KEBIJAKAN TATANIAGA GULA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK GULA PASIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN TATANIAGA GULA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK GULA PASIR"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN TATANIAGA GULA TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK GULA PASIR Maria Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga ABSTRACT As far as history is concerned, sugar-trading in Indonesia is never free from government intervention which for sure, has impacts on the national production, marketing, distribution, availability, import and price of sugar in Indonesia. Sugar-trading is not only concerned with technical problem, but rather a system which consists of many components. That are interlinked with one another, This paper is aimed to test the impact of sugar-trading policy on the supply and prices in Indonesia and to make projection of them to near rather. It uses time series data from 1970 until 2005 and Shazam for Windows Professional to analyze the data. The result indicates that land area, quantity of sugar factory, and difference between domestic price and world price are statistically significant of the supply of sugar. While the trading policies, production, consumption, world price, and exchange roles value are statistically significant in determining domestic price. Sugar trading policies directly influence on domestic price but not on supply of sugar in Indonesia. Experimental model of projection for sugar price shows an increasing trend out guarantee model on sugar production shows declining trend of production. With the analysis trend, in the future of sugar price can keep increasing and decreasing at the production of sugar. Key words : sugar-trading policy, availability, production, domestic price ABSTRAK Sepanjang sejarah, perdagangan gula di Indonesia tidak pernah lepas dari intervensi pemerintah, yang tentunya berdampak pada produksi nasional, pemasaran/ distribusi, ketersediaan, impor, harga gula dalam negeri dan sebagainya. Perdagangan gula bukan hanya masalah teknis, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen yang saling mempengaruhi. Makalah ini bertujuan untuk menguji peranan kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga gula domestik gula pasir di Indonesia serta proyeksi (trend) di masa yang akan datang. Data yang digunakan berupa data deret waktu dari tahun yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan gula pasir secara nyata dipengaruhi luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Sedangkan harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/us$. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi terhadap ketersediaan gula di Indonesia kebijakan ini tidak berpengaruh secara langsung. Dengan menggunakan model proyeksi eksponensial, maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami peningkatan. Di pihak lain, model kuadratik memproyeksikan produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Kata kunci : kebijakan tataniaga gula, ketersediaan, produksi, harga domestik

2 Maria PENDAHULUAN Gula pasir merupakan salah satu dari sembilan bahan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi/kalori bagi yang mengkonsumsinya. Di Indonesia gula pasir ini merupakan komoditas pangan strategis kedua setelah beras. Masyarakat mengkonsumsi gula sebagai sumber kalori atau lebih utamanya sebagai pemanis maupun pengawet. Upaya untuk menjaga ketersediaan gula dalam negeri diwujudkan dalam salah satu program ketahanan pangan (revitalisasi pertanian). Ketahanan pangan pada tatanan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa Barat menyatakan perlunya Indonesia membangun ketahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, tebu, kedelai, dan daging sapi. Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi petani untuk memilih komoditas apa yang akan ditanam. Dalam sistuasi harga cenderung kurang menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi, sangat besar kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut. Dalam konteks gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global sedemikian luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan berdampak terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Perlindungan petani dan industri gula menjadi sangat penting untuk menghindari perangkap harga gula yang sangat distortif (Sabil, 2004). Krisis moneter tidak hanya mempengaruhi produksi tetapi juga konsumsi gula. Pada saat krisis konsumsi gula mengalami penurunan bahkan mencapai 23,56 persen, rerata konsumsi gula dalam jangka waktu lima belas tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,43 persen setiap tahunnya. Penurunan konsumsi gula yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor meningkatnya harga yang menurunkan daya beli masyarakat. Seiring dengan pemulihan atau perbaikan kondisi perekonomian yang terkait dengan pendapatan masyarakat, konsumsi gula juga mengalami peningkatan kembali meskipun masih dibawah nilai konsumsi pada tahun sebelum krisis. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ternyata produksi dalam negeri baru mampu mencukupi 67,02 persen kebutuhan konsumsi nasional, bahkan mulai krisis moneter sampai tahun 2003 produksi hanya 50 persen dari total konsumsi. Dengan demikian impor sekitar 33 persen harus dilakukan untuk mencukupi konsumsi masyarakat. Kebutuhan impor gula tersebut belum termasuk untuk persediaan (stok) jika terjadi lonjakan permintaan menjelang lebaran, bencana alam, dan sebagainya sekalipun tidak sepenting stok pada komoditas beras. 110

3 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir Tabel 1. Konsumsi Gula Nasional Tahun Tahun Konsumsi Nasional % Kenaikan (ton) Konsumsi , , , , , , , , , , , , , ,48 Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006, diolah % Produksi terhadap Konsumsi 89,40 94,76 92,23 83,60 66,12 68,27 65,04 54,74 51,52 56,56 54,76 53,18 49,44 60,54 65,17 Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka permintaan akan gula ini juga mengalami peningkatan. Konsumsi yang semakin bertambah ini harus segera direspon pemerintah tentang bagaimana penyediaannya (dari produksi dalam negeri, impor ataukah keduanya). Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir yang terus meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara lain TRI, rehabilitasi pabrik-pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri dengan tidak merugikan konsumen. Disamping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan kebijakan produksi dan input. Diantara kebijakan tersebut, Keppres No 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam hal pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir (Susila, 2002). Makalah ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan-kebijakan tata niaga gula terhadap ketersediaan produksi dan harga domestik gula pasir. Tujuan berikutnya adalah untuk membangun model proyeksi produksi gula jangka pendek (2010) di Indonesia. Data Penelitian METODOLOGI Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari Dewan Gula Indonesia, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, P3GI, berbagai 111

4 Maria terbitan/publikasi lain yang terkait dengan pergulaan baik cetak maupun elektronik (internet). Data yang digunakan berupa data deret waktu dari tahun yang dianalisis dengan program Shazam for Windows Profesional. Data kuantitatif yang diperlukan meliputi data : produksi gula (hablur), konsumsi, stok/persediaan, impor, rendemen, luas areal tebu, produktivitas tebu, jumlah pabrik gula, harga gula domestik, harga gula dunia, IHK, GDP, nilai tukar rupiah, populasi penduduk Indonesia, dan sebagainya. Sedangkan data kualitatif yang dibutuhkan adalah sejarah/perkembangan kebijakan pergulaan yang pernah diterapkan Indonesia khususnya kebijakan tataniaga gula. Model Analisis Untuk menganalisis pengaruh kebijakan tataniaga terhadap ketersediaan gula dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Keterangan : Kt a Kt = a + b 1 L + b 2 PG + b 3 SP + b 4 D1 + b 5 D2 + b 6 D3 + u = ketersediaan gula (ton) (adalah jumlah gula pasir yang ditawarkan/tersedia di pasar domestik) = intersep b 1 -b 6 = koefisien regresi L = luas areal (ha) PG = jumlah/kapasitas pabrik gula SP D1 D2 D3 u = selisih harga gula domestik dengan harga dunia (Rp/ton) = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 = galat Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga terhadap produksi gula, hubungan peubah dihipotesiskan sebagai berikut: Keterangan : Q a Q = a + b 1 L + b 2 R + b 3 PG + b 4 D1 + b 5 D2 + b 6 D3 + u = produksi gula (ton) = intersep b 1 -b 6 = koefisien regresi L = luas areal (ha) R = rendemen (%) PG = jumlah/kapasitas pabrik gula 112

5 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir D1 D2 D3 u = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 = galat Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga terhadap harga domestik, hipotesis yang digunakan adalah : Keterangan : Pd Pd = a + b 1 Pi + b 2 ER + b 3 I + b 4 Q + b 5 C + b 6 D1 + b 7 D2 + b 8 D3 + u = harga gula domestik (Rp/ton) (harga eceran yang berlaku yang diriilkan dengan IHK makanan) a = intersep b 1 -b 8 = koefisien regresi Q = produksi gula (ton) C Pi ER I D1 D2 D3 u = konsumsi gula (ton) = harga dunia (US$/ton) = nilai tukar rupiah terhadap dollar (Rp/US$) = impor gula (ton) = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode Bulog, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pasar bebas, lainnya 0 = peubah boneka, nilai 1 untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor, lainnya 0 = galat Untuk menyusun proyeksi produksi gula di masa depan, makalah ini menggunakan fungsi trend kuadratik sebagai berikut : Yt = a + bt + ct 2 Keterangan: Yt = produksi (ton) pada waktu t t a = indeks waktu = intersep b,c = koefisien regresi dan untuk memproyeksikan harga gula, digunakan model eksternansial : log Yt = a + bt 113

6 Maria Keterangan: log = logaritma Yt = harga (Rp/ton) pada waktu t t a b = indeks waktu = intersep = koefisien regresi HASIL DAN PEMBAHASAN Ketersediaan Gula Pasir Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien determinasi 0,8146. Ini berarti 81,46 persen keragaman ketersediaan gula dapat dijelaskan oleh beberapa peubah bebas (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Gula Pasir di Indonesia Variabel Independen Koefisien Error T hitung D1 D2 D3 Jumlah PG Luas Selisih Harga Konstantan -0, , * 51122** 0,30358* -0, , , , , ,045 1,720-1,509 Adj R 2 = 0,8146 DW test = 2,1138 F Hitung = 404,13*** D h stat = -0,6667 F Tabel(1%) = 3,555-1,1110 0,4034-0,1171 1,847 2,500 1,720-1,509 Elastisitas rata-rata -0,1120 0,0077-0,0021 1,1600 0,6523 0,0537-0,7628 Hasil uji t menunjukkan bahwa hanya peubah luas, jumlah PG, dan selisih harga saja yang memiliki pengaruh nyata terhadap ketersediaan. Peubah luas dan jumlah kapasitas PG menunjukkan sumber ketersediaan gula dalam negeri, sedangkan selisih harga menunjukkan sumber ketersediaan gula dari luar negeri (impor). Pada tingkat rata-rata 1 persen peningkatan luas area mampu meningkatkan ketersediaan gula nasional sebesar 0,65 persen, peningkatan jumlah/kapasitas PG 1 persen menyebabkan peningkatan ketersediaan gula sebesar 1,16 persen, sedangkan peningkatan 1 persen selisih harga domestik dengan harga dunia menyebabkan ketersediaan gula naik 0,05 persen. Sementara faktor kebijakan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ketersediaan gula. Dengan demikian ketersediaan gula Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor dalam negeri yang utamanya dipengaruhi oleh luas area dan efisiensi pabrik gula. Bertambahnya luas area perkebunan tebu diharapkan produksi hablur (gula) nasional akan meningkat, dengan asumsi bertambahnya luas lahan tersebut 114

7 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir disertai dengan peningkatan produktivitas tebu terutama di Jawa yang lahannya relatif lebih terbatas untuk usaha tani tebu jika dibandingkan dengan ketersediaan lahan diluar Jawa. Pemenuhan kebutuhan gula baik untuk konsumsi maupun stok (persediaan) dari produksi dalam negeri lebih elastis daripada impor. Kondisi demikian harus dimanfaatkan karena dengan sedikit perubahan yang positif (peningkatan luas area dan produktivitas, harga gula yang baik, optimalisasi PG yang ada, dukungan pemerintah, dan sebagainya) hasilnya akan jauh lebih besar daripada pemberian dukungan terhadap impor. Sebaliknya, sedikit saja perubahan yang negatif terjadi pada industri gula (hulu -hilir) terutama penurunan luas area maka akan terjadi penurunan yang cukup besar pula pada ketersediaan dari sisi produksi dalam negeri dan langkah yang diambil untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan mengimpor. Semakin besar selisih harga gula domestik dengan harga dunia maka impor gula yang dilakukan juga semakin besar dan sebaliknya. Diharapkan pemenuhan konsumsi gula (langsung) adalah dari produksi dalam negeri, jika belum mencukupi maka kekurangan serta kebutuhan industri (konsumsi tidak langsung) dapat dipenuhi dari impor. Impor gula diharapkan dalam bentuk raw sugar sebagai bahan baku industri gula rafinasi. Impor (white sugar) dilakukan jika kondisi gula produksi dalam negeri sudah tidak mampu memenuhi permintaan konsumsi langsung dan stok untuk beberapa bulan yang sudah diperhitungkan. Produksi Gula Nasional Hasil estimasi produksi menunjukkan bahwa salah satu peubah yang nyata mempengaruhi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor. Ketepatan model ini ditunjukkan dengan nilai R 2 yang disesuaikan yaitu sebesar 0,8893. Artinya 88,93 persen keragaman produksi dapat dijelaskan oleh peubah-peubah bebas independen yang ada dalam model, sedangkan 11,07 persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak dimasukkan dalam model tersebut (Tabel 3). Tabel 3. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Indonesia Peubah bebas Koefisien Galat T hitung D1 D2 D3 Luas Rendemen Jumlah PG Konstantan * 2,9772** ** -2, , , , ,9352 3, , , Adj R 2 = 0,8893 DW test = 1,7344 F Hitung = 47,853*** D h stat = 1,1371 F Tabel(1%) = 3,50 0,1286-0,3634 1,708 3,183 1,286 3,041-2,842 Elastisitas rata-rata 0,0086-0,0048 0,0188 0,578 0,2322 1,8636-1,

8 Maria Hasil uji F yang nyata (99%) menunjukkan bahwa kebijakan tataniaga (tiga periode), luas area, rendemen, dan jumlah pabrik gula secara bersama-sama mempengaruhi produksi gula. Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing peubah bebas dilakukan uji t. Pada tabel dibawah ini diketahui bahwa dari ketiga periode kebijakan tataniaga selama 36 tahun ( ) ternyata hanya kebijakan pada periode pengendalian impor (setelah 2002) yang berpengaruh signifikan terhadap produksi gula. Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor antara lain Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 yang membatasi importir (hanya Importir Produsen dan Inportir Terdaftar) yang diijinkan melakukan impor untuk melindungi/menjaga harga domestik dan pendapatan petani. Walaupun demikian, pembatasan impor tersebut disisi lain memberi peluang akan adanya impor gula ilegal yang otomatis merusak harga gula domestik. Kebijakan tersebut kemudian direvisi dalam bentuk penetapan harga gula ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg (Kepmenperindag No 527/MPP/Kep/9/2004), Rp 3.800/kg (Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-Dag/Per/4/2005), dan Rp 4.800/kg (Permendag No. 19/M- Dag/Per/4/2006). Dari sisi tataniaga, kebijakan penetapan harga diatas memberikan iklim positif bagi produsen. Kebijakan pembatasan impor dilakukan agar harga domestik meningkat (karena harga gula dunia relatif lebih rendah daripada harga domestik) sehingga produsen mendapat insentif untuk meningkatkan produksinya. Dalam kurun waktu tersebut, kebijakan tataniaga didukung oleh kebijakan lainnya yaitu pada tahun 2002 Departemen Pertanian mencetuskan program akselerasi (peningkatan produksi gula) nasional. Program tersebut dilaksanakan dengan mengoptimalkan kinerja pabrik gula yang ada melalui penataan dan rehabilitasi tanaman, peralatan/mesin pabrik, manajemen pabrik gula, maupun penyehatan lembaga penelitian yang ada (P3GI). Kebijakan tataniaga gula pada periode Bulog berdampak positif terhadap produksi meskipun tidak nyata. Pada periode ini kebijakan yang lebih berperan terhadap peningkatan produksi adalah kebijakan TRI berdasarkan Inpres No. 9 tahun 1975 yang berlaku sampai dikeluarkannya UU No. 12 tahun Walaupun sebenarnya peningkatan produksi bukan dikarenakan peningkatan produktivitas maupun rendemen tetapi lebih dikarenakan oleh perluasan area perkebunan tebu baik TRIS (lahan sawah) maupun TRIT (lahan tegal). Sementara porsi produksi yang dikuasai Bulog dari PG PNP semakin kecil (60-70%) karena Bulog hanya diijinkan untuk membeli gula yang menjadi bagian dari PG PNP. Gula (TRI) dari non PNP bebas dipasarkan (30-40%). Akibatnya terjadi fluktuasi harga akibat spekulasi pedagang disamping stok gula Bulog yang semakin berkurang. Pada tahun 1990-an produksi gula semakin menurun, apalagi setelah dikeluarkannya UU No. 12 Tahun Banyak petani tebu yang mengganti komoditas usahataninya dengan komoditas lain terutama beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Disamping itu, semakin terpencarnya lokasi perkebunan tebu yang berpengaruh terhadap produktivitas dan rendemen, kondisi PG yang sudah tua (inefisiensi), biaya pokok produksi mahal terutama pada saat krisis moneter turut memberikan pengaruh negatif terhadap produksi gula. 116

9 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas berdampak negatif terhadap produksi gula dalam negeri meskipun tidak nyata (Tabel 3). Pembebasan bea masuk impor gula mengakibatkan impor gula tidak terkendali. Hal ini diperparah dengan tingginya biaya produksi gula dalam negeri akibat krisis moneter tahun Dari sisi pergulaan dunia pada saat itu terjadi surplus gula dunia (harga dunia rendah) sehingga gula dalam negeri tidak mampu bersaing dalam hal harga. Kondisi demikian mengakibatkan produsen tidak mendapat insentif untuk keberlanjutan produksinya. Luas area merupakan faktor yang nyata mempengaruhi produksi dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Pada tingkat rata-rata ( ) kenaikan 1 persen luas area tebu menyebabkan kenaikan produksi hablur (gula) sebesar 5,58 persen. Artinya, luas area yang meningkat merupakan faktor utama peningkatan produksi gula. Namun demikian, peningkatan luas harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya (intensifikasi) mengingat lahan untuk pertanian semakin terbatas, terutama di Jawa serta tebu semakin kalah bersaing dengan komoditas lain. Rendemen menunjukkan kandungan gula yang ada dalam satuan berat tebu. Waktu panen, sistem tebang, lokasi jarak ke PG, iklim serta pengelolaan usahatani sangat mempengaruhi besar kecilnya rendemen. Contoh kasus kemarau panjang akhir tahun 2006 menyebabkan penurunan produksi mencapai 15 persen (perhitungan P3GI). Rendemen tebu yang dihasilkan cukup bervariasi, begitu pula tingkat ketepatan pengukurannya. Pabrik gula yang mengukur rendemen dengan tepat mendorong petani untuk memasok tebu dengan mutu yang baik, sehingga rendemen pabrik gula juga tinggi, karena gula tidak diproduksi di pabrik melainkan ditanaman. Namun demikian dalam kurun waktu ternyata rendemen tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap produksi hablur. Selain luas area, faktor lain yang nyata mempengaruhi produksi adalah jumlah pabrik gula yang masih giling (tingkat kepercayaan 95%). Sekarang ini di Indonesia PG yang masih giling ada 58 buah (46 di Jawa dan 12 di luar Jawa) dengan kapasitas giling rata-rata ton tebu/hari. Masa giling biasanya pada bulan Mei sampai Oktober. Rata-rata kenaikan jumlah PG sebesar 1 persen menyebabkan produksi gula meningkat 1,86 persen. Pengaruh ini cukup besar, tetapi perlu dipertimbangkan juga bahwa biaya investasi pabrik sangat tinggi, payback period, dan ketersediaan bahan bakunya, karena luas area perkebunan tebu di Jawa yang semakin berkurang, sementara di luar Jawa banyak kendala yang membatasi perluasan areal (jenis tanah, cuaca, kondisi infrastruktur, faktor sosial ekonomi, dan sebagainya). Dengan demikian lebih baik mengoptimalkan kinerja pabrik gula pada kapasitas terpasang sebagai langkah untuk mengatasi idle capacity. Proyeksi Produksi Gula Indonesia Dengan menggunakan model trend kuadratik sebagai model proyeksi, diperoleh koefisien determinan 0,773 dan semua peubah bebas adalah nyata secara statistik (Tabel 4). 117

10 Maria Tabel 4. Koefisien Trend Kuadratik Indeks Produksi Gula di Indonesia Peubah Koefisien Std Error T Hitung 0,177*** 0,023 7,609-0,003*** 0,001-5,586 0,576** 0,186 3,091 Case Sequence Case Sequence2 Konstanta Adj R 2 = 0,773 F Hitung = 56,145*** Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 99% ** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 95% Dengan menggunakan model trend ini, maka pada tahun mendatang (proyeksi) produksi gula akan kembali mengalami penurunan. Hasil estimasi produksi gula dalam negeri sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. Agar penurunan produksi tidak kembali terjadi maka pemerintah diharapkan mampu melindungi produsen dengan berbagai kebijakan yang terkait dengan harga ditingkat petani dan pembatasan impor gula, disamping kebijakan ditingkat hulu (usahatani). Hal ini penting karena sebagian besar konsumsi gula dipenuhi dari produksi dalam negeri. Tabel 5. Hasil Proyeksi Indeks dan Produksi Hablur di Indonesia Tahun Tahun Indeks Produksi (ton) Sumber : Analisis Data Sekunder 3,018 2,970 2,916 2,856 2, Pertumbuhan produksi gula relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsinya, apalagi pertumbuhan konsumsi tidak stabil. Produksi gula bersifat musiman (produksi sekali dalam setahun dengan bulan giling pada bulan sekitar Mei-Oktober), sementara konsumsi gula setiap saat yang semakin bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kondisi demikian mendorong pemerintah untuk melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan. Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Dalam sejarahnya kebijakan tataniaga gula yang paling sering dikeluarkan pemerintah adalah mengatur tentang impor dan harga. Hasil regresi model harga 118

11 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir domestik tersebut memiliki koefisien determinasi 0,9826. Artinya 98,26 persen keragaman peubah tak bebas dapat dijelaskan oleh peubah bebas dalam model, sisanya dijelaskan oleh peubah lain yang belum dimasukkan dalam model (Tabel 6). Nilai F hitung sebesar 92,815 nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen. Berarti secara bersama-sama kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, impor, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/us$ mempengaruhi harga domestik gula pasir di Indonesia. Tabel 6. Hasil Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Peubah bebas Koefisien Galat T hitung D1 D2 D3 Produksi Impor Harga Dunia Konsumsi Nilai Tukar (Rp/US$) Konstanta -2, ** -1, ** 2, *** 9, *** -1, ,62** 5, * 61,575*** , , , , , ,17 3, ,16 1, Adj R 2 = 0,9826 DW test = 1,7091 F Hitung = 92,8158 D h stat = 0,50376 F Tabel(1%) = 3,45-2,538-2,501 4,503 2,857-0,2792 2,349 1,825 4,348 0,3701 Elastisitas rata-rata -0,495-0,0524 0,0648 0,4111-0,0157 0,1295 0,3281 0,525 0,0973 Setelah dilakukan uji t ternyata peubah kebijakan tataniaga (periode Bulog, perdagangan bebas, dan pengendalian impor), produksi, konsumsi, harga dunia, dan nilai tukar rupiah/us$ berpengaruh nyata terhadap harga domestik. Satusatunya peubah yang tidak nyata pengaruhnya terhadap harga domestik adalah jumlah impor gula. Jadi yang mempengaruhi harga domestik bukan jumlah gula yang diimpor, tetapi lebih cenderung ke harga gula dunia dan nilai tukar (rupiah/us$). Kebijakan tataniaga gula yang mengatur tentang harga dilakukan untuk menjaga stabilitas harga domestik dengan tetap melindungi produsen atau industri pergulaan pada umumnya. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode Bulog berkorelasi negatif pada tingkat kepercayaan 95 persen. Adanya kebijakan ini (misal : Kebijakan penetapan harga provenue) menyebabkan penurunan harga domestik turun sebesar 49,5 persen. Kebijakan tentang harga dikeluarkan untuk melindungi produsen (jika harga di pasar terlalu rendah) atau melindungi konsumen jika terjadi gejolak harga sebagai pengaruh inflasi dan sebagainya. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog merupakan hambatan bukan tarif (impor dan distribusi) yang mengisolasi pasar domestik dari pasar gula dunia. Harga cenderung stabil baik ditingkat konsumen maupun produsen. Namun hal ini menyebabkan inefisiensi karena margin atau selisih harga yang terjadi antara harga tingkat produsen dengan tingkat konsumen cukup besar. 119

12 Maria Kebijakan tataniaga gula pada periode perdagangan bebas jelas berpengaruh negatif terhadap harga gula domestik. Dengan diserahkannya tataniaga gula ke mekanisme pasar, gula impor bebas masuk ke Indonesia. Kebijakan ini tidak efektif memproteksi industri gula nasional. Gula dunia yang terdistorsi akibat proteksi yang dilakukan oleh negara-negara produsen dengan subsidi dan sebagainya mengakibatkan harga gula dunia relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga gula domestik. Apalagi dalam kurun waktu periode kebijakan ini terjadi surplus gula dunia. Dengan adanya kebijakan ini harga gula domestik turun pada tingkat rata-rata 0,052 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen (Tabel 6). Kondisi demikian menyebabkan penurunan produksi hablur (gula) dalam negeri meskipun pengaruhnya tidak signifikan. Tidak semua kebijakan memiliki hubungan negatif terhadap harga domestik. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode pengendalian impor ternyata memiliki pengaruh positif terhadap harga domestik dan pengaruhnya paling nyata (tingkat kepercayaan 99%) (Tabel 6). Kebijakan ini mampu meningkatkan harga domestik 6,48%. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode ini antara lain : pengendalian impor dengan membatasi hanya Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP) yang diijinkan melakukan impor gula (Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002) dengan berbagai revisi terkait dengan penetapan harga gula ditingkat petani. Kebijakan terakhir (Peraturan Menteri Perdagangan No.19/M-DAG/PER/4/2006) menetapkan harga gula putih di tingkat petani Rp 4.800/kg. Pembatasan impor dan dukungan positif terhadap harga domestik memberikan insentif bagi produsen gula maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksinya menuju swasembada gula khususnya untuk konsumsi langsung. Produksi gula memberikan pengaruh cukup nyata (99%) terhadap harga domestik. Setiap peningkatan produksi rata-rata 1 persen akan meningkatkan harga domestik 0,41 persen. Kondisi demikian merupakan anomali dari teori penawaran yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan maka harga yang terjadi semakin menurun. Tetapi hal ini tidak terjadi pada harga domestik gula pasir di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan gula pasir yang ada sebagian besar dari produksi dalam negeri yang pertumbuhan produksinya relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir rata-rata produksi gula hanya mampu memenuhi 67,02 persen dari total konsumsi gula. Disamping itu pasokan gula dunia pada tahun 2004 menurun akibat kenaikan harga BBM dan reformasi kebijakan pergulaan dunia. Di Eropa negara-negara produsen gula mengkonversi produksi gula menjadi etanol. Hal itulah yang menyebabkan kondisi pergulaan dunia defisit sehingga harga gula dunia meningkat (lebih kompetitif). Harga gula dunia yang meningkat berpengaruh juga pada peningkatan harga domestik. Meskipun produksi gula beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan positif, tetapi impor masih tetap dilakukan karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi (langsung maupun tidak langsung) dan stok. Semakin banyak jumlah impor gula yang dilakukan maka harga domestik semakin turun meskipun pengaruh ini tidak nyata. Harga domestik lebih dipengaruhi oleh harga dunia dan nilai tukar /US$. 120

13 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir Kinerja pergulaan Indonesia tidak terlepas dari kondisi pergulaan dunia dan kebijakannya. Harga gula dunia mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 95% (Tabel 6). Pada tingkat rata-rata 1 persen kenaikan pada harga gula dunia (US$/ton) meningkatkan harga gula domestik sebesar 0,13 persen (Rp/ton). Disamping adanya peningkatan efektifitas proteksi pasca Kepmenrindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, kebijakan harga dan harga dunia yang lebih kompetitif menyebabkan peningkatan harga gula domestik. Hal ini menunjukkan adanya transimisi harga gula dunia dengan harga domestik dan integrasi pasar gula domestik dan pasar gula dunia. Dalam perdagangan internasional nilai tukar berpengaruh terhadap harga terkait dengan besarnya nilai impor maupun ekspor yang dilakukan antar negara. Nilai tukar rupiah /US$ berpengaruh nyata terhadap harga domestik gula pasir di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Rata-rata 1 persen peningkatan pada nilai tukar rupiah/us$ atau pelemahan rupiah menyebabkan harga gula domestik meningkat 0,53 persen. Kondisi melemahnya rupiah terhadap US$ menjadikan pertimbangan importir karena untuk melakukan impor membutuhkan lebih banyak rupiah (harga impor dalam rupiah lebih mahal). Dengan demikian harga domestik yang terjadi pada komoditas gula ini juga meningkat. Harga yang diterima konsumen (harga eceran) mempengaruhi besar kecilnya tingkat konsumsi terhadap suatu barang dan sebaliknya. Namun besar kecilnya pengaruh harga tergantung jenis barang, elastisitas harga, dan sebagainya. Besarnya konsumsi gula dalam analisis ini juga mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Peningkatan konsumsi gula sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 0,33 persen. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, yaitu semakin banyak jumlah barang yang diminta maka harga akan meningkat. Kenaikan konsumsi gula ini dikarenakan kenaikan konsumsi langsung akibat peningkatan populasi (jumla h penduduk) maupun kenaikan konsumsi tidak langsung akibat peningkatan industri makanan, minuman, farmasi, dan sebagainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan penggunaan pemanis lain (gula non tebu maupun gula sintetis) juga mengalami peningkatan seiring dengan diversifikasi kebutuhan konsumen. Dari tahun 1975 harga gula ditingkat eceran relatif terus mengalami peningkatan. Pada periode Bulog terlihat harga eceran relatif stabil dengan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan pada periode pengendalian impor. Pada masa perdagangan bebas, harga eceran relatif konstan dari tahun sebelumnya. Kenaikan terjadi pada tahun 1998/1999 sebagai dampak dari krisis moneter (inflasi besar-besaran pada semua barang). Kenaikan harga pada periode pengendalian impor ( sampai sekarang) relatif lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kenaikan ini karena meningkatnya harga provenue (produksi dalam negeri) sebesar Rp 4.800/kg, adanya tarif impor Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 700/kg untuk white sugar, menguatnya nilai tukar rupiah dan sebagainya. Proyeksi Harga Gula Domestik Untuk mengestimasi harga domestik pada beberapa tahun ke depan dilakukan trend dengan pola eksponensial yang merupakan pola terbaik untuk 121

14 Maria series data harga domestik gula pasir di Indonesia. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Koefisien Trend Kuadratik Indeks Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Variabel Koefisien Std Error T Hitung Case Sequence Konstanta 0,110*** 1,008*** Adj R 2 = 0,975 F Hitung = 1144,496*** Sumber : Analisis Data Sekunder Keterangan : *** = signifikan dengan tingkat kepercayaan 99% 0,003 0,060 33,830 16,808 Dengan mengikuti trend eksponensial maka pada beberapa tahun mendatang harga gula domestik (eceran) terus mengalami penin gkatan. Hasil proyeksi sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Dengan membaiknya harga gula domestik diharapkan bisa menjadi insentif bagi produsen baik petani tebu maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan produksi gula menuju swasembada khususnya konsumsi langsung. Tabel 8. Hasil Proyeksi Indeks dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Tahun Tahun Indeks Harga Domestik (Rp/ton) Sumber : Analisis Data Sekunder 34,04 38,00 42,42 47,35 52, KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Ketersediaan gula pasir secara nyata dipengaruhi oleh luas area, jumlah pabrik gula, dan selisih harga domestik dengan harga dunia. Pengaruh faktor produksi dalam negeri lebih elastis daripada impor. 2. Faktor yang nyata mempengaruhi produksi gula (hablur) adalah kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas area, dan jumlah pabrik gula yang masih giling. 122

15 Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir 3. Harga gula domestik secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, produksi, konsumsi, harga gula dunia, dan nilai tukar rupiah/us$. 4. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap harga domestik tetapi tidak berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan gula di Indonesia. Kebijakan tataniaga pengaruhnya lebih kepada produksi dan impor gula yang merupakan komponen dari ketersediaan gula nasional. 5. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga). Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas hanya nyata mempengaruhi harga domestik dengan pengaruh negatif. Sedangkan kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor berpengaruh nyata positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik. Saran Kebijakan 1. Peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi usahatani tebu, efisiensi pabrik gula yang ada dan stabilisasi perekonomian (moneter yang terkait dengan nilai tukar rupiah terhadap US$) sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi pergulaan nasional menuju swasembada gula. 2. Untuk meningkatkan produksi di dalam negeri, dukungan terhadap produsen/industri gula sangat diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan jaminan harga yang kompetitif, mengingat pengaruh produksi terhadap ketersediaan gula lebih elastis daripada impor (sinergi antara kebijakan tataniaga dengan kebijakan produksi (on farm)). 3. Kebijakan tataniaga pada periode pengendalian impor masih dapat dilanjutkan untuk membatasi impor dan proteksi terhadap produsen/industri gula nasional. Impor gula diupayakan dalam bentuk raw sugar sebagai bahan baku industri khususnya pabrik gula rafinasi maupun untuk memanfaatkan idle capacity yang ada di beberapa pabrik gula saat ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Studi tentang Pemasaran dan Prospek Industri Gula Indonesia. PT. International Contact Business System Inc. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. Departemen Pertanian Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Jakarta. 123

16 Maria Dewan Gula Indonesia Road Map Swasembada Gula Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Dewan Gula Indonesia Laporan Penyusunan Pengembangan Agribisnis Gula Berbasis Tebu di Jawa Tahun Kerja sama antara DGI dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Dewan Gula Indonesia Road Map Swasembada Gula Dirjenbun/Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. Granger, C.W.J, Forecasting in Business and Economics. Academic Press Inc. USA Kholifah, E Ekonomi Politik Perdagangan Gula di Indonesia. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Masyhuri, Analisis Kebijakan Pergulaan Nasional. Dalam Konsolidasi Kebijakan Pergulaan Nasional. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta. Sabil, H.M.A, Industri Gula dalam Perspektif Bisnis : Produksi dan Harga Gula. Mid Kongres IKAGI. Yogyakarta. Susila, W.R, Kebijakan Pergulaan di Beberapa Negara Produsen dan Alternatif Kebijakan Pergulaan Nasional. Prosiding Pertemuan Teknis P3GI. Pasuruan. Winarno, F.G dan Birowo, A.T, Gula dan Pemanis Buatan di Indonesia. Sekretariat Dewan Gula Indonesia. Jakarta. 124

Analisis Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia

Analisis Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009 Analisis Kebijakan Tataniaga Gula terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia

Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia. The Demand for Raw Sugar in Indonesia Ilmu Pertanian Vol. 18 No.1, 2015 : 24-30 Permintaan Gula Kristal Mentah Indonesia The Demand for Raw Sugar in Indonesia Rutte Indah Kurniasari 1, Dwidjono Hadi Darwanto 2, dan Sri Widodo 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA Eka Dewi Satriana, Ermi Tety, Ahmad Rifai Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau Email: satriana.eka@gmail.com, No. Handphone:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional.

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan tersebut atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu negara yang memiliki rasa ketergantungan dari negara lainnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dirasa tidaklah mencukupi, apabila hanya mengandalkan sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA. Staf Pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA. Staf Pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI GULA PASIR DI INDONESIA Ermi Tety 1, Ahmad Rifai 1, dan Eka Dewi Satriana 2 1 Staf Pengajar Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Riau 2 Mahasiswa Jurusan

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN BERAS DAN JAGUNG DI PROVINSI SUMATERA UTARA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN BERAS DAN JAGUNG DI PROVINSI SUMATERA UTARA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN BERAS DAN JAGUNG DI PROVINSI SUMATERA UTARA Wenny Mahdalena L.G*), Tavi Supriana**), Satia Negara Lubis**) *) Alumni Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK SUMATERA UTARA

DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK SUMATERA UTARA DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK SUMATERA UTARA ANNISA CHAIRINA, ISKANDARINI, EMALISA Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara e-mail : annisa_ca@ymail.com Abstrak

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014

JIIA, VOLUME 2, No. 1, JANUARI 2014 ANALISIS POSISI DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN IMPOR GULA KRISTAL PUTIH DAN GULA KRISTAL RAFINASI INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL (Analysis of the Position and Level of Dependency on Imported White Sugar

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

-z; DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR. FAE. Vol. 14 No.1, Juli 1996 PENDAHULUAN

-z; DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR. FAE. Vol. 14 No.1, Juli 1996 PENDAHULUAN DAYA SAING USAHATANI TEBU DI JAWA TIMUR A. Husni Malian dan Amiruddin Syam 1) ABSTRAK Propinsi Jawa Timur merupakan daerah penghasil gula terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir produksi gula

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah beras. Gula menjadi begitu penting bagi masyarakat yakni sebagai sumber kalori. Pada umumnya gula digunakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA 131 132 STABILISASI HARGA DAN PASOKAN PANGAN POKOK Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA 5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

HUBUNGAN IMPOR BERAS DENGAN HARGA DOMESTIK BERAS DAN PRODUKSI BERAS DI SUMATERA UTARA

HUBUNGAN IMPOR BERAS DENGAN HARGA DOMESTIK BERAS DAN PRODUKSI BERAS DI SUMATERA UTARA HUBUNGAN IMPOR BERAS DENGAN HARGA DOMESTIK BERAS DAN PRODUKSI BERAS DI SUMATERA UTARA MUHAMMAD AZHAR, TAVI SUPRIANA, DIANA CHALIL Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 28 Oktober 2013 1. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2 Ketersediaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 66 VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA 6.1. Keragaan Umum Hasil Estimasi Model Model ekonometrika perdagangan bawang merah dalam penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA. Muhammad Firdaus Dosen STIE Mandala Jember

ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA. Muhammad Firdaus Dosen STIE Mandala Jember ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA Muhammad Firdaus muhammadfirdaus2011@gmail.com Dosen STIE Mandala Jember Abstract This study aims: (1) To identify trends harvest area, production,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

II. TINJAUAN PUSTAKA Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. beras. Perkembangan dari hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia Kondisi permintaan dan penawaran beras di Indonesia dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan yang berkaitan dengan produksi, konsumsi,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa negara Indonesia adalah negara agraris yang harus melibatkan

Lebih terperinci

DWIYANlP HENDRAWATL Efisiensi Pengusahaan Gula Tebu di Lahan Sawah Dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (Dibawah biiigan RITA NJRMALINA SURYANA)

DWIYANlP HENDRAWATL Efisiensi Pengusahaan Gula Tebu di Lahan Sawah Dengan Analisis Biaya Sumberdaya Domestik (Dibawah biiigan RITA NJRMALINA SURYANA) EFISIENSI PENGUSA N GUEA TEBU DI DENGAN ANALISIS BIAYA SUIWBEmAYA DOMESTIK (Studi Kasus di Witayah Ke rja PG. Gempolkrep Kab. Mojokerto dan Wilayah Kerja PG. Meritjan Kab. Kediri, Propinsi Jawa Timur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi suatu negara, karena pangan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS FORECASTING KETERSEDIAAN PANGAN 2015 DALAM RANGKA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS FORECASTING KETERSEDIAAN PANGAN 2015 DALAM RANGKA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS FORECASTING KETERSEDIAAN PANGAN 2015 DALAM RANGKA PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA Selfia Reni Parange Sinaga 1, Satia Negara Lubis 2, Salmiah 3 1) Mahasiswa Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dari sebagian besar negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman pangan yang sampai saat ini dianggap sebagai komoditi terpenting dan strategis bagi perekonomian adalah padi, karena selain merupakan tanaman pokok bagi sebagian

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia 47 IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia Inflasi volatile food merupakan inflasi yang berasal dari sekelompok komoditas bahan pangan. Inflasi volatile food

Lebih terperinci

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA

MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Fokus MIMPI MANIS SWASEMBADA GULA Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Guru Besar Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Program Pascasarjana IPB Staf

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional.

Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Analisis Kebijakan 31 Politik Pangan, Upaya Dalam Membentuk Sistem Ketahanan Pangan Nasional. Pendahuluan Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu pemenuhan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

INFLASI DAN KENAIKAN HARGA BERAS Selasa, 01 Pebruari 2011

INFLASI DAN KENAIKAN HARGA BERAS Selasa, 01 Pebruari 2011 INFLASI DAN KENAIKAN HARGA BERAS Selasa, 01 Pebruari 2011 Sekretariat Negara Republik Indonesia Tahun 2010 telah terlewati dan memberi catatan inflasi diatas yang ditargetkan yakni mencapai 6,96%. Inflasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

KETERSEDIAAN BAHAN BAKU DAN TENAGA KERJA SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PRODUKSI GULA DI PG WONOLANGAN KABUPATEN PROBOLINGGO PENDAHULUAN

KETERSEDIAAN BAHAN BAKU DAN TENAGA KERJA SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PRODUKSI GULA DI PG WONOLANGAN KABUPATEN PROBOLINGGO PENDAHULUAN P R O S I D I N G 231 KETERSEDIAAN BAHAN BAKU DAN TENAGA KERJA SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PRODUKSI GULA DI PG WONOLANGAN KABUPATEN PROBOLINGGO 1) Putri Rizky Amelia 1) Program Pascasarjana, Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi hasil kesimpulan penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara study literatur yang data-datanya diperoleh dari buku, jurnal, arsip, maupun artikel

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. Kebutuhan kedelai meningkat seiring dengan meningkatkan permintaan untuk

Bab I. Pendahuluan. Kebutuhan kedelai meningkat seiring dengan meningkatkan permintaan untuk Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman pangan penting yang ditetapkan pemerintah sebagai komoditas pangan strategis disamping padi, jagung, daging dan susu. Kebutuhan kedelai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka dimana lalu lintas perekonomian internasional sangat penting dalam perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah kurun waktu tersebut,

Lebih terperinci

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Adreng Purwoto, Handewi P.S. Rachman, dan Sri Hastuti Suhartini. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. KORELASI HARGA DAN DERAJAT INTEGRASI SPASIAL ANTARA PASAR DUNIA DAN PASAR DOMESTIK UNTUK KOMODITAS PANGAN DALAM ERA LIBERALISASI PERDAGANGAN (Kasus Provinsi Sulawesi Selatan) Adreng Purwoto, Handewi P.S.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

Analisis Potensi Keragaan Produk Derivat Tebu (PDT) Pabrik Gula (PG) di Jawa Timur

Analisis Potensi Keragaan Produk Derivat Tebu (PDT) Pabrik Gula (PG) di Jawa Timur ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY Analisis Potensi Keragaan Produk Derivat Tebu (PDT) Pabrik Gula (PG) di Jawa Timur Ketua Peneliti : Ana Mufidah, S.E., M.M NIDN 0001028009 UNIVERSITAS JEMBER JUNI 2014 Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PANGAN

ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PANGAN ANALISIS TERHAAP KEBIJAKAN PEMERINTAH I BIANG PANGAN (AplikasiTeori Permintaan dan Penawaran Pangan) By : Suyatno, Ir. MKes Office : ept. of Public Health Nutrition, Faculty of Public Health iponegoro

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A

ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA. Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A ANALISIS DAMPAK IMPOR GULA TERHADAP HARGA GULA DOMESTIK DAN INDUSTRI GULA INDONESIA Oleh: AGUS TRI SURYA NAINGGOLAN A14302003 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA

DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA DINAMIKA DAN RISIKO KINERJA TEBU SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI GULA DI INDONESIA Illia Seldon Magfiroh, Ahmad Zainuddin, Rudi Wibowo Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Jember Abstrak

Lebih terperinci