Foto-foto pada halaman sampul merupakan hak cipta Bank Dunia.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Foto-foto pada halaman sampul merupakan hak cipta Bank Dunia."

Transkripsi

1 DIPERSIAPKAN UNTUK RAPAT KERJA GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALIKOTA DAN STAKEHOLDER DALAM RANGKA SINKRONISASI PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN 2011 DAN RENCANA PROGRAM TAHUN 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011 PKDSP UNIBRAW BAPPEPROV JATIM

2 Foto-foto pada halaman sampul merupakan hak cipta Bank Dunia. Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang terdapat dalam dokumen ini. Batasan, warna, angka dan informasi lain yang tercantum pada setiap peta dalam dokumen ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum suatu wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.

3 RINGKASAN EKSEKUTIF Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011 DIPERSIAPKAN UNTUK RAPAT KERJA GUBERNUR DENGAN BUPATI/WALIKOTA DAN STAKEHOLDER DALAM RANGKA SINKRONISASI PELAKSANAAN PROGRAM TAHUN 2011 DAN RENCANA PROGRAM TAHUN 2012

4

5

6

7 PENDAHULUAN Jawa Timur selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki posisi strategis, baik dari aspek ekonomi maupun dari sisi demografisnya. Secara ekonomi, provinsi ini merupakan penghubung antara kawasan Timur dan Barat Indonesia, khususnya sebagai pintu gerbang perdagangan antar pulau dan daerah. Pada tahun 2010, Jawa Timur mempunyai porsi perdagangan sebesar 52 persen dengan wilayah Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua dan 47 persen dengan wilayah Indonesia bagian barat seperti Sumatra dan Jawa. Sementara dari aspek demografi, jumlah penduduk Jawa Timur adalah yang kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Jawa Timur adalah sebesar 37,477 juta jiwa atau 16 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dengan demikian, perkembangan ekonomi dan kependudukan yang terjadi di Jawa Timur akan berpengaruh terhadap konstelasi perekonomian nasional. Gambar 1. Kontribusi PDRB Jawa Timur dan perdagangan antar pulau, 2010 Luas Wilayah Jumlah Kabupaten Kota Jumlah Penduduk ,50 Km2 29 kabupaten dan 9 Kota 37,477 juta jiwa Nilai Perdagangan (Trilyun Rupiah) Vol. Perdagangan (Juta Ton) % 8% 6% % 5% 4% 2% Bongkar Muat 0% DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Jawa Timur Yogyakarta Kontribusi PDRB Provinsi Terhadap Nasional (2010) Rata-rata Pertumbuhan PDRB Per tahun ( ) Banten 0% Sumatera Antar Provinsi Jawa Antar Daerah Jawa Timur Bali, Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi,Maluku & Papua Nilai Perdagangan (Trilyun Rupiah) Proporsi Nilai Perdagangan (%) Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Jawa Timur memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat cukup stabil dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dengan rata-rata di atas pertumbuhan ekonomi nasional, namun angka kemiskinan masih berada di atas angka nasional. Sebagai kontributor kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2005 selalu lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional, kecuali pada tahun Pada tahun 2010, ekonomi Jawa Timur tumbuh sebesar 6,7 persen, merupakan angka tertinggi di Jawa dan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur masih yang paling besar di Jawa karena memang populasi penduduk Jawa Timur yang sangat besar. Di tahun 2010, tingkat kemiskinan Jawa Timur sebesar 15,3 persen, masih di atas tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,3 persen. 1

8 Pendahuluan Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah telah membantu penurunan persentase penduduk miskin di Jawa Timur terutama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dan nasional, 2010 Sumber: BPS Pusat dan Jawa Timur, Gambar 3. Peta tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Jawa Timur 2008 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data pemerintah provinsi Jawa Timur dan data BPS. 2

9 Pendahuluan Pola pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi kewilayahan di Jawa Timur menunjukkan adanya wilayah yang sangat maju dan wilayah yang masih tertinggal. Pertumbuhan yang tinggi terpusat di perkotaan seperti Kota Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo dan Gresik), serta Kota Malang dan Kabupaten Malang. Kota-kota tersebut merupakan pusat aktivitas ekonomi di Jawa Timur dengan kontribusi sebesar 50 persen terhadap total ekonomi Jawa Timur pada tahun Kajian Diagnosa Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur (DPEJT, 2011) mengindikasikan bahwa pola pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang ini tidak memerlukan intervensi khusus untuk memindahkan kegiatan ekonomi ke daerah-daerah tertinggal. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa aglomerasi di daerah perkotaan memiliki efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi jika ditunjang dengan fasilitas dan infrastruktur yang tepat. Sehingga yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menerapkan program pembangunan yang bersifat umum dan netral secara spasial, seperti misalnya dengan meningkatkan akses pendidikan dan kesehatan untuk memungkinkan penduduk daerah tertinggal memaksimalkan manfaatnya dan bergerak ke arah peluang yang lebih baik serta diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang menghubungkan secara spasial untuk meningkatkan arus barang, orang, dan informasi ke pusat-pusat ekonomi. Peningkatan infrastruktur tersebut juga dapat memperluas perdagangan antar- dan dalam provinsi. Gambar 4. Ukuran geografis aktual per kabupaten/kota Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. 3

10 Pendahuluan Gambar 5. Ukuran ekonominya (sebagaimana diukur dari PDRB) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS. Jumlah penduduk yang cukup besar di Jawa Timur bisa menjadi penggerak perekonomian bila tenaga kerja tersebut memiliki dan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi. Proporsi serapan tenaga kerja berdasarkan sektoral di Jawa Timur dari tahun ke tahun relatif stabil, dengan tidak banyak perubahan komposisi tenaga kerja di masing-masing sektor. Sebagian besar tenaga kerja di Provinsi Jawa Timur terserap di sektor pertanian dengan proporsi sebesar 42,5 persen, sementara sektor ini memiliki produktifitas tenaga kerja paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya. Kajian DPEJT merekomendasikan bahwa untuk mengurangi kemiskinan di Jawa Timur, pemerintah provinsi membutuhkan strategi untuk memfasilitasi transisi tenaga kerja ke sektor yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi, meningkatkan produktivitas sektor pertanian dengan meningkatkan nilai tambah produk pertanian serta mempromosikan pekerjaan untuk non-tani di pedesaan seperti industri pertanian dan industri pedesaan skala kecil untuk membantu petani-petani yang memiliki kemungkinan kecil (misalnya karena usia yang sudah lanjut dan pendidikan yang rendah) untuk pindah ke sektor nonpertanian. 4

11 Jumlah TK (ribu orang) Pendahuluan Gambar 6. Tenaga kerja per sektor dan berdasarkan struktur di Jawa Timur Sumber: BPS Jawa Timur, Jumlah TK per Sektor 25,000 20,000 15,000 10,000 5, pertanian industri konstruksi perdagangan 35,000, Struktur Ketenagakerjaan 30,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, bekerja pengangguran bukan angkatan kerja Angkatan kerja di Jawa Timur sebagian besar masih memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, yang merupakan salah satu penyebab provinsi ini memiliki tingkat upah minimum dan rata-rata upah bulanan paling rendah dibanding provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2010, lebih dari 52 persen angkatan kerja di Jawa Timur hanya berpendidikan SD atau bahkan lebih rendah. Sementara angkatan kerja berpendidikan lanjutan (DI-III dan Universitas) dan tidak lebih dari 5 persen. Karena pendidikan yang rendah maka ketrampilan pekerja juga cenderung rendah sehingga tingkat upah relatif rendah. Rendahnya akses terhadap pendidikan menengah merupakan salah satu faktor rendahnya capaian pendidikan di provinsi tersebut. Terdapat jurang yang lebar antara kaum berada dan kaum miskin, dan juga antara penduduk pedesaan dan perkotaan dalam hal akses terhadap pendidikan menengah. Akses yang timpang ini dapat disebabkan oleh terbatasnya jumlah sekolah menengah, distribusi sekolah yang tidak merata dan relative tingginya biaya pendidikan menengah. Di tingkat kabupaten/kota, banyak kabupaten/kota mencatat angka partisipasi murni sekolah dasar di atas 90 persen. Akan tetapi variasi angka partisipasi yang lebih besar dapat dijumpai pada tingkat menengah pertama dengan rentang antara 45 persen sampai 85 persen dan pada tingkat menengah atas dengan rentang antara 18 persen sampai 80 persen di tahun Gambar 7. Angkatan kerja per pencapaian pendidikan di tahun 2010 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas/BPS. 5

12 Pendahuluan Dengan demikian, tantangan utama pembangunan Jawa Timur dalam pengelolaan keuangan daerah adalah memposisikan APBD provinsi Jawa Timur sebagai instrumen untuk mempercepat terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah memadai, yang pada akhirnya mengurangi secara signifikan angka kemiskinan. Mengingat besarnya potensi ekonomi dan masih cukup tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur, maka target pertumbuhan ekonomi Jawa Timur seharusnya berada jauh di atas target pertumbuhan nasional, yaitu rata-rata di atas 7 persen pertahun. Target tersebut perlu ditopang dengan manajemen pengelolaan keuangan daerah yang baik. Tata kelola APBD yang baik dapat menjadi stimulus pembangunan dengan bertumpu pada tiga komponen utama, yaitu: (i) percepatan perbaikan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengarusutamaan gender, (ii) percepatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan mobilitas dan aktivitas ekonomi antar daerah, dan (iii) terjadinya percepatan transformasi struktural melalui industrialisasi yang berbasis pada pertanian dan/atau sumber daya alam lainnya. 6

13 Pendapatan Daerah PENDAPATAN DAERAH Jawa Timur membutuhkan sumber daya keuangan yang cukup untuk dapat mengatasi beberapa tantangan penting agar dapat meningkatkan pembangunan ekonomi seperti yang diuraikan diatas. Bagian ini akan membahas tentang perkembangan sumber daya fiskal yang dimiliki pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal utama yang akan dilihat adalah pendapatan daerah di Jawa Timur, sumber sumber pendapatan yang berkontribusi cukup signifikan, serta ruang fiskal pemerintah untuk dapat mengalokasikan dana tersebut bagi peningkatan kualitas infrastruktur, pendidikan dan pertanian. Gambar 8a. Pendapatan daerah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Timur, Gambar 8b. Komponen pendapatan daerah Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Timur, ,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, ,949 27,101 6,179 8, ,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, ,571 8,424 9,065 7,100 9,474 20,105 21,203 21,279 20,882 19, Provinsi Kabupaten/Kota DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya Sumber: APBD Jawa TImur, Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah. Selama lima tahun terakhir, pendapatan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Timur secara riil meningkat stabil dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 6 persen dari Rp. 33,3 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 42,2 trilyun pada tahun Pendapatan daerah pemerintah provinsi meningkat dari Rp. 6,3 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 8,2 trilyun pada tahun Dari pendapatan daerah terserbut, secara riil komponen DAK meningkat cukup tinggi sekitar 14 persen per tahunnya, dari Rp. 1,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 1,7 trilyun pada tahun Komponen PAD mengalami pertumbuhan yang stabil dengan rata-rata 7 persen per tahunnya dari Rp. 7,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 9,4 trilyun pada tahun Komponen Dana Bagi Hasil juga meningkat sebesar 10 persen dari Rp. 3,1 trilyun pada 2006 menjadi Rp. 4,5 trilyun pada Komponen pendapatan daerah lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu kurang lebih 42 persen secara rata-rata per tahun dari Rp. 1,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 6,4 trilyun pada tahun Dana DAU mengalami penurunan secara riil semenjak tahun 2009 dari Rp. 21,2 trilyun tahun 2008 menjadi Rp. 20,8 trilyun pada tahun 2009 dan Rp. 19,9 trilyun pada tahun Ini disebabkan karena penurunan DAU 7

14 Pendapatan Daerah untuk kabupaten/kota khususnya pada tahun 2010 dimana hampir seluruh kabupaten/kota mengalami penurunan DAU kecuali Kota Batu. Penurunan DAU di kabupaten/kota disebabkan karena variabel PAD yang turut diperhitungkan dalam formula perhitungan DAU mengalami peningkatan pada tahun tersebut. 1 Sebagian besar pendapatan daerah provinsi dan kabupaten/kota Jawa Timur berasal dari dana DAU, namun kecenderungan dalam lima tahun terakhir menunjukkan semakin besarnya kontribusi pendapatan asli daerah. Porsi DAU dalam pendapatan daerah provinsi dan kabupaten kota di Jawa Timur turun dari 60 persen pada tahun 2006 menjadi 47 persen pada Besar kontribusi DAU ini berbeda antara provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi, secara rata-rata selama , lebih dari 70 persen pendapatan provinsi bersumber dari Pendapatan Asli Daerah yaitu sebesar Rp. 4,4 trilyun tahun 2006 dan Rp. 5,9 trilyun tahun Porsi pendapatan bagi hasil mengalami peningkatan dari 11 persen menjadi 12 persen pada periode yang sama. Porsi DAU pada pemerintah provinsi mengalami penurunan walaupun secara nominal mengalami peningkatan. Porsi ini turun dari 16,1 persen tahun 2006 (Rp. 993 milyar) menjadi 14 persen tahun 2010 (Rp. 1,1 trilyun). Sementara itu, jumlah DAU pemerintah kabupaten/kota secara keseluruhan mengalami penurunan walaupun masih merupakan komponen terbesar pendapatan daerah pemerintah kabupaten/kota. Porsi DAU menurun dari 70 persen pada tahun 2006 (Rp. 19,1 trilyun) menjadi 55 persen pada tahun 2010 (Rp. 18,7 trilyun). Porsi PAD meningkat dari 9 persen pada tahun 2006 menjadi 10 persen pada tahun Porsi DAK meningkat dari 4 persen pada tahun 2006 menjadi 5 persen pada tahun Porsi Dana Bagi Hasil mengalami peningkatan dari 9 persen menjadi 10 persen pada periode yang sama. Porsi pendapatan daerah lainnya mengalami peningkatan paling tinggi dari 6 persen (2006) menjadi 18 persen (2010). Gambar 9a. Porsi pendapatan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Gambar 9b. Porsi pendapatan daerah Pemerintah Kabupaten/kota Jawa Timur, % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% % 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya DAU DAK Bagi Hasil PAD Pendapatan Daerah Lainnya Sumber: APBD Jawa TImur, suarasurabaya.net, 14 Agustus 2010, diakses melalui pada 13 Oktober

15 Kota Mojokerto Kota Blitar Kota Kediri Kota Madiun Kota Pasuruan Kota Probolinggo Kota Batu Kab. Magetan Kab. Madiun Kab. Pacitan Kab. Trenggalek Kota Surabaya Kab. Tulungagung Kab. Situbondo Kota Malang Kab. Bondowoso Kab. Ngawi Kab. Ponorogo Kab. Nganjuk Kab. Blitar Kab. Pamekasan Kab. Sumenep Kab. Gresik Kab. Lamongan Kab. Tuban Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Lumajang Kab. Banyuwangi Kab. Probolinggo Kab. Bangkalan Kab. Sampang Kab. Bojonegoro Kab. Kediri Kab. Pasuruan Kab. Jombang Kab. Malang Kab. Jember Pendapatan Daerah Terdapat perbedaan yang besar dalam jumlah pendapatan daerah perkapita yang dimiliki oleh kabupaten/kota di Jawa Timur. Kelompok dengan pendapatan daerah cukup tinggi terdapat pada daerah perkotaan mencakup Kota Mojokerto, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Madiun, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, dan Kota Batu dengan pendapatan fiskal perkapita sekitar Rp. 2-3 juta. Sebagian besar kabupaten/kota lain di Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya dan Kota Malang, memiliki pendapatan fiskal perkapita rendah sekitar Rp. 500 ribu 1 juta. Kawasan Gerbangkertasusila berada di kelompok daerah dengan pendapatan perkapita daerah yang rendah walaupun mempunyai kebutuhan sumber daya keuangan yang cukup tinggi karena cukup tingginya populasi di kawasan tersebut. Gambar 10. Pendapatan perkapita daerah kabupaten/kota Jawa Timur tahun ,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000, ,000 - DAU DAK Revenue Sharing Own-Source Revenue Others Sumber: APBD Jawa Timur, Pendapatan Asli Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota Jawa Timur sebagian besar berasal dari pajak daerah. Pada pemerintah provinsi, selama , secara rata-rata lebih dari 80 persen PAD provinsi berasal dari pajak daerah. Komponen kedua terbesar dalam PAD provinsi disumbangkan oleh pendapatan daerah lainnya yang sebagian besarnya terdiri dari keuntungan perusahaan besar. Secara rata-rata kontribusi PAD lainnya pada PAD provinsi mencapai 6 persen selama periode Sumber PAD provinsi lainnya adalah retribusi daerah (4 persen) serta hasil kekayaan daerah yang dipisahkan (3 persen). Di tingkat kabupaten/kota, sumber PAD mayoritas berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Porsi kedua komponen PAD ini hampir sama yaitu rata-rata 36 persen untuk pajak daerah dan 35 persen untuk retribusi daerah selama Di masa yang akan datang Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki peluang untuk semakin meningkatkan pendapatan pajak daerahnya dengan optimalisasi pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), namun hal tersebut memerlukan kebijakan pengelolaan yang baik. Salah satu contoh praktik yang baik dalam inisiatif untuk mengelola PBB adalah seperti yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Setelah diberlakukannya undang-undang yang melimpahkan kewenangan pengelolaan 9

16 Pendapatan Daerah PBB-nya ke kabupaten/kota. 2 Pemerintah segera melakukan beberapa inisiatif untuk mengelola PBBnya. Kota Surabaya membangun sistem SISMIOP (Sistem Informasi dan Manajemen Objek Pajak dan Prosedur Operasional Standar (SOP)). Kebijakan ini menujukkan kemajuan yang positif walaupun masih banyak memerlukan perbaikan khususnya dalam hal kapasitas kelembagaan dan kriteria hukum. Namun, proses implementasi kebijakan ini cukup mengalami hambatan seperti misalnya persetujuan dari Kementerian Keuangan yang memakan waktu dan kurangnya staf terampil untuk menjalankan sistem pajak yang baru ini. Beberapa usulan seperti kriteria pajak yang jelas serta pelatihan kepada para pegawai pajak untuk mengoperasikan sistem SISMIOP dapat membantu implementasi kebijakan ini berjalan secara optimal. Gambar 11a. Komponen PAD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Gambar 11b. Komponen PAD Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Timur, ,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1, Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1,400 1,200 1, Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Sumber: APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah. Sumber: APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah. Hampir seluruh pendapatan bagi hasil pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Jawa Timur berasal dari bagi hasil pajak. Porsi bagi hasil pajak ini secara rata-rata mencapai 98 persen dari seluruh pendapatan bagi hasil selama , meningkat dari Rp. 3,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 4,5 trilyun pada tahun Porsi bagi hasil sumber daya alam di Jawa Timur sangat minim, secara ratarata sebesar 2 persen dari total Bagi Hasil SDA Jawa Timur. Pada tahun 2008 dana bagi hasil ini meningkat cukup tinggi dari Rp. 75 milyar menjadi Rp. 383 milyar yang sebagian besar berasal dari dana bagi hasil SDA untuk minyak di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Brojonegoro (LKPP, 2008). Porsi DAK, sebagai sumber daya keuangan lain untuk pembangunan infrastruktur dan pertanian, sekitar 4 persen dari total pendapatan Jawa Timur. Walaupun DAK tumbuh dengan rata-rata 15 persen per tahun, dari Rp. 1 trilyun menjadi Rp. 1,7 trilyun, namun nilai ini mungkin kurang memadai untuk 2 Indonesia Sub-National Public Expenditure Review, Policy Note 6: Financing Infrastructure Projects, The World Bank, July

17 Pendapatan Daerah dana pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Secara rata-rata setiap kabupaten/kota di Jawa Timur menerima DAK sebesar Rp. 44 milyar (jika menggunakan data 2010). Sebagian besar atau sekitar 51 persen dana DAK dialokasikan untuk pendidikan. Porsi DAK untuk sektor infrastruktur di Jawa Timur hanya sebesar 20 persen dan hanya 5 persen untuk sektor pertanian, atau jika dihitung dari rata-rata per kabupaten/kota sebesar maka nilainya Rp. 9 milyar untuk infrastruktur dan Rp. 2,1 milyar untuk sektor pertanian. Gambar 12a. Ruang fiskal Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Timur, Gambar 12b. Ruang fiskal kabupaten/kota tahun Provinsi Kabupaten/kota Kab. Lamongan Kab. Magetan Kab. Ponorogo Kab. Mojokerto Kab. Kediri Kab. Bondowoso Kab. Madiun Kab. Tuban Kab. Pamekasan Kab. Bojonegoro Kab. Gresik Kota Blitar Kota Mojokerto Kab. Ngawi, Kota Mojokert o, Sumber: APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah. Sumber: APBD Jawa TImur, Catatan: Angka dalam gambar adalah persen terhadap total pendapatan daerah kabupaten/kota. Pemerintah provinsi mempunyai ruang fiskal 3 sebesar 40 persen dari pendapatan daerahnya (atau sebesar Rp. 3 trilyun) sementara pemerintah kabupaten/kota mempunyai ruang fiskal sebesar 31 persen dari pendapatan daerahnya (atau sebesar Rp. 10,1 trilyun) pada tahun Ruang fiskal ini sedikit lebih kecil dari ruang fiskal nasional sebesar 42 persen dari pendapatan. Dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, Kota Mojokerto mempunyai ruang fiskal terbesar yaitu 50 persen dari total pendapatan daerah Kota Mojokerto tahun Sebaliknya Kabupaten Ngawi mempunyai ruang fiskal terkecil yaitu sebesar 19 persen dari pendapatan daerah Kabupaten Ngawi tahun Selama lima tahun terakhir, ruang fiskal pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota mengalami penurunan. Ruang fiskal pemerintah provinsi mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2008 dan 2010 yang berasal dari peningkatan belanja bagi hasil ke daerah bawahan yang cukup besar. Ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota semakin kecil, dari Rp. 11,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 7,6 trilyun 3 Ruang fiskal (fiscal space) menunjukkan proporsi dari anggaran pemerintah yang dapat digunakan untuk keperluan pembangunan setelah dikurangi dengan anggaran untuk keperluan yang wajib dipenuhi dan pendapatan yang sudah diatur peruntukkannya (earmarked). Dalam hal ini ruang fiskal di definisikan sebagai Total Pendapatan Pemerintah dikurangi dengan belanja gaji, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, belanja bunga, dan pendapatan dana alokasi khusus. 11

18 Pendapatan Daerah pada tahun Penurunan ini terjadi paling besar pada tahun 2010, karena semakin meningkatnya belanja pegawai. Setelah menganalisis pendapatan daerah Jawa Timur, dapat dilihat bahwa sumber daya finansial Jawa Timur mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Walaupun ruang fiskal memperlihatkan penurunan karena komponen belanja bagi hasil dan bantuan keuangan ke daerah bawahan yang mengalami peningkatan, namun ruang fiskal ini dapat ditingkatkan melalui peningkatan sumber pendapatan khususnya melalui PAD (Pajak Daerah). Selain itu pengelolaan PBB yang akan diserahkan ke daerah dapat menjadi sumber potensial bagi pendapatan daerah di waktu yang akan datang. Daerah-daerah yang memiliki ruang fiskal yang luas menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki potensi besar untuk menggunakan anggarannya untuk menggerakkan pembangunan jika alokasi belanjanya dikelola secara efektif. Selain melalui peningkatan PAD, pemerintah Jawa Timur juga dapat meningkatkan sumber daya finansialnya melalui skema-skema pembiayaan alternatif seperti kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership). Kondisi fiskal yang relatif juga memungkinkan beberapa pemerintah daerah untuk mengakses pembiayaan pinjaman baik dalam negeri (seperti municipal bond, dan pinjaman ke pemerintah pusat) maupun luar negeri. 12

19 Belanja Daerah BELANJA DAERAH Gambaran Umum Pengalokasian sumber daya keuangan ikut menentukan arah pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Bagian sebelumnya telah membahas mengenai ketersediaan sumber daya keuangan yang ada di jawa timur, sementara bagian ini akan melihat bagaimana sumber daya ini dialokasikan. Pertama- tama dapat dilihat gambaran belanja daerah serta trendnya secara umum, yang diikuti dengan komposisi belanja tersebut baik berdasarkan klasifikasi ekonominya maupun berdasarkan sektoral secara umum. Pembahasan belanja sektoral pada isu-isu utama seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertanian akan dielaborasi secara lebih dalam di bagian selanjutnya. Secara keseluruhan, belanja publik di Jawa Timur, mencakup Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota mengalami peningkatan. Pertumbuhan belanja tersebut cukup stabil secara rill selama 11 persen dari Rp. 34 trilyun tahun 2006 menjadi Rp. 50,2 trilyun tahun Belanja publik di Jawa Timur 74 persen dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota, sementara belanja pemerintah pusat dan pemerintah provinsi masing-masing hanya mengelola 8 persen dan 18 persen. Gambar 13. Belanja daerah Jawa Timur oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota dan Pusat, ,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, ,857 32,990 24,672 9,824 6,203 6,048 3,163 3,181 1, Provinsi Kabupaten/kota Dekon dan TP Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar adalah dalam milyar rupiah. Seluruh komponen belanja daerah Jawa Timur berdasarkan klasifikasi ekonomi mengalami peningkatan. Belanja Pegawai meningkat secara riil dari Rp. 13,2 trilyun tahun 2006 menjadi Rp. 23,2 trilyun pada tahun Belanja pegawai provinsi meningkat secara riil dengan rata-rata 12 persen per tahun dan belanja pegawai kabupaten/kota meningkat secara riil sebesar 15 persen pada periode yang sama. Belanja modal mengalami peningkatan secara rata-rata sebesar 11 persen per tahun selama sedangkan belanja barang dan jasa tumbuh paling rendah sebesar 2 persen pada periode yang sama. Belanja lain-lain secara riil tumbuh paling tinggi dari Rp. 4,6 trilyun menjadi Rp. 8,8 trilyun. 13

20 Belanja Daerah Sebagian besar peningkatan belanja lain-lain ini berasal dari belanja bagi hasil serta bantuan keuangan kepada daerah bawahan. Belanja Daerah Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Porsi Belanja Pegawai dan Belanja Barang dan jasa pemerintah provinsi hampir sama pada tahun 2009 masing-masing sebesar Rp. 1,5 trilyun dan Rp. 1,9 trilyun. Porsi belanja pegawai pada belanja pemerintah provinsi stabil sebesar 20 persen selama periode Porsi belanja barang dan jasa pemerintah provinsi sempat mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2007 dan setelah itu stabil kurang lebih 25 persen total belanja provinsi. Belanja barang dan jasa provinsi naik dari Rp. 2 trilyun menjadi Rp. 2,5 trilyun. Sebagian besar belanja pemerintah provinsi Jawa Timur dialokasikan untuk belanja lain-lain, yaitu sebesar 45 persen pada tahun Belanja lain-lain ini meningkat cukup signifikan dari Rp. 2,1 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 4,4 trilyun pada tahun Hampir seluruh belanja lain-lain pemerintah provinsi ini dialokasikan untuk belanja bagi hasil dan bantuan keuangan ke daerah bawahan (kabupaten/kota) untuk sektor-sektor pelayanan publik seperti sosial, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Gambar 14a. Porsi belanja Pemerintah Provinsi Jawa Timur berdasarkan klasifikasi ekonomi, Gambar 14b. Porsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Timur berdasarkan klasifikasi ekonomi, Pegawai Barang dan Jasa Pegawai Barang dan Jasa Modal Lainnya Modal Lainnya Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja provinsi. Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja kabupaten/kota. Sebagian besar belanja pemerintah kabupaten/kota dialokasikan untuk belanja pegawai. Porsi belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota ini juga mengalami peningkatan dari 48 persen pada tahun

21 Belanja Daerah menjadi 56 persen pada tahun Secara absolut, belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp. 12 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 21,3 trilyun pada tahun Seiring dengan peningkatan porsi belanja pegawai, porsi belanja barang dan jasa pemerintah kabupaten/kota mengalami penurunan dari 23 persen pada tahun 2006 menjadi 14 persen pada tahun 2010 walaupun secara absolut penurunan belanja ini tidak terlalu besar dari Rp. 5,7 trilyun menjadi Rp. 5,5 trilyun. Porsi belanja modal pada tahun 2010 kurang dari seperlima total belanja pemerintah kabupaten/kota. Porsi ini turun dari tahun sebelumnya, sebesar 22 persen (Rp. 7,3 trilyun) menjadi 14 persen (Rp. 6,5 trilyun) Belanja Daerah Berdasarkan Sektor Belanja administrasi umum merupakan belanja terbesar pemerintah provinsi. Belanja ini naik dari Rp. 7,7 trilyun pada tahun 2006 menjadi Rp. 10,9 trilyun pada tahun Namun, sebagian besar belanja ini berasal dari belanja bagi hasil dan bantuan keuangan ke daerah bawahan serta belanja hibah/subsidi pada urusan pemerintahan umum, yang mencapai lebih dari 50 persen dari total belanja administrasi umum ini. Belanja terbesar kedua pemerintah provinsi Jawa Timur merupakan belanja kesehatan yang meningkat dari 11 persen (Rp. 2 trilyun) pada tahun 2006 menjadi 14 persen (Rp. 3,8 trilyun) pada tahun Belanja infrastruktur merupakan belanja terbesar ketiga yaitu sebesar 10 persen pada tahun Gambar 15a. Porsi belanja Pemerintah Provinsi berdasarkan sektor, Gambar 15b. Porsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan sektor, Admin Umum Infrastruktur Pendidikan Kesehatan Pertanian Lainnya Admin Umum Infrastruktur Pendidikan Kesehatan Pertanian Lainnya Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur, Catatan: Angka dalam gambar merupakan persen terhadap total belanja. Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan belanja daerahnya sebagian besar untuk sektor pendidikan. Porsi belanja ini mengalami peningkatan dari 33 persen (Rp. 8,6 trilyun) pada tahun 2006 menjadi 41 persen (Rp. 15,7 trilyun) pada tahun Namun, perlu dianalisis lebih lanjut mengenai 15

22 Belanja Daerah alokasi belanja pendidikan ini agar dapat memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan di Jawa Timur. Porsi belanja infrastruktur tidak terlalu besar dan mengalami penurunan signifikan dari 16 persen (Rp. 3,8 trilyun) pada tahun 2006 menjadi 11 persen (Rp. 4,9 trilyun). Porsi belanja pertanian juga merupakan porsi belanja terkecil diantara sektor-sektor pelayanan publik lainnya, yaitu sekitar 2 persen dari total belanja pemerintah kabupaten/kota. Serupa dengan pendapatan daerah, belanja daerah perkapita Jawa Timur cukup timpang diantara kabupaten/kotanya. Kota-kota di Jawa Timur seperti Kota Mojokerto, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Pasuruan, Kota Madiun, Kota Batu, serta Kota Probolinggo berada di kelompok belanja daerah perkapita yang relatif tinggi, berkisar antara Rp. 1,8 juta Rp. 3,5 juta. Sedangkan kelompok kabupaten, Kota Surabaya serta Kota Malang berada di kelompok belanja daerah perkapita yang relatif rendah, yaitu antara Rp. 570 ribu Rp. 1,2 juta. Gambar 16. Belanja perkapita daerah kabupaten/kota Jawa Timur tahun 2009 (Rp) Sumber: Diolah oleh Tim PEA Jawa Timur dari APBD Jawa Timur Mealui analisis belanja daerah di Jawa Timur, terlihat bahwa terdapat tidak terjadi perubahan yang cukup signifikan pada komposisi belanja sektoral Jawa Timur. Pemerintah provinsi mengalokasikan sebagian besar dananya melalui belanja bagi hasil dan bantuan keuangan bagi daerah bawahan untuk sektor-sektor sosial, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Di tingkat kabupaten/kota, belanja terbesar dialokasikan kepada belanja pegawainya. Belanja pendidikan merupakan sektor utama alokasi belanja pemerintah kabupaten/kota. Namun, perlu diteliti lebih lanjut alokasi belanja pendidikan yang cukup besar dan meningkat di kabupaten/kota. Alokasi belanja daerah untuk sektor infrastruktur masih minim, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota perlu mengkaji lebih lanjut alokasi belanja sektoral, khususnya untuk sektor infrastruktur, sebagai salah satu sektor yang menjadi isu utama di Jawa Timur. 16

23 Analisa Sektoral ANALISA SEKTORAL Sektor Infrastruktur Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Jawa Timur membutuhkan tersedianya infrastruktur. 4 Ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan adalah yang dapat menunjang kegiatan perekonomian yang menjadi tulang punggung provinsi, khususnya pertanian dan industri. Setiap tingkatan daerah memiliki peranannya masing-masing dalam pemenuhan kebutuhan infrastruktur. Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki wewenang untuk memenuhi kebutuhan sarana jalan kabupaten, yang dapat memberikan akses ke wilayah-wilayah yang merupakan pusat pelayanan publik dan sentra kegiatan ekonomi/produksi. Pemerintah Provinsi bertugas untuk memenuhi kebutuhan akan jalan provinsi yang pada dasarnya bertujuan untuk menghubungkan kabupaten/kota antara satu dan lainnya sehingga sentra-sentra tersebut dapat terhubung dan memenuhi skala ekonomisnya. Pemerintah Pusat berperan dalam menghubungkan daerah-daerah tersebut dengan provinsi lainnya. Salah satu kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan adalah ketersediaan infrastruktur yang mempengaruhi iklim investasi. Dengan alasan tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memprioritaskan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan. Kebijakan infrastruktur mengarah pada (i) infrastruktur sosial yang berkaitan dengan sumber daya air; (ii) percepatan infrastruktur penunjang pertanian dan wilayah pedesaan; (iii) infrastruktur yang menunjang pemerataan pembangunan; dan (iv) kerja sama dengan pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur publik dan komersil. Sejauh ini, kinerja pemerintah daerah di Jawa Timur dalam pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar dapat mengimbangi daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagai provinsi yang memiliki beban pembangunan yang besar, dalam arti populasi yang tinggi dan cakupan daerah administratif yang banyak, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki peran penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut. Secara umum, pemerintah daerah di Jawa Timur dapat mengimbangi daerah lain. Secara umum pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar cukup memadai. Upaya pemenuhan akses terhadap sanitasi dapat mengimbangi daerah lain secara rata-rata. Dalam upaya pemenuhan akses terhadap air bersih, Provinsi Jawa Timur berada sedikit di bawah rata-rata nasional. Untuk pemenuhan akses terhadap listrik, Jawa Timur bersama dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa telah melampaui rata-rata nasional. 4 Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah sarana dan prasarana yang terkait Dinas Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan infrastruktur dasar yang terkait dengan pemukiman. 17

24 Panjang jalan (km) Sumatera Utara Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Selatan Jawa Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Nanggroe Prop. Riau Lampung Prop. Papua Rata-rata Sulawesi Tengah Kalimantan Kalimantan Kalimantan Jambi Kalimantan Bali Sulawesi Utara Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Bengkulu Papua Barat Banten D I Yogyakarta Gorontalo Maluku Utara Kepulauan Riau Kepulauan Sulawesi Barat % Analisa Sektoral Gambar 17. Penyediaan infrastruktur dasar dapat mengimbangi rata-rata nasional Akses thd sanitasi Akses thd air bersih Akses terhadap listrik DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Timur Banten Nasional Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS. Kebutuhan akan sarana dan prasarana infrastruktur di Jawa Timur sangat besar. Sebagai Provinsi dengan kegiatan ekonomi terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta, jumlah penduduk terbesar, sebagai provinsi dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak, infrastruktur di Jawa Timur cukup tersedia. Dalam hal ketersediaan jalan, data menunjukkan bahwa Jawa Timur adalah salah satu provinsi yang memiliki jalan kabupaten/kota terpanjang di Indonesia. Pada tahun 1998, Jawa Timur memiliki jalan kabupaten/kota terpanjang di Indonesia dengan hampir 22 ribu km. Dalam satu dasarwarsa, jumlah jalan tersebut meningkat 12 persen menjadi km dan menghubungkan 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur. Gambar 18. Provinsi Jawa Timur memiliki jalan kabupaten/kota terpanjang di Indonesia % Sumber: Data Kementrian Pekerjaan Umum (2009). 18

25 Analisa Sektoral Tantangan utama yang dihadapi oleh Provinsi Jawa Timur adalah bagaimana mempertahankan infrastruktur yang ada untuk menjamin keterhubungan domestik (domestic interconnectivity). Sebagai sebuah provinsi yang memiliki 38 kabupaten/kota dan populasi tertinggi, keterhubungan antar daerah adalah aspek penting dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Bagi pertumbuhan ekonomi, sangatlah penting untuk dapat menghubungkan wilayah-wilayah yang menjadi sentra pertumbuhan dengan wilayah pendukungnya (hinterland), tempat dimana input untuk produksi tersedia. Dilain pihak, pusat-pusat pertumbuhan dibutuhkan untuk dapat menggairahkan dan mendukung kegiatan ekonomi di wilayah sekitarnya. Bagi pemerataan pembangunan, arus barang, jasa dan orang yang lancar dari daerah pendukung ke pusat pertumbuhan akan mengurangi kesenjangan dengan memberikan akses kepada penduduk di daerah pendukung untuk memanfaatkan peluang di sentra-sentra pertumbuhan. Sebagian besar wilayah pedesaan di Jawa Timur telah terhubung dengan jalan, namun kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Secara umum desa-desa di Jawa Timur telah terhubung dengan jalan permanen. Namun ada beberapa daerah yang tertinggal dibandingkan dengan yang lain. Daerah yang masih memiliki desa-desa yang tidak terhubung dengan jalan adalah Bondowoso dan Sumenep. Bondowoso disebabkan oleh wilayah geografisnya yang berada di daerah pegunungan sedangkan Sumenep karena sebagian daerahnya merupakan wilayah kepulauan. Gambar 19. Secara umum, sebagian besar desa telah memiliki akses ke jalan, namun sebagian besar mengalami kerusakan setidak-tidaknya sebesar 20 persen Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS dan Kementerian Pekerjaan Umum. Mempertahankan kualitas infrastruktur jalan adalah tantangan yang dihadapi oleh sebagian besar kabupaten/kota. Ketersediaan akses jalan bukan berarti bahwa permasalahan infrastruktur yang dihadapi oleh kabupaten/kota telah selesai. Jalan yang tersedia tersebut harus dapat dipelihara dan dipertahankan kualitas sehingga dapat digunakan. Ini berarti bahwa kabupaten/kota harus dapat menyediakan anggaran yang memadai untuk dapat menjaga kualitas jalan tersebut. Di Jawa Timur terlihat bahwa kabupaten/kota mengalami kesulitan untuk menjaga kualitas jalannya. Secara rata-rata, hampir 20 persen dari seluruh jalan kabupaten/kota berada dalam kondisi rusak atau rusak berat. Diperlukan komitmen lebih untuk menjaga kualitas infrastruktur yang ada pada tingkat kabupaten/kota. 19

26 Rp milyar Analisa Sektoral Belanja pemerintah pusat di Jawa Timur menyebabkan belanja infrastrukturnya berfluktuasi. Secara riil, belanja pemerintah daerah untuk infrastruktur cenderung konstan walaupun ada variasi disetiap tahunnya. Hal ini cukup berbeda dengan yang dialami oleh daerah-daerah lain, khususnya di Indonesia bagian Timur yang mengalami peningkatan belanja infrastruktur yang cukup signifikan. Hal ini antara lain disebabkan Provinsi Jawa Timur tidak banyak membangun infrastruktur baru untuk pemekaran wilayah, seperti di daerah-daerah tersebut. Secara keseluruhan, belanja infrastruktur yang berasal dari belanja pusat dan daerah konsisten berada di atas 10 persen, kecuali di tahun 2010 yang menggunakan angka APBN dan APBD Perubahan. Namun, apabila dilihat besarannya secara riil, terlihat bahwa belanja pemerintah pusat cenderung meningkat hingga tahun 2009 hingga mencapai Rp 1,6 trilyun, namun ditahun berikutnya turun menjadi Rp 373 milyar. Gambar 20. Belanja Pemerintah Daerah untuk infrastruktur cenderung stabil namun mengalami penurunan proporsi dalam 5 tahun terakhir 8,000 14% 15% 16% 7,000 12% 13% 14% 6,000 5,000 10% 12% 10% 4,000 8% 3,000 6% 2,000 4% 1,000 2% * Provinsi Kabupaten/Kota Dekon/TP/KL % Belanja infrastruktur Pemda Sumber: Database PEA Jawa Timur. 0% Ada variasi yang cukup besar dalam belanja infrastruktur pada tingkat kabupaten/kota. Data menunjukkan bahwa kota cenderung memiliki angka belanja infrastruktur per kapita yang lebih tinggi dari pada kabupaten. Dengan jumlah populasi yang lebih tinggi, ini berarti bahwa ada perbedaan yang cukup besar dalam ukuran anggaran untuk infrastruktur di daerah urban daripada daerah rural. Belanja per kapita tertinggi (Rp 435 ribu) bisa mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan belanja perkapita terendah (Rp 42 ribu). Belanja infrastruktur terendah dialami oleh Kabupaten Lumajang dan Lamongan. Sebagian besar belanja pemerintah daerah untuk infrastruktur di Provinsi Jawa Timur digunakan untuk belanja modal. Tren belanja pemerintah daerah dari 2005 hingga 2010 menunjukkan bahwa secara konsisten belanja modal merupakan komponen terbesar dari tahun ke tahun. Pada realisasi 2009 bisa terlihat bahwa pemerintah provinsi membelanjakan hampir separuh untuk belanja modal dan Pemerintah Kabupaten/Kota membelanjakan hampir 75 persen untuk belanja modal. 20

27 Rp milyar Analisa Sektoral Gambar 21. Komposisi belanja infrastruktur pemerintah daerah 7,000 6,000 Belanja infrastruktur (2009) provinsi (dalam) kabupaten/kota (luar) 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 48% 2% 11% 3% 19% 13% Pegawai langsung Pegawai tidak langsung barang dan jasa * pegawai Pegawai langsung Pegawai tidak langsung barang dan jasa modal lain-lain 74% 30% modal Sumber: Database PEA Jawa Timur. Besarnya belanja modal untuk infrastruktur pada tingkat kabupaten/kota menyebabkan alokasi belanja untuk pemeliharaan menjadi terbatas. Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa kualitas jalan kabupaten/kota kurang terpelihara secara optimal. Ini menjadi hal yang mendesak, mengingat bahwa pada tingkat kabupaten/kota, hanya 13 persen belanja yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa, dimana didalamnya terdapat belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, dan belanja operasional dan pemeliharaan. Memang pemeliharaan juga tercakup dalam belanja dekonsentrasi dari pemerintah pusat, namun melihat belanja dekonsentrasi yang sangat fluktuatif, sulit bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk bergantung pada belanja dekonsentrasi untuk pemeliharaan sarana dan prasarana infrastruktur yang telah terbangun. Gambar 22. Belanja program infrastruktur Pemerintah Provinsi Jawa Timur % % % 46% 56% 50% % * Pembangunan jalan dan jembatan Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan - Pembangunan jalan dan jembatan Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan Perhubungan Irigasi, rawa, dan jaringan pengairan Perhubungan Pegawai Barang dan jasa Modal Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD. 21

28 Rp miliar Analisa Sektoral Pada tingkat provinsi, belanja infrastruktur difokuskan pada empat program utama, yaitu pembangunan jalan dan jembatan, rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan, perhubungan, dan irigasi serta sistem pengairan. Keempat program ini merupakan menggunakan 76 persen dari belanja infrastruktur pemerintah provinsi di tahun Dari keempat program ini terlihat program pembangunan jalan dan jembatan mengalami penurunan belanja sejak tahun Dilain pihak, program dukungan untuk sistem perhubungan mengalami peningkatan yang stabil. Program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan cenderung stabil namun ada penurunan drastis di tahun Perbandingan antara daerah yang kinerjanya berbeda menunjukkan bahwa komposisi belanja masingmasing daerah bisa sangat berbeda. Perbandingan dilakukan antara Kota Surabaya sebagai daerah yang memiliki salah beban dan belanja infrastruktur terbesar dengan Kabupaten Lumajang, yang memiliki salah satu belanja infrastruktur per kapita terendah di Jawa Timur. Perbedaan mendasar antara keduanya adalah proporsi belanja pegawai tidak langsung dan belanja modal. Kota Surabaya yang memiliki total belanja infrastruktur 15 kali lipat dibandingkan Lumajang, hanya mengalokasikan 5 persen dari belanjannya untuk belanja pegawai tidak langsung. Lumajang mengalokasikan 28 persen dari belanjanya untuk belanja pegawai tidak langsung. Apabila dilihat dari total belanja pegawai tidak langsungnya, Kota Surabaya tidak mencapai tiga kali lipat dari Lumajang (Rp. 33 milyar berbanding Rp. 12 milyar). Ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi belanja lebih tinggi di Kota Surabaya dibandingkan Lumajang. Dari sisi belanja program terlihat perbedaan yang mencolok antara keduanya yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik. Gambar 23. Perbedaan yang signifikan antara belanja Kota Surabaya dan Kabupaten Lumajang Perbandingan komposisi belanja infrastruktur Kab. Lumajang (dalam) dan Kota Surabaya (luar) tahun % 76% 5% 4% 28% 15% 3% 11% Belanja pegawai tidak langsung Belanja pegawai langsung Belanja barang dan Jasa Belanja modal Komposisi belanja program infrastruktur % - 68% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pembangunan jalan dan jembatan Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan Pembangunan Gorong-gorong Irigasi dan sistem pengairan Perhubungan % dari belanja infrastruktur Lumajang Kota Surabaya Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD. Jawa Timur menghadapi tantangan infrastruktur yang besar di masa yang akan datang. Walaupun ketersediaan infrastruktur dan kinerjanya menunjukkan hasil yang memadai, tren pertumbuhan belanja infrastruktur Jawa Timur (Provinsi, Kabupaten/Kota, Pusat) tidak dapat mengimbangi pertumbuhan PDRB Jawa Timur. Dengan kata lain, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur akan tertinggal oleh pertumbuhan ekonomi. Secara rata-rata, belanja infrastruktur di Jawa Timur hanya sekitar 0,8 persen dari PDRBnya. Dengan tingkat belanja infrastruktur tersebut, sangat sulit bagi pemerintah daerah 22

29 Rp trilyun Analisa Sektoral untuk membiayai kebutuhan infrastruktur yang dapat menopang pertumbuhan ekonominya. Dibutuhkan sumber-sumber pendanaan lain yang dapat membantu pembiayaan infrastruktur di Jawa Timur. Pembiayaan ini dapat berasal dari sumber-sumber kerjasama dengan pihak swasta atau melalui mekanisme-mekanisme inovatif lain yang tersedia, misalnya melalui surat berharga daerah (local bonds) maupun pinjaman baik ke pemerintah pusat melalui fasilitas PIP atau pinjaman. Gambar 24. Investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur masih dibawah 1 persen dari PDRB Jawa Timur % 0.9% 0.8% 0.9% 0.7% 1.0% 0.8% % 0.4% % - 0.0% * Real PDRB Jatim (triliun) Belanja infrastruktur di Provinsi Jatim (triliun) Belanja infrastruktur (% dari PDRB) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data APBD dan BPS. 23

30 Analisa Sektoral Sektor Pendidikan Provinsi Jawa Timur melihat bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah salah satu kunci dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur memprioritaskan pembangunan pendidikan melalui peningkatan kualitas dan akses pendidikan bagi masyarakat secara luas yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun Arah kebijakan tersebut diantaranya adalah menata sistem pembiayaan pendidikan yang berprinsip keadilan, efisien, transparan dan akuntabel, serta peningkatan anggaran pendidikan mencapai 20 persen APBD, untuk melanjutkan upaya pemerataan dan penyediaan layanan pendidikan yang murah dan berkualitas, memberikan akses lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan yang murah dan bermutu. Kebijakan sektor pendidikan provinsi adalah penuntasan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, dan Pendidikan Menengah 12 Tahun. Seperti halnya provinsi-provinsi lain di Indonesia, Angka Partisipasi Murni SD Jawa Timur hampir mencapai angka 100 persen yang berarti hampir seluruh anak usia SD telah berada di sekolah dasar, baik di sekolah negeri, swasta, maupun madrasah yang setingkat. Tantangan berikut yang dihadapi oleh Provinsi Jawa Timur adalah menuntaskan program Wajib Belajar 9 tahun. Dengan APM SD yang mendekati sempurna, APM SMPnya masih relatif rendah. Untuk tingkat SMA, angka ini menjadi semakin rendah dimana hanya sekitar setengah dari anak usia SMA berada di sekolah. Gambar 25. Tantangan pemerintah daerah di Jawa Timur adalah meningkatkan angka partisipasi sekolah untuk tingkat SMP dan SMA % APM SMP % Kelompok pengeluaran terendah (1) Kelompok pengeluaran tertinggi (5) DKI Jakarta Jawa Barat APM SMA Jawa Timur Banten Nasional Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS. Salah satu penyebab utama rendahnya angka partisipasi sekolah pada tingkat SMP dan SMA adalah desakan ekonomi. Ada desakan bagi anak usia remaja untuk ikut membantu perekonomian keluarga, khususnya di daerah-daerah yang tertinggal atau terpencil. Data menunjukkan bahwa angka APM 24

31 Analisa Sektoral terendah di Jawa Timur adalah di Kabupaten Bangkalan dan Sampang, dua dari Kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi di Jawa Timur. Mayoritas angkatan kerja di Jawa Timur berpendidikan rendah. Pada tahun 2009, lebih dari setengah (55 persen) dari angkatan kerja di Jawa Timur hanya lulusan SD atau lebih rendah, termasuk sekitar 21 persen dari total angkatan kerja yang belum pernah ke sekolah atau tidak menyelesaikan sekolah dasar. Hanya sekitar 6 persen dari angkatan kerja menikmati pendidikan sekolah pasca SLTA. 5 Gambar 26. Sebagian besar tenaga kerja berpendidikan rendah yang disebabkan oleh dorongan faktor ekonomi Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan data BPS. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat menjadi salah satu kendala untuk produktivitas tenaga kerja di Jawa Timur. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dapat meningkatkan kesempatan masyarakat miskin untuk mengakses peluang ekonomi secara lebih luas, sementara kapasitas yang lemah dapat menghambat kesempatan mereka untuk sepenuhnya meraih manfaat dari pertumbuhan. Kapasitas manusia itu sendiri bergantung pada dua faktor dasar utama, pencapaian dan akses kepada pendidikan. 5 East Java Growth Diagnostic, The World Bank,

32 Rp milyar Analisa Sektoral Pemerintah Daerah di Jawa Timur terus meningkatkan belanja pendidikannya. Belanja pendidikan tersebut didorong oleh belanja Pemerintah Kabupaten/Kota yang merupakan ujung tombak dalam penyediaan jasa publik pendidikan. Secara rata-rata, belanja pendidikan kabupaten/kota selalu merupakan komponen belanja terbesar yang diikuti oleh belanja pemerintah pusat melalui data dekonsentrasi, tugas pembantuan, maupun Kementrian Lembaga. Di tahun 2009, data realisasi menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menyumbang 63 persen dari seluruh belanja pendidikan dan diikuti oleh belanja pemerintah pusat sebesar 36 persen.. Rasio belanja pendidikan pemerintah daerah di Jawa Timur juga mengalami peningkatan dari 28 persen di tahun 2006 menjadi 33 persen di tahun Gambar 27. Belanja pendidikan terus meningkat secara riil, namun pada tingkat kabupaten/kota masih bervariasi % 34% % 29% 31% 30% 32% 30% 28% % * Provinsi Kabupaten/Kota Dekon/TP/KL % pendidikan dari total APBD 24% Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan menggunakan database PEA Jawa Timur dan BPS. Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Malang, Jember, dan Banyuwangi adalah daerah-daerah yang memiliki belanja pendidikan terendah. Secara per kapita, masing masing daerah membelanjakan kurang dari Rp untuk pendidikan di tahun Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, pertama, tingkat populasi sangat mempengaruhi belanja pendidikan yang terbatas. Penjelasan ini relevan untuk daerah yang cenderung padat penduduknya seperti Gresik, Sidoarjo, dan Malang. Penjelasan yang kedua adalah keterbatasan belanja pendidikan karena adanya prioritas-prioritas lain, khususnya untuk daerah-daerah yang cukup jauh seperti Jember dan Banyuwangi. Selain itu, perlu diteliti lebih jauh apakah rendahnya belanja pendidikan juga disebabkan oleh terbatasnya distribusi guru atau tenaga pengajar di Jember dan Banyuwangi. Gaji untuk guru dan pegawai menghabiskan sebagian besar dari belanja pendidikan pemerintah daerah. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2010, belanja pendidikan pemerintah daerah meningkat 40 persen secara riil. Belanja pegawai merupakan komponen terbesar, khususnya belanja pegawai tidak 26

33 Analisa Sektoral langsung yang mencakup belanja guru dan pegawai dinas pendidikan. Ditahun 2009, belanja guru dan pegawai dinas pendidikan menghabiskan 84 persen dari total belanja kabupaten/kota dan 17 persen dari belanja provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, belanja pegawai langsung, yang umumnya digunakan untuk membayar guru honorer, tergolong kecil, hanya 2 persen. Lain halnya dengan pada tingkat provinsi dimana belanja pegawai langsung mencapai hampir seperempat dari belanja Pemerintah Provinsi. Gambar 28. Belanja pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dihabiskan untuk belanja pegawai 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0 Belanja pendidikan Pemerintah Daerah pegawai * Pegawai tidak langsung modal Pegawai langsung barang dan jasa lain-lain Belanja pendidikan Pemerintah Daerah (2009); provinsi (dalam) kabupaten/kota (luar) 4% 53% 10% 6% 2% 84% 24% 17% Pegawai langsung Pegawai tidak langsung barang dan jasa modal Sumber: Database PEA Jawa Timur. Belanja program lebih banyak dilakukan pada tingkat provinsi, sesuai dengan fungsi Pemerintah Provinsi yang strategis. Selain bertugas memberikan pelayanan pendidikan tingkat menengah atas, pemerintah Provinsi memiliki fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap kabupaten/kota di kawasannya. Belanja program Pemerintah Provinsi, sekitar 40 persen dari belanja pendidikan provinsi, belanja program terbesar adalah untuk program peningkatan mutu pendidikan, yang sebagaian besar digunakan untuk peningkatan kapasitas guru dan pegawai. Sesuai dengan kebijakan sektor pendidikan dituangkan dalam dokumen perencanaannya, Pemerintah Provinsi telah membelanjakan anggaran untuk penuntasan program Wajib Belajar 9 tahun dan pendidikan menengah. Selain itu peningkatan mutu pendidikan telah mendapat perhatian setiap tahunnya dengan alokasi belanja program yang terbesar di dua tahun terakhir. 27

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan regional dalam menganalisis karakteristik daerah yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan,

Lebih terperinci

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016

EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 EVALUASI TEPRA KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR OKTOBER 2016 Realisasi belanja APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-provinsi Jawa Timur Oktober 2016 PROVINSI KABUPATEN/KOTA Provinsi Gorontalo Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dari tahun ketahun. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN. mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah pusat memberikan kebijakan kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur keuangan daerahnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 68 TAHUN 2015 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4. 1 Kondisi Geografis Provinsi Jawa Timur membentang antara 111 0 BT - 114 4 BT dan 7 12 LS - 8 48 LS, dengan ibukota yang terletak di Kota Surabaya. Bagian utara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman yang menjadi komoditas utama di Indonesia. Bagian yang dimanfaatkan pada tanaman kedelai adalah bijinya. Berdasarkan Sastrahidajat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 78 TAHUN 2013 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2014 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pusat dan pemerintah daerah, yang mana otonomi daerah merupakan isu strategis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2009 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2010 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU KEPADA PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2014 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2015 GUBERNUR JAWA TIMUR. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1. Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017 \ PERATURAN NOMOR 121 TAHUN 2016 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Profil Eks Karesidenan Madiun Karesidenan merupakan pembagian administratif menjadi kedalam sebuah provinsi yang dulu dilakukan di Indonesia atau dahulu disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika yang terjadi pada sektor perekonomian Indonesia pada masa lalu menunjukkan ketidak berhasilan dan adanya disparitas maupun terjadinya kesenjangan pendapatan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG PERKIRAAN ALOKASI DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU KEPADA PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP KATA PENGANTAR Keberhasilan pembangunan kesehatan membutuhkan perencanaan yang baik yang didasarkan pada data dan informasi kesehatan yang tepat dan akurat serta berkualitas, sehingga dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dan potensi daerah. Otonomi daerah memberikan peluang luas bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga paradigma kebijakan pembangunan nasional sebaiknya diintegrasikan dengan strategi pembangunan

Lebih terperinci

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur

Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur Grafik Skor Daya Saing Kabupaten/Kota di Jawa Timur TOTAL SKOR INPUT 14.802 8.3268.059 7.0847.0216.8916.755 6.5516.258 5.9535.7085.572 5.4675.3035.2425.2185.1375.080 4.7284.4974.3274.318 4.228 3.7823.6313.5613.5553.4883.4733.3813.3733.367

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten,

Lebih terperinci

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN

EVALUASI/FEEDBACK KOMDAT PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN EVALUASI/FEEDBACK PRIORITAS, PROFIL KESEHATAN, & SPM BIDANG KESEHATAN MALANG, 1 JUNI 2016 APLIKASI KOMUNIKASI DATA PRIORITAS FEEDBACK KETERISIAN DATA PADA APLIKASI PRIORITAS 3 OVERVIEW KOMUNIKASI DATA

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN BADAN KOORDINASI WILAYAH PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN

2. JUMLAH USAHA PERTANIAN BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 61/09/35/Tahun XI, 2 September 2013 HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 PROVINSI JAWA TIMUR (ANGKA SEMENTARA) JUMLAH RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2013 SEBANYAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017

DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017 DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV - 2017 DATA DINAMIS PROVINSI JAWA TIMUR TRIWULAN IV - 2017 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN ANGGARAN 2017 DATA DINAMIS

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 72 TAHUN 2012 TENTANG UPAH MINIMUM KABUPATEN / KOTA DI JAWA TIMUR TAHUN 2013 Menimbang: a. Bahwa dalam upaya meningkatkan kersejahteraan rakyat khususnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015

KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015 Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia KARAKTERISTIK KEMISKINAN DI JAWA TIMUR DAN KEMISKINAN DINAMIS JAWA TIMUR PPLS 2011 DENGAN PBDT 2015 Dr. Ardi Adji (Asisten Ketua Pokja Kebijakan) Tim Nasional

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 57 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN DEFINITIF BAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM NEGERI (PASAL 25/29) DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Program dari kegiatan masing-masing Pemerintah daerah tentunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia telah menerapkan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang berdasarkan asas otonomi daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk membuat kebijakannya

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG PENETAPAN SEMENTARA BAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DALAM NEGERI PASAL 25/29 DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Lebih terperinci

Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Berdasarkan Data Susenas 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Nomor Publikasi : 35522.1402

Lebih terperinci

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota

Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota Jumlah Penduduk Jawa Timur dalam 7 (Tujuh) Tahun Terakhir Berdasarkan Data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kab./Kota TAHUN LAKI-LAKI KOMPOSISI PENDUDUK PEREMPUAN JML TOTAL JIWA % 1 2005 17,639,401

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012

PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012 PEMBANGUNAN PERPUSTAKAAN DESA/KELURAHAN DI JAWA TIMUR 22 MEI 2012 OLEH : Drs. MUDJIB AFAN, MARS KEPALA BADAN PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN PROVINSI JAWA TIMUR DEFINISI : Dalam sistem pemerintahan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 125 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 40/06/35/Th. XIV, 15 Juni 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2015 IPM Jawa Timur Tahun 2015 Pembangunan manusia di Jawa Timur pada tahun 2015 terus mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN LAMONGAN PROFIL KEMISKINAN DI LAMONGAN MARET 2016 No. 02/06/3524/Th. II, 14 Juni 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 25/04/35/Th. XV, 17 April 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) JAWA TIMUR TAHUN 2016 IPM Jawa Timur Tahun 2016 Pembangunan manusia di Jawa Timur pada

Lebih terperinci

P E N U T U P P E N U T U P

P E N U T U P P E N U T U P P E N U T U P 160 Masterplan Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura P E N U T U P 4.1. Kesimpulan Dasar pengembangan kawasan di Jawa Timur adalah besarnya potensi sumberdaya alam dan potensi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL DAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

DESENTRALISASI FISKAL DAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN DESENTRALISASI FISKAL DAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2009-2013 Ikrom Laily Shiyamah, Sujarwoto Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 557 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN KABUPATEN / KOTA SEHAT PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tercapainya kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan transparansi dan akuntabilitas sudah menjadi kewajiban yang harus

Lebih terperinci

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000)

Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Lampiran 1 LAPORAN REALISASI DAU, PAD TAHUN 2010 DAN REALISASI BELANJA DAERAH TAHUN 2010 KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR (dalam Rp 000) Kabupaten/Kota DAU 2010 PAD 2010 Belanja Daerah 2010 Kab Bangkalan 497.594.900

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 No. 010/06/3574/Th. IX, 14 Juni 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) KOTA PROBOLINGGO TAHUN 2016 IPM Kota Probolinggo Tahun 2016 Pembangunan manusia di Kota Probolinggo pada tahun 2016 terus mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO

RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO RILIS HASIL LISTING SENSUS EKONOMI 2016 PROVINSI JAWA TIMUR TEGUH PRAMONO 2 Penjelasan Umum Sensus Ekonomi 2016 Sensus Ekonomi merupakan kegiatan pendataan lengkap atas seluruh unit usaha/perusahaan (kecuali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR

LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR LOKASI SEKTOR UNGGULAN di JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur Perekonomian di berbagai kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Timur terbentuk dari berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/359/KPTS/013/2015 TENTANG PELAKSANAAN REGIONAL SISTEM RUJUKAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Tabel 2.25 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Tabel 2.25 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) 2.2. Aspek Kesejahteraan Rakyat Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur dapat dielaborasi kedalam tiga fokus utama, yaitu Fokus Kesejahteraan Masyarakat dan Pemertaan Ekonomi, Fokus Kesejahteraan Masyarakat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam periode 2004 sampai dengan 2008.

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam periode 2004 sampai dengan 2008. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kondisi perekonomian Indonesia pasca terjadi krisis moneter sampai dengan tahun 2008 menunjukkan perkembangan yang membaik. Hal ini ditunjukkan oleh grafik

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

Tabel 2.26 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun Keterangan

Tabel 2.26 Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun Keterangan 2.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur dapat dielaborasi kedalam tiga fokus utama, yaitu Fokus Kesejahteraan Masyarakat dan Pemertaan Ekonomi, Fokus Kesejahteraan

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PEKERJAAN UMUM PENGAIRAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

Tabel 2.19 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun

Tabel 2.19 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 41 2.1.2 Aspek Kesejahteraan Masyarakat 2.1.2.1 Fokus Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi 2.1.2.1.1 Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 DATA UMUM 4.1.1 Keadaan Demografi Provinsi Jawa Timur (Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2015) Berdasarkan hasil estimasi penduduk, penduduk Provinsi Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG HARGA ECERAN TERTINGGI (NET) MINYAK TANAH Dl PANGKALAN MINYAK TANAH Dl JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa dalam

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor DATA/INFORMASI KESEHATAN KABUPATEN LAMONGAN Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI 2012 Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci