BAB III HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN"

Transkripsi

1 BAB III HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN A. Bentuk dan Macam Visum Et Repertum 1. Bentuk Visum Et Repertum Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu 34 Supaya terdapat keseragaman dalam bentuk Visum Et Repertum maka ada ketentuan pokok, yaitu tiga kerangka dari Visum Et Repertum: 35 a. Pendahuluan Pada bagian pendahuluan, disudut kiri atas dicantumkan kata Pro Justicia. Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata 34 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman(edisi kedua), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hal R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Transito, Bandung, 1991, Hal. 20.

2 Pro Justicia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya. 36 Kemudian keterangan mengenai: 1. Identitas dokter yang memeriksa. 2. Identitas korban, antara lain: nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal. 3. Identitas pemohon Visum Et Repertum. 4. Hari, tanggal, tahun, jam pemeriksaan. 5. Tempat pemeriksaan. 6. Keterangan lain seperti kapan, dimana dan sebab korban meninggal, kapan dan dimana korban dirawat. b. Pemberitaan. Dalam pemberitaan menyebutkan hasil pemeriksaan korban secara objektif sepanjang apa yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada korban seperti rambut, warna kulit, pakaian atau kain dan sebagainya yang termasuk identitas korban. Hal ini termasuk hasil pemeriksaan luar. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan dalam yang meliputi bagian tubuh penting seperti 36 Diakses pada tanggal 15 agustus 2010, pukul WIB.

3 otak, limpa, lambung dan sebagainya. Hal ini penting karena ada kemungkinan kematian seseorang bukan disebabkan langsung oleh luka karena penganiayaan atau karena kecelakaan lalu lintas melainkan karena limpa pecah disebabkan karena telah lama menderita penyakit malaria. c. Kesimpulan. Bagian ini menjelaskan pendapat dokter atas dasar hasil pemeriksaannya sesuai dengan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Pada Visum Et Repertum ada empat hal yang perlu diungkapkan dalam kesimpulan yaitu: 1. Identitas Jenazah. 2. Kelainan yang ada pada diri korba baik dari pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam. 3. Hubungan sebab akibat dan kelainan yang didapati pada saat pemerisaan. 4. Sebab dan saat kematian atau kualifikasi luka. d. Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter maka sesuai dengan Ordonansi Staatsblad 1937 No.350, maka pada bagian bawah dicantumkan Sumpah yang berarti bahwa Visum Et Repertum harus dibuat berdasarkan sumpah, yakni sumpah dokter. Dengan demikian barulah Visum Et Repertum mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang dan perlu diakhiri dengan mengingat sumpah seperti misalnya sebagai berikut: Demikianlah Visum Et Repertum dibuat dengan sesungguhnya, dengan mengingat sumpah/janji sewaktu menerima jabatan

4 Tentu saja tanda tangan dan nama terang harus dicantumkan Macam Visum Et Repertum a. Visum Et Repertum Korban Hidup Visum Et Repertum Visum Et Repertum diberikan bila korban setelah diperiksa didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan tugas jabatan atau pencarian. 2. Visum Et Repertum Sementara Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah diperiksa, korban perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban belum sembuh, Visum Et Repertum sementara tidak memuat kualifikasi luka. Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu: 39 a. Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak, b. Mengarahkan penyelidikan, c. Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa, d. Menentukan tuntutan jaksa, e. Medical record. 37 Dikutip dari Sofwan Dahlan, dr., Visum Et Repertum, Ilmu Kedokteran kehakiman II,, diterbitkan oleh Senat mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Hal. 90. Dalam I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal Njowito Hamdani, Op. Cit, Hal http//ahmadrahmawan.blogspot.com200910visum-et-repertum.html, Dikases pada tanggal 8 agustus 2010.

5 3. Visum Et Repertum Lanjutan. Visum Et Repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat atau diobservasikorban sembuh, korban belum sembuh, pindah Rumah Sakit, korban belum sembuh pulang paksa, dan korban meninggal dunia. b. Visum Et Repertum Mayat. Visum Et Repertum mayat dibuat berdasar otopsi lengkap berdasarkan pemeriksaan luar dan dalam mayat.visum ini dibuat untuk mencari sebab kematian serta hubungannya dengan tindak pidana sehingga harus dilakuakan otopsi. 40 Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi : 1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik. 2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya. 40 I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal. 131.

6 Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas. c. Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian. d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat. e. Visum Et Repertum Mengenai Umur. f. Visum Et Repertum Psikiatrik. Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan sebagainya. Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan, agar supaya hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan

7 atau fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu Kesimpulan, maka atas dasar pendapatnya yang dilandasai pengetahuan yang sebaik-baiknya berdasarkan atas keahliannya tersebut diharapkan agar supaya usaha membantu pemecahan pengungkapan masalahnya menjadi terang (lebih jelas), dan hal mana diserahkan hakim sepenuhnya. B. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman dalam kaitannya dengan persoalan hukum yang hanya dapat dipecahkan dengan bantuan ilmu kedokteran kehakiman. Baik itu dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Namun dalam pembahasan berikut, tidak hendak mempersoalkan kesemuanya itu. Melainkan hendak membahas bagaimana prosedur permohonan visum et repertum dalam kaitannya dengan kasus-kasus pidana. Sebelum sampai kepada pembahasan bagaimana prosedur permohonan visum et repertum, terlebih dahulu untuk mengetahui peranan ilmu kedokteran kehakiman dalam pembuatan visum. Ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimbulkannya dari perbuatannya tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh, atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi tindak pidana. Berdasarkan pasal 132 ayat (1) KUHAP, berbunyi: dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan oenyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli, Pasal 133 ayat (1) KUHAP, berbunyi: dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

8 mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya, Pasal 133 ayat (2) KUHAP, berbunyi: permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat, Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan oleh kedokteran forensik atau yang ahli tentang itu terhadap korban luka, korban yang meninggal atau melakukan bedah mayat untuk kepentingan proses pengadilan adalah merupakan tugas sepanjang diminta oleh pihak-pihak terkait. Memang di dalam peraturan perundang-undangan tidak menegaskan dengan tegas bahwa dokter wajib memberikan bantuan dalam kaitannya dengan proses peradilan, apabila diminta. Akan tetapi, bila kita berpedoman atau melihat isi dari pasal 244 KUHPidana, maka kesan tidak wajib tersebut akan menjadi wajib. Sehingga berdasarkan pasal ini dokter wajib memberikan bantuannya apabila diminta. Di samping itu, juga perlu diketahui bahwa dokter adalah pegawai negeri yang berkewajiban untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan negara dalam pengertian yang sangat luas, sehingga penolakan terhadap kewajiban itu merupakan pelanggaran terhadap peraturan. 41 Secara garis besar, permohonan visum et repertum harus memeperhatikan hal-hal sebagai berikut: Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang diperkenankan untuk itu, dan tidak diperkenankan dilakukan dengan lisan, walaupun dengan pesawat telepon. 41 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Djambatan, Jakarta, 2007, Hal Ibid, Hal. 33.

9 2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Pertimbangan dari keduanya adalah: a. Mengenai permohonan visum et repertum yang harus dilakukan secara tertulis, oleh karena permohonan tersebut berdimensi hukum. Artinya, tanpa permohonan secara tertulis, dokter tidak boleh dengan serta merta melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya ataupu seseorang yang mati akibat tindak pidana atau setidak-tidaknya patut disangka sebagai korban tindak pidana. Pun demikian, apabila dokter menolak permohonan yang dilakukan secara tertulis, maka iapun akan dikenakan sanksi hukum. Permohonan visum et repertum oleh aparat hukum kepada dokter ahli kedokteran kehakiman merupakan peristiwa dalam lalu lintas hukum. Oleh karena permintaan dan juga pemenuhan dalam kaitannya dengan visum et repertum tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Kegiatan pemeriksaan dokter atas seseorang, merupakan kegiatan yang diharuskan menurut hukum. Dan bukan kegiatan asal-asalan. b. Mengenai penyerahan korban, tersangka, dan alat bukti yang lain, didasarkan bahwa untuk dapat meyimpulkan hasil pemeriksaannya, dokter tidak dapat melepaskan diri dari dengan alat bukti yang lain. Artinya, untuk sampai pada penentuan hubungan sebab akibat, maka

10 peranan alat bukti lain, selain korban mutlak diperlukan. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan: Korban Mati. Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan, diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat. Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya. 2. Korban Hidup. Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban memerlukan/meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam 43 Adimas Brewijaya, S.H.,S.Kep.,M.Kes KETENTUAN VISUM..html, Diakses pada tanggal 14 agustus 2010

11 perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan. Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya. C. Hambatan dan Cara Mengatasi Hambatan Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Pada dasarnya pelayanan visum et repertum (dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah meninggal. Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah yaitu visum yang dibuat oleh dokter atas permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal karena kekerasan, luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian yang sebabnya mencurigakan dan lain-lain makar yang membinasakan nyawa manusia. Hal ini telah berlangsung sejak dahulu diatur dalam undang-undang ayat 2 dan Staatsblad tahun 1937 No Pada dasarnya setiap dokter yang bekerja di Indonesia dapat dimintakan bantuan untuk membuat visum baik untuk orang hidup maupun untuk jenazah. Umumnya pembuatan visum jenazah dilakukan oleh dokter rumah sakit Pemerintah. Selanjutnya dengan makin berkembangnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dimana makin banyak pula muncul rumah sakit-rumah sakit

12 baru di samping rumah sakit swasta, rumah sakit Pertamina, rumah sakit TNI dan lain-lain, terlihat pula adanya kecenderungan pelayanan visum dilakukan oleh rumah sakit-rumah sakit di atas. Pada waktu ini sebagian visum orang hidup telah banyak diterbitkan oleh rumah sakit- rumah sakit yang dikemukakan di atas, dan begitu pula telah ada visum jenazah yang diterbitkan oleh sebagian rumah sakit tersebut biarpun visum jenazah yang diterbitkannya tidak berdasarkan pemeriksaan yang lengkap melalui bedah mayat (otopsi). Dalam undang-undang memang tidak diatur ke mana permintaan visum harus dimintakan/ditujukan. Yang ada hanyalah peraturan yang menyatakan asal visum dibuat oleh dokter, visum itu sudah merupakan alat bukti yang sah di pengadilan, tanpa membedakan kedudukan dokter tersebut maupun keahliannya. Agaknya semua orang memahami bahwa tidak mudah melakukan bedah mayat untuk visum jenazah. Banyak hambatan yang harus diatasi. Terutama dalam kasus dugaan keracunan 44. Yang menjadi hambatan dalam pembuatan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun, antara lain Keadaan mayat atau jenazah yang sudah membusuk. Dalam keadaan mayat atau jenazah yang sudah membusuk dapat mengakibatkan pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak mendukung kesimpulan yang akan diambil oleh dokter pemeriksa. Biasanya organorgan tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi seperti ginjal, hati, usus, lambung, dan otak sudah mengalami pembusukan 44 Dr. H. Amar Singh, Makalah Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman, Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran, Medan 45 Hasil wawancara dengan dr. Rita Mawarni, SpF. Pada tanggal 24 Agustus 2010.

13 juga, sehingga dapat mengakibatkan hasil pemeriksaan toksikologi menjadi negatif ( tidak ditemukan adanya racun). Adapun yang menjadi penyebab terjadinya pembusukan mayat atau jenazah tersebut antara lain: 46 a. Permintaan visum telah datang, famili korban tidak ada Hal ini sering pula dihadapi oleh para dokter ahli kedokteran kehakiman. Mayat diantar ke rumah sakit disertai dengan visum atau permintaan visum datang kemudian. Dokter tidak bisa segera melakukan pemeriksaan karena sering menjadi persoalan besar, terutama bila famili korban ternyata keberatan. Penungguan ini kadangkadang bisa berhari-hari. Sebelum ada kamar pendingin di rumah sakit hal ini betul-betul menjadi problem karena mayat segera membusuk dan tanda-tanda/kelainan-kelainan yang mungkin di dapat pada tubuh korban sebagai penyebab kematian korban menjadi kabur atau hilang sama sekali. Pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi, pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi, pemeriksaan jaringan untuk kelainan Patologi Anatomi tidak ada gunanya lagi karena jaringan sudah mengalami lisis (membusuk); tetapi sesudah kamar pendingin mayat ada di Bagian Kedokteran Kehakiman hal ini dapat diatasi. Persoalannya adalah sampai berapa hari dokter dapat menunggu. Kapasitas kamar pendingin mayat yang ada sekarang hanya untuk kasus. Bila banyak kasus datang sekaligus, maka problem yang sama timbul kembali. Dokter di Bagian Kedokteran Kehakiman tidak 46 asalahanvisumetrepertum.html, Diakses pada tanggal 25 Agustus 2010.

14 berani mengambil keputusan misalnya setelah 2 hari famili korban tidak ada, jenazah dapat diperiksa, karena tidak ada pegangan/ ketentuan yang disetujui Direktur Rumah Sakit, Dekan Fakultas Kedokteran USU, Dinas Kesehatan Kotamadya dan /Walikota sebagai pedoman yang dapat dipakai dokter menghadapi. b. Permintaan visum ada, jenazah tidak ada Jenazahnya sudah dibawa ke rumah/ ke rumah sosial/ke rumah sakit luar lainnya. Ada yang meminta supaya dokter datang ke rumah korban/ ke rumah sosial untuk memeriksa dan membuat visum. Umumnya famili meminta supaya dilakukan pemeriksaan luar saja. Tentu hal ini tidak mungkin dilakukan. Sejauh itu memang belum ada suatu kesepakatan dokter dengan Kepolisian untuk mengatasi hal ini. c. Permintaan visum et repertum yang kurang/tidak Iengkap Dari kenyataan selama ini, sering permintaan visum dari yang berwenang bila diteliti tidak atau kurang lengkap, kadang- kadang tidak ada nomor, tanggal ataupun keterangan yang lengkap mengenai korban, kadang-kadang malah tidak ditanda tangani. Kadang-kadang permintaan visum malah datang dari dokter. Biasanya hal ini terjadi karena Polisi meminta visum pada dokter di daerah/puskesmas karena dokter tersebut tidak dapat melaksanakan bedah mayat (baik karena fasilitas atau keberatan mengerjakaninya), maka dokter tersebut mengirim jenazah ke Rumah Sakit yang mampu untuk melakukan pemeriksaan, sementara permintaan visum belum ditukar melalui pihak yang berwenang. Atau pihak Kepolisian meminta visum untuk korban

15 yang dirawat di Badian Bedah, bila korban tersebut akhirnya meninggal, sering Bagian Bedah melanjutkan permintaan visum ke Bagian Kedokteran Kehakiman. Kecuali bila permintaan visum diperbaharui kembali oleh Polisi untuk dibuatkan visum jenazah pada korban yang sekarang telah meninggal, dokter Bagian kedokteran Kehakiman tidak akan melakukan pemeriksaan dan biasanya jenazah diserahkan saja pada famili korban. d. Masalah dari famili korban Biarpun masalah yang dihadapi dokter dengan famili korban telah ditemukan sebagian, di bawah ini kami kemukakan masalah lainnya yang dihadapi dokter dengan famili korban : 1. Bersedia diperiksa hanya tubuh korban bagian luar saja (asal tidak melukai tubuh korban). Inilah permintaan yang paling banyak dari kalangan masyarakat. Mereka menyadari perlunya visum, tetapi tidak mengizinkan dokter membedah korban untuk membuat visum. 2. Bersedia diperiksa tetapi seperlunya saja. e. Identifikasi pada koban yang tidak dikenal Apabila ditemukan korban akibat keracunan tidak memiliki tanda pengenal, maka akan semakin mempersulit melakukan pemeriksaan. Identitas korban hanya dapat diketahui apabila ada anggota keluarga ataupun masyarakat yang melapor bahwa ia telah kehilangan anggota keluarganya. Maka terlebih dahulu melakukan pencocokan ciri-ciri orang hilang tersebut dengan korban. Keadaan seperti ini akan semakin

16 sulit untuk melakukan pemeriksaan toksikologi karena mayat atau jenazah tersebut telah mengalami pembusukan. 2. Kurangnya Koordinasi Antara Penyidik dan Dokter Prosedur pengiriman dan pengambilan hasil dari bahan pemeriksaan untuk laboratorium kriminal harus dilakukan oleh penyidik yang bersangkutan, sehingga setelah dokter pemeriksa mengambil jaringan/organ tubuh yang akan diperiksa harus menunggu penyidik yang meminta visum et repertum tersebut mengambil dan mengantar bahan pemeriksaan tersebut ke laboratorium kriminal. Setelah hasil pemeriksaan toksikologi dikeluarkan laboratorium kriminal, yang harus mengambil hasil tersebut adalah penyidik. Sehingga prosedur pemeriksaan toksikologi ini kadang-kadang memakan waktu kurang lebih 3 minggu sejak dokter pemeriksa mengambil bahan untuk dikirimkan ke laboratorium kriminal. Jadi hasil kesimpulan visum et repertum untuk kasus tersebut akan lebih lama dikeluarkan oleh Departemen Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran. Adapun Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pembuatan visum et repertum atas dugaan keracunan diatas maka terlebih dahulu penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban agar pihak keluarga dapat memberi keputusan dapat dilakukan visum atau tidak. Apabila pihak keluarga hanya mengijinkan dilakukan pemeriksaan luar saja padahal pemeriksaan dalamlah yang sangat dibutuhkan maka pihak dokter harus meyakinkan pihak keluarga bahwa untuk pemeriksaan luar tidak akan cukup

17 membuktikan korban keracunan atau tidak. Pihak penyidik dalam meminta visum harus lebih teliti dalam membuat surat permohonan visum et repertum. Pihak penyidik harus memperhatikan kelengkapan data-data surat permintaan visum tersebut. Untuk mengatasi kurangnya. Mungkin pihak laboratorium kriminal dapat langsung mengirimkan hasil pemeriksaan dalam waktu yang lebih cepat ke Departemen Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tanpa menunggu penyidik yang bertanggung jawab terhadap kasus tersebut Hasil wawancara dengan dr. Rita Mawarni, SpF. Pada tanggal 24 Agustus 2010.

18 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Peranan toksikologi dalam penyidikan bertujuan untuk memudahkan penyidik dalam mencari dan mengumpulkan barang bukti yang ada dalam Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang kemudian dengan bukti tersebut digunakan untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan tersangkanya. Dan juga untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bahan/racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan tubuh korban. Biasanya dokter pemeriksa, pada saat melakukan pemeriksaan luar dan dalam korban mati dugaan tindak pidana sudah memikirkan untuk melakukan atau tidak melakukan pemeriksaan toksikologi. Tertutama jika keadaan korban mati lebih mengarah kepada keracunan suatu zat. Jika dugaan ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan racun tertentu, seperti: cairan pembasmi serangga, obatobatan/narkoba, atau zat-zat lainnya positif tentu saja kesimpulan pada visum et repertum korban akan lebih jelas dan dapat disimpulkan dengan tepat. Dokter pemeriksa pada bab kesimpulan visum et repertum tidak akan menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu tersebut. Sayangnya hasil pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak menyebutkan jumlah kadar zat-zat, obat-obatan,dan racun yang terdapat di dalam tubuh korban

19 dengan berdasarkan angka-angka atau nilai dosis fatalnya yang ditemukan. Misalnya 0,5 mg/ml darah jantung. Peranan toksikologi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penyidikan secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal karena diracun, maka sangat diperlukan ilmu mengenai racun atau toksikologi forensik. Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan menggunakan Racun melalui Visum Et Repertum dapat dilakukan terlebih dahulu dengan melakukan pemeriksaan di tempat kejadian (olah TKP), dimana pemeriksaan ini berguna untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan forensik. Pemeriksaan forensik dapat dilakukan pada korban yang masih hidup dan juga pada koraban yang telah meninggal dunia. Pada pada korban yang masih hidup dapat dilakukan pemeriksaan tinja korban atau dari bahan yang dimuntahkan oleh korban. Sedangkan pada korban yang telah meninggal dunia dapat dilakukan pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi. Setelah dilakukannya proses pemeriksaan tersebut maka dapat disimpulkanlah bahwa korban tersebut ada atau tidak mengalami peristiwa keracunan. Dalam pelaksanannya, pembuatan visum et repertum banyak mengalami hambatan-hambatan. Terutama bagi kasus dugaan keracunan. Hal yang paling menonjol adalah sering sekali terjadi pembusukan pada mayat atau jenazah. Hal ini dapat terjadi karena permintaan atas visum sudah ada ditangan para dokter ahli kedokteran forensik tetapi famili korban tidak ada yang datang untuk

20 menyetujui apakah dapat dilakukan visum terutama pemeriksaan dalam tubuh. Yang kedua disebabkan karena jenazah atau mayat tidak ada diruang visum melainkan berada di tempat keluarga korban. Yang ketiga disebabkan karena surat permintaan visum tidak dibuat secara lengkap. Yang keempat karena pihak korban tidak setuju dilakukan visum terhadap korban, apalagi dilakukan pembedahan terhadap tubuh korban. Yang kelima karena identifikasi korban tidak dikenal sehingga dibutuhkan waktu agar keluarga korban mencari korban dan dapat dilakukan visum. Hambatan yang berikutnya adalah kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter yang berwenang. Semua hal-hal diatas menjadi hambatan dalam pembuatan visum. Sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan toksikologi apabila organ tubuh korban yang dianggap mengandung racun telah membusuk sehingga hasilnya akan menjadi kabur dan maupun negatif mengandung racun. B. Saran Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan diatas dan di dalam bab-bab sebelumnya mengenai peranan toksikologi, akhirnya penulis mendapat suatu kesimpulan seperti yang telah diuraikan diatas, dan dari kesimpulan tersebut akhirnya penulis memberikan saran yang mungkin dapat dipergunakan ataupun lebih meningkatkan peranan toksikologi dalam pembuktian pembunuhan dengan menggunakan racun. Saran yang dapat disampaikan penulis adalah sebagai berikut: 1. Sebaiknya dalam pelaksanaan pembuktian suatu kasus dugaan keracunan harus dilakukan dengan baik. Mulai dari pemerikasaan tempat kejadian harus dilakukan dengan baik agar dapat dengan mudah untuk menentukan penyebab kematian dan menentukan cara kematian korban serta

21 mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian, kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat, sebelum kejadian ini apakah sehat-sehat saja dan berapa lama gejala yang timbul setelah makan/ minum terakhir, dan apa saja gejala-gejalanya. Kemudian dalam pemeriksaan forensik harus dilakukan dengan baik. Pemeriksaan pada korban yang masih hidup harus di periksa dengan baik. Apakah ada tanda kekerasan lain sebelum diracun atau ada bekas pada bagian luar tubuh yang diakibatkan oleh racun iritan. Dan juga pada proses pemeriksaan korban yang sudah meninggal harus dilakukan dengan seksama dan teliti agar nantinya tidak mengalami kesalahan dalam mendiagnosa. Terutama dalam pemeriksaan dalam tubuh korban. 2. Hambatan-hambatan yang dilalami dalam pembuatan visum atas dugaan keracunan harus segera diatasi agar tidak mengganggu proses pemeriksaan, terutama dalam pemeriksaan toksikologi. Karena dalam pemeriksaan toksikologi, apabila organ tubuh korban yang diambil guna sebagai bahan pemeriksaan sudah membusuk maka hasil dari pemeriksaan akan kabur maupun negatif atau tidak mengandung racun. Hal ini akan mengakibatkan proses pembuktian dalam peradilan tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. 3. Sebaiknya prosedur pengiriman dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan toksikologi di laboratorium kriminal harus lebih terkoordinasi antara dokter dan pihak kepolisian.

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum VISUM et REPERTUM Pengertian Menurut bahasa: berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan repertum (melaporkan). Menurut istilah: adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes visum et Repertum Keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang berwewenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup maupun mati

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

KONSEP MATI MENURUT HUKUM KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang banyak ini tentu akan menyebabkan Indonesia memiliki perilaku dan

Lebih terperinci

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Peranan Dokter Forensik, Pembuktian Pidana 127 PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK Di dalam pembuktian perkara tindak pidana yang berkaitan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Visum et Repertum 2.1.1. Pengertian Visum et Repertum Secara harfiah kata Visum et Repertum berasal dari kata visual (melihat) dan reperta (temukan), sehingga Visum et Repertum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindaraan terjadi melalui

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi. Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2015

Lebih terperinci

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA Yusup Khairun Nisa 1 Johny Krisnan 2 Abstrak Pembuktian merupakan hal terpenting dalam proses peradilan, proses ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D 101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah

Lebih terperinci

Urgensi Pemeriksaan Kedokteran Forensik pada Fase Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Oleh: Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.*) 1. Pendahuluan Dalam penerapan dan penegakan hukum, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses peradilan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang

Lebih terperinci

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN Manumpak Pane Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Maluku Korespondensi: manumpak.pane@yahoo.com Abstrak Kejahatan korporasi

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 ANALASIS ATAS PERMINTAAN PENYIDIK UNTUK DILAKUKANNYA VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan penyidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan kuantitas kejahatan. Seiring dengan adanya perkembangan tindak

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2 Ardhyan Y.: Kewenangan Penyidik Polisi Terhadap Vol. III/No.10/September/2016 Jurnal Ilmu Hukum KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Yosy Ardhyan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bersendikan keadilan agar ketertiban, kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat pada saat ini dapat dikatakan bahwa kejahatan pemerkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga gejala sosial yang bersifat universal. Pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, hingga kejahatan-kejahatan

Lebih terperinci

RELEVANSI Skm gatra

RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER DIVISI BIOETIKA DAN MEDIKOLEGAL FK USU RELEVANSI Skm gatra SURAT KETERANGAN DOKTER Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang dokter kadang kalanya harus menerbitkan surat-surat

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Jurnal Skripsi TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : 1.Laurensius Geraldy Hutagalung Dibimbing

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dan kajian penulis tentang penerapan banutan Psikiater dan ilmu Psikiatri Kehakiman dalam menentukan kemampuan pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D101 07 521 ABSTRAK Ilmu kedokteran kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Pertanyaannya adalah apa

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI 38 BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal Terkait Tentang Ahli Sebelum akhirnya seorang seorang dokter mengamalkan profesi nya atau

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak berabad-abad yang lalu, dokter dalam pandangan masyarakat khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi. Faktor yang menciptakan keadaan

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN MEDIS

SURAT KETERANGAN MEDIS SURAT KETERANGAN MEDIS & VISUM et REPERTUM Presented by : Sarah Habibah Nurul Azizah M David Grandisa Deden Panji W Neti Watini LAB. ILMU KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL FK UNJANI SURAT KETERANGAN MEDIS

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang Lampiran 1 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 436 / MENKES / SK / VI / 1993 Tentang BERLAKUNYA STANDAR PELAYANAN RUMAH SAKIT DAN STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para aparat penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat ditarik sebagai kesimpulan berikut : 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum Didalam prosedur tetap Rumah Sakit Umum

Lebih terperinci

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF 0 ABSTRAK MELIYANTI YUSUF, NIM 271411202, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penganiayaan Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polres Gorontalo Kota). Di bawah Bimbingan Moh. Rusdiyanto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

Pencatatan, Pelaporan Kasus Keracunan dan Penanganan Keracunan. Toksikologi (Teori)

Pencatatan, Pelaporan Kasus Keracunan dan Penanganan Keracunan. Toksikologi (Teori) Pencatatan, Pelaporan Kasus Keracunan dan Penanganan Keracunan Toksikologi (Teori) KELOMPOK 2 Anggota : 1. Adi Lesmana 2. Devy Arianti L. 3. Dian Eka Susanti 4. Eneng Neni 5. Eningtyas 6. Khanti 7. Nurawantitiani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. BAB I PENDAHUUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan pengetahuan, seringkali menyebabkan seseorang tidak dapat menyelesaikan permasalahanya sendiri. Seseorang itu mau tidak mau harus memerlukan

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN SKRIPSI/ PENULISAN HUKUM TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN Disusun oleh : Laurensius Geraldy Hutagalung NPM

Lebih terperinci

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010 TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010 Suyanti 1, Antik Pujihastuti 2 Mahasiswa APIKES Mitra Husada Karanganyar 1, Dosen APIKES Mitra Husada

Lebih terperinci

VISUM ET REPERTUM. 1. Definisi

VISUM ET REPERTUM. 1. Definisi VISUM ET REPERTUM 1. Definisi Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian kedelapan di dunia dan penyebab pertama kematian pada remaja usia 15-29 tahun (WHO, 2013). Secara global, diperkirakan

Lebih terperinci

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan adalah pemeriksaan korban

Lebih terperinci

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter Prof. dr. AMRI AMIR, Sp.F(K), DFM, SH K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering terjadi Dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dikalangan masyarakat kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta penyelesaian masalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Tulisan ini dibuat untuk menjawab beberapa permasalahan hukum yakni, Seberapa pentingkah peran otopsi dalam menentukan sebab kematian dari korban kejahatan? Apakah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ( PPNS ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.IV/No. 5/Juni/2016. FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2

Lex Privatum, Vol.IV/No. 5/Juni/2016. FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2 FUNGSI OTOPSI FORENSIK DANKEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN KUHAP 1 Oleh: Indra Makie 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi Otopsi Forensik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum bukan semata-mata kekuasaan penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka seluruh warga masyarakatnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 19 BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA 2.1. Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP mengatur pelaksanaan permintaan Otopsi sebagai berikut: Pasal 133 KUHAP (1) Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akibat kemajuan teknologi baik dibidang informasi, politik, sosial, budaya dan komunikasi sangat berpengaruh terhadap tujuan kuantitas dan kualitas tindak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah penulis lakukan pada bab-bab terdahulu, berikut penulis sampaikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan dengan kekerasan tajam maupun tumpul atau keduanya, seksual, kecelakaan lalu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 543/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 543/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 543/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 36 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 36 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN TARIP PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT UMUM CIBABAT CIMAHI DENGAN

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum 41 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum terhadap hilangnya nyawa akibat penganiayaan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Autopsi forensik adalah satu pemeriksaaan yang dilakukan terhadap mayat yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini penting dilakukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 87 TAHUN : 2008 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 6 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 87 TAHUN : 2008 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 6 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 87 TAHUN : 2008 SERI : C PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 6 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN TARIF PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT UMUM CIBABAT CIMAHI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 58 TAHUN 1999 (58/1999) Tanggal: 22 JUNI 1999 (JAKARTA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci