SEBARAN SUMUR MINYAK PADA UNIT-UNIT MORFOLOGI ANTIKLINORIUM REMBANG. Astrid Damayanti 1, Rinaldi Djoko D.U.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEBARAN SUMUR MINYAK PADA UNIT-UNIT MORFOLOGI ANTIKLINORIUM REMBANG. Astrid Damayanti 1, Rinaldi Djoko D.U."

Transkripsi

1 1 SEBARAN SUMUR MINYAK PADA UNIT-UNIT MORFOLOGI ANTIKLINORIUM REMBANG Astrid Damayanti 1, Rinaldi Djoko D.U. 1. Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia astridd_maya@yahoo.com, rendy_kerenz@yahoo.com ABSTRAK Untuk memahami dan memberikan gambaran tentang sebaran populasi sumur minyak yang terdapat di Antiklinorium Rembang, maka terlebih dahulu perlu diidentifikasi secara lebih rinci hal-hal yang terkait dengan proses pembentukan muka bumi. Klasifikasi ataupun penggolongan bentuk muka bumi merupakan salah satu cara untuk mempermudah penggambaran muka bumi, yang sebenarnya merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ideografik, yaitu dengan cara deskripsi untuk menguraikan keterkaitan antar variabel pembentuk muka bumi. Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa sebaran sumur minyak hanya terdapat pada unit geomorfologi perbukitan antiklinal pada antiklinorium Rembang. ABSTRACT To understand and to illustrate the population distribution of oil wells located in Anticlinorium Rembang, first, it needs to identify the formation of the earth more details. Classification of land is one way to simplify the description of the earth, which is actually a process that took place continuously. This study used ideographic methods, namely by way of description to describe the relationship between the variables forming the earth. Therefore, it can be proved that the distribution of oil wells found only in hilly anticline geomorphological units in anticlinorium Rembang. Key words: anticlinorium Rembang; geomorphological units; ideographic method; oil wells. 1. PENDAHULUAN Minyak dan Gas Bumi (Migas) merupakan sumber energi yang sangat diperlukan manusia, terutama untuk menunjang pembangunan yang sedang dilaksanakan. Selain itu Migas juga merupakan sumber devisa yang sangat penting bagi negara [1]. Banyaknya kandungan mineral di Indonesia disebabkan oleh pengaruh aktivitas tumbukan 3 lempeng tektonik (Euro-Asia, Hindia Australia, dan pasifik) yang telah membentuk kepulauan Indonesia sebagai jalur gunung api dan kumpulan cekungan sedimen serta dukungan iklim tropis yang telah mendukung berkembang biaknya mikro plankton yang merupakan bahan utama pembentuk Migas [2]. Selanjutnya sebagai pengaruh dari pergerakan 3 lempeng tektonik tersebut telah terjadi kurang lebih 76 cekungan minyak, baik yang terjadi di muka maupun dibelakang (Fore arc Bassin dan Back arc Bassin) dari jalur-jalur gunung api tersebut [1]. Akibat pengaruh gaya-gaya endogen yang bekerja pada cekungan-cekungan minyak tersebut selama jutaan tahun, maka

2 2 pada masa sekarang ini cekungan tersebut telah terangkat serta membentuk antiklin dan antiklinorium yang sangat kaya akan kandungan minyak. Salah satu antiklinorium itu terletak di Kabupaten Rembang yang arahnya memanjang dari barat ke arah timur mulai dari Purwodadi sampai Gresik dan berakhir di pulau Madura, dan disebut sebagai Zona Rembang atau Antiklinorium Rembang [3]. Zona ini merupakan antiklinorium yang mempunyai cadangan minyak paling kaya di pulau Jawa, dan dikenal sebagai Cepu Area. Untuk memahami dan memberikan gambaran tentang sebaran populasi sumur minyak yang terdapat di Antiklinorium Rembang, maka terlebih dahulu perlu diidentifikasi secara lebih rinci hal-hal yang terkait dengan proses pembentukan muka bumi. Klasifikasi ataupun penggolongan bentuk muka bumi merupakan salah satu cara untuk mempermudah penggambaran muka bumi, yang sebenarnya merupakan sebuah proses yang berlangsung secara terus-menerus. Untuk membuat klasifikasi atau penggolongan bentuk muka bumi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, diantaranya: pendekatan bentang alam, pendekatan genetik dan pendekatan parametrik. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk menggolongkan bentuk muka bumi menjadi unit-unit geomorfologi, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran suatu daerah dengan menggunakan ekspresi yang sederhana dan umum digunakan serta mempu memberikan penjelasan tentang sifat dan kesamaan perwatakan yang mencerminkan proses dari setiap bentukan. 2. METODOLOGI PENELITIAN Wilayah penelitian mencakup Antiklinorium Rembang, yaitu pegunungan lipatan berbentuk antiklinorium yang memanjang dari arah barat timur dan terletak pada koordinat: BT dan LS atau mt mt dan mu mu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ideografik, yaitu dengan cara deskripsi untuk menguraikan keterkaitan antar variabel. Berikut diuraikan beberapa batasan yang digunakan: 1. Unit-unit Geomorfologi adalah wilayah muka bumi yang memiliki kesamaan dalam bentuk dan dipengaruhi oleh proses genesa (kekuatan luar dan dalam), serta aspek aliran sungai yang ada. Secara umum unitunit geomorfologi yang terdapat pada daerah penelitian adalah dataran rendah, perbukitan bergelombang, dan pegunungan. 2. Sebaran sumur minyak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wilayah pada unit-unit geomorfologi di Antiklinorium Rembang yang merupakan lokasi populasi sumur minyak. Populasi sumur minyak yang dimaksud adalah lokasi sumur minyak yang didapatkan melalui survey primer dan diasumsikan sebagai wakil dari masingmasing region sumur minyak. Sumber-sumber data yang digunakan antara lain: 1. Enambelas lembar Peta Topografi skala 1 : , terbitan BAKOSURTANAL. 2. Dua lembar Peta Geologi skala 1 : , yaitu: lembar Rembang dan lembar Jatirogo, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 3. Buku uraian Geologi untuk lembar Rembang dan lembar Jatirogo, terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. 4. Buku-buku dan referensi lainnya yang terkait dengan penelitian ini. 5. Hasil survey lapang pada lokasi populasi sumur minyak pada unit-unit geomorfologi di Antiklinorium Rembang. Variabel yang digunakan untuk membuat klasifikasi terhadap aspek-aspek geomorfologi adalah (Gambar 1):

3 3 1. Wilayah ketinggian; parameter ketinggian (m); 2. Wilayah lereng, dengan parameter lereng (%); 3. Wilayah bentuk medan, yang diperoleh dari hasil gabungan (overlay) parameter lereng (%) dan perbedaan ketinggian (m); 4. Pola aliran sungai, mengacu kepada pembagian dasar pola aliran sungai menurut Lobeck [5] yaitu: a. Pola aliran Dendritik b. Pola Aliran Rektangular c. Pola aliran Trellis d. Pola aliran Radial 5. Unit-unit geomorfologi, mengacu pada sistem klasifikasi menurut Desaunettes [6], yang termasuk kedalam 3 sistem utama bentukan asal: a. Sistem Alluvial (Alluvial Sistem) b. Sistem Perbukitan (Hilly Sistem) c. Sistem Vulkanik (Volcanic Sistem) Unit-Unit Geomorfologi ini masih bisa dibedakan lebih detik satu sama lain dalam bentuk area. Detil unit geomorfologi yang dimaksud adalah yang masih dapat digambarkan pada skala 1 : dalam bentuk simbol tersendiri. Pada tabel 1 3 dapat dilihat bagaimana variabel ketinggian, lereng dan bentuk medan diklasifikasi. Tabel. 1. Klasifikasi Wilayah Ketinggian No. KETINGGIAN WILAYAH KETINGGIAN 1 Di bawah 100 m Wilayah Rendah m Wilayah Pertengahan m Wilayah Pegunungan Sumber: [4] Penggolongan unit-unit geomorfologi pada Antiklinorium Rembang berdasarkan wilayah bentukan asal dapat dibagi menjadi: bentukan asal alluvial, bentukan asal perbukitan, dan bentukan asal vulkanik, yang selanjutnya dapat dirinci lagi menjadi sub-sub sistem. Tabel. 2. Klasifikasi Wilayah Lereng No. KELAS LERENG (%) WILAYAH LERENG % Landai % Agak Curam % Curam % Sangat Curam 5 Di atas 75 % Terjal Sumber : Modifikasi Wilayah Lereng Desaunettes [6] Tabel. 3. Klasifikasi Wilayah Bentuk Medan No LERENG (%) BEDA TINGGI (m) WILAYAH BENTUK MEDAN Datar % 0 12,5 m Landai Di atas 16 Berombak - 2 % 12,5 50 m Berbukit Di atas 16 3 % m Perbukitan Di atas 16 Lebih dari 4 % 300 m Pegunungan Sumber : Modifikasi Wilayah Bentuk Medan Desaunettes [6] 3. UNIT-UNIT GEOMORFOLOGI DAN POLA SEBARAN SUMUR MINYAK DI ANTIKLINORIUM REMBANG 3.1. Bentukan Asal Alluvial Bentukan asal alluvial (alluvial sistem) merupakan bentukan yang terjadi oleh proses alluvial, seperti: aliran permukaan dan banjir. Pada Antiklonirium Rembang, proses alluvial hanya ditekankan pada aliran sungai yang diidentifikasi berdasarkan pola dan material yang diangkut serta diendapkan. Endapan material permukaan yang terbentuk, seperti endapan alluvium terdiri atas lempung, pasir, kerikil, kerakal, dan bongkah. Pada antiklinorium Rembang terdapat tiga (3) subsistem alluvial, yaitu sabuk meander (A1), dataran alluvial (A2) dan lembah (A3).

4 Sabuk meander (A1) Sabuk meander (meander belt) merupakan sungai-sungai besar dengan tipe meander (berkelok-kelok) dimana terdapat unit-unit terkecil seperti: point bar, meander scar (bekas meander), oxbow lake (danau mati), dan back swamp. Pada Antiklinorium Rembang, sub sistem ini terdapat di bagian tengah, yaitu pada meander sungai Bengawan Solo. Sebarannya di bagian tengah memanjang berarah barat timur. Wilayah ini terdapat pada ketinggian 0 100m dengan lereng antara 0 15% (datar landai). Bentuk medan pada wilayah ini berupa datar landai, dengan pola aliran sungainya adalah dendritik. Jenis batuan pada satuan ini adalah: Qa, Qtl, Tpm, dan Tml; yang tersusun dari batuan sedimen klastik, yaitu: alluvial, lempung, dan batupasir Dataran alluvial (A2) Dataran alluvial adalah bentukan pengendapan berupa lempung, lanau, pasir, dan bongkah, yang terjadi sebagai hasil dari proses akumulasi karena pengaruh aliran sungai, yang berasal dari daerah yang lebih tinggi. Satuan ini terdapat di bagian utara dan di bagian tengah Antiklinorium Rembang, yakni terdapat pada ketinggian antara 0 100m dengan lereng antara 0 15% dan bentuk medan datar landai. Pola aliran sungainya adalah dendritik. Jenis batuan satuan ini bervariasi, yaitu: Qa, QTl, Tpm, Tpp, dan Tml; yang tersusun dari batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir, lempung, dan alluvial. Di bagian utara sebarannya memanjang berarah barat timur, dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Begitu pula di bagian tengah sebarannya memanjang berarah barat timur, dan meluas sampai ke bagian utara dan selatan dari Antiklinorium Rembang Lembah (A3) Lembah yang terdapat antar perbukitan Antiklinorium Rembang, terdapat pada Formasi Rembang dan Formasi Kendeng. Sub sistem ini selaras dengan sungai lebar dan dalam yang terisi oleh material-material alluvium, dan terdapat di bagian tengah, yaitu: sepanjang aliran sungai Begawan Solo. Sebarannya memanjang berarah barat timur. Satuan ini terdapat pada ketinggian antara 0 100m dengan lereng antara 16 30% (agak curam). Bentuk medan satuan ini berupa berombak berbukit dengan pola aliran sungainya adalah dendritik. Jenis batuan pada satuan ini didominasi oleh Qa, yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: alluvium Bentukan Asal Perbukitan Bentukan asal perbukitan mengindikasi terbentuknya bentukan-bentukan struktural seperti: patahan, lipatan, pengangkatan, dan penurunan. Terdapat beberapa unit geomorfologi sebagai sub-sistem perbukitan Kaki bukit (H1) Kaki bukit merupakan bagian bawah dari lereng atau lembah perbukitan. Satuan morfologi ini terdapat pada ketinggian antara m, dengan lereng antara 16 75%, yang terbagi dalam 3 kelas lereng, yaitu: 16 30% (agak curam), 31 50% (curam), dan 51 75% (sangat curam). Bentuk medan satuan ini berupa berombak berbukit sampai perbukitan, dengan pola aliran sungainya adalah trellis dan dendritik. Jenis batuan satuan ini adalah: Qa, Qtl, dan Tml; yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir dan alluvial. Pada Antiklinorium Rembang, terdapat di bagian utara, bagian tengah, dan bagian selatan, dengan sebaran secara umum memanjang berarah barat timur. Di bagian utara dan tengah, terdapat pada kaki perbukitan Rembang. Di selatan, sebarannya terdapat pada kaki perbukitan Kendeng. Pada sub-sistem struktural terdapat unit-unit geomorfologi antara lain: Pegunungan blok sesar (H2) Pegunungan blok sesar merupakan wilayah dengan bentuk medan bergunung dan memiliki lereng yang bervariasi (diatas 16%), mulai dari

5 5 lereng agak curam, curam, sampai lereng terjal. Proses pembentukannya sangat dipengaruhi oleh morfostruktur aktif berupa sesar. Bentuk medan satuan ini berupa pegunungan, dengan pola aliran radial. Jenis batuan pada satuan ini adalah: Tmtn, Tmb, dan Tmw; yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir. Pada Antiklinorium Rembang, terdapat di bagian baratlaut, mengelilingi bukit vulkanik terdenudasi Perbukitan blok sesar (H3) Perbukitan blok sesar adalah bentukan yang proses terjadinya sama dengan unit pegunungan antiklinal, tetapi berbeda secara morfologi. Bentukan ini memiliki lereng landai sampai dengan sangat terjal, dan perbedaan ketinggian antara m, dengan bentuk medan berombak berbukit sampai perbukitan, namun secara keseluruhan berupa perbukitan (berbukit). Satuan ini terdapat pada ketinggian antara 0 500m dengan lereng antara 16 75%, yang terbagi dalam 3 kelas lereng, yaitu: 16 30% (agak curam), 31 50% (curam), dan 51 75% (sangat curam). Pola alirannya adalah rektangular. Jenis batuan pada satuan ini sangat bervariasi, yaitu: Tpk, Tmpk, Tpp, Tpm, Tmtn, Tmb, Tmw, Tml, Qtl, Qa, Tmt, Tps, QTdl, dan Tpso, yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir, alluvial, dan lempung. Satuan ini terdapat di bagian barat dan di bagian selatan. Di bagian barat sebarannya meluas sampai ke tengah dan memanjang ke bagian timur. Di bagian selatan sebarannya memanjang berarah barat timur Pegunungan antiklinal (H4) Pegunungan antiklinal merupakan bentukan yang memiliki relief tidak teratur, ditandai dengan adanya lereng yang curam sampai terjal, dengan beda tinggi lebih dari sampai lebih dari 300m. Bentukan ini memiliki dip pada kedua sayap yang berlawanan arah. Satuan ini terdapat pada ketinggian antara m dengan lereng antara 31 75%, yang terbagi dalam 2 kelas lereng, yaitu: 31 50% (curam), dan 51 75% (sangat curam). Bentuk medan satuan ini berupa pegunungan. Pola aliran sungainya adalah radial dan trellis. Jenis batuannya bervariasi, yaitu: Tml, Tml, Tpm, Qla, Tmb, dan Tmtn; yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir. Satuan ini hanya terdapat di sebagian kecil baratlautdaerah penelitian. Perbukitan antiklinal (H5) Perbukitan antiklinal merupakan bentukan yang proses terjadinya sama dengan unit pegunungan antiklinal, tetapi berbeda dari segi bentuk medan, yaitu berupa satuan perbukitan. Bentukan ini memiliki lereng yang bervariasi. Satuan ini terdapat pada ketinggian antara 0 500m dengan lereng antara 16 75%, yang terbagi dalam 3 kelas lereng, yaitu: 16 30% (agak curam), 31 50% (curam), dan 51 75% (sangat curam). Bentuk medan wilayah ini berombak berbukit, dan perbukitan. Satuan ini didominasi oleh pola aliran sungai trellis. Jenis batuan pada satuan ini sangat bervariasi, yaitu: Tpp, Tpm, Tmtn, Tmpk, Tmw, Tmb, Tmt, Qa, Tml, Tps, Qtl, dan Tpso; yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir dan lempung. Satuan morfologi ini terdapat di bagian utara, bagian timur dan bagian selatan; dengan arah kemiringan relatif berarah barat timur. Di bagian utara dan bagian timur sebarannya meluas sampai ke tengah. Di bagian selatan sebarannya memanjang berarah barat timur. Lembah antiklinal (H6) Lembah antiklinal merupakan bentukan yang terletak pada kompleks punggung antiklin dan berada lebih rendah, dengan lereng yang landai sampai curam. Satuan ini terdapat pada ketinggian antara 0-100m dengan lereng 0 50%, yang terbagi dalam 3 kelas lereng, yaitu 0 15% (datar landai), 15 30% (agak curam), 31 50% (curam). Bentuk medan satuan ini berupa datar landai, berombak-ombak, dan perbukitan, dengan pola aliran sungainya adalah trellis. Jenis batuan satuan ini bervariasi, yaitu: Qa, Tpp, Tmw, Tpm, Tmtn, Tmb, Tml, Tmt, Tps, Qtl, Tmpk, dan Tpk; yang tersusun oleh batuan sedimen

6 6 klastik, yaitu: alluvial, batupasir, dan lempung. Satuan ini tersebar di bagian utara, bagian barat, bagian timur, dan bagian tengah. Perbukitan sinklinal (H7) Perbukitan sinklinal merupakan bentukan yang secara morfologi terletak pada bentuk medan yang memiliki lereng landai sampai terjal. Bentukan ini merupakan bagian lapisan dari sebuah lipatan yang ditandai oleh dip berlawanan, akan tetapi arah lapisannya membentuk seperti sebuah cekungan. Satuan ini terdapat pada ketinggian antara 0 500m dengan lereng antara 31 75%, yang dibagi kedalam 2 kelas lereng, yaitu: 31 50% (curam), dan 51 75% (sangat curam). Bentuk medan satuan ini berombak-ombak sampai perbukitan, dengan pola aliran sungainya adalah trellis. Jenis batuan pada satuan ini adalah: Tmk, Tpso, Tpk, Qtl, dan Tmpk; yang tersusun oleh batuan sedimen klastik, yaitu: batupasir dan lempung. Satuan ini terdapat di bagian baratlaut dan bagian tenggara Bentukan Asal Vulkanik Bentukan asal vulkanik merupakan bentukan yang terjadi sebagai akibat dari adanya aktivitas vulkanik yang menghasilkan bahanbahan lepas piroklastika atau endapan lahar, baik berupa pasir, kerikil, serta abu-abu vulkanik. Bahan-bahan ini terbawa oleh aliran sungai maupun aliran permukaan. Pada sistem ini, terdapat unit-unit geomorfologi antara lain: Bukit vulkanik terdenudasi (V1) Bukit vulkanik terdenudasi merupakan bentuk permukaan yang dominan berbukit, dengan lereng curam sampai terjal. Satuan ini terdapat pada ketinggian m dengan kelas lereng antara 31 90%, yang terbagi menjadi 3 kelas lereng, yaitu: 31 50% (curam), 51 75% (sangat curam), dan 76 90% (terjal). Bentuk medan satuan ini didominasi pegunungan dan perbukitan, dengan pola aliran sungainya adalah Radial, dan sebagian terdapat pola aliran trellis. Jenis batuan pada satuan ini didominasi oleh Qla, yang tersusun oleh batuan vulkanik, yaitu: vulkanik lasem. Sebaran satuan ini hanya terdapat pada bagian baratlaut daerah penelitian. 4.2 KAITAN UNIT-UNIT GEOMORFOLOGI DENGAN SEBARAN SUMUR MINYAK Batuan Reservoir Minyak Bumi Batuan reservoir merupakan batuan tempat terperangkapnya minyak bumi dalam suatu jebakan minyak, biasanya tersusun dari batu pasir, batu gamping, dan batuan lain (batuan piroklastik). Batuan ini memiliki sifat porous dan sifat permeabel, yang juga menentukan besar kecilnya kandungan minyak bumi yang terdapat dalam jebakannya. Pada suatu formasi perangkap minyak, terdapat juga lapisan batuan induk yang merupakan batuan dasar (bed rocks) dari jebakan minyak, dan lapisan batuan penutup yang merupakan lapisan paling atas dari perangkap minyak ini. Lapisan induk dari suatu jebakan minyak dapat menjadi indikasi besar kecilnya cadangan minyak yang ada. Pada daerah penelitian, yang bertindak sebagai batuan induk adalah batuan yang berada dalam Formasi Ngrayong (Tmn), Formasi Tawun (Tmt), dan Anggota Ngrayong Formasi Tuban (Tmtn). Batuan reservoir pada daerah penelitian adalah batuan yang terdapat dalam Formasi Bulu (Tmb), Formasi Wonocolo (Tmw), dan Formasi Ledok (Tml). Batuan penutup pada daerah penelitian adalah batuan yang terdapat dalam Formasi Mundu (Tpm), Formasi Selorejo (Tps), dan Formasi Lidah (QTl). Pada Antiklin Kawengan, yang termasuk unit geomorfologi perbukitan antiklinal adalah lapisan batuan induknya, yang terdapat dalam Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Lapisan formasi batuan reservoir yang tersingkap pada antiklin ini adalah Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, dan Formasi Ledok. Formasi batuan penutup pada antiklin ini adalah Formasi Mundu, dan Formasi Lidah.

7 7 Pada Antiklin Ledok yang termasuk unit geomorfologi perbukitan antiklinal, lapisan batuan induknya terdapat dalam Formasi Tawun, dan Formasi Ngrayong. Lapisan formasi batuan reservoir yang tersingkap pada antiklin ini adalah Formasi Wonocolo, dan Formasi Ledok. Formasi batuan penutup pada antiklin ini adalah Formasi Mundu, FormasiSelorejo, dan Formasi Lidah. Pada Antiklin Nglobo yang termasuk unit geomorfologi perbukitan antiklinal, lapisan batuan induknya terdapat dalam Formasi Tawun, dan Formasi Ngrayong. Lapisan formasi batuan reservoir yang tersingkap pada antiklin ini adalah Formasi Wonocolo, dan Formasi Ledok. Formasi batuan penutup pada antiklin ini adalah Formasi Mundu, Formasi Selorejo, dan Formasi Lidah. Ketiga antiklin ini memiliki formasi yang relative sama, karena masih terdapat dalam satu antiklinorium, yaitu Antiklinorium Rembang Unit-unit Geomorfologi dan Sebaran Sumur Minyak Secara umum sebaran sumur minyak yang terdapat pada daerah penelitian terlihat memanjang pada tiga antiklin penghasil minyak utama, yaitu: Antiklin Kawengan, Antiklin Ledok, dan Antiklin Nglobo (Peta 1).. Ketiga antiklin ini merupakan unit geomorfologi perbukitan antiklinal. Sebaran sumur minyak hanya terdapat pada unit geomorfologi perbukitan antiklinal karena pada unit geomorfologi ini formasi batuan reservoir sumur minyaknya sudah tersingkap. Hal ini terjadi karena adanya proses erosi, yang mengerosi lapisan batuan penutupnya. Dengan tersingkapnya batuan reservoir minyak tersebut, maka pengeboran untuk sumur minyak akan lebih efisien dan lebih mudah dilakukan (Peta 2). Pada unit geomorfologi lain tidak terdapat sumur minyak, karena relatif pada unit-unit geomorfologi tersebut batuan reservoirnya belum tersingkap. Pada unit-unit geomorfologi ini belum tentu tidak ada jebakan minyak, tetapi karena lapisan batuan penutupnya masih tebal, sehingga tidak efisien untuk dilakukan pengeboran minyak pada unit geomorfologi ini. Untuk unit geomorfologi perbukitan blok sesar, memiliki karakteristik yang hampir sama dengan unit geomorfologi perbukitan antiklinal. Tetapi pada daerah penelitian untuk unit geomorfologi ini tidak ditemukan sumur minyak. Diduga karena lapisan reservoir minyak pada unit geomorfologi ini relatif kecil dan belum tersingkap. Hal ini mungkin terjadi karena unit geomorfologi ini banyak tersebar di bagian utara, yaitu mengarah ke laut, sehingga merupakan wilayah peralihan dari zona pengikisan ke zona pengendapan. 4. RINGKASAN Unit-unit geomorfologi yang terdapat di Antiklinorium Rembang, khususnya pada daerah penelitian terbagi menjadi 3 bentukan, yaitu: Bentukan Asal Alluvial (A) Pada bentukan asal ini terdapat unit-unit geomorfologi antara lain: Sabuk Meander (A1), Dataran Alluvial (A2), dan Lembah (A3). Bentukan Asal Perbukitan (S) Pada bentukan asal ini terdapat unit-unit geomorfologi antara lain: Kaki Bukit (H1), Pegunungan Blok Sesar (H2), Perbukitan Blok Sesar (H3), Pegunungan Antiklinal (H4), Perbukitan Antiklinal (H5), Lembah Antiklinal (H6), dan Perbukitan Sinklinal (H7). Bentukan Asal Vulkanik (V) Pada bentukan asal ini hanya terdapat 1 unit geomorfologi, yaitu: Bukit Vulkanik Terdenudasi (V1). Sementara itu sebaran sumur minyak pada daerah penelitian hanya terdapat pada unit geomorfologi perbukitan antiklinal, yaitu pada Antiklin Kawengan, Antiklin Ledok, dan

8 8 Antiklin Nglobo. Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa sebaran sumur minyak mengikuti pola sebaran batuan reservoir minyak yang banyak terdapat dalam lapisan-lapisan dari unit geomorfologi tersebut, karena lapisan batuan reservoir pada unit geomorfologi perbukitan antiklinal telah tersingkap, sehingga lebih efisien untuk dilakukan pengeboran. 5. DAFTAR PUSTAKA [1] Soedarjono, Jogi Tjiptadi. Kebijakan Topografi Mineral di Indonesia: Dari Masa Kolonial Antiklinorium Rembang Hingga Era Reformasi. Indonesian Mining Association. Jakarta [2] Sudrajat, Adjat. Teknologi dan Manajemen Sumber Daya Mineral. Intsitut Teknologi Bandung. Bandung [3] Bemmelen, R W Van. The: Vol IA. The Hague. Netherlands [4] Sandy, I Made, et al. Republik Indonesia: Geografi Ragional. Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta [5] Lobeck, A K GEOMORPHOLOGY: An Introduction to the Study of Landscapes. McGraw-Hill Book Company. London. [6] Desaunettes, J R. Catalogue of Landforms for Indonesia: Examples of Physiographic Approach to Land Evaluation for Agriculture Development. Soil Research Institute. Bogor Geologi Wilayah Kelerengan Wilayah Ketinggian Pola Aliran Sungai Struktur Geologi Jenis Batuan Stratigrafi Bentuk Medan Unit-Unit Geomorfologi Lokasi Populasi Sumur Minyak Sebaran Sumur Minyak pada Unit-Unit Geomorfologi Gambar 1. Alur Pikir Penelitian

9 9 PETA 1. SEBARAN SUMUR MINYAK PADA UNIT-UNIT GEOMORFOLOGI PETA 1 PETA 2.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Lokasi Penelitian. 1. Letak. timur adalah 51 Km dan dari utara ke selatan adalah 34 Km (dalam Peta Rupa digilib.uns.ac.id 53 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Letak a. Letak Astronomis Kabupaten Rembang terletak diantara 111 o 00 BT - 111 o 30 BT dan 6 o 30 LS - 7 o 00 LS atau dalam

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Zona Perbukitan Rembang merupakan daerah yang sudah dikenal menjanjikan dalam eksplorasi minyak dan gas bumi di Cekungan Jawa Timur Utara. Zona Perbukitan Rembang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus Secara geografis wilayah Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104 0 18 105 0 12 Bujur Timur dan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI. terbagi dalam tujuh (7) satuan fisiografi, yaitu : Dataran Rendah Timur (Eastern

BAB III TATANAN GEOLOGI. terbagi dalam tujuh (7) satuan fisiografi, yaitu : Dataran Rendah Timur (Eastern BAB III TATANAN GEOLOGI 3.1. Fisografi Regional. Menurut Cameron, dkk (1982), secara regional geologi lembar Medan terbagi dalam tujuh (7) satuan fisiografi, yaitu : Dataran Rendah Timur (Eastern Lowlands),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pulau Jawa merupakan busur gunungapi memanjang barat-timur yang dihasilkan dari pertemuan lempeng Eurasia dan Hindia-Australia. Kondisi geologi Pulau Jawa ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu: 1. Dataran Pantai Jakarta. 2. Zona Bogor 3. Zona Depresi Tengah Jawa Barat ( Zona

Lebih terperinci

ANALISA BENTANG ALAM

ANALISA BENTANG ALAM ANALISA BENTANG ALAM A. Definisi Bentang Alam Bentang alam merupakam karakteristik dan juga bentuk permukaan bumi yang disebabkan oleh proses perubahan kimia serta fisika. Beberapa contoh yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii v ix x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR

BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN (LANDFORM) MAYOR DAN MINOR BENTUK LAHAN MAYOR BENTUK LAHAN MINOR KETERANGAN STRUKTURAL Blok Sesar Gawir Sesar (Fault Scarp) Gawir Garis Sesar (Fault Line Scarp) Pegunungan Antiklinal Perbukitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN UCAPAN TERIMAKASIH KATA PENGANTAR SARI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB 1 PENDAHULUAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xvii BAB

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan, data sekunder yang terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan mekanisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

03. Bentangalam Struktural

03. Bentangalam Struktural TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 03. Bentangalam Struktural Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Pendahuluan Bentangalam struktural adalah bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cekungan Sedimen Jawa Timur Utara Cekungan sedimen adalah bagian dari kerak bumi yang dapat berperan sebagai akumulasi lapisan-lapisan sedimen yang relatif lebih tebal dari

Lebih terperinci

SKRIPSI FRANS HIDAYAT

SKRIPSI FRANS HIDAYAT GEOLOGI DAN ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI DAERAH TOBO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN JATI, KABUPATEN BLORA, PROVINSI JAWA TENGAH SKRIPSI Oleh : FRANS HIDAYAT 111.080.140 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

LAPANGAN GEOLOGI SEBAGAI SARANA DIKLAT BIDANG MIGAS

LAPANGAN GEOLOGI SEBAGAI SARANA DIKLAT BIDANG MIGAS LAPANGAN GEOLOGI SEBAGAI SARANA DIKLAT BIDANG MIGAS FX YUDI TRYONO*) ABSTRAK Cepu dan sekitarnya selama ini dikenal sebagai penghasil minyak dan gas bumi bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat. Abstrak

Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat. Abstrak Menentukan Jurus dan Kemiringan Batuan serta Struktur Patahan di Sepanjang Sungai Cinambo, Jawa Barat Lia Maryani Geofisika, Universitas Padjadjaran Abstrak Telah dilakukan penelitian struktur patahan

Lebih terperinci

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat

Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Struktur Geologi Daerah Jonggol Dan Jatiluhur Jawa Barat Iyan Haryanto, Faisal Helmi, Aldrin dan Adjat Sudradjat*) Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Abstrak Struktur geologi daerah Jonggol

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tektonik wilayah Asia Tenggara dikontrol oleh interaksi empat lempeng utama,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tektonik wilayah Asia Tenggara dikontrol oleh interaksi empat lempeng utama, II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kerangka Tektonik Sejarah tektonik Cekungan Jawa Timur Utara tidak dapat dipisahkan dari sejarah tektonik Pulau Jawa dan sekitarnya, serta tektonik wilayah Asia Tenggara. Tektonik

Lebih terperinci

HIDROSFER II. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER II. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami aktivitas aliran sungai. 2. Memahami jenis

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN

KLASIFIKASI BENTUKLAHAN Analisis Lansekap Terpadu 21/03/2011 Klasifikasi Bentuklahan KLASIFIKASI BENTUKLAHAN PENDAHULUAN Dalam membahas klasifikasi bentuklahan ada beberapa istilah yang kadang-kadang membingungkan: - Fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH

GAMBARAN UMUM WILAYAH 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Batas Administrasi dan Luas Wilayah Kabupaten Sumba Tengah merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dibentuk berdasarkan UU no.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta

PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI. Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta PEMETAAN GEOLOGI METODE LINTASAN SUNGAI Norma Adriany Mahasiswa Magister teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta ABSTRAK Daerah penelitian terletak di daerah Gunung Bahagia, Damai, Sumber Rejo, Kota Balikpapan,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Geologi Daerah Penelitian 3.1. Geomorfologi Daerah penelitian terletak di daerah kabupaten Sumedang. Secara fisiografi daerah penelitian termasuk ke dalam Zona antiklinorium

Lebih terperinci