ABSTRAK. Kata kunci : Penerapan sanksi pidana bagi anak, tindak pidana persetubuhan.
|
|
- Hendri Gunardi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK (Studi Kasus Putusan Nomor : 01. / Pid.sus-An / 2015 / PN.Ngw) Oleh : Yon Tedy Teja Mukti NPM Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak, dan mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Ngawi. Jenis penelitian yuridis sosiologis, yakni meneliti tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sifat penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan. Analisis datanya menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menerapkan sanksi pidana dalam putusan perkara Nomor : 01/Pid.sus- An/2015/PN.Ngw, yakni pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim berpedoman pada Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sanksi pidana penjara selama 2 (dua) tahun merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini adalah adil baik bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa pidana penjara minimum tidak berlaku terhadap anak. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja tersebut, didasarkan karena terdakwa berlaku sopan di persidangan, mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan masih berusia muda (belum dewasa). Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Kata kunci : Penerapan sanksi pidana bagi anak, tindak pidana persetubuhan. PENDAHULUAN Tindak pidana persetubuhan oleh anak terhadap anak merupakan bagian dari kesusilaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun
2 2 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur tentang persetubuhan yang dilakukan terhadap anak dalam Pasal 81 ayat (1). Salah satu kasus yang menjadi momok bagi masyarakat dan memasuki tahap yang memprihatinkan, karena setiap harinya tindak pidana persetubuhan yang melibatkan anak sebagai pelakunya sering kita dengar dan kita ketahui dari berbagai media masa. Banyak tindak pidana persetubuhan yang menimpa anak sebagai pelakunya ataupun sebagai korbannya yang terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah, lingkungan rumah (bertetangga), bahkan terjadi di lingkungan keluarga. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan dan bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap perilaku penyesuain diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya 1. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 butir ke 15 dalam Undang-undang Perlindungan Anak menyebutkan tentang perlindungan khusus bagi anak adalah 1 Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan,. hlm.158
3 3 perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum. Pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan anak. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus mempertanggungjawabkan dan bermanfaat bagi anak. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan anak, keadaan rumah, keadaan lingkungan dan laporan pembimbing kemasyarakatan. Sanksi pidana yang diterapkan kepada anak yang melakukan tindak pidana dan melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam tindak pidana persetubuhan adalah pembuktian. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Khusus terhadap tindak pidana persetubuhan, dengan adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka semakin sulit saja seorang korban untuk menuntut pelakunya. Karena sangat jarang ada saksi yang mengetahui adanya tindak pidana persetubuhan kecuali tindak pidana persetubuhan tersebut tertangkap basah atau pelaku lebih dari satu orang. Begitu juga dengan pengakuan pelaku, seorang pelaku tindak pidana persetubuhan jarang yang mengakui perbuatannya. Kalaupun pelaku mengakui
4 4 perbuatannya tetapi kalau bukti yang lain tidak ada maka pelaku belum dapat dikenakan hukuman. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan sanksi pidana terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dan mengkaji pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. LANDASAN TEORI Tinjauan tentang Tindak Pidana Persetubuhan Istilah yang pernah digunakan baik yang digunakan dalam perundang-undangan maupun dari literatur-literatur hukum diantaranya adalah tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana. 2 Menurut Moeljatno yang dikutib Adam Chazawi, dalam memberikan defenisi tentang strafbaarfeit, menggunakan istilah perbuatan pidana. Pengertian perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana disertai dengan ancaman pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut 3. Berdasarkan beberapa pengertian tindak pindana tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan yang melanggar norma ataupun hukum, wajib untuk dilakukan hukuman atau sanksi agar tatanan hukum dan kesejahteraan masyarakat tetap dapat terjaga. Setiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yang secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam unsur, unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat atau yang ada dalam diri si Pelaku. 2 Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm Ibid, hlm. 71
5 5 Tindak pidana persetubuhan menurut KUHP dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pemaksaan melakukan persetubuhan dan persetubuhan tanpa pemaksaan. Diperkosa, disetubuhi, direnggut kehormatannya, digagahi atau kata-kata lainnya sering tertulis dalam media massa untuk menggambarkan perbuatan keji berbentuk pemaksaan hubungan seksual. Indonesia, dengan KUHP-nya yang berlaku sejak tahun 1918 telah mengkualifikasikan perbuatan pemaksaan hubungan seksual ini sebagai kejahatan dengan sebutan sebagai pemerkosaan, dan kejahatan ini termuat dalam Buku II Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.Kualifikasi pemerkosaan menurut Pasal 285 KUHP adalah : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Tindak pidana Pasal 285 ini memiliki persamaan dengan tindak pidana merusak kesopanan, perbuatan cabul atau pencabulan (Pasal 289) yang telah diterangkan persamaan tersebut terletak pada unsur perbuatan materiil kedua jenis kejahatan, yaitu memaksa (dwingen) dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Perbedaannya ialah memaksa pada perkosaan ditujukan pada terjadinya persetubuhan atau si pembuat dapat bersetubuh dengan perempuan yang dipaksa. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 291 ayat 2 KUHP, yaitu : Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 285, 286, 287 dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun. KUHP Pasal 286 dan Pasal 287 juga mengenal kejahatan persetubuhan yang tidak mensyaratkan adanya pemaksaan dari pelaku terhadap korbannya, yakni dalam bentuk : 1) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 286 KUHP).
6 2) Persetubuhan di luar perkawinan terhadap wanita yang umurnya belum 15 tahun, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun (vide Pasal 287 ayat 1 KUHP). - Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun (Pasal 291 ayat 1 KUHP). - Jika persetubuhan mengakibatkan wanitanya mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun (Pasal 291 ayat 2 KUHP). Tinjauan tentang Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Dalam KUH Pidana Pasal 45, memaparkan bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi batas usia seseorang masih dikategorikan sebagai anak, dalam pasal tersebut adalah sebelum enam belas tahun. Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, maka ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 45 di atas tidak berlaku lagi. Wagiati Soetodjo, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur, yaitu: a. adanya perbuatan manusia; b. perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum; c. adanya kesalahan; d. orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 12.
7 Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud anak yang berkonflik dengan hukum menurut Pasal 1 butir 2 dan 3 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan sebagai berikut: Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Di Indonesia ada beberapa Patron Perundang-Undangan yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah anak. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan sebagai berikut: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak merumuskan sebagai berikut: Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana 7
8 8 Tinjauan tentang Sanksi Pidana Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Sudarto dalam Sholehuddin, menyatakan pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang, sedangkan pemberian pidana in concereto menyangkut berbagai badan kesemuanya mendukung dan melaksanakan stesel sanksi hukum pidana itu. 5 Sementara menurut Barda Nawawi Arief dalam Sholehuddin, menyatakan sehubungan dengan masalah penetapan sanksi pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. 6 Barulah dengan kemudian bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang dapat digunakan. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa, yang dibuktikan di sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana yang termaktub dalam dakwaan penuntut umum. Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang sah. Alat bukti minimum itu harus dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa. Setelah itu, barulah pidana dapat dijatuhkan. Hal itu sesuai dengan rumusan pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh 5 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm Ibid, hlm. 118.
9 9 keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam hal itu, Undang-undang menghendaki adanya minimum alat bukti yaitu dua alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa dan tindak pidana yang dilakukannya. Maksud sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut adalah minimal dua alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menyebut alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Asas Restorative Justice Saat ini di dalam sistem hukum di Indonesia, sudah mulai mengarah kepada pengadopsian konsep restorative justice. Namun untuk sementara, masih diberlakukan secara partial dan memandang tingkat urgenitas yang sangat mendasar, yaitu dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 UU Sistem Peradilan Anak, yang menegaskan sebagai berikut: Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di di Kabupaten Ngawi tepatnya di Pengadilan Negeri Ngawi. Jenis penelitian Yuridis Sosiologis. Pendekatan yuridis, dikarenakan menjelaskan masalah yang dikaitkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu memperjelas masalah yang diteliti
10 10 berdasarkan kenyataan yang ada. 7 Penelitian ini akan meneliti tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dibawah umur di Pengadilan Negeri Ngawi. Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian bertujuan memberikan gambaran, melukiskan serta memaparkan data yang diperoleh dari penelitian. Dalam penelitian ini menggambarkan tentang penerapan sanksi tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: sumber data primer, dan sumber data sekunder. Teknik Pengumpulan Data yang digunakan untuk melakukan penelitian terdiri dari: Studi lapangan, dan studi kepustakaan. Metode analisa yang digunakan adalah metode kualitatif. Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang ada serta disusun secara sistematis dan logis, sehingga diperoleh suatu hasil penelitian tentang: Penerapan sanksi pidana bagi anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan terhadap anak di Pengadilan Negeri Ngawi. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak Merujuk pada keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan sanksi pidana pada terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dalam kasus tindak pidana persetubuhan, menurut pendapat peneliti bahwa Hakim dalam pemeriksaan perkara pidana berusaha mencari dan membuktikan 7 Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Hlm. 7.
11 kebenaran materiil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan Penuntut Umum. Berdasarkan posisi kasus tindak pidana persetubuhan di atas, maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk didalamnya keterangan saksi saling berkesesuaian ditambah keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Negeri Ngawi menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah sesuai rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi: Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Unsur-unsurnya, sebagai berikut: a. Unsur setiap orang Maksud dari setiap orang adalah tiada lain merupakan kata yang menunjuk kepada subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang kepadanya secara pribadi dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum pidana, dimana dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2012 adalah anak yang telah berumur 12 tahun, namun ia belum berumur 18 tahun. Dalam pemeriksaan perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan dan menuntut ke persidangan seseorang anak yang bernama FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA sebagai anak yang berkonflik dengan 11
12 12 hukum, yang mana identitasnya yang tercantum dalam dakwaan dan berkas perkara ini telah benar dan dibenarkan oleh Anak Fernando Ersa sendiri serta dibenarkan oleh saksi-saksi yang dihadirkan ke persidangan bahwa Fernando Ersa adalah seorang anak yang telah berumur 15 tahun sehingga anak Fernando Ersa yang umurnya lebih dari 12 tahun, namun belum berumur 18 tahun masuk lingkup pengertian anak sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta selama pemeriksaan di persidangan keadaan Anak Fernando Ersa telah nyata dalam keadaan sehat wal afiat dan cakap menurut hukum. Dengan demikian Pengadilan berpendapat bahwa atas diri anak FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya secara hukum pidana. Atas dasar tersebut di atas, maka majelis hakim berpendapat, unsur setiap orang telah terpenuhi b. Unsur dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 1) Dengan kesengajaan dalam Memorie van Toelichting/ Memori penjelasan pada pokoknya adalah suatu perbuatan yang dikehendaki dan diketahui (willens en wetens), sedangkan pengertian membujuk adalah berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk bukan memaksa, dengan menggunakan hadiah atau perjanjian akan memberikan uang/barang atau pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau suatu tipu muslihat/serangkaian kebohongan, dalam hal ini saksi korban Dewi Anggraini diajak oleh anak Fernando Ersa ke rumahnya dan saat diruang tamu anak Fernando Ersa memeluk saksi korban Dewi Anggraini sambil mengatakan ia ingin berhubungan badan dengan kata-kata ayo ML, lalu saksi korban Dewi
13 13 Anggraini menjawab emoh, aku wedi nek meteng. (tidak mau, aku tidak berani nanti kalau hamil). 2) Dengan melakukan persetubuhan adalah, melakukan suatu perbuatan dengan cara memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, dalam hal ini anak Fernando Ersa menciumi pipi, bibir dan payudara saksi korban Dewi Anggraini, lalu anak Fernando Ersa melepas pakaian saksi korban Dewi Anggraini dan pakaiannya sendiri hingga selutut, lalu ia juga membuka celananya hingga selutut kakinya, dan kemudian ia memasukkan alat kelaminnya kedalam alat kelamin saksi korban Dewi Anggraini dan ia goyang-goyangkan kurang lebih 5 menit lalu keluar spermanya yang dikeluarkan di seprai yang berada di ruang tamu. Sanksi pidana yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi kepada terdakwa Fernando Ersa semata-mata bertujuan untuk memberikan titik jera dan memperbaiki perilakunya di kemudian hari. Dalam hal ini Hakim dalam memberikan sanksi pidana terhadap terdakwa Fernando Ersa lebih pada pendekatan keadilan restorative bukan tindakan balas dendam sebagai usaha pencegahan agar tidak terulangnya tindak pidana tersebut ataupun orang lain tidak mengikuti untuk melakukan tindak pidana sekaligus sebagai usaha perbaikan agar terpidana menyadari kesalahan dan dapat memperbaiki dirinya dikemudian hari sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Perkara Nomor 01/Pid.Sus-An/2015/PN.Ngw Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang menangani perkara tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam menjatuhkan
14 14 putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan. Oleh sebab itu Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah, serta menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala hukum. Berdasarkan putusan perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw., menyatakan bahwa terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan. Oleh karenanya terdakwa dijatuhi sanksi pidana penjaran selama 2 (dua) tahun dan 3 (tiga) bulan pelatihan kerja. Dengan demikian perbuatan terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA adalah perbuatan melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenaran, terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab dan dia melakukan perbuatan dengan sengaja serta tidak ada alasan pemaaf. Sehingga dengan demikian putusan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang berisikan sanksi pidana penjara dan pelatihan kerja sudah tepat, dan menurut pendapat peneliti, Hakim tidak menjatuhkan alternatif sanksi tindakan karena disini Hakim lebih mempertimbangkan efek jera dari sanksi yang ia jatuhkan, karena ditakutkan terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA dapat mengulangi perbuatannya dikemudian hari. KESIMPULAN Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan anak terhadap anak dalam putusan perkara Nomor: 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw, yakni menjatuhkan pidana kepada
15 15 terdakwa Fernando Ersa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menjalani pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan, dirasa sudah adil. Sebab Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Anak. Pemberian sanksi pidana yang berupa penjara selama 2 (dua) tahun lamanya merupakan sanksi pidana penjara di bawah minimum (5 tahun), hal ini adalah adil baik bagi masyarakat maupun pencari keadilan itu sendiri, karena berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pidana minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana persetubuhan dalam perkara putusan Nomor : 01/Pid.sus- An/2015/PN.Ngw lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA, ini terlihat dalam pemberian hukuman yang paling ringan berdasarkan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, seharusnya mendapat sanksi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun sesuai yang diatur dalam Pasal 81 tersebut, tetapi karena berbagai pertimbangan diantaranya, terdakwa FERNANDO ERSA YUDHA HERMAWAN TONI PUTRA berlaku sopan di persidangan, mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya, dan masih berusia muda (belum dewasa). Oleh karenanya Hakim memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatanperbuatan yang melanggar hukum. DAFTAR PUSTAKA Adam Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Gatot Supramono, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan.
16 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. "Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya", Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Putusan Perkara Nomor 01/Pid.sus-An/2015/PN.Ngw. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 16
I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Putusan Pengadilan Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : Putusan Pengadilan adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1.Diversi Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Pendekatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengertian Anak 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 10 2.
Lebih terperinciANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH
1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK (studi kasus Pengadilan Negeri Gorontalo dengan putusan perkara nomor 226/pid.b/2011/PN.grtlo dan putusan perkara nomor 11/pid.b/2013/PN.grtlo)
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.
BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. Marisa Tentang Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Setelah proses pemeriksaan dipersidangan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
32 BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak pidana
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan cabul yang dilakukan orang dewasa kepada anak yang masih dibawah umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan
16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban
Lebih terperinciBAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan berpartisipasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab Adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bukan lagi hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Salah satu penyebabnya
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan terhadap penganiayaan merupakan salah satu kejahatan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu, salah satunya dapat dilihat dari pelakunya yang bukan lagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi
Lebih terperinciTindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D
TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut berkembang seiring dengan perkembangan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir
BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum yang pada masa sekarang ini sedang melakukan pembangunan disegala aspek tidak terkecuali bidang hukum, maka segala usaha
Lebih terperinciKajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta )
Kajian yuridis terhadap tindak pidana pembunuhan disertai pemerkosaan yang dilakukan oleh anak ( studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta ) OLEH : Aswin Yuki Helmiarto E 0003104 BAB I PENDAHULUAN A.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perkembangan era globalisasi ini, yang semuanya serba modern dengan keterbukaan di semua lini, masalah-masalah cenderung meningkat pesat, mulai dari kurang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Hubungan antara Undang-Undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di
I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di dunia menghadapi masalah ini. Disparitas pidana yang disebut sebagai the disturbing disparity
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan teknologi, membawa perubahan yang signifikan dalam pergaulan dan moral manusia, sehingga banyak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan era globalisasi ditandai dengan semakin tingginya kemampuan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan era globalisasi ditandai dengan semakin tingginya kemampuan manusia dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka bukan hanya menimbulkan
Lebih terperinciANALISIS PUTUSAN HAKIM NO.13/PID.B/2011/PN. MARISA TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MARISA
1 ANALISIS PUTUSAN HAKIM NO.13/PID.B/2011/PN. MARISA TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA MARISA Siti Afriani Ohi Pembimbing I: Dr. Fence M.Wantu, SH.,MH Pembimbing II: Suwitno
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
Lebih terperinciPENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN. ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar )
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN ( Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar ) ALDILLA AYU CHANDRA NIM : 11100068 Abstrak : Penerapan sanksi hukum oleh hakim
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA
BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA A. Pengaturan Sanksi Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap Pedofilia 1. pengaturan Sanksi Menurut
Lebih terperinciA. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan
BAB IV ANALISIS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SURABAYA DALAM PERKARA PENCABULAN YANG DILAKUKAN ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.
NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS. Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat
Lebih terperinciMengakomodir Hak Anak Dalam KUHP. Oleh : Apong Herlina Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Anak (LAPA)
Mengakomodir Hak Anak Dalam KUHP Oleh : Apong Herlina Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Anak (LAPA) Prinsip Prinsip Umum KHA(Ps. 2,3,6,12) Non-diskriminasi : Semua anak mempunyai hak yang sama dan harus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang mayoritas penduduknya beragama muslim, dan mempunyai beragam suku bangsa serta beragam pula adat budayanya. Meskipun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR
BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pidana Cabul Kepada Anak Di Bawah Umur Menurut Pasal 294 Dan Pasal 13 UU No.23 Tahun 2002 Untuk melindungi
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciKEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu tindak kriminal yang semakin marak terjadi adalah persetubuhan, ironisnya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini dunia teknologi sangat berkembang dengan pesat sehingga imbasnya juga terhadap cara bergaul dan pola pikir manusia yang ikut diubah di dalam perkembangan
Lebih terperinciBAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciPELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA
PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan karunia Tuhan dari sebuah ikatan perkawinan. Setiap anak yang dilahirkan adalah suci, oleh karena itu janganlah sia-siakan anak demi penerus generasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
Lebih terperinci: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK
Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya, sebagai generasi muda penerus cita-cita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan seseorang yang dianggap belum dewasa dari segi umur. Penentuan seseorang dikatakan sebagai anak tidak memiliki keseragaman. Undang-Undang dan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari kejahatan. Anak kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi
14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap atas tindakan sendiri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling berkaitan satu sama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan pokok primary
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan
Lebih terperinciSKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008
1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor : 339/PID/2011/PT-Mdn.
P U T U S A N Nomor : 339/PID/2011/PT-Mdn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat banding,
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor : 100/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. PENGADILAN TINGGI BANDUNG, yang memeriksa dan mengadili perkara
P U T U S A N Nomor : 100/Pid.Sus/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI BANDUNG, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam tingkat banding telah menjatuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memperihatinkan. Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Wagiati Soetodjo,
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN UMUM. Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Anak dan Batasan Umur Anak Perumusan tentang pengertian anak sangat beragam dalam berbagai undang-undang. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang
Lebih terperinci