BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari kegemukan atau obesitas. Pada tahun , 32,9% orang dewasa berusia tahun mengalami obesitas dan lebih dari 17% remaja usia tahun mengalami kelebihan berat badan atau overweight (Ogden et al., 2007). Berdasarkan Global Health Observatory Data (2015), pada tahun 2008 terdapat 35% orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan kelebihan berat badan atau overweight yang terdiri dari 34% pria dan 35% wanita. Pada tahun 2008, 10% pria dan 14% wanita di dunia mengalami obesitas, lebih tinggi dari tahun 1980 yang hanya 5% pria dan 8% wanita di dunia yang mengalami obesitas. Diperkirakan 205 juta pria dan 297 juta wanita di atas usia 20 tahun mengalami obesitas. Di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Balitbangkes Depkes RI (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa dengan skor IMT kategori underweight sebesar 8,7%, overweight sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%. Prevalensi penduduk pria dewasa dengan kategori obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan tahun 2010 hanya 7,8%. Sementara, prevalensi obesitas wanita dewasa (>18 tahun) 32,9%. Jumlah ini meningkat 18,1% dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan 17,5% dari tahun

2 9 yang hanya 15,5%. Data ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas wanita dewasa lebih tinggi daripada penduduk laki-laki. 2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT) Definisi IMT IMT merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi badan seseorang. Formula IMT digunakan di seluruh dunia sebagai alat diagnosis untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal, overweight dan obesitas (Theresia, 2012). Menurut WHO (2004), IMT adalah indeks sederhana untuk berat badan dan tinggi badan yang biasa digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m 2 ). IMT tidak dapat mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer- Strawn, 2009) Klasifikasi IMT IMT diklasifikasikan menjadi underweight, normal, overweight dan obesitas (Lailani, 2013). Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi IMT. Tabel 2.1 Klasifikasi IMT dalam Riskesdas (Balitbangkes Depkes RI, 2013)

3 10 Kategori kurus IMT < 18,5 Kategori normal IMT 18,5 - < 24,9 Kategori BB lebih IMT 25,0 - < 27,0 Kategori obesitas IMT 27,0 Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut WHO (WHO, 2004) Klasifikasi Nilai Obesitas >30.00 Overweight (kelebihan berat badan / gemuk) Normal Kurus < 18.5 Tabel 2.3 Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik (Manik, 2011) Klasifikasi IMT Underweight < 18,5 Normal Overweight 23, Obesitas > 25, Cara Pengukuran IMT Dalam menentukan kriteria proporsi tubuh seseorang, IMT merupakan parameter yang paling banyak dipakai karena apabila dibandingkan dengan tabel tradisional yang membandingkan langsung tinggi badan/berat badan,

4 11 pengukuran dengan IMT berkorelasi kuat dengan jumlah lemak total dalam tubuh manusia yang menggambarkan berat seseorang. Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2010), untuk menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara sampel diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini: Berat badan (Kg) IMT = [Tinggi badan (m)] 2 Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel klasifikasi IMT (Manik, 2011) Overweight dan obesitas 1. Overweight Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai faktor, baik yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau yang mendorong pemakaian energi (Meutia, 2005). Pemakaian energi tubuh diatur dalam keadaan seimbang. Bila energi yang masuk lebih besar dari energi yang keluar, kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam jaringan lemak. Overweight didefinisikan sebagai peningkatan berlebihan jaringan lemak pada otot dan jaringan skeletal (Dorland, 2002). Secara ilmiah overweight terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari

5 12 yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara asupan dan pembakaran kalori ini belum dapat dijelaskan secara pasti. Overweight adalah keadaan yang hampir mendekati obesitas, seseorang dapat dinyatakan overweight apabila orang tersebut memiliki IMT 23. Selain itu, kondisi overweight juga lazim disebut dengan kondisi pre-obese (WHO, 2010). 2. Obesitas Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas didefinisikan sebagai keadaan di mana adanya peningkatan yang sangat berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi kebanyakan masyarakat. Namun, konsep ini tidak begitu relevan karena konsep obesitas tidak bisa diambil akibat peningkatan berat badan sematamata melainkan adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Uwaifo, 2010). Obesitas tidak hanya dianggap masalah di negara berpenghasilan tinggi, tetapi sekarang jumlah penderita obesitas dan kegemukan semakin meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah khususnya di perkotaan (WHO, 2010) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Overweight dan Obesitas

6 13 Penambahan berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh. Jika makanan yang dikonsumsi memiliki kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori tersebut akan disimpan sebagai lemak. Pada awalnya, hanya ukuran sel-sel lemak yang akan meningkat. Tetapi apabila ukuran sel-sel tersebut tidak bisa lagi mengalami peningkatan, maka jumlah sel akan bertambah banyak. Apabila tubuh mengalami pengurangan berat badan, yang akan berkurang hanyalah ukuran sel-sel lemak, bukan jumlahnya yang berkurang mengakibatkan lemak akan mudah terbentuk kembali. Terdapat banyak penyebab obesitas. Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi bagi tiap individu. Adapun faktor-faktor lain yang turut berkontribusi adalah genetik, emosional, lingkungan, jenis kelamin, usia, dan kehamilan. (Galletta, 2005). 1. Faktor genetik Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu juga akan mengalami obesitas (Galletta, 2005). 2. Faktor emosional Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada

7 14 orang normal yang lain. Tetapi bukan berarti bahwa perasaan seseorang mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada dewasa putri (Galletta, 2005). 3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Galletta, 2005). 4. Faktor jenis kelamin Rata-rata pria mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita. Pria menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, wanita lebih mudah bertambah berat badan berbanding pria dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2005). 5. Faktor usia Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Galletta, 2005). 6. Kehamilan

8 15 Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4 6 kilogram setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin akan menyebabkan obesitas pada wanita (Galletta, 2005). 2.3 Anatomi Biomeknik Pergelangan Kaki yang Terlibat dalam Gerakan Eversi Calcaneus Anatomi Regio pergelangan kaki berperan penting dalam aktivitas berjalan dan berlari terutama berperan dalam menumpu berat tubuh saat berdiri dengan pengeluaran energi otot yang minimum. Kaki juga berperan sebagai level struktural yang kaku pada gerakan tubuh ke depan saat berjalan ataupun berlari. Selain itu, kaki juga berperan sebagai adaptor saat kontak dengan permukaan yang tidak rata serta sebagai shock absorber terhadap tekanan yang dihasilkan saat kontak dengan permukaan tanah. Kaki dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian belakang kaki atau forefoot, yang terdiri dari talus dan calcaneus; bagian tengah kaki atau midfoot, yang terdiri dari navicular, cuneiforms, dan cuboid; dan bagian depan kaki, yang terdiri dari metatarsal dan falang. Berikut ini adalah sendi-sendi pergelangan kaki yang terlibat dalam gerakan eversi calcaneus. 1. Sendi subtalar

9 16 Sendi subtalar atau talocalcanea joint termasuk ke dalam sendi synovial plane joint yang dibentuk oleh permukan inferior talus dan superior calcaneus. Talus dan calcaneus adalah tulang terbesar yang menahan beban di kaki dan membentuk hindfoot. Talus menghubungkan tibia dan fibula pada kaki dan disebut keystone kaki. Tidak ada otot yang melekat pada talus. Calcaneus menyediakan lengan momen untuk tendon Achilles dan harus mengakomodasi dampak pembebanan besar saat heel strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius dan soleus. Talus berartikulasi dengan calcaneus di tiga lokasi yaitu di anterior, posterior, dan medial, di mana permukaan konveks talus bersendi dengan permukaan cekung pada calcaneus (Hammil dan Knutzen, 2009). Sendi ini diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus, talocalcanea posterior dan lateral serta dibantu oleh ligamen deltoideum (ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular) (Anshar dan Sudayanto, 2011). 2. Sendi midtarsal (Sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal) Sendi midtarsal atau transversal tarsal joint merupakan gabungan dari 2 sendi yaitu sisi medial oleh talonavicular joint dan sisi lateral oleh calcaneocuboid joint walaupun secara anatomis terpisah. Yang paling besar menstabilisasi sendi ini adalah ligamen calcaneocuboid (ligamen plantaris yang panjang dan pendek), dibantu oleh ligamen talonavicular

10 17 dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen tibionavicular (bagian dari ligamen deltoideum) (Anshar dan Sudaryanto, 2011) Biomekanik Sendi pergelangan kaki memiliki 3 aksis utama seperti yang disajikan pada Gambar 2.1, yaitu : 1. Aksis transversalis : berjalan melalui kedua malleolus dan berhubungan dengan aksis ankle secara tepat. Aksis ini mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi. 2. Aksis longitudinal tungkai : berjalan secara vertical dan mengontrol gerakan abduksi-adduksi. 3. Aksis longitudinal kaki : berjalan secara horizontal dan terletak pada bidang gerak sagital untuk mengontrol gerakan pronasi dan supinasi (eversi=telapak kaki menghadap ke bawah dan luar, inversi = telapak kaki menghadap ke bawah dan dalam / medial).

11 18 Gambar 2.1 Aksis pada sendi foot dan ankle (Alcocer, et al., 2012) Berikut merupakan osteokinematika dan arthrokinematika dari sendisendi yang terlibat dalam gerakan eversi calcaneus. 1. Sendi subtalar Sendi ini merupakan bentuk sendi plane non-axial yang hanya mengikuti gerakan yang terjadi pada transversal tarsal joint, tetapi sendi ini dapat digerakkan secara pasif yaitu gerakan inversi dan eversi subtalar joint (menggerakkan calcaneus ke arah medial dan lateral). Pada gerakan aktif pronasi dan supinasi, transversal tarsal joint bersama dengan subtalar joint bergerak secara simultan. ROM eversi calcaneus secara pasif adalah /10 0, sedangkan ROM inversi calcaneus secara pasif adalah 0 o /30 0. Otot yang bekerja pada gerakan inversi adalah otot tibialis posterior, yang dibantu oleh tibialis anterior. Otot yang bekerja pada gerakan eversi adalah otot peroneus longus et brevis, yang dibantu oleh otot peroneus tertius. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah : a. Bagian bawah talus berbentuk konkaf sedangkan permukaan lawannya calcaneus berbentuk konveks.

12 19 b. Untuk menghasilkan gerakan angular (gerak fisiologis), maka calcaneus yang konveks bergerak terhadap talus yang konkaf sehingga arah slide berlawanan arah. c. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika sendi Subtalar (Anshar dan Sudaryanto, 2011) Gerakan Angular Supinasi dengan inverse Pronasi dengan eversi Arthrokinematika calcaneus terhadap talus Lateral Medial 2. Sendi Midtarsal (sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal) Sendi talonavicular merupakan bagian dari sendi transversal tarsal (Chopart s joint) sehingga gerak fungsionalnya tidak terpisahkan satu sama lain. Sendi ini menghasilkan gerak aktif supinasi pronasi dan inversi eversi, serta gerak pasif abduksi adduksi. Gerakan supinasi pronasi merupakan gabungan dari beberapa gerakan. Gerakan supinasi dalam keadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan inversi calcaneus (varus), adduksi navicular, dan plantar fleksi talus. Sedangkan gerakan pronasi dalam keaadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan eversi calcaneus (valgus), abduksi navicular, dan dorso fleksi talus. Berbeda halnya dalam keadaan weight-bearing, dimana

13 20 gerakan supinasi adalah gabungan gerakan inversi calcaneus (varus), abduksi (eksorotasi), dan dorsofleksi talus, serta eksorotasi tibiofibular. Sedangkan, gerakan pronasi adalah gabungan gerakan eversi calcaneus (valgus), adduksi (endorotasi), dan plantar fleksi talus, serta endorotasi tibiofibular. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah : a. Caput talus berbentuk konveks dan bagian proksimalnya akan bersendi dengan permukaan navicular yang konkaf. b. Untuk gerakan fisiologis kaki, tulang navicular akan slide ke dalam arah yang sama dengan forefoot (kaki bagian depan). c. Pada saat closed kinematika, gerakan talus dan navicular akan berlawanan arah sehingga jika caput talus ke arah bawah dan rotasi medial maka navicular akan slide ke dorsal dam rotasi lateral. d. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematik sendi midtarsal (Anshar dan Sudaryanto, 2011) Gerakan Angular Arthrokinematika navicular terhadap caput talus Supinasi Pronasi Plantar (dan medial) Dorsal (dan lateral)

14 Sudut Eversi Calcaneus Eversi adalah gerakan pada bidang frontal di mana sisi lateral foot bergerak ke arah tungkai saat non weight-bearing atau tungkai bergerak ke arah foot saat weightbearing. Sudut eversi calcaneus merupakan sudut yang dibentuk antara foot dan calcaneus saat calcaneus bergerak ke arah lateral. Pronasi sendi subtalar yang berlebihan dievaulasi dengan melihat eversi calcaneus. Dalam gerakan closed-chain weight-bearing, talus bergerak terhadap calcaneus dan menghasilkan sebagian besar gerakan pronasi melalui berat badan yang bekerja pada talus. Sedangkan pada openchain weight bearing, calcaneus bergerak terhadap talus dan pronasi subtalar dihasilkan melalui kombinasi gerakan eversi, abduksi dan dorsofleksi (Hammil dan Knutzen, 2009). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2. Adapun sudut eversi calcaneus normal adalah /10 0 secara pasif pada pergerakan subtalar joint. Saat eversi calcaneus berlebihan menyebabkan deformitas yang sering disebut hindfoot valgus (Hammil dan Knutzen, 2009). Sudut eversi calcaneus maksimal yang di bentuk oleh tulang tibia dan calcaneus mencapai 12 0 (Gambar 2.3) (Guy, 2007).

15 22 Gambar 2.2 Atas : Open kinetic chain, bawah : close kinetic chain (Hammil dan Knutzen, 2009) Gambar 2.3 ROM Sendi Subtalardari posisi netral (non weight-bearing) (Guy, 2007) 1.5 Otot Gastrocnemius Anatomi dan Biomekanik Otot Gastrocnemius

16 23 Otot gastrocnemius merupakan otot betis terbesar dan paling superfisial dari kelompok otot triceps surae. Adapun otot plantaris dan soleus juga termasuk ke dalam grup otot ini yang mana menyatu pada tendon achiles dan melekat pada bagian posterior dari calcaneus. Gastrocnemius adalah otot dengan dua head (medial dan lateral) yang sangat kuat yang mendominasi bagian belakang kaki (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Medial dan lateral head dapat dipalpasi dengan mudah dan membentang menuju bagian anterior dari achiles tendon. Medial head berorigo pada posterior medial condyle femur. Lateral head berorigo pada posterior lateral condyle femur. Insersio dari otot ini terletak pada permukaan posterior dari calcaneus via achilles tendon. Otot gastrocnemius diinervasi oleh nervus tibialis S2-S3 (Cael, 2010). Gastrocnemius memiliki fast-twitch fibers, yang dapat direkrut dengan cepat namun mengalami kelelahan dengan cepat pula. Soleus merupakan otot sinergis dari gastrocnemius untuk melakukan gerakan plantar fleksi. Gerakan ini tergantung oleh posisi lutut. Jika lutut dalam posisi ekstensi (seperti ketika berdiri dari jongkok atau posisi melompat dari duduk), gastrocnemius yang lebih aktif. Jika lutut dalam posisi fleksi (seperti dengan santai berjalan atau berdiri statis), soleus lebih aktif (Cael, 2010).

17 24 Gambar 2.4 Otot Gastrocnemius (Drake et al., 2007) Fisiologi Umum Otot Skeletal Pada tubuh manusia terdapat sekitar 434 otot yang membentuk 40% - 45% dari berat tubuh sebagian besar orang dewasa. Sel otot tersusun oleh banyak myofibril yang terbuat dari molekul protein yang panjang (myofilamen), terdapat dua jenis myofilamen yaitu 1500 myofilamen tebal (myosin) dan 300 myofilamen tipis (aktin) yang mana akan membentuk sebuah pola. Miosin dan aktin membentuk sub-unit yang saling menyambung dalam myofibril yang disebut sebagai sarcomer. Dalam mikroskopis, daerah pinggir sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap. Daerah

18 25 terang disebut I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen aktin. Sedangkan daerah yang gelap disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen myosin. Pada pusat A-band terdapat H zone yang berisi filamen miosin. Selain itu terdapat Z-line yang memisahkan antar sarcomer (Gambar 2.5) (Guyton dan Hall, 2008). Sel otot diselubungi oleh sebuah membran yang disebut sarcolemma. Sarcolemma mengandung potensial membran yang dapat menghantarkan impuls ke otot, sehingga sel otot dapat berkontraksi. Di dalam sarcolemma terdapat lubang yang disebut transverse tubulus, dan berhubungan dengan sarcoplasmic reticulum. Sarcoplasmic reticulum berfungsi sebagai tempat penyimpanan ion kalsium. Struktur yang terletak di antara sarcoplasmic reticulum dan cytoplasma sel otot disebut sarcoplasma. Pada sarcoplasma terjadi pemompaan ion kalsium. Hal ini akan terjadi jika terdapat impuls saraf pada sarcoplasmic reticulum yang dapat membuka membran, sehingga ion kalsium menuju sarcoplasma dan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi (Anggraeni, 2013). Struktur otot skeletal dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.

19 26 Gambar 2.5 Struktur Otot Skeletal (Guyton and Hall, 2008) Selama terjadi kontraksi pada otot, filamen aktin yang tipis dari salah satu ujung sarkomer akan slide satu sama lain. Dalam mikroskopik terlihat, Z-line bergerak ke arah A-bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I-bands menjadi sempit dan H-zone menjadi hilang seperti Gambar 2.6. Proyeksi dari filamen myosin disebut dengan cross-bridge yang membentuk hubungan fisik dengan filamen aktin selama kontraksi otot (Anshar dan Sudaryanto, 2011). Pada saat relaksasi otot, tidak ada impuls saraf yang melalui end plates. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya ion kalsium yang masuk ke dalam cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup.

20 27 Kalsium akan kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran ini akan menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomyosin kembali normal dan memutuskan hubungan antara kepala miosin dengan aktin. Ketika kepala miosin tak lagi berhubungan dengan aktin maka tak ada pergeseran molekul yang terjadi dan otot menjadi relaks (Maruli, 2013). Gambar 2.6 Sliding filament aktin dan myosin saat kontraksi dan relaksasi otot (Guyton and Hall, 2008) Kontraksi otot melibatkan dua proses pada serabut otot yang terdiri atas depolarisasi sarcoplasma karena adanya interaksi asetilcolin dengan reseptornya dan adanya power stroke dari protein kontraktil otot. Melekatnya asetilcolin dengan reseptornya menyebabkan terbukanya kanal natrium pada membran plasma sel otot sehingga terjadi aktivitas listrik yang menjalar hingga ke struktur T-tubulus. Adanya aktivitas listrik menyebabkan struktur

21 28 protein dihidropiridin yang sensitif terhadap stimulasi elektrik menjadi berubah, sehingga kanal-kanal kalsium pada ujung lateral reticulum sarcoplasmic yang ditutupinya menjadi terbuka (Tortora, 2009). Terbukanya kanal kalsium menyebabkan ion kalsium yang tersimpan pada reticulum sarcoplasmic keluar menuju ke sarkoplasma dan berikatan pada troponin di serabut halus. Setelah berikatan, struktur troponin akan berubah sehingga mengekspos myosin binding space seperti pada Gambar 2.7 (Tortora, 2009). Pada saat yang bersamaan, kepala myosin yang sudah teraktivasi melalui energi yang dihasilkan oleh hidrolisis ATP, akan berikatan pada aktin dan menyebabkan terjadinya power stroke, yaitu terjadinya penarikan molekul aktin mendekati garis M pada sarkomer otot (Tortora, 2009). Hidrolisis ATP yang akan menghasilkan ADP+Pi (fosfat anorganik), dimana ADP akan melekat pada kepala myosin hingga akhir dari power stroke kemudian terlepas dan posisinya akan digantikan oleh molekul ATP yang baru. Melekatnya molekul ATP yang baru akan menyebabkan terjadinya pelepasan kepala myosin dari aktin dan siklus ini terus berulang pada serabut yang tebal pada otot (Tortora, 2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.8.

22 29 Gambar 2.7 Mekanisme terbukanya myosin binding site (Tortora, 2009) Proses kontraksi otot tidak terjadi secara sinkron, yaitu ketika beberapa kepala myosin berikatan pada aktin, yang lainnya akan terlepas. Hal ini memungkinkan terjadinya pemendekan sarkomer yang optimal, dimana terdapat beberapa kepala myosin yang melanjutkan proses power stroke yang telah terjadi sebelumnya, tanpa menyebabkan pemanjangan kembali dari sarkomer (Tortora, 2009).

23 30 Gambar 2.8 Mekanisme power stroke (Tortora, 2009) Relaksasi otot terjadi ketika tidak adanya ikatan asetilcolin dengan reseptornya, menyebabkan tidak adanya potensial listrik yang menyebabkan lepasnya kalsium tambahan dan protein Ca-ATPase memompakan kalsium kembali kedalam reticulum sarcoplasmic. Tidak adanya kalsium menyebabkan troponin kembali pada posisi awalnya menutupi myosin binding site pada aktin (Tortora, 2009). Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang berkontraksi (Tortora, 2009).

24 31 Banyak serabut otot ditentukan oleh seberapa besar kekuatan otot yang diperlukan, jika semakin besar kekuatan otot yang diperlukan maka akan semakin banyak motor unit yang akan direkrut untuk ikut serta oleh kontrol persarafan pusat. Ketegangan tiap serabut otot dipengaruhi oleh frekuensi rangsangan saraf pada otot dan panjang otot sebelum kontraksi. Ada dua cara frekuensi saraf yang tinggi dapat meningkatkan ketegangan otot. Pertama, tembakan potensial aksi kedua yang terjadi sebelum siklus kontraksi otot selesai akan menambah kembali jumlah kalsium didalam sel. Kadar kalsium yang tinggi kembali memungkinkan untuk terbukanya myosin binding space yang terdapat pada aktin. Kedua, otot memiliki sifat elastis yang akan kembali lagi ke bentuk awalnya setelah kontraksi. Tetapi jika mendapat potensial aksi selanjutnya sebelum terjadi hal itu, maka ketegangan otot akan bertambah dengan adanya tegangan residual dari kontraksi sebelumnya. Panjang serabut otot yang optimal memungkinkan terjadi keluaran tenaga yang maksimal. Hal ini didukung oleh adanya length-tension relationship seperti yang disajikan pada Gambar 2.9 yang menyatakan bahwa apabila panjang serabut otot menjadi lebih pendek atau panjang dari optimal maka akan terjadi penurunan dari keluaran tenaga otot tersebut, karena akan terjadi ikatan antara molekul aktin dan myosin yang tidak maksimal.

25 32 Gambar 2.9 Length-tension Relationship (Hansen dan Koeppen, 2002) Ekstensibilitas Ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk terulur (Anshar dan Sudaryanto, 2011). Menurut Cael (2010), ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk meregang tanpa mengalami kerusakan. Sifat ini memberikan kesempatan otot untuk memperpanjang diri saat rileks. Hal ini penting karena otot biasanya bekerja dalam arah yang berlawanan karena mereka menghasilkan gerakan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan pada sendi. Jika salah satu otot memendek, otot harus kembali rileks dan memperpanjang diri untuk memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang

26 33 dituju. Pada otot yang mengalami ketegangan maka kemampuan ekstensibilitasnya akan menurun karena sarkomer otot turut memendek. 2.6 Dampak IMT Kategori Overweight dan Obesitas terhadap Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius Overweight dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hiperpronasi calcaneus. Dengan adanya kelebihan berat badan maka gaya yang ditransmisikan ke medial semakin besar serta berat badan masih pada hindfoot dan midfoot bagian proksimal sehingga terjadi pronasi berlebihan dari calcaneus. Masalah biomekanik yang berkaitan dengan sebab dan akibat dari hiperpronasi dapat dilihat pada Gambar 2.10 (Stovitz dan Coetzee, 2004). Secara biomekanik, peristiwa pemicu hiperpronasi dapat dilihat dari posisi talus. Meskipun reaksi kinetic-chain terjadi dari hip ke kaki, namun hubungan saling tergantung dari talus, calcaneus, dan navicular sangat penting. Titik kunci adalah bahwa talus tidak hanya berada di atas calcaneus, melainkan diposisikan anterior dan medial dari calcaneus. Talus tidak memiliki lampiran tendon dan dengan demikian tergantung pada support statis di sekitar ligamen dan tulang. Malposisi dari satu tulang mempengaruhi bagian proksimal ataupun distal dari tulang tersebut (Stovitz dan Coetzee, 2004). Posisi calcaneus sangat ditentukan oleh tendon Achilles. Tendon Achilles masuk ke calcaneus sedikit lateral dari midline. Achilles yang rapat tidak hanya menimbulkan plantar fleksi, tetapi juga eversi ke calcaneus. Kedua hal ini merupakan

27 34 hasil force medial pada talus ke bawah dan ke medial menuju navicular (Stovitz dan Coetzee, 2004). Gambar 2.10 Sebab-akibat hyperpronation (Stovitz dan Coetzee, 2004) Saat stance phase, pada posisi mid stance salah satu kaki akan menerima transfer berat badan sepenuhnya seperti pada Gambar 2.11 (Cael, 2010). Dengan adanya perpindahan berat badan ini, maka kaki akan mengkompensasi dengan gerakan pronasi calcaneus untuk meredam impact berat badan serta menjaga stabilitas kaki. Pada posisi weight bearing, gerakan eversi calcaneus dibarengi dengan gerakan plantar fleksi yang digerakkan oleh otot gastrocnemius yang berinsersio di bagian posterior dari calcaneus. Calcaneus mengakomodasi dampak pembebanan yang berlebih saat heel strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius. Dengan adanya penambahan berat badan, maka terjadi peningkatkan beban otot untuk menjaga stabilitas sendi sehingga ketegangan otot gastrocnemius akan meningkat dan

28 35 semakin banyak sarkomer yang memendek. Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang berkontraksi (Tortora, 2009). Hal tersebut dapat mengganggu kemampuan terulurnya otot yang memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang dituju. Gambar 2.11 A: Stance Phase B: Swing Phase (Cael, 2010)

29 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus Sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan keluhan pada kaki, seorang fisioterapis perlu melakukan evaluasi. Pemeriksaan yang sesuai dengan kondisi ini adalah mengetahui posisi subtalar joint neutral (STJN). Posisi STNJ dapat diukur dengan pengukuran ROM eversi calcaneus dengan non weight-bearing. Adapun prosedurnya adalah : 1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dengan sebagian bawah betis ada di tepi alas/bed, 2. jangka sorong atau sliding calipers digunakan untuk mencari titik tengah dari betis dan calcaneus kemudian tarik garis tengah hingga 1/3 posterior betis, 3. sudut eversi dari calcaneus diukur dengan menggunakan goniometer, 4. aksis goniometer diletakkan di antara malleolus pada bidang frontal, 5. satu lengan goniometer diletakkan di atas garis tengah pada betis bagian posterior tadi kemudian lengan goniometer satunya digerakkan sesuai titik tengah dari calcaneus (Masaun et al., 2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.12.

30 37 Gambar 2.12 Pengukuran posisi subtalar joint neutral (eversi calcaneus) (Elveru et al., 1988) Gambar 2.13 Eversi calcaneus dalam posisi netral (Guy, 2007)

31 Pengukuran Ekstensibilitas Gastrocnemius Pengukuran ekstensibilitas gastrocnemius dilihat dari pengukuran gastrocnemius muscle tightness melalui pengukuran Range Of Motion (ROM) dorsofleksi ankle dengan posisi knee ekstensi. Adapun prosedurnya sebagai berikut : 1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dan sebuah spidol digunakan untuk member tanda titik pada fibular head, lateral malleolus, basis tuberositas metatarsal V dan head metatarsal V, 2. lengan goniometer diletakkan sepanjang aksis fibula dengan berpatokan pada tanda titik di fibular head dan lateral malleolus, 3. gerakkan lengan goniometer kemudian letakkan secara paralel menuju sisi lateral dari kaki dengan berpatokan pada tanda titik di basis dan head metatarsal V, 4. aksis goniometer tetap diletakkan pada sisi lateral kaki. Posisi nol dari dorsofleksi terletak pada sudut 90 0 antara panjang aksis fibula dan sisi lateral dari kaki, 5. kemudian pengukuran dapat dimulai hingga subjek mampu melakukan dorsofleksi maksimum (Masaun et al., 2009). Gambar 2.14 Pengukuran ROM dorsofleksi (Wezling et al., 1987).

32 Masalah Muskuloskeletal yang dapat ditimbulkan oleh Hiperpronasi Subtalar Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS) Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS) adalah overuse injury ataupun repetitive injury pada area tulang kering. Dampak stress pada tibia serta jaringan otot sekitarnya terjadi karena ketidakmampuan dalam merespon kontraksi otot berulang. Stres pada tibia dikaitkan dengan perubahan biomekanikal kaki, kesalahan dalam latihan, dan riwayat cidera sebelumnya. Tibialis posterior dan soleus yang berperan mengontrol pronasi turut berkontribusi dengan terjadinya MTTS (Monaro, 2013). Saat hiperpronasi, tibialis posterior akan mengalami kelemahan sehingga tidak mampu merespon kontraksi berulang saat peningkatan stress pada tibia Patelofemoral Pain Syndrome (PFPS) Patelofemoral Pain Syndrome adalah sindrom nyeri retropatellar atau peripatellar tanpa adanya patologi lainnya seperti tendinopati patella, insufisiensi ligamen dan masalah internal sendi. Nyeri paling sering diperparah oleh aktivitas yang meningkatkan stress pada patelofemoral joint seperti berlari dan jongkok. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti IMT, lingkungan, dan alas kaki. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti control neuromuscular quadriceps, penurunan fungsi otot-otot hip, hiperadduksi hip/internal rotasi hip, dan rotasi

33 40 tibia/pronasi subtalar. Pronasi berlebihan menyebabkan internal rotasi tibia terhadap femur lebih besar sebagai akibat kopling sendi. Hal ini akan menyebabkan valgus lutut lebih besar dan stres lebih besar pada sendi patellofemoral lateral (Tiberio, 1987) Mechanical Low Back Pain (MLBP) Mechanical Low Back Pain adalah nyeri punggung bawah yang ditandai dengan adanya peningkatan nyeri saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat (Karnath, 2003). Nyeri punggung bawah mekanis, yaitu timbul tanpa kelainan struktur anatomis seperti otot atau ligamen, atau timbul akibat trauma, deformitas, atau perubahan degeratif pada suatu struktur misalnya diskus intervertebralis. Slah satu faktor pencetus MLBP adalah musculoskeletal pain syndromes seperti adanya myofascial pain syndromes dan fibromyalgia. Nyeri myofascial ditandai dengan adanya nyeri dan kebas pada area lokal (trigger points), keterbatasan luas gerak sendi yang melibatkan kelompok otot, distribusi nyeri menjalar pada saraf perifer. Penurunan nyeri biasanya terjadi ketika kelompok otot diulur (Perina, et al., 2014).

DAN OBESITAS MEMILIKI SUDUT EVERSI CALCANEUS

DAN OBESITAS MEMILIKI SUDUT EVERSI CALCANEUS WANITA OVERWEIGHT DAN OBESITAS MEMILIKI SUDUT EVERSI CALCANEUS LEBIH BESAR DAN EKSTENSIBILITAS GASTROCNEMIUS LEBIH KECIL DARIPADA WANITA NORMAL DI DESA MENGESTA, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN NI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia (Lansia) Lansia adalah umur untuk populasi orang tua diatas enam puluh tahun yang disepakati oleh United Nation (UN) (World Health Organization, 2015). Lansia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingginya kemajuan dibidang teknologi dan komunikasi menyebabkan perubahan gaya hidup manusia, dampak besar yang terjadi terlihat jelas pada status kesehatan masyarakat.

Lebih terperinci

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA

HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA HUBUNGAN BERAT BADAN BERLEBIH DENGAN PERUBAHAN MEDIAL LONGITUDINAL ARCH DAN FOOT ALIGNMENT DI KECAMATAN KARTASURA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Guna Melengkapi Tugas dan Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan

Lebih terperinci

1 Ni Made Rininta Adi Putri 2 Ari Wibawa 3 I Wayan Sugiritama 4 I Made Muliarta

1 Ni Made Rininta Adi Putri 2 Ari Wibawa 3 I Wayan Sugiritama 4 I Made Muliarta WANITA OVERWEIGHT DAN OBESITAS MEMILIKI SUDUT EVERSI CALCANEUS LEBIH BESAR DAN EKSTENSIBILITAS GASTROCNEMIUS LEBIH KECIL DARIPADA WANITA NORMAL DI DESA MENGESTA, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN 1

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Otot Rangka 2.1.1. Anatomi otot rangka Otot rangka manusia terbentuk dari kumpulan sel-sel otot dengan rata-rata panjang 10 cm dan berdiameter 10-100 µm yang berasal secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat disuatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat disuatu negara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat disuatu negara, termasuk masyarakat Indonesia. Salah satu

Lebih terperinci

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit. penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit. penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan MORFOLOGI Organisasi Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan neuron yang merupakan unit penyusun sistem saraf.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini tertuang dalam Al Qur an di Surah At-Tin ayat 4 Sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini tertuang dalam Al Qur an di Surah At-Tin ayat 4 Sesungguhnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal ini tertuang dalam Al Qur an di Surah At-Tin ayat 4 Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diriwayatkan Nabi R. Al-Hakim,At-Turmuzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban: minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas.

BAB I PENDAHULUAN. diriwayatkan Nabi R. Al-Hakim,At-Turmuzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban: minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini masalah kegemukan (obesitas) merupakan masalah global yang melanda masyarakat dunia baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Perubahan

Lebih terperinci

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot Tinjauan Umum Jaringan Otot Tipe Otot Otot rangka menempel pada kerangka, lurik, dapat dikontrol secara sadar Otot jantung menyusun jantung, lurik, dikontrol secara tidak sadar Otot polos, berada terutama

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan observasional analitik dengan tinjauan cross-sectional.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan observasional analitik dengan tinjauan cross-sectional. digilib.uns.ac.id 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan observasional analitik dengan tinjauan cross-sectional. 3.2. Sampel dan populasi Sampel dan populasi yang

Lebih terperinci

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita Skeletal: Struktur jaringan tulang Klasifikasi tulang Tulang tengkorak, rangka dada, tulang belakang, panggul, ekstremitas atas dan bawah Sendi: Klasifikasi berdasarkan gerakan Klasifikasi berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. - Tempat : Ruang Skill Lab Gedung E Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro Semarang. bulan April Mei 2016.

BAB III METODE PENELITIAN. - Tempat : Ruang Skill Lab Gedung E Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro Semarang. bulan April Mei 2016. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang ilmu anatomi dan kinesiologi. 3.2 Tempat dan waktu penelitian - Tempat : Ruang Skill Lab Gedung E Fakultas

Lebih terperinci

OTOT DAN SKELET Tujuan 1. Mengidentifikasi struktur otot 2. Mempelajari mekanisme otot pada saat berkontraksi 3. Mengetahui macam-macam otot

OTOT DAN SKELET Tujuan 1. Mengidentifikasi struktur otot 2. Mempelajari mekanisme otot pada saat berkontraksi 3. Mengetahui macam-macam otot OTOT DAN SKELET Tujuan. Mengidentifikasi struktur otot. Mempelajari mekanisme otot pada saat berkontraksi. Mengetahui macam-macam otot berdasarkan lokasi 4. Mengetahui macam-macam kerja otot yang menggerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG WHO menyatakan Health is a state of complete physical, mental and social well being and not merely the absence of deaseas or infirmity. Sehat adalah suatu keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka kesehatan fisik ialah salah satu hal yang penting. Kesehatan fisik

BAB I PENDAHULUAN. maka kesehatan fisik ialah salah satu hal yang penting. Kesehatan fisik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan jaman, persaingan dalam segala bidang semakin ketat. Untuk mampu mengikuti persaingan yang semakin ketat dibutuhkan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan sampai lanjut usia pada

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan sampai lanjut usia pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perubahan akan terjadi pada tubuh sejalan dengan semakin meningkatnya usia manusia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan sampai lanjut usia pada semua organ dan

Lebih terperinci

MEKANISME KERJA OTOT LURIK

MEKANISME KERJA OTOT LURIK MEKANISME KERJA OTOT LURIK Otot rangka adalah masa otot yang bertaut pada tulang yang berperan dalam menggerakkan tulang-tulang tubuh. MEKANISME OTOT LURIK/OTOT RANGKA Mekanisme kerja otot pada dasarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupannya manusia memiliki banyak aktivitas untuk dilakukan baik itu rutin maupun tidak rutin. Ada berbagai macam aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan sangat penting bagi manusia untuk hidup dan untuk melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang

Lebih terperinci

PENGANTAR ANATOMI & FISIOLOGI TUBUH MANUSIA

PENGANTAR ANATOMI & FISIOLOGI TUBUH MANUSIA Pertemuan 1 PENGANTAR ANATOMI & FISIOLOGI TUBUH MANUSIA MK : Biomedik Dasar Program D3 Keperawatan Akper Pemkab Cianjur tahun 2015 assolzain@gmail.com nersfresh@gmail.com www.mediaperawat.wordpress.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Kinesiologi dan Biomekanika Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan. 6 Beberapa disiplin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepatu dengan hak tinggi diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1500M menjadi trend baru bagi perkembangan fashion wanita. Perubahan mode ini memberikan dampak besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muskulus kuadrisep adalah salah satu jaringan lunak yang paling penting

BAB I PENDAHULUAN. Muskulus kuadrisep adalah salah satu jaringan lunak yang paling penting 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Muskulus kuadrisep adalah salah satu jaringan lunak yang paling penting dalam mempertahankan fungsi sendi patellofemoral dengan menarik patela ke arah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta akan dapat berdampak kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan pada manusia ada empat fase, yaitu fase anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Remaja adalah fase yang sangat penting yang menjadi kunci pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang melakukan aktifitas fisik untuk menunjang hidup sehat, karena Kesehatan sangat penting bagi kehidupan manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)/ Club Foot-I

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)/ Club Foot-I CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)/ Club Foot-I CTEV merupakan kelainan pada kaki, dimana kaki belakang equinus (mengarah ke bawah), varus (mengarah ke dalam/ medial), dan kaki depan adduktus (mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas.

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang banyak melakukan kerja fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang sering digunakan terutama bagian kaki. Gerak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit maupun ditemukannya penyakit-penyakit baru yang semakin. mengancam penurunan kualitas hidup manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit maupun ditemukannya penyakit-penyakit baru yang semakin. mengancam penurunan kualitas hidup manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi dinegara ini serta meningkatnya aktivitas, maka kesadaran untuk memahami dan menjaga kesehatan kadang di abaikan dalam kehidupan

Lebih terperinci

MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL. Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI

MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL. Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI MEKANISME GERAK SISTEM MUSKULOSKELETAL Sasanthy Kusumaningtyas Departemen Anatomi FKUI 1 ILMU GERAK KINESIOLOGI : Adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu melakukan gerakan. Beberapa disiplin

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Siku (Elbow Joint)

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Siku (Elbow Joint) MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Siku (Elbow Joint) Tim Penyusun : Muh. Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis Wismanto, SSt.Ft, S.Ft, M. Fis Abdul Chalik Meidian,

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MANUAL MASCLE TESTING (MMT) EKTREMITAS INFERIOR

PEMERIKSAAN MANUAL MASCLE TESTING (MMT) EKTREMITAS INFERIOR PEMERIKSAAN MANUAL MASCLE TESTING (MMT) EKTREMITAS INFERIOR DASAR TEORI Penilaian kekuatan berbagai otot memerlukan pengetahuan fungsi berbagai kelompok otot. Suatu corak gerakan volunter terdiri dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Daya Ledak 2.1.1 Definisi Daya Ledak Dalam melakukan gerakan-gerakan yang membutuhkan kontraksi otot yang kuat dan cepat seperti melompat (jumping), dan berlari sangat bergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdiri disetiap bekerja untuk melayani para konsumen. Akan tetapi posisi

BAB I PENDAHULUAN. berdiri disetiap bekerja untuk melayani para konsumen. Akan tetapi posisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat dituntut lebih aktif dalam bekerja untuk menghadapi persaingan yang ketat. Selain dituntut agar lebih aktif, masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan IPTEK serta aktivitas semakin meningkat. Kesadaran untuk menjaga dan memahami kesehatan pun sering terabaikan. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa data yang tersedia menurut World Health Organization (2010),

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa data yang tersedia menurut World Health Organization (2010), BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Beberapa data yang tersedia menurut World Health Organization (2010), menunjukkan bahwa kejadian osteoartritis lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria di antara semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan di mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI SENDI PERGELANGAN KAKI A.1. Persendian pada Pergelangan Kaki Pergelangan kaki terbentuk dari 3 persendian yaitu articulatio talocruralis, articulatio subtalaris dan articulatio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gerak. Manusia selalu berhubungan dengan proses gerak untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. gerak. Manusia selalu berhubungan dengan proses gerak untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sepanjang hidupnya tidak pernah terlepas dari aktivitas gerak. Manusia selalu berhubungan dengan proses gerak untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu bergerak dalam menjalankan aktivitasnya. Sering kita jumpai seseorang mengalami keterbatasan gerak dimana hal tersebut

Lebih terperinci

Kaitan Pemakaian Sepatu Hak Tinggi dengan Lordosis Lumbal. Wearing High-Heeled Shoes with Lumbal Lordosis

Kaitan Pemakaian Sepatu Hak Tinggi dengan Lordosis Lumbal. Wearing High-Heeled Shoes with Lumbal Lordosis TINJAUAN PUSTAKA Kaitan Pemakaian Sepatu Hak Tinggi dengan Lordosis Lumbal Handy Winata* *Dosen bagian Anatomi FK UKRIDA Alamat Korespodensi : Jl. Terusan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510 E-mail: hand_y19@yahoo.com

Lebih terperinci

ANKLE & FOOT. Yulianto W, Dipl.PT, M.Kes.

ANKLE & FOOT. Yulianto W, Dipl.PT, M.Kes. ANKLE & FOOT Yulianto W, Dipl.PT, M.Kes. BASIC BIOMEKANIK Sendi Situasi Posisi Tibiofibular Talocrural Subtalar Resting position CPP Pola kapsular Resting position CPP Pola kapsular Resting position CPP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam bermobilisasi adalah kaki. Untuk melindungi bagian tubuh yang penting ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam bermobilisasi adalah kaki. Untuk melindungi bagian tubuh yang penting ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan zaman yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan manusia untuk bermobilisasi semakin cepat. Kemampuan bermobilisasi ditopang dengan fisik yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan jumah penduduk yang memasuki peringkat 5 besar penduduk terbanyak didunia. Dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia membuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang paling banyak dijumpai dibanding dengan penyakit sendi lainnya. Semua sendi dapat terserang, tetapi yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. robek pada ligamen,atau patah tulang karena terjatuh. Cedera tersebut

BAB I PENDAHULUAN. robek pada ligamen,atau patah tulang karena terjatuh. Cedera tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera sering dialami oleh seorang atlit, seperti cedera goresan, robek pada ligamen,atau patah tulang karena terjatuh. Cedera tersebut biasanya memerlukan pertolongan

Lebih terperinci

RUPTUR TENDO ACHILLES

RUPTUR TENDO ACHILLES RUPTUR TENDO ACHILLES LI 1 Memahami dan Menjelaskan Anatomi Makro Tendon Achilles berasal dari gabungan tiga otot yaitu gastrocnemius, soleus, dan otot plantaris. Pada manusia, letaknya tepat di bagian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia dituntut untuk hidup lebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Pergelangan dan Tangan (Wrist Joint and Hand)

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI. Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Pergelangan dan Tangan (Wrist Joint and Hand) MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGUKURAN FISIOTERAPI Topik : Pengukuran Lingkup Gerak Sendi Pergelangan dan Tangan (Wrist Joint and Hand) Tim Penyusun : Muh. Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis Wismanto, SSt.Ft, S.Ft,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu bergerak dan beraktivitas dalam kehidupannya. Semua bentuk kegiatan manusia selalu memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. epidemi global dan harus segera ditangani. Saat ini prevalensi obesitas di

BAB I PENDAHULUAN. epidemi global dan harus segera ditangani. Saat ini prevalensi obesitas di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan masalah kesehatan dunia yang telah menjadi epidemi global dan harus segera ditangani. Saat ini prevalensi obesitas di dunia meningkat tajam hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setengah miliar mengalami obesitas. 1. meningkat pada negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. setengah miliar mengalami obesitas. 1. meningkat pada negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Obesitas masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang mendunia. 1,2 World Health Organization (WHO) mendeklarasikan bahwa obesitas merupakan epidemik global.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kelincahan 2.1.1 Pengertian Kelincahan Kelincahan merupakan salah satu dari komponen fisik yang banyak di gunakan dalam berbagai cabang olahraga. Salah satu cabang olahraga yang

Lebih terperinci

protein adalah bahan utama pembentuk otot. dengan control sikap (stabililisasi), dimana stabilisasi akan

protein adalah bahan utama pembentuk otot. dengan control sikap (stabililisasi), dimana stabilisasi akan 2 panjang otot saat kontraksi dan kecepatan kontraksi otot masingmasing individu. Kekuatan otot pada umumnya bertambah seiring usia yang juga bertambah karena asupan protein yang kita makan karena protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menuju Indonesia Sehat 2010 merupakan program pemerintah dalam mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai macam kondisi yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. degeneratif atau osteoarthritis (OA). Sendi merupakan faktor penunjang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. degeneratif atau osteoarthritis (OA). Sendi merupakan faktor penunjang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pembangunan disegala bidang kehidupan menyebabkan perubahan dalam tingkah laku dan pola hidup masyarakat. Berbagai macam penyakit yang banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah. keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh).

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah. keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah tumbuh kembang terdiri atas dua peristiwa yang sifatnya berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH MUHAMMAD HANAFI ( ) HERKA ARDIYATNO ( ) LESTARI PUJI UTAMI

DISUSUN OLEH MUHAMMAD HANAFI ( ) HERKA ARDIYATNO ( ) LESTARI PUJI UTAMI OTOT MANUSIA UNIVERSITAS PGRI Y O G T A Y A K A R DISUSUN OLEH MUHAMMAD HANAFI (09144600025) HERKA ARDIYATNO (09144600172) LESTARI PUJI UTAMI (09144600214) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, tingkat aktivitas masyarakat Indonesia semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plantar Arch Index 2.1.1 Definisi Pedis adalah regio yang paling banyak terpengaruh variasi anatomi, salah satu karakteristik yang terpenting adalah variabilitas ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. 4 kg, sedangkan untuk kelas junior putra 5 kg dan putri 3 kg.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. 4 kg, sedangkan untuk kelas junior putra 5 kg dan putri 3 kg. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tolak Peluru Tolak peluru termasuk nomor lempar dalam olahraga atletik yang memiliki kriteria tersendiri dari alat hingga lapangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sekarang ini, terjadi banyak perkembangan di berbagai bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sekarang ini, terjadi banyak perkembangan di berbagai bidang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini, terjadi banyak perkembangan di berbagai bidang kehidupan manusia. Baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA

FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA Fraktur tibia umumnya dikaitkan dengan fraktur tulang fibula, karena gaya ditransmisikan sepanjang membran interoseus fibula. Kulit dan jaringan subkutan sangat tipis pada bagian

Lebih terperinci

GERAK PADA HEWAN DAN MANUSIA DAPAT TERJADI KARENA ADANYA KERJASAMA ANTARA TULANG (RANGKA) DENGAN OTOT.

GERAK PADA HEWAN DAN MANUSIA DAPAT TERJADI KARENA ADANYA KERJASAMA ANTARA TULANG (RANGKA) DENGAN OTOT. SISTEM RANGKA 1. RANGKA SEBAGAI ALAT GERAK PASIF. 2. OTOT SEBAGAI ALAT GERAK AKTIF. GERAK PADA HEWAN DAN MANUSIA DAPAT TERJADI KARENA ADANYA KERJASAMA ANTARA TULANG (RANGKA) DENGAN OTOT. BAGAIMANA GERAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang hidupnya, manusia tidak terlepas dari proses gerak. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai macam aktifitas yang dipengaruhi oleh tugas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fleksibilitas 2.1.1 Definisi Fleksibilitas Fleksibilitas adalah kemampuan otot untuk memanjang/mengulur semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan ROM yang maksimal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fleksibilitas 2.1.1. Definisi fleksibilitas Fleksibilitas mengacu pada kemampuan ruang gerak sendi atau persendian tubuh. Kemampuan gerak sendi ini berbeda di setiap persendian

Lebih terperinci

BUKU PANDUAN KERJA KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS EKSTREMITAS BAWAH

BUKU PANDUAN KERJA KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS EKSTREMITAS BAWAH BUKU PANDUAN KERJA KETERAMPILAN PEMERIKSAAN FISIS EKSTREMITAS BAWAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNHAS DISUSUN OLEH dr. Jainal Arifin, Sp.OT, M.Kes dr. M. Sakti, Sp.OT, M.Kes Sub Divisi Rheumatology Bagian Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas atau kelebihan berat badan dapat menjadikan masalah kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas atau kelebihan berat badan dapat menjadikan masalah kesehatan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas atau kelebihan berat badan dapat menjadikan masalah kesehatan. Kecenderungan terjadinya obesitas dapat disebabkan karena pola makan dan ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BIOMEKANIKA SISTEM MUSKULOSKELETAL & FISIOLOGI OTOT

BIOMEKANIKA SISTEM MUSKULOSKELETAL & FISIOLOGI OTOT BIOMEKANIKA SISTEM MUSKULOSKELETAL & FISIOLOGI OTOT dr. Aditya Candra Fakultas Kedokteran Abulyatama PENDAHULUAN Biomekanika merupakan kombinasi antara disiplin ilmu mekanika terapan dan ilmu-ilmu biologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan mahkluk sosial yang saling berinteraksi dengan lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal dalam bergerak atau beraktivitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan populasi yang besar. Menurut World Health Organization,2007 sekitar

BAB I PENDAHULUAN. merupakan populasi yang besar. Menurut World Health Organization,2007 sekitar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data Demografi menunjukkan bahwa penduduk di dunia jumlah populasi remaja merupakan populasi yang besar. Menurut World Health Organization,2007 sekitar seperlima dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang hidupnya, manusia tidak terlepas dari proses gerak. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melakukan berbagai macam aktifitas yang dipengaruhi oleh tugas, kepribadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan atau aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya. Salah satu contoh aktivitas seharihari adalah bersekolah,kuliah,bekerja

Lebih terperinci

yang sangat penting dalam aktifitas berjalan, sebagai penompang berat tubuh dan memiliki mobilitas yang tinggi, menyebabkan OA lutut menjadi masalah

yang sangat penting dalam aktifitas berjalan, sebagai penompang berat tubuh dan memiliki mobilitas yang tinggi, menyebabkan OA lutut menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disabilitas (ketidakmampuan) baik secara langsung ataupun tidak dapat mempengaruhi kehidupan setiap orang. Adanya nyeri pada lutut yang disebabkan oleh osteoarthtritis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia melakukan aktifitasnya tidak pernah lepas dari proses gerak,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Keseimbangan 2.1.1 Pengertian Keseimbangan Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi atas setiap perubahan posisi tubuh agar tetap stabil dan dinamis. Keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vertebra memiliki struktur anatomi paling kompleks dan memiliki peranan yang sangat penting bagi fungsi dan gerak tubuh. Patologi morfologi seperti HNP, spondyloarthrosis,

Lebih terperinci

OSTEOLOGI EXTREMITAS INFERIOR

OSTEOLOGI EXTREMITAS INFERIOR BLOK BASIC BIOMEDICAL SCIENCES OSTEOLOGI EXTREMITAS INFERIOR DEPARTEMEN ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010 Dimulai dari regio Glutea (posterior) dan dari regio Inguinal (anterior)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesegaran jasmani merupakan indikator kesehatan yang sangat penting bagi seseorang. Kesegaran jasmani berkaitan dengan kemampuan dan kesanggupan fisik seseorang untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sedangkan menurut beberapa ahli lainnya, agility didefinisikan sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sedangkan menurut beberapa ahli lainnya, agility didefinisikan sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agility Agility didefinisikan sebagai kemampuan manuver dari tubuh, yaitu kemampuan merubah posisi dan arah tubuh atau bagian tubuh dengan cepat. Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas adalah berjalan. Untuk dapat menghasilkan mekanisme pola berjalan yang harmonis, maka kita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI 1. Aktivitas Fisik a. Definisi Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Pergelangan Kaki 1. Persendian pada Pergelangan Kaki Pergelangan kaki/ sendi loncat adalah bagian kaki yang terbentuk dari tiga persendian yaitu articulatio talocruralis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dampak berkembangnya teknologi dan pengetahuan, membuat semakin meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. Kesadaran atas kesehatan kadang kurang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi mempermudah manusia dalam kehidupan sehari hari,

BAB 1 PENDAHULUAN. berfungsi mempermudah manusia dalam kehidupan sehari hari, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi saat ini telah memberi dampak yang sangat baik pada kehidupan manusia, banyak teknologi telah ditemukan yang berfungsi mempermudah manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kimiawi, listrik, dan mekanik untuk menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kimiawi, listrik, dan mekanik untuk menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otot Rangka Otot merupakan jaringan peka rangsang. Sel otot dapat dirangsang secara kimiawi, listrik, dan mekanik untuk menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan tugas-tugasnya dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. sendi bahu dan mengakibatkan gangguan aktivitas fungsional.

BAB I PENDAHULUAN. dan tugas-tugasnya dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. sendi bahu dan mengakibatkan gangguan aktivitas fungsional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sehat menurut WHO adalah suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Dengan kondisi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Struktur Anatomi Otot Rangka

TINJAUAN PUSTAKA Struktur Anatomi Otot Rangka 3 TINJAUAN PUSTAKA Struktur Anatomi Otot Rangka Otot rangka (skeletal muscle) bertanggung jawab atas pergerakan tubuh secara sadar. Otot rangka disebut juga otot lurik (striated muscle) karena pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga kehidupan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Sehat

BAB I PENDAHULUAN. hingga kehidupan yang berkaitan dengan lingkungan sekitar. Sehat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan sangat penting bagi manusia untuk hidup, dan melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam memenuhi kebutuhan sehariharinya hingga kehidupan

Lebih terperinci

iii. Bekerja di luar kesadaran, gerakan lambat, ritmis dan tidak mudah lelah. b. Otot Lurik

iii. Bekerja di luar kesadaran, gerakan lambat, ritmis dan tidak mudah lelah. b. Otot Lurik III. OTOT 1. Jenis-Jenis Jaringan Otot Ada beberapa jeni jaringan otot pada tubuh manusia yang perlu diketahui, antara lain: a. Jaringan Otot polos (Otot Volunter) Jaringan otot polos merupakan otot yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidup sehat adalah tujuan semua orang. Salah satu yang mempengaruhi kualitas hidup individu adalah kondisi fisiknya sendiri. Sehingga manusia yang sehat sudah tentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional telah mewujudkan hasil yang positif di berbagai bidang, yaitu ada kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas atau kegemukan adalah keadaan yang terjadi apabila kuantitas jaringan lemak tubuh dibandingkan berat badan total lebih besar daripada normal. Hal ini

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PLANTAR PADA USIA TAHUN. Arif Wicaksono Sasanthy Kusumaningtyas Angela BM Tulaar

KARAKTERISTIK PLANTAR PADA USIA TAHUN. Arif Wicaksono Sasanthy Kusumaningtyas Angela BM Tulaar KARAKTERISTIK PLANTAR PADA USIA 17-21 TAHUN Arif Wicaksono Sasanthy Kusumaningtyas Angela BM Tulaar Latar Belakang Apakah lengkung kaki kita normal? Belum ada data plantar pada usia tersebut Tekanan plantar

Lebih terperinci