IKAN MAS (Cyprinus carpio) MAJALAYA TAHAN PENYAKIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IKAN MAS (Cyprinus carpio) MAJALAYA TAHAN PENYAKIT"

Transkripsi

1 NASKAH AKADEMIK IKAN MAS (Cyprinus carpio) MAJALAYA TAHAN PENYAKIT BALAI BESAR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2014 i

2 TIM PEMOHON PELEPASAN VARIETAS Pengarah Ir. H. Sarifin, MS. Tim Pelaksana Ketua : Adi Sucipto, SPi, MSi Anggota : 1. Nurly Faridah, SPi, MSi 2. Yuani Mundayana, MM 3. Dwi Hany Yanti, SPi 4. Ayi Santika, SPi, MSi 5. Mira Mawardi, SPi 6. Devi Ilma Handayani, SPi 7. Teguh Prayoga, S.StPi 8. Joko Purwanto, S.StPi 9. Tatang Juanda 10. Ade Dimyati Tim Pakar Ketua : Dr. Alimuddin Anggota : 1. Dr. Atmadja Hardjamulia 2. Dr. Murwantoko 3. Dr. Irvan Faizal 4. Dr. Rudhy Gustiano i

3 KATA PENGANTAR Kajian dan pemuliaan untuk menghasilkan ikan mas tahan penyakit telah dilakukan sejak tahun 2009 dengan memverifikasi keberadaan marka molekuler terkait daya tahan penyakit (Cyca-DAB1*05 MHC II) pada induk ikan mas strain Majalaya, Sinyonya, Punten, Cangkringan, Rajadanu dan Wildan. Untuk memudahkan penelusuran filialnya, induk-induk tersebut disebut sebagai F0 atau founder. Dalam perkembangannya, pada tahun 2012 telah dihasilkan populasi induk F1 pada semua strain. Namun demikian, kegiatan pemuliaan ini (termasuk dalam naskah akademik) difokuskan pada strain ikan mas Majalaya. Dibandingkan dengan lima strain lainnya, Majalaya adalah strain yang paling banyak diminati oleh pembudidaya ikan mas. Hal ini terdata dari besarnya serapan pasar terhadap strain ini. Kegiatan pemuliaan tahun 2012, telah memberikan gambaran tentang keampuhan ikan mas Majalaya tahan penyakit F2 berdasarkan uji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila dan koi herpesvirus (KHV). Seluruh rangkaian proses dalam kegiatan ini telah dibahas dan didokumentasikan dalam bentuk protokol, yakni protokol pemulian ikan mas nomor 1, 2, dan 3; masing-masing adalah Protokol 01. Karakterisasi Alel Cyca-DAB1*05 pada Ikan Mas (Cyprinus carpio), Protokol 02. Uji Tantang Ikan Mas dengan Aeromonas hydrophila, dan Protokol 03. Uji Tantang Ikan Mas dengan koi herpesvirus (KHV). Berdasarkan keunggulan performanya, maka diusulkan agar strain ini dapat dilepas secara resmi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai ikan mas tahan penyakit. Empat kajian lain yang penting juga telah dilakukan pada tahun 2014, yakni: 1) Produksi induk Majalaya F2 yang telah diverifikasi membawa marka Cyca-DAB1*05 (MHC + ), 2) Produksi calon induk Majalaya F3 dengan menggunakan induk jantan dan betina F2 MHC +, 3) Uji multilokasi untuk mengevaluasi performa benih Majalaya F3 di beberapa lokasi yang berbeda, dan 4) Uji tantang benih F3 dengan bakteri Aeromonas hydrophila dan KHV. Berbagai pihak telah berkontribusi dalam pemuliaan dan perbanyakan ikan mas Majalaya tahan penyakit ini. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada: 1) Direktur Perbenihan DJPB KKP; 2) ii

4 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, KKP; 3) Tim ahli pemuliaan ikan mas (Dr. Alimuddin, Dr. Atmadja Hardjamulia, Dr. Murwantoko, Dr. Irvan Faizal, Dr. Rudhy Gustiano); dan 4) Semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan pemuliaan ini. Sukabumi, Desember 2014 iii

5 RINGKASAN Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan spesies ikan air tawar yang sudah lama dibudidayakan dan terdomestikasi dengan baik di dunia. Di Indonesia, dikenal beberapa strain ikan mas yang dibudidayakan, yakni Majalaya, Punten, Sinyonya, Domas, Merah/Cangkringan, Kumpai dan sebagainya (Hardjamulia, 1995). Pembudidayaan ikan mas di Indonesia sempat mengalami penurunan akibat serangan penyakit, khususnya koi herpesvirus (KHV). Serangan penyakit tersebut makin menambah rendahnya ketersediaan induk ikan mas yang ada di masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas. Upaya pemulihan kondisi ini terus dilakukan terutama oleh lembaga pemerintah. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi pun turut terlibat aktif melalui upaya meningkatkan ketahanan tubuh induk dan benih ikan mas melalui pemberian antibiotik (tahun 2002), imunostimulan: vitamin C, ragi, serbuk bawang putih dan meniran (tahun ), chromium-yeast (tahun ), vaksinasi ( ), dan seleksi dengan bantuan marka molekuler Cyca-DAB1*05 yang merupakan kelompok gen Major Histocompatibility Complex (MHC) II (selanjutnya dikode sebagai MHC + ) untuk ketahanan terhadap penyakit bakterial dan virus. Kajian dan penerapan bioteknologi molekuler ini telah diinisiasi tahun 2009 dan secara berkesinambungan dilanjutkan hingga tahun 2014 ini, khususnya pada strain Majalaya. Kajian awal terhadap induk-induk ikan mas yang membawa marka Cyca- DAB1*05 dilakukan tahun 2009 terhadap 60 ekor induk betina dan 60 ekor induk jantan dari enam strain ikan mas yang ada di BBPBAT, yakni Majalaya, Sinyonya, Punten, Rajadanu, Cangkringan dan Wildan (masing-masing 10 betina dan 10 jantan). Berdasarkan kajian tersebut diperoleh induk ikan mas MHC + dari semua strain sebanyak 23 ekor jantan dan 18 ekor betina. Populasi ikan mas Majalaya MHC + diperoleh sebanyak 50% dari 20 ekor sampel. Untuk selanjutnya populasi ini disebut sebagai ikan mas Majalaya MHC + F0, yakni 8 ekor jantan dan 2 ekor betina. iv

6 Populasi ikan mas Majalaya MHC + F1 dihasilkan tahun 2011 melalui verifikasi keberadaan marka Cyca-DAB1*05 terhadap benih hasil pemijahan 2 ekor induk ikan mas betina Majalaya MHC + F0 dengan 8 ekor induk ikan mas jantan Majalaya MHC + F0. Dengan jumlah sampel sebanyak 20 ekor, menunjukkan bahwa 70% benih tersebut positif membawa marka Cyca-DAB1*05. Populasi ikan mas Majalaya MHC+ F1 dipelihara lebih lanjut hingga menjadi induk. Jumlah total ikan mas Majalaya MHC+ F1 yang dihasilkan pada tahun 2011 sebanyak 100 ekor jantan ukuran 0,5 kg dan 100 ekor betina ukuran 1,5 2,0 kg. Ikan mas Majalaya MHC+ F2 diperoleh melalui verifikasi keberadaan marka Cyca-DAB1*05 terhadap sampel benih hasil pemijahan 30 ekor induk betina Majalaya MHC+ F1 dengan 97 ekor induk jantan Majalaya MHC+ F1. Kegiatan ini dilakukan tahun Berdasarkan hasil verifikasi terhadap ikan sampel, diperoleh ikan mas Majalaya MHC+ F2 sebanyak 83,33% (25 /30 ekor). Kegiatan verifikasi dilakukan di sepanjang tahun 2012 dan benih yang telah diverifikasi tersebut dipelihara lebih lanjut hingga mencapai ukuran calon induk. Hingga akhir tahun 2012, diperoleh ikan mas mas Majalaya MHC+ F2 sebanyak ekor dengan bobot rataan 384,32 gram/ekor. Kegiatan uji tantang menggunakan bakteri Aeromonas hydrophila dan KHV dilakukan untuk menguji daya tahan ikan mas F2 MHC+. Hasil uji tantang di laboratorium menggunakan bakteri Aeromonas hydrophila menunjukkan bahwa ikan Majalaya MHC+ F2 (74,44%) memiliki kelangsungan hidup sekitar 3,5 kali (252,6%) lebih tinggi daripada ikan kontrol (21,11%). Sementara itu uji tantang terhadap KHV menunjukkan bahwa ikan Majalaya MHC+ F2 hidup 100%, sedangkan ikan kontrol hanya 8,33%. Ikan kontrol berasal dari masyarakat di daerah Cisaat, Sukabumi. Selanjutnya, daya tahan ikan mas F3 MHC+ terhadap infeksi Aeromonas hydrophila tetap tinggi, yakni sekitar 161,5% dibandingkan dengan ikan mas dari pembudidaya di Bogor. Uji lapang di KJA Cirata Cianjur juga dilakukan untuk mengevaluasi performa kelangsungan hidup, konversi pakan (KP) dan pertumbuhan ikan mas Majalaya MHC F3 dan ikan kontrol. Ikan mas Majalaya MHC F3 yang digunakan sebagai ikan uji merupakan turunan ikan mas Majalaya MHC + F2 yang belum v

7 diverifikasi keberadaan markanya. Ikan kontrol berasal dari pembudidaya di Subang, Jawab Barat. Dalam pemeliharaan di KJA selama 75 hari dengan bobot tebar 50 kg/jaring, kelangsungan hidup ikan mas Majalaya F3 (99,27%) tidak berbeda dibandingkan kontrol (98,00%). KP didasarkan pada total pakan yang digunakan (dalam kg) yang digunakan selama pemeliharaan. KP ikan mas Majalaya MHC F3 (1,23) sekitar 74% lebih rendah daripada ikan kontrol (2,12). Pertumbuhan ikan mas Majalaya MHC F3 lebih baik dibandingkan dengan kontrol, demikian juga dengan bobot biomassa yang dihasilkan pada akhir pemeliharaan. Laju pertumbuhan spesifik ikan mas Majalaya MHC F3 (2,40%) sekitar 45% lebih cepat dibandingkan dengan ikan kontrol (1,66%). Pertumbuhan bobot mutlak ikan mas Majalaya MHC F3 (2,19 gram/hari) lebih cepat sekitar 2,13 kali (112,6%) dibandingkan dengan ikan kontrol (1,03 gram/hari). Panjang dan bobot ikan mas Majalaya MHC F3 yang digunakan adalah 10,43 cm dan 33,21 gram per ekor; sedangkan untuk kontrol 10,27 cm dan 37,33 gram per ekor. Panjang dan bobot rerata ikan mas Majalaya MHC F3 pada akhir pemeliharaan adalah 21,13 cm dan 197,33 gram, sedangkan panjang dan bobot rerata ikan kontrol adalah 18,2 cm dan 128,00 gram. Biomassa ikan mas Majalaya MHC F3 pada akhir pemeliharaan adalah 293,82 kg, sedangkan kontrol adalah 168,06 kg. Manfaat yang dapat diperoleh dapat ditinjau berdasarkan aspek teknokogi, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Berdasarkan aspek teknologi, ikan mas tahan penyakit ini memberikan peluang kepada para pembudidaya untuk mendapatkan pilihan jenis ikan untuk dibudidayakan yang dikembangkan melalui teknologi seleksi berbasis marka. Teknologi seleksi pada ikan mas ini dapat pula menjadi acuan untuk diaplikasikan pada spesies lainnya. Ditinjau dari aspek ekonomi; bahwa tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik, produksi ikan mas akan makin baik pula. Di samping itu, kerugian yang diakibatkan oleh serangan penyakit akan lebih kecil jika menggunakan produk ikan mas tahan penyakit. Secara aspek sosial, pemuliaan dan produk pemuliaan yang dihasilkan berupa ikan mas tahan penyakit merupakan bentuk tanggung jawab kepada masyarakat pembudidaya dalam penyediaan ikan mas unggul. Tingkat kepastian vi

8 produksi akan meningkat walaupun ada serangan penyakit, khususnya yang disebabkan oleh KHV dan Aeromonas hydrophila. Berdasarkan aspek lingkungan, penggunaan ikan mas Majalaya tahan penyakit ini akan mengurangi penggunaan obat-obatan. Berdasarkan hasil pengujian terhadap ikan mas turunan Majalaya MHC + F2, khususnya terhadap KHV dan Aeromonas hydrophila, kami mengajukan permohonan pelepasan strain ini untuk dapat didistribusikan ke masyarakat guna mendorong peningkatan produksi ikan mas nasional. Strain ikan mas ini untuk selanjutnya diberi nama ikan mas MANTAP (Majalaya yang Tahan Penyakit). vii

9 DAFTAR ISI Halaman Tim pemohon pelepasan varietas i Kata Pengantar ii Ringkasan iv I. PENDAHULUAN 1 II. PELAKSANAAN, BAHAN DAN METODE 3 III. HASIL PENGUJIAN 17 IV. MANFAAT 30 V. DESKRIPSI SINGKAT 31 VI. PENUTUP 34 DAFTAR PUSTAKA 35 Lampiran 37 viii

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakter morfometrik dan meristik ikan mas Majalaya MHC + F Karakter morfometrik dan meristik ikan mas Majalaya Toleransi kualitas air ikan mas Majalaya MHC F Kualitas daging ikan mas turunan Majalaya MHC + F2 dan ikan mas Majalaya F6 5. Karakter reproduksi ikan mas Majalaya Produktivitas ikan mas Majalaya MHC F3 fase pendederan Produktivitas ikan mas Majalaya MHC F3 fase pembesaran di KJA Cirata ix

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pemijahan ikan mas Majalaya MHC + F0 untuk memproduksi F Tahapan karakterisasi ikan mas yang mempunyai marka Cyca- DAB1*05 3. Diagram penyiapan dan prosedur uji tantang Aeromonas hydrophila Diagram penyiapan dan prosedur uji tantang Koi herpesvirus Ektroforegram hasil analisis marka Cyca-DAB1*05 pada populasi keturunan kedua (F2) ikan mas Majalaya MHC. M adalah kode untuk Marker, sedangkan angka Arab dari 1 hingga 30 adalah nomor sampel. 6. Bobot ikan mas Majalaya MHC+ F2 selama periode pemeliharaan tahun Akumulasi jumlah ikan mas Majalaya MHC+ F2 hasil identifikasi ikan yang memiliki marka Cyca-DAB1*05 selama periode tahun Foto ikan mas Majalaya MHC + F2 sebelum ditentukan warnanya menggunakan aplikasi Color Finder. 9. Warna ikan mas Majalaya MHC + F2 berdasarkan piranti lunak Color Finder adalah abu-abu (olive grey) dengan kode RAL Panjang total tubuh ikan mas Majalaya MHC F3 dan kontrol yang dipelihara di KJA Cirata selama 75 hari (23 Mei 5 Agustus 2014). Sampling dilakukan setiap 15 hari. 11. Bobot tubuh ikan mas Majalaya MHC F3 dan kontrol yang dipelihara di KJA Cirata selama 75 hari (23 Mei 5 Agustus 2014). Sampling dilakukan setiap 15 hari 12. Kelangsungan hidup ikan mas Majalaya MHC+ F2 dan kontrol (non MHC) setelah diuji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila 13. Kelangsungan hidup ikan mas Majalaya MHC+ F2 dan kontrol setelah diuji tantang dengan koi herpesvirus x

12 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio, Linn.) merupakan spesies ikan air tawar yang sudah lama dibudidayakan dan terdomestikasi dengan baik di dunia. Pembudidayaan ikan mas di Indonesia sempat mengalami penurunan drastis akibat serangan penyakit khususnya koi herpesvirus (KHV) dan bakteri Aeromonas hydrophila. Serangan penyakit tersebut, makin menambah rendahnya ketersediaan induk dan benih ikan mas yang ada di masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas. Upaya pemulihan kondisi ini terus dilakukan terutama oleh lembaga pemerintah. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi pun turut terlibat aktif melalui upaya meningkatkan ketahanan tubuh induk dan benih ikan mas melalui pemberian imunostimulan dan vitamin C, seleksi menggunakan marka Cyca-DABI*05 untuk ketahanan terhadap penyakit bakterial, memperbaiki kualitas lingkungan pemeliharaan serta terus mencari teknik pemeliharaan yang diduga mampu mengeliminir serangan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Krzystof L. Rakus seperti yang tertuang dalam buku Major Histocompatibility (MH) Polymorpism of Common Carp: Link with Disease Resistance, maka besar harapan untuk dapat segera menghasilkan ikan yang tahan penyakit. Berdasarkan informasi tersebut, maka kajian dan penerapan bioteknologi level alel ini telah diinisiasi tahun 2009 dan secara berkesinambungan dilanjutkan hingga tahun 2014 ini, khususnya pada strain Majalaya. Respons imun pada ikan terkait dengan adanya molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan MHC kelas II. Molekul MHC I secara spesifik terlibat dalam mengeliminir infeksi virus melalui mekanisme sitotoksik, sedangkan MHC II akan mengaktifkan sel-sel fagosit untuk memproduksi antibodi dan mengaktivasi karakter-karakter imun yang terlibat dalam mengeliminasi parasit, bakteri, dan menetralkan virus. Beberapa penelitian telah memberi penjelasan bahwa ada hubungan antara polimorfisme MHC dengan ketahanan terhadap penyakit pada beberapa spesies ikan. Namun demikian, riset umumnya dilakukan pada ikan salmonid. Pada ikan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 1

13 mas, gen MHC yang ada adalah MHC I B dan MHC II B. Polimorfisme MHC II B lebih besar dibandingkan dengan MH class I B. Gen-gen yang termasuk ke dalam MHC I B adalah Cyca-DAB*1-like, dan Cyca-DAB*2-like. Gen Cyca- DAB*1-like bersifat ubiquitous, artinya aktif di semua jaringan. Gen ini pun memiliki polimorfisme yang tinggi, sedangkan Cyca-DAB*2-like bersifat homozigot atau seringkali tidak berekspresi (Rakus, 2008). Gen MHC merupakan gen marka (penanda) kandidat yang berkaitan kuat dengan resistensi terhadap penyakit. Molekul MHC mempunyai kemampuan mengeluarkan suatu peptida pada sel limfosit T dengan efektivitas berbeda-beda yang dapat mempengaruhi respons imun organisme sehingga mempengaruhi resistensi organisme tersebut terhadap organisme patogen (Rakus, 2008). Dari hasil penelitian Rakus (2008), telah diketahui bahwa alel Cyca-DAB1*05 merupakan bagian dari gen Cyca-DAB1 yang memiliki hubungan yang sangat kuat dengan resistensi terhadap penyakit terutama pada CyHV-3 (nama lain dari KHV) sehingga sangat sesuai jika digunakan sebagai marka genetik pada kegiatan seleksi ikan mas. Berdasarkan informasi yang ada di Bank Gen, maka didesain primer spesifik Cyca-DAB1*05 (Alimuddin et al., 2011) Tujuan Tujuan dari kegiatan pemuliaan ini adalah untuk menghasilkan ikan mas yang tahan penyakit, khususnya terhadap KHV dan bakteri Aeromonas hydrophila Sasaran Kegiatan Sasaran kegiatan adalah menghasilkan induk ikan mas Majalaya yang membawa marka Cyca-DAB1*05. Seteleh dirilis, induk ikan mas ini dapat disebarkan ke Balai Benih Ikan (BBI) dan Unit Pembenihan Rakyat (UPR) untuk menghasilkan benih ikan mas tahan infeksi KHV dan Aeromonas hydrophila. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 2

14 II. PELAKSANAAN, BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Tempat Kegiatan pemuliaan dilaksanakan sejak Desember tahun 2009 hingga September 2014 di beberapa lokasi. Pemeliharaan induk founder (F0), pemijahan, pendederan dan pembesaran ikan mas Majalaya turunan I (F1) dan II (F2) dilakukan di kolam air tenang di BBPBAT, Jl. Selabintana no. 37, Kota Sukabumi. Pembesaran ikan mas Majalaya turunan III (F3) dilakukan di kolam air deras yang berlokasi di Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Uji lapang dan kegiatan pembesaran ikan mas Majalaya F3, juga dilakukan karamba jaring apung (KJA) Cirata, Kabupaten Cianjur. Identifikasi keberadaan marka Cyca-DAB1*05 dilakukan di Laboratorium Genetika BBPBAT Sukabumi, sedangkan uji tantang dilakukan di ruang karantina Laboratorium Kesehatan Ikan BBPBAT Sukabumi Bahan Induk Ikan Mas Founder (F0) Kajian awal terhadap induk-induk ikan mas yang membawa marka Cyca- DAB1*05 dilakukan pada tahun 2009 dan diperoleh generasi F0 ikan mas Majalaya MHC +. Ikan mas tersebut merupakan induk yang dikembangkan oleh BBPBAT Sukabumi. Berdasarkan kajian terhadap 10 ekor induk betina dan 10 ekor induk jantan strain ikan mas Majalaya yang ada di BBPBAT, sebanyak 50% populasi ikan tersebut membawa alel Cyca-DAB1*05, yakni 8 ekor jantan dan 2 ekor betina Ikan Mas Majalaya Turunan I (F1) Benih ikan mas Majalaya F1 dihasilkan dengan memijahkan 2 ekor induk ikan mas betina Majalaya MHC + F0 dengan 8 ekor induk ikan mas jantan Majalaya MHC + F0. Pemijahan dilakukan dengan metode induced breeding, menggunakan Ovaprim untuk menginduksi ovulasi dengan dosis 0,5 ml/kg bobot dan sekali penyuntikan. Pemijahan dilakukan dalam hapa hijau (ukuran 3x2x1 m 3 ) yang dipasang di kolam beton (ukuran 22x17x3 m 3 ) (Gambar 1). Pembuahan telur dilakukan dengan mengalin semua induk betina dan jantan. Telur yang telah Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 3

15 dibuahi disebar merata pada kakaban yang dipasang di atas permukaan air kolam. Benih yang diperoleh dipelihara hingga mencapai ukuran calon induk dengan mengacu pada protokol Pusat Pengembangan Ikan Mas Nasional (PPIMN) tahun 2012 nomor 09 tentang perbanyakan calon induk ikan mas galur murni (Cyprinus carpio). Gambar 1. Pemijahan ikan mas Majalaya MHC + F0 untuk memproduksi F Ikan Mas Majalaya Turunan II (F2) Produksi calon induk Majalaya F2 dilakukan dengan memijahkan secara massal 30 ekor induk betina F1 MHC+ dengan 97 ekor jantan F1 MHC+. Seperti Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 4

16 halnya pada produksi ikan mas Majalaya F1, pemijahan untuk produksi F2 juga dilakukan dengan metode induced breeding, menggunakan Ovaprim dosis 0,5 ml/kg bobot dengan sekali penyuntikan. Pemijahan dilakukan di dalam hapa hijau (ukuran 3x2x1 m 3 ) yang dipasang pada kolam beton (ukuran 22x17x3 m 3 ). Pembuahan telur dilakukan dengan mengalin semua induk betina dan jantan. Telur yang telah dibuahi disebar merata pada kakaban yang dipasang di atas permukaan air kolam. Benih F2 dipelihara menggunakan metode yang sama dalam produksi F Ikan Mas Majalaya Turunan III (F3) Produksi calon induk Majalaya F3 dilakukan dengan memijahkan secara massal 90 ekor induk betina F2 MHC+ dengan 190 ekor jantan F2 MHC+. Mengingat banyaknya jumlah induk yang digunakan, maka pemijahan dilakukan dengan metode semi-induced breeding. Ovaprim digunakan untuk merangsang ovulasi induk betina dengan dosis 0,5ml/kg bobot dan frekuensi sekali penyuntikan. Selanjutnya ikan dibiarkan memijah alami. Pengecekan induk yang memijah dilakukan setelah proses pemijahan selesai. Pemijahan dilakukan dalam hapa hijau (ukuran 6x6x1 m 3, mesh size 2 mm) yang dipasang pada kolam beton (ukuran 22x17x3 m 3 ). Sebanyak 95% dari total induk memijah. Larva umur 7 hari sebanyak ekor kemudian dipindahkan ke tiga kolam tanah yang masing-masing berukuran sekitar 400 m 2. Pendederan pertama ini dilakukan selama 4 minggu. Pendederan kedua dilakukan di kolam tanah (400 m 2 ) selama 33 hari, sebanyak ekor. Pendederan kedua juga dilakukan di kolam tembok (300 m 2 ), selama 35 hari, sebanyak ekor Taksonomi Taksonomi ikan mas dilakukan mengikuti Saanin (1988), yakni: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Cyprinus Spesies : Cyprinus carpio. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 5

17 2.3. Metode Karakterisasi marka Cyca-DAB1*05 (MHC + ) Identifikasi ikan mas Majalaya yang mempunyai marka Cyca-DAB1*05 dilakukan mengikuti metode Alimuddin et al. (2011) dan protokol nomor 01 ikan mas tentang karakterisasi alel Cyca-DAB 1*05 pada ikan mas (Cyprinus carpio). Tahapan karakterisasi alel tersebut tertera pada Gambar 2. Pengambilan sampel sirip ventral (5-10 mg), dan/atau diawetkan dengan alkohol 70% Ekstraksi sampel (Diperoleh hasil sekitar ng/μl) DNA Amplifikasi PCR Separasi produk PCR dengan elektroforesis Pemeliharaan ikan mas yang membawa marka Cyca-DAB 1*05 (MHC + ) Gambar 2. Tahapan karakterisasi ikan mas yang mempunyai marka Cyca- DAB1*05 A. Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan kit Puregene Cell and Tissue (Qiagen, Ltd). Rangkaian kegiatannya adalah sebagai berikut: 1. Sampel sirip diambil sebanyak 5-10 mg. Kemudian menambahkan 200 μl cell lysis solution. Sampel dapat disimpan dengan diawetkan di dalam alkohol 70% jika tidak langsung diekstraksi. 2. Sebanyak 1,5 μl Proteinase K (20 mg/ml) ditambahkan dan kemudian jaringan diinkubasi pada suhu 55 o C (over night). 3. Sampel dikeluarkan dari alat inkubator dan didiamkan sampai mencapai suhu ruang. Sebanyak 1,5 μl RNase (4 mg/ml) ditambahkan dan diaduk Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 6

18 dengan hati-hati sebanyak 25 kali agar homogen. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 o C selama 60 menit. 4. Sampel dikeluarkan dari alat inkubator, kemudian disimpan dalam keadaan on ice selama 5 menit. Selanjutnya protein diendapkan dengan menambahkan 100 μl protein precipitation solution. 5. Sentrifugasi pada rpm, suhu 4 o C, selama 15 menit. 6. Supernatan dipindahkan ke mikrotub baru yang telah berisi 300 μl isopropanol, kemudian diaduk secara hati-hati sebanyak 50 kali agar menjadi homogen. 7. Sentrifugasi pada rpm, suhu 4 o C, selama 10 menit. 8. Supernatan dibuang, kemudian sebanyak 300 μl etanol 70% dingin dimasukkan ke mikrotub untuk memfiksasi DNA. 9. Sentrifugasi pada rpm, suhu 4 o C, selama 10 menit. 10. Etanol dibuang, mikrotub berisi pelet DNA dikeringudarakan. 11. DNA dilarutkan dengan menambahkan 50 μl SDW (Steril Destillated Water), DNA disimpan pada suhu 4 o C untuk penyimpanan jangka lama. B. Polymerase Chain Reaction (PCR) Amplifikasi PCR dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Preparasi sampel dapat dilakukan dengan menggunakan DreamTaq DNA Polymerase (Fermentas) dengan rincian: a. Pembuatan larutan premix Bahan Jumlah 10 x Bufer Taq DNA Polymerase 2,50 μl x jumlah sampel x 1,1 dntp mix 2,00 μl x jumlah sampel x 1,1 Primer : Cyca-DAB1*05 a. R: ATCGCTGACTGTCTGTT b. F: CTAATGGATACTACTGG 1,00 μl x jumlah sampel x 1,1 1,00 μl x jumlah sampel x 1,1 Taq DNA Polymerase 0,25 μl x jumlah sampel x 1,1 SDW (Steril Destillated Water) 17,25 μl x jumlah sampel x 1,1 b. Sampel DNA dimasukkan sebanyak 1 μl sehingga volume akhir tiap mikrotub adalah 25 μl. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 7

19 2. Mikrotub dimasukkan ke dalam mesin PCR yang telah diprogram sebagai berikut : Proses Suhu ( C) Lama Waktu Siklus Pengkondisian awal 94 3 menit - Denaturation detik 35 Annealing Extension detik 1 menit Final Extension 72 7 menit - Hold 4 30 menit - 3. Setelah proses PCR selesai dan mesin menunjukkan suhu 4 C, mesin dimatikan dan hasil PCR disimpan dalam refrigerator atau selanjutnya dapat langsung dielektroforesis. C. Elektroforesis Separasi produk PCR dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Menyiapkan 1 μl 6x loading dye, 5 μl produk PCR, 4 μl milliqwater dan 1 μl loading DNA marker. 2. Pembuatan gel agarosa 0,8 1,0%. 3. Elektroforesis dilakukan pada tegangan 70 Volt selama 50 menit Uji Tantang dengan Bakteri Aeromonas hydrophila Prosedur uji tantang bakteri Aeromonas hydrophila dilakukan sesuai protokol nomor 02 ikan mas tentang uji tantang ikan mas (Cyprinus carpio) dengan Aeromonas hydrophila. Diagram prosedur uji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila ditunjukkan pada Gambar 3. A. Peningkatan virulensi bakteri Peningkatan virulensi bakteri Aeromonas hydrophila dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Bakteri A. hydrophila diisolasi dari ikan mas yang sakit (akibat infeksi bakteri A. hydrophila). 2. Isolat bakteri diinokulasi pada media agar dan inkubasi pada suhu o C selama 1 hari. 3. Bakteri dibiakkan dalam kultur murni. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 8

20 Sediaan isolat A. hydrophila Ikan uji (minimal ekor ukuran 5-8 cm) Peningkatan virulensi A. hydrophila Pemeriksaan status kesehatan ikan terhadap parasit, bakteri dan virus Isolat A. hydrophila virulen Ikan terinfeksi parasit diobati sebelum digunakan Ikan terinfeksi bakteri/virus tidak digunakan Ikan bebas parasit/bakteri/virus Penentuan LD50 A. hydrophila Uji tantang dengan LD50 Pencatatan gejala klinis, kematian harian selama 14 hari; pemeriksaan bakteri pada ikan sekarat (moribund) Ikan yang masih hidup, diobati dengan antibiotik yang direkomendasikan DJPB Pelihara lebih lanjut Gambar 3. Diagram penyiapan dan prosedur uji tantang Aeromonas hydrophila 4. Reidentifikasi (sesuai dengan karakter awal). 5. Bakteri yang sudah dikonfirmasi dibiakkan dalam kultur murni. 6. Ikan disuntik dengan suspensi bakteri (dari poin e) hingga timbul gejala klinis. 7. Bakteri diisolasi dan ditumbuhan kembali dan selanjutnya disuntikkan ke ikan mas (diulang sebanyak 3 kali). 8. Suspensi bakteri A. hydrophila dibuat dengan berbagai konsentrasi dari poin g. 9. Uji penentuan dosis A. hydrophila dilakukan dengan LD Konsentrasi dosis A. hydrophila dihasilkan yang tepat dengan LD50. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 9

21 B. Prosedur uji tantang Uji tantang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Ikan mas yang akan diuji tantang, disediakan yang beukuran minimal 5-8 cm dengan jumlah ekor per populasi. 2. Status kesehatan ikan (butir a) diperiksa dari infeksi parasit, virus dan bakteri. 3. Jika ikan terinfeksi parasit, maka ikan diobati dengan bahan kimia, sedangkan jika terinfeksi virus atau bakteri maka ikan tidak digunakan untuk uji tantang. 4. Suspensi bakteri A. hydrophila disiapkan yang telah melalui proses isolasi, peningkatan virulensi dan penentuan LD Ikan mas disuntik dengan suspensi bakteri A. hydrophila dengan dosis 0,1 ml/ekor secara intramuskuler. 6. Gejala klinis dan kematian harian ikan mas didata selama 14 hari (sampai berhenti kematian ikan). 7. Untuk memastikan kematian ikan disebabkan oleh infeksi bakteri A. hydrophila, ikan yang sekarat diambil dan dilakukan pemeriksaan bakteri. 8. Parameter kualitas air selama uji tantang dikondisikan optimal untuk pemeliharaan ikan. 9. Selama uji tantang ikan diberi pakan komersial (kandungan protein 28%) secara satiasi. C. Prosedur penentuan LD50 Prosedur penentuan LD50 untuk uji tantang dengan bakteri A. hydrophila adalah sebagai berikut: 1. Ikan uji yang akan digunakan diaklimatisasi selama 7 hari. 2. Ikan uji yang akan digunakan dimasukkan ke dalam wadah (minimal 10 ekor). 3. Ikan disuntik dengan suspensi bakteri secara intramuskuler dengan dosis 0,1 ml/ekor menggunakan berbagai konsentrasi bakteri ( ). 4. Jumlah kematian ikan selama 14 hari di catat (sampai berhenti kematian ikan). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 10

22 5. Analisis probit. Tahapan analisis probit dengan rincian sebagai berikut: - Hubungan antara nilai logaritma konsentrasi bahan toksik dan nilai persentase mortalitas ikan uji adalah liniar, dengan fungsi Y= a + bx. - Nilai LD50 diperoleh dari anti log m; m merupakan logaritma konsentrasi bahan bakteri A. hydrophila pada Y=5, yaitu nilai probit 50% ikan uji. Nilai a dan b diperoleh dengan persamaan berikut (Hubert, 1980): b = Σ X*Y 1/n (ΣX*ΣY) a = 1/n (ΣY b*σx) ΣX 2 1/n (ΣX) 2 LD50 = anti log m; Keterangan: m = 5 - a b Y = nilai probit mortalitas X = logaritma konsentrasi bahan uji n = jumlah perlakuan a = konstanta b = slope/kemiringan m = nilai X, pada Y= Uji Tantang dengan Koi Herpesvirus (KHV) Uji tantang KHV dilakukan mengikuti protokol nomor 03 ikan mas tentang uji tantang ikan mas (Cyprinus carpio) dengan KHV. Diagram prosedur uji tantang KHV adalah sebagaimana pada Gambar 4. A. Pembuatan filtrate homogenate Pembuatan filtrate virus KHV dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Jaringan insang dari ikan mas yang positif terinfeksi KHV disiapkan (verifikasi dengan PCR). 2. Jaringan insang ikan digerus dengan mortal hingga halus pada kondisi dingin (on ice). 3. Larutan NaCl fisiologis ditambahkan sehingga menghasilkan konsentrat virus 10% (w/v). 4. Sentrifugasi suspensi konsentrat virus pada 3000 rpm selama 15 menit dengan suhu 4 o C. 5. Supernatan diambil dengan menggunakan syringe. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 11

23 6. Supernatan disaring dengan kertas saring Milipore 0,45 µm (hasil saringan ini merupakan inokulan baku virus herpes). 7. Sebelum dipakai untuk menginfeksi, bahan inokulan baku virus tersebut diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis untuk mendapatkan konsentrasi Insang ikan terinfeksi KHV Ikan uji ukuran 5-8 cm Pembuatan filtrate homogenate KHV Pemeriksaan status kesehatan ikan: parasit; bakteri; KHV Insang ikan terinfeksi KHV Filtrate homogenate KHV: Pengenceran 10-5 Injeksi intramuskular filtrate homogenate KHV pengenceran 10-5 (dosis 0,1 ml/ekor) pada kelompok ikan mas bebas parasit, bakteri, KHV Koleksi & penandaan ikan mas dengan gejala klinis terinfeksi KHV Secara kohabitasi: Mencampurkan ikan gejala klinis terinfeksi KHV dengan ikan yang akan diuji tantang (1:10) Ikan terinfeksi parasit: diobati dengan bahan kimia Ikan terinfeksi bakteri: diobati dengan antibiotik Ikan terinfeksi KHV, tidak digunakan Ikan uji bebas parasit, bakteri, KHV siap diuji tantang secara kohabitasi atau injeksi Mencatat gejala klinis, kematian harian ikan selama terjadi kematian, pemeriksaan DNA KHV pada ikan yang sekarat (moribund) Pembuatan filtrate homogenate KHV Filtrate homogenate KHV: pengenceran 10-5 Secara injeksi: Menyuntik ikan uji secara intramuskular filtrate homogenate KHV pengenceran 10-5 (dosis 0,1 ml/ekor) Ikan yang masih hidup digunakan untuk konfirmasi MHC, jika diperlukan Gambar 4 Diagram penyiapan dan prosedur uji tantang koi herpesvirus Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 12

24 B. Pelaksanaan uji tantang dengan metode injeksi Uji tantang KHV dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Ikan yang akan diuji tantang disiapkan. 2. Status kesehatan ikan (butir a) diperiksa dari infeksi parasit maupun bakteri. 3. Jika ikan terinfeksi parasit, diobati dengan bahan kimia, sedangkan bila terinfeksi bakteri, diobati dengan antibiotik. 4. Menyuntik ikan mas dengan filtrate homogenate KHV (pengenceran 10-5 ) dengan dosis 0,1 ml/ekor ikan secara intramuskuler. 5. Gejala klinis dan kematian ikan dicatat secara harian selama terjadi kematian. 6. Untuk memastikan kematian ikan disebabkan oleh KHV, insang diambil dari ikan yang moribund untuk diuji PCR. 7. Kisaran suhu air pemeliharaan selama uji tantang (20-25 o C) dan kandungan oksigen tidak kurang dari 4 ppm. 8. Selama uji tantang ikan diberi pakan komersial (kandungan protein 28%) secara satiasi Uji Lapang Uji lapang terhadap benih turunan ikan Majalaya MHC + F3 dilakukan di karamba jaring apung (KJA) Cirata untuk mengetahui performa ikan uji dalam sistem budidaya. Ikan uji berupa benih turunan ikan Majalaya MHC + F3 dan sebagai kontrol berupa benih ikan mas dari Subang. Uji lapang dilakukan dengan metode sebagai berikut: 1. Unit karamba jaring apung dipersiapkan sebagai wadah pengujian. Jaring yang digunakan berukuran 7x7x2,5 m Ikan uji diaklimatisasi selama satu hari, untuk kemudian diukur panjang rataan dan bobotnya. 3. Ikan uji ditebarkan ke dalam jaring dengan kepadatan 50 kg. 4. Ikan uji dipelihara selama 75 hari dan disampling setiap 15 hari. Selama pemeliharaan, dilakukan penghitungan jumlah ikan yang mati. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 13

25 5. Ikan uji diberi pakan (kadar protein 28%, lemak 5,5%, serat kasar 5,0%, abu 12,0% dan kandungan air 12%) secara satiasi dengan frekuensi pemberian 3 kali. 6. Parameter yang diukur terdiri dari dari parameter-parameter yang bersifat kuantitatif yang meliputi : bobot awal dan akhir ikan, panjang awal dan akhir ikan, kelangsungan hidup, konversi pakan serta data kualitas air. Derajat kelangsungan hidup (KH) merupakan prosentase jumlah ikan dalam keadaan hidup dalam kurun waktu tertentu dari seluruh ikan yang ditebar pada awal pemeliharaan. Pengukuran derajat kelangsungan hidup ikan dilakukan dengan membandingkan jumlah ikan yang hidup pada akhir dengan awal pemeliharaan, rumus perhitungan sebagai berikut KH = x 100 Laju pertumbuhan harian merupakan persentase pertambahan bobot badan ikan per hari selama masa pengujian, dan dihitung dengan rumus: a = x 100 (Zonneveld et al., 1991) a : Laju pertumbuhan harian (%) Wt : Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (g) Wo : Bobot rata-rata ikan pada saat awal (g) t : Lama pemeliharaan (hari) Pertumbuhan panjang mutlak merupakan ukuran panjang ikan yang diukur dari bagian kepala hingga sirip ekor. Pengukuran dilakukan menggunakan mistar plastic dengan ketelitian 1 mm. Pm = Pt - Po (Effendie, 1997) Pm Pt Po : Pertumbuhan panjang mutlak (cm) : Panjang rata-rata akhir (cm) : Panjang rata-rata awal (cm) Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 14

26 Konversi pakan (KP) menunjukkan perbandingan bobot pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot ikan. KP = (Tacon, 1983) KP F Wt Wo : Konversi pakan : Jumlah total pakan yang dikonsumsi (g) : Bobot biomassa ikan uji pada akhir pemeliharaan (g) : Bobot biomassa ikan uji pada awal pemeliharaan (g) Analisis kualitas air seperti suhu diukur menggunakan termometer dan ph menggunakan ph-meter. Pengambilan sampel amonia dilakukan setiap 10 hari, sedangkan dissolved oxygen (DO) diukur setiap 2 jam selama sehari pada awal percobaan dengan menggunakan DO-meter dan kecerahan diukur menggunakan Secchi disc Penentuan Warna Penentuan warna ikan mas Majalaya MHC + F2 didasarkan pada piranti lunak Color Finder versi (update pada April 2014) yang dapat diinstal pada handphone berbasis android. Aplikasi ini dapat mencari dan menemukan warna suatu objek dalam foto dan menampilkannya ke dalam 8 area warna berbeda. Warna suatu objek dapat dipengaruhi oleh bagaimana mata mendeskripsikan warna tersebut dan cahaya yang diterima oleh objek tersebut. Salah satu model penentuan warna adalah menggunakan RAL yang umum digunakan sebagai standar penentuan warna di Eropa. Warna yang ditentukan dengan model RAL dapat pula dikonversi ke dalam model RGB (red-green-blue) maupun model HEX atau HEXADECIMAL. Panduan dalam menggunakan aplikasi ini adalah: 1. Kamera diatur tanpa lampu (flash), tanpa efek (effects), exposure value pada 0, mode fokus pada macro atau autofocus, white balance pada auto, ISO pada 100 (terkecil), dan auto contrast diatur off. 2. Objek yang akan diambil gambarnya diatur menggunakan satu warna latar yang berbeda dengan warna objek, seperti putih, biru atau hijau. Hal ini Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 15

27 karena aplikasi juga akan menampilkan warna latar ke dalam proses pengolahannya. 3. Pengolahan gambar yang langsung menggunakan kamera, dapat pula diatur langsung hanya pada objek yang akan ditentukan warnanya. 4. Aplikasi ini dapat pula digunakan untuk menentukan warna objek yang terdapat foto Kualitas Daging Kualitas daging dilakukan dengan analisis proksimat. Penentuan kadar abu, air, lemak dan protein secara berurutan didasarkan pada SNI , SNI , SNI dan SNI Pada analisis kadar abu, sampel dioksidasi pada suhu 550 C dalam tungku pengabuan selama 8 jam atau sampai mendapatkan abu berwarna putih. Penetapan berat abu dihitung secara gravimetri. Prinsip dasar pada analisis kadar air, molekul air dihilangkan melalui pemanasan dengan oven vakum pada suhu 95 C C dengan tekanan udara tidak lebih dari 100 mm Hg selama 5 jam atau oven tidak vakum pada suhu 105 C selama 16 jam - 24 jam. Penentuan kadar air dihitung secara gravimetri berdasarkan selisih bobot contoh sebelum dan sesudah sampel dikeringkan. Kadar lemak dianalisis dengan cara mengekstrak sampel dengan pelarut organik untuk mengeluarkan lemak dari sampel dengan bantuan pemanasan pada suhu titik didih pelarut selama 8 jam. Pelarut organik yang mengikat lemak selanjutnya dipisahkan dengan penguapan (evaporasi), sehingga hasil lemak tertinggal dalam labu. Penetapan kadar lemak dihitung secara gravimetri. Prinsip dasar untuk analisis kadar protein adalah bahwa senyawa nitrogen dilepaskan dari jaringan daging melalui destruksi menggunakan asam sulfat pekat dengan bantuan panas pada suhu 410 C selama sekitar 2 jam. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 16

28 III. HASIL PENGUJIAN 3.1 Identifikasi Ikan Mas F0 Ikan mas Majalaya F0 yang membawa marka Cyca-DAB1*05 memiliki produk PCR berukuran sekitar 300 pb (pasang basa). Berdasarkan analisis PCR terhadap 10 ekor induk betina dan 10 ekor induk jantan strain ikan mas Majalaya yang ada di BBPBAT, sebanyak 50% populasi ikan tersebut membawa marka Cyca-DAB1*05, yakni 8 ekor jantan dan 2 ekor betina. 3.2 Produksi F1 Berdasarkan hasil PCR pada 20 ekor benih F1, terdapat 70% benih tersebut membawa marka Cyca-DAB1*05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak semua F1 membawa marka Cyca-DAB1*05. Dengan demikian, maka sangat perlu untuk dilakukan seleksi untuk menghasilkan calon induk F1 yang membawa marka Cyca-DAB1*05. Pada pendederan pertama benih F1 diperoleh ukuran 2-3 cm dan 3-5 cm sebanyak ekor atau dengan kelangsungan hidup sebesar 72,1%. Pada pendederan kedua di kolam tanah diperoleh benih ukuran 3-5 cm dan 5-7 cm sebanyak ekor atau dengan kelangsungan hidup sebesar 79,53%. Sementara itu, jumlah benih yang diperoleh dari pemeliharaan di kolam beton yang berukuran cm sebanyak ekor, ukuran 8-12 cm sebanyak ekor, dan ukuran 5-7 cm sebanyak Kelangsungan hidup selama pendederan 2 di kolam tembok ini adalah 53,3%. Calon induk ikan mas ini dipelihara hingga mencapai ukuran induk dengan perolehan sebanyak 114 ekor dengan bobot rataan 500 ± 50,38 gram/ekor pada akhir tahun Produksi F2 Hasil analisis PCR terhadap 30 ekor sampel benih F2, diperoleh sebanyak 25 ekor (83,33%) membawa marka Cyca-DAB1*05. Persentase tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah individu F2 membawa marka Cyca-DAB1*05 dibandingkan dengan F1 (50%). Ilustrasi hasil elektroforegram analisis keberadaan marka Cyca-DAB1*05 disajikan pada Gambar 5. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 17

29 Jan Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des Bobot rerata (g) M bp M bp Gambar 5. Elektroforegram hasil analisis marka Cyca-DAB1*05 pada populasi keturunan kedua (F2) ikan mas Majalaya MHC. M adalah kode untuk marka ukuran fragmen DNA, sedangkan angka Arab dari 1 hingga 30 adalah nomor sampel. Verifikasi ikan mas yang membawa marka Cyca-DAB1*05 terus dilakukan sepanjang tahun 2012, hingga diperoleh ikan mas Majalaya F2 MHC + sebanyak ekor. Bobot rerata ikan mas Majalaya MHC+ F2 pada akhir tahun mencapai 384,3 gram/ekor. Pendataan pertumbuhan ikan mas Majalaya MHC + F2yang dipelihara di kolam air tenang dan akumulasi perolehan jumlah calon induk pada setiap bulannya sepanjang tahun 2012 teramati melalui kegiatan sampling bobot dan analisis yang dilakukan setiap bulan dan hasilnya disajikan pada Gambar 6 dan Bulan Gambar 6. Bobot ikan mas Majalaya MHC+ F2 selama periode pemeliharaan tahun Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 18

30 Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des Jumlah (ekor) Bulan Gambar 7. Akumulasi jumlah ikan mas Majalaya MHC+ F2 hasil identifikasi ikan yang memiliki marka Cyca-DAB1*05 selama periode tahun Karakter Morfomeristik Karakter morfometri dan meristik ikan mas Majalaya MHC+ F2 disajikan pada Tabel 1 (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3), sedangkan karakter ikan mas strain Majalaya berdasarkan Standard Nasional Indonesia nomor tentang Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) Strain Majalaya Kelas Induk Pokok (Parent Stock) disajikan pada Tabel 2 (BSN, 1999). Tabel 1. Karakter morfometrik dan meristik ikan mas Majalaya MHC + F2 No. Karakter Nilai 1. Rasio panjang baku dan tinggi badan (PS/TB) 2,64 ± 0,25 2. Rasio panjang baku dan panjang kepala (PS/PK) 3,27 ± 0,21 3. Rasio tebal badan dan tinggi badan (TeB/TB) 0,61 ± 0,04 4. Jumlah sisik pada gurat sisi (linea lateralis) Jumlah jari-jari sirip punggung (D) D Jumlah jari-jari sirip dada (P) P Jumlah jari-jari sirip perut (V) V Jumlah jari-jari sirip anal (A) A Jumlah jari-jari sirip ekor (C) C 22 Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 19

31 Tabel 2. Karakter morfometrik dan meristik ikan mas Majalaya (BSN, 1999) No. Karakter Nilai 1. Rasio panjang baku dan tinggi badan (PS/TB) 2,30 2. Rasio panjang baku dan panjang kepala (PS/PK) 3,57 3. Rasio tebal badan dan tinggi badan (TeB/TB) 0,42 0,61 4. Jumlah sisik pada gurat sisi (linea lateralis) Jumlah jari-jari sirip punggung (D) D Jumlah jari-jari sirip dada (P) P Jumlah jari-jari sirip perut (V) V Jumlah jari-jari sirip anal (A) A Jumlah jari-jari sirip ekor (C) C Warna Gambar 8 adalah foto ikan mas Majalaya MHC + F2 yang telah diambil menggunakan kamera dengan warna latar berwarna hijau. Hal ini karena aplikasi juga akan menampilkan warna latar ke dalam proses pengolahannya. Gambar 8. Foto ikan mas Majalaya MHC + F2 sebelum ditentukan warnanya menggunakan aplikasi Color Finder. Warna yang ditampilkan oleh Color Finder adalah warna dominan yang ditangkap dari suatu objek, termasuk warna latar dari objek tersebut. Untuk foto ikan mas Majalaya MHC + F2 pada Gambar 8, warna dominan yang ditampilkan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 20

32 adalah hijau, sedangkan warna ikan ditampilkan sebagai abu-abu dengan kode RAL 7002 (Gambar 9). Gambar 9. Warna ikan mas Majalaya MHC + F2 berdasarkan piranti lunak Color Finder adalah abu-abu (olive grey) dengan kode RAL RAL digunakan sebagai informasi untuk menentukan standar warna untuk cat dan umum digunakan sebagai standar penentuan warna di Eropa. Warna yang ditentukan dengan model RAL dapat pula dikonversi ke dalam model RGB (redgreen-blue) yang biasa digunakan dalam penentuan warna pada perangkat kamera, televisi, dan komputer. RAL 7002 setelah dikonversi ke dalam model Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 21

33 RGB akan menjadi Kode warna tersebut dapat pula dikonversi ke dalam model HEX atau HEXADECIMAL yang umum digunakan dalam penentuan warna suatu objek pada laman maya atau web, yakni berupa kode CSS. Cascading Style Sheet (CSS) merupakan aturan untuk mengendalikan beberapa komponen dalam sebuah web sehingga akan lebih terstruktur, seragam dan ditunjukkan ke dalam 6 karakter. Dalam kode CSS, kode RAL 7002 adalah sama dengan # 7E7B Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Konversi Pakan Pengujian terhadap benih ikan Majalaya MHC + F3 dilakukan di karamba jaring apung (KJA) Cirata untuk mengetahui performa ikan uji dalam sistem budidaya. Sebagai pembanding, digunakan benih yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Benih asal Subang, adalah yang paling banyak digunakan oleh para pembudidaya ikan mas di KJA Cirata. Pengujian ini dilakukan pada Mei hingga Agustus 2014 selama 75 hari dengan pola pemeliharaan seperti yang dilakukan oleh pembudidaya; yakni pemberian pakan secara satiasi, dan menggunakan jaring lapis atas. Biomassa awal ikan uji maupun ikan kontrol sebesar 50 kg per jaring; namun dengan kepadatan yang relatif berbeda karena faktor perbedaan ukuran benih yang digunakan. Jumlah ikan mas Majalaya MHC F3 dan ikan kontrol, masing-masing sebanyak ekor dan ekor. Panjang dan bobot benih ikan uji yang digunakan adalah 10,43 cm dan 33,21 gram per ekor; sedangkan untuk kontrol 10,27 cm dan 37,33 gram per ekor. Performa pertumbuhannya tertera dalam Gambar 10 dan 11. Data hasil sampling, simpangan baku dan koefisien variasi disajikan pada Lampiran 2 dan 3. Pertumbuhan ikan mas Majalaya MHC F3 lebih baik dibandingkan dengan kontrol, demikian juga dengan bobot biomassa yang dihasilkan pada akhir pemeliharaan. Laju pertumbuhan harian ikan mas Majalaya MHC F3 (2,40%) sekitar 1,45 kali lebih cepat dibandingkan dengan ikan kontrol (1,66%). Pertumbuhan bobot mutlak ikan mas Majalaya MHC F3 (2,19 gram/hari) lebih cepat sekitar 2,13 kali dibandingkan dengan ikan kontrol (1,03 gram/hari). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 22

34 Bobot (gram) Panjang Total (cm) Panjang dan bobot rerata ikan mas Majalaya MHC F3 pada akhir pemeliharaan adalah 21,13 cm dan 197,33 gram, sedangkan panjang dan bobot rerata ikan kontrol adalah 18,2 cm dan 128,00 gram. Biomassa ikan mas Majalaya MHC F3 pada akhir pemeliharaan adalah 293,82 kg, sedangkan kontrol adalah 168,06 kg Kontrol MHC Lama Pemeliharaan (hari) Gambar 10. Panjang total tubuh ikan mas Majalaya MHC F3 dan kontrol yang dipelihara di KJA Cirata selama 75 hari (23 Mei 5 Agustus 2014). Sampling dilakukan setiap 15 hari Kontrol MHC Lama Pemeliharaan (hari) Gambar 11. Bobot tubuh ikan mas Majalaya MHC F3 dan kontrol yang dipelihara di KJA Cirata selama 75 hari (23 Mei 5 Agustus 2014). Sampling dilakukan setiap 15 hari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 23

35 Dalam pemeliharaan di KJA, kelangsungan hidup ikan mas Majalaya F3 (99,27%) relatif tidak berbeda dibandingkan kontrol (98%). Konversi pakan (KP) selama pemeliharaan untuk ikan mas Majalaya MHC F3 (1,23) atau sekitar 74% lebih rendah daripada ikan kontrol (2,12). Kelangsungan hidup ikan dihitung berdasarkan jumlah ikan yang mati selama pemeliharaan. Kematian ikan uji maupun ikan kontrol berlangsung di minggu awal pemeliharaan, masing-masing sebanyak 11 ekor dan 27 ekor. Berdasarkan data tersebut, kelangsungan hidup ikan mas Majalaya MHC F3 adalah 99,27%, dan kontrol sebesar sebesar 98%. Nilai kelangsungan hidup relatif sama. Konversi pakan (KP) didasarkan pada total pakan yang digunakan (dalam kg) yang digunakan selama pemeliharaan. Berdasarkan data jumlah ikan yang hidup hingga akhir pemeliharaan, bobot rerata ikan dan total pakan yang digunakan, maka akan diperoleh data KP. Biomassa ikan mas Majalaya MHC F3 dan ikan kontrol masing-masing sebesar 293,82 kg dan 168,06 kg. Bobot ikan tersebut dihasilkan dengan menggunakan pakan masing-masing sebanyak 300 kg dan 250 kg. Dengan mengurangkan biomassa akhir ikan dengan bobot biomas awal ikan sebesar 50 kg, diperoleh data bahwa penambahan bobot ikan mas MHC F3 dan ikan kontrol adalah 243,82 kg dan 118,06 kg. Dengan demikian, KP ikan mas MHC F3 dan ikan kontrol selama pemeliharaan adalah sebesar 1,23 dan 2,12. Data ini memberikan gambaran bahwa KP ikan mas Majalaya MHC F3 lebih baik dibandingkan ikan kontrol. Selama masa pemeliharaan juga dilakukan pengukuran kualitas air. Secara umum, kualitas air di lokasi pengujian masih layak untuk kegiatan budidaya. Data kualitas air tertera dalam Lampiran Toleransi Lingkungan Ikan mas Majalaya MHC diseleksi dari koleksi ikan mas Majalaya BBPBAT Sukabumi menggunakan analisis DNA terkait daya tahan terhadap penyakit, sehingga sangat kecil kemungkinannya tolerasi terhadap lingkungan berbeda dengan ikan mas Majalaya pada umumnya. Namun demikian, berdasarkan data kualitas air selama pemeliharaan yang tertera pada Lampiran 4, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 24

36 dapat dibuat kisaran toleransi ikan mas Majalaya MHC seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Toleransi kualitas air ikan mas Majalaya MHC F3 Parameter Nilai Kisaran Baku Mutu Suhu air ( C) 25,9 31,1 ph 6,7 10,3 6-9 DO (mg/l) 0,9 10,5 4,0 TDS (g/l) 0,10 0,97 0,1 BOD (mg/l) 0,21 6,14 3,0 COD (mg/l) 0,53 23,47 25,0 TP (mg/l) 0,006 0,491 0,200 PO 4 (mg/l) 0,003 0,183 NH 3 (mg/l) 0,000 1,870 0,016 NO 3 (mg/l) 0,020 0,525 NO 2 (mg/l) 0,000 0,687 0,06 TN (mg/l) 0,056 0,720 Cd (mg/l) 0,006 0,015 0,01 Pb (mg/l) 0,005 0,014 0, Kualitas Daging Kualitas daging diperoleh berdasarkan analisis proksimat terhadap daging ikan mas. Sampel yang digunakan sebanyak 10 ekor betina dan 10 ekor jantan. Kualitas daging ikan mas turunan Majalaya MHC + F2 disajikan pada Tabel 4. Sebagai ikan pembanding dalam analisis ini menggunakan ikan mas Majalaya F6 sebagai salah satu strain ikan mas yang dikembangkan di BBPBAT Sukabumi dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Berdasarkan data tersebut, kualitas daging ikan mas turunan Majalaya MHC + F2 relatif tidak berbeda dengan kualitas daging ikan mas Majalaya F6. Tabel 4. Kualitas daging ikan mas turunan Majalaya MHC + F2 dan ikan mas Majalaya F6 No. Komposisi (%) Turunan Majalaya MHC + F2 Majalaya F6 1. Air 81,14 81,08 2. Protein 17,33 16,12 3. Lemak 0,44 0,56 4. Abu 1,04 1,01 Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 25

37 3.9 Jenis Pakan dan Kebiasaan Makan Larva ikan mas yang beru menetas tidak memerlukan tambahan pakan dari luar tubuhnya. Mereka memanfaatkan kuning telur yang tersimpan di dalam suatu kantong. Kuning telur tersebut akan habis dalam waktu sekitar 2 hari setelah menetas. Larva ikan mas bersifat menempel dan bergerak vertikal. Ukuran larva ikan mas yang beru menetas berukuran antara 0,5-0,6 mm dan bobotnya antara mg. Pada saat kuning telur habis, larva tersebut memerlukan pasokan makanan dari luar untuk menunjang kehidupannya; berupa pakan alami. Pakan alami yang umumnya dimakan berupa alga berfilamen dan krustasea antara lain rotifera, Moina, dan Daphnia. Ikan mas tergolong omnivora, yakni mampu memanfaatkan sumber pakan nabati maupun hewani untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sejak seminggu setelah menetas, ikan mas sudah dapat memanfaatkan pakan buatan yang diberikan. Ukuran pakan disesuaikan dengan ukuran bukaan mulut ikan yang dipelihara. Kadar protein yang terkandung dalam pakan yang digunakan, merujuk pada data yang terdapat di label kemasan pakan. Protein pakan untuk fase pendederan I sebanyak 35-40%. Pada fase pendederan II dan III, kadar protein sebesar 30-35%; sedangkan pada fase pembesaran, kadar protein dalam pakan sebesar 26-30%. Pada sistem pemeliharan intensif, ikan mas memiliki kebiasaan menyambut pakan yang diberikan. Namun pada sistem budidaya di kolam air tenang dengan dasar kolam berupa tanah, ikan mas mempunyai kebiasaan mengaduk-aduk dasar kolam untuk mencari makanan Reproduksi Karakter reproduksi didasarkan pada umur, panjang dan bobot saat pertama matang kelamin, serta fekunditas telur dan ukuran telur. Selanjutnya, ikan mas Majalaya MHC hanya diseleksi berdasarkan marka molekuler terkait daya tahan terhadap penyakit, maka sangat kecil kemungkinannya karakter reproduksi berbeda dengan ikan mas Majalaya pada umumnya. Karakter reproduksi ikan mas Majalaya disajikan pada Tabel 5 (BSN, 1999a). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 26

38 Kelangsungan hidup (%) Tabel 5. Karakter reproduksi ikan mas Majalaya Kriteria Jenis Kelamin Jantan Betina 1. Umur pertama matang kelamin (bulan) Panjang standar (cm) Bobot pertama matang gonad (g/ekor) Fekunditas (butir/kg) Diameter telur (mm) - Kering: 0,9 1, Daya Tahan terhadap Bakteri Aeromonas hydrophila Hasil uji tantang terhadap bakteri Aeromonas hydrophila menunjukkan bahwa ikan F2 Majalaya MHC+ secara signifikan lebih tahan (74,44%) terhadap serangan bakteri Aeromonas hydrophila dibandingkan ikan kontrolnya (Majalaya non-mhc sebesar 21,11%) sebagaimana Gambar 12. Uji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila juga telah dilakukan pada ikan mas Majalaya F3 MHC+ dibandingkan dengan ikan mas dari pembudidaya di Bogor sebagai pembanding. Daya tahan ikan mas F3 MHC+ tetap lebih tinggi, yakni sekitar 161,5% daripada ikan mas pembudidaya (Arsal, 2014). Selanjutnya, persentase ikan mas F3 yang membawa marka Cyca-DAB1*05 adalah 85,3% (Arsal, 2014) MHC+ Kontrol ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 rataan Gambar 12. Kelangsungan hidup ikan mas Majalaya MHC+ F2 dan kontrol (non- MHC) setelah diuji tantang dengan bakteri Aeromonas hydrophila Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 27

39 Kelangsungan hidup (%) 3.12 Daya Tahan terhadap Koi Herpesvirus Uji tantang terhadap KHV juga dilakukan terhadap ikan Majalaya MHC+ F2 dan kontrol yang berasal dari masyarakat dengan ukuran ikan sekitar 100 gram per ekor. Hasil uji tantang menunjukkan bahwa ikan Majalaya MHC+ F2 (kelangsungan hidup 100%) lebih tahan terhadap serangan KHV dibandingkan ikan kontrol (kelangsungan hidup 8,33%) (Gambar 13). Uji tantang dilakukan tanggal 3 24 April 2014 melalui injeksi sebanyak 0,1 ml/ ekor pada konsentrasi 10-2 CFU. MHC Kontrol Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rataan Gambar 13. Kelangsungan hidup ikan mas Majalaya MHC+ F2 dan kontrol setelah diuji tantang dengan koi herpesvirus 3.13 Produktivitas Produktivitas pada fase pendederan terutama ditentukan berdasarkan kelangsungan hidup (KH). Data produktivitas pada fase pendederan tertera pada Tabel 6, sedangkan untuk fase pembesaran tertera pada Tabel 7. Produktivitas pada fase pendederan dibandingkan dengan SNI (BSN, 1999b) dan diperoleh hasil bahwa pendederan ikan mas Majalaya MHC F3 lebih tinggi daripada yang ada di SNI. Demikian juga dengan fase pembesaran, ikan mas Majalaya MHC F3 memiliki biomassa lebih tinggi, dan konversi pakan lebih rendah daripada ikan mas kontrol. Sementara itu kelangsungan hidup relatif sama. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi 28

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) MARWANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) JAYASAKTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU TAHAN PENYAKIT KHV DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS MERAH NAJAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar SNI : 01-6137 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU SUPER RD

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU SUPER RD KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) RAJADANU SUPER RD DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar SNI : 01-6133 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA (OREOCHROMIS NILOTICUS) NIRWANA III DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG PELEPASAN IKAN KELABAU (OSTEOCHILUS MELANOPLEURUS) HASIL DOMESTIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01 6131 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6135 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN IKAN GABUS HARUAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN IKAN GABUS HARUAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN IKAN GABUS HARUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA.

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA. KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN IKAN LELE MUTIARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6130 - 1999 Standar Nasional Indonesia Induk Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6483.3-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi induk ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas induk pokok (Parent Stock) DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak terpal dengan ukuran 2 m x1m x 0,5 m sebanyak 12 buah (Lampiran 2). Sebelum digunakan, bak terpal dicuci

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.

BAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG Menimbang KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.66/MEN/2011 TENTANG PELEPASAN IKAN TORSORO MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa guna lebih memperkaya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN PAPUYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN PAPUYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN PAPUYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.23/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA NIRWANA II MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna lebih

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.3-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar produksi induk ikan lele dumbo kelas induk

Lebih terperinci

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar

Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin jambal (Pangasius djambal) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari April 2010 sampai Januari 2011, di Laboratorium Pembenihan Ikan Ciparanje dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.816, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Budidaya. Ikan. Jenis Baru. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PERMEN-KP/2014 TENTANG JENIS IKAN BARU YANG AKAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar SNI : 01-6132 - 1999 Standar Nasional Indonesia Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan... 2 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Deskripsi...

Lebih terperinci

Ikan lele dumbo (Clarias sp.) Bagian 3 : Produksi induk

Ikan lele dumbo (Clarias sp.) Bagian 3 : Produksi induk Standar Nasional Indonesia ICS 65.150 Ikan lele dumbo (Clarias sp.) Bagian 3 : Produksi induk Badan Standardisasi Nasional SNI 6484.3:2014 BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar SNI : 02-6730.3-2002 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar Prakata Standar produksi benih kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas benih sebar

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian 2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK)

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN IPTEK PERIKANAN TAHUN ANGGARAN 2017 Pengadaan Pakan Ikan Tuna Sirip Kuning, Kerapu Sunu Dan Bandeng Pada Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar SNI : 01-6136 - 1999 Standar Nasional Indonesia Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Deskripsi...1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2013 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PELEPASAN BENIH SEBAR HIBRIDA IKAN LELE SANGKURIANG 2 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 bertempat di Laboratorium Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 23 Agustus 2013, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Kegiatan isolasi dan seleksi bakteri proteolitik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, kegiatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka dalam rangka

Lebih terperinci

Percobaan membuat induk ikan Bermutu tinggi sistem Alir Prosedur

Percobaan membuat induk ikan Bermutu tinggi sistem Alir Prosedur Percobaan membuat induk ikan Bermutu tinggi sistem Alir Prosedur Dilaksanakan dikolam pembenihan rakyat Ds.Karangmelok - Kecamatan Tamanan Milik Moch.Hasyim Oleh : SUHARTO, SP DKK. Mengetahui, An.Kepala

Lebih terperinci

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.

3. METODE Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele. 17 3. METODE Rangkaian penelitian ini terdiri dari empat tahap penelitian. Seluruh kegiatan dilakukan dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2011 di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (d/h Loka Riset

Lebih terperinci

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok

Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia SNI 6138:2009 Induk ikan nila hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 6138:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH SIRATU

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH SIRATU KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/KEPMEN-KP/2015 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH SIRATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6139 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Induk Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan...

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. bio.unsoed.ac.id

METODE PENELITIAN. bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih lobster air tawar yang merupakan hasil pemijahan dari satu set induk yang diperoleh dari tempat penjualan induk bersertifikat,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Pakan Uji Pakan yang digunakan adalah pelet kering berbasis sumber protein nabati yang berjenis tenggelam dengan campuran crude enzim dari rumen domba. Pakan uji yang diberikan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Kolam Budidaya Ikan Ciburial, Sumedang selama kurang lebih dua bulan, yaitu sejak April - Juni 2011. 2.2 Alat dan Bahan 2.2.1 Wadah

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar SNI : 01-6141 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus Bleeker) kelas benih sebar Daftar isi Pendahuluan Halaman 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi...

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN Tujuan dan luaran pada penelitian ini dapat dicapai dengan melakukan serangkaian tahapan penelitian selama 3 tahun. Pada tahun pertama telah dilakukan budidaya ikan selais dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Benih ikan mas (Cyprinus carpio) tergolong ikan ekonomis penting karena ikan ini sangat dibutuhkan masyarakat dan hingga kini masih belum dapat dipenuhi oleh produsen

Lebih terperinci

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA 825 Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap... (Moch. Nurdin) PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PRODUKSI PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI KERAMBA JARING APUNG WADUK CIRATA Mochamad

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar SNI : 01-6483.4-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan patin siam (Pangasius hyphthalmus) kelas benih sebar DAFTAR ISI Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan... 1 3 Definisi... 1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.48/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN INDUK IKAN NILA JANTAN PANDU DAN INDUK IKAN NILA BETINA KUNTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di

IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Lele Dumbo 2.1.1. Taksonomi Klasifikasi atau pengelompokkan ikan lele dumbo menurut Bachtiar (2007) adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2013 sampai dengan Mei 2013 di Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran,

Lebih terperinci

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml

Asam Asetat Glacial = 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8.0 = 10 ml Aquades ditambahkan hingga volume larutan 100 ml 36 Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. Pembuatan Larutan Stok Tris HCL 1 M ph 8.0 (100 ml) : Timbang Tris sebanyak 12,114 g. Masukkan Tris ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan 80 ml aquades.

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota TINJAUAN PUSTAKA Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota Ojiya, Provinsi Niigata. Nenek moyangnya adalah ikan mas yang biasa disimpan

Lebih terperinci

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA

Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA Panduan Singkat Teknik Pembenihan Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Disusun oleh: ADE SUNARMA BBPBAT Sukabumi 2007 Daftar Isi 1. Penduluan... 1 2. Persyaratan Teknis... 2 2.1. Sumber Air... 2 2.2. Lokasi...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei sampai Juli 2014, di Laboratorium Budidaya

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei sampai Juli 2014, di Laboratorium Budidaya BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Mei sampai Juli 2014, di Laboratorium Budidaya Perikanan Bagian Genetika dan Pemuliaan Ikan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar

SNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar SNI : 01-6484.4-2000 Standar Nasional Indonesia Produksi benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas benih sebar Prakata Standar produksi benih ikan lele dumbo kelas benih sebar diterbitkan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 12 3 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan bulan November 2012 di Instalasi Penelitian Plasma Nutfah Perikanan Air Tawar, Cijeruk, Bogor. Analisis hormon testosteron

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, mulai bulan Juli hingga November 2009. Pemeliharaan ikan dilakukan di Kolam Percobaan, Departemen Budidaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-April 2015,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-April 2015, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-April 2015, bertempat di Laboratorium Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Parameter pada penelitian pembesaran ikan lele ini meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan harian, perhitungan jumlah bakteri

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2006 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 45/MEN/2006 TENTANG PELEPASAN VARIETAS IKAN NILA NIRWANA SEBAGAI VARIETAS UNGGUL INDUK PENJENIS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. AKSRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. AKSRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN... DAFTAR ISI AKSRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 4 B. Rumusan Masalah... 4 C. Batasan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii

BAB III METODE PENELITIAN. mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mengekstraksi DNA dari dari beberapa spesimen herbarium Rafflesia arnoldii R.Br dan Rafflesia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2009 sampai dengan bulan September 2009 bertempat di Laboratorium Sistem Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci