BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN TERBATAS. A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN TERBATAS. A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas"

Transkripsi

1 38 BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN TERBATAS A. Pengertian dan Kedudukan Hukum Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati, karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan juga memberikan kemudahan bagi pemilik (pemegang saham) untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. Kata perseroan menunjuk kepada modal yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan kata terbatas menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya. Ketentuan perundang-undangan PT saat ini dapat dilihat pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 55 Undang-Undang PT mendefenisikan Perseroan Terbatas sebagai: Badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaanya Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 7 38

2 39 Dari batasan yang diberikan tersebut ada lima hal pokok yang dapat diketahui : 1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum 2. Didirikan berdasarkan perjanjian. 3. Menjalankan usaha tertentu 4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham. 5. Memenuhi persyaratan Undang-Undang. Menurut Pasal 7 ayat (1) UUPT, menyatakan bahwa, Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Ini mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian pendirian PT yang dilakukan oleh para pendiri ditulis dalam akta Notaris yang disebut dengan akta pendirian. Akta pendirian pada dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para pihak pendiri perseroan dalam mengelola dan menjalankan perseroan tersebut. Hak-hak dan kewajiban tersebut disebut dengan anggaran dasar perseroan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat 1 UUPT. Undang-undang Perseroan Terbatas mewajibkan pengesahan akta pendirian suatu PT disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, sebelum PT tersebut dapat memiliki status badan hukum, yang memiliki hak dan kewajiban dan harta kekayaan

3 40 tersendiri. 57 Saat pengesahan tersebut merupakan satu-satunya saat mulai berlakunya sifat kemandirian. Keberadaan status badan hukum baru diperoleh oleh perseroan apabila memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan pribadi para pendiri dan pemegang saham, maupun pengurusnya. Menurut Pasal 157 ayat (3) UUPT mengatakan bahwa, Perseroan yang telah berbadan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UUPT ini wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan UUPT. Dengan demikian secara teoritis, sejak diundangkan UUPT, para pemilik PT dianggap sudah tahu konsekuensinya apabila tidak disesuaikan dengan UUPT, PT tersebut dapat dibubarkan oleh pengadilan. Didalam Pasal 157 ayat (4) dikatakan, Perseroan yang tidak menyesuaikan anggaran dasar dalam jangka waktu yang ditentukan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Kalau suatu PT tidak menyesuaikan anggaran dasar dalam jangka waktu setahun, maka secara otomatis perseroan dinyatakan tidak mempunyai legalitas sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam UUPT. Unsur-unsur tersebut adalah : Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Rajawali Pers, Jakarta, hal M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 234

4 41 1. Organisasi yang teratur 2. Harta kekayaan sendiri 3. Melakukan hubungan hukum sendiri 4. Mempunyai tujuan sendiri Sesuai UUPT, status badan hukum diperoleh sejak akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman. Ini berarti secara prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas seluruh perikatan yang dibuat oleh dan atas nama perseroan dengan pihak ketiga, dan oleh karenanya tidak bertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh suatu perseroan. Para pemegang saham tersebut hanya bertanggung jawab atas penyetoran penuh dari nilai saham yang telah diambil bagian olehnya. Sedikit berbeda dengan ketentuan UUPT Tahun 1999, bahwa pada saat perseroan belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman, PT belum memiliki pemegang saham, yang dikenal hanyalah pendiri yang namanya tercantum dalam akta pendirian PT) yang diwajibkan untuk melakukan penyetoran atas modal yang telah dijanjiakan untuk melakukan penyetoran atas modal yang telah dijanjikan dalam akta pendirian perseroan dan pengurus perseroan. Sebelum PT memperoleh pengesahan dari Menteri, dalam perseroan sebenarnya terjadi suatu hubungan persekutuan dengan firma diantara para pendiri dan pengurus perseroan yang melakukan tindakan atau perbuatan hukum dengan pihak ketiga, untuk dan atas nama

5 42 perseroan. 59 Apabila PT telah mendapat pengesahan dari Menteri, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus dan atau pendiri PT sebagai tindakan dan perbutan hukum PT, dan karenanya akan mengikat PT sebagai suatu badan hukum. 60 Perseroan Terbatas sebagai subjek hukum yang telah berbadan hukum, mempunyai kekayaan terpisah dari kekayaan perseroannya yang juga dapat dinyatakan pailit. Dengan pernyataan pailit, organ badan hukum tersebut akan kehilangan hak untuk mengurus kekayaan badan hukum. Pengurusan harta kekayaan badan hukum yang dinyatakan pailit beralih kepada kurator. Selanjutnya dalam Pasal 113 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa apabila yang dinyatakan pailit suatu PT, koperasi dan badan hukum lainnya, maka pengurus yang mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabakan kepailitan tesebut. Sebagai badan hukum, pada prinsipnya PT dapat memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya mungkin dilaksanakan oleh orangperorangan. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya, maka PT telah mempunyai fungsi dan tugas masing-masing didalam organ PT yang berbeda satu dan yang lainya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebutan : Rapat umum pemegang saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. 59 Harianto Mustari, Pertanggung Jawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas, Mitra Ilmu, Surabaya, 2012, hal Ibid, 18

6 43 Apabila masing-masing organ dapat berperan baik, maka perseroan akan berjalan dengan baik, dan para pemegang saham PT akan terjamin kepentingannya dalam PT tersebut. 1. Rapat Umum Pemegang Saham Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan PT. RUPS memiliki segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan Komisaris PT. 61 RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala macam keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan kepentingan dan jalannya perseroan. 2. Direksi Direksi merupakan badan pengurus PT yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan suatu perusahaan, bertindak untuk dan atas nama PT, baik didalam maupun diluar pengadian. Direksi bertanggung jawab penuh atas kepengurusan dan jalannya PT untuk kepentingan dan tujuan PT. Direksi berkewajiban untuk mengelola jalannya suatu perusahaan dengan baik. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi jalannya pengelolaan perseroan Direksi, serta pada kesempatan-kesempatan tertentu turut membantu Direksi dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan Rapat umum peegang saham PT, berfungsi untuk 61 Robintan Sulaiman & Joko Prabowo, Lebih Jauh Tentang Kepailitan, Jakarta, 2000 Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, hal. 11

7 44 melaksanakan secara menyeluruh atas setiap pemenuhan kewajiban dari Direksi dan Komisaris PT atas aturan yang ditetapkan. 62 Keanggotaan Direksi dalam PT, diangkat melalui RUPS, untuk jangka waktu yang telah ditentukan dalam anggaran dasar, serta menurut tata cara yang ditentukan dalam anggaran dasar PT. untuk pertama kalinya sususnan keanggotaan direksi dicantumkan dalam Akta pendirian PT. Didalam menjalankan tugasnya Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi akan dianggap dan diperlukan sebagai tindakan dan perbuatan PT, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar PT. Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar PT, maka PT yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan PT yang dilakukannya diluar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran dasar, tidak diakui oleh PT, maka Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar PT. 3. Dewa Komisaris Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas komisaris meliputi dua pengertian, yaitu organ PT yang lazim dikenal dengan dewan komisaris dan anggota dewan komisaris. 62 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Dreksi Atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 9.

8 45 UUPT memberikan hak sepenuhnya kepada pendiri maupun pemegang saham PT untuk menentukan sendiri wewenang dan kewajiban komisaris dalam PT. Didalam UUPT menugaskan bahwa komisaris bertugas untuk mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan PT serta memberikan nasihat kepada Direksi PT. Pada komisaris diberikan menyetujui tindakan-tindakan tertentu kewenangan untuk menyetujui atau tidak yang akan dilakukan oleh Direksi PT, termasuk untuk menyetujui laporan tahunan yang akan disampaikan kepada pemegang saham untuk dibahas dalam RUPS tahunan PT. Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan PT. segala kesalahan dan kelalaian oleh Komisaris dalam melaksanakan tugasnya, mempunyai pertanggung jawaban secara pribadi dari komisaris bersangkutan kepada PT dan pemegang saham PT. B. Prosedur dan Persyaratan Permohonan Kepailitan Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. 63 Ini berarti bahwa sebelum adanya suatu keputusan pernyataan pailit oleh pengadilan, seorang debitur tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit. 63 Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang Melalui Pailit Atau Penundaan Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hal. 2

9 46 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyebutkan bahwa, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa, Kreditur adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Selanjutnya Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa, Debitur adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa, Debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, sedangkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa, Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawas hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. Dalam setiap proses kepailitan suatu PT, pihak kreditur merupakan salah satu pihak di samping pihak peruahaan tersebut sebagai pihak debitur. Pihak kreditur itu sendiri terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut :

10 47 1. Kreditur separatis. 2. Kreditur preferens yang bukan separatis. 3. Kreditur konkuren. 64 Dengan adanya pengumuman putusan pailit tersebut, maka berlakulah ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan tersebut jelas syarat dinyatakan pailit diantaranya debitur telah berhenti membayar utangutangnya. Pengertian telah berhenti menunjukan bahwa keadaan tidak mampu membayar diprediksi yang bersangkutan memang tidak memiliki dana atau tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, sedangkan tidak mau membayar kemungkinan dana yang bersangkutan sebenarnya ada atau cukup untuk melakukan kewajibannya, hanya debitur kemungkinan mempunyai pertimbangan tertentu sehingga tidak melakukan pembayaran. 65 Oleh karena itu kemungkinan terjadi asset PT sebenarnya melebihi dari cukup, mungkin juga berlimpah tetapi berhenti membayar utangnya, sehingga dinyatakan dalam keadaan pailit dengan putusan pengadilan. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada Pengadilan Niaga mana permohonan itu harus dialamatkan dan meliputi tempat kedudukan hukum terakhir 64 Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal Munir Fuady, Perseroan Terbatas, Paradigma Baru, Jakarta, 2003, hal. 216

11 48 Debitur. Dalam hal debitur adalah PT, maka yang harus mengajukan permohonan pailit adalah direksi perusahaan tersebut, namun harus berdasarkan keputusan RUPS. Debitur yang dimohonkan kepailitan harus memiliki persyaratan. Pasal 1 Faillissement verordening (Fv.) sebelum dirubah menyebutkan syarat, bahwa debitur dalam keadaan telah berhenti membayar hutang-hutangnya, sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktunya dan dapat ditagih. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa tidak ada dasar hukum dalam peraturan hukum kepailitan untuk menolak pemohon pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditur separatis terhadap debitur semata-mata karena ia adalah kreditur separatis. Permohonan kepailitan dapat dilakukan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau 2 krediturnya, dan harus diajukan oleh seseorang penasihat hukum yang memiliki ijin praktek. 66 Permohonan pailit dapat diajukan kepengadilan, dengan mendaftarkan permohonan melalui panitera pengadilan. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Pengadilan mempelajari permohonan tersebut dan paling lambat 2 x 24 jam atau 2 (dua) hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, harus telah menetapkan hari persidangan. 66 Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 118

12 49 Sidang pemeriksaan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasar alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Pemeriksaan permohonan kepailitan dilakukan dalam sidang tertutup. Pada saat proses pemeriksaan berlangsung, atau selama putusan atas permohonan pailit, sebelum ditetapkan, maka setiap kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk : 1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau 2. Menunjuk kurator sementara untuk : a. Mengawasi pengelolaan usaha debitur b. Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator. 67 Permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan debitur, jika persyaratan kepailitan tersebut telah terpenuhi yaitu : 1. Debitur Tersebut Mempunyai Dua Atau Lebih Kreditur Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua atau lebih. Keharusan dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang 67 Raharyu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2008, hal. 39

13 50 Kepailitan merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132 KUH Perdata. Alasan mengapa seseorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditur adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para kreditur. Kreditur berhak dalam perkara ini atas semua asset debitur (PT). Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan yang dinyatakan pailit menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur (PT) tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. Walaupun banyak tagihannya, bukan pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitur yang harus ditempuh, tetapi gugatan biasa, dengan atau tanpa sitaan serta eksekusi biasa yang spesifik terhadap debitur. 68 Jadi yang dititik beratkan dalam kepailitan bukan berapa banyak piutang/tagihan yang dipunyai satu kreditur terhadap satu Debitur, tetapi berapa banyak jumlah kreditur dari debitur yang bersangkutan. Ketentuan mengenai adanya syarat dua kreditur atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit, maka terhadap definisi mengenai kreditur harus diketahui terlebih dahulu. Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak memberikan defenisi yang jelas mengenai kreditur. Pengertian kreditur dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yaitu yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur 68 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta 2007, hal 5

14 51 separatis dan kreditur preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. 69 Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditur separatis dan kreditur peferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utang debitur pailit. 2. Harus Ada Utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. Undang-Undang Kepailitan tidak menentukan apa yang dimaksud dengan utang. Dengan demikian, para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pailit dapat berselisih mengenai ada atau tidak adanya utang. Pada umumnya Undang-undang Kepailitan atau bankruptcy law yang berkaitan dengan utang debitur (debt) atau piutang atau tagihan kreditur (claims). Seorang kreditur mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlukan pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan. Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan 69 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti ndang-undang Nomor 1 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 23

15 52 PKPU menentukan, Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut. Menurut Pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata menyatakan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung ataupun yang akan timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. 70 Tujuan dari pada Undang-Undang Kepailitan adalah untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif.undang- Undang Kepailitan telah mengatur tata cara pengurusan tagihan, tetapi dalam praktek banyak ditemui berbagai kesulitan. Syarat lain untuk mengajukan perkara kepailitan adalah adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang belum dibayar lunas serta memiliki kekurangan-kekurangan dua kreditur. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh perjanjiannya untuk dapat ditagih. Menyadari telah timbulnya kesimpang siuran mengenai pengertian utang karena tidak diberikannya defenisi atau pengertian 70 Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hal. 73.

16 53 mengenai apa yang dimaksud dengan utang. Menurut Perpu No 1 Tahun 1998, UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang (Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU) telah memberikan defenisi atau pengertian mengenai utang sesuai dengan Pasal 1 angka Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang- Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesia mengikuti setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Didalam Faillissement sverordening tidak diatur tentang pengertian utang. Tetapi penjelasan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU hanya menyebutkan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, adalah utang pokok atau bunganya. Berdasarkan pengertian utang, permohonan pernyataan kepailitan dikabulkan apabila debitur mempunyai dua kreditur dan tidak membayar membayar lunas sedikitnya satu utang yang teah jatuh waktu dan dapat 71 Parwoto Wignjo Sumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hal. 168

17 54 ditagih. Dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih krediturnya. Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur sebagai berikut: 1. Utang tersebut telah jatuh tempo 2. Utang tersebut dapat ditagih 3. Utang tersebut tidak dibayar Dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan atau terdapat hal-hal lain di mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum jatuh tempo dapat ditagih dengan menggunakan acceleration clause atau accelaration provision. Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Sedangkan maksud dari ditegaskannya bahwa utang dalam kepailitan merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi akal-akalan dari debitur yakni debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini berangkat dari pengalaman pelaksanaan peraturan kepailitan lama yakni dalam faillessement verordening (fv), dimana dalam fv mensyaratkan bahwa debitur telah

18 55 berhenti membayar utang dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya sebagian dan masih jauh kata lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah berhenti membayar. Dalam acara proses kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Walaupun telah ada kepastian penafsiran utang dalam revisi Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dimana utang didefenisikan dalam arti luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang hanya bertujuan untuk mempermudah mempailitkan subjek hukum dimana syarat kepailitan hanyan memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep utang dalam arti luas tersebut, dan kelemahan UU ini sering disalah gunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi asset debitur akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang. 3.Utang Yang Jatuh Tempo Dan Dapat Ditagih Suatu utang telah jatuh tempo dan harus dibayar jika utang tersebut telah jatuh tempo atau sudah waktunya untuk dibayar. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan suatu utang harus dibayar. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang

19 56 debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan yaitu : 1. Terdapatnya minimal 2 (dua) kreditur 2. Debitur tidak mampu membayar utang 3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih Syarat yang ada pada poin ketiga, menunjukan bahwa adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut deditur untuk memenuhi prestasinya. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang dengan sendirinya menjadi utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penagihan disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak Kreditur bahwa pihak Kreditur ingin supaya Debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Menurut Jono, hak ini menunjukan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh tempo yaitu utang yang dengan

20 57 sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. 72 Pengertian jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan sudah lewat waktu atau kadaluarsa. Pengaturan suau utang jatuh tempo dan dapat ditagih dan juga wanprestasi dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang yang diatur didalam perjanjian. Ketika terjadi jatuh tempo utang telah diatur pembayarannya, maka pembayaran utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian. Dalam praktek pengadilan niaga muncul beberapa kriteria debitur tidak membayar utangnya antara lain : b. Ketika debitur tidak membayar utangnya karena berhenti membayar utangnya. c. Debitur tidak membayar utangnya ketika debitur tidak membayar seketika dan sekaligus lunas kepada para krediturnya. d. Debitur membayar utang ketika debitur berhenti melakukan pembayaran tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diperjanjikan. e. Debitur tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap perjanjian awal yang telah dilakukan amandemen M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prisip Norma Dan Praktek Di Pengadilan. Surabaya 2007, hal Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal. 71

21 58 Menurut ketentuan Pasal 138 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kreditur yang piutangnya dijaminkan dengan hak tanggungan, gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutangnya tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan barang agunan, dapat meminta hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutangnya tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas barang yang menjadi agunan piutangnya. C. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas Akibat yang terpenting dari pernyataan pailit adalah bahwa organ PT demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta kekayaannya, begitu pula hak untuk mengurusnya. Ia tidak boleh lagi melakukan kepengurusan PT dengan sekehendaknya sendiri dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan itikad buruk untuk merugikan para Kreditur, ia dapat dituntut pidana. Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa PT hanya kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya dan haknya untuk mengurusnya, tidak kehilangan hak-hak dan kecakapannya untuk mengadakan persetujuan-persetujuan, namun demikian perbuatan-perbuatannya tidak mempunyai akibat hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam kepailitan. Apabila PT melanggar ketentuan tersebut, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan yang bersangkutan mendatangkan keuntungan bagi budel pailit. Sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh

22 59 Pengadilan Niaga, pengurusan dan pemberesan budel pailit ditugaskan kepada kurator. 1. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Harta Kekayaan PT Jika suatu perusahaan sebagai kreditur mempailitkan perusahaan atau ikut sebagai kreditur dalam suatu kepailitan debiturnya, maka oleh hukum hal ini dianggap hanya sebagai salah satu cara menagih hutang dari debiturnya. Sehingga tidak banyak berpengaruh dari segi hukum kepada kreditur yang nota bene suatu perusahaan terbuka. 74 Akan tetapi jika yang dipailitkan suatu perusahaan terbuka, maka beberapa akibat hukum yang akan terjadi adalah ssebagai berikut: 1. Terkena kewajiban pelaporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada publik tentang adanya permohonan pailit tersebut. 2. Sebelum pelaporan dilakukan, pihak yang mengetahui adanya informasi tentang kepailitan terkena peraturan-peraturan ketentuan tentang insider trading 3. Terkena ketentuan tentantang suspensi dan delisting dari bursa efek dimana saham diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan bursa yang bersangkutan. Kepailitan mengakibatkan seluruh benda berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan kecuali : a. Benda yang sehubungan dengan pekerjaan, perlengkapan di dalam PT yang digunakan. 74 Munir Fuady, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 90

23 60 b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannnya sendiri sebagai penggajian dari sesuatu jasa, gaji ataupun dana pensiun, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas. c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut UU. Didalam Pasal 1 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka berarti perseroan berkedudukan sebagai subyek hukum yang mampu mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya. Sebagaimana ditetapkan Pasal 21 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, kepailitan meliputi seluruh kekayaan PT pada saat putusan pailit ditetapkan dan juga mencakup semua kekayaan yang diperoleh PT selama berlangsungnya kepailitan. Dari konsekuensi Pasal tersebut maka setiap dan seluruh peserikatan antara debitur (PT) yang dinyatakan pailit oleh pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karena itu maka gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit. Dalam hal debitur pailit hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Apabila pencocokan tidak

24 61 disetujui, maka pihak yang tidak setuju pencocokan tersebut dapat mengambil alih kedudukan debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung ersebut. Meskipun gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dari pencocokan tersebut, namun hal itu sudah cukup dapat dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mecegah berlakunya daluwarsa atas hak dalam gugatan tersebut. Pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta PT yang sudah pailit (Pasal 25 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan kepada kurator. Maka apabila tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap PT pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Perseroan Terbatas yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta pailit.hal ini menunjukan bahwa debitur tidaklah dibawah pengampuan dan tidak kehilangan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut perusahaan dan pengalihan harta benda yang telah ada. 2. Akibat Hukum Putusan Pailit Terhadap Kepengurusan PT Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik

25 62 sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Ada beberapa perbedaan PT yang sudah pailit dalam melaksanakan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan PT tidak dalam keadaan pailit, yakni organ-organ pengurus dalam melakukan kegiatan untuk dan atas nama PT adalah kurator. 75 Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurusan PT tersebut. Namun demikian tidak menutup kemungkinan kurator masih tetap memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan PT selama masih dalam kepailitan. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dengan pailitnya PT, maka kewenangan Direksi saja yang beralih kepada kurator. Proposisi ini misalnya kewenangan kurator untuk Melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa persetujuan komisaris. Hal ini berarti didalam kewenangan kurator tercakup semua kewenangan organ PT. Dengan beralihnya kewenangan dari direksi kepada kurator untuk mengelola perseroan maka konsekuensi dari hal itu adalah bahwa kurator adalah juga bertindak sebagai direksi sehingga tugas dan kewajiban serta tanggung jawab direksi perseroan menjadi tugas dan tanggung jawab kurator. 76 Setelah kurator menentukan pilihannya di dalam memaksimalkan nilai harta pailit, baik dengan cara menjualnya maupun dengan cara melanjutkan usaha debitur pailit, maka hal yang selanjutnya dilakukan adalah pembagian aset. 75 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Rajawali Pers, Jakarta, hal Agus Budiarto, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 6

26 63 Pada prinsipnya, aset baru akan dibagi-bagi kepada kreditur setelah seluruh aset debitur terjual dan menjadi cash, yaitu apabila cash (uang tunai) sudah cukup tersedia untuk membayar utang-utangnya. Undang-Undang Kepailitan menetukan bahwa setelah melakukan pencocokan utang, maka dibayarkan jumah utang mereka atau segera setelah daftar pembagian penutup memperoleh hukum tetap, maka berakhirlah kepailitan. Badan hukum itu bukan makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum tidak mempunyai daya pikir dan kehendak. Oleh karena itu PT tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. PT harus bertindak dengan perantaraan orang-orang biasa, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan atas pertanggungan gugat badan hukum. 77 Pertanggung jawaban PT merupakan pertanggung jawaban secara timbal balik, maka yang dijatuhi putusan kepailitan adalah perseroannya, bukan pengurusnya, sepanjang direksi atau pegawai lainnya bertindak atas pertanggungan secara badan hukum. Menurut Pasal 90 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan, dalam hal kepailitan PT terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi, 78 dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. 77 Ali Rido, Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan Wakap, Alumni, Bandung, 2010, hal Ibid, hal. 35

27 64 Dalam hal kepailitan terhadap Perseroan Terbatas yang menjadi permasalahan yang esensial adalah apakah Perseroan Terbatas tersebut tetap dapat beroperasi atau demi hukum akan bubar. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit dibacakan tergantung pada cara pandang kurator terhadap prospek usaha perseroan pada waktu yang akan datang. Hal ini dimungkinkan karena berdasar ketentuan di dalam Pasal 104 Undang- Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Berdasarkan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis membuat perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut karena kepailitan PT menurut hukum Indonesia tidak menyebabkan terhentinya operasional PT. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan untuk menghentikan beroperasinya PT dalam permohonan seorang Kreditur. Setelah perseroan tersebut dihentikan, maka Kurator mulai menjual aktiva boedel pailit tanpa memerlukan bantuan/persetujuan PT yang pailit. Akan tetapi Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak sehingga demi hukum harga pailit berada dalam keadaan insolvensi. Dengan demikian eksistensi PT yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likuidasi tersebut. Eksistensi yuridis dari PT yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi

28 65 badan hukummnya. Dengan dinyatakan pailit tidak mutatis mutandis badan hukum PT menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai roposisi ini setidaknya ada dua landasan, yang pertama kepailitan terhadap PT tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan PT. kedua adalah proses kepailitan PT, maka PT tersebut masih dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada. Didalam PT yang dalam status insolvensi masih eksis badan hukumnya, hanya saja PT dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya menjalankan dalam penyelesaian tugas-tugasnya dalam rangka proses pemberesan dan likuidasi tersebut dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugasnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 119 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa dalam hal perseroan bubar, maka PT tidak dapat melakukan melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan dalam proses insolvensi. Kepailitan Perseroan Terbatas (PT) sebagai suatu lembaga apabila terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Direksi bertanggung jawab yang sesuai dengan Pasal 92 UUPT. Adapun kewenangan Direksi PT demi hukum berakhir dengan dipailitkannnya PT tersebut, dimana kewenangan direksi beralih kepada kurator sepanjang kewenangan direksi berkaitan dengan kepengurusan dan perbuatan pemilikan harta kekayaan PT yang pailit. Mengenai peran direksi dalam PT pailit,

29 66 Fred B.G Tumbuan mengatakan bahwa dalam mencermati tugas antara direksi PT pailit mempunyai tugas mengusahkan tercapainnya maksud dan tujuan PT pailit. Kriteria tanggung jawab direksi : a. Tanggung jawab itu hanya timbul jika perusahaan itu melalui prosedur kepailitan; b. Harus ada kesalahan/kelalaian; c. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika nanti ternyata aset perusahaan yang diambil itu tidak cukup; d. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang direktur yang bersalah, direktur lain dianggap turut bertanggung jawab; e. Presumsi bersalah dengan beban pembuktian terbalik. Jadi Jadi dalam hal badan usaha yang berbentuk badan hukum sebagai pelaku usaha jatuh pailit, maka seluruh kekayaan badan usaha tersebut yang menjadi tanggungan utang-utangnya. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa kepailitan tersebut akibat kesalahan atau kelalaian direksi, maka secara tanggung renteng setiap anggota direksi ikut bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian badan usaha jika nanti aset perusahaan tidak cukup untuk membayar tagihan-tagihan Kreditur. Rapat Umum Pemegang Saham mempunyai kekuasaan tertinggi dalam perseroan yang diserahkan kepada direksi dan komisaris dalam menjalankan tugasnya dan wewenangnya. Meskipun dikatakan sebagai organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi, tidak berarti ia lebih tinggi dari organ lainnya. Untuk bisa mengukur tanggung jawab dari pemegang saham, harus dilihat apa kewenangan yang

30 67 dimiliki oleh pemegang saham. UUPT memberikan wewenang kepada pemegang saham menggunakan konsep residu (teori sisa) yakni bahwa wewenang pemegang saham adalah RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris dalam batasan UU dan anggaran dasar. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai tanggung jawab : a. Pemegang saham hanya bertanggung jawab pada saham yang dimiliki dan tidak bertanggung jawab terhadap secara pribadi. b. Pemegang saham akan dituntut bila, karena itikad buruk baik langsug maupun tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi. c. Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum oleh perseroan. d. Pemegang saham baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan tidak cukup untuk melawan hutang perseroan. Organ PT yang cukup penting lainnya adalah komisaris. UUPT menentukan keberadaan komisaris merupakan keharusan dalam sebuah PT tersebut. Berbeda dengan ketentuan sebelum UUPT, yakni dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang tidak mengharuskan adanya lembaga komisaris ini, walaupun dalam prakteknya kebanyakan PT yang didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHD tersebut pada waktu itu terdapat lembaga komisaris. Lembaga komisaris menurut UUPT merupakan lembaga PT yang independen dari pengaruh kepentingan pemegang saham. Komisaris bertugas demi kepentingan PT itu sendiri. Hal ini berbeda dengan konsep yang lama yang terdapat dalam KUHD dimana komisaris adalah mewakili kepentingan pemegang saham. Didalam Pasal 98

31 68 ayat (1) UUPT secara tegas menyebutkan bahwa komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan untuk kepentingan usaha PT. Fungsi komisaris sebagaimana diatur dalam UUPT mempunyai tugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan PT serta memberikan nasihat kepada direksi. Dalam anggaran dasar PT juga sering menyatakan hal yang sama mengenai tugas komisaris. UUPT tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara melaksanakan pengawasan tersebut. Didalam keputusan dikatakan bahwa pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh atasan untuk melakukan penilaian terhadap hasil pekerjaan bawahan yang harus seuai dengan yang ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi sutu penyimpangan, perlu dilakukan tindakan untuk memperbaikinya. Penilaian terhadap bawahan hanya dapat dilakukan apabila tersedia informasi yang diperlukan. Yang jelas selama komisaris bertindak sebagaimana layaknya direksi PT, maka seluruh hubungan hukum direksi perseroan berlaku juga bagi diri komisaris tersebut, termasuk pula pertanggung jawaban secara pribadi Akibat Hukum Putusan Pailit perseroan terbatas (PT) Terhadap Pihak Ketiga Kepailitan mempunyai peranan untuk menyelesaikan bermacam-macam tagihan yang diajukan oleh kreditur yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda. Proses kepailitan mempunyai sasaran utama untuk mengatur 79 Moenaf. H. Regar, Dewan Komisaris Peranannya Sebagai Organ Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 64

32 69 pertentangan-pertentangan yang saling berkaitan diantara kelompok yang berbeda yang masing-masing mempunyai klaim atas asset-aset dan penghasilan debitur pailit. Sehingga upaya penyelesaian kewajiban pembayaran utang, hukum kepailitan dianggap sebagai ketentuan yang lebih mengutamakan kepentingan kreditur. Bagi para kreditur yang tidak memegang jaminan, adanya kepailitan dapat memberikan manfaat berupa pengurangan biaya bagi para kreditur pada umumnya dalam mengajukan tagihan kepada debitur. Penagihan secara kolektif diharapkan dapat mengurangi biaya yang mungkin timbul seandainya penagihan diadakan secara individu oleh masing-masing kreditur. Kreditur preferen juga dapat merasakan manfaat yang timbul dari kepailitan. Bagi kreditur preferen, kepailitan dapat meningkatkan pengumpulan asset debitur pailit. Disamping itu kepailitan juga mempunyai dampak menguntungkan bagi kreditur terutama bagi kreditur lain yang mempunyai tagihan besar khususnya kreditur konkuren, mempunyai kekhawatiran bahwa dengan adanya kepailitan maka utang debitur pada mereka tidak dapat ditagih karena asset debitur tidak seimbang dengan jumlahnya. Berbeda dengan perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pailit, dimana kurator pailit, maka yang wajib membuktikannya adalah kurator. Adapun akibat-akibat hukum dari putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur maupun harta kekayaan kreditur adalah sebagai berikut : Putusan Pailit Dapat Dijalankan Terlebih Dahulu 80 M. Hadi Subhan, Op.Cit

33 70 Putusan pengadilan merupakan serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan pailit dan dilakukan suatu upaya hukum lebih lanjut. Apabila putusan paiit dibatalkan sebagai akibat adanya upaya hukum tersebut, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan, maka tetap ah dan mengikat bagi debitur. 2. Sitaan Umum Harta kekayaan debitur yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum (public attachement, gerechtelijk beslag) beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. Dalam Pasal 21 UUK-PKPU dijelaskan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sita umum terhadap harta kepailitan tidak memerlukan suatu tindakan khusus untuk melakukan sitaan tersebut. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari segala transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator. Dalam sitaan hukum perdata yang secara khusus dilakukan dengan suatu tindakan hukum tertentu. Dengan demikian sitaan umum terhadap harta pailit adalah terjadi demi hukum. 3. Kehilangan Wewenang Dalam Harta Pailit Debitur pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan perbuatan kepemiikan terhadap harta kekayaan yang termasuk dalam pailit. Kehilangan hak bebasnya tersebut hanya terbatas pada harta kekayaan dan tidak

34 71 terhadap status pribadinya. Debitur yang dalam status pailit, tidak hilang hak-hak keperdataannya serta hak-hak selaku warga negara seperti hak politik dan hak privat lainnya. 4. Perikatan Setelah Pailit Segala perikatan debitur yang telah mendapatkan putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Apabila dilanggar oleh yang pailit, maka perbuatan tidak mengikat kekayaannya tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan terhadap harta pailit. Ketentuan ini sering sekali diselundupi dengan membuat perikatan yang diantedateer (ditanggali mundur ke belakang) dan bahkan sering terjadi adanya kreditur fiktif untuk kepentingan si debitur pailit. 5. Penetapan Putusan Pengadilan Sebelumnya Pernyataan pailit juga berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus diberhentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk juga dengan menyandera debitur. Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Akibat putusan pailit ini merupakan konsekuensi dari adanya akibat sitaan umum. Dengan adanya sitaan umum tersebut maka segala sesuatu yang berhubungan dengan harta kekayaan/harta pailit harus dihentikan sementara demi hukum dari semua transaksi yang ada.

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.

BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 26 BAB II AKIBAT HUKUM DARI KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas (PT) merupakan bentuk usaha yang paling diminati, karena pertanggung jawaban yang bersifat terbatas, perseroan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996

DAFTAR PUSTAKA. Amirin, Tatang M., Pokok-pokok Teori Sistem, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1996 137 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Adjie, Habib, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008 Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup memberikan dampak yang negatif terhadap keadaan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut,

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN Oleh: Adem Panggabean A. PENDAHULUAN Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar hutang-hutangnya kepada

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terbadap kehidupan ekonomi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Kedudukan Direksi Sebagai Pengurus dalam PT Pengaturan mengenai direksi diatur dalam Bab VII dari Pasal 92 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Tumbuh dan berkembangnya perekonomian dan minat pelaku usaha atau pemilik modal menjalankan usahanya di Indonesia dengan memilih bentuk badan usaha

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi syarat syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Krisis moneter pada tahun 1997 di Indonesia membuat utang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia Oleh : Lili Naili Hidayah 1 Abstrak Pada Undang undang Kepailitan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR. Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan perundang-undangan yang BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH DEBITUR A. Syarat dan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh Debitur Sebelum keluarnya UUK dan PKPU, peraturan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2 TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT TERHADAP PIHAK KETIGA 1 Oleh : Ardy Billy Lumowa 2 ABSTRAK Kegiatan usaha perusahaan merupakan kegiatan yang sah menurut hukum, bukan kegiatan yang melanggar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. 103 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung. Abdurrachman,1982, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, Pradnya

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. BAB III PEMBAHASAN A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan. Semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BADAN-BADAN USAHA. PT sudah definitif

BADAN-BADAN USAHA. PT sudah definitif BADAN-BADAN USAHA Dalam menjalankan bisnisnya, telah banyak dikenal berbagai macam bentuk badan usaha yang memberi wadah bisnis para pelakunya. Bentuk badan usaha tersebut makin lama semakin berkembang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS

BAB II TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS 19 BAB II TINJAUAN UMUM PERSEROAN TERBATAS A. Pengertian Perseroan Terbatas Kata Perseroan dalam pengertian umum adalah Perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu

Lebih terperinci

BAB II PERALIHAN HAK ATAS SAHAM PADA PERSEROAN TERBATAS. diikuti dengan adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan kewenangan

BAB II PERALIHAN HAK ATAS SAHAM PADA PERSEROAN TERBATAS. diikuti dengan adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan kewenangan BAB II PERALIHAN HAK ATAS SAHAM PADA PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan terbatas sebagai Badan Hukum Manusia, dalam dunia hukum adalah subjek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Keterbatasan finansial atau kesulitan keuangan merupakan hal yang dapat dialami oleh siapa saja, baik orang perorangan maupun badan hukum. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya Lahirnya Undang-Undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan salah satu instrumen dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT Pernyataan pailit mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.

PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA. Fenty Riska I 1 PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No.05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG) FENTY RISKA ABSTRACT Bankruptcy is a public confiscation

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. A. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. A. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ketentuan PKPU yang berlaku di Indonesia masih menjadi satu dengan Undang-Undang Kepailitan,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Pengajuan Kepailitan Perusahaan Sekuritas dalam Putusan Nomor: 08/Pdt.Sus.PAILIT/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT A. Pengertian Perseroan Terbatas Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan berasal dari kata Sero", yang mempunyai arti Saham.

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU.

II. Tinjauan Pustaka. 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan. PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. II. Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Terhadap Permohonan PKPU 1. PKPU sebagai upaya untuk menghindari kepailitan PKPU diatur dalam Bab II dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 298 UUK PKPU. Lembaga PKPU

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban

Lebih terperinci

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer I. Pengantar Dalam perekonomian Indonesia, badan usaha terbanyak adalah badan usaha berbentuk

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan Pasal 1 angka 1 UUPT, elemen pokok yang melahirkan suatu Perseroan sebagai badan hukum,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI Pada kasus hukum kepailitan, setiap debitor yang dinyatakan pailit akan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era modern ini Indonesia harus menghadapi tuntutan yang mensyaratkan beberapa regulasi dalam bidang ekonomi. tidak terkecuali mengenai perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditor, maka telah disiapkan suatu pintu darurat untuk menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Utang-piutang 1. Pengertian utang Pengertian utang pada dasarnya dapat diartikan secara luas maupun secara sempit. Pengertian utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang

Lebih terperinci

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili RH DIREKSI Direksi diatur secara khusus dalam Bagian Pertama Bab VII Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu mulai pasal 92 sampai dengan pasal 107 Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUPT Direksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang diselenggarakan

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci