISPA, pneumonia, dan tuberkulosis paru menurut kabupaten/kota. Tabel 3.4.2menunjukkan hal yang sama menurut karakteristik ISPA Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima daerah dengan ISPA tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (32,1%), Kabupaten Tangerang (29,1%), Kota Serang (28,7%), Kabupaten Serang (27,3%), dan Kota Tangerang (25,7%) (Gambar 3.4.1). Gambar Period prevalence ISPA, menurut kabupaten/kota,provinsi Banten 2013 Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (32,2%). Menurut jenis kelamin, lebih banyak terjadi pada perempuan (16,8%) daripada laki-laki (16,1%). Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah.(tabel 3.4.2). 53

85 Tabel Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumoniamenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Period prevalence ISPA (persen) Period prevalence Pneumonia (persen) Period Prevalence Pneumonia Balita (permil) Prevalensi pneumonia (persen) D DG D DG D DG D DG Kab. Pandeglang 18,2 32,1 0,0 3,0 0,0 47,1 1,4 5,7 Kab. Lebak 12,3 15,4 0,1 0,2 0,0 0,0 1,2 1,5 Kab. Tangerang 17,4 29,1 0,0 0,9 0,0 21,6 1,3 3,0 Kab. Serang 20,3 27,3 0,5 1,9 8,4 27,4 2,0 4,0 Kota Tangerang 15,3 25,7 0,5 2,3 5,6 15,2 2,1 5,9 Kota Cilegon 8,3 20,7 0,2 1,8 9,5 21,7 2,5 6,1 Kota Serang 16,3 28,7 0,5 2,0 0,0 2,0 1,8 4,4 Kota Tangerang Selatan 16,1 21,2 0,0 0,6 0,0 8,7 0,9 2,0 Banten 16,4 25,8 0,2 1,5 2,3 19,4 1,6 3, Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang). Pneumonia ditanyakan pada semua penduduk untuk kurun waktu 1 bulan atau kurang dan dalam kurun waktu 12 bulan atau kurang. Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 sebesar 1,5 persen dan 3,8 persen. Lima kabupaten/kota yang mempunyai Period prevalence dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Kabupaten Pandeglang (3,0% dan 5,7%), Kota Tangerang (2,3% dan 5,9%), Kota Serang (2,0% dan 4,4%), Kabupaten Serang (1,9% dan 4,0%), dan Kota Cilegon (1,8% dan 6,1%) (Tabel 3.4.1). Gambar Period prevalence pneumonia menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

86 Berdasarkan kelompok umur penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur tahun dan terus meninggi pada kelompok umur berikutnya. Period prevalence pneumonia balita di Provinsi Banten adalah 19,4 permil. Angka ini lebih tinggi dibanding periode prevalence pneumonia balita nasional sebesar 18,5 per mil. Empat kabupaten/kota yang memiliki proporsi periode prevalence pneumonia balita adalah Kabupaten Pandeglang (47,1 ), Kabupaten Serang (27,4 ), Kota Cilegon (21,7 ), dan Kabupaten Tangerang (21,6 ) (Tabel 3.4.1). Insidensi tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur bulan (24,8 ) (Gambar 3.4.3). Namun pneumonia balita lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan menengah atas (34,2 ) dan terbawah (31,6 ). Gambar Period prevalence pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur, Provinsi Banten

87 Tabel Period prevalence ISPA, pneumonia, pneumonia balita, dan prevalensi pneumonia menurut karaktristik, Provinsi Banten 2013 Period prevalence Period prevalence Prevalensi ISPA Pneumonia Pneumonia Balita (per Pneumonia Karakteristik (persen) (persen) mil) (persen) D DG D DG D DG D DG Kelompok umur (tahun) < 1 26,6 42,2 0,0 0,2 0,6 1, ,2 46,9 0,3 2,4 1,2 1, ,0 28,1 0,2 1,0 1,5 1, ,2 21,2 0,2 1,5 1,2 1, ,0 21,0 0,3 1,3 1,5 1, ,1 22,1 0,2 1,4 1,8 1, ,8 24,8 0,1 1,3 1,9 1, ,9 23,7 0,1 2,3 2,0 1, ,7 26,5 0,2 2,7 2,6 1, ,6 33,9 0,3 3,2 3,1 1,6 Balita (bulan) ,0 19, ,0 21, ,0 24, ,9 23, ,0 24,8 Jenis Kelamin Laki-laki 16,1 25,1 0,2 1,5 2,0 18,3 1,5 3,8 Perempuan 16,8 26,6 0,2 1,4 2,6 20,4 1,6 3,7 Pendidikan Tidak sekolah 16,5 30,4 0,0 2,3 2,0 5,4 Tidak tamat SD/MI 18,3 28,9 0,2 1,4 1,9 4,0 Tamat SD/MI 15,7 24,9 0,2 1,7 1,5 4,3 Tamat SMP/MTS 14,6 22,8 0,2 1,8 1,5 4,1 Tamat SMA/MA 11,7 18,6 0,2 0,9 1,4 3,2 Tamat D1-D3/PT 9,3 14,1 0,3 0,5 1,9 2,7 Pekerjaan Tidak bekerja 14,8 23,4 0,2 1,6 1,6 4,0 Pegawai 12,4 19,6 0,3 0,8 1,5 3,1 Wiraswasta 13,2 20,7 0,5 1,5 2,5 4,9 Petani/Nelayan/Buruh 14,3 23,5 0,0 1,6 1,4 4,2 Lainnya 13,8 24,1 0,0 2,2 2,0 5,5 Tempat Tinggal Perkotaan 15,2 24,8 0,2 1,3 3,4 19,0 1,5 3,7 Perdesaan 18,9 27,9 0,2 1,7 0,0 20,2 1,7 3,9 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 18,2 29,0 0,1 1,9 0,0 31,6 1,8 4,5 Menengah Bawah 18,3 28,6 0,2 1,7 0,0 4,7 1,5 4,0 Menengah 16,1 25,8 0,2 1,2 1,7 20,2 1,3 4,0 Menengah Atas 15,2 24,5 0,3 1,7 8,0 34,2 1,8 4,0 Teratas 14,3 21,0 0,1 0,7 0,0 3,2 1,2 2,3 56

88 Tuberkulosis paru (TB Paru) Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu 2 tahun berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan dahak, foto toraks atau keduanya. Tabel Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Diagnosis TB Gejala TB paru Batuk 2 mgg Batuk darah Kab. Pandeglang 0,6 3,3 2,3 Kab. Lebak 0,4 1,3 5,9 Kab. Tangerang 0,3 1,9 6,3 Kab. Serang 0,9 2,8 4,8 Kota Tangerang 0,4 4,7 1,7 Kota Cilegon 0,5 3,5 2,3 Kota Serang 0,6 1,9 3,1 Kota Tangerang Selatan 0,1 2,4 1,9 Banten 0,4 2,7 3,2 Prevalensi penduduk Banten yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen (Gambar 3.4.4). Kabupaten Serang adalah daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi (0,9%), sedangkan dua daerah dengan prevalensi TB paru tertinggi berikutnya ada di Kabupaten Pandeglang dan Kota Serang dengan prevalensi masing-masing 0,6 persen. 57

89 Tabel Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristk Diagnosis TB paru Gejala TB paru Batuk 2 minggu Batuk darah Kelompok umur (tahun) < 1 0,0 1,8 0, ,3 2,6 0, ,3 2,2 1, ,3 2,4 3, ,3 2,7 4, ,6 2,6 4, ,5 3,3 6, ,1 4,8 3, ,6 3,7 3,4 75 0,1 3,7 0,0 Jenis Kelamin Laki-laki 0,4 3,0 3,8 Perempuan 0,4 2,4 2,5 Pendidikan Tidak sekolah 0,7 3,7 3,0 Tidak tamat SD/MI 0,5 2,7 4,0 Tamat SD/MI 0,5 3,2 3,5 Tamat SMP/MTS 0,5 2,8 3,6 Tamat SMA/MA 0,4 2,1 4,5 Tamat D1-D3/PT 0,1 1,8 1,9 Pekerjaan Tidak bekerja 0,4 2,5 2,1 Pegawai 0,5 3,0 6,5 Wiraswasta 0,7 3,2 5,2 Petani/nelayan/buruh 0,5 3,2 5,3 Lainnya 0,2 2,9 10,4 Tempat Tinggal Perkotaan 0,3 2,9 2,5 Perdesaan 0,7 2,3 5,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,7 2,3 4,6 Menengah Bawah 0,5 3,4 2,7 Menengah 0,4 3,1 3,9 Menengah Atas 0,4 2,2 2,2 Teratas 0,3 2,4 2,7 Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk 2 minggu sebesar 2,7 persen dan batuk darah 3,2 persen (Tabel 3.4.3). Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur dan rendahnya pendidikan. Berdasarkan pekerjaan prevalensi TB paru tertinggi pada wiraswasta dan pada prevalensi di perdesaan lebih tinggi (0,7%) daripada di perkotaan (0,3%). Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas. (Tabel 3.4.4). 58

90 Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 48,7 persen yang diobati dengan obat program. Kota Cilegon dan Kota Tangerang adalah daerah terbanyak yang mengobati TB dengan obat program dengan proporsi masing-masing 75,3 persen dan 75,2 persen (Buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013). Gambar Prevalensi TB paru menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air, dan lainnya Penyakit yang ditularkan melalui makanan, air dan lainnya pada Riskesdas 2013 adalah diare dan hepatitis. Pertanyaan diare yang ditanyakan dalam kurun waktu <2 minggu, sesuai dengan kebutuhan program Hepatitis Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu, hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis). Prevalensi hepatitis di Provinsi Banten tahun 2013 sebesar 0,7 persen. Prevalensi hepatitis tertinggi di Kabupaten Pandeglang (1,4%) kemudian Kota Cilegon (1,0%). (Gambar 3.4.5) Gambar Prevalensi Hepatitis menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

91 Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, kelompok menengah bawah menempati prevalensi hepatitis tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Prevalensi semakin meningkat pada penduduk berusia diatas 15 tahun (Tabel 3.4.6) Diare Diare adalah gangguan buang air besar/bab ditandai dengan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan darah dan atau lendir. Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa dimanfaatkan program. Period prevalence diare Banten pada Tabel sebesar 6,4 persen sedangkan insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Provinsi Banten adalah 3,5 persen (Gambar 3.4.6). Gambar Insiden Diare menurut kabupaten/kota,provinsi Banten 2013 Tabel Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Insiden Diare Period prevalence Prevalensi Hepatitis Insiden Diare balita Diare D DG D DG D DG D DG Kab. Pandeglang 0,1 1,4 2,1 3,3 5,5 7,9 3,4 6,1 Kab. Lebak 0,1 0,3 1,8 2,1 3,9 3,9 3,3 3,9 Kab. Tangerang 0,1 0,5 2,4 3,5 7,4 9,4 4,5 6,3 Kab. Serang 0,1 0,6 3,3 5,1 7,8 9,8 5,4 7,9 Kota Tangerang 0,5 0,8 2,2 3,5 5,2 6,8 4,1 7,2 Kota Cilegon 0,1 1,0 1,8 3,4 7,3 8,6 3,5 6,1 Kota Serang 0,2 0,7 3,5 6,1 5,5 9,6 6,1 10,1 Kota Tangerang Selatan 0,3 0,5 2,3 2,6 6,4 7,0 4,2 4,7 Banten 0,2 0,7 2,4 3,5 6,3 8,0 4,3 6,4 60

92 Tabel Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period prevalence diare menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Prevalensi Insiden diare Period prevalence Insiden Diare Karakteristik Hepatitis balita Diare D DG D DG D DG D DG Kelompok umur (tahun) < 1 0,0 0,0 8,1 10,4 11,4 14, ,0 0,1 5,8 7,4 9,6 12, ,1 0,5 2,3 3,3 4,1 5, ,3 0,7 1,7 2,6 2,8 4, ,3 0,9 1,8 2,9 3,8 5, ,1 0,7 2,0 3,2 3,7 5, ,3 0,8 2,4 3,2 3,8 6, ,2 1,2 2,3 3,6 4,5 6, ,5 1,8 2,6 3,6 3,7 5,8 75 0,0 0,5 4,2 4,6 6,3 8,9 Kelompok umur balita (bulan) ,1 10, ,7 10, ,6 8, ,1 5, ,9 4,7 Jenis Kelamin Laki-laki 0,3 0,7 2,4 3,4 6,2 8,5 4,3 6,3 Perempuan 0,1 0,6 2,5 3,7 6,3 7,5 4,3 6,4 Pendidikan Tidak sekolah 0,0 0,8 2,6 4,1 4,9 7,9 Tidak tamat SD/MI 0,2 0,6 2,5 3,4 4,3 6,0 Tamat SD/MI 0,1 0,7 2,3 3,6 3,9 6,1 Tamat SMP/MTS 0,3 0,8 2,0 3,5 4,1 6,4 Tamat SMA/MA 0,5 0,8 1,3 2,0 2,5 4,2 Tamat D1-D3/PT 0,1 0,6 1,2 1,9 2,4 3,7 Pekerjaan Tidak bekerja 0,2 0,7 1,9 3,0 3,7 5,9 Pegawai 0,7 0,9 1,5 2,2 3,2 4,9 Wiraswasta 0,2 0,7 2,0 3,0 3,4 5,1 Petani/Nelayan/Buruh 0,1 0,8 2,6 3,8 4,0 5,7 Lainnya 0,0 1,4 1,4 2,5 3,7 5,8 Tempat Tinggal Perkotaan 0,3 0,6 2,2 3,3 6,2 8,0 4,0 6,1 Perdesaan 0,1 0,8 2,9 4,0 6,4 7,9 5,0 7,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 0,2 0,7 2,6 4,3 5,7 8,0 4,6 7,1 Menengah Bawah 0,1 0,8 2,6 3,5 5,6 7,2 5,0 7,1 Menengah 0,3 0,6 2,7 3,9 8,6 11,3 4,8 7,2 Menengah Atas 0,2 0,6 2,4 3,5 5,9 7,2 3,5 5,3 Teratas 0,3 0,6 1,8 2,6 5,2 6,1 3,6 5,1 Empat kabupaten/kota dengan insiden dan period prevalence diare tertinggi adalah Kota Serang (6,1% dan 10,1%), Kabupaten Serang (5,1% dan 7,9%), Kota Tangerang (3,5% dan 7,2%), dan Kabupaten Tangerang (3,5% dan 6,3%) (Tabel 3.4.5). 61

93 Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita (12-23 bulan) adalah kelompok yang paling tinggi menderita diare (10,8%). Berdasarkan kuintil indeks kepemilikan, penduduk menengah mempunyai proporsi diare tertinggi (7,2%). Kelompok penduduk yang tidak bekerja mempunyai proporsi tertinggi untuk kelompok pekerjaan (5,9%), sedangkan menurut jenis kelamin dan tempat tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (Tabel 3.4.6). Insiden diare balita di Provinsi Banten adalah 8,0 persen. Empat kabupaten/kota dengan insiden diare balita tertinggi adalah Kabupaten Serang (9,8%), Kota Serang (9,6%), Kabupaten Tangerang (9,4%), dan Kota Cilegon (8,6%) (Tabel 3.4.5). Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok umur bulan (10,8%), laki-laki (8,5%), tinggal di daerah perkotaan (8,0%), dan kelompok kuintil indeks kepemilikan menengah (11,3%) (Tabel 3.4.6). Tabel Penggunaan oralit dan zinc pada diare balita menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Oralit Zn Kab. Pandeglang 31,3 9,6 Kab. Lebak 56,5 41,0 Kab. Tangerang 16,3 21,8 Kab. Serang 52,0 29,6 Kota Tangerang 26,3 13,6 Kota Cilegon 43,8 28,5 Kota Serang 27,0 10,1 Kota Tangerang Selatan 21,6 6,6 Banten 29,1 19,5 Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak kehilangan cairan akibat diare. Kecukupan zinc di dalam tubuh balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian akibat diare. Pemakaian oralit dalam pengobatan diare pada penduduk Provinsi Banten adalah 29,1 persen. Tiga daerah tertinggi penggunaan oralit adalah Kabupaten Lebak (56,5%), Kabupaten Serang (52,0%) dan Kota Cilegon (43,8%). Tiga daerah tersebut juga menjadi daerah tertinggi pemakaian zinc pada pengobatan diare dengan proporsi masing-masing 41,0 persen, 29,6 persen dan 28,5 persen. Sedangkan pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada penduduk Banten hanya sebesar 19,5 persen Penyakit yang ditularkan oleh vektor (Malaria) Malaria merupakan penyakit menular yang menjadi perhatian global. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena sering menimbulkan KLB, berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta dapat mengakibatkan kematian. Penyakit ini dapat bersifat akut, laten atau kronis. Kepada responden yang menyatakan tidak pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan ditanyakan apakah pernah menderita panas disertai menggigil atau panas naik turun secara berkala, dapat disertai sakit kepala, berkeringat, mual, muntah dalam waktu satu bulan terakhir atau satu tahun terakhir. Ditanyakan pula apakah pernah minum obat malaria dengan atau tanpa gejala panas. Untuk responden yang menyatakan pernah didiagnosis malaria oleh tenaga kesehatan ditanyakan apakah mendapat pengobatan dengan obat program kombinasi artemisinin dalam 24 jam pertama menderita panas atau lebih dari 24 jam pertama menderita panas dan apakah habis diminum dalam waktu 3 hari. 62

94 Insiden malaria pada penduduk Banten tahun 2013 adalah 1,4 persen sedangkan prevalensi malaria tahun 2013 adalah 4,3 persen. Empat daerah dengan insiden dan prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Pandeglang (4,4% dan 8,5%), Kota Cilegon (2,2% dan 7,1%), Kota Tangerang (2,0% dan 6,3%) dan Kota Serang (1,7% dan 15,1%). Insiden dan prevalensi malaria terendah di Kabupaten Lebak yaitu sebesar 0,2 persen dan 1,1 persen (Tabel 3.4.8). Gambar Insiden Malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tabel Insiden dan prevalen malaria menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten2013 Kabupaten/kota Insiden malaria Prevalen malaria D D/G D D/G Kab. Pandeglang 0,0 4,4 0,7 8,5 Kab. Lebak 0,0 0,2 0,3 1,1 Kab. Tangerang 0,0 0,9 0,4 4,0 Kab. Serang 0,0 0,7 0,4 2,3 Kota Tangerang 0,0 2,0 0,3 6,3 Kota Cilegon 0,1 2,2 0,3 7,1 Kota Serang 0,1 1,7 0,6 5,1 Kota Tangerang Selatan 0,0 1,0 0,2 2,5 Banten 0,0 1,4 0,4 4,3 Tabel menunjukkan, prevalensi malaria pada anak balita relatif lebih rendah dibanding pada orang dewasa, tetapi proporsi pengobatan dengan obat malaria program pada kelompok umur tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan kelompok umur lainnya (Tabel ). Keadaan ini menunjukkan kewaspadaan dan kepedulian penanganan penyakit malaria pada balita sudah sangat baik. 63

95 Tabel Insiden dan prevalensi malaria menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Insiden malaria Prevalen malaria D D/G D D/G Kelompok umur (tahun) < 1 0,0 0,9 0,2 1, ,0 1,2 0,2 4, ,0 1,6 0,4 4, ,0 1,0 0,3 4, ,0 1,3 0,5 4, ,1 1,8 0,5 5, ,0 1,9 0,3 4, ,1 1,1 0,5 3, ,0 2,5 0,9 4,2 75 0,0 2,1 0,3 5,0 Jenis kelamin Laki-laki 0,0 1,4 0,3 4,1 Perempuan 0,0 1,5 0,5 4,6 Pendidikan Tidak sekolah 0,0 2,3 0,5 5,2 Tidak tamat SD/MI 0,0 1,8 0,5 4,4 Tamat SD/MI 0,0 1,9 0,5 4,4 Tamat SMP/MTS 0,0 1,3 0,4 5,3 Tamat SMA/MA 0,0 1,0 0,3 3,9 Tamat D1-D3/PT 0,2 0,6 0,5 2,5 Pekerjaan Tidak bekerja 0,0 1,7 0,4 4,7 Pegawai 0,0 0,8 0,5 4,2 Wiraswasta 0,0 1,1 0,4 3,8 Petani/nelayan/buruh 0,0 2,0 0,5 4,0 Lainnya 0,0 1,7 0,4 6,0 Tempat tinggal Perkotaan 0,0 1,3 0,4 4,3 Pedesaan 0,0 1,7 0,5 4,3 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,0 2,1 0,4 4,3 Menengah bawah 0,0 1,4 0,3 4,2 Menengah 0,1 1,2 0,5 5,2 Menengah atas 0,0 1,5 0,4 4,4 Teratas 0,0 1,0 0,4 3,4 Pengobatan malaria harus dilakukan secara efektif. Pemberian jenis obat harus benar, dan cara meminumnya harus tepat waktu, sesuai dengan acuan program pengendalian malaria. Pengobatan efektif adalah pemberian ACT pada 24 jam pertama pasien panas dan obat harus diminum habis dalam 3 hari. Proporsi pengobatan efektif di Provinsi Banten adalah 32,4 persen. Kota Tangerang adalah yang tertinggi dalam mengobati malaria secara efektif (67,7%). Penduduk Banten yang mengobati sendiri penyakit malaria yang dideritanya adalah 0,2 persen (Tabel ). Kota Cilegon merupakan yang tertinggi untuk pilihan penduduknya mengobati sendiri penyakit malaria (0,6%) (Tabel ). 64

96 Tabel Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Mendapatkan obat ACT program Pengobatan malaria Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama Minum obat selama 3 hari Mengobati sendiri Kab. Pandeglang 18,2 34,7 93,0 0,4 Kab. Lebak 0,0 0,0 0,0 0,0 Kab. Tangerang 2,0 0,0 100,0 0,1 Kab. Serang 2,0 0,0 0,0 0,2 Kota Tangerang 25,8 67,7 100,0 0,2 Kota Cilegon 23,5 0,0 0,0 0,6 Kota Serang 25,6 47,9 0,0 0,3 Kota Tangerang Selatan 0,0 0,0 0,0 0,4 Banten 10,8 44,3 69,0 0,2 65

97 Tabel Proporsi penderita malaria yang diobati dengan pengobatan sesuai program dan penderita malaria yang mengobati sendiri menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Mendapatkan obat ACT program Pengobatan malaria Mendapatkan obat dalam 24 jam pertama Minum obat selama 3 hari Mengobati sendiri Kelompok umur (tahun) < 1 0,0 0,0 0,0 0, ,0 0,0 0,0 0, ,2 100,0 0,0 0, ,0 49,4 100,0 0, ,0 0,0 0,0 0, ,8 51,5 97,6 0, ,3 0,0 47,3 0, ,0 90,3 36,5 0, ,0 0,0 0,0 0,5 75 0,0 0,0 0,0 0,2 Jenis kelamin Laki-laki 10,4 54,0 80,0 0,2 Perempuan 11,0 37,6 61,3 0,2 Pendidikan Tidak sekolah 6,9 0,0 100,0 0,1 Tidak tamat SD/MI 2,9 0,0 100,0 0,3 Tamat SD/MI 13,6 44,1 42,0 0,2 Tamat SMP/MTS 12,1 0,0 100,0 0,2 Tamat SMA/MA 9,4 100,0 100,0 0,2 Tamat D1-D3/PT 20,3 100,0 100,0 0,0 Pekerjaan Tidak bekerja 13,5 52,3 73,8 0,2 Pegawai 10,7 63,1 63,1 0,2 Wiraswasta 0,0 0,0 0,0 0,0 Petani/nelayan/buruh 10,7 24,3 100,0 0,2 Lainnya 0,0 0,0 0,0 0,7 Tempat tinggal Perkotaan 14,5 52,4 66,3 0,2 Pedesaan 4,4 0,0 83,5 0,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 8,5 14,7 85,3 0,2 Menengah bawah 4,2 62,0 62,0 0,2 Menengah 15,2 62,6 53,8 0,2 Menengah atas 17,1 42,6 73,2 0,3 Teratas 4,1 0,0 100,0 0,2 66

98 3.5 Penyakit Tidak Menular Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan perkembangan yang umumnya lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. Data penyakit tidak menular didapat melalui pertanyaan/wawancara responden tentang penyakit tidak menular yang terdiri dari: (1) asma, (2) penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), (3) kanker, (4) DM, (5) hipertiroid. (6) hipertensi, (7) jantung koroner, (8) gagal jantung, (9) stroke, (10) gagal ginjal kronis, (11) batu ginjal, (12) penyakit sendi/rematik. Jenis pertanyaan meliputi: PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan, besaran PTM berdasarkan keluhan/gejala tertentu yang dialami oleh responden dan onset PTM yang didiagnosis tenaga kesehatan atau yang dialami responden. Prevalensi penyakit adalah gabungan kasus penyakit yang pernah didiagnosis tenaga medis/kesehatan dan kasus yang mempunyai riwayat gejala PTM. Pada kanker, gagal ginjal kronis dan batu ginjal hanya berdasarkan yang terdiagnosis dokter. Data penyakit asma/mengi/bengek dan kanker diambil dari responden semua umur, untuk penyakit paru obstruksi kronis umur >30 tahun, untuk penyakit kencing manis/diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi/tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, penyakit ginjal, penyakit sendi/rematik/encok dan stroke ditanya pada umur 15 tahun. Riwayat penyakit ditanyakan mengenai umur mulai serangan atau tahun pertama didiagnosis, sedangkan pertanyaan gejala ditanyakan mengenai pernah atau dalam kurun waktu 1 bulan mengalami gejala. Hipertensi dinilai melalui 2 cara, yaitu wawancara dan pengukuran. Untuk hipertensi melalui wawancara, ditanyakan mengenai riwayat didiagnosis oleh nakes dan kondisi sedang minum obat anti-hipertensi saat diwawancarai. Untuk hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, dilakukan pengukuran tekanan darah/tensi menggunakan alat pengukur/tensimeter digital. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali. Jika hasil pengukuran ke-dua berbeda 10 mmhg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ke-tiga. Dua data pengukuran dengan selisih terkecil dengan pengukuran terakhir dihitung reratanya sebagai hasil ukur tensi. Informasi hasil analisis penyakit tidak menular (PTM) meliputi (1) asma (2) PPOK (3) kanker (4) DM (5) hipertiroid (6) hipertensi (7) jantung koroner (8) gagal jantung (9) stroke (10) gagal ginjal kronis (11) batu ginjal (12) penyakit sendi/rematik. Informasi disajikan dalam bentuk tabel yang menunjukkan prevalensi tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta karakteristik sosiodemografi. Istilah D dalam tabel berarti telah didiagnosis tenaga kesehatan, D/G adalah hasil diagnosis ditambah gejala (yang belum terdiagnosis). Untuk kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes diberi inisial D, dan gabungan kasus hipertensi berdasarkan diagnosis nakes dengan kasus hipertensi berdasarkan riwayat sedang minum obat hipertensi sendiri diberi istilah DO (diagnosis atau minum obat sendiri), hasil berdasarkan pengukuran diberi inisial U Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik di jalan napas. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau menjelang pagi dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok), dan sedang menderita sakit seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali merasakan sesak napas saat berumur kurang dari 40 tahun (usia serangan terbanyak). 67

99 3.5.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) PPOK adalah penyakit kronik saluran napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi dan bersifat progresif lambat (semakin lama semakin memburuk), disebabkan oleh pajanan faktor risiko seperti merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak dan nilai Indeks Brinkman 200. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah rokok yang diisap per hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah menurun banyak Kanker Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah, immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara terhadap pertanyaan pernah didiagnosis menderita kanker oleh dokter. Tabel mencakup informasi prevalensi asma, PPOK, dan kanker di Provinsi Banten masingmasing 3,8 persen, 2,7 persen, dan 1,0 per mil. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Kota Tangerang (6,6%), diikuti Kota Serang (5,6%), Kota Cilegon (4,9%), dan Kabupaten Pandeglang (4,2%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang (4,6%), diikuti Kota Tangerang (3,5%), Kota Serang (3,0%), dan Kabupaten Tangerang (2,7%). Prevalensi kanker tertinggi terdapat di Kota Tangerang (2,4 ), diikuti Kota Tangerang Selatan (1,9 ), Kota Serang (1,7 ), Kabupaten Tangerang (0,8 ), dan Kabupaten Pandeglang (0,5 ). Tabel Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Asma* PPOK** Kanker( )*** Kab. Pandeglang 4,2 4,6 0,5 Kab. Lebak 0,7 0,9 0,1 Kab. Tangerang 3,1 2,7 0,8 Kab. Serang 2,9 2,4 0,0 Kota Tangerang 6,6 3,5 2,4 Kota Cilegon 4,9 2,6 0,3 Kota Serang 5,6 3,0 1,7 Kota Tangerang Selatan 4,0 1,8 1,9 Banten 3,8 2,7 1,0 *Semua umur berdasarkan wawancara gejala **Usia > 30 tahun berdasarkan wawancara gejala ***Semua umur menurut riwayat diagnosis dokter Dari Tabel menurut karkateristik terlihat bahwa prevalensi asma, PPOK, dan kanker meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi asma pada kelompok umur 45 tahun mulai menurun. Prevalensi kanker agak tinggi pada bayi (0,3 ) dan meningkat pada umur 15 tahun, dan tertinggi pada umur 75 tahun (0,5 ). Prevalensi asma dan kanker pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki, PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. 68

100 Prevalensi asma terlihat sama antara perkotaan dan perdesaan. PPOK lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Prevalensi kanker di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada di perdesaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Asma cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pada penyakit kanker, prevalensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan tinggi dan pada kelompok dengan kuintil indeks kepemilikan teratas. Tabel Prevalensi penyakit asma, PPOK dan kanker menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Asma* PPOK** Kanker( )*** Kelompok umur (tahun) < 1 0,5 0,0 0, ,6 0,0 0, ,9 0,0 0, ,8 0,0 0, ,4 0,8 0, ,5 1,6 1, ,0 2,9 2, ,4 5,7 1, ,7 8,9 5, ,5 8,9 23,6 Jenis Kelamin Laki-Laki 3,4 2,6 0,7 Perempuan 4,2 2,8 1,4 Pendidikan* Tidak Sekolah 3,2 8,4 0,2 Tidak tamat SD/MI 3,5 5,8 0,6 Tamat SD/MI 3,7 2,9 1,1 Tamat SMP/MTS 5,5 1,9 0,9 Tamat SMA/MA 3,8 1,1 1,4 Tamat D1-D3/PT 4,4 0,9 3,7 Pekerjaan** Tidak Kerja 4,3 3,0 1,9 Pegawai 4,0 0,9 1,4 Wiraswasta 3,9 2,2 0,0 Petani/Nelayan/Buruhh 3,7 3,5 0,1 Lainnya 5,2 6,0 0,0 Tempat Tinggal Perkotaan 4,2 2,5 1,4 Perdesaan 3,0 3,1 0,2 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 3,3 4,4 0,6 Menengah bawah 4,4 4,0 0,6 Menengah 4,1 3,1 0,6 Menengah atas 4,0 2,4 1,1 Teratas 3,2 1,6 2,5 *Wawancara semua umur berdasarkangejala **Wawancara umur > 30 tahun berdasarkan gejala ***Wawancara semua umur menurut diagnosis dokter 69

101 Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal (WHO, 2006b). Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif. Ada 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe I/ diabetes juvenile yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe II yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Gejala diabetes mellitus antara lain: rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing (poliuri) terutama malam hari, sering merasa lapar (poliphagi), berat badan yang turun dengan cepat, keluhan lemah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, impotensi, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit akibat jamur di bawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar dengan berat badan > 4 kg. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter, tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala: sering lapar dan sering haus dan sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat badan turun Penyakit Hipertiroid Penyakit hipertiroid adalah suatu keadaan ketika fungsi kelenjar gondok (tiroid) menjadi berlebihan. Kelebihan fungsi kelenjar tersebut meningkatkan produksi hormon tiroid yang mempengaruhi metabolisme tubuh. Gejala penyakit hipertiroid antara lain: jantung berdebardebar, berkeringat banyak, penurunan berat badan, cemas, tidak tahan terhadap udara dingin, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai hipertiroid jika pernah didiagnosis hipertiroid oleh dokter Hipertensi/Tekanan darah tinggi Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. Jika dibiarkan, penyakit ini dapat mengganggu fungsi organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal. Didefinisikan sebagai hipertensi jika pernah didiagnosis menderita hipertensi/penyakit tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita hipertensi tetapi saat diwawancarai sedang minum obat medis untuk tekanan darah tinggi (minum obat sendiri). Kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik 140 mmhg atau tekanan darah diastolik 90 mmhg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk umur 18 tahun, maka prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah dihitung hanya pada penduduk umur 18 tahun. Mengingat pengukuran tekanan darah dilakukan pada penduduk umur 15 tahun maka temuan kasus hipertensi pada umur tahun sesuai kriteria JNC VII 2003 akan dilaporkan secara garis besar sebagai tambahan informasi. Dari Tabel terlihat prevalensi diabetes dan hipertiroid di Provinsi Banten berdasarkan wawancara, yang terdiagnosis dokter sebesar 1,3 persen dan 0,4 persen. DM terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,6 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi maupun yang terdiagnosis dokter dan gejala tertinggi terdapat di empat kabupaten/kota yang sama yaitu Kota Cilegon (2,2% dan 2,8%), Kota Tangerang (1,8% dan 2,5%), Kota Tangerang Selatan (1,7% dan 1,9%) dan Kabupaten Tangerang(1,4% dan 1,7%). Sedangkan prevalensi hipertiroid tertinggi dikota Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 0,9%), Kota Serang(0,7%), dan Kota Tangerang Selatan(0,4%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 23,0 persen, tertinggi di Kota Tangerang (24,5%), diikuti Kabupaten Tangerang (23,6%), Kabupaten Pandeglang (23,2%) dan Kabupaten Lebak (22,7%). Prevalensi hipertensi di Banten yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan dan yang didiagnosis tenaga kesehatan serta minum obat masing-masing 8,6 persen. Jadi, responden yang terdiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan seluruhnya minum obat sendiri. 70

102 Tabel Prevalensi diabetes, hipertiroid pada umur 15 tahun dan hipertensi pada umur 18 tahunmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Diabetes Hipertiroid Wawancara Hipertensi Pengukuran D* D/G D* D** D/O U Kab. Pandeglang 0,6 1,2 0,3 7,5 7,5 23,2 Kab. Lebak 0,5 0,6 0,1 6,5 6,5 22,7 Kab. Tangerang 1,4 1,7 0,2 8,3 8,3 23,6 Kab. Serang 0,7 1,0 0,0 6,2 6,3 21,6 Kota Tangerang 1,8 2,5 0,9 12,1 12,2 24,5 Kota Cilegon 2,2 2,8 0,9 7,6 7,8 21,1 Kota Serang 0,8 1,3 0,7 9,2 9,3 21,8 Kota Tangerang Selatan 1,7 1,9 0,4 8,8 8,8 22,1 Banten 1,3 1,6 0,4 8,6 8,6 23,0 *) D* = berdasarkan diagnosis dokter *) D** = berdasarkan diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan diagnosis dokter atau gejala *) D/O = berdasarkan diagnosis nakes atau minum obat, *) U = berdasarkan pengukuran Dari Tabel terlihat prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, namun mulai umur 65 tahun cenderung menurun. Prevalensi hipertiroid cenderung menetap di usia tahun dan tahun, Prevalensi mulai naik pada umur 55 tahun. Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi pada perempuan cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki. Prevalensi DM, hipertiroid, dan hipertensi di perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja. 71

103 Karakteristik Tabel Prevalensi diabetes melitus, hipertiroid, hipertensi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Hipertensi** Diabetes* Hipertiroid* Wawancara Pengukuran D* D/G D* D** D/O U Kelompok umur (tahun) ,0 0,2 0,3 1,2 1,2 7, ,3 0,7 0,6 4,1 4,1 15, ,9 1,4 0,3 7,9 8,0 24, ,5 4,0 0,3 15,4 15,5 36, ,7 6,1 0,4 21,6 21,7 43, ,2 4,0 0,2 30,4 30,6 55, ,0 1,0 0,0 30,4 30,4 54,7 Jenis Kelamin Laki-Laki 1,2 1,6 0,2 5,6 5,6 19,7 Perempuan 1,4 1,7 0,5 11,7 11,7 26,4 Pendidikan* Tidak Sekolah 1,1 1,3 0,2 21,9 22,0 43,3 Tidak Tamat SD 1,3 2,1 0,3 13,8 13,8 32,6 Tamat SD 1,4 1,7 0,3 10,0 10,0 26,3 Tamat SMP 0,9 1,3 0,2 6,4 6,4 19,9 Tamat SMA 1,2 1,6 0,6 6,0 6,0 17,9 Tamat PT 2,1 2,2 0,4 8,0 8,0 20,4 Pekerjaan** Tidak Kerja 1,3 1,7 0,5 11,6 11,7 26,6 Pegawai 1,4 1,7 0,4 5,7 5,8 18,6 Wiraswasta 2,7 2,9 0,2 10,8 10,8 25,0 Petani/Nelayan/Buruh 0,3 0,7 0,2 4,6 4,6 19,8 Lainnya 0,7 1,7 0,3 6,5 6,7 20,8 Tempat Tinggal Perkotaan 1,6 2,0 0,5 9,4 9,5 23,6 Perdesaan 0,5 0,9 0,1 6,6 6,6 21,6 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,3 0,6 0,2 5,8 5,8 22,1 Menengah bawah 0,7 1,3 0,2 8,3 8,3 21,8 Menengah 1,2 1,7 0,3 9,4 9,4 23,6 Menengah atas 1,9 2,3 0,7 9,8 9,8 24,2 Teratas 2,1 2,2 0,4 8,9 9,0 23,0 *Umur > 15 tahun, **Umur 18 tahun *) D* = berdasarkanriwayat diagnosis dokteran *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter atau gejala *) D/O = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau minum obat, *) U = berdasarkan pengukuran 72

104 Penyakit Jantung Penyakit jantung pada orang dewasa yang sering ditemui adalah penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Responden biasanya mengetahui penyakit jantung yang diderita sebagai penyakit jantung saja. Cara membedakannya dilakukan menanyakan gejala yang dialami responden Penyakit jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah gangguan fungsi jantung akibat otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Secara klinis, ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki/kerja berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Didefinisikan sebagai PJK jika pernah didiagnosis menderita PJK (angina pektoris dan/atau infark miokard) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita PJK tetapi pernah mengalami gejala/riwayat: nyeri di dalam dada/rasa tertekan berat/tidak nyaman di dada dan nyeri/tidak nyaman di dada dirasakan di dada bagian tengah/dada kiri depan/menjalar ke lengan kiri dan nyeri/tidak nyaman di dada, yang dirasakan ketika mendaki/naik tangga/berjalan tergesa-gesa dan nyeri/tidak nyaman di dada hilang ketika menghentikan aktifitas/istirahat Penyakit gagal jantung Gagal Jantung/Payah Jantung (fungsi jantung lemah)adalah ketidakmampuan jantung memompa darah yang cukup ke seluruh tubuh yang ditandai dengan sesak nafas pada saat beraktifitas dan/atau saat tidur terlentang tanpa bantal, dan/atau tungkai bawah membengkak.didefinisikan sebagai penyakit gagal jantung jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung (decompensatio cordis) oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit gagal jantung tetapi mengalami gejala/riwayat: sesak napas pada saat aktifitas dan sesak napas saat tidur terlentang tanpa bantal, kapasitas aktivitas fisik menurun/mudah lelah dan tungkai bawah bengkak Stroke Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/ atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh nakes tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan. Tabel menunjukkan prevalensi jantung koroner berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter Provinsi Banten sebesar 0,5 persen, dan berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 1,0 persen. Prevalensi jantung koroner berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kota Tangerang Selatan (1,0%) diikuti Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang masingmasing 0,8 persen, 0,7 persen, dan 0,6 persen. Sementara prevalensi jantung koroner menurut diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (2,2%) diikuti Kota Cilegon (2,1%), Kota Serang (1,3%) dan Kota Tangerang Selatan (1,2%). Prevalensi gagal jantung berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,09 persendan yang terdiagnosis dokter dan gejala sebesar 0,2 persen. Prevalensi gagal jantung berdasarkan terdiagnosis dokter tertinggi Kabupaten Tangerang (0,20%), disusul Kota Tangerang Selatan (0,15%) dan Kabupaten Serang (0,07%). Prevalensi gagal jantung 73

105 berdasarkan diagnosis dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Prevalensi stroke di Provinsi Banten berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 5,1 permil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala sebesar 9,6 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kota Tangerang Selatan (7,7 ), diikuti Kabupaten Pandeglang (6,6 ), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang masing-masing 5,1 permil dan 5,0 permil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(17,0 ), Kabupaten Serang(12,4 ), Kota Cilegon (9,7 ), diikuti Kota Tangerang sebesar 9,1 permil. Tabel Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada umur 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Jantung Koroner Gagal jantung Stroke ( ) Kabupaten/Kota D * D/G D * D/G D ** D/G Kab. Pandeglang D/G D/G D/G 0,4 2,2 0,00 0,2 6,6 17,0 Kab. Lebak 0,1 0,1 0,01 0,0 5,1 7,5 Kab. Tangerang 0,3 0,7 0,20 0,2 4,5 7,0 Kab. Serang 0,2 0,7 0,07 0,1 4,5 12,4 Kota Tangerang 0,6 1,4 0,04 0,2 5,0 9,1 Kota Cilegon 0,7 2,1 0,0 0,0 2,1 9,7 Kota Serang 0,8 1,3 0,04 0,1 3,5 7,0 Kota Tangerang Selatan 1,0 1,2 0,15 0,2 7,7 1,0 Banten 0,5 1,0 0,09 0,2 5,1 9,6 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter/nakes atau gejala Tabel menunjukkan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur tahun yaitu 2,4 persen menurun sedikit pada kelompok umur 75tahun. Begitu pula dengan prevalensi PJK yang didiagnosis dokter dan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada kelompok umur75 tahun ke atas yaitu 4,6 persen. Prevalensi PJK yang didiagnosis dokter pada perempuan sama besarnya pada laki-laki masing-masing 0,5 persen. Sedangkan prevalensi PJK berdasarkan diagnosis dokter dan gejala sedikit lebih rendah pada perempuan (1,0% berbanding 1,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, prevalensi PJK tertinggi pada masyarakat dengan pendidikan paling tinggi (1,1% dan 1,5%). Begitu pula berdasarkan tingkat kepemilikan, prevalensi PJK tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas yaitu 1,2 persen dan 1,4 persen. Berdasarkan PJK terdiagnosis dokter maupun berdasarkan terdiagnosis dokter dan gejala, prevalensi PJK lebih tinggi di perkotaan daripada di perdesaan. 74

106 Tabel Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan strok kepada umur 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Jantung Koroner Gagal jantung Stroke( ) D* D/G D* D/G D** D/G Kelompok umur (tahun) ,1 0,6 0,0 0,0 0,3 0, ,2 0,7 0,0 0,0 0,1 2, ,3 0,7 0,1 0,2 3,3 6, ,8 1,6 0,1 0,2 11,4 17, ,8 2,9 0,4 0,4 17,2 27, ,4 3,6 0,4 1,1 36,1 72, ,1 4,6 1,6 2,7 53,8 91,7 Jenis Kelamin Laki-Laki 0,5 1,1 0,1 0,1 3,8 8,4 Perempuan 0,5 1,0 0,1 0,2 6,5 10,8 Pendidikan* Tidak Sekolah 0,3 1,3 0,0 0,3 12,0 39,0 Tidak Tamat SD 0,6 1,3 0,0 0,1 9,6 19,2 Tamat SD 0,3 1,0 0,1 0,1 7,5 12,6 Tamat SMP 0,3 0,9 0,2 0,2 2,3 5,0 Tamat SMA 0,6 1,0 0,1 0,2 3,2 5,1 Tamat PT 1,1 1,5 0,0 0,2 5,0 7,0 Pekerjaan** Tidak Kerja 0,6 1,3 0,1 0,3 8,1 13,6 Pegawai 0,4 0,8 0,0 0,0 1,9 4,5 Wiraswasta 0,8 1,4 0,0 0,0 5,2 7,7 Petani/Nelayan/Buruh 0,0 0,3 0,0 0,0 2,4 6,6 Lainnya 0,4 2,0 0,7 0,7 0,8 9,6 Tempat Tinggal Perkotaan 0,6 1,1 0,1 0,2 5,6 9,0 Perdesaan 0,2 0,9 0,0 0,1 4,1 10,8 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,1 1,0 0,0 0,1 3,1 9,3 Menengah bawah 0,2 0,9 0,1 0,2 4,3 10,8 Menengah 0,4 0,8 0,0 0,2 5,8 10,0 Menengah atas 0,6 1,1 0,1 0,2 5,6 9,1 Teratas 1,2 1,4 0,2 0,2 6,6 8,6 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis dokter/nakes atau gejala Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur < 75 tahun (1,6%) untuk yang terdiagnosis dokter dan cenderung sama pada kelompok umur tahun dan tahun (0,4%). Untuk yang terdiagnosis dokter dan gejala, tertinggi pada umur 75 tahun (2,7%). Untuk yang didiagnosis dokter, prevalensi sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan (0,1%), dan sedikit lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki (0,2% berbanding 0,1%) berdasarkan didiagnosis dokter dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis dokter dan gejala lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan hidup di perkotaan (0,3% berbanding 0,2%). Prevalensi yang didiagnosis dokter, lebih tinggi di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan tinggi. Sebaliknya untuk yang terdiagnosis dokter dan 75

107 gejala, lebih banyak di perkotaan tetapi cenderung tetap mulai kuintil indeks kepemilikan menengah bawah hingga teratas. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis nakes, serta yang didiagnosis nakes dan gejala, meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur 75 tahun (53,8 dan 91,7 ). Prevalensi yang terdiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (5,5 berbanding 3,8 ) demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala lebih banyak pada kelompok perempuan daripada laki-laki (10,8 berbanding 8,4 ). Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, baik yang didiagnosis nakes (12,0 ) maupun diagnosis nakes dan gejala (39,0 ). Prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi dari di perdesaan, berdasarkan diagnosis nakes (5,6 ) tetapi lebih tinggi di desa dari di kota berdasarkan diagnosis nakes dan gejala (10,8 ). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (8,1 ) maupun yang didiagnosis nakes dan gejala (13,6 ). Prevalensi stroke yang didiagnosis nakes dan gejala, lebih tinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas dan menengah bawah masing masing 6,6 permil dan 10,8 permil Penyakit ginjal Penyakit ginjal adalah kelainan yang mengenai organ ginjal yang timbul akibat berbagai faktor, misalnya infeksi, tumor, kelainan bawaan, penyakit metabolik atau degeneratif, dan lain-lain. Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah. Di Indonesia, penyakit ginjal yang cukup sering dijumpai antara lain adalah penyakit gagal ginjal dan batu ginjal. Didefinisikan sebagai gagal ginjal kronis jika pernah didiagnosis menderita penyakit gagal ginjal kronis (minimal sakit selama 3 bulan berturut-turut) oleh dokter. Didefinisikan sebagai penyakit batu ginjal jika pernah didiagnosis mengalami penyakit batu ginjal oleh dokter Penyakit Sendi/Rematik/Encok Penyakit sendi/rematik/encok adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik pada sendi-sendi tubuh. Gejala klinik penyakit sendi/rematik berupa gangguan nyeri pada persendian yang disertai kekakuan, merah, dan pembengkakan yang bukan disebabkan oleh benturan/kecelakaan dan berlangsung kronis. Gangguan terutama muncul pada waktu pagi hari. Didefinisikan sebagai penyakit sendi/rematik/encok jika pernah didiagnosis menderita penyakit sendi/rematik/encok oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau ketika bangun tidur pagi hari pernah menderita salah satu gejala: sakit/nyeri atau merah atau kaku atau bengkak di persendian yang timbul bukan karena kecelakaan. Tabel menunjukkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,2 persen. Prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 0,4 persen, diikuti Kabupaten Serang (0,3%), Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang Selatan masing-masing 0,2 persen. Sementara Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Serang masing masing 0,1 persen. Prevalensi penderita batu ginjal berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter di Provinsi Banten sebesar 0,4 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (0,9%), diikuti Kabupaten Pandeglang (0,8%) dan Kota Tangerang (0,7%). Prevalensi penyakit sendi di Provinsi Banten berdasarkan diagnosis nakes sebesar 9,5 persen dan berdasarkan diagnosis dan gejala sebesar 20,6 persen. Prevalensi berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Kabupaten Pandeglang (21,0%), diikuti Kabupaten Lebak (13,0%), Kota Tangerang (9,5%) dan Kabupaten Serang (9,0%). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes dan gejala tertinggi di Kabupaten Pandeglang (37,7%), diikuti Kota Cilegon (22,6%) dan Kota Tangerang (22,4%). 76

108 Tabel Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur 15 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi D* D* D** D Kab. Pandeglang 0,4 0,8 21,0 37,7 Kab. Lebak 0,2 0,4 13,0 20,0 Kab. Tangerang 0,1 0,2 6,6 18,5 Kab. Serang 0,3 0,4 9,0 20,1 Kota Tangerang 0,1 0,7 9,5 22,4 Kota Cilegon 0,0 0,9 8,1 22,6 Kota Serang 0,1 0,1 6,9 15,9 Kota Tangerang Selatan 0,2 0,4 5,9 12,1 Banten 0,2 0,4 9,5 20,6 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau gejala Tabel menunjukkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter tertinggi pada kelompok umur tahun (0,4%), kemudian mengalami penurunan pada kelompok umur tahun (0,2%) dan taun (0,1%). Namun kembali meningkat pada kelompok umur > 75 tahun (0,2%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,3%), di perdesaan (0,2%), tamat SD, tamat SMA ((0,2%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah sebesar 0,4 persen. Prevalensi penyakit batu ginjal berdasarkan wawancara, meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalesi tertinggi pada kelompok umur > 75 tahun (1,4%). Prevalensi lebih tinggi pada laki-laki (0,5%) dibanding perempuan (0,3%). Prevalensi tertinggi pada masyarakat tidak bersekolah (0,9%), masyarakat perdesaan (0,5%) serta masyarakat petani/nelayan/ buruh (0,6%) dan status ekonomi kuintil indeks kepemilikan terbawah (0,6%). 77

109 Tabel Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis, batu ginjal, dan sendi pada umur 15 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Gagal Ginjal Kronis Batu Ginjal Penyakit Sendi D* D** D* D/G Kelompok umur (tahun) ,0 0,0 0,9 5, ,0 0,2 4,7 13, ,2 0,6 11,2 24, ,4 0,9 17,7 36, ,2 1,2 23,7 43, ,0 0,8 35,6 54, ,2 1,4 37,9 58,4 Jenis Kelamin Laki-Laki 0,3 0,5 7,4 17,1 Perempuan 0,0 0,3 11,6 24,2 Pendidikan* Tidak Sekolah 0,1 0,9 28,3 46,7 Tidak Tamat SD 0,1 0,6 19,8 38,4 Tamat SD 0,2 0,5 13,9 28,4 Tamat SMP 0,1 0,2 6,5 15,7 Tamat SMA 0,2 0,4 4,3 12,5 Tamat PT 0,1 0,1 3,8 9,1 Pekerjaan** Tidak Kerja 0,1 0,4 10,6 22,1 Pegawai 0,1 0,4 4,7 12,3 Wiraswasta 0,3 0,4 11,3 23,6 Petani/Nelayan/Buruh 0,3 0,6 10,8 24,1 Lainnya 0,2 0,1 9,4 21,1 Tempat Tinggal Perkotaan 0,1 0,4 7,5 18,3 Perdesaan 0,2 0,5 13,9 25,7 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,4 0,6 13,7 27,9 Menengah bawah 0,1 0,3 10,4 23,2 Menengah 0,0 0,5 9,3 20,2 Menengah atas 0,2 0,3 7,7 18,6 Teratas 0,1 0,4 6,8 13,6 *) D* = berdasarkan riwayat diagnosis dokter *) D** = berdasarkan riwayat diagnosis nakes *) D/G = berdasarkan riwayat diagnosis nakes atau gejala 78

110 Prevalensi penyakit sendi berdasarkan wawancara yang didiagnosis nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur, demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala. Prevalensi tertinggi pada umur 75 tahun (37,9% dan 58,4%). Prevalensi yang didiagnosis nakes lebih tinggi pada perempuan (11,6%) dibanding laki-laki (7,4%) demikian juga yang didiagnosis nakes dan gejala pada perempuan (24,2%) lebih tinggi dari laki-laki (17,1%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes (28,3%) maupun diagnosis nakes dan gejala (46,7%). Prevalensi tertinggi pada pekerjaan wiraswasta berdasarkan yang didiagnosis nakes (11,3%) dan kelompok petani/nelayan/buruh (24,1%) untuk kasus yang diagnosis nakes dan gejala. Prevalensi yang didiagnosis nakes di perdesaan (13,9%) lebih tinggi dari perkotaan (7,5%), demikian juga yang diagnosis nakes dan gejala di pedesaan (25,7%), di perkotaan (18,3%). Kelompok yang didiagnosis nakes maupun terdiagnosis nakes dan gejala, prevalensi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan terbawah masing-masing (13,7% dan 27,9%). 79

111 3.6 Cedera Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga sebelumnya (WHO, 2004). Kasus cedera diperoleh berdasarkan wawancara. Cedera yang ditanyakan adalah peristiwa yang dialami responden selama 12 bulan terakhir untuk semua umur. Definisi cedera dalam Riskesdas adalah kejadian atau peristiwa yang mengalami cedera yang menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu. Untuk kasus cedera yang kejadiannya lebih dari 1 kali dalam 12 bulan, kasus cedera yang ditanyakan adalah cedera yang paling parah menurut pengakuan responden. Jumlah data yang dianalisis seluruhnya orang untuk semua umur. Adapun skema jumlah data yang dianalisis sebagai berikut : Responden diwawancara (semua umur) Responden tidak alami cedera Responden alami cedera Penyebab cedera terbanyak Transportasi sepeda motor Penyebab lain Umur 1 tahun Umur < 1 tahun Jenis cedera Tempat kejadian Pemakaian helm Bagian tubuh cedera Lama rawat Kecacatan Keterangan: : ada di laporan Riskesdas Banten dalam Angka Prevalensi Cedera dan penyebabnya Penyebab terjadinya cedera meliputi penyebab yang disengaja (intentional injury), penyebab yang tidak disengaja (unintentional injury) dan penyebab yang tidak bisa ditentukan (undetermined intent) (WHO, 2004). Penyebab cedera yang disengaja meliputi bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seperti dipukul orang tua/suami/istri/anak), penyerangan, tindakan kekerasan/pelecehan dan lain-lain. Penyebab cedera yang tidak disengaja antara lain: terbakar/tersiram air panas/bahan kimia, jatuh dari ketinggian, digigit/diserang binatang, kecelakaan transportasi darat/laut/udara, kecelakaan akibat kerja, terluka karena benda tajam/tumpul/mesin, kejatuhan benda, keracunan, bencana alam, radiasi, terbakar dan lainnya. Penyebab cedera yang tidak dapat ditentukan (undetermined intent) yaitu penyebab cedera yang sulit untuk dimasukkan kedalam kelompok penyebab yang disengaja atau tidak disengaja. Penyebab cedera yang dituliskan dalam laporan ini adalah penyebab yang tidak disengaja. Prevalensi dan proporsi penyebab cedera menurut kabupaten/ kota disajikan pada Tabel

112 Prevalensi cedera Provinsi Banten adalah 9 persen, prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Serang (13,7%) dan terendah di Kota Tanggerang Selatan (3,0%). Kabupaten/ kota yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka provinsi sebanyak 5 Kabupaten/ kota. Penyebab cedera terbanyak yaitu kecelakaan sepeda motor (45,1%) dan jatuh (38,4%). Adapun penyebab cedera yang mempunyai angka proporsi lebih dari 0% meliputi transportasi darat lain (7,5%), terkena benda tajam/tumpul (6,2%), kejatuhan (1,9%), terbakar (0,6%), gigitan hewan (0,1%) dan lainnya (0,2%). Penyebab cedera transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan (60,1 persen) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (35,3%). Adapun untuk transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi di Kota Serang (10,7%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Lebak (2,8%). Proporsi jatuh tertinggi di Kabupaten Lebak (46,5%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (23,0%). Proporsi tertinggi terkena benda tajam/tumpul terjadi di Kabupaten Serang (11,0%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (3,6%). Penyebab cedera karena terbakar ditemukan proporsi tertinggi di Kota Serang (1,4%) dan terendah (tanpa kasus) di Kabupaten Lebak, Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan. Untuk penyebab cedera karena gigitan hewan tertinggi terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang (0,5%) dan terendah (tanpa kasus) terjadi di 5 kabupaten/ kota yaitu Kabupaten Lebak, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Proporsi kejatuhan tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang (3,3%) dan terendah (tanpa kasus) di Kota Tangerang Selatan. Adapun untuk gambaran prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik disajikan pada Tabel Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur tahun (12,2%), laki-laki (48,1%), pendidikan tidak sekolah (10,2%), pada pekerjaan lainnya (9,9%), bertempat tinggal di perkotaan (9,4%) dan pada menengah bawah (10,8%). Ditinjau dari penyebab cederanya, proporsi tertinggi adalah cedera karena kecelakaan sepeda motor (73,3%) pada kelompok umur tahun, laki-laki (48,1%), tamat PT (73,5%), pegawai (75,6%), tinggal di perkotaan (45,1%) dan kuintil indeks kepemilikan menengah (48,9%). Selain itu penyebab cedera karena jatuh menempati peringkat kedua menunjukkan proporsi tertinggi yaitu (100%) pada kelompok umur <1 tahun, perempuan (45,5%), tingkat pendidikan tidak tamat SD (56,1%), tidak bekerja (37,6%), tinggal di perkotaan (39,1%), dan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah (43%). Sedangkan penyebab cedera transportasi darat lain proporsi tertinggi terjadi pada umur 5-14 tahun (14,8%), laki-laki (8,2%), tidak sekolah (18,9%), status pekerjaan lainnya (9,1%), berdasarkan tempat tinggal di perkotaan dan perdesaan masing-masing 7,5% dan kuintil indeks kepemilikan teratas (8,6%). 81

113 Sepeda motor Trans Darat lain Jatuh Benda Tajam/ tumpul Terbakar Gigitan Hewan Kejatuhan Lainnya Tabel Prevalensi dan proporsi penyebab cedera langsung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Penyebab cedera Kabupaten/Kota Cedera Kab. Pandeglang 9,9 35,3 8,8 42,5 8,8 0,6 0,5 3,3 0,2 Kab. Lebak 4,8 38,4 2,8 46,5 10,3 0,0 0,0 0,9 1,1 Kab. Tangerang 10,8 47,5 7,1 39,7 3,6 0,7 0,1 1,3 0,0 Kab. Serang 8,2 42,5 5,2 38,7 11,0 0,4 0,5 1,7 0,0 Kota Tangerang 11,1 45,9 8,5 36,8 5,0 0,5 0,0 2,9 0,4 Kota Cilegon 10,7 48,3 7,5 33,4 8,4 0,0 00 1,8 0,7 Kota Serang 13,7 45,5 10,7 35,7 4,8 1,4 0,0 1,8 0,0 Kota Tangerang Selatan 3,0 60,1 8,5 23,0 8,4 0,0 0,0 0,0 0,0 Banten 9,0 45,1 7,5 38,4 6,2 0,6 0,1 1,9 0,2 82

114 Sepeda motor Trans Darat lain Jatuh Benda Tajam/ tumpul Terbakar Gigitan Hewan Kejatuhan Lainnya Tabel Prevalensi cedera dan penyebabnya menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Penyebab cedera Karakteristik Cedera Kelompok umur (th) < 1 1,9 2,8 1,0 91,3 2,5 0,7 0,0 0,9 0, ,2 6,5 5,4 79,4 4,2 1,5 0,3 2,3 0, ,7 19,0 14,7 57,3 5,4 0,6 0,3 2,4 0, ,7 67,4 4,1 20,4 5,7 0,5 0,2 1,5 0, ,3 56,6 4,4 25,0 9,6 0,9 0,3 2,4 0, ,6 49,8 4,5 29,9 10,6 0,9 0,5 3,3 0, ,4 40,8 5,7 37,7 10,3 0,6 0,6 3,6 0, ,6 30,3 5,6 49,4 9,3 0,6 0,8 3,4 0, ,9 15,3 5,8 67,1 6,5 0,3 0,8 3,4 0, ,5 6,1 4,4 78,2 6,3 0,5 0,8 2,0 1,7 Jenis Kelamin Laki-laki 10,1 44,6 7,3 35,7 8,1 0,6 0,4 2,7 0,6 Perempuan 6,4 34,2 6,8 49,3 6,0 0,8 0,3 2,1 0,5 Pendidikan Tidak sekolah 8,6 16,1 8,5 61,6 8,5 0,7 0,8 3,2 0,7 Tidak tamat SD/MI 8,8 21,2 12,7 54,6 7,0 0,6 0,4 2,8 0,6 Tamat SD/MI 7,9 43,0 6,7 37,3 8,7 0,5 0,4 2,9 0,5 Tamat SMP/MTS 9,1 59,9 4,5 24,2 7,8 0,7 0,3 2,1 0,5 Tamat SMA/MA 8,3 63,9 4,2 21,8 6,6 0,7 0,3 2,0 0,5 Tamat Diploma/PT 6,2 62,6 4,3 24,6 6,0 0,7 0,2 1,1 0,5 Status pekerjaan Tidak bekerja 8,4 43,4 7,5 39,9 5,8 0,6 0,3 2,0 0,5 Pegawai 8,4 65,3 4,3 20,0 6,8 0,7 0,3 2,1 0,6 Wiraswasta 7,8 59,3 5,3 23,5 7,7 0,9 0,3 2,4 0,5 Petani/nelayan/ buruh 8,0 43,9 4,5 33,5 12,6 0,6 0,7 3,6 0,5 Lainnya 8,2 53,2 6,3 27,4 8,6 0,7 0,3 2,9 0,8 Tempat tinggal Perkotaan 8,7 42,8 7,8 39,7 5,8 0,8 0,3 2,3 0,5 Perdesaan 7,8 38,2 6,4 42,3 8,9 0,6 0,4 2,7 0,5 Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 8,3 28,1 5,5 50,8 10,4 0,7 0,6 3,6 0,5 Menengah bawah 8,4 37,0 7,2 43,6 8,0 0,5 0,4 2,6 0,6 Menengah 8,4 41,5 7,2 40,0 7,2 0,8 0,3 2,5 0,4 Menengah atas 8,7 45,1 7,4 37,9 6,0 0,7 0,3 2,1 0,5 Teratas 7,5 46,9 7,8 35,7 5,8 0,9 0,2 2,0 0,6 83

115 3.6.2 Jenis Cedera Jenis cedera merupakan jenis atau macam luka akibat trauma yang telah dialami yang dapat menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Seseorang bisa mengalami satu atau lebih dari satu jenis cedera (multiple injuries). Gambaran proporsi jenis cedera yang dialami penduduk menurut kabupaten/ kota disajikan pada Tabel Proporsi jenis cedera di Provinsi Banten didominasi oleh luka lecet/memar sebesar 76,2 persen, terbanyak terdapat di Kota Serang (88,1%) dan yang terendah di Kabupaten Lebak yaitu (65,8%). Jenis cedera terbanyak ke dua adalah terkilir, rata-rata di Provinsi Banten 29,0 persen. Ditemukan terkilir terbanyak di Kabupaten Tangerang sebesar 34 persen. Luka robek menduduki urutan ketiga jenis cedera terbanyak, jenis luka ini tertinggi ditemukan di Kota Tangerang Selatan 29,3 persen di atas angka provinsi yaitu 20,1 persen dan terendah di Kabupaten Tangerang (14,8%). Jenis cedera lainnya proporsinya kecil, patah tulang 6,1 persen, jenis cedera lainnya 1,6 persen, cedera mata 0,4 persen, anggota tubuh terputus, dan gegar otak masing-masing proporsinya di Provinsi Banten sebesar 0,2 persen. Adapun untuk gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik, disajikan pada Tabel Tabel memberikan gambaran proporsi jenis cedera menurut karakteristik responden. Proporsi jenis luka yang menunjukkan 3 urutan proporsi tertinggi adalah luka lecet/memar, terkilir dan luka robek. Berdasarkan kelompok umur, proporsi lecet/memar dan geger otak menunjukkan pola atau kecenderungan yang sama yaitu pada usia <1 tahun proporsinya rendah, meningkat di usia muda dan menurun di usia lanjut. Adapun kecenderungan proporsi yang menggambarkan pola positif yaitu semakin bertambah umur proporsinya tinggi ditunjukkan pada jenis cedera luka robek, patah tulang, anggota tubuh terputus dan jenis cedera lainnya. Kelompok umur yang mempunyai proporsi tertinggi untuk jenis cedera lecet/memar pada umur 5-14 tahun (83%), luka robek pada umur tahun (34,7%), patah tulang pada umur >75 tahun (11,6%), terkilir pada umur < 1 tahun (49,5%), anggota tubuh terputus pada kelompok usia >75 tahun sekitar 7,4 persen, cedera mata pada umur tahun sekitar 2,4 persen, gegar otak pada umur tahun (0,5%) dan jenis cedera lainnya pada umur >75 tahun (10,6%). Kabupaten/kota Tabel Proporsi jenis cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Lecet/ memar Luka robek Patah Tulang Terkilir Jenis Cedera Anggota Tubuh Terputus Cedera Mata Gegar otak Lainnya Kab. Pandeglang 72,8 24,1 4,2 23,8 0,0 0,3 0,3 0,6 Kab. Lebak 65,8 24,8 9,4 32,7 0,0 0,0 0,7 1,5 Kab. Tangerang 73,8 14,8 5,7 34,0 0,1 0,1 0,2 1,4 Kab. Serang 78,7 20,7 9,3 18,9 0,0 0,0 0,4 1,7 Kota Tangerang 79,7 23,8 5,8 33,8 0,7 1,0 0,0 1,9 Kota Cilegon 67,9 20,9 5,1 19,5 0,4 1,6 0,0 3,2 Kota Serang 88,1 17,8 3,6 18,3 0,0 0,4 0,1 0,7 Kota Tangerang Selatan 77,5 29,3 8,0 31,7 0,0 0,0 0,0 3,8 Banten 76,2 20,1 6,1 29,0 0,2 0,4 0,2 1,6 84

116 Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan angka proporsi yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, kecuali pada jenis cedera lecet/memar dan terkilir. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar proporsi jenis cedera menunjukkan pola meningkat seiring dengan kenaikan tingkat pendidikan yaitu ada kecenderungan proporsi jenis cedera meningkat sejalan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan, kecuali pada cedera mata dan gegar otak. Sedangkan menurut status pekerjaan, proporsi jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. Berdasarkan pada tempat tinggal, proporsi jenis cedera lecet/memar, luka robek, patah tulang lebih besar terjadi diperdesaan, sedangkan jenis cedera tekilir, anggota tubuh terputus, cedera mata, dan jenis lainnya proporsinya terjadi lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan untuk jenis cedera tidak menunjukkan pola tertentu. 85

117 Karakteristik Kelompok Umur (tahun) Tabel Proporsi jenis cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Lecet/ memar Luka robek Patah Tulang Terkilir Jenis Cedera Anggota Tubuh Terputus Cedera Mata Gegar otak Lainnya < 1 51,6 0,0 0,0 49,5 0,0 0,0 0,0 0, ,2 11,3 3,2 22,9 0,0 0,0 0,0 2, ,0 17,8 5,9 18,4 0,0 0,5 0,2 0, ,1 22,2 5,0 28,7 0,5 0,3 0,3 0, ,4 27,1 6,8 36,1 0,2 0,3 0,5 3, ,3 16,7 8,9 39,0 0,0 0,4 0,0 2, ,5 25,8 5,0 43,2 0,0 0,6 0,0 1, ,4 20,5 15,2 29,7 0,0 0,9 0,0 5, ,6 34,7 7,6 34,3 0,0 2,4 0,0 0, ,8 24,2 11,6 38,2 7,4 0,0 0,0 10,6 Jenis Kelamin Laki-laki 75,2 23,4 7,1 27,8 0,2 0,4 0,3 1,6 Perempuan 77,7 15,0 4,5 30,8 0,2 0,3 0,1 1,6 Pendidikan Tidak sekolah 69,1 23,7 7,1 23,6 0,0 1,6 0,9 2,7 Tidak tamat SD/MI 79,4 19,0 6,2 20,1 0,0 0,0 0,0 1,4 Tamat SD/MI 75,9 23,7 7,9 31,4 0,0 0,7 0,2 1,0 Tamat SLTP/MTS 72,4 23,2 5,3 32,0 0,0 0,2 0,4 0,5 Tamat SLTA/MA 78,4 23,4 7,2 35,4 0,8 0,6 0,2 3,1 Tamat Diploma / PT 74,1 12,2 6,3 45,1 1,8 0,0 0,0 1,6 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 76,7 19,4 6,2 28,7 0,2 0,6 0,2 1,8 Pegawai 76,6 18,2 8,6 40,8 0,9 0,3 0,0 2,2 Wiraswasta 75,5 24,6 10,2 32,1 0,0 0,0 0,0 2,4 Petani/nelayan/buruh 67,8 33,0 6,3 29,0 0,0 0,5 0,6 0,8 Lainnya 75,0 23,2 1,8 34,4 0,0 0,0 0,0 2,3 Tempat Tinggal Perkotaan 76,1 19,4 5,3 29,6 0,2 0,4 0,2 1,8 Perdesaan 76,2 21,9 8,1 27,4 0,1 0,3 0,2 1,0 Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 69,6 20,8 6,3 26,8 0,0 0,2 0,2 2,3 Menengah bawah 78,9 20,9 6,7 23,2 0,0 0,3 0,0 1,7 Menengah 78,0 20,5 5,1 34,3 0,7 0,7 0,0 1,3 Menengah keatas 77,6 18,9 3,3 31,4 0,0 0,0 0,7 1,0 Teratas 74,2 19,2 10,4 29,8 0,4 0,9 0,0 1,8 86

118 3.6.3 Tempat Terjadinya Cedera Tempat terjadinya cedera adalah lokasi atau area dimana peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan cedera terjadi. Tempat kejadian cedera hanya menginformasikan data tentang lokasi/tempat tanpa disertai keterangan aktivitas yang sedang dilakukan responden pada saat kejadin cedera di lokasi tersebut. Keterangan tempat rumah dan sekolah termasuk lingkungan sekitarnya (indoor dan outdoor). Ruang lingkup pertanian termasuk perkebunan dan sejenisnya. Gambaran tentang tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel Secara provinsi, cedera terjadi paling banyak di jalan raya yaitu 42,4 persen selanjutnya di rumah (40,9%), sekolah (5,5%) dan tempat olahraga (3,8%). Kabupaten/kota yang memilki angka proporsi tempat cedera di rumah dan sekitanya tertinggi adalah Kabupaten Serang (49%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (24,7%). Adapun untuk proporsi tempat cedera di sekolah tertinggi di Kota Cilegon (8,5%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,9%). Tempat kejadian cedera di jalan raya mempunyai proporsi paling tinggi dibandingkan dengan tempat yang lain. Kabupaten/ kota yang mempunyai proporsi tempat kejadian cedera di jalan raya yang melebihi angka Provinsi Banten sebanyak 4 kabupaten/kota. Adapun proporsi kejadian cedera di jalan raya terbanyak di Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah di Kabupaten Serang (29,2%). Kejadian cedera di tempat umum dan industri proporsinya tampak lebih kecil dibandingkan tempat lain. Sedangkan proporsi di area pertanian menunjukkan angka proporsi yang sangat melebihi angka provinsi (3,3%) yaitu 10,6 persen terjadi di Kabupaten Pandeglang terendah di Kota Tangerang (tanpa kasus). Gambaran proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik disajikan pada Tabel Menurut kelompok umur tempat kejadian cedera di sekolah kebanyakan terjadi pada kelompok umur 5 14 tahun (12,0%). Adapun jalan raya merupakan tempat kejadian cedera yang banyak terjadi pada umur produktif dan tampak tertinggi khusus pada umur yaitu 66,8 persen. Tempat umum dan industri menunjukkan pola yang sama yaitu kebanyakan terjadi pada kelompok umur produktif, kecuali di area pertanian proporsi tertinggi pada umur tahun (9,0%). Menurut jenis kelamin, proporsi tempat kejadian cedera mayoritas lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan kecuali di rumah dan sekolah. Adapun berdasarkan pendidikan yang menunjukkan pola negatif yaitu semakin tinggi pendidikan proporsi cedera semakin rendah terjadi di rumah, sekolah dan pertanian. Sedangkan proporsi menunjukkan pola positif dengan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi proporsi cedera ditunjukkan pada tempat kejadian cedera di area olahraga dan jalan raya. Menurut status pekerjaan tampak proporsi tertinggi pada yang tidak bekerja, demikian juga pada rumah, sekolah dan area olahraga. Sedangkan di jalan raya memperlihatkan proporsi tertinggi pada status pegawai. Adapun untuk area pertanian tampak proporsi tertinggi pada status pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh (11,6%). 87

119 Tabel Proporsi tempat terjadinya cedera menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tempat terjadinya cedera: Kabupaten/kota Olah Jalan Tempat Rumah Sekolah raga Raya umum Industri Pertanian Lainnya Kab. Pandeglang 40,9 1,9 2,9 39,1 1,2 1,7 10,6 1,7 Kab. Lebak 41,8 7,6 3,1 38,4 2,7 0,7 5,2 0,5 Kab. Tangerang 42,7 4,0 3,9 44,3 2,1 1,4 1,6 0,0 Kab. Serang 49,0 8,3 4,3 29,2 0,0 1,0 8,2 0,0 Kota Tangerang 37,3 6,9 4,7 45,9 1,7 2,5 0,0 1,0 Kota Cilegon 33,8 8,5 3,2 40,1 3,9 5,8 2,5 2,2 Kota Serang 42,9 5,9 2,3 45,8 0,5 1,0 1,3 0,4 Kota Tangerang Selatan 24,7 5,5 3,4 56,1 5,1 2,0 1,4 1,8 Banten 40,9 5,5 3,8 42,4 1,8 1,8 3,3 0,6 Berdasarkan tempat tinggal, mayoritas proporsi tempat kejadian cedera menunjukkan lebih tinggi terjadi di perkotaan dibandingkan perdesaan, kecuali pada area pertanian dan tempat terjadinya cedera lainnya. Menurut kuintil indeks kepemilikan, tampak adanya kecenderungan proporsi semakin meningkat seiring dengan status ekonomi, kecuali pada tempat kejadian di area pertanian menunjukkan sebaliknya yaitu dengan semakin tinggi tingkat ekonominya kejadian cedera di tempat tersebut semakin rendah. Sedangkan untuk tempat kejadian selain tempat-tempat tersebut menunjukan pola yang tidak teratur. 88

120 Tabel Proporsi tempat terjadinya cedera menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Tempat terjadinya cedera Karakteristik Rumah Sekolah Olah raga Jalan Raya Tempat umum Industri Pertanian Lainnya Kategori Umur (tahun) <1 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0, ,2 1,3 1,7 3,4 0,0 0,3 0,2 0, ,8 12,0 5,7 20,5 0,0 0,0 1,9 0, ,3 6,0 5,1 66,8 1,9 1,7 2,1 0, ,6 1,5 3,6 63,0 3,7 5,2 3,3 1, ,0 2,5 2,1 60,9 1,1 2,2 8,3 2, ,0 2,3 0,0 40,2 8,1 3,8 5,7 0, ,8 1,2 0,4 40,7 1,8 0,4 8,7 0, ,6 0,0 0,3 31,2 2,4 2,5 9,0 0, ,9 0,0 6,9 12,4 0,0 0,0 8,7 0,0 Jenis Kelamin Laki-laki 34,1 4,9 6,0 46,1 1,9 2,5 3,8 0,8 Perempuan 51,8 6,3 0,2 36,6 1,5 0,6 2,5 0,4 Pendidikan Tidak sekolah 56,6 5,8 2,9 24,4 1,9 1,4 7,1 0,0 Tidak tamat SD/MI 55,5 10,9 4,1 25,1 0,1 0,6 3,5 0,1 Tamat SD/MI 30,3 6,6 4,1 47,3 1,5 1,8 7,1 1,3 Tamat SLTP/MTS 20,2 6,3 4,0 59,7 3,1 2,6 3,2 1,0 Tamat SLTA/MA 19,2 2,0 3,9 67,3 3,0 3,6 0,5 0,5 Tamat Diploma / PT 15,3 1,0 10,4 67,3 6,0 0,0 0,0 0,0 Status Pekerjaan Tidak Bekerja 36,9 9,1 5,2 43,7 0,6 0,4 3,9 0,3 Pegawai 14,3 0,9 4,9 71,2 2,7 5,4 0,0 0,6 Wiraswasta 25,4 3,6 4,0 58,4 5,2 1,0 2,4 0,0 Petani/nelayan/buruh 13,7 2,6 1,1 59,8 3,3 5,5 11,6 2,4 Lainnya 23,1 2,0 4,4 53,3 14,0 2,2 0,1 0,9 Tempat Tinggal Perkotaan 41,1 6,3 4,3 42,8 2,1 1,9 1,0 0,6 Perdesaan 40,4 3,4 2,5 41,5 1,0 1,3 9,0 0,8 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 42,3 3,4 3,1 38,8 1,6 0,7 9,1 1,1 Menengah bawah 46,2 2,7 3,7 40,1 1,1 2,2 3,6 0,4 Menengah 33,2 7,7 4,0 46,1 3,0 2,7 2,0 1,3 Menengah keatas 39,3 6,5 4,4 44,3 1,6 2,1 1,6 0,2 Teratas 44,3 8,0 3,5 42,5 1,5 0,3 0,0 0,0 89

121 3.7 Kesehatan Gigi dan Mulut Survei kesehatan gigi pertama kali dilaksanakan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan melalui Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) 1986, selanjutnya secara periodik dilaksanakan melalui SKRT 1995, SKRT 2001, SKRT 2004, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, dan Riskesdas Riskesdas 2013 mengumpulkan data kesehatan gigi secara komprehensif yang meliputi indikator status kesehatan gigi, indikator jangkauan pelayanan dan perilaku kesehatan gigi. Pengumpulan data melalui wawancara maupun pemeriksaan gigi dan mulut dengan jumlah sampel keseluruhan responden. Wawancara dilakukan terhadap responden semua umur. Pertanyaan perilaku ditanyakan kepada kelompok umur 10 tahun. Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan pada kelompok umur 12 tahun. Hasil ini dapat dibandingkan dengan Riskesdas 2007 sebagai evaluasi keberhasilan intervensi berbagai program perbaikan derajat kesehatan gigi dan mulut penduduk Indonesia. Pada tabel menurut karakteristik responden, ditambahkan juga kelompok umur menurut WHO. Pembagian kelompok menurut WHO ini diperlukan karena pada umur 12 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar satu sudah tumbuh semua (permanen). Pada umur 15 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar 2 sudah tumbuh semua, dan pada umur 18 tahun, seluruh gigi dari insisivus hingga molar tiga diharapkan sudah tumbuh semua. Penilaian dalam dentogram dilakukan untuk gigi permanen saja. Demikian juga pada umur tahun, diharapkan 20 gigi berfungsi, serta umur 65 tahun. (Hasil lengkap di buku Riskesdas Banten dalam Angka 2013) Effective Medical Demand Effective Medical Demand (EMD) didefinisikan sebagai persentase penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir dikalikan (x) persentase penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan gigi dari tenaga medis. Gambar Proporsi penduduk semua umur yang bermasalah gigi dan mulut serta mendapat perawatan, dan EMD, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 23,7 persen penduduk Banten mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir (potential demand). Diantara mereka, terdapat 33,1 persen yang menerima perawatan dan pengobatan dari tenaga medis (perawat gigi, dokter gigi atau dokter gigi spesialis), sementara 66,9 persen lainnya tidak dilakukan perawatan. Secara keseluruhan keterjangkauan/kemampuan untuk mendapatkan pelayanan dari tenaga medis gigi/emd hanya 7,9 persen (lihat Gambar 3.7.1). 90

122 Tabel Proporsi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir sesuai Effective Medical Demand menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Bermasalah Gigi dan mulut (%) Menerima perawatan dari tenaga medis gigi (%) Effective MedicalDemand(%) Kab. Pandeglang 26,7 28,1 7,5 Kab. Lebak 16,8 31,0 5,2 Kab. Tangerang 23,1 29,5 6,8 Kab. Serang 24,0 32,8 7,9 Kota Tangerang 30,7 37,1 11,4 Kota Cilegon 24,8 40,3 10,0 Kota Serang 27,4 33,2 9,1 Kota Tangerang Selatan 16,6 40,5 6,7 Banten 23,7 33,1 7,9 *) Bermasalah gigi dan mulut (%) Tabel menggambarkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut yang menerima perawatan dari tenaga medis gigi dalam 12 bulan terakhir menurut kabupaten/ kota. Kota Tangerang mempunyai masalah gigi dan mulut tertinggi (30,7%) dengan EMD 11,4 persen yang juga EMD tertinggi diantara kabupaten/kota lainnya. Sedangkan Kabupaten Lebak mempunyai masalah gigi dan mulut terendah yaitu 16,8% dengan EMD yang paling rendah pula (5,2%). 91

123 Tabel Proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Bermasalah gigi dan mulut (%) Menerima perawatan dari tenaga medis gigi (%) Effective Medical Demand (%) Kelompok umur < 1 3,3 33,1 1, ,3 23,1 2, ,4 39,9 10, ,9 28,9 6, ,2 26,3 5, ,7 35,6 8, ,0 37,5 10, ,2 33,9 10, ,1 31,3 8, ,3 26,6 5,4 Kelompok umur (WHO) 12 21,9 33,8 7, ,7 22,9 5, ,5 18,6 3, ,0 37,5 10, ,2 33,9 10, ,1 31,3 8, ,3 26,6 5,4 Jenis kelamin Laki laki 22,1 30,3 6,7 Perempuan 25,4 35,7 9,0 Pendidikan Tidak Sekolah 26,9 39,6 10,7 Tidak Tamat SD/MI 27,4 32,9 9,0 Tamat SD/MI 26,3 27,4 7,2 Tamat SMP/MTS 24,7 30,4 7,5 Tamat SMA/MA 23,3 39,3 9,2 Tamat D1-D3/PT 22,4 46,0 10,3 Pekerjaan Tidak bekerja 25,6 33,6 8,6 Pegawai 22,4 37,4 8,4 Wiraswasta 27,9 31,0 8,6 Petani/nelayan/buruh 24,3 25,9 6,3 Lainnya 27,9 28,7 8,0 Tempat tinggal Perkotaan 24,0 34,1 8,2 Pedesaan 23,0 31,0 7,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 24,1 26,3 6,3 Menengah bawah 24,3 27,3 6,6 Menengah 24,2 33,6 8,1 Menengah atas 24,0 37,5 9,0 Teratas 21,5 41,8 9,0 92

124 Tabel menunjukkan proporsi penduduk dengan masalah gigi dan mulut (potential demand) menurut karakteristik. Proporsi tertinggi pada usia produktif tahun sebesar 31,2 persen dengan proporsi EMD 10,6 persen. Proporsi EMD pada laki laki (6,7%) lebih rendah dibanding perempuan (9,0%). Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi EMD pada kelompok pendidikan lebih tinggi (11,3%). Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok pegawai memiliki EMD terbesar (9,8%). Berdasarkan tempat tinggal, di daerah perkotaan (8,6%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (7,5%), dan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. Tabel memperlihatkan proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut kabupaten/kota. Proporsi penduduk yang berobat ke dokter gigi spesialis terbanyak di Kota Tangerang Selatan (11,3%). Responden yang berobat ke dokter gigi lebih banyak di kota besar, seperti di Kota Tangerang Selatan (78,9%) dan Kota Tangerang sebesar 76,5 persen. Pemanfaatan pelayanan dokter gigi terendah di Kabupaten Pandeglang (22,2%), tetapi tertinggi untuk pemanfaatan pelayanan perawat gigi yaitu sebesar 35,5%. Sedangkan pemanfaatan pelayanan perawat gigi terendah di Kabupaten Tangerang (1,7%). Proporsi penduduk berobat gigi berdasarkan jenis tenaga pelayanan menurut karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas Banten dalam Angka Tabel Persentase penduduk pergi berobat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Dokter gigi Dokter Perawat Paramedik Tukang Lainnya spesialis(%) gigi(%) gigi(%) lainnya(%) gigi(%) (%) Kab. Pandeglang 1,5 22,2 35,5 28,9 0,3 24,2 Kab. Lebak 1,0 22,9 25,0 48,0 0,4 6,1 Kab. Tangerang 2,7 77,0 1,7 13,2 0,3 5,5 Kab. Serang 2,6 35,9 12,6 33,7 0,3 18,7 Kota Tangerang 9,5 76,5 10,2 7,6 0,4 12,2 Kota Cilegon 2,3 71,7 9,5 21,8 0,0 2,3 Kota Serang 9,9 64,3 2,8 21,5 1,6 3,0 Kota Tangerang Selatan 11,3 78,9 5,3 3,2 0,4 2,4 Banten 5,5 61,5 11,0 18,3 0,4 10,1 93

125 3.7.2 Perilaku Menyikat Gigi Setiap orang perlu menjaga kesehatan gigi dan mulut dengan cara menyikat gigi secara benar untuk mencegah terjadinya karies gigi. Pertanyaan tentang perilaku menyikat gigi dalam Riskesdas 2013 bertujuan untuk mengetahui kebiasaan dan waktu menyikat gigi. Definisi berperilaku benar dalam menyikat gigi adalah kebiasaan menyikat gigi setiap hari sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Tabel menunjukkan proporsi penduduk umur 10 tahun sebagian besar (97,1%) menyikat gigi setiap hari. Daerah dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (98,9%) dan terendah Kabupaten Serang (95,3%). Sebagian besar penduduk juga menyikat gigi pada saat mandi pagi, yaitu sebesar 96,9 persen dengan urutan tertinggi di Kabupaten Pandeglang sebesar 98,3 persen, dan yang terendah di Kota Cilegon sebesar 95,6 persen. Sebagian besar penduduk menyikat gigi setiap hari saat mandi pagi atau mandi sore. Kebiasaan yang keliru hampir merata tinggi di seluruh kelompok umur. Kebiasaan benar menyikat gigi penduduk Banten hanya 1,5 persen, Kota Tangerang Selatan tertinggi untuk perilaku menyikat gigi dengan benar yaitu 4,5 persen. Tabel menggambarkan proporsi penduduk umur 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menurut karakteristik. Menurut tempat tinggal, responden di perkotaan lebih banyak berperilaku menyikat gigi benar dibandingkan perdesaan. Laki-laki (1,4%) lebih rendah dibandingkan perempuan (1,6%). Demikian pula semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, maka semakin baik perilaku menyikat gigi dengan benar. Berdasarkan jenis pekerjaan, kelompok lainnya lebih banyak berperilaku menyikat gigi dengan benar. Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/ kota Sikat gigi setiap hari Mandi pagi Mandi sore Sesudah makan pagi Waktu menyikat gigi Sesudah bangun pagi Sebelum tidur malam Sesudah makan siang Menyikat Mandi gigi dengan pagi dan benar sore Kab. Pandeglang 95,8 98,3 90,4 1,0 3,3 12,9 4,7 89,1 0,2 Kab. Lebak 97,5 97,9 94,2 0,9 2,2 10,5 2,5 93,0 0,3 Kab. Tangerang 96,8 96,7 87,1 1,9 2,7 28,5 3,9 85,2 0,9 Kab. Serang 95,3 97,3 82,1 2,9 8,2 23,2 5,7 80,8 1,0 KotaTangerang 98,4 96,6 81,4 2,5 3,1 37,5 7,5 80,6 2,0 Kota Cilegon 96,3 95,6 81,5 3,5 3,5 31,5 11,3 79,3 2,1 Kota Serang 97,0 97,3 87,2 1,9 5,3 25,7 5,5 86,2 1,4 Kota Tangerang Selatan 98,9 95,7 70,1 5,3 6,0 52,7 3,4 69,3 4,5 Banten 97,1 96,9 84,2 2,4 4,1 29,1 5,0 82,8 1,5 94

126 Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menyikat gigi setiap hari dan berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Sikat gigi setiap hari Mandi pagi Mandi sore Sesudah makan pagi Waktu menyikat gigi Sesudah bangun Pagi Sebelum tidur malam Sesudah makan siang Mandi pagi dan sore Menyikat gigi benar Kelompok Umur ( tahun ) ,9 97,9 85,8 1,9 3,3 19,4 3,6 84,8 0, ,8 97,5 84,2 2,2 4,0 32,9 4,4 83,2 1, ,9 96,0 84,5 2,5 4,6 32,6 5,5 82,8 1, ,4 97,3 85,2 3,0 4,2 30,5 5,5 84,2 2, ,0 96,9 82,5 1,7 3,7 27,4 5,9 80,9 1, ,2 95,1 81,1 3,8 4,2 24,4 5,1 79,0 2, ,2 96,2 78,6 3,4 4,2 18,6 3,7 76,6 1,4 Kelompok Umur 12 Th (WHO) 12 97,7 97,8 83,4 1,6 3,5 16,8 4,2 82,4 0, ,8 97,2 88,3 2,4 4,0 32,5 6,5 87,1 0, ,1 98,5 85,4 1,4 4,7 33,1 4,0 85,2 0, ,4 97,3 85,2 3,0 4,2 30,5 5,5 84,2 2, ,0 96,9 82,5 1,7 3,7 27,4 5,9 80,9 1, ,2 95,1 81,1 3,8 4,2 24,4 5,1 79,0 2, ,2 96,2 78,6 3,4 4,2 18,6 3,7 76,6 1,4 Jenis Kelamin Laki laki 96,8 96,9 82,6 2,5 3,7 25,4 3,9 81,4 1,4 Perempuan 97,5 96,9 85,7 2,4 4,4 32,9 6,1 84,4 1,6 Pendidikan Tidak Sekolah 82,3 96,3 82,3 3,8 3,6 13,1 8,2 80,5 1,0 Tidak Tamat SD 94,4 97,4 86,9 1,5 3,3 15,7 5,0 85,2 0,5 Tamat SD 96,7 97,0 88,2 1,8 3,7 18,0 5,1 86,5 0,8 Tamat SLTP 98,1 97,1 86,2 2,1 3,9 30,5 5,0 84,8 1,0 Tamat SLTA 99,4 96,9 80,2 2,6 4,4 39,7 4,5 79,5 2,0 Tamat PT 99,4 95,4 72,2 6,4 5,9 60,6 4,9 71,7 5,9 Pekerjaan Tidak kerja 96,6 97,0 85,7 2,3 4,2 28,4 5,5 84,2 1,2 Pegawai 99,1 97,0 77,5 3,5 4,8 43,6 4,6 77,0 2,9 Wiraswasta 98,0 96,0 85,5 2,3 3,9 27,2 4,5 84,0 1,5 Petani/nelayan/buruh 96,1 97,3 86,6 1,7 2,9 15,8 3,9 85,1 0,6 Lainnya 97,3 96,0 81,4 3,2 4,6 30,7 5,9 79,8 3,0 Tempat tinggal Perkotaan 97,7 96,3 81,3 2,9 4,1 36,4 5,2 79,9 2,0 Pedesaan 95,9 98,2 90,4 1,5 3,9 12,9 4,4 89,3 0,4 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 93,7 98,1 88,0 1,5 2,6 11,0 5,1 86,8 0,3 Menengah bawah 96,1 96,3 88,7 2,5 4,5 19,0 5,7 86,3 1,3 Menengah 98,6 97,2 83,3 2,4 4,1 30,7 5,0 82,3 1,4 Menengah atas 98,0 96,5 83,1 2,0 4,4 33,5 4,5 81,8 1,3 Teratas 98,9 96,6 77,7 3,9 4,5 50,0 4,5 77,2 3,3 95

127 3.7.3 Indeks DMF-T dan Komponen D-T, M-T, F-T Nilai X adalah rata-rata dari D, rata-rata M, rata-rata F dan rata-rata DF. Indeks DMF-T merupakan penjumlahan dari komponen D-T, M-T, dan F-T yang menunjukkan banyaknya kerusakan gigi yang pernah dialami seseorang, baik berupa gigi Decayed/D (merupakan jumlah gigi permanen yang mengalami karies dan belum diobati atau ditambal), Missing/M (jumlah gigi permanen yang dicabut atau masih berupa sisa akar), dan Filled/F adalah jumlah gigi permanen yang telah dilakukan penumpatan atau ditambal. Indeks DMF-T menggambarkan tingkat keparahan kerusakan gigi permanen. Tabel Komponen D, M, F, dan index DMF-T menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik responden D-T (X) M-T (X) F-T (X) DF-T (X) Index DMF-T (X) Indeks Umur (WHO) 12 1,12 0,44 0,04 0,02 1, ,92 0,15 0,04 0,00 1, ,21 0,55 0,02 0,00 1, ,07 2,65 0,12 0,02 4, ,22 4,67 0,18 0,05 7, ,59 9,55 0,20 0,04 12, ,15 15,32 0,00 0,00 16,47 Kelompok Umur ,93 0,31 0,03 0,01 1, ,25 0,32 0,06 0,02 1, ,96 1,41 0,11 0,04 3, ,07 2,65 0,12 0,02 4, ,22 4,67 0,18 0,05 7, ,59 9,55 0,20 0,04 12, ,15 15,32 0,00 0,00 16,47 Jenis Kelamin Laki-laki 1,62 1,74 0,06 0,01 3,41 Perempuan 1,59 2,25 0,11 0,03 3,92 Pendidikan Tidak sekolah 2,46 9,52 0,07 0,07 11,98 Tidak tamat SD 1,79 2,78 0,05 0,01 4,61 Tamat SD 1,78 2,31 0,04 0,02 4,12 Tamat SLTP 1,43 0,89 0,05 0,01 2,36 Tamat SLTA 1,39 1,32 0,17 0,05 2,83 Tamat PT 0,95 1,76 0,46 0,05 3,13 Status Pekerjaan Tidak kerja 1,33 1,75 0,08 0,02 3,15 Pegawai 1,56 1,26 0,21 0,03 3,00 Wiraswasta 1,48 2,57 0,10 0,04 4,11 Petani/nelayan/buruh 2,39 3,15 0,03 0,02 5,55 Lainnya 2,70 1,81 0,04 0,01 4,54 Tempat tinggal Perkotaan 1,52 1,86 0,11 0,02 3,47 Perdesaan 1,78 2,27 0,05 0,03 4,07 Status ekonomi Terbawah 1,81 2,30 0,02 0,01 4,12 Menengah bawah 1,85 2,55 0,04 0,03 4,39 Menengah 1,44 1,90 0,09 0,02 3,41 Menengah atas 1,74 1,68 0,10 0,03 3,50 Teratas 0,84 1,24 0,26 0,02 2,32 96

128 Indeks DMF-T Indonesia sebesar 3,7 dengan nilai masing-masing: D-T=1,6; M-T=2,0; F-T=0,09; yang berarti kerusakan gigi penduduk Indonesia 370 buah gigi per 100 orang. Tabel 3.7.6, menunjukkan indeks DMF-T menurut karakteristik. Index DMF-T meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu sebesar 1,77 pada kelompok umur 18 tahun, kemudian 4,83 pada umur tahun dan 7,02 pada umur tahun. Demikian pula pada umur dan umur > 65 tahun. Namun untuk kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi kuintil indeks, semakin rendah nilai DMF-T, hal ini terlihat pada kuintil indeks kepemilikan menengah bawah nilai DMF-T nya 4,39 sedang untuk yang teratas nilai DMF-T nya lebih rendah yaitu 2,32. 97

129 3.8 Disabilitas Bahasan disabilitas bertujuan mendapatkan pemahaman seutuhnya tentang pengalaman hidup penduduk karena kondisi kesehatan termasuk penyakit atau cedera yang dialami. Setiap orang memiliki peran tertentu, seperti bekerja dan melaksanakan kegiatan/aktivitas rutin yang diperlukan. Kuesioner disabilitas dikembangkan oleh WHO untuk mendapatkan informasi sejauh mana seseorang dapat memenuhi perannya di rumah, tempat kerja, sekolah atau area sosial lain, hal yang tidak mampu dilakukan atau kesulitan melakukan aktivitas rutin (WHO 2010). Informasi besaran masalah disabillitas dapat dimanfaatkan untuk menyusun prioritas dan mengevaluasi efektivitas dan kinerja program kesehatan. Instrumen untuk data disabilitas pada Riskesdas 2013 diadaptasi dari WHODAS 2 sebagai operasionalisasi dari konsep International Classification of Functioning (ICF), yang terdiri dari 12 pernyataan/komponen untuk mendapatkan informasi tentang status disabilitas seseorang. Instrumen ini dapat digunakan oleh enumerator non medis. Responden untuk topik disabilitas adalah mereka yang berusia 15 tahun keatas. Data yang dikumpulkan meliputi ada tidaknya kondisi disabilitas dalam kurun waktu satu bulan sebelum survei. Terdapat lima opsi jawaban untuk responden, yaitu 1) tidak ada kesulitan, 2) sedikit kesulitan/ringan, 3) cukup mengalami kesulitan/sedang, 4) kesulitan berat, dan 5) sangat berat/tidak mampu melakukan kegiatan. Selanjutnya bagi responden dengan jawaban 2, 3,4 atau 5 ditanyakan lama hari mengalami kesulitan, terdiri dari jumlah hari sama sekali tidak mampu melakukan aktivitas rutin dan jumlah hari masih dapat melakukan aktivitas rutin walaupun tidak optimal. Tabel Proporsi tingkat kesulitan menurut komponen disabilitas, Provinsi Banten 2013 Tidak ada Ringan Sedang Berat Sangat berat 1. Sulit berdiri dalam waktu lama misalnya 30 menit? 94,1 3,0 1,8 0,9 0,2 2. Sulit mengerjakan kegiatan rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya 94,9 2,6 1,5 0,8 0,2 3. Sulit mempelajari/ mengerjakan hal-hal baru, seperti untuk menemukan tempat/alamat 95,6 2,2 1,4 0,7 0,2 baru, mempelajarai permainan, resep baru 4. Sulit dapat berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (misalnya dalam kegiatan 95,8 2,2 1,2 0,5 0,2 keagamaan, sosial) 5. Seberapa besar masalah kesehatan yang dialami mempengaruhi keadaan emosi? 95,3 2,6 1,4 0,5 0,1 6. Seberapa sulit memusatkan pikiran dalam melakukan sesuatu selama 10 menit? 95,8 2,4 1,2 0,5 0,1 7. Seberapa sulit dapat berjalan jarak jauh misalnya 1 kilometer? 94,3 2,5 1,5 1,3 0,4 8. Seberapa sulit membersihkan seluruh tubuh? 97,2 1,9 0,5 0,3 0,1 9. Seberapa sulit mengenakan pakaian? 97,4 1,8 0,5 0,2 0,1 10. Seberapa sulit berinteraksi/ bergaul dengan orang yang belum dikenal sebelumnya? 97,0 1,8 0,8 0,3 0,1 11. Seberapa sulit memelihara persahabatan? 97,0 1,7 0,9 0,3 0,1 12. Seberapa sulit mengerjakan pekerjaan seharihari? 96,0 2,1 1,1 0,5 0,2 Tabel menunjukkan sebanyak 5,9 persen penduduk Provinsi Banten mengalami kesulitan berdiri dalam waktu lama. Kesulitan untuk berjalan jauh dialami oleh 5,7 persen penduduk Provinsi Banten, dan 5,1 persen penduduk Provinsi Banten. Tabel dan Tabel menunjukkan prevalensi disabilitas, rerata hari produktif hilang, dan jumlah hari hilang menurut kabupaten/kota dan karakteristik. Prevalensi penduduk Provinsi Banten dengan disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 5,1 persen, bervariasi dari yang 98

130 tertinggi di Kota Cilegon (9,9%) dan yang terendah di Kota Tangerang Selatan (2,6%). Rerata hari produktif hilang adalah rerata lama hari seseorang tidak dapat berfungsi optimal dalam satu bulan, karena disabilitas. Rata rata penduduk Provinsi Banten tidak dapat berfungsi optimal selama 5,1 hari. Rerata hari produktif hilang tertinggi di Kabupaten Lebak (8,7 hari) dan terendah di Kota Serang (3,2 hari). Tabel Indikator Disabilitas menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Banten 2013 Rerata hari produktif hilang Provinsi Prevalensi Total Tidak mampu Masih mampu Kab. Pandeglang 8,6 4,8 2,1 2,6 Kab. Lebak 3,0 8,7 3,7 5,0 Kab. Tangerang 3,7 4,7 0,9 3,8 Kab. Serang 4,1 4,4 1,6 2,8 Kota Tangerang 7,2 5,1 0,4 4,6 Kota Cilegon 9,9 5,1 3,8 1,3 Kota Serang 9,2 3,2 0,6 2,5 Kota Tangerang Selatan 2,6 7,2 4,0 3,2 Banten 5,1 5,1 1,6 3,5 Kelompok umur 75 tahun atau lebih merupakan kelompok dengan indikator disabilitas tertinggi. Perempuan cenderung lebih rentan mengalami disabilitas daripada laki-laki pada semua indikator disabilitas. Fenomena serupa terjadi untuk kelompok tidak sekolah, tidak bekerja, dan kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Penduduk wilayah perkotaan memiliki kecenderungan yang sama dengan penduduk di wilayah perdesaan untuk mengalami disabilitas. 99

131 Tabel Indikator Disabilitas menurut Karakteristik Responden, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Responden Prevalensi Disabilitas Kelompok Umur tahun 2, tahun 3, tahun 3, tahun 6, tahun 9, tahun 29,0 75+ tahun 51,1 Jenis Kelamin Laki-laki 4,0 Perempuan 6,3 Pendidikan Tidak sekolah 22,3 Tidak tamat SD 9,8 Tamat SD 5,4 Tamat SMP 4,4 Tamat SMA 3,1 Tamat PT 2,8 Pekerjaan Tidak Bekerja 7,6 Pegawai 2,3 Wiraswasta 3,9 Petani/nelayan/buruh 3,2 Lainnya 5,2 Tempat tinggal Perkotaan 5,1 Perdesaan 5,2 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 7,3 Menengah Bawah 5,4 Menengah 4,6 Menengah Atas 4,5 Teratas 4,1 100

132 3.9 Kesehatan Jiwa Indikator kesehatan jiwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 antara lain gangguan jiwa berat, gangguan mental emosional serta cakupan pengobatannya. Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia. Gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Disamping gangguan jiwa berat, Riskesdas 2013 juga melakukan penilaian gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia seperti pada Riskesdas Gangguan mental emosional adalah istilah yang sama dengan distres psikologik. Kondisi ini adalah keadaan yang mengindikasikan seseorang sedang mengalami perubahan psikologis. Berbeda dengan gangguan jiwa berat psikosis dan skizofrenia, gangguan mental emosional adalah gangguan yang dapat dialami semua orang pada keadaan tertentu, tetapi dapat pulih seperti semula. Gangguan ini dapat berlanjut menjadi gangguan yang lebih serius apabila tidak berhasil ditanggulangi. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 11,6 persen dan bervariasi di antara provinsi dan kabupaten/kota. Pada Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional dinilai kembali dengan menggunakan alat ukur serta metode yang sama. Gangguan mental emosional diharapkan tidak berkembang menjadi lebih serius apabila orang yang mengalaminya dapat mengatasi atau melakukan pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten. Cakupan pengobatan ditanyakan berdasarkan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan, termasuk dikunjungi oleh tenaga kesehatan Gangguan Jiwa Berat Gangguan jiwa berat dinilai melalui serangkaian pertanyaan yang ditanyakan oleh pewawancara (enumerator) kepada kepala rumah tangga atau ART yang mewakili kepala rumah tangga. Inti pertanyaan adalah mengenai ada tidaknya anggota rumah tangga (tanpa melihat umur) yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) pada rumah tangga tersebut. Angka prevalensi yang diperoleh merupakan prevalensi gangguan jiwa berat seumur hidup (life time prevalence). Rumah tangga yang memiliki ART dengan gangguan jiwa, ditanya mengenai riwayat pemasungan yang mungkin pernah dialami ART selama hidupnya. Pewawancara telah dilatih mengenai cara melakukan wawancara serta pengetahuan singkat mengenai ciri-ciri gangguan jiwa. Pelatihan singkat tersebut memberikan keterampilan kepada pewawancara tentang cara melakukan klarifikasi atau verifikasi terhadap jawaban yang diberikan oleh kepala rumah tangga atau orang yang mewakilinya. Keterbatasan pengumpulan data dengan cara wawancara adalah adanya kemungkinan kasus tidak dilaporkan serta diagnosis yang kurang tepat mengenai gangguan jiwa berat. Upaya untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan dengan cara menetapkan batasan operasional bahwa yang dinilai pada Riskesdas 2013 adalah gangguan jiwa berat (psikosis atau skizofrenia) yang dapat dikenali oleh masyarakat umum, sehingga gangguan jiwa berat dengan diagnosis tertentu dan memerlukan kemampuan diagnostik oleh dokter spesialis jiwa, kemungkinan tidak terdata. 101

133 Tabel Prevalensi gangguan jiwa berat menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Gangguan Jiwa Berat (psikosis/skizofrenia) (per mil) Kab. Pandeglang 0,7 Kab. Lebak 0,6 Kab. Tangerang 0,8 Kab. Serang 0,3 Kota Tangerang 2,3 Kota Cilegon 1,7 Kota Serang 1,9 Kota Tangerang Selatan 1,0 Banten 1,1 Jumlah seluruh rumah tangga yang dianalisis adalah terdiri dari ART yang berasal dari semua umur.berdasarkan Tabel 3.9.1, terlihat bahwa prevalensi psikosis tertinggi di Kota Tangerang sebesar 2,3 permil, sedangkan yang terendah di Kabupaten Serang(0,3 ). Prevalensi gangguan jiwa berat di Banten sebesar 1,1 permil masih di bawah prevalensi gangguan jiwa berat nasional (1,7 ). Prevalensi gangguan jiwa berat berdasarkan tempat tinggal dan kuintil indeks kepemilikan dipaparkan pada buku Riskesdas Banten dalam Angka Angka prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen (Lewis dkk.,2001). Karakteristik Tabel Proporsi gangguan jiwa berat menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Gangguan Jiwa Berat (psikosis/skizofrenia) (per mil) Tempat Tinggal Perkotaan 1,4 Perdesaan 0,4 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 2,0 Menengah Bawah 1,0 Menengah 0,3 Menengah Atas 0,5 Teratas 1,9 Selanjutnya dipaparkan proporsi rumah tangga yang pernah melakukan pemasungan terhadap ART dengan gangguan jiwa berat. Metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional (menggunakan kayu atau rantai pada kaki), tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan. Proporsi rumah tangga yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat sebesar 10,3 persen dan terbanyak pada rumah tangga di perdesaan.rumah tangga yang melakukan tindakan pemasungan terbanyak pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah. Proporsi cakupan rumah tangga yang membawa ART gangguan jiwa berobat ke fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan dipaparkan pada laporan Riskesdas Banten dalam Angka

134 3.9.2 Gangguan Mental Emosional Di dalam kuesioner Riskesdas 2013, pertanyaan mengenai gangguan mental emosional tercantum dalam kuesioner individu butir F01 F20. Gangguan mental emosional dinilai dengan Self Reporting Questionnaire (SRQ) yang terdiri dari 20 butir pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan SRQ ditanyakan pewawancara kepada ART umur 15 tahun yang memenuhi kriteria inklusi. Ke- 20 butir pertanyaan ini mempunyai pilihan jawaban ya dan tidak. Nilai batas pisah yang ditetapkan pada survei ini adalah 6, yang berarti apabila responden menjawab minimal 6 atau lebih jawaban ya, maka responden tersebut diindikasikan mengalami gangguan mental emosional. Nilai batas pisah tersebut sesuai penelitian uji validitas yang dilakukan Hartono, Data yang dikumpulkan menggunakan instrumen SRQ memiliki keterbatasan hanya mengungkap status emosional individu sesaat (±30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis gangguan jiwa secara spesifik. Tabel Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berumur 15 ke atas (berdasarkan self reporting questionnaire-20)* menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Gangguan Mental Emosional Kab. Pandeglang 7,8 Kab. Lebak 0,9 Kab. Tangerang 6,4 Kab. Serang 3,5 Kota Tangerang 7,5 Kota Cilegon 9,6 Kota Serang 2,4 Kota Tangerang Selatan 1,8 Banten 5,1 *Nilai Batas Pisah (Cut off Point) 6 Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional di tingkat provinsi adalah 5,1%. Kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Kota Cilegon (9,6%), sedangkan yang terendah di Kabupaten Lebak (0,9%). Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik individu dan cakupan pengobatan seumur hidup serta 2 minggu terakhir terdapat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Penilaian gangguan mental emosional pada tahun 2007 dan 2013 menggunakan kuesioner serta metode pengumpulan data yang sama. Prevalensi Provinsi Banten serta beberapa prevalensi berdasarkan karakteristik diperlihatkan dalam Gambar

135 Gambar Prevalensi gangguan mental emosional berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan pola prevalensi gangguan mental emosional sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan pendidikan ART dan tempat tinggal. Prevalensi gangguan mental emosional di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan, lebih banyak terjadi pada perempuan (6,5%) daripada laki-laki (3,7%) dan kelompok usia > 75 tahun sangat mendominasi angka prevalensi gangguan mental emosional. 104

136 3.10 Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Pengetahuan, sikap dan perilaku dikumpulkan pada penduduk kelompok umur 10 tahun atau lebih. Topik yang dikumpulkan meliputi perilaku higienis, penggunaan tembakau, aktivitas fisik, perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan berisiko (makan/minum manis, makanan asin, makanan berlemak, makanan dibakar, makanan olahan dengan pengawet, bumbu penyedap, kopi dan minuman berkafein buatan bukan kopi) dan konsumsi makanan olahan dari tepung terigu Perilaku Higienis Perilaku higienis yang dikumpulkan meliputi kebiasaan/perilaku buang air besar (BAB) dan perilaku mencuci tangan. Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar dan cuci tangan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Berperilaku benar dalam hal BAB Berperilaku benar dalam hal cuci tangan Kab. Pandeglang 64,4 28,5 Kab. Lebak 62,6 54,3 Kab. Tangerang 85,1 42,8 Kab. Serang 69,1 52,7 Kota Tangerang 99,4 41,3 Kota Cilegon 92,8 48,6 Kota Serang 85,6 41,2 Kota Tangerang Selatan 99,7 78,5 Banten 83,3 48,3 Perilaku BAB yang dianggap benar adalah bila penduduk melakukannya di jamban. Perilaku mencuci tangan yang benar adalah bila penduduk mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor (antara lain memegang uang, binatang, berkebun), setelah buang air besar, setelah menceboki bayi/anak, setelah menggunakan pestisida/insektisida, dan sebelum menyusui bayi (Promkes,2011). Dari Tabel rerata proporsi perilaku cuci tangan secara benar di Provinsi Banten menunjukan 48,3 persen dengan proporsi terendah ada di Kabupaten Pandeglang (28,5%) dan tertinggi Kota Tangerang Selatan (78,5%). Rerata perilaku BAB di jamban di Provinsi Banten adalah 83,3 persen. Proporsi terendah ada di Kabupaten Lebak (62,6%) dan tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (99,7%) Penggunaan Tembakau Informasi perilaku penggunaan tembakau dalam Riskesdas tahun 2013 dibagi menjadi dua kelompok yaitu perilaku merokok dengan hisap dan perilaku penggunaan tembakau dengan mengunyah. Hal tersebut dikarenakan efek samping yang ditimbulkan akibat merokok dengan hisap dan dengan cara kunyah berbeda. Perokok hisap menimbulkan polusi pada perokok pasif dan lingkungan sekitarnya, sedangkan kunyah tembakau hanya berdampak pada dirinya sendiri. Berdasarkan Tabel rerata proporsi perokok saat ini di Provinsi Banten adalah 31,3 persen. Proporsi perokok saat ini tertinggi di Kabupaten Pandeglang dengan perokok setiap hari 31,5 persen dan kadang-kadang merokok 3,3 persen. 105

137 Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Perokok saat ini Tidak merokok Kabupaten/kota Perokok setiap hari Perokok kadang-kadang Mantan perokok Bukan perokok Kab. Pandeglang 31,5 3,3 3,0 62,2 Kab. Lebak 30,2 4,1 2,3 63,4 Kab. Tangerang 25,0 6,9 3,3 64,9 Kab. Serang 28,8 4,8 2,2 64,2 Kota Tangerang 23,0 5,7 4,6 66,7 Kota Cilegon 24,9 4,7 5,7 64,8 Kota Serang 27,5 4,9 3,4 64,2 Kota Tangerang Selatan 21,7 5,0 3,4 69,9 Banten 26,0 5,3 3,3 65,3 Tabel menunjukkan proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari tertinggi ada pada kelompok umur tahun (35,9%) dan terendah tahun (0,4%). Proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (49,9% banding 1,2%). Berdasarkan pendidikan kelompok dengan tingkat pendidikan tamat SMA memiliki kecenderungan sebagai perokok terbesar (30,7%), sedangkan menurut jenis pekerjaan, petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi terbesar (56,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi perokok setiap hari cenderung menurun pada kuintil indeks kepemilikan yang lebih tinggi. 106

138 Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik responden Perokok setiap hari Perokok saat ini Perokok kadangkadang Mantan perokok Tidak merokok Bukan perokok Kelompok umur (tahun) ,4 0,7 0,7 98, ,8 8,9 1,5 76, ,3 7,5 2,2 61, ,3 5,1 1,8 61, ,8 5,5 3,1 56, ,9 5,8 2,4 57, ,1 6,3 4,2 54, ,7 4,4 5,5 55, ,9 5,3 9,4 49, ,4 4,5 8,6 55, ,6 5,0 7,0 56, ,2 3,7 10,2 63,9 Jenis kelamin Laki-laki 49,9 9,6 5,8 34,7 Perempuan 1,2 0,9 0,8 97,1 Pendidikan Tidak sekolah 21,1 3,4 2,4 73,1 Tidak tamat SD 18,7 2,1 2,1 77,1 Tamat SD 26,9 4,1 3,0 66,0 Tamat SMP 26,5 5,7 3,4 64,3 Tamat SMA 30,7 8,1 3,8 57,4 Tamat PT 20,2 6,0 6,0 67,9 Pekerjaan Tidak bekerja 8,5 3,2 1,9 86,4 Pegawai 35,5 8,3 5,3 50,9 Wiraswasta 47,7 7,3 6,3 38,7 Petani/nelayan/buruh 56,5 7,4 3,9 32,2 Lain-lain 41,5 7,3 5,1 46,1 Tempat tinggal Perkotaan 23,9 5,7 3,8 66,6 Perdesaan 30,5 4,6 2,3 62,6 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 31,7 4,3 2,4 61,5 Menengah bawah 30,4 5,1 2,6 61,8 Menengah 26,3 6,1 2,8 64,8 Menengah atas 24,0 5,2 4,0 66,8 Teratas 17,5 5,8 5,0 71,7 Dari Tabel tampak bahwa rerata batang rokok yang dihisap per orang per hari di Provinsi Banten adalah 12,3 batang (kurang lebih satu bungkus). Jumlah rerata batang rokok terbanyak yang dihisap ditemukan di Kota Serang (13 batang). 107

139 Tabel Rerata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10 Tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Perokok Kab. Pandeglang 12,8 Kab. Lebak 12,2 Kab. Tangerang 12,2 Kab. Serang 12,3 Kota Tangerang 12,2 Kota Cilegon 12,5 Kota Serang 12,9 Kota Tangerang Selatan 11,8 Banten 12,3 Tabel menjelaskan proporsi penduduk umur 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota. Terlihat kebiasaan mengunyah tembakau atau smokeless setiap hari di Provinsi Banten sebesar 1,7 persen, sedangkan proporsi pengunyah tembakau terkadang sebesar 0,8 persen. Proporsi tertinggi pengunyah tembakau setiap hari adalah Kabupaten Pandeglang (4,5%) dan terendah Kabupaten Tangerang (0,9%). Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun yang mempunyai kebiasaan mengunyah tembakau menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Pengunyah Tembakau saat ini setiap hari kadang-kadang Kab. Pandeglang 4,5 1,4 Kab. Lebak 1,9 0,8 Kab. Tangerang 0,9 0,6 Kab.Serang 2,2 1,4 Kota Tangerang 1,2 0,6 Kota Cilegon 1,2 1,2 Kota Serang 1,5 0,6 Kota Tangerang Selatan 2,0 0,7 Banten 1,7 0, Perilaku aktivitas fisik Aktifitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Dikumpulkan data frekuensi beraktifitas fisik dalam seminggu terakhir untuk penduduk 10 tahun ke atas. Aktifitas fisik berat adalah kegiatan yang secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll.) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktifitas 1500 MET minute. MET minute aktifitas fisik berat adalah lamanya waktu (menit) melakukan aktifitas dalam satu minggu dikalikan bobot sebesar 8 kalori. Aktifitas fisik sedang apabila melakukan aktifitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal 5 hari atau lebih dengan total lamanya beraktifitas 150 menit dalam satu minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktifitas fisik ringan (WHO STEPS, 2012a; WHO GPAQ, 2012b). Dalam Riskesdas 2013 ini 108amper108r aktifitas fisik aktif adalah individu yang melakukan aktifitas fisik berat atau sedang atau keduanya, sedangkan 108amper108r kurang aktif adalah individu yang tidak melakukan aktifitas fisik baik sedang ataupun berat. 108

140 Perilaku 109amper109ry adalah perilaku duduk atau berbaring dalam sehari-hari baik di tempat kerja (kerja di depan 109amper109ry, membaca, dll), di rumah (nonton TV, main game, dll), di perjalanan/transportasi (bis, kereta, motor), tetapi tidak termasuk waktu tidur. Penelitian di Amerika tentang perilaku 109amper109ry yang menggunakan nilai cutoff point < 3 jam, 3-5,9 jam, 6jam, menunjukkan bahwa pengurangan aktifitas 109amper109ry sampai dengan < 3 jam dapat meningkatkan umur harapan hidup sebesar 2 tahun (Katzmarzyk, P & Lee, 2012). Perilaku 109amper109ry merupakan perilaku berisiko terhadap salah satu terjadinya penyakit penyumbatan pembuluh darah, penyakit jantung dan bahkan mepengaruhi umur harapan hidup. Berikut proporsi penduduk melakukan aktifitas fisik aktif dan kurang aktif pada Tabel Proporsi aktivitas fisik tergolong kurang aktif secara umum adalah 22,9 persen, tertinggi adalah Kota Cilegon (46,0%). Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun sesuai jenis aktivitas fisikmenurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Aktivitas Fisik Aktif Kurang Aktif Kab. Pandeglang 79,4 20,6 Kab. Lebak 75,1 24,9 Kab. Tangerang 78,5 21,5 Kab. Serang 75,5 24,5 Kota Tangerang 77,4 22,6 Kota Cilegon 54,0 46,0 Kota Serang 77,7 22,3 Kota Tangerang Selatan 80,8 19,2 Banten 77,1 22,9 Tabel menunjukkan 109amper separuh proporsi penduduk kelompok umur 10 tahun dengan perilaku 109amper109ry 3-5,9 jam (50,2%) sedangkan 109amper109ry 6 jam perhari secara umum meliputi 109amper satu dari empat penduduk. Aktifitas sedentari 6 jam tertinggi adalah Kota Cilegon (52,0%). Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Aktivitas Sedentar <3 jam 3-5,9 jam 6 jam Kab. Pandeglang 22,1 63,5 14,4 Kab. Lebak 5,2 55,0 39,8 Kab. Tangerang 33,8 44,0 22,3 Kab. Serang 22,9 60,0 17,1 Kota Tangerang 15,2 51,5 33,3 Kota Cilegon 25,3 22,7 52,0 Kota Serang 44,6 30,9 24,5 Kota Tangerang Selatan 39,0 53,0 7,9 Banten 25,9 50,2 23,9 Tabel menunjukkan proporsi perilaku sedentari berdasarkan karakteristik penduduk umur 10 tahun. Berdasarkan kelompok umur terdapat variasi ada kecenderungan semakin bertambahnya umur semakin menurun perilaku sedentari 6 jam, namun mulai meningkat pada kembali pada umur 50 tahun. Proporsi perilaku sedentari 6 jam lebih banyak pada 109

141 perempuan, penduduk dengan pendidikan rendah, tidak bekerja, tinggal di daerah perkotaan, dan penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan menengah bawah. Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun berdasarkan aktifitas sedentari menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Aktivitas Sedentari <3 jam 3-6 jam >6 jam Kelompok umur (tahun) ,9 48,7 30, ,6 52,4 24, ,5 49,5 23, ,7 48,9 23, ,3 52,3 20, ,3 50,5 21, ,0 50,6 20, ,6 51,5 19, ,7 50,1 20, ,4 48,0 25, ,7 47,1 30, ,1 48,0 36,9 Jenis kelamin Laki-laki 27,1 51,7 21,3 Perempuan 24,7 48,6 26,7 Pendidikan Tidak sekolah 23,3 47,4 29,3 Tidak tamat SD 21,7 49,7 28,6 Tamat SD 23,7 51,2 25,0 Tamat SMP 26,2 49,9 23,9 Tamat SMA 29,4 49,6 21,0 Tamat PT 30,4 50,6 19,0 Pekerjaan Tidak bekerja 22,0 48,9 29,0 Pegawai 32,4 51,2 16,4 Wiraswasta 26,8 53,2 19,9 Petani/nelayan/buruh 30,0 52,1 17,9 Lain-lain 29,3 44,7 26,0 Tempat tinggal Perkotaan 27,4 47,9 24,8 Perdesaan 22,7 55,1 22,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 19,9 57,5 22,6 Menengah bawah 23,3 50,2 26,6 Menengah 30,0 47,2 22,8 Menengah atas 27,0 46,9 26,1 Teratas 28,9 50,2 20,9 110

142 Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Serang Banten Pandeglang Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Lebak Perilaku konsumsi sayur dan buah Informasi frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi sayur dan/atau buah apabila makan sayur dan/atau buah minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi sayur dan/atau buah kurang dari ketentuan di atas. Pada Gambar telihat bahwa secara umum proporsi kurang konsumsi sayur dan buah di Provinsi Banten 97,6 persen dengan proporsi kurang tertinggi ada di Kabupaten Lebak (99,5%) Gambar Proporsi penduduk 10 tahun kurang makan sayur dan buah menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Pola konsumsi makanan tertentu Perilaku konsumsi makanan tertentu antara lain kebiasaan mengonsumsi makanan/minuman manis, asin, berlemak, dibakar/panggang, diawetkan, berkafein, dan berpenyedap adalah perilaku berisiko penyakit degeneratif. Perilaku konsumsi makanan berisiko dikelompokkan sering apabila penduduk mengonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari. Untuk mengetahui secara umum proporsi penduduk Banten 10 tahun menurut jenis makanan beresiko yang dikonsumsi dapat dilihat pada Gambar sementara Tabel mempresentasikan proporsi penduduk 10 tahun dengan makanan berisiko menurut kabupaten/kota. Konsumsi makanan/minuman manis 1 kali dalam sehari secara umum adalah 47,1 persen tertinggi ada di Kabupaten Pandeglang (52,3%). Proporsi penduduk dengan perilaku konsumsi makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan 1 kali perhari 48,8 persen dengan tertinggi ada di Kota Serang (59,6%). Sekitar empat dari lima penduduk Banten mengonsumsi penyedap 1 kali dalam sehari (82,9%), tertinggi di Kota Serang (91,6%), terendah di Kota Tangerang Selatan (74,4%). Untuk mengetahui karakteristik penduduk 10 tahun yang mengonsumsi makanan berisiko dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten

143 Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun dengan perilaku konsumsi tertentu menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Manis Asin Berlemak Dibakar Hewani berpengawet Penyedap Kab. Pandeglang 52,3 54,1 49,0 4,3 5,7 86,9 41,7 6,6 Kab. Lebak 49,1 49,4 52,4 7,1 1,4 83,8 40,6 3,6 Kab. Tangerang 43,5 28,0 58,2 2,7 3,3 88,0 31,3 3,0 Kab. Serang 50,2 47,7 49,5 4,1 4,9 76,7 33,5 3,2 Kota Tangerang 45,7 18,2 40,7 2,2 5,1 80,0 26,7 4,1 Kota Cilegon 44,1 19,3 40,9 3,5 4,4 83,2 30,6 4,9 Kota Serang 46,0 31,0 59,6 2,8 4,3 91,6 31,3 2,0 Kota Tangerang Selatan 48,9 28,5 33,0 1,5 2,8 74,4 24,1 4,6 Banten 47,1 33,6 48,8 3,3 3,9 82,9 31,9 3,9 Kopi Kafein selain kopi Kafein selain kopi 3.9 Kopi 31.9 Penyedap 82.9 Hewani berpengawet Dibakar Berlemak 48.8 Asin 33.6 Manis Gambar Proporsi penduduk 10 tahun yang mengonsumsi makanan tertentu, Provinsi Banten Konsumsi makanan olahan dari tepung Perilaku mengonsumsi makanan jadi dari olahan tepung baru dikumpulkan pada Riskesdas Contoh makanan jadi olahan dari tepung adalah mie instan, mie basah, roti dan biskuit. Analisis jenis makanan ini dapat dilihat pada Gambar

144 Gambar Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut frekuensi makanan berbahan tepung terigu 1 kali/hari, Provinsi Banten 2013 Tabel menunjukkan rerata penduduk Provinsi Banten berperilaku mengonsumsi makanan berbahan tepung terigu dengan pola konsumsi 1 kali per hari. Proporsi penduduk Provinsi Banten yang mengkonsumsi mie instan 1 kali per hari 11,8 persen, tertinggi adalah Kabupaten Serang (22,3%). Hanya 3,3 persen penduduk mengonsumsi mie basah 1 kali per hari. Sebanyak 19,0 persen penduduk Provinsi Banten mengonsumsi roti 1 kali per hari dan 14,6 persen mengkonsumsi biskuit 1 kali per hari. Informasi yang sama menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Tabel Proporsi penduduk umur 10 tahun dengan perilaku konsumsi makanan olahan dari tepung menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Makanan olahan tepung 1 kali per hari Mie instan Mie Basah Roti Biskuit Kab. Pandeglang 7,2 1,9 7,5 5,3 Kab. Lebak 10,1 2,5 12,2 9,8 Kab. Tangerang 12,7 3,3 18,6 14,4 Kab. Serang 22,3 6,3 21,6 18,2 Kota Tangerang 11,8 2,8 23,7 17,2 Kota Cilegon 11,0 3,2 25,5 17,5 Kota Serang 10,2 3,8 15,2 13,6 Kota Tangerang Selatan 5,2 2,6 25,8 19,1 Banten 11,8 3,3 19,0 14, Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terdiri dari sepuluh indikator yang mencakup perilaku individu dan gambaran rumah tangga (Promkes 2009). Data PHBS pada tahun 2007 mengacu pada indikator PHBS yang sudah ditetapkan tahun Pada Indikator individu meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, bayi 0-6 bulan mendapat ASI eksklusif, kepemilikan/ketersediaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, penduduk tidak merokok, penduduk cukup beraktivitas fisik, dan penduduk cukup mengonsumsi sayur dan buah. Indikator Rumah tangga meliputi rumah tangga memiliki akses terhadap air bersih, akses jamban sehat, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni ( 8m 2 /orang), dan rumah tangga dengan lantai 113

145 rumah bukan tanah. Pada PHBS tahun 2007, untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 8 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah delapan (8). PHBS diklasifikasikan kurang apabila mendapatkan nilai kurang dari enam (6) untuk rumah tangga mempunyai balita dan nilai kurang dari lima (5) untuk rumah tangga tanpa balita. Pada tahun 2011 telah dibuat indikator PHBS yang baru dan sedikit berbeda dengan indikator PHBS sebelumnya. Indikator PHBS yang ditetapkan pada tahun 2011 oleh Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan mencakup 10 indikator yang meliputi : 1) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; 2) melakukan penimbangan bayi dan balita; 3) memberikan ASI ekslusif; 4) penggunaan air bersih; 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; 6) memberantas jentik nyamuk; 7) memakai jamban sehat; 8)makan buah dan sayur setiap hari; 9)melakukan aktifitas fisik setiap hari; 10) tidak merokok dalam rumah. Pada PHBS tahun 2013, untuk rumah tangga dengan balita digunakan 10 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah 10; sedangkan untuk rumah tangga tanpa balita terdiri dari 7 indikator, sehingga nilai tertinggi adalah tujuh (7). Penilaian PHBS rumah tangga baik diukur dengan batasan yang sama dengan penilaian rumah tangga PHBS tahun 2007 dimana kriteria rumah tangga dengan PHBS baik adalah rumah tangga yang memenuhi indikator baik sebesar 6 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang punya balita, dan 5 indikator atau lebih untuk rumah tangga yang tidak mempunyai balita. Dalam Riskesdas 2013, indikator yang dapat dipergunakan untuk PHBS sesuai dengan kriteria PHBS yang ditetapkan oleh Pusat Promkes pada tahun 2011, yaitu mencakup delapan indikator individu (cuci tangan, BAB dengan jamban, konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik, merokok dalam rumah, persalinan oleh tenaga kesehatan, memberi ASI eksklusif, menimbang balita), dan dua indikator rumah tangga (sumber air bersih dan memberantas jentik nyamuk). Pengertian indikator yang digunakan dalam PHBS Riskesdas 2013 ini adalah sebagai berikut: 1. Persalinan oleh tenaga kesehatan, Data ini didapatkan dari data persalinan yang terakhir yang ditolong oleh tenaga kesehatan dari riwayat persalinan dalam tiga tahun terakhir sebelum survey (kurun waktu tahun 2010 sampai tahun 2013) 2. Melakukan penimbangan bayi dan balita, Indikator ini menggunakan variabel individu usia 0 sampai 59 bulan dengan penjumlahan pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir. Pada subbab pemantauan pertumbuhan data frekuensi penimbangan terpisah antara 4x, 1-3x dalam 6 bulan terakhir. 3. Memberikan ASI eksklusif, Indikator ini menggunakan data dari riwayat pernah diberikan ASI eksklusif diantara individu baduta usia 0 23 bulan, Pengertian pemberian ASI eksklusif dalam analisis ini adalah bayi usia <= 6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja dalam 24 jam terakhir saat wawancara atau individu baduta yang pertama kali diberi minuman atau makanan berumur enam bulan atau lebih. Pada subbab pola pemberian ASI, data pemberian ASI berasal dari bayi 0-6 bulan. 4. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Indikator mencuci tangan dengan benar mencakup mencuci tangan dengan air bersih dan sabun saat sebelum menyiapkan makanan, setiap kali tangan kotor, setelah buang air besar, setelah menggunakan pestisida (bila menggunakan), setelah menceboki bayi dan sebelum menyusui bayi (bila sedang menyusui), 5. Memakai jamban sehat, Perilaku menggunakan jamban sehat diukur dari perilaku buang air besar menggunakan jamban saja, 6. Melakukan aktivitas fisik setiap hari, Indikator ini diukur berdasarkan individu yang biasa melakukan aktifitas fisik berat atau sedang dalam tujuh hari seminggu, 7. Konsumsi buah dan sayur setiap hari, Perilaku konsumsi buah dan sayur diukur berdasarkan individu yang biasa konsumsi buah dan sayur selama tujuh hari dalam seminggu, 8. Tidak merokok dalam rumah, Pengertian tidak merokok di dalam rumah adalah individu yang tidak mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah pada saat ada anggota rumah tangga lainnya, serta 114

146 Lebak Pandeglang Serang Kota Serang Banten Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan memperhitungkan juga rumah tangga yang tidak ada anggota rumah tangga yang merokok, 9. Penggunaan air bersih, Perilaku menggunakan air bersih didapatkan dari data rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dengan kategori baik untuk seluruh keperluan rumah tangga. 10. Memberantas jentik nyamuk, Rumah tangga dengan perilaku memberantas jentik nyamuk dalam indikator ini adalah rumah tangga yang menguras bak mandi satu kali atau lebih dalam seminggu, atau yang tidak menggunakan bak mandi dan tidak mandi di sungai, Gambar menunjukkan proporsi rumah tangga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan kriteria baik menurut kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara umum proporsi rumah tangga dengan PHBS baik di Provisi Banten adalah 34,2 persen, dengan proporsi tertinggi adalah Kota Tangerang Selatan (56,1%) dan terendah Kabupaten Lebak (12,7%) Catatan: PHBS baik adalah ruta yang memenuhi kriteria >= 6 indikator untuk rumah tangga dengan balita dan >=5 indikator untuk rumah tangga tidak punya balita, Gambar Proporsi rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan proporsi rumah tangga dengan PHBS baik lebih tinggi di perkotaan (42,6%) dibandingkan di perdesaan (13,9%). Proporsi rumah tangga dengan PHBS baik meningkat dengan semakin tingginya kuintil indeks kepemilikan (terbawah 8,5% dan teratas 57,5%) 115

147 Gambar Proporsi rumah tangga memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baik menurut karakteristik, Provinsi Banten

148 3.11 Pembiayaan Kesehatan Salah satu tujuan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan (health status), ketanggapan (responsiveness), dan keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (fairness of financing) (WHO, 2000). Pada topik ini dikumpulkan informasi tentang jenis kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan sumber pembiayaan yang paling sering dimanfaatkan penduduk beserta besaran biaya yang dikeluarkannya. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan upaya kesehatan/memperbaiki keadaan kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Tujuan dari pembiayaan kesehatan adalah untuk menjamin dana yang cukup, tidak hanya bagi penyedia pelayanan kesehatan, namun juga seluruh penduduk dapat memiliki akses kepada upaya pelayanan kesehatan masyarakat dan perseorangan yang efektif dan berkualitas (WHO, 2000). Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Perpres No. 12 tahun 2013) Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 130, bahwa pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya (Republik Indonesia, 2009). Unsur-unsur pembiayaan terdiri atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan. Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan sumber lain. Syarat pokok pembiayaan kesehatan meliputi: (1) jumlah harus memadai untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan tidak menyulitkan masyarakat yang memanfaatkan; (2) distribusinya harus sesuai dengan kebutuhan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan masyarakat; serta (3) pemanfaatannya harus diatur setepat mungkin agar tercapai efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang optimal (UU No. 36, 2009). Pada Riskesdas 2013, analisis pembiayaan kesehatan meliputi kepemilikan dan penggunaan jaminan kesehatan serta pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap berikut sumber dan besaran biayanya. Sumber biaya dibedakan menjadi Biaya sendiri, Asuransi Kesehatan Sosial (meliputi Askes PNS, Pensiun, Veteran, TNI/Polri), Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asuransi Kesehatan Swasta, Tunjangan kesehatan dari Perusahaan, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kepemilikan jaminan kesehatan Hasil analisis Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi penduduk yang telah tercakup maupun yang tidak tercakup jaminan kesehatan. Jenis jaminan kesehatan terdiri dari; asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementrian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. Untuk kepentingan analisis Askes dan ASABRI dimasukkan dalam satu kelompok dikarenakan pemerintah juga membayar sebagian dari iuran jaminan tersebut. 117

149 Kabupaten/kota Tabel Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Askes/ ASABRI Jamsostek Askes Swasta Jenis Jaminan Kesehatan Perusaha an Jamkesmas Jamkesda Tidak punya Kab. Pandeglang 3,6 0,7 0,2 0,2 41,6 0,1 53,8 Kab. Lebak 5,3 0,4 0,4 0,1 47,5 0,2 46,3 Kab. Tangerang 3,4 13,7 2,0 4,1 25,7 0,1 52,8 Kab. Serang 1,1 7,8 0,8 1,0 27,1 0,3 62,4 Kota Tangerang 6,1 12,7 7,3 7,7 9,1 10,3 54,8 Kota Cilegon 3,1 11,6 9,8 11,6 22,6 0,8 46,1 Kota Serang 9,8 7,5 3,3 5,9 16,8 0,7 58,5 Kota Tangerang Selatan 8,5 6,5 9,9 7,8 5,7 7,6 57,7 Banten 4,8 8,7 3,7 4,3 23,9 2,9 54,5 Tabel menunjukkan 54,5 persen penduduk Provinsi Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ASABRI dimiliki oleh sekitar 4,8 persen penduduk, asuransi kesehatan swasta sebesar 3,7 persen, tunjangan kesehatan perusahaan sebesar 4,3 persen dan kepemilikan Jamkesda sebesar 2,9 persen. Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (23,9%) dan Jamsostek (8,7%). Dari data tersebut juga menyiratkan adanya kepemilikan jaminan lebih dari satu jenis jaminan untuk individu yang sama. Kepemilikan jaminan kesehatan penduduk menurut kabupaten/kota sangat bervariasi. Kota Cilegon menjadi daerah yang paling tinggi cakupan kepemilikan jaminan diantara kabupaten/kota lain, yaitu sekitar 54,5 persen penduduk atau sekitar 45,5 persen yang tidak punya jaminan apapun. Sebaliknya Kabupaten Serang menjadi daerah dengan cakupan kepemilikan jaminan kesehatan yang paling rendah (41,5%), dengan 58,5 persen penduduk tidak punya jaminan. Sejumlah 23,9 persen penduduk Provinsi Banten memiliki Jamkesmas, Kabupaten Lebak merupakan daerah dengan kepemilikan Jamkesmas tertinggi (47,5%). Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan menjadi daerah yang paling rendah kepemilikan Jamkesmas yaitu sekitar 9,1 persen dan 5,7 persen. 118

150 Karakteristik Tabel Proporsi penduduk menurut kepemilikan jaminan kesehatan dan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Kelompok umur (tahun) Askes/ ASABRI Jamsostek Askes Swasta Jenis Jaminan Kesehatan Perusahaan Jamkesmas Jamkesda Tidak punya 0-4 2,3 5,9 3,2 3,8 13,0 2,3 71, ,8 5,6 3,8 4,1 28,2 2,5 54, ,3 9,1 2,7 3,8 24,4 2,7 55, ,6 15,0 4,1 5,1 20,0 2,7 54, ,2 12,1 5,7 5,7 24,9 3,4 47, ,8 5,7 3,5 4,6 26,8 4,2 48, ,2 1,3 2,0 2,1 28,2 3,1 54, ,8 0,4 1,3 0,9 31,8 2,1 54, ,0 0,0 0,6 0,8 27,0 3,1 59,3 Pekerjaan Tidak bekerja 5,4 4,9 2,7 3,6 27,7 3,1 54,5 Pegawai 10,8 25,9 9,9 11,4 7,1 3,2 40,2 Wiraswasta 3,0 4,4 3,6 2,4 17,2 4,0 66,8 Petani/nelayan/buruh 0,3 8,4 0,5 0,9 40,4 1,9 49,4 Lainnya 2,6 5,0 1,3 2,1 25,2 3,3 61,7 Tempat tinggal Perkotaan 6,0 11,6 5,3 6,1 15,2 4,1 55,6 Perdesaan 2,3 2,5 0,2 0,4 42,6 0,3 52,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 0,3 1,0 0,2 0,2 56,3 0,3 42,0 Menengah bawah 0,8 4,6 0,6 1,5 35,4 3,4 55,7 Menengah 2,4 10,0 1,4 3,6 16,5 4,9 63,5 Menengah atas 5,5 14,3 3,7 4,0 10,9 3,8 60,9 Teratas 15,7 12,7 13,5 13,0 2,7 1,4 47,3 Tabel menggambarkan kepemilikan jaminan menurut karakteristik penduduk meliputi kelompok umur, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut tempat tinggal, penduduk di perkotaan lebih banyak yang memiliki jaminan kesehatan dibanding di perdesaan, terutama untuk jenis selain Jamkesmas. Sebaliknya, kepemilikan Jamkesmas lebih tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Kondisi kepemilikan jaminan menurut kelompok umur memberikan gambaran yang bervariasi antar kelompok bayi, balita, anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Kelompok umur di bawah 5 tahun adalah kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan (71,0%), sedangkan kelompok umur di atas 55 tahun yang tidak memiliki jaminanan pada kisaran 54,0 persen sampai 59,3 persen. Sementara pada kelompok umur selain balita dan lanjut usia, yang tidak memiliki jaminan kesehatan juga masih tinggi, di atas 46 persen. Kepemilikan jaminan kesehatan menurut status pekerjaan menunjukkan, kelompok tertinggi yang tidak memiliki jaminan adalah kelompok wiraswasta (66,8%), sedangkan yang terendah adalah pegawai (40,2%). Kelompok wiraswasta ini terdiri dari pedagang besar ataupun eceran, sedangkan untuk kelompok pegawai terdiri dari pegawai formal ataupun non formal. Sebanyak 49,4 persen kelompok petani/nelayan dan buruh masih belum memiliki jaminan kesehatan 119

151 apapun, sementara bagi yang telah memiliki jaminan sebagian besar adalah Jamkesmas atau Jamsostek. Sedangkan bagi penduduk yang tidak bekerja 54,5 persen diantaranya belum memiliki jaminan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, Jamkesmas dimiliki oleh kelompok penduduk terbawah, menengah bawah dan menengah, masing-masing sebesar 56,3 persen; 35,4 persen dan 16,5 persen. Akan tetapi Jamkesmas dimiliki juga pada penduduk menengah atas (10,9%) dan teratas (2,7%). Berbeda dengan Jamkesmas, kepemilikan Jamkesda didominasi oleh penduduk menengah (4,9%) dan menengah atas (3,8%) sedangkan kepemilikan terendah oleh kelompok penduduk terbawah (0,3%) berdasarkan kuintil indeks kepemilikan. Pada jenis jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda, kecenderungan kepemilikan jaminan kesehatan lebih banyak pada indeks kuintil kepemilikan teratas Mengobati sendiri Pola pencarian pengobatan seseorang dikategorikan dalam mengobati sendiri, memanfaatkan rawat jalan, dan memanfaatkan rawat inap. Informasi mengobati sendiri didapatkan dengan mengetahui perilaku seseorang yang pernah mengobati sendiri dengan cara membeli obat di apotik atau toko obat tanpa resep dalam satu bulan terakhir. Besaran biaya juga ditanyakan dan hasil analisis merupakan median besar biaya dalam sebulan terakhir. Gambar menggambarkan proporsi penduduk Provinsi Banten yang mengobati diri sendiri dalam satu bulan terakhir dengan membeli obat ke toko obat atau ke warung tanpa resep dokter adalah 27,7 persen dengan rerata pengeluaran sebesar Rp Kabupaten Pandeglang merupakan daerah tertinggi (45,9%) dengan rerata pengeluaran sebesar Rp Sebaliknya, Kabupaten Lebak merupakan daerah dengan proporsi terendah (14,8%) dengan rerata pengeluaran yang sama yaitu sebesar Rp Tabel menggambarkan bahwa penduduk di perdesaan lebih banyak yang mengobati sendiri dengan cara membeli obat di toko obat atau di warung (29,9%) dari pada perkotaan (26,6%). Sebaliknya dari segi biaya, median biaya yang dikeluarkan perkotaan lebih besar, yaitu sebesar Rp.3.000, lebih besar dari angka provinsi (Rp.2.000). Di perdesaan, median biaya yang dikeluarkan untuk mengobati sendiri dengan membeli obat sebesar Rp Tabel Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan besaran biayanya menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Mengobati diri sendiri % Rp Tempat tinggal Perkotaan 26, Perdesaan 29, Kuintil Indeks kepemilikan Terbawah 32, Menengah bawah 30, Menengah 28, Menengah atas 25, Teratas 21,

152 Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok teratas merupakan kelompok yang paling sedikit mengobati sendiri (21,6%) namun dari sisi biaya yang dikeluarkan adalah terbesar diantara lainnya yaitu Rp Median Gambar Proporsi penduduk yang mengobati sendiri sebulan terakhir dan median besaran biaya menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Rawat Jalan Pelayanan rawat jalan adalah semua pelayanan kepada pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal dirawat inap. Pemanfaatan atau utilisasi fasilitas kesehatan ditanyakan dalam satu bulan terakhir termasuk besaran biayanya. Hasil analisis disajikan data secara umum berupa rerata total besar biaya dalam sebulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median, tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya. Pemanfaatan rawat jalan menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten

153 Median Gambar Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menggambarkan 9,7 persen penduduk Provinsi Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp Penduduk Kota Cilegon merupakan daerah tertinggi yang melakukan rawat jalan (15,2%) dengan median biaya sebesar Rp Penduduk Kota Tangerang Selatan merupakan yang terendah dalam pemanfaatkan fasilitas rawat jalan (4,2%), namun dengan pengeluaran rerata sebesar Rp yang juga merupakan pengeluaran tertinggi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. 122

154 Tabel Proporsi pemanfaatan rawat jalan beserta median biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Rawat Jalan % Rp Kelompok umur 0-4 tahun 19, tahun 8, tahun 5, tahun 8, tahun 9, tahun 10, tahun 13, tahun 15, tahun 13, Tempat tinggal Perkotaan 9, Perdesaan 9, Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah 9, Menengah bawah 10, Menengah 9, Menengah atas 10, Teratas 7, Tabel menggambarkan pemanfaatan rawat jalan di berbagai fasilitas kesehatan dalam satu bulan terakhir. Sebanyak 19,5 persen balita melakukan rawat jalan dan kelompok ini merupakan kelompok proporsi tertinggi yang melakukan rawat jalan dengan median biaya sebesar Rp , sebaliknya penduduk umur tahun adalah kelompok terendah. Makin bertambah umur, penduduk makin banyak yang memanfaatkan rawat jalan dengan median biaya cenderung semakin besar. Penduduk umur 75 tahun ke atas adalah kelompok dengan median pengeluaran rawat jalan terbesar (Rp ) dan proporsi sebanyak 13,0%. Pemanfaatan rawat jalan di perkotaan dan di perdesaan tidak terlalu berbeda, namun untuk biaya yang dikeluarkan dalam satu bulan terakhir untuk rawat jalan di perkotaan sebesar Rp , sedangkan di perdesaan sebesar Rp Menurut kuintil indeks kepemilikan, median pengeluaran untuk rawat jalan paling tinggi pada kelompok penduduk kuintil teratas (Rp ) dengan proporsi pemanfaatan terendah (7,9%). Pemanfaatan tertinggi rawat jalan terdapat pada kuintil menengah bawah dan menengah atas dengan median pengeluaran masing-masing sebesar Rp dan Rp Rawat Inap Rawat Inap merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan kedokteran intensif (hospitalization) yang diselenggarakan oleh rumah sakit, rumah sakit bersalin, maupun rumah bersalin. Pemanfaatan rawat inap ditanyakan dalam kurun waktu dua belas bulan terakhir. Hasil analisis disajikan secara umum tanpa melihat jenis fasilitas kesehatan dan besar biaya merupakan rerata total besar biaya dalam dua belas bulan terakhir (rawat jalan) dengan menggunakan median. 123

155 Pemanfaatan rawat inap menurut fasilitas kesehatan dapat dibaca dalam Buku 2 Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Median Gambar Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) berdasarkan kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menggambarkan 1,9 persen penduduk Provinsi Banten dalam satu bulan terakhir melakukan rawat inap dan median biaya yang dikeluarkan sebesar Rp Penduduk Kota Tangerang tertinggi dalam pemanfaatan rawat inap yaitu sebesar 3,1 persen dengan median biaya dalam satu tahun terakhir sebesar Rp disusul oleh Kota Cilegon (3,0%) dengan median biaya sebesar Rp Penduduk Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak merupakan dua terendah untuk pemanfaatan rawat inap, yaitu masing-masing 0,9 persen dan 0,8 persen. Median biaya di dua daerah tersebut berbeda-beda, di Kabupaten Pandeglang sebesar Rp dan Kabupaten Lebak sebesar Rp Pengeluaran untuk rawat inap terendah di Kabupaten Serang (Rp ) dengan pemanfaatan rawat inap sebesar 1,4 persen sedangkan pengeluaran untuk rawat inap terbesar adalah di Kota Tangerang Selatan, yaitu sebesar Rp dengan pemanfaatan rawat inap sebesar 1,3 persen. 124

156 Tabel Proporsi pemanfaatan rawat inap beserta biaya yang dikeluarkan (Rp) menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Rawat Inap % Rp Kelompok umur 0-4 tahun 2, tahun 0, tahun 1, tahun 2, tahun 2, tahun 2, tahun 1, tahun 4, tahun 4, Tempat tinggal Perkotaan 2, Perdesaan 1, Indeks Kuintil Kepemilikan Terbawah 0, Menengah bawah 1, Menengah 2, Menengah atas 2, Teratas 2, Tabel menggambarkan sebesar 2,0 persen balita memanfaatkan rawat inap dan jumlah tersebut lebih tinggi daripada angka provinsi (1,9%). Kelompok usia lanjut merupakan kelompok tertinggi yang memanfaatkan fasilitas rawat inap dan juga besaran biayanya. Pemanfaatan rawat inap di perkotaan dan perdesaan nampak berbeda, begitu pula untuk biaya rawat inap satu tahun terakhir di perkotaan sebesar Rp Jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat biaya rawat inap di perdesaan, yaitu sebesar Rp Menurut kuintil indeks kepemilikan, kelompok penduduk kuintil teratas merupakan kelompok paling tinggi dalam pemanfaatan rawat inap (2,8%) dan pengeluaran sebesar Rp Sumber Pembiayaan Sumber biaya kesehatan menurut SKN terdiri dari biaya pemerintah dan masyarakat. Riskesdas 2013 memberikan informasi tentang proporsi sumber biaya kesehatan penduduk yang memanfaatkan rawat jalan dalam satu bulan terakhir dan atau rawat inap dalam satu tahun terakhir. Sumber biaya dikelompokkan menjadi: biaya sendiri, asuransi kesehatan (PNS, veteran, pensiunan PNS, pensiunan TNI/Polri), ASABRI (TNI/Polri aktif, staf Kementerian Hukum dan Keamanan), JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, tunjangan kesehatan dari perusahaan, Jamkesmas dan Jamkesda. 125

157 Gambar Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat jalan, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan bahwa sumber biaya rawat jalan secara keseluruhan untuk Provinsi Banten masih didominasi pembiayaan yang dibayar oleh pasien sendiri atau keluarga (out of pocket) sebesar 67,8 persen, kemudian berturut-turut disusul pembiayaan oleh Jamkesmas (11,2%) dan tunjangan kesehatan Perusahaan (6,4%), dan terendah adalah pembiayaan oleh asuransi swasta (0.8%). Sumber biaya rawat jalan dari Askes/ASABRI sebesar 2,2 persen, Jamsostek 3,9 persen, Jamkesda 4,6 persen, sumber lainnya 2,1 persen. Sebanyak 0,9 persen dibiayai lebih dari satu sumber. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku 2 Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 Tabel memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat jalan pada sebagian besar jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes/ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, Jamkesda, tunjangan kesehatan perusahaan dan dibiayai dari sumber lainnya banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Di daerah perdesaan lebih banyak memanfaatkan Jamkesmas dan pembiayaan sendiri. Menurut kuintil indeks kepemilikan, sumber biaya rawat jalan untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 63 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 65,4 persen melakukan rawat jalan dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun dan pada penduduk teratas terdapat 63,9 persen. Sumber biaya rawat jalan dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (28,8%), sebaliknya pada penduduk kuintil teratas ada 0,1 persen yang menggunakannya. Proporsi dan pemanfaatan sumber biaya rawat jalan dari Askes, ASABRI, JPK-Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, dan tunjangan kesehatan perusahaan cenderung meningkat pada kuintil indeks kepemilikan yang semakin tinggi. Sedangkan pemanfaatan sumber biaya lebih dari sumber menunjukan variasi yang tidak terlalu berbeda antar karakteristik penduduk baik menurut tempat tinggal maupun kuintil indeks kepemilikan. 126

158 Biaya Sendiri Askes/ ASABRI Jamsostek Asuransi Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Sumber Lainnya Lebihdari satu sumber Tabel Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat jalan berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan 63,8 2,8 5,3 1,2 7,6 6,5 8,9 2,9 0,9 Perdesaan 75,9 0,9 1,0 0,1 18,6 0,7 1,2 0,6 1,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 65,4 0,6 0,6 0,0 28,8 1,3 1,8 0,4 1,1 Menengah bawah 73,7 0,2 1,1 0,2 14,8 4,9 3,0 1,6 0,5 Menengah 65,5 1,3 5,0 0,5 8,3 8,3 6,2 2,9 2,0 Menengah atas 68,2 2,9 8,8 0,4 4,7 5,4 6,6 2,3 0,7 Teratas 63,9 7,4 2,6 4,1 0,1 1,1 17,1 3,5 0,1 Gambar memperlihatkan bahwa sumber biaya yang dipakai untuk rawat inap pada semua fasilitas kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh biaya sendiri (out of pocket), yaitu sekitar 44,6 persen. Kondisi ini dimungkinkan karena masih sekitar 54,5 persen penduduk Banten belum memiliki jaminan kesehatan. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki persentase out of pocket di atas angka provinsi. Pola pemanfaatan jaminan kesehatan sebagai sumber biaya untuk rawat jalan dan rawat inap tidak berbeda. Gambar Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap, Provinsi Banten

159 Biaya Sendiri Askes/ ASABRI Jamsostek Asuransi Swasta Jamkesmas Jamkesda Perusahaan Sumber Lainnya Lebihdari satu sumber Selanjutnya, sumber biaya yang paling banyak digunakan untuk rawat inap berturut-turut adalah tunjangan kesehatan perusahaan 13,0 persen, Jamkesda 9,5 persen, Jamkesmas 9,1 persen. Sebanyak 8,4 persen penduduk Provinsi Banten yang rawat inap menggunakan Jamsostek dan Askes/ASABRI serta sumber lainnya digunakan oleh masing-masing 4,3 persen. Sementara itu sumber biaya untuk rawat inap dari Asuransi kesehatan swasta digunakan oleh 4,1 persen dan 2,7 persen menggunakan lebih dari satu sumber. Proporsi penduduk menurut sumber biaya untuk rawat inap berdasarkan kabupaten/kota dapat dibaca dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Tabel Sumber biaya yang dipakai untuk pengobatan rawat inap berdasarkan karakteristik, Provinsi Banten 2013 Sumber Biaya Rawat inap Semua Fasilitas Karakteristik Tempat tinggal Perkotaan 41,7 5,0 9,4 4,9 5,3 11,6 15,1 4,9 2,2 Perdesaan 57,5 1,2 4,1 0,4 26,6 0,1 3,3 1,8 5,1 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 50,6 0,0 0,0 1,8 37,1 0,2 5,6 0,0 4,7 Menengah bawah 54,1 0,0 5,1 3,0 11,9 6,9 14,8 3,0 1,2 Menengah 50,7 1,4 5,6 0,0 11,2 12,0 11,3 6,8 1,0 Menengah atas 36,2 3,3 14,9 4,0 5,2 15,8 12,1 2,7 5,9 Teratas 43,9 10,7 6,9 8,7 3,0 3,7 16,9 5,9 0,4 Tabel memperlihatkan bahwa menurut tempat tinggal, sumber biaya rawat inap pada semua jenis fasilitas kesehatan dari berbagai jaminan kesehatan baik Askes/ASABRI, JPK Jamsostek, asuransi kesehatan swasta, Jamkesda, dan tunjangan kesehatan perusahaan lebih banyak dimanfaatkan di daerah perkotaan. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas dan biaya sendiri lebih banyak dimanfaatkan di daerah perdesaan. Menurut kuintil indeks kepemilikan, proporsi sumber biaya rawat inap dari jaminan kesehatan selain Jamkesmas dan Jamkesda cenderung meningkat seiring dengan makin tingginya kuintil. Sumber biaya rawat inap untuk semua jenis fasilitas kesehatan yang berasal dari biaya sendiri pada semua kelompok penduduk mempunyai proporsi lebih dari 36 persen. Pada penduduk kuintil terbawah didapati 50,6 persen melakukan rawat inap dengan biaya sendiri atau tanpa jaminan kesehatan apapun, dan pada penduduk teratas didapatkan 43,9 persen. Sumber biaya rawat inap dari Jamkesmas yang tertinggi adalah pada penduduk kuintil terbawah (37,1%), sebaliknya pada penduduk teratas hanya 3,0 persen yang menggunakannya. 128

160 3.12 Kesehatan Reproduksi Kesehatan Reproduksi (Kespro) mulai dimasukkan dalam Riskesdas 2010 yang hanya memberikan gambaran nasional dan provinsi. Riskesdas 2013 menyediakan informasi kesehatan reproduksi baik tingkat provinsi maupun kabupaten, sehingga provinsi dapat menilai cakupan pelayanan kesehatan ibu berbasis komunitas sebagai komplemen dari data rutin. Blok kesehatan reproduksi menyediakan informasi status kesehatan ibu dan beberapa isu kesehatan reproduksi pada semua perempuan umur tahun. Informasi yang dikumpulkan meliputi: 1) kejadian kehamilan saat wawancara yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga; 2) penggunaan alat/cara Keluarga Berencana (KB); 3) cakupan pelayanan kesehatan ibu dari masa kehamilan sampai masa nifas dan 4) masalah Kespro lainnya Kehamilan Informasi tentang kehamilan ini memberi gambaran proporsi penduduk Provinsi Banten yang sedang hamil (Gambar ). Proporsi kehamilan umur tahun di Provinsi Banten adalah 2,6 persen, dan tidak ada perbedaan di wilayah perkotaan maupun perdesaan (2,6%). (lihat buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka2013, Tabel ). Pola kehamilan berbeda menurut kelompok umur dan tempat tinggal. Di antara penduduk perempuan umur tahun tersebut, tidak terdapat kehamilan pada umur sangat muda (<15 tahun). Proporsi kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) adalah 2,7 persen, perdesaan (4,4%) lebih tinggi dibanding perkotaan (0,9%) Perkotaan Perdesaan Perkotaan+Perdesaan Gambar Proporsi penduduk yang sedang hamil berdasarkan laporan rumah tangga menurut kelompok umur dan tempat tinggal, Provinsi Banten Pelayanan program Keluarga Berencana (KB) Pelayanan KB merupakan upaya untuk mendukung kebijakan program KB nasional. Salah satu indikator program KB yaitu penggunaan KB saat ini dan CPR (Contraceptive Prevalence Rate). CPR adalah persentase penggunaan alat/cara KB oleh pasangan usia subur (PUS) yaitu WUS (umur tahun) berstatus menikah atau hidup bersama (Rajaguguk, Omas Bulan, 2010). Pada laporan ini, informasi tentang KB dianalisis pada kelompok WUS berstatus menikah atau hidup bersama. Analisis jenis alat/cara KB yang digunakan merujuk pada alat/cara KB yang paling efektif. 129

161 Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Kota Serang Banten Serang Tangerang Kota Cilegon Pandeglang Lebak a. Pola penggunaan KB saat ini Gambar menunjukkan proporsi penggunaan KB saat ini di Provinsi Banten sebesar 61,4 persen. Proporsi penggunaan KB saat ini, terendah di Kota Tangerang Selatan (50,6%) dan tertinggi Kabupaten Lebak (71,1%). Proporsi WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB tertinggi di Kota Serang (12,2%) dan terendah di Kota Cilegon (7,7%). Proporsi penggunaan KB saat ini hasil Riskesdas 2013 menurut kabupaten/kota secara rinci dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel Gambar Pengggunaan KB saat ini menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Penggunaan alat/cara KB terdiri dari alat KB modern dan KB cara tradisional. Penggunaan menurut alat atau cara tersebut juga mencerminkan CPR KB modern dan CPR KB tradisional. Indikator CPR modern merupakan salah satu indikator MDGs kelima dengan target peningkatan CPR modern sebesar 65 persen (Kemenkes RI, 2011) Sekarang Sekarang Pernah Ber-KB Tidak pernah Ber-KB Gambar Proporsi penggunaan alat/cara KB saat ini WUS kawin dan kelompok umur, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan dominasi penggunaan alat/cara KB modern di Provinsi Banten (52,1%). Menurut kabupaten/kota, penggunaan KB modern adalah tertinggi di Kabupaten Lebak (71,1%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (50,3%). Gambar menunjukkan juga bahwa proporsi penggunaan KB saat ini terbanyak pada kelompok umur tahun (68,2%), sedangkan pada kelompok umur tahun (36,4%) dan kelompok umur tahun (38,3%). 130

162 Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Banten Tangerang Serang Pandeglang Lebak Proporsi penggunaan alat/cara KB menurut karakteristik lainnya disajikan pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel Proporsi penggunaan alat/cara KB di perdesaan (66,8%) lebih banyak dibandingkan di perkotaan (59,0%), sedangkan berdasarkan kuintil indeks kepemilikan terbanyak adalah kelompok terbawah (68,5%). WUS kawin yang tidak pernah menggunakan KB lebih banyak pada kelompok yang tamat PT (23,7%) dan pada kelompok umur tahun (19,7%). b. Penggunaan KB menurut kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas Penggunaan KB menurut jenis alat/cara KB di Banten didominasi oleh penggunaan KB jenis suntikan KB (39,7%). Penggunaan KB menurut jenisnya dapat dilihat pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel dan Tabel Berdasarkan jenis alat/cara KB modern dari kedua tabel tersebut dapat dikelompokkan menurut jenis kandungan hormonal dan jangka waktu efektivitas. Kelompok KB hormonal terdiri dari KB modern jenis susuk, suntikan dan pil sedangkan kelompok non hormonal adalah sterilisasi pria, sterilisasi wanita, spiral/iud, diafragma dan kondom. Kelompok alat/cara KB modern menurut jangka waktu efektivitas untuk MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) terdiri dari susuk, sterilisasi pria, sterilisasi wanita serta, spiral/iud, sedangkan kelompok non MKJP adalah jenis suntikan, pil, diafragma dan kondom. Pada Tabel buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, memperlihatkan dominasi kelompok hormonal dan non MKJP yang sangat dipengaruhi oleh penggunaan KB suntikan yang tinggi. Gambar menunjukkan pola penggunaan alat/cara KB modern berdasarkan jenis kandungan hormonal menurut kabupaten/kota. Proporsi penggunaan KB hormonal paling tinggi di Kabupaten Lebak (67,4%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (38,9%). Sementara untuk proporsi alat KB non hormonal paling tinggi di Kota Serang (11,5%) dan paling rendah di Kabupaten Pandeglang (2,8%) hormonal non hormonal Gambar Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok kandungan hormonal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar adalah variasi proporsi penggunaan KB menurut jenis jangka waktu efektivitas (MKJP dan Non MKJP) di Provinsi Banten. Proporsi penggunaan KB non MKJP tertinggi di Kabupaten Lebak (62,8%) dan paling rendah di Kota Tangerang Selatan (39,7%). Penggunaan alat/cara KB dengan MKJP paling tinggi di Kota Serang (11,2%) sedangkan paling rendah adalah Kabupaten Tangerang (3,8%). 131

163 Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Banten Serang Pandeglang Tangerang Lebak Non MKJP MKJP Gambar Proporsi WUS kawin yang menggunakan alat/cara KB modern berdasarkan kelompok jangka waktu efektivitas KB menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Proporsi penggunaan KB modern kelompok hormonal menurut karakteristik paling tinggi pada kelompok umur tahun (64,9%), tamat SD (63,3%), jenis pekerjaan lainnya (63,5%), tinggal di perdesaan (64,4%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah (66,1%) (Tabel pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013). Proporsi penggunan KB modern berdasarkan jangka waktu efektivifas menurut karakteristik, non MKJP banyak digunakan oleh kelompok umur tahun, tamat SD, jenis pekerjaan lainnya, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah. Pengguna jenis MKJP paling tinggi pada kelompok umur tahun, pendidikan tinggi (tamat PT), pegawai, bertempat tinggal di perkotaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan teratas (Tabel pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013). 132

164 c. Tempat dan Tenaga untuk pelayanan KB modern Informasi tempat dan tenaga pelayanan KB modern bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan program pelayanan KB. Tenaga Kesehatan Gambar Proporsi pemanfaatan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan dalam mendapatkan pelayanan KB, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan penggunaan tempat dan tenaga yang memberi pelayanan KB. Terlihat bahwa praktek bidan dan bidan banyak perperan dalam pelayanan KB. Proporsi tersebut bervariasi menurut karakteristik. Tempat yang banyak dikunjungi adalah praktek bidan (60,6%) dan paling kecil adalah tim KB keliling (0,6%). Proporsi WUS kawin berdasarkan tempat mendapatkan pelayanan KB modern menurut kabupaten/kota dan karakteristik yang dapat dilihat secara lengkap pada Tabel dan buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Gambar juga menunjukkan proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga kesehatan yang memberi pelayanan KB. Tenaga kesehatan yang paling banyak memberi pelayanan KB adalah bidan (76,4%), dibandingkan tenaga kesehatan lainnya. Proporsi WUS kawin berdasarkan tenaga pemberi pelayanan KB modern menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat secara lengkap pada Tabel dan buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Pelayanan kesehatan masa kehamilan, persalinan dan nifas Setiap kehamilan dapat menimbulkan risiko kematian ibu. Pemantauan dan perawatan kesehatan yang memadai selama kehamilan sampai masa nifas sangat penting untuk kelangsungan hidup ibu dan bayinya. Dalam upaya mempercepat penurunan kematian ibu, Kementerian Kesehatan menekankan pada ketersediaan pelayanan kesehatan ibu di masyarakat. Riskesdas 2013 menanyakan kepada semua perempuan tahun yang pernah melahirkan. Selanjutnya pada responden yang pernah melahirkan (lahir hidup dan lahir mati) pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara, ditanyakan lebih lanjut tentang pengalaman mendapat pelayanan kesehatan selama periode hamil sampai masa nifas. Terdapat 2 indikator MDGs yang diperoleh dari bagian ini yaitu cakupan ANC minimal 1 kali dan ANC minimal 4 kali serta proporsi penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. 133

165 P A N D E G L A N G L E B A K S E R A N G B A N T E N T A N G E R A N G K O T A S E R A N G K O T A T A N G E R A N G S E L A T A N K O T A T A N G E R A N G K O T A C I L E G O N a. Pelayanan kesehatan ibu hamil dan indikator cakupan ANC Antenatal Care (ANC) adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama kehamilannya dan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan/SPK (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kemkes RI, 2010). Tenaga kesehatan yang dimaksud di atas adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada laporan ini disajikan indikator ANC yang sesuai dengan MDGs (K1 dan ANC minimal 4 kali) maupun indikator ANC untuk evaluasi program pelayanan kesehatan ibu di Indonesia seperti cakupan K1 ideal dan K4. Gambar menunjukkan bahwa 95,6 persen dari kelahiran mendapat ANC (K1). Persentase K1 dan ANC minimal 4 kali merupakan indikator ANC tanpa memperhatikan periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Cakupan K1 bervariasi dengan rentang antara 90,8 persen (Kabupaten Pandeglang) dan 99,7 persen (Kota Cilegon). Namun untuk ANC minimal 4 kali, Kota Tangerang Selatan (94,6%) merupakan wilayah dengan cakupan paling tinggi dibanding wilayah lainnya. Selisih antara K1 dan ANC 4 kali menunjukkan adanya kehamilan yang tidak optimal mendapat pelayanan ANC. Gambar menyajikan cakupan K1 ideal dan K4. Indikator K1 ideal dan K4 adalah indikator untuk melihat frekuensi yang merujuk pada periode trimester saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Kementerian Kesehatan menetapkan K4 sebagai salah satu indikator ANC (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2010). Indikator K1 ideal dan K4 merujuk pada frekuensi dan periode trimester saat dilakukan ANC menunjukkan adanya keberlangsungan pemeriksaan kesehatan semasa hamil. Setiap ibu hamil yang menerima ANC pada trimester 1 (K1 ideal) seharusnya mendapat pelayanan ibu hamil secara berkelanjutan dari trimester 1 hingga trimester 3. Hal ini dapat dilihat dari indikator ANC K4. Cakupan K1 ideal secara umum untuk wilayah Provinsi Banten adalah 83,0 persen dengan cakupan terendah di Kabupaten Pandeglang (70,4%) dan tertinggi di Kota Cilegon (95,0%). Cakupan K4 di Provinsi Banten adalah 70,2 persen dengan cakupan terendah di Kabupaten Pandeglang (46,4%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (90,9%). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat dari K1 ideal sebesar 83,0 persen dan K4 sebesar 70,2 persen, yang berarti 13 persen dari ibu yang menerima K1 ideal tidak melanjutkan ANC sesuai standar minimal (K4). Cakupan ANC menurut karakteristik menunjukkan bahwa semakin muda umur, semakin tinggi pendidikan ibu, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan dan tinggal di perkotaan, maka ibu cenderung untuk melakukan ANC. Cakupan K1 ideal menurut karakteristik memiliki pola yang hampir sama dengan cakupan K1 (Tabel pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013) K1 ANC minimal 4x Gambar Cakupan indikator ANC K1 dan ANC minimal 4 kali menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

166 Pandeglang Serang Tangerang Banten Kota Serang Lebak Kota Cilegon Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan ANC K4 K1 Ideal Gambar Cakupan indikator ANC K1 ideal dan ANC K4 (ANC 1-1-2) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 b. Tenaga dan tempat pemeriksa kehamilan Tenaga kesehatan yang kompeten memberi pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil adalah dokter kebidanan dan kandungan, dokter umum, bidan dan perawat (Direktorat Bina Kesehatan Ibu, 2009). Fasilitas kesehatan disediakan untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan ibu hamil dari rumah sakit hingga posyandu. Gambar adalah proporsi kelahiran yang mendapat pelayanan ANC menurut tenaga dan tempat menerima ANC. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling berperan (88,4%) dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu hamil dan fasilitas kesehatan yang banyak dimanfaatkan ibu hamil adalah praktek bidan (55,5%), Posyandu (17,7%) dan Puskesmas/Pustu (10,2%). Polindes/ Poskesdes Lainnya Bidan dokter kebidanan kandungan Perawat Praktek Bidan Posyandu RS PKM/Pust u RB dokter umum Praktek dokter/klini Gambar Proporsi kelahiran menurut melakukan pemeriksaan kehamilan menurut tenaga dan tempat mendapat pelayanan ANC, Banten 2013 Proporsi tenaga kesehatan yang memberi pelayanan pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 (Tabel dan ). Masyarakat dengan karakteristik tinggal di perdesaan, 135

167 pendidikan rendah dan berada pada kuintil indeks kepemilikan terbawah hingga menengah cenderung memilih bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan. Sebaliknya dokter spesialis kebidanan dan kandungan dipilih oleh masyarakat di perkotaan, pendidikan tinggi dan indeks kepemilikan atas. Proporsi fasilitas kesehatan yang dipilih masyarakat untuk pemeriksaan kehamilan menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 (Tabel dan ). c. Konsumsi zat besi Zat besi sangat dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Kementerian Kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya (Depkes RI, 2001). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan apakah mengonsumsi zat besi selama hamil dan berapa hari mengonsumsi zat besi selama hamil. Zat besi yang dimaksud adalah semua konsumsi zat besi selama masa kehamilannya termasuk yang di jual bebas maupun multivitamin yang mengandung zat besi. Gambar menunjukkan konsumsi zat besi dan variasi jumlah asupan zat besi selama hamil di Provinsi Banten sebesar 89,1 persen. Tidak mengkonsum si zat besi Mengkonsum si zat besi Gambar Proporsi ibu hamil mengkonsumsi zat besi (Fe) dan jumlah yang dikonsumsi, Provinsi Banten 2013 d. Kepemilikan buku KIA dan pelaksanaan P4K Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) telah dirintis sejak 1997 dengan dukungan dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Buku KIA berisi catatan kesehatan ibu (hamil, bersalin dan nifas) dan anak (bayi baru lahir, bayi dan anak balita). Buku KIA juga memuat informasi tentang cara memelihara dan merawat kesehatan ibu dan anak. Setiap kehamilan mendapat 1 buku KIA. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) merupakan program terobosan Kementerian Kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat tentang kesehatan ibu sebagai upaya untuk menurunkan kematian ibu (Factsheet Ditjen Bina Kesehatan Ibu). P4K adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader, tokoh agama/tokoh masyarakat untuk meningkatkan peran aktif suami, keluarga dan masyarakat dalam perencanaan persalinan, persiapan menghadapi komplikasi kehamilan/persalinan, perencanaan penggunaan kontrasepsi pasca persalinan bagi setiap ibu hamil dengan menggunakan media stiker sebagai penanda. Sebagai wujud penerapan P4K tersebut juga dituliskan pada Buku KIA dalam lembar Amanat Persalinan. Setiap kehamilan yang mendapat buku KIA dan membuat perencanaan dituliskan pada lembar tersebut (Kementerian Kesehatan, 1997). Pada Riskesdas 2013, enumerator menanyakan kepemilikan Buku KIA. Apabila responden bisa menunjukkan buku KIA dilanjutkan dengan observasi 5 komponen P4K terhadap lembar Amanat 136

168 Persalinan yang terkait dengan perencanaan persalinan, persiapan kegawatdaruratan dan perencanaan KB yaitu : 1. Penolong persalinan (nama-nama tenaga kesehatan yang akan menangani saat bersalin). 2. Dana persalinan (rencana sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk biaya persalinan). 3. Kendaraan/ambulans desa (kendaraan yang disiapkan untuk membawa ibu hamil menuju tempat bersalin jika sewaktu-waktu akan melahirkan/perlu rujukan). 4. Metode KB (rencana jenis KB yang akan dipilih setelah melahirkan), dan 5. Sumbangan darah (nama-nama calon donor darah apabila sewaktu-waktu terjadi kasus perdarahan/komplikasi lain yang memerlukan sumbangan darah) Memiliki Buku KIA-bisa menunjukkan Penolong Dana Kendaraan Metode persalinan persalinan KB Donor darah Gambar Proporsi kelahiran menurut kepemilikan buku KIA dan isian 5 Komponen P4K berdasarkan hasil observasi lembar Amanat Persalinan dari yang dapat menunjukkan Buku KIA, Provinsi Banten 2013 Hasil analisis menunjukkan bahwa 74,2 persen mempunyai buku KIA, namun yang bisa menunjukan hanya 26,6 persen. Variasi kepemilikan buku KIA dan bisa menunjukkan buku KIA menurut kabupaten/kota antara cakupan terendah di Kabupaten Tangerang (11,6%) dan tertinggi di Kota Cilegon (48,3%). Gambar menunjukkan hasil observasi buku KIA terhadap 5 komponen P4K menunjukkan bahwa isian penolong persalinan sebesar 35,5 persen, dana persalinan sebesar 15,3 persen, kendaraan/ambulans desa sebesar 14,1 persen, metode KB pasca salin sebesar 21,0 persen dan 9,4 persen untuk isian sumbangan darah. Kelengkapan isian pada semua komponen sebesar 8,0 persen dan 64,5 persen tidak ada isian. Kepemilikan buku KIA dan isian 5 komponen hasil observasi menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel dan pada Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten e. Metode persalinan Masa bersalin merupakan periode kritis bagi seorang ibu hamil. Masalah komplikasi atau adanya faktor penyulit menjadi faktor risiko terjadinya kematian ibu sehingga perlu dilakukan tindakan medis sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu dan anak. Bedah sesar hanya dilakukan atas dasar indikasi medis tertentu dan kehamilan dengan komplikasi (Depkes, 2001c). Pada Riskesdas 2013 ditanyakan proses persalinan yang dialami. Gambar menyajikan proporsi persalinan dengan bedah sesar menurut kabupaten/kota dan Gambar menurut karakteristik. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 12,1 persen dengan proporsi tertinggi di Kota Tangerang Selatan (21,9%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (1,2%) dan secara umum pola persalinan melalui bedah sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (26,2%), tinggal di perkotaan (16,2%), pekerjaan sebagai pegawai (25,2%) dan 137

169 Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal Kuintil Indeks Kepemilikan Pandeglang Serang Lebak Kota Serang Tangerang Banten Kota Tangerang Kota Cilegon Kota Tangerang Selatan pendidikan tinggi/lulus PT (28,9%). Tabel dan Tabel buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 menyajikan proporsi metode persalinan menurut kabupaten/kota dan karakteristik Gambar Proporsi persalinan operasi sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah 26.2 Perdesaan Perkotaan 16.2 Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja 25.2 Tamat PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah Gambar Proporsi persalinan sesar dari kelahiran periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 f. Penolong persalinan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten merupakan salah satu indikator MDGs target kelima. Tenaga kesehatan yang kompeten sebagai penolong persalinan (linakes) menurut PWS-KIA adalah dokter spesialis kebidanan dan kandungan, dokter umum dan bidan. Kementerian Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

170 Dr.kebid & kandungan Dokter umum Bidan Perawat Dukun Keluarga/Lainnya Tidak ada penolong Penolong Linakes pada tahun 2012 (Depkes, 2000c). Untuk mengukur kemajuan dalam mencapai target ini, responden ditanya mengenai siapa saja yang menolong selama proses persalinan. Dalam analisis Riskesdas, penolong persalinan dinyatakan dalam penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi apabila lebih dari satu penolong maka dipilih yang paling tinggi sedangkan penolong persalinan dengan kualifikasi terendah adalah apabila lebih dari satu penolong maka dipilih tenaga dengan kualifikasi yang paling rendah. Gambar menunjukkan bahwa persalinan kualifikasi tertinggi dan kualifikasi terendah. Sebagian besar persalinan ditolong oleh bidan (65,4% dan 62,0%). Sehingga penolong linakes untuk kualifikasi tertinggi sebesar 84,1 persen dan kualifikasi terendah adalah 76,3 persen Kualifikasi tertinggi Kualifikasi terendah Gambar Proporsi kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sd wawancara menurut penolong persalinan kualifikasi tertinggi dan terendah, Provinsi Banten 2013 Pola penolong persalinan menurut kabupaten/kota untuk kualifikasi tertinggi dengan proporsi penolong linakes terendah di Kabupaten Pandeglang (59,4%), dan tertinggi di Kota Tangerang (98,1%). Pola penolong persalinan menurut karakteristik terlihat bahwa semakin tinggi pendidikan ibu, persentase dokter spesialis kebidanan dan kandungan semakin besar baik kualifikasi tertinggi maupun terendah. Demikian juga pegawai, tinggal di perkotaan dan kuintil indeks kepemilikan teratas. Sebaliknya penggunaan dukun sebagai tenaga penolong persalinan adalah kelahiran dari ibu yang mempunyai pendidikan rendah (tidak tamat SD dan tidak sekolah), petani/ nelayan/buruh tinggal di perdesaan dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. g. Tempat persalinan Tempat persalinan yang ideal adalah di rumah sakit karena apabila sewaktu-waktu memerlukan penanganan kegawatdaruratan tersedia fasilitas yang dibutuhkan, minimal bersalin di fasilitas kesehatan lainnya sehingga apabila perlu rujukan dapat segera dilakukan. Sebaliknya apabila melahirkan di rumah apabila sewaktu-waktu membutuhkan penangan medis segera tidak dapat segera dapat ditangani. Gambar menunjukkan 70,4 persen kelahiran pada periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara terjadi di fasilitas kesehatan dengan persentase tertinggi di rumah bersalin, klinik, praktek dokter/praktek bidan (66,0%) dan terendah di Poskesdes/Polindes (0,7%). Namun masih terdapat 33,3 persen yang melahirkan di rumah/lainnya. Kabupaten dengan persentase melahirkan di rumah yang paling tinggi adalah di Kabupaten Pandeglang (68,7%). 139

171 < 20 th th 35 th Tidak sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat D1-D3/PT Tidak berkerja Pegawai Wiraswasta Petani/Nelayan/Buruh Lainnya Perkotaan Perdesaan Terbawah Menengah bawah Menengah Menengah atas Teratas Pandeglang Lebak Serang Tangerang Banten Kota Serang Kota Cilegon Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Faskes dan Polindes/Poskesdes Rumah/Lainnya Gambar Proporsi tempat bersalin dari kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan proporsi tempat bersalin di fasilitas kesehatan (RS, RB/klinik/praktek nakes, Puskesmas/Pustu) dan Polindes/Poskesdes dan di Rumah menurut karakteristik. Pada kelompok ibu berumur risiko tinggi (umur ibu kurang dari 20 tahun dan umur 35 tahun ke atas) lebih banyak melahirkan di fasilitas kesehatan dan polindes/poskesdes demikian pula ibu dengan tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan yang tinggi, bekerja sebagai pegawai dan tinggal di perkotaan. Sebaliknya ibu dengan pendidikan rendah, pekerjaan petani/nelayan/buruh, tinggal di perdesaan dan dengan kuintil indeks kepemilikan terendah memilih melahirkan di rumah Umur saat bersalin Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal Faskes dan Polindes/Poskesdes Rumah/Lainnya Kuintil Indeks Kepemilikan Gambar Persentase tempat bersalin dari kelahiran 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik responden, Provinsi Banten

172 Serang Pandeglang Lebak Kota Serang Banten Kota Cilegon Tangerang Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang h. Pelayanan kesehatan masa nifas Masa nifas masih merupakan masa yang rentan bagi kelangsungan hidup ibu baru bersalin. Menurut Studi Tindak Lanjut Kematian Ibu SP 2010 (Tin Afifah dkk, 2011), sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa nifas sehingga pelayanan kesehatan masa nifas berperan penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Pelayanan masa nifas adalah pelayanan kesehatan yang diberikan pada ibu selama periode 6 jam sampai 42 hari setelah melahirkan. Kementerian Kesehatan menetapkan program pelayanan atau kontak ibu nifas yang dinyatakan dalam indikator : 1) KF1, kontak ibu nifas pada periode 6 jam sampai 3 hari setelah melahirkan 2) KF2, kontak ibu nifas pada periode 7-28 hari setelah melahirkan dan 3) KF3, kontak ibu nifas pada periode hari setelah melahirkan jam - 3 hr 7-28 hr hr KF Lengkap Gambar Proporsi pelayanan masa nifas dari kelahiran hidup periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara, Provinsi Banten 2013 Gambar memperlihatkan bahwa cakupan pelayanan kesehatan masa nifas seiring dengan periode waktu setelah bersalin bervariasi. Kelahiran yang mendapat pelayanan kesehatan masa nifas secara lengkap meliputi KF1, KF2 dan KF3 hanya 38,5 persen. Periode masa nifas yang berisiko terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama pada periode 3 hari pertama setelah melahirkan. Cakupan pelayanan kesehatan masa nifas periode 3 hari pertama setelah melahirkan bervariasi menurut kabupaten/kota (Gambar ) yaitu tertinggi di Kota Tangerang (88,4%) dan terendah di Kabupaten Serang (61,6%) Gambar Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

173 Kelompok umur Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal Kuintil Indeks Kepemilikan Menurut karakteristik pada Gambar memperlihatkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan maka cakupan KF1 makin besar, proporsi di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan. Tidak ada perbedaan mencolok menurut karakteristik umur saat bersalin dan pekerjaan. Rincian data cakupan pelayanan KF menurut kabupaten/kota dan karakteristik dapat dilihat pada Tabel dan Tabel pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Teratas Menengah atas Menengah Menengah bawah Terbawah 95.4 Perdesaan Perkotaan Lainnya Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta Pegawai Tidak berkerja Tamat D1-D3/PT Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tidak Tamat SD Tidak sekolah th th < 20 th Gambar Cakupan pelayanan masa nifas periode 6 jam-3 hari setelah melahirkan periode 1 Januari 2010 sampai saat wawancara menurut karakteristik, Provinsi Banten

174 3.13 Kesehatan Anak dan Imunisasi Topik kesehatan anak bertujuan untuk memberikan informasi berbagai indikator kesehatan anak yang meliputi status kesehatan anak dan cakupan pelayanan. Untuk status kesehatan anak meliputi prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), panjang badan lahir pendek, gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, cacat lahir atau kecacatan pada anak balita. Sedangkan indikator yang terkait dengan cakupan pelayanan kesehatan anak meliputi perilaku perawatan tali pusar bayi baru lahir, pemeriksaan bayi baru lahir, imunisasi, kepemilikan akte kelahiran, kepemilikan buku KMS dan KIA, pemantauan pertumbuhan, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI dan MPASI, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelakteal, ASI eksklusif, dan sunat perempuan. Indikator yang terkait dengan prevalensi gangguan kesehatan (sakit) pada bayi umur neonatal, kepemilikan akte kelahiran anak balita, cakupan kepemilikan KMS dan buku KIA, pemberian kolostrum dan pemberian makanan prelakteal akan ditampilkan dalam buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Tabel menunjukkan jumlah responden yang dianalisis sesuai indikator yang diukur. Tabel Jumlah sampel dan indikator kesehatan anak, Provinsi Banten 2013 Responden Jumlah sampel Indikator Perempuan umur 0-11 tahun Sunat perempuan Anak umur 0-59 bulan Kunjungan neonatal Berat dan panjang lahir Perawatan tali pusar Kepemilikan KMS dan buku KIA Kepemilikan akte kelahiran Anak umur 6-59 bulan Cakupan vitamin A Pemantauan pertumbuhan Anak umur bulan Kecacatan Anak umur 0-23 bulan 738 ASI dan MPASI Anak umur bulan Imunisasi Berat dan panjang badan lahir Berat dan panjang badan lahir dicatat atau disalin berdasarkan dokumen/catatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, seperti buku KIA, KMS, atau buku catatan kesehatan anak lainnya. Persentase anak balita yang memiliki catatan berat badan lahir adalah 48,3 persen. Kategori berat badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <2500 gram (BBLR), gram, dan 4000 gram. Kecenderungan BBLR pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kotatahun 2013 disajikan pada Gambar Persentase BBLR tahun 2013 (10,2%) dengan persentase BBLR tertinggi terdapat di Kabupaten Serang (14,4%) dan terendah di Kota Tangerang dan Kota Cilegon masing-masing (6,0%). 143

175 Gambar Kecenderungan berat badan lahir rendah (BBLR)pada balita, Provinsi Banten 2013* * Berdasarkan 48,3% sampel balita yang punya catatan Tabel menyajikan persentase berat badan bayi baru lahir anak balita menurut karakteristik. Karakteristik pendidikan dan pekerjaan adalah gambaran dari kepala rumah tangga. Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (11,9%) lebih tinggi daripada laki-laki (7,6%), namun persentase berat lahir 4000 gram pada laki-laki (10,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (2,8%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat prevalensi BBLR tertinggi pada kelompok tidak tamat SD/MI dan penduduk menengah bawah. Sedangkan persentase BBLR terendah pada kelompok menengah atas (5,3%). Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga petani/nelayan/buruh (12,1%). Persentase BBLR di perdesaan (10,4%) lebih tinggi daripada di perkotaan (9,4%). 144

176 Tabel Persentase berat badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Berat badan lahir <2500 gr gr 4000 gr Kelompok umur (bulan) ,4 85,2 3, ,5 85,5 7, ,8 81,9 8, ,9 82,5 8, ,2 85,9 2, ,9 81,5 8,6 Jenis kelamin Laki-laki 7,6 82,0 10,4 Perempuan 11,9 85,3 2,8 Pendidikan Tidak pernah sekolah 0,0 99,6 0,4 Tidak tamat SD/MI 15,9 81,9 2,2 Tamat SD/MI 10,9 82,6 6,4 Tamat SMP/MTS 8,5 82,9 8,7 Tamat SMA/MA 8,8 83,7 7,4 Tamat D1-D3/PT 10,1 85,9 4,0 Pekerjaan Tidak bekerja 5,3 87,2 7,4 Pegawai 8,9 84,4 6,7 Wiraswasta 9,1 83,1 7,8 Petani/nelayan/buruh 12,1 81,5 6,4 Lainnya 9,0 87,8 3,2 Tempat tinggal Perkotaan 9,4 83,9 6,6 Perdesaan 10,4 82,6 7,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 8,7 84,9 6,5 Menengah bawah 15,0 78,3 6,6 Menengah 11,3 83,8 4,9 Menengah atas 5,3 86,9 7,8 Teratas 10,0 82,6 7,4 Tabel menyajikan persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Kategori panjang badan lahir dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, cm, dan >52 cm. Persentase panjang badan lahir <48 cm sebesar 21,2 persen dan cm sebesar 76,5 persen. Persentase bayi lahir pendek (panjang badan lahir <48 cm) tertinggi di Kabupaten Serang (34,1%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (11,6%). 145

177 Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Panjang badan lahir <48 cm cm >52 cm Kab. Pandeglang 11,6 83,0 5,4 Kab. Lebak 30,3 68,5 1,2 Kab. Tangerang 20,2 76,5 3,2 Kab. Serang 34,1 64,9 1,0 Kota Tangerang 19,8 79,3 1,0 Kota Cilegon 27,6 70,5 1,9 Kota Serang 13,9 81,0 5,2 Kota Tangerang Selatan 18,0 81,3 0,7 Banten 21,2 76,5 2,3 Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik disajikan pada Tabel Menurut kelompok umur, bayi lahir pendek tidak menunjukkan adanya pola yang jelas. Persentase bayi lahir pendek pada anak perempuan (24,3%) lebih tinggi daripada anak laki-laki (18,3%). Menurut pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah persentase anak lahir pendek. Menurut jenis pekerjaan, persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan kepala rumah tangga yang bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (30,3%), sedangkan persentase terendah pada kelompok pekerjaan lainnya (13,3%). Persentase anak lahir pendek di perdesaan (30,1%) lebih tinggi daripada di perkotaan (18,6%). 146

178 Karakteristik Tabel Persentase panjang badan lahir anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Panjang badan lahir <48 cm cm >52 cm Kelompok umur (bulan) ,9 75,6 2, ,3 73,4 1, ,2 79,7 1, ,9 74,1 2, ,3 78,2 5, ,4 76,4 1,1 Jenis kelamin Laki-laki 18,3 79,3 2,5 Perempuan 24,3 73,6 2,1 Pendidikan Tidak pernah sekolah 7,5 86,4 6,2 Tidak tamat SD/MI 37,2 62,6 0,2 Tamat SD/MI 24,2 72,9 2,9 Tamat SMP/MTS 21,3 78,7 Tamat SMA/MA 20,5 76,8 2,7 Tamat D1-D3/PT 14,5 82,3 3,2 Pekerjaan Tidak bekerja 22,7 76,6 0,8 Pegawai 16,6 81,1 2,3 Wiraswasta 20,2 78,5 1,4 Petani/nelayan/buruh 30,3 67,9 1,9 Lainnya 13,3 76,9 9,8 Tempat tinggal Perkotaan 18,6 79,2 2,1 Perdesaan 30,1 67,2 2,7 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 28,0 70,0 2,0 Menengah bawah 23,9 73,0 3,1 Menengah 24,8 74,2 1,0 Menengah atas 21,4 75,7 2,9 Teratas 13,9 83,8 2, Status Imunisasi Program imunisasi dilaksanakan di Indonesia sejak tahun Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus serta hepatitis B. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1611/MENKES/SK/XI/2005, program pengembangan imunisasi mencakup satu kali HB-0, satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak. Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan; imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua bulan, tiga bulan empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan. 147

179 Informasi cakupan imunisasi pada Riskesdas 2013 ditanyakan kepada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan. Informasi imunisasi dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan. Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis. Analisis dilakukan pada anak umur bulan, yang telah melewati masa imunisasi dasar. Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur bulan karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan valid immunization ; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok umur bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat dibandingkan dan; (3) ingatan ibu yang diwawancara pada saat pengumpulan data lebih baik dibanding kelompok umur lebih dari bulan. Namun karena ada keterbatasan sampel maka untuk menggambarkan angka kabupaten/kota, analisis dilakukan dari data usia bulan. Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing). Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan. Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong lintang) dalam Riskesdas Gambar menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap Banten tahu 2013 sebesar 45,8% masih di bawah cakupan imunisasi lengkap nasional yang mencapai 59,2%. Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel Cakupan imunisasi dasar lengkap bervariasi antar kabupaten/kota, yaitu tertinggi di Kota Tangerang (69,7%)dan terendah di Kabupaten Serang(13,3%). Secara provinsi, terdapat 10,4 persen anak bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi dengan persentase tertinggi di Kota Serang (23,1%) dan terendah di Kota Tangerang, tanpa kasus. Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi Kab. Pandeglang 41,6 50,6 7,8 Kab. Lebak 43,2 49,7 7,1 Kab. Tangerang 42,6 40,4 17,0 Kab. Serang 13,3 72,5 14,2 Kota Tangerang 69,7 30,3 0,0 Kota Cilegon 69,1 29,2 1,6 Kota Serang 26,6 50,3 23,1 Kota Tangerang Selatan 63,8 33,4 2,8 Banten 45,8 43,9 10,4 Tabel menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap menurut karakteristik. Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (53,1%) daripada di perdesaan (29,9%) dan 148

180 terdapat 14,9 persen anak umur bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula cakupan imunisasi dasar lengkapnya. Menurut pendidikan kepala rumah tangga, cakupan imunisasi dasar lengkap anak umur bulan tertinggi pada kelompok perguruan tinggi (89,0%) dan terendah pada kelompok tidak tamat SD/MI (17,9%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan semakin tinggi cakupan imunisasi dasar lengkap, tertinggi pada kelompok teratas (67,5%). Menurut pekerjaan, terlihat kecenderungan peningkatan cakupan imunisasi lengkap anak umur bulan pada kepala keluarga yang bekerja sebagai pegawai. Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kelengkapan imunisasi dasar Lengkap Tidak lengkap Tidak imunisasi Jenis kelamin Laki-laki 49,8 39,7 10,5 Perempuan 41,8 48,0 10,3 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 43,2 48,2 8,6 Tidak tamat SD/MI 17,9 56,1 25,9 Tamat SD/MI 32,3 45,8 21,9 Tamat SMP/MTS 39,0 54,3 6,7 Tamat SMA/MA 60,0 39,9 0,1 Tamat D1-D3/PT 89,0 9,5 1,4 Pekerjaan KK Tidak bekerja 45,5 39,6 14,9 Pegawai 67,3 31,3 1,4 Wiraswasta 44,8 43,5 11,7 Petani/nelayan/buruh 26,5 55,9 17,6 Lainnya 41,9 52,4 5,8 Tempat tinggal Perkotaan 53,1 38,6 8,3 Perdesaan 29,9 55,2 14,9 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 24,8 52,1 23,1 Menengah bawah 30,0 48,6 21,4 Menengah 44,9 50,7 4,3 Menengah atas 57,7 36,4 5,9 Teratas 67,5 31,8 0,7 149

181 Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Jenis imunisasi dasar HB-0 BCG DPT-HB 3 Polio 4 Campak Kab. Pandeglang 66,0 85,4 52,8 57,3 68,8 Kab. Lebak 54,4 90,0 77,3 86,1 77,7 Kab. Tangerang 81,2 79,0 55,1 55,2 51,0 Kab. Serang 65,2 82,1 43,2 36,7 67,5 Kota Tangerang 90,4 90,9 87,3 83,8 84,4 Kota Cilegon 91,8 89,3 79,0 75,5 78,8 Kota Serang 53,8 64,9 38,0 54,1 48,8 Kota Tangerang Selatan 93,3 87,2 79,7 77,1 83,0 Banten 76,9 83,6 63,3 64,0 66,7 Tabel Persentase imunisasi dasar pada anak umur bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Imunisasi dasar HB-0 BCG DPT-HB Polio Campak Jenis kelamin Laki-laki 78,1 84,8 65,8 63,0 69,2 Perempuan 75,6 82,5 60,7 65,0 64,1 Pendidikan KK Tidak pernah sekolah 84,8 84,8 43,2 43,2 52,0 Tidak tamat SD/MI 45,3 64,0 31,0 33,8 35,3 Tamat SD/MI 56,6 72,7 51,1 54,4 59,8 Tamat SMP/MTS 79,3 91,0 66,6 64,0 68,0 Tamat SMA/MA 96,6 90,1 73,1 72,7 74,0 Tamat D1-D3/PT 98,5 98,5 97,3 97,8 94,1 Pekerjaan KK Tidak bekerja 69,5 67,0 65,0 67,1 63,4 Pegawai 95,5 90,9 83,2 78,1 85,6 Wiraswasta 76,1 86,9 64,3 63,6 60,0 Petani/nelayan/buruh 59,6 76,8 44,9 52,0 55,1 Lainnya 88,9 94,2 46,5 46,5 53,0 Tempat tinggal Perkotaan 86,3 85,3 68,0 67,1 67,1 Perdesaan 56,1 80,0 52,9 57,2 65,7 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 51,9 75,4 46,8 53,2 55,1 Menengah bawah 57,6 66,7 48,5 45,4 46,4 Menengah 85,2 88,0 62,4 67,4 63,7 Menengah atas 86,3 92,6 74,9 68,8 81,8 Teratas 95,8 89,9 79,3 82,4 81,6 150

182 Kunjungan neonatal Pada Riskesdas 2013 dilakukan pengumpulan data kunjungan neonatal yang meliputi kunjungan pada saat bayi berumur 6-48 jam (KN1), 3-7 hari (KN2), dan 8-28 hari (KN3). Gambar menunjukkan persentase KN1, KN2 dan KN3 masih cukup tinggi (> 50%). Cakupan kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada bayi umur 6-48 jam (67,0%) dan terendah pada bayi umur 8-28 hari (51,0%). Gambar Persentase Kunjungan Neonatal, Provinsi Banten 2013 Persentase KN1 pada anak balita menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar Persentase kunjungan neonatal pada 6-48 jam adalah 67,0 persen, kabupaten/kota dengan persentasekn1 tertinggi adalah Kota Tangerang (84,9%) dan terendah di Kabupaten Serang (43,5%). Gambar Persentase KN1 menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Persentase kunjungan neonatal menurut karakteristik disajikan pada Tabel Pada Tabel , terlihat persentase kunjungan neonatal 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari setelah lahir semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur anak. Persentase kunjungan neonatal menurut jenis kelamin anak hampir tidak ada perbedaan, sedangkan menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan kepala rumah tangga, semakin tinggi pula 151

183 persentase kunjungan neonatal pada bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, persentase kunjungan neonatal pada umur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari tertinggi pada kelompok pekerjaan pegawai, yaitu 80,0 persen untuk KN1; 75,8 persen untuk KN2, dan 63,4 persen untuk KN3. Tabel Persentase kunjungan neonatal dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kunjungan neonatal KN1 (6 48 jam) KN2 (3 7 hari) KN3 (8 28 hari) Kelompok umur (bulan) ,7 67,5 53, ,0 60,4 51, ,2 64,0 53, ,8 57,7 49, ,3 59,9 47, ,9 58,5 52,0 Jenis kelamin Laki-laki 66,1 60,7 51,6 Perempuan 67,9 61,0 50,3 Pendidikan Tidak pernah sekolah 44,1 54,1 33,0 Tidak tamat SD/MI 49,7 38,8 32,8 Tamat SD/MI 53,6 46,9 40,4 Tamat SMP/MTS 62,9 63,0 46,3 Tamat SMA/MA 78,7 70,9 61,3 Tamat D1-D3/PT 87,9 79,0 69,9 Pekerjaan Tidak bekerja 65,4 52,7 54,4 Pegawai 80,0 75,8 63,4 Wiraswasta 65,7 57,4 54,7 Petani/nelayan/buruh 53,9 48,6 35,4 Lainnya 67,9 59,6 43,0 Tempat tinggal Perkotaan 74,6 68,7 58,8 Perdesaan 50,4 43,5 33,6 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 40,5 31,0 29,0 Menengah bawah 55,3 48,5 35,9 Menengah 76,6 70,5 57,3 Menengah atas 74,3 70,7 60,0 Teratas 83,3 77,4 68,5 Setiap bayi baru lahir sebaiknya mendapatkan semua kunjungan neonatal, yaitu pada saat bayi berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari. Bayi yang mendapat kunjungan neonatal tiga kali yaitu pada saat berumur 6-48 jam, 3-7 hari, dan 8-28 hari, dapat dinyatakan melakukan kunjungan neonatal lengkap (KN1, KN2, KN3). Persentase kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota disajikan pada Gambar

184 Gambar menunjukkan bahwa persentase anak balita dengan kunjungan neonatal lengkap adalah 39,3. Persentase kunjungan neonatal lengkap tahun 2013 tertinggi di Kota Tangerang (63,7%) dan terendah di Kabupaten Serang (15,3%). Gambar Kunjungan neonatal lengkap menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tabel menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaan persentase kunjungan neonatal lengkap menurut jenis kelamin anak. Menurut tempat tinggal, persentase kunjungan neonatal lengkap di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Di perdesaan, 35,5 persen anak balita tidak pernah melakukan kunjungan neonatal. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi pula persentase kunjungan neonatal lengkap. Menurut jenis pekerjaan kepala rumah tangga, kunjungan neonatal lengkap tertinggi pada jenis pekerjaan pegawai (56,2%) dan terendah pada kelompok pekerjaan petani/buruh/nelayan (26,6%). Persentase balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal semakin rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut jenis pekerjaan, balita yang tidak pernah melakukan kunjungan neonatal tertinggi pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh (33,1%) dan terendah pada kelompok pekerjaan pegawai (12,3%). 153

185 Tabel Persentase kunjungan neonatal pada anak anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kategori kunjungan neonatal Tidak pernah KN KN tidak lengkap KN lengkap Kelompok umur (bulan) ,6 34,9 45, ,8 43,1 41, ,4 34,8 43, ,6 37,5 39, ,3 40,2 37, ,6 32,4 41,0 Jenis kelamin Laki-laki 22,1 37,1 40,9 Perempuan 22,0 36,7 41,3 Pendidikan Tidak pernah sekolah 30,6 48,3 21,0 Tidak tamat SD/MI 34,6 48,1 17,3 Tamat SD/MI 32,8 38,4 28,8 Tamat SMP/MTS 23,1 38,3 38,6 Tamat SMA/MA 13,5 34,9 51,7 Tamat D1-D3/PT 8,7 26,8 64,5 Pekerjaan Tidak bekerja 24,8 34,4 40,8 Pegawai 12,3 31,5 56,2 Wiraswasta 20,3 40,8 38,9 Petani/nelayan/buruh 33,1 40,3 26,6 Lainnya 23,7 39,4 37,0 Tempat tinggal Perkotaan 15,9 34,3 49,8 Perdesaan 35,5 42,6 21,9 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 48,4 35,1 16,5 Menengah bawah 29,4 47,6 23,1 Menengah 12,1 39,2 48,7 Menengah atas 15,8 33,3 51,0 Teratas 9,6 28,7 61, Perawatan tali pusar Riskesdas 2013 menyediakan informasi tentang cara perawatan tali pusar bayi baru lahir. Menurut standar Asuhan Persalinan Normal (APN) tali pusar yang telah dipotong dan diikat, tidak diberi apa-apa. Sebelum metode APN diterapkan, tali pusar dirawat dengan alkohol atau antiseptik lainnya. Tabel menyajikan persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota. Dari tabel tersebut diketahui bahwa persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa sebesar 14,9 persen, diberi betadine/alkohol sebesar 76,2 persen, dan diberi obat tabur sebesar 0,9 persen. Persentase cara perawatan tali pusar pada anak umur 0-59 bulan dengan tidak diberi apa-apa tertinggi di Kota Tangerang (22,1%) dan terendah di Kabupaten Pandeglang (4,8%). 154

186 Tabel Persentase cara perawatan tali pusar dari anak umur 0-59 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Cara perawatan tali pusar Kabupaten/kota Tidak diberi apaapa Diberi betadine/ alkohol Diberi obat tabur Diberi ramuan/ obat tradisional Kab. Pandeglang 4,8 73,6 0,5 21,1 Kab. Lebak 19,6 76,7 0,6 3,0 Kab. Tangerang 10,8 83,5 1,5 4,2 Kab. Serang 13,5 58,1 1,9 26,5 Kota Tangerang 22,1 75,9 0,0 1,9 Kota Cilegon 20,1 74,7 0,8 4,4 Kota Serang 11,6 81,0 0,7 6,7 Kota Tangerang Selatan 21,9 77,7 0,4 0,0 Banten 14,9 76,2 0,9 8,0 155

187 Karakteristik Tabel Persentase cara perawatan tali pusar dari anak umur 0-59 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Tidak diberi apaapa 156 Cara perawatan tali pusar Diberi obat tabur Diberi betadine/ alkohol Diberi ramuan/obat tradisional Kelompok umur (bulan) ,8 71,3 0,6 4, ,0 84,5 3, ,8 74,7 1,7 7, ,1 74,2 0,2 10, ,6 73,9 0,8 9, ,6 80,1 1,4 7,9 Jenis kelamin Laki-laki 14,3 78,1 1,2 6,3 Perempuan 15,4 74,4 0,6 9,6 Pendidikan Tidak pernah sekolah 2,4 87,1 2,7 7,9 Tidak tamat SD/MI 9,0 75,8 15,2 Tamat SD/MI 11,0 71,6 2,5 15,0 Tamat SMP/MTS 13,0 78,0 0,4 8,7 Tamat SMA/MA 17,8 79,9 0,1 2,2 Tamat D1-D3/PT 27,1 72,4 0,5 Pekerjaan Tidak bekerja 10,8 79,5 3,6 6,1 Pegawai 20,5 77,3 0,1 2,1 Wiraswasta 15,2 73,7 2,0 9,1 Petani/nelayan/buruh 10,7 75,3 0,4 13,6 Lainnya 7,8 82,6 1,2 8,5 Tempat tinggal Perkotaan 16,6 79,6 1,0 2,8 Perdesaan 11,3 69,1 0,7 18,8 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 9,5 69,0 2,6 18,9 Menengah bawah 12,9 74,3 1,6 11,2 Menengah 14,1 79,6 0,3 6,0 Menengah atas 14,3 81,7 0,1 4,0 Teratas 24,4 73,9 0,3 1, Pola pemberian ASI Dalam Riskesdas 2013 dikumpulkan data tentang pola pemberian ASI dan pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak umur 0-23 bulan. Data tersebut meliputi: proses mulai menyusu, inisiasi menyusu dini (IMD), pemberian kolostrum, pemberian makanan prelaktal, menyusu eksklusif, dan pemberian MP-ASI. Dalam buku ini ditampilkan proses menyusui dan menyusu ekslusif. Kriteria menyusu ekslusif ditegakkan bila anak umur 0-6 bulan hanya diberi ASI saja pada 24 jam terakhir dan tidak diberi makanan prelaktal. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum).

188 Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Gambar menunjukkan proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan pada Dari gambar tersebut dapat dinilai bahwa proses menyusu kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) cukup tinggi yaitu sebesar 33,8 persen. Gambar Persentase proses mulai menyusu (IMD) anak umur 0-23 bulan, Provinsi Banten 2013 Persentase proses mulai menyusu pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel Persentase proses mulai menyusu kurang dari satu jam (IMD) setelah bayi lahir di Provinsi Banten adalah 33,8 persen, dengan persentase tertinggi di Kota Tangerang Selatan (45,3%) dan terendah di Kabupaten Lebak (25,5%). Tabel Persentase proses mulai menyusu (IMD) pada anak umur 0-23 bulan menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Kategori proses mulai menyusu <1 jam (IMD) 1-6 jam 7-23 jam jam 48 jam Kab. Pandeglang 32,1 38,1 0,0 19,5 10,3 Kab. Lebak 25,5 53,2 0,4 14,7 6,2 Kab. Tangerang 31,1 34,6 6,7 14,7 12,8 Kab. Serang 36,0 32,2 4,1 12,3 15,4 Kota Tangerang 37,7 35,6 4,0 12,9 9,8 Kota Cilegon 30,3 23,9 3,3 12,7 29,8 Kota Serang 31,0 45,5 2,6 2,9 18,0 Kota Tangerang Selatan 45,3 38,8 2,5 9,2 4,2 Banten 33,8 37,7 3,7 13,5 11,4 Persentase proses mulai menyusu pada anak 0-23 bulan menurut karakterisitik anak, pendidikan kepala keluarga (KK), pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan disajikan pada Tabel Proses mulai menyusui < 1 jam menurut kelompok umur 0-5 bulan dan bulan, serta jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga menurut pekerjaan KK tidak ada pola kecenderungan yang jelas. Persentase mulai menyusu < 1 jam di perkotaan relatif lebih tinggi daripada di perdesaan. Sedangkan menurut tingkat 157

189 pendidikan KK dan kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi persentase mulai menyusu < 1 jam dengan meningkatnya kelompok pendidikan dan kuintil. Tabel Persentase proses mulai menyusui anak umur 0-23 bulan menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Kategori proses mulai menyusu < 1 jam (IMD) 1-6 Jam 7-23 Jam jam 48 jam Kelompok umur (bulan) ,8 39,9 3,9 9,6 11, ,5 43,0 4,3 12,4 13, ,4 33,6 3,2 16,0 9,8 Jenis kelamin Laki-laki 31,7 40,5 3,0 12,9 11,9 Perempuan 35,6 35,3 4,2 14,0 10,9 Pendidikan Tidak pernah sekolah 10,0 63,6 17,4 9,1 Tidak tamat SD/MI 15,0 58,1 18,3 8,6 Tamat SD/MI 28,8 35,2 2,6 20,5 12,9 Tamat SMP/MTS 35,7 35,6 7,8 12,3 8,6 Tamat SMA/MA 39,1 35,1 4,2 9,2 12,4 Tamat D1-D3/PT 47,3 37,7 3,8 11,2 Pekerjaan Tidak bekerja 37,0 42,8 2,1 12,2 5,9 Pegawai 42,6 30,8 3,8 11,2 11,7 Wiraswasta 36,7 34,9 5,4 14,3 8,7 Petani/nelayan/buruh 24,9 43,6 1,4 16,2 13,9 Lainnya 18,8 49,2 13,7 8,1 10,2 Tempat tinggal Perkotaan 34,8 36,6 5,2 12,9 10,5 Perdesaan 31,5 40,2 0,1 14,8 13,5 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 29,6 40,3 19,5 10,6 Menengah bawah 24,0 37,8 4,2 18,3 15,8 Menengah 31,0 40,0 3,4 14,1 11,5 Menengah atas 36,4 35,9 6,8 10,6 10,3 Teratas 49,6 34,4 2,2 5,1 8, Cakupan distribusi kapsul vitamin A Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis IU) untuk anak umur bulan. Gambar menunjukkan kecenderungan cakupan pemberian kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan menurut kabupaten/kota pada tahun Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tertinggi di Kabupaten Lebak (90,4%) dan terendah di Kabupaten Tangerang (61,6%). Cakupan Provinsi Banten adalah 74,1 persen. 158

190 Gambar Cakupan distribusi kapsul vitamin A pada anak 6-59 bulan, Provinsi Banten 2013 Tabel menyajikan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Dari Tabel tersebut diketahui bahwa persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir cukup bervariasi di antara kelompok umur balita. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir pada laki-laki dan perempuan tampak homogen. 159

191 Tabel Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Menerima kapsul vitamin A Kelompok umur (bulan) , , , , ,5 Jenis kelamin Laki-laki 74,3 Perempuan 74,0 Pendidikan Tidak pernah sekolah 54,1 Tidak tamat SD/MI 62,2 Tamat SD/MI 71,8 Tamat SMP/MTS 77,9 Tamat SMA/MA 78,1 Tamat D1-D3/PT 71,7 Pekerjaan Tidak bekerja 75,2 Pegawai 77,9 Wiraswasta 72,5 Petani/nelayan/buruh 70,7 Lainnya 76,4 Tempat tinggal Perkotaan 73,1 Perdesaan 76,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 70,7 Menengah bawah 67,2 Menengah 76,3 Menengah atas 79,1 Teratas 76,1 Menurut pendidikan KK, terlihat adanya kecenderungan peningkatan persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir dengan semakin meningkatnya pendidikan KK. Sedangkan menurut pekerjaan KK, persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir tampak hampir sepadan di antara jenis pekerjaan KK. Persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir di perkotaan sebesar 73,1% lebih rendah daripada di perdesaan (76,2%). Selanjutnya menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan tidak tampak pola yang jelas dalam persentase anak umur 6-59 bulan yang menerima kapsul vitamin A selama enam bulan terakhir diantara kelompok kuintil indeks kepemilikan. 160

192 Pemantauan Pertumbuhan Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang minimal enam kali. Gambar menunjukkan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun Dari gambar tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan > 4 kali pada tahun 2013 cukup tinggi yaitu sebesar 35,9%. Anak umur 6-59 bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir sedikit lebih rendah (33,9%) begitu pula dengan frekuensi penimbangan 1-3 kali (30,2%). Gambar Persentase frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59 bulan dalam 6 bulan terakhir, Provinsi Banten2013 Tabel menyajikan persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik anak, pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut kelompok umur terlihat adanya kecenderungan tingginya persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali pada kelompok umur muda. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali pada perempuan sebesar 37,23% lebih tinggi daripada laki-laki (34,6%). Sedangkan menurut pendidikan KK, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali terlihat meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan KK. 161

193 Tabel Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Frekuensi penimbangan 4 kali 1-3 kali Tidak pernah Kelompok umur (bulan) ,8 31,9 11, ,4 34,3 25, ,5 29,9 34, ,0 29,0 38, ,1 27,0 48,9 Jenis kelamin Laki-laki 34,6 29,3 36,1 Perempuan 37,2 31,2 31,6 Pendidikan Tidak pernah sekolah 27,9 28,6 43,5 Tidak tamat SD/MI 21,2 28,0 50,8 Tamat SD/MI 38,8 23,5 37,8 Tamat SMP/MTS 34,7 31,4 34,0 Tamat SMA/MA 36,5 34,7 28,9 Tamat D1-D3/PT 41,0 35,2 23,8 Pekerjaan Tidak bekerja 33,3 23,5 43,2 Pegawai 37,3 37,7 25,0 Wiraswasta 39,0 23,6 37,4 Petani/nelayan/buruh 32,6 28,0 39,4 Lainnya 38,6 33,7 27,6 Tempat tinggal Perkotaan 35,7 33,0 31,3 Perdesaan 36,2 24,6 39,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 41,1 18,5 40,3 Menengah bawah 32,1 31,4 36,5 Menengah 31,8 37,9 30,3 Menengah atas 35,6 31,9 32,5 Teratas 40,3 29,2 30,5 Menurut pekerjaan KK, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali juga bervariasi di antara jenis pekerjaan KK. Persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali di perkotaan sebesar 35,7 persen lebih rendah daripada di perdesaan (36,2%). Menurut kelompok kuintil indeks kepemilikan, persentase frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama enam bulan terakhir sebanyak 4 kali terlihat tidak menunjukkan pola kecenderungan yang jelas di antara kelompok kuintil indeks kepemilikan. Persentase tertinggi pada kelompok terbawah (41,1%) dan terendah pada kelompok menengah (31,8%). 162

194 Gambar Frekuensi pemantauan pertumbuhan balita 4 kali dalam 6 bulan terakhir menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Sunat Perempuan Riskesdas 2013 menyajikan data atau informasi tentang kebiasaan/perilaku sunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada Tabel Dari Tabel tersebut dihasilkan persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di Provinsi Banten sebesar 79,2 persen, tertinggi di Kabupaten Pandeglang (90,7%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (57,2%). Tabel menyajikan persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun menurut pendidikan KK, pekerjaan KK, tempat tinggal, dan kuintil indeks kepemilikan. Menurut pendidikan dan pekerjaan KK, persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun bervariasi di antara tingkat pendidikan KK maupun jenis pekerjaan KK. Persentase pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun di perkotaan sebesar 76,8 persen, lebih rendah daripada di perdesaan (83,8%). Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan tampak persentase tertinggi pernah disunat pada anak perempuan usia 0-11 tahun pada kuintil menengah bawah dan terendah pada kuintil teratas (64,7%). Tabel Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun yang menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Pernah disunat Kab. Pandeglang 90,7 Kab. Lebak 87,6 Kab. Tangerang 83,1 Kab. Serang 80,2 Kota Tangerang 78,1 Kota Cilegon 71,1 Kota Serang 70,6 Kota Tangerang Selatan 57,2 Banten 79,2 163

195 Tabel Persentase pernah disunat pada anak perempuan umur 0-11 tahun menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Pernah disunat Pendidikan Tidak pernah sekolah 81,0 Tidak tamat SD/MI 91,3 Tamat SD/MI 82,6 Tamat SMP/MTS 86,1 Tamat SMA/MA 75,0 Tamat D1-D3/PT 53,7 Pekerjaan Tidak bekerja 79,2 Pegawai 70,9 Wiraswasta 80,4 Petani/nelayan/buruh 85,8 Lainnya 76,8 Tempat tinggal Perkotaan 76,8 Perdesaan 83,8 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 82,8 Menengah bawah 88,0 Menengah 78,9 Menengah atas 79,4 Teratas 64,7 164

196 3.14 Status Gizi Uraian lingkup status gizi terdiri dari: (1 ) status gizi balita; (2) status gizi anak umur 5 18 tahun; (3) status gizi penduduk dewasa; (4) risiko kurang energi kronis (KEK); dan (5) wanita hamil risiko tinggi (risti). Informasi lengkap status gizi disajikan secara lengkap baik menurut kabupaten/kota maupun karakteristik di buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten Status Gizi Anak Balita 1. Cara penilaian status gizi anak balita Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Z-score) menggunakan baku antropometri anak balita WHO Selanjutnya berdasarkan nilai Z-scoredari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut : a. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks BB/U : Gizi Buruk : Z-score < -3,0 Gizi Kurang : Z-score -3,0 s/d Z-score < -2,0 Gizi Baik : Z-score -2,0 b. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek : Z-score <-3,0 Pendek : : Z-score - 3,0 s/d Z-score< -2,0 Normal : Z-score -2,0 c. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: Sangat kurus : Z-score< -3,0 Kurus : Z-score -3,0 s/d Z-score< -2,0 Normal : Z-score -2,0 s/d Z-score 2,0 Gemuk : Z-score> 2,0 d. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB: Pendek-kurus : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0 Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 Pendek-gemuk : Z-score -2,0 s/d Z-score 2,0 TB Normal-kurus : Z-score TB/U -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0 TB Normal-normal : Z-score TB/U -2,0 dan Z-score BB/TB antara -2,0 s/d 2,0 TB Normal-gemuk : Z-score TB/U -2,0 dan Z-score BB/TB > 2,0 Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut: Berdasarkan indikator BB/U: Prevalensi gizi buruk : ( Balita gizi buruk/ Balita) x 100% Prevalensi gizi kurang : ( Balita gizi kurang/ Balita) x 100% Prevalensi gizi baik : ( Balita gizi baik/ Balita) x 100% 165

197 Berdasarkan indikator TB/U Prevalensi sangat pendek : ( Balita sangat pendek/ Balita) x 100% Prevalensi pendek : ( Balita pendek/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Berdasarkan indikator BB/TB: Prevalensi sangat kurus : ( Balita sangat kurus/ Balita) x 100% Prevalensi kurus : ( Balita kurus/ Balita) x 100% Prevalensi normal : ( Balita normal/ Balita) x 100% Prevalensi gemuk : ( Balita gemuk/ Balita) x 100% Berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/TB Prevalensi pendek-kurus : ( Balita pendek-kurus/ Balita) x 100% Prevalensi pendek-normal : ( Balita pendek-normal/ Balita) x 100% Prevalensi pendek-gemuk : ( Balita pendek-gemuk/ Balita) x 100% Prevalensi TBnormal-kurus : ( Balita normal-kurus/ Balita) x 100% Prevalensi TB normal-normal : ( Balita normal-normal/ Balita) x 100% Prevalensi TB normal-gemuk : ( Balita normal-gemuk/ Balita) x 100% Dalam laporan ini ada beberapa istilah status gizi yang digunakan, yaitu: Berat Kurang : istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight) Pendek : istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting) Kurus : istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting) 2. Sifat-sifat indikator status gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena beratbadan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat darikeadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidaksehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori Barker). Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah anak yang kurus dan pendek. 3. Status gizi balita menurut indikator BB/U Gambar menyajikan prevalensi berat-kurang (underweight) pada balita menurut kabupaten/kota. Di Provinsi Banten, prevalensi berat-kurang pada balita pada tahun 2013 sebesar 17,2 persen, terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Prevalensi 166

198 berat-kurang Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan angka prevalensi beratkurang nasional tahun 2013 (19,6%). Prevalensi balita berat-kurang tertinggi ialah di Kabupaten Serang (24,4%) dan terendah di Kota Tangerang (10,9%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi beratkurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, prevalensi gizi berat-kurang pada anak balita di Provinsi Banten sebesar 17,2 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mendekati prevalensi tinggi. Gambar Prevalensi status gizi BB/U < -2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U Gambar menyajikan prevalensi balita pendek (stunting) menurut kabupaten/kota. Prevalensi pendek di Provinsi Banten tahun 2013 sebesar 33 persen, yang terdiri dari 16,4 persen sangat pendek dan 16,6 persen pendek. Prevalensi pendek di Provinsi Banten lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (37,2%). Kabupaten/kota dengan prevalensi balita pendek tertinggi ialah Kabupaten Pandeglang (38,6%) dan terendah ialah Kota Tangerang (28,6%) Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar persen dan serius bila prevalensi pendek 40 persen (WHO 2010). Sebanyak enam kabupaten/kota di Provinsi Banten termasuk kategori berat, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu: (1) Kabupaten Pandeglang, (2) Kabupaten Lebak, (3) Kabupaten Serang, (4). Kabupaten Tangerang, (5). Kota Cilegon, dan (6) Kota Serang. 167

199 Gambar Prevalensi status gizi TB/U <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB Gambar menyajikan prevalensi balitakurus menurut kabupaten/kota. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score<-3,0 SD. Prevalensi balita sangat kurus di Provinsi Banten tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 6,5 persen, lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi sangat kurus nasional (5,3%). Demikian pula halnya dengan prevalensi balita kurus sebesar 7,3 persen, sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi balita kurus nasional (6,8%). Sedangkan prevalensi balita gemuk di Provinsi Banten sebesar 11,8 persen, sama dengan prevalensi balita gemuk nasional (11,9%). Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0-14,0 persen, dan dianggap kritis bila 15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, di Provinsi Banten, prevalensi kurus pada anak balita masih 13,8 persen, yang artinya masalah kurus di Provinsi Banten masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara delapan kabupaten/kota, terdapat lima kabupaten/kota yang masuk kategori serius, dan dua kabupaten/kota yang termasuk kategori kritis, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang. 168

200 Gambar Prevalensi status gizi BB/TB <-2 SD menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Status gizi anak umur 5-18 tahun Status gizi anak umur 5-18 tahun dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur yaitu 5-12 tahun, tahun dan tahun. Indikator status gizi yang digunakan untuk kelompok umur ini didasarkan pada hasil pengukuran antropometri berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disajikan dalam bentuk tinggi badan menurut umur (TB/U) dan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Z-score TB/U dan IMT/U. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut: Klasifikasi indikator TB/U: Sangat pendek : Z-score< -3, Pendek : Z-score -3,0 s/d < -2,0 Normal : Z-score -2,0 Klasifikasi indikator IMT/U: Sangat kurus : Z-score< -3,0 Kurus : Z-score -3,0 s/d < -2,0 Normal : Z-score -2,0 s/d 1,0 Gemuk : Z-score> 1,0 s/d 2,0 Obesitas : Z-score>2,0 1. Status gizi anak umur 5 12 tahun Gambar menunjukkan bahwa di Provinsi Banten, prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun ialah 30,1 persen (11,7% sangat pendek dan 18,4% pendek), hampir sama dengan prevalensi pendek nasional (30,7%). Prevalensi pendek terendah di Kota Tangerang Selatan (15,3%) dan tertinggi di Kabupaten Pandeglang (47,7%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi pendek di atas prevalensi pendek Provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Serang. 169

201 Gambar Prevalensi pendek anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan bahwa prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun di Provinsi Banten sebesar 11,7 persen, terdiri dari 4,5 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus, tidak jauh berbeda dengan prevalensi kurus nasional (11,2%). Prevalensi kurus paling rendah di Kota Tangerang (9,6%) dan paling tinggi di Kabupaten Tangerang (13,2%). Sebanyak empat kabupaten/kota dengan prevalensi kurus di atas prevalensi kurus provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Serang. Gambar Prevalensi kurus(imt/u) anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Di Provinsi Banten, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 20,3 persen, terdiri dari gemuk 11,9 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,4 persen. Prevalensi gemuk di Provinsi Banten lebih besar jika dibandingkan dengan prevalensi gemuk nasional (18,8%). Prevalensi gemuk terendah di Kabupaten Serang (12,7%) dan tertinggi di Kota Tangerang (29,4%). Sebanyak tiga kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan prevalensi gemuk di atas prevalensi gemuk provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Tangerang (22,6%), Kota Tangerang (29,4%), dan Kota Tangerang Selatan (26,4%). 170

202 Gambar Prevalensi gemuk & sangat gemuk anak umur 5 12 tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Lebih rinci, data status gizi anak umur 5-12 tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada buku Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, pada Tabel dan , serta data status gizi menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku yang sama pada Tabel sampai Tabel Status gizi remaja umur tahun Sama halnya dengan anak 5-12 tahun, untuk kelompok tahun penilaian status gizi berdasarkan TB/U dan IMT/U. Gambar menyajikan prevalensi pendek pada remaja umur tahun. Di Provinsi Banten, prevalensi pendek pada remaja sebesar 36,5 persen (15,8% sangat pendek dan 21,7% pendek), sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi pendek nasional (35,1%). Prevalensi pendek terendah di Kota Tangerang (21,1%) dan tertinggi di Kabupaten Lebak (54,9%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi remaja pendek di atas prevalensi pendek provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pendeglang (44,4%)., Kabupaten Lebak (54,9%), dan Kabupaten Serang (53,6%). Gambar Prevalensi pendekremaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

203 Gambar menunjukkan prevalensi kurus pada remaja umur tahun di Provinsi Banten sebesar 11,1 persen (4,1 persen sangat kurus dan 7,0 persen kurus), sama dengan prevalensi remaja kurus nasional (11,1%). Prevalensi remaja kurus terlihat paling rendah di Kota Tangerang (5,5 %) dan paling tinggi di Kabupaten Serang (16,9%). Sebanyak tiga kabupaten/kota dengan prevalensi remaja kurus (IMT/U) diatas prevalensi provinsi dan nasional yaitu Kabupaten Pandeglang (12,5%), Kabupaten Serang (16,9%), dan Kabupaten Tangerang (12,3%). Prevalensi gemuk pada remaja umur tahun di Provinsi Banten sebesar 10,4 persen, terdiri dari 7,9 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Empat Kota di Provinsi Banten memiliki prevalensi gemuk remaja di atas prevalensi provinsi dan nasional. Kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk terendah ialah di Kabupaten Lebak (5,5%) dan prevalensi tertinggi di Kota Tangerang (16,2%). Gambar Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

204 Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur tahun menurut provinsi disajikan pada Buku 2 Tabel dan , dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku 2 Riskesdas Provinsi Banten dalam Angka 2013, Tabel sampai Tabel Status gizi remaja umur tahun Gambar menyajikan status gizi remaja umur tahun. Di Provinsi Banten, prevalensi pendek adalah 32,5 persen (8,8% sangat pendek dan 23,7% pendek). Prevalensi tertinggi di Kabupaten Lebak (51,8%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (14,7%). Gambar Prevalensi pendek (TB/U) remaja umur tahun menurut Kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menyajikan prevalensi kurus pada remaja umur tahun di Provinsi Banten sebesar 11,1 persen (2,7% sangat kurus dan 8,4% kurus). Prevalensi tertinggi di Kota Cilegon (16,6%) dan terendah di Kota Tangerang (5,0%). 173

205 Gambar Prevalensi kurus (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Prevalensi gemuk di Provinsi Banten pada remaja umur tahun sebesar 8,0 persen yang terdiri dari 6,2 persen gemuk dan 1,8 persen obesitas. Kabupaten/kota dengan prevalensi gemuk tertinggi ialah Kota Tangerang Selatan (15,9%) dan terendah ialah Kabupaten Pandeglang (2,8%). Gambar Prevalensi status gizi gemuk (IMT/U) remaja umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Secara lebih rinci, data status gizi remaja umur tahun menurut kabupaten/kota disajikan pada buku dua Tabel dan , dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel sampai Tabel Status gizi dewasa Status gizi dewasa penduduk berumur >18 tahun terdiri dari : 1) status gizi menurut Indeks Masa Tubuh (IMT) dan kecenderungan komposit TB dan IMT/U; 2) status gizi menurut lingkar perut (LP); 3) risiko kurang energi kronis (KEK) wanita usia subur wanita hamil dan tidak hamil; 4) wanita hamil risiko tinggi (TB < 150 cm). 1. Status gizi dewasa ( >18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT) Status gizi menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dinilai dengan rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)² Batasan IMT yang digunakan untuk menilai status gizi penduduk dewasa adalah sebagai berikut: Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT 18,5 - <24,9 Kategori BB lebih IMT 25,0 - <27,0 Kategori obesitas IMT 27,0 Gambar menyajikan prevalensi penduduk umur dewasa kurus, gizi lebih dan obesitas menurut IMT/U di masing masing kabupaten/kota di Provinsi Banten. Prevalensi penduduk 174

206 dewasa kurus sebesar 12,5 persen, berat badan lebih 11,2 persen dan obesitas 13,6 persen. Prevalensi penduduk kurus terendah di Kota Tangerang Selatan (8,9%) dan tertinggi di Kabupaten Pandeglang (18,7%). Prevalensi penduduk obesitas terendah di Kabupaten Lebak (6,2%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (19,9%). Gambar Prevalensi status gizi kurus, BB lebih, Obesitas penduduk dewasa (>18 tahun) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit degeneratif/kronis. Untuk laki-laki dengan LP >90 cm atau perempuan dengan LP >80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral (WHO Asia-Pasifik, 2005). Prevalensi obesitas sentral di Provinsi Banten Sebesar adalah 26,0 persen, hampir sama dengan prevalensi obesitas sentral nasional (26,6%). Prevalensi obesitas sentral terendah di Kabupaten Serang (13,5%) dan tertinggi di Kota Tangerang Selatan (34,1%). Sebanyak lima kabupaten/kota memiliki prevalensi obesitas sentral di atas prevalensi provinsi dan nasional, yaitu Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Cilegon, Kota Serang,dan Kota Tangerang Selatan. Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) menurut provinsi disajikan pada Buku 2 Tabel dan , dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel sampai Tabel Status risiko kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) tahun Gambar dan Gambar menyajikan informasi masalah kurang energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) tidak hamil dan wanita hamil yang berumur tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas (LILA). Untuk menggambarkan adanya risiko (KEK) dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas nilai rerata LILA < 23,5 cm. Tabel menyajikan prevalensi risiko KEK penduduk wanita hamil umur tahun di Provinsi Banten sebanyak 27,4 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Kota Cilegon (12,9 %) dan tertinggi di Kota Serang (45,7 %). 175

207 Gambar Prevalensi risiko KEK (LILA < 23,5 cm) wanita hamil umur tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur (tidak hamil). Prevalensi risiko KEK WUS di Provinsi Banten sebanyak 22,0 persen. Prevalensi terendah di Kabupaten Lebak (14,2 %) dan prevalensi tertinggi di Kabupaten Pandeglang (44,2 %). Gambar Prevalensi risiko KEK (LILA <2 3,5 cm) wanita usia subur (WUS) Tidak Hamil tahun menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten Wanita hamil berisiko tinggi Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan tinggi badan < 150 cm (WHO 2007). Gambar menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi di Provinsi Banten sebesar 24,1 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Kota Tangerang (10,1%) dan tertinggi di Kota Cilegon (39,8 %). 176

208 Gambar Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi (tinggi badan < 150 cm) menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Lebih rinci, data status gizi wanita usia subur dan ibu hamil menurut kabupaten/kota disajikan pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013,Tabel sampai , dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013, Tabel dan Tabel

209 3.15 Kesehatan Indera Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap oleh telinga (indera pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera penciuman), informasi rasa ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit (indera peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam penglihatan/visus) dan fungsi pendengaran (tajam pendengaran). Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun , dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir, tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan. Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) juga melengkapi Riskesdas 2013 dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas Kesehatan mata Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-e (dengan dan tanpa pinhole) pada responden umur 6 tahun ke atas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran 6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah (tumbling E) disesuaikan dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau tanpa kaca mata/lensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <3/60 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik <6/60-3/60, atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur. Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau 20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas Keterbatasan pengumpulan data prevalensi morbiditas permukaan mata dan lensa adalah kemampuan klinis pengumpul data (enumerator) yang bervariasi dalam menilai permukaan mata dan lensa menggunakan alat bantu pen-light, sehingga prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, serta katarak cenderung kurang valid. 178

210 Prevalensi kebutaan dan severe low vision Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E, peraga yang lebih sederhana daripada Snellen chart dan mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2001), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit. Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu: 1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m) 2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m) 3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m) 4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m) 5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m 6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: 1) kode 1 berarti visus normal (6/6); 2) kode 2 berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18); 3) kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60); 4) kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan; 5) kode 5 berarti buta(kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun ke atas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total. Gambar Prevalensi kebutaan pada responden umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Gambar menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan Provinsi Banten pada Riskesdas 2013 sebesar 0,3 persen. Angka ini lebih rendah dari prevalensi kebutaan nasional (0,4%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun ke atas tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, masing-masing 0,5 persen, diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%) dan terendah ditemukan di Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan (masing-masing 0,2% dan 0,1%). 179

211 Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Provinsi Banten2013 Gambar memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur tahun, tetapi menurun kembali pada kelompok penduduk lanjut usia (65 tahun keatas). Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,0 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,3 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan, meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 54 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia. Gambar dan memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Kepemilikan tertinggi pada kelompok pendidikan perguruan tinggi (18,5%) dan kelompok kuintil teratas (12,7%). Sebaliknya, prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan formal, masing-masing 0,1% untuk prevalensi severe low vision dan kebutaan pada tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi. Gambar dan juga memperlihatkan bahwa prevalensi severe low vision semakin menurun seiiring meningkatnya kuintil indeks kepemilikan namun kembali meningkat pada kelompok teratas. Begitu pula dengan prevalensi kebutaan yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan dan kembali sedikit meningkat pada kuintil indeks kepemilikan teratas. Prevalensi severe low vision tertinggi pada kelompok teratas (19,0%) sebaliknya prevalensi kebutaan tertinggi pada kelompok kuintil indeks kepemilikan terbawah (1,3%). 180

212 Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Provinsi Banten2013 Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil indeks kepemilikan, Provinsi Banten2013 Gambar menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar tiga kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi severe low vision cenderung lebih tinggi di perdesaan. Begitu pula dengan prevalensi kebutaan juga cenderung lebih tinggi pada penduduk di perdesaan. 181

213 Gambar Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat tinggal, Provinsi Banten 2013 Tabel menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Penduduk perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak untuk penglihatan jarak jauh. Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Tabel memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut kabupaten/kota. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di Kota Tangerang (10,0%) diikuti Kota Tangerang Selatan (9,7%), dan Kota Cilegon (7,0%). Tabel juga menunjukkan bahwa prevalensi severelow vision penduduk umur 6 tahun ke atas di Provinsi Banten sebesar 0,7 persen lebih rendah dibanding prevalensi severe low vision secara nasional (0,9%). Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(1,3%), diikuti Tangerang dan Kota Cilegon (masing-masing 1,0%). Kabupaten/kota dengan prevalensi severe low vision terendah adalah Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (masing-masing 0,2%) diikuti oleh Kota Serang (0,6%). Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun ke atas di Provinsi Banten adalah 0,3 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak (masing-masing 0,5%) diikuti Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon dan Kota Serang (masing-masing 0,4%).Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Kota Tangerang Selatan (0,1%). 182

214 Tabel Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Pakai Kacamata/Lensa kontak Severe Low vision Kebutaan Kelompok umur (tahun) ,3 0,0 0, ,0 0,1 0, ,7 0,2 0, ,5 0,1 0, ,5 1,0 0, ,7 3,8 1, ,1 10,9 5, ,0 16,2 10,0 Jenis kelamin Laki-laki 5,2 0,5 0,2 Perempuan 5,5 1,0 0,5 Tempat tinggal Perkotaan 6,8 0,5 0,3 Perdesaan 2,2 1,2 0,4 Pendidikan Tidak sekolah 2,1 2,8 1,5 Tidak tamat SD 2,0 0,6 0,7 Tamat SD 3,3 1,4 0,3 Tamat SMP 4,0 0,2 0,2 Tamat SMA 8,4 0,2 0,1 Tamat PT 18,5 0,1 0,1 Status Pekerjaan Tidak bekerja 5,2 1,2 0,6 Pegawai 9,5 0,1 0,0 Wiraswasta 7,9 0,6 0,1 Petani/nelayan/buruh 2,5 0,7 0,3 Lainnya 6,7 0,4 0,2 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 1,5 15,3 1,3 Menengah bawah 1,9 16,2 1,1 Menengah 4,6 16,0 0,8 Menengah atas 6,4 15,8 0,3 Teratas 12,7 19,0 0,4 183

215 Tabel Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur 6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurutkabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/Kota Pakai Kacamata/Lensa kontak Severe Low vision Kebutaan Kab. Pandeglang 1,4 1,3 0,5 Kab. Lebak 2,2 0,8 0,5 Kab. Tangerang 3,0 1,0 0,4 Kab. Serang 4,5 0,9 0,2 Kota Tangerang 10,0 0,2 0,3 Kota Cilegon 7,0 1,0 0,4 Kota Serang 6,3 0,6 0,4 Kota Tangerang Selatan 9,7 0,2 0,1 Banten 5,3 0,7 0, Kelainan permukaan mata dan lensa Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden. Jumlah responden semua umur yang dianalisis sebesar orang. Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak berkaitan dengan faktor pertambahan usia. Gambar Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten

216 Gambar menunjukkan bahwa prevalensi pterygium di Provinsi Banten sebesar 3,9 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Tangerang (6,7%), diikuti oleh Kota Cilegon (6,5%) dan Kabupaten Pandeglang (6,5%). Kabupaten Tangerang mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 2,0 persen, diikuti oleh Kabupaten Lebak sebesar 2,1 persen. Prevalensi kekeruhan kornea Provinsi Banten adalah 4,4 persen. Prevalensi tertinggi ditemukan di Kota Cilegon (7,9%), diikuti oleh Kabupaten Pandeglang (6,9%) dan Kota Serang (5,2%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Kota Tangerang Selatan (2,2%) diikuti Kabupaten Lebak dan Kota Tangerang (masing-masing 3,2%). Tabel menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-5 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium pada laki-laki (4,0%) cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan (3,8%). Sebaliknya prevalensi kekeruhan kornea pada perempuan (4,4%) sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada laki-laki (4,3%). Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (21,3% untuk pterygium dan 44,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden usia tahun dan pada responden usia >75 tahun. Kelompok pekerja lainnya mempunyai prevalensi pterygium tertinggi (6,7%) dan sedangkan kelompok petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (8,0%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia. 185

217 Tabel Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Morbiditas permukaan mata Pterygium Kekeruhan kornea Kelompok umur (tahun) 0-5 0,6 0, ,6 0, ,7 0, ,2 2, ,0 4, ,2 10, ,6 19, ,3 34, ,1 46,1 Jenis kelamin Laki-laki 4,0 4,3 Perempuan 3,8 4,4 Pendidikan Tidak sekolah 8,0 15,1 Tidak tamat SD 3,2 4,7 Tamat SD 5,8 6,5 Tamat SMP 3,3 3,2 Tamat SMA 3,8 2,9 Tamat PT 3,8 2,2 Status Pekerjaan Tidak bekerja 4,1 4,9 Pegawai 4,0 2,8 Wiraswasta 6,6 6,8 Petani/nelayan/buruh 6,0 8,0 Lainnya 6,7 6,0 Tempat Tinggal Perkotaan 3,9 4,4 Perdesaan 3,8 4,3 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah 3,9 5,3 Menengah bawah 4,3 5,0 Menengah 3,8 4,0 Menengah atas 4,0 4,1 Teratas 3,4 3,3 Penduduk yang tinggal di perkotaan cenderung mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perdesaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tidak menunjukkan pola yang jelas pada kuintil indeks kepemilikan. Pada Tabel terlihat bahwa prevalensi katarak di Provinsi Banten sebesar 1,8 persen. Prevalensi tertinggi di Kota Serang (3,8%) diikuti oleh Kabupaten Serang (3,5%) dan Kota Cilegon (3,1%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di Kota Tangerang Selatan (0,6%) diikuti Kabupaten Lebak (1,1%). Sebagian besar penderita katarak di Provinsi Banten belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak tahu bahwa 186

218 buta katarak bisa dioperasi/direhabilitasi (69,3%). Alasan kedua terbanyak penderita katarak belum dioperasi adalah karena tidak dapat membiayai operasinya (10,5%) (Gambar ). Laporan lengkap tentang prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi katarak menurut karakteristik disajikan dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten 2013 Gambar Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Tabel Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk semua umur menurutkabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Kabupaten/kota Katarak Tidak tahu kalau katarak Alasan Belum Operasi Tidak mampu Tidak perlu karena membiayai sudah tua Kab. Pandeglang 2,7 77,0 10,6 1,0 Kab. Lebak 1,1 61,0 10,6 14,5 Kab. Tangerang 1,4 71,1 11,5 5,9 Kab. Serang 3,5 76,5 9,8 3,3 Kota Tangerang 1,2 57,8 8,2 2,4 Kota Cilegon 3,1 60,6 13,6 8,5 Kota Serang 3,8 67,4 11,6 4,8 Kota Tangerang Selatan 0,6 50,6 8,5 7,1 Banten 1,8 69,3 10,5 4,8 187

219 Kesehatan Telinga Data yang dikumpulkan terkait status kesehatan telinga meliputi anatomi liang telinga, kelainan pada telinga tengah dan daerah retroaurikular, keutuhan gendang telinga, serta adanya gangguan fungsi pendengaran. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik oleh nakes terlatih pada responden berumur 2 tahun keatas dan untuk fungsi pendengaran dilakukan tes konversasi bagi responden yang kooperatif dan tidak tuna wicara. Keterbatasan pengumpulan data terkait kesehatan telinga adalah kemampuan klinis nakes yang sangat bervariasi dalam mengenali kelainan telinga dan retroaurikular. Keterbatasan untuk pengukuran tajam pendengaran adalah tidak tersedianya alat audiometer di lapangan, sehingga hanya dilakukan uji/tes konversasi Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian Pada survei ini interpretasi dari skor yang digunakan adalah sebagai berikut: Pemeriksa membisikkan kalimat sederhana dan responden diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah 0. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara normal dan responden kembali diminta mengulanginya. Jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah 1 pendengaran NORMAL. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan mengucapkan satu kalimat dengan volume suara yang lebih keras dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah 2 gangguan pendengaran ringan. Jika responden tidak dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, pemeriksa akan meneriakkan satu kalimat pada telinga dengan fungsi pendengaran lebih baik dan responden kembali diminta mengulanginya dan jika responden dapat mengikuti kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah 3 gangguan pendengaran sedang. Jikaresponden tidak dapat mengikuti teriakan kata-kata pemeriksa, maka skor responden adalah 4 ketulian. Dalam Riskesdas 2013 di Provinsi Banten, diperoleh prevalensi gangguan pendengaran tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke atas (39,8%), disusul oleh kelompok umur tahun (17,2%). Angka prevalensi terkecil berada pada kelompok umur tahun (0,4%) sesuai Tabel Prevalensi tertinggi ketulian terdapat pada kelompok umur tahun(1,2%), sedangkan prevalensi terkecil terdapat pada kelompok umur 5-14 tahun hingga tahun (masing-masing di bawah 0,05%). Prevalensi responden dengan gangguan pendengaran pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki (1,8% berbanding 1,4%). Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok tingkat pendidikan tidak sekolah (6,9% gangguan pendengaran dan 0,3% ketulian). Gangguan pendengaran pada kelompok responden tidak bekerja memiliki angka prevalensi tertinggi, yaitu 2,3%, disusul oleh petani/nelayan/buruh sebesar 1,7%. Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kelompok pegawai (0,7%). Prevalensi ketulian tertinggi ditemukan pada kelompok responden tidak bekerja (0,1%). Terdapat perbedaan angka prevalensi ketulian dan gangguan pendengaran menurut tempat tinggal. Di perkotaan diperoleh prevalensi gangguan pendengaran sebesar 1,3 persen dan prevalensi gangguan pendengaran di perdesaan cenderung lebih tinggi, yaitu sebesar 2,1 persen. 188

220 Tabel Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian penduduk umur 5 tahun sesuai tes konversasi menurut karakteristik, Provinsi Banten 2013 Karakteristik Gangguan Pendengaran Ketulian Kelompok umur (tahun) ,5 0, ,8 0, ,4 0, ,0 0, ,3 0, ,6 0, ,2 1, ,8 0,3 Jenis kelamin Laki-laki 1,4 0,0 Perempuan 1,8 0,1 Tipe daerah Perkotaan 1,3 0,0 Perdesaan 2,1 0,0 Pendidikan Tidak sekolah 6,9 0,3 Tidak tamat SD 1,7 0,1 Tamat SD 1,9 0,0 Tamat SMP 1,0 0,0 Tamat SMA 0,8 0,0 Tamat PT 1,2 0,0 Status Pekerjaan Tidak bekerja 2,3 0,1 Pegawai 0,7 0,0 Wiraswasta 0,9 0,0 Petani/nelayan/buruh 1,7 0,0 Lainnya 1,3 0,0 Kuintil Indeks Kepemilikan Terbawah 2,4 0,1 Menengah bawah 2,1 0,0 Menengah 1,4 0,0 Menengah atas 1,2 0,1 Teratas 0,9 0,0 Prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian memiliki pola yang sama menurut kuintil indeks kepemilikan, yaitu semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin kecil prevalensi gangguan pendengaran dan ketuliannya. Pada kuintil indeks kepemilikan terbawah ditemukan prevalensi gangguan pendengaran tertinggi (2,4%) dan prevalensi ketulian tertinggi (0,1%). Prevalensi gangguan pendengaran terendah ditemukan pada kuintil indeks kepemilikan teratas (0,9%). 189

221 *) Berdasarkan tes konversasi Gambar Prevalensi gangguan pendengaran penduduk umur 5 tahun sesuai tes konversasi menurut kabupaten/kota, Provinsi Banten 2013 Berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi gangguan pendengaran tertinggi terdapat di Kabupaten Pandeglang(2,7%), dan terendah di Kota Tangerang (0,8%). Terdapat tiga kabupaten/kota dengan prevalensi gangguan pendengaran yang lebih besar dari rata-rata Provinsi Banten (1,6%), seperti terlihat pada Gambar Morbiditas telinga lainnya Untuk mengetahui prevalensi morbiditas (kejadian sakit) telinga, selain gangguan pendengaran dan ketulian, dilakukan pemeriksaan fisik/anatomis terhadap responden umur 2 tahun ke atas. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan luar telinga untuk mengetahui keberadaan abses/fistel retroautrikular, serta pemeriksaan liang telinga untuk mengetahui adanya serumen maupun sekret dalam liang telinga. Sekret dalam liang telinga menandakan adanya infeksi akut/kronis, tumor, maupun kelainan telinga lainnya. Keberadaan abses/fistel retroaurikular dapat menunjukkan adanya infeksi telinga yang sedang berlangsung. Kelompok umur 75 tahun ke atas mempunyai prevalensi tertinggi dalam hal keberadaan serumen dan sekret dalam liang telinga dan abses/fistel retroaurikular, yaitu berturut-turut 40,3%; 0,9%. Prevalensi terendah morbiditas telinga ditemukan pada kelompok umur tahun, yaitu untuk prevalensi serumen dan sekret dalam liang telinga (14,0%) dan untuk abses/fistel retroaurikular nampak merata di kelompok umur 2-4 tahun, tahun, tahun, tahun dan tahun (masing-masing 0,1%). Berdasarkan kabupaten/kota, prevalensi penduduk dengan serumen dan sekret dalam liang telinga tertinggi terdapat di Kota Serang (35,0%) dan terendah di Kota Tangerang Selatan (6,2%). Laporan lengkap tentang morbiditas telinga lainnya menurut karakteristik dan kabupaten/kota disajikan dalam Buku Riskesdas dalam Angka Provinsi Banten

Tabel 1 Proporsi Penduduk Umur > 10 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengunyah Tembakau Menurut Provinsi, Indonesia 2013

Tabel 1 Proporsi Penduduk Umur > 10 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengunyah Tembakau Menurut Provinsi, Indonesia 2013 Tabel 1 Proporsi Penduduk Umur > 10 Tahun yang Mempunyai Kebiasaan Mengunyah Tembakau Menurut Provinsi, Indonesia 2013 Terkadang 1.0 Setiap Hari 1.4 Setiap Hari Terkadang Tabel 2 Propoirsi Penduduk Umur

Lebih terperinci

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002 Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas Dalam Angka Provinsi Kalimantan Selatan 2013 Penulis : Muhammad Choirul Hidajat,

Lebih terperinci

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002

Sanksi Pelanggaran Undang undang Hak Cipta 2002 Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas dalam Angka Provinsi DKI Jakarta 2013 Penulis : Basuki Budiman, Dkk Layout

Lebih terperinci

RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013

RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013 RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 i KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan,

Lebih terperinci

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002

Sanksi Pelangaran Undang undang Hak Cipta 2002 Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Riskesdas Provinsi Aceh 2013 Penulis : Endi Ridwan, Dkk Layout : Andi Maharany Patta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan BAB I PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan kesejahteraan suatu

Lebih terperinci

RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013

RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013 RISET KESEHATAN DASAR RISKESDAS 2013 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2013 i KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb. Puji syukur kepada Allah SWT selalu kami panjatkan,

Lebih terperinci

No. ISBN: Survei Kesehatan Nasional. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Volume 3. Daftar Isi i

No. ISBN: Survei Kesehatan Nasional. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Volume 3. Daftar Isi i No. ISBN: 979-8270-44-4 Survei Kesehatan Nasional Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004 Volume 3 Sudut Pandang Masyarakat mengenai Status, Cakupan, Ketanggapan, dan Sistem Pelayanan Kesehatan BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. Mereka memiliki durasi panjang dan umumnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian nasional maupun global. Masalah PTM pada akhirnya tidak hanya menjadi masalah

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI BANTEN TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Banten

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, dari 58 juta kematian di dunia,

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb. Puji

Lebih terperinci

Oleh : Tarjuman, SKp.,MNS. Fakultas Ilmu Kesehatan, UNIBBA

Oleh : Tarjuman, SKp.,MNS. Fakultas Ilmu Kesehatan, UNIBBA Oleh : Tarjuman, SKp.,MNS. Fakultas Ilmu Kesehatan, UNIBBA Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transisi epidemiologi. Secara garis besar proses transisi epidemiologi adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. transisi epidemiologi. Secara garis besar proses transisi epidemiologi adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit saat ini telah mengalami perubahan yaitu dengan adanya transisi epidemiologi. Secara garis besar proses transisi epidemiologi adalah terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Infeksi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 111 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Keadaan Geografis DKI Jakarta terletak di 6 0 12 lintang selatan dan 106 0 48 bujur timur dengan luas wilayah 661,26 km2, berupa daratan 661.52 km2 dan lautan 6,977,5

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung

BAB 1 : PENDAHULUAN. daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Promosi kesehatan pada prinsipnya merupakan upaya dalam meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit sekarang ini telah mengalami perubahan dengan adanya transisi epidemiologi. Proses transisi epidemiologi adalah terjadinya perubahan pola penyakit dan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU TAHUN 2008

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU TAHUN 2008 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU TAHUN 2008 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (noncommunicable diseases). Terjadinya transisi epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. menular (noncommunicable diseases). Terjadinya transisi epidemiologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dewasa ini sedang dihadapkan pada terjadinya transisi epidemiologi, transisi demografi dan transisi teknologi, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pola

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2008 Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. darah. Kejadian hipertensi secara terus-menerus dapat menyebabkan. dapat menyebabkan gagal ginjal (Triyanto, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. darah. Kejadian hipertensi secara terus-menerus dapat menyebabkan. dapat menyebabkan gagal ginjal (Triyanto, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit hipertensi merupakan the silent disease karena orang tidak mengetahui dirinya terkena hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darah. Kejadian hipertensi secara

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati

KATA PENGANTAR dr. Hj. Rosmawati KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, menurut WHO (World Health Organization), kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yangharus

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BENGKULU TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BENGKULU TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BENGKULU TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 Assalamu alaikum wr. wb. KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DI YOGYAKARTA TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DI YOGYAKARTA TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI DI YOGYAKARTA TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 i KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.

Lebih terperinci

4203002 2 Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2012 PROFIL KESEHATAN ffiu DAN ANAK 2012 Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ISSN: 2087-4480 No. Publikasi: 04230.1202 Katalog BPS: 4203002 Ukuran Buku: 18,2 cm x

Lebih terperinci

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3

KATA SAMBUTAN DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 DAFTAR ISI hal. KATA SAMBUTAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN i ii iv v x BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II GAMBARAN UMUM 3 A. KEADAAN PENDUDUK 3 B. KEADAAN EKONOMI 8 C. INDEKS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat. Program PHBS telah dilaksanakan sejak tahun 1996 oleh

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sehat. Program PHBS telah dilaksanakan sejak tahun 1996 oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan perilaku yang dilakukan seseorang untuk selalu memperhatikan kebersihan, kesehatan, dan berperilaku sehat. Program PHBS

Lebih terperinci

PIDATO MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PADA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL (HKN) KE NOVEMBER 2010

PIDATO MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PADA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL (HKN) KE NOVEMBER 2010 PIDATO MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PADA PERINGATAN HARI KESEHATAN NASIONAL (HKN) KE-46 12 NOVEMBER 2010 Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-tama

Lebih terperinci

PENURUNAN ANGKA KESAKITAN DAN KEMATIAN MELALUI PENERAPAN PHBS

PENURUNAN ANGKA KESAKITAN DAN KEMATIAN MELALUI PENERAPAN PHBS PENURUNAN ANGKA KESAKITAN DAN KEMATIAN MELALUI PENERAPAN PHBS BAMBANG PRIHUTOMO, SKM., MPH. Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Bidang Kemitraan dan Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun lebih dari sepertiga kematian anak di dunia berkaitan dengan masalah kurang gizi, yang dapat melemahkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Ibu yang mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok adalah salah satu perilaku hidup yang tidak sehat yang dapat merugikan dan sangat mengganggu bagi diri sendiri maupun orang lain disekelilingnya khususnya bagi

Lebih terperinci

ISBN

ISBN Cetakan Pertama, Desember 2013 Hak Cipta dilindungi oleh Undang Undang All right reserved Kementerian Kesehatan RI, Pokok Pokok Hasil Riskesdas Provinsi Nusa Tenggara Timur 2013 Penulis : Sahat Ompusunggu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases.

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transisi epidemiologi yang terjadi di Indonesia mengakibatkan perubahan pola penyakit yaitu dari penyakit infeksi atau penyakit menular ke penyakit tidak menular (PTM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini berarti bahwa peningkatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) dimasukkan sebagai salah satu target SDGs (Sustainable Development Goals) yaitu mengurangi sepertiga angka kematian dini dari Penyakit

Lebih terperinci

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM

Tim Penyusun Pengarah : dr. Hj. Rosmawati. Ketua : Sitti Hafsah Yusuf, SKM, M.Kes. Sekretaris : Santosa, SKM KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat menyelesaikan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2014 ini dengan baik. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BALI TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BALI TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI BALI TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 i Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan

BAB I PENDAHULUAN. masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesian saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (Double Burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat serius saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi masih tetap menjadi masalah hingga saat ini karena beberapa hal seperti meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT KOTA BOGOR

GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT KOTA BOGOR GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT KOTA BOGOR Saat ini Kota Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia yang turut menghadapi masalah kesehatan triple burden, yaitu masih adanya penyakit infeksi, meningkatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 68 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kurang gizi, terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (www.datastatistik-indonesia.com)

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anak usia sekolah di Indonesia ± 83 juta orang (www.datastatistik-indonesia.com) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak usia sekolah merupakan tumpuan bagi masa depan bangsa. Mereka merupakan sasaran yang strategis untuk pelaksanaan program kesehatan, karena selain jumlahnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) dalam Buletin. penyebab utama kematian pada balita adalah diare (post neonatal) 14%, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang terutama di Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit diare bersifat endemis

Lebih terperinci

RINGKASAN SDKI 2007 PROVINSI SULAWESI BARAT

RINGKASAN SDKI 2007 PROVINSI SULAWESI BARAT RINGKASAN SDKI 2007 PROVINSI SULAWESI BARAT Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 merupakan survey yang berskala Nasional, sehingga untuk menganalisa tingkat propinsi perlu dilakukan suatu

Lebih terperinci

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas

TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas Indikator Kinerja Utama Pemerintah Kota Tebing Tinggi 011-016 3 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KESEHATAN TUGAS POKOK : Melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi

Lebih terperinci

REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA

REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA 1/6 Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id REVOLUSI KEBIJAKAN ONE DATA, RISKESDAS 2018 TAMPIL BEDA DIPUBLIKASIKAN PADA : RABU, 21 MARET 2018 00:00:00, DIBACA : 879 KALI Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Lebih terperinci

Penjelasan umum Riset Kesehatan Dasar 2013

Penjelasan umum Riset Kesehatan Dasar 2013 Penjelasan umum Riset Kesehatan Dasar 2013 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Riskesdas 2013: Pengertian Riset berbasis masyarakat untuk menyediakan informasi indikator

Lebih terperinci

Riset Kesehatan Dasar: (Riskesdas) Data Dasar dan Indikator Kesehatan. Badan Litbangkes, Depkes

Riset Kesehatan Dasar: (Riskesdas) Data Dasar dan Indikator Kesehatan. Badan Litbangkes, Depkes Riset Kesehatan Dasar: (Riskesdas) Data Dasar dan Indikator Kesehatan Badan Litbangkes, Depkes Rakerkesnas, Surabaya 21-22 Oktober 2008 VISI: Masyarakat Yang Mandiri Utk Hidup Sehat MISI: Membuat Rakyat

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI GORONTALO TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Gorontalo

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 24 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KESEHATAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 (PERUBAHAN ANGGARAN) PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP 27 November 2014 KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN STROKE DI INDONESIA

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN STROKE DI INDONESIA KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN STROKE DI INDONESIA Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI O U T L I N E PENDAHULUAN SITUASI TERKINI STROKE

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kolaka, Maret 2012 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka, dr. Hj. Rosmawati NIP Pembina Tk. I Gol.

KATA PENGANTAR. Kolaka, Maret 2012 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka, dr. Hj. Rosmawati NIP Pembina Tk. I Gol. KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah dan nayah-nya atas tersusunnya Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka merupakan salah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i

KATA PENGANTAR Masyarakat Kolaka yang Sehat, Kuat. Mandiri dan Berkeadilan Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka 2016 Hal. i KATA PENGANTAR Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Taufik dan Hidayah - NYA, sehingga buku Profil Kesehatan Tahun dapat disusun. Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun merupakan gambaran pencapaian

Lebih terperinci

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014

PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 PROFIL SINGKAT PROVINSI MALUKU TAHUN 2014 1 Jumlah kabupaten/kota 8 Tenaga Kesehatan di fasyankes Kabupaten 9 Dokter spesialis 134 Kota 2 Dokter umum 318 Jumlah 11 Dokter gigi 97 Perawat 2.645 2 Jumlah

Lebih terperinci

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 PERNYATAAN PERJANJIAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN SUKABUMI PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil,

Lebih terperinci

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

REVIEW INDIKATOR RENSTRA DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR REVIEW INDIKATOR DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR 2015-2019 MISI 1 : Menyediakan sarana dan masyarakat yang paripurna merata, bermutu, terjangkau, nyaman dan berkeadilan No Tujuan No Sasaran Indikator Sasaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga Negara Indonesia, termasuk anak-anak. Setiap orang tua mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sehat dan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) Instansi Visi : DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR : Mewujudkan Masyarakat Jawa Timur Mandiri untuk Hidup Sehat Misi : 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF DINAS PROVINSI BANTEN 2012-2017 DATA CAPAIAN Persentase Balita Ditimbang Berat 1 2 1 PROGRAM BINA GIZI DAN Badannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi

BAB 1 PENDAHULUAN. orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah. tahun ke tahun. World Health Organization (WHO) memprediksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita jumpai banyak orang yang memiliki kebiasaan merokok. Walaupun masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh merokok

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Riset Kesehatan Dasar

Riset Kesehatan Dasar Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 LAPORAN PROVINSI RIAU Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2008 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI TANGAH TAHUN 2007

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI TANGAH TAHUN 2007 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI SULAWESI TANGAH TAHUN 2007 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr. wb.

Lebih terperinci

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013

LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 LAMPIRAN PENETAPAN KINERJA DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA TARGET PROGRAM /KEGIATAN (1) (2) (3) (4) (5) I Meningkatnya kualitas air 1 Persentase

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab timbulnya penyakit

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia : 255.461.686 Sumber : Pusdatin, 2015 ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK PROVINSI KALIMANTAN UTARA TAHUN 2015 Estimasi Jumlah Penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Anak yang merupakan indikator

BAB I PENDAHULUAN. masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Anak yang merupakan indikator BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan Ibu dan Anak sebagai bagian dari tujuan MDG s dikarenakan masih tingginya Angka Kematian Bayi dan Anak yang merupakan indikator kesehatan umum dan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. utama masalah kesehatan bagi umat manusia dewasa ini. Data Organisasi Kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. utama masalah kesehatan bagi umat manusia dewasa ini. Data Organisasi Kesehatan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan ancaman serius dan tantangan utama masalah kesehatan bagi umat manusia dewasa ini. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Global

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2008

LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2008 LAPORAN HASIL RISET KESEHATAN DASAR (RISKESDAS) PROVINSI MALUKU UTARA TAHUN 2008 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI TAHUN 2009 Buku Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Karies gigi adalah proses perusakan jaringan keras gigi yang dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Karies gigi adalah proses perusakan jaringan keras gigi yang dimulai dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karies gigi adalah proses perusakan jaringan keras gigi yang dimulai dari enamel terus ke dentin. Proses tersebut terjadi karena sejumlah faktor (multiple factors)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit Tidak Menular (PTM), merupakan penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh PTM terjadi sebelum usia 60 tahun, dan 90% dari kematian sebelum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular (PTM) (63% dari seluruh kematian) di dunia. Lebih dari 9 juta kematian yang disebabkan

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci