DAFTAR ISI. BAB I. PENDAHULUAN.. 01 A. Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum. 02 Tujuan Instruksional Khusus 02

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. BAB I. PENDAHULUAN.. 01 A. Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum. 02 Tujuan Instruksional Khusus 02"

Transkripsi

1 DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN.. 01 A. Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum. 02 Tujuan Instruksional Khusus 02 BAB II FILOSOFI KESELAMATAN RADIASI DAN ALARA A. Perkembangan Sistem Pembatasan Dosis B. Standar Keselamatan Radiasi C. Dosis Ekivalen Efektif D NBD berdasarkan rekomendasi ICRP No. 60 Tahun E Nilai Batas Masukan dan Tahunan Batas Turunan 17 BAB III KETENTUAN UMUM PROTEKSI RADIASI A. Sistem Pembatasa Dosis.. 21 B. Syarat Peralatan Radiasi. 21 C. Sistem Menajemen Keselamatan Radiasi D. Kalibrasi E. Penaggulangan Kecelakaan Radiasi.. 24 F. Pembatasan Penyinaran G. Klasifikasi Pekerja Radiasi.. 26 H. Perlengkapan/Alat Ukur Radiasi I. Pemonitoran. 27 J. Pencatatan dosis K. Pengawasan Kesehatan BAB IV PROTEKSI RADIASI EKSTERNA A. Sumber Bahaya B. Faktor Proteksi Radiasi Eksterna BAB V. PROTEKSI RADIASI INTERNA 40 A. Bahaya Radiasi Interna 40 B. Pengendalian bahaya radiasi Interna BAB VI PENERAPAN PROTEKSI RADIASI OPERASIONAL A. Umum B. Pemakaian Sumber Tertutup C. Pemakaian Sumber Terbuka 46 Daftar Pustaka.. 50 i

2 DASAR PROTEKSI RADIASI A. Latar Belakang. BAB I. PENDAHULUAN. Proteksi Radiasi atau Fisika Kesehatan atau Keselamatan Radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknik kesehatan lingkungan yaitu tentang proteksi yang perlu diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang terhadap kemungkinan diperolehnya akibat negatif dari radiasi pengion, sementara kegiatan yang diperlukan dalam pemakaian sumber radiasi pengion masih tetap dapat dilaksanakan. Akibat negatif ini disebut Somatik apabila diderita oleh orang yang terkena radiasi, dan disebut akibat genetik apabila dialami oleh keturunannya. Efek Stokastik adalah efek yang kemungkinan terjadinya merupakan fungsi dari dosis radiasi yang diterima oleh seseorang, tanpa suatu nilai ambang. Efek non stokastik adalah efek yang tingkat keparahannya tergantung pada dosis radiasi yang diterima dan memerlukan suatu nilai ambang. Dalam proteksi radiasi, efek keturunan adalah efek stokastik. Masalah utama dalam proteksi radiasi pada penerimaan dosis rendah adalah penyakit kanker yang merupakan resiko somatik stokastik pada dosis rendah, oleh karena itu merupakan masalah utama dalam proteksi radiasi. Beberapa efek somatik non stokastik bersifat khas untuk jaringan biologi tertentu, misalnya katarak pada lensa mata, kerusakan non malignan pada kulit, kerusakan sel pada sumsum tulang merah yang mengakibatkan kelainan darah dan kerusakan sel kelamin yang mengakibatkan kemandulan. Agar akibat non stokastik tidak terjadi, diperlukan adanya nilai batas dosis seluruh jaringan tubuh. Untuk semua perubahan ini tingkat keparahannya tergantung pada dosis yang diterima, oleh karena mungkin terdapat suatu nilai dosis ambang, dimana di bawah nilai ini tidak terlihat adanya akibat yang merugikan. 1

3 Dengan demikian, maka tujuan keselamatan radiasi adalah : 1. Mencegah terjadinya efek non stokastik yang membahayakan dan 2. Membatasi peluang terjadinya efek stokastik. Tujuan Instruksional Umum : Setelah mengikuti pelajaran ini, peserta diharapkan mampu menyebutkan filosofi dan nilai batas dosis, menguraikan prinsip dasar proteksi radiasi. Tujuan Instruksional Khusus : Setelah mengikuti pelajaran ini, peserta diharapkan dapat: Menyebutkan Filosofi Proteksi Radiasi dan ALARA Menyebutkan nilai batas dosis Mengidentifikasi sumber radiasi Menguraikan prinsip dasar proteksi radiasi eksternal Menguraikan prinsip dasar proteksi radiasi internal Menguraikan susunan dan tanggung jawab organisasi proteksi radiasi Menguraikan prinsip-prinsip proteksi radiasi operasional Menyebutkan daerah kerja dan cara pemantauannya Mengetahui berbagai tanda-tanda radiasi 2

4 BAB II FILOSOFI KESELAMATAN RADIASI DAN ALARA Hampir semua keputusan mengenai kegiatan atau aktivitas manusia berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi antara biaya yang dikeluarkan dan keuntungan atau kemudahan yang akan diperoleh dari suatu kegiatan. Kadangkadang juga didasarkan pada keuntungan maksimum yang akan didapat oleh seseorang atau oleh masyarakat. Analisa atau perhitungan untung rugi ini harus mencakup keuntungan yang akan diperoleh oleh masyarakat dan tidak hanya keuntungan yang akan diperoleh suatu kelompok tertentu atau perorangan. Perhitungan untung rugi ini dalam proteksi radiasi hampir dapat dikuantifikasikan walaupun kadang-kadang tidak selalu memberi perlindungan bagi seseorang. Dalam menentukan untung rugi atau resiko manfaat dari kegiatan yang menggunakan sumber radiasi perlu ditetapkan suatu sistem pembatasan dosis. Dalam publikasi No. 26 ICRP atau International Commission on Radiological Protection ( suatu komisi internasional ) yang menekuni bidang keselamatan radiasi, dalam kegiatan yang melibatkan sumber radiasi pengion, sistim pembatasan dosis yang komprehensip harus diterapkan, agar Tujuan Proteksi Radiasi dalam operasi normal seperti yang tercantum diatas dipenuhi. Yang dimaksudkan dengan sistim pembatasan dosis yang komprehensip adalah: a. Kegiatan yang melibatkan penyinaran radiasi hanya dilakukan apabila menghasilkan nilai lebih (azas manfaat) JUSTIFIKASI. Justifikasi dari suatu rencana kegiatan atau operasi yang melibatkan penyinaran radiasi dapat ditentukan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dengan menggunakan analisa untung-rugi untuk meyakinkan bahwa akan terdapat keuntungan lebih dari dimulainya suatu kegiatan. Perhitungan untung-rugi ini dalam proteksi radiasi hampir dapat 3

5 dikuantifikasikan walaupun kadang-kadang tidak selalu memberi perlindungan maksimum bagi seseorang. Dalam analisa untung-rugi yang ideal, keuntungan bersih dari dimulainya suatu kegiatan yang menyangkut radiasi dapat dianggap sebagai: B = V - (P + X + Y) dimana : B. adalah keuntungan bersih dari suatu praktek/ pemanfaatan V. adalah harga kotor dari suatu praktek termasuk didalamnya nilai hasil produksi ditambah dengan keuntungan sosial yang dapat atau yang tidak dapat diperkirakan dan keuntungan lainnya. P menunjukkan biaya produksi, termasuk biaya bagi masyarakat dari kerugian non radiologik dan biaya untuk proteksi terhadap akibat buruk (kecelakaan) non radiolofik. X. adalah biaya proteksi radiasi. y. adalah biaya yang diperuntukan bagi kerugian radiasi yang berasal dari pengoperasian sumber radiasi tersebut. Adanya biaya dan keuntungan yang tidak dapat diperkirakan, seringkali menyebabkan analisa ini sifatnya subjektif, sehingga merupakan suatu hal yang susah dilaksanakan. Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya yang dapat dicapai (As Low As Reasonably Achievable - ALARA), dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial OPTIMASI. Syarat ini menyatakan bahwa kerugian/ kerusakan dari suatu praktek harus diperkecil dengan menggunakan peraturan proteksi, sampai diperoleh suatu nilai dimana pengurangan selanjutnya menjadi kurang penting jika dibandingkan dengan upaya tambahan yang dibutuhkan. Syarat dasar ini mungkin dapat dipenuhi dengan cara kualitatif dalam praktek operasional dan dengan cara yang lebih kuantitatif dengan pemilihan kriteria desain. Secara khusus pendekatan kuantitatif direkomendasikan untuk dijadikan pedoman oleh Instansi yang berwenang dalam menetapkan persyaratan 4

6 kuantitatif misalnya dalam menentukan nilai batas yang diotorisasikan atau tingkat acuan/ referensi bagi tindakan yang telah ditetapkan. b. Dosis ekivalen yang diterima oleh seseorang tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan LIMITASI. Semua kegiatan manusia mengandung resiko. Beberapa kegiatan dapat diterima oleh masyarakat walaupun mengandung resiko tinggi (misalnya kecelakaan lalulintas), sementara itu kegiatan-kegiatan lainnya tidak dapat diterima karena resikonya dianggap terlalu tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperolehnya walaupun sudah diusahakan untuk diperkecil nilai resiko tersebut. Untuk tujuan proteksi radiasi perbandingan resiko yang memadai adalah dengan membandingkannya dengan resiko yang berasal dari pekerjaan lain yang tidak menggunakan radiasi, atau kegiatan lainnya yang oleh masyarakat dianggap selamat. Berdasarkan sistem pembatasan dosis di atas, maka : 1. Setiap pemakaian zat radioaktif dan/atau sumber radiasi lainnya hanya didasarkan pada azas manfaat dan harus lebih dahulu memperoleh persetujuan Badan Pengawas. 2. Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya (As Low As Reasonably Achievable - ALARA), dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. 3. Dosis ekivalen yang diterima oleh seseorang tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Dalam menerapkan sistem pembatasan dosis ini harus dipertimbangkan dosis terikat yang dapat berasal dari kegiatan masa kini maupun masa yang akan datang. A. Perkembangan Sistem Pembatasan Dosis Sejak tahun 1900, kira-kira 5 tahun setelah pesawat sinar-x ditemukan oleh Wilhelm Roentgen, para ilmuwan dibidang ini mulai menyadari adanya 5

7 bahaya dari radiasi pengion ini. Dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi pada waktu itu sangat besar jika dibandingkan dengan standar sekarang. Pembatasan dosis atau pada waktu itu merupakan pembatasan lamanya bekerja dimulai pada tahun 1925 dengan terbitnya rekomendasi dari British X-ray and Radium Protection Committee, dalam kongresnya yang pertama. Rekomendasi ini baru dilaksanakan pada tahun Yang perlu dikemukakan dari pembatasan dosis yang pertama adalah bahwa : a. Dianggap adanya suatu nilai ambang, di bawah nilai tersebut akibat radiasi tidak terjadi. b. Proteksi hanya ditujukan bagi pekerja radiasi. c. Dosis radiasi dapat ditolerir bila jumlah yang diterima pegawai adalah 0,2 R/hari (1934). Dengan bertambah banyaknya penelitian-penelitian dalam bidang akibat radiasi ini baik dari pendahulu/penemu pemakaian pesawat sinar-x maupun dari korban bom atom di Nagasaki dan Hirosima, secara bertahap nilai batas dosis ini makin lama makin diperkecil. Rekomendasi yang dikeluarkan Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi (ICRP- International Commission on Radiological Protection) dibuat sedemikian rupa sehingga efek non stokastik dapat dihindari dan untuk memperkecil efek stokastik (dalam hal ini penyakit kanker) sampai pada suatu nilai yang dapat diterima. Dalam hal ini ICRP mengambil kebijaksanaan untuk menyamakan resiko kematian pada suatu batas dosis yang akan menimbulkan resiko yang besarnya sama dengan resiko pekerjaan dari industri lainnya, yaitu bahwa resiko kematian yang dapat diterima oleh seorang pekerja dalam satu tahun adalah 1 (satu) dari untuk nilai batas dosis yang berlaku sekarang ini, yaitu 50mSv/tahun, maka resiko tersebut besarnya adalah 1 dari 2000 atau 5 kali nilai resiko bekerja di industri. Nilai ini dapat dianggap nilai tinggi apabila ALARA tidak diterapkan. Dengan menerapkan ALARA, yaitu mengusahakan penerimaan dosis radiasi sekecil mungkin dan dengan memperhatikan faktor ekonomi dan sosial, maka resiko tersebut dapat lebih diturunkan. 6

8 Tabel 1 : Nilai batas dosis seluruh tubuh untuk pekerja (di Inggris) No. Tahun Dosis sekarang 0.5 R/minggu 0.3 R/minggu (200 R selama hidup) Rata-rata 5 R/tahun 5 rem/th; 3 rem/13 minggu 5 (N-18) rem 50 msv (5rem)/tahun Tabel 2 : Laju kecelakaan yang mematikan dalam bidang industri dalam satu tahun (di Inggris) No. Pekerjaan Menangkap ikan di lautan dalam Tambang batubara Konstruksi Perkebunan Pabrik 1 dari dari dari dari dari dari dari dari dari dari B. Standar Keselamatan Radiasi Untuk tujuan standar keselamatan radiasi ICRP membedakan 3 macam kategori penyinaran : 1. Penyinaran terhadap pekerja radiasi dewasa (di atas usia 18 tahun), dibagi lagi menjadi penyinaran untuk wanita hamil dan pekerja radiasi lainnya. 2. Anggota masyarakat terdiri dari anggota masyarakat perorangan dan keseluruhan masyarakat. 3. Penyinaran medik yaitu yang memperoleh dosis radiasi dengan sengaja yang diberikan oleh tenaga medik dan paramedik yang mampu. Pelaksana penyinaran tidak termasuk dalam kategori ini. 7

9 Dalam rekomendasi ICRP No. 26, dikemukakan pula suatu sistim tentang Nilai Batas dan Tingkat-tingkat Radiasi sebagai berikut: 1. Nilai Batas Dosis Ekivalen Primer (NBD) berlaku untuk dosis ekivalen, atau tergantung pada keadaan, dosis ekivalen terikat pada organ atau jaringan tubuh seseorang, atau dalam hal penyinaran pada masyarakat, harga rata-rata dari bilangan tersebut pada sekelompok orang. 2. Nilai Batas Dosis Sekunder ditentukan untuk radiasi eksterna dan untuk radiasi interna. Nilai batas sekunder untuk radiasi eksterna seluruh tubuh adalah dosis ekivalen maksimal pada kedalaman dibawah 1 cm. Nilai batas sekunder untuk penyinaran interna adalah Nilai Batas Masukan Tahunan atau Annual Limits of Intake - ALI melalui pernafasan atau pencernaan (dihitung untuk manusia acuan). 3. Dalam proteksi radiasi praktis, seringkali dibutuhkan bilangan nilai batas yang lain dari dosis ekivalen, atau masukan zat radioaktif, dan misalnya dikaitkan dengan keadaan lingkungan. Apabila nilai batas ini dikaitkan dengan nilai batas primer melalui suatu model tertentu yang tergantung pada keadaan, dan yang dimaksudkan untuk memberi gambaran tentang Nilai Batas Dosis Primer, maka nilai batas ini disebut Nilai Batas Turunan. Sebagai contoh, Nilai Batas Turunan dapat ditentukan untuk bilangan laju dosis ekivalen ditempat kerja, kontaminasi udara, kontaminasi pada permukaan tempat kerja atau lingkungan. Ketepatan keterkaitan antara Nilai Batas Turunan dan Nilai Batas Primer tergantung pada kebenaran/ ketepatan model yang digunakan dalam penurunan. 4. Nilai Batas yang ditentukan oleh Instansi yang Berwenang atau oleh Pengusaha Instalasi, suatu instansi, disebut Nilai Batas yang diotorisasikan. Nilai Batas ini biasanya lebih kecil dari pada Nilai Batas Turunan, walaupun dalam keadaan khusus boleh sama dengan Nilai Batas Turunan. Proses Optimasi dapat digunakan dalam menentukan Nilai Batas Otorisasi ini dan digunakan hanya dalam keadaan yang terbatas. 8

10 5. Tingkat Referensi ditetapkan untuk tiap bilangan yang telah ditentukan dalam program proteksi radiasi, tidak tergantung apakah ada atau tidak ada nilai batas. Tingkat referensi bukanlah suatu nilai batas, dan digunakan untuk menentukan tindakan yang akan diambil apabila nilai suatu bilangan melebihi atau diperkirakan melebihi tingkat referensi. Tindakan yang akan mulai dilakukan dapat berkisar dari pencatatan informasi yang sederhana, melalui investigasi sebabakibat, sampai pada tindakan intervensi. Apabila mendefinisikan Tingkat Referensi, penentuan ruang lingkup tindakan merupakan suatu hal yang penting. Bentuk yang paling umum dari tingkat referensi adalah Tingkat Pencatatan, Tingkat Investigasi, dan Tingkat Intervensi. 6. Banyak pengukuran yang dibuat dalam program pemonitoran menunjukkan hasil yang terlalu rendah untuk diperhatikan, dan hasil yang demikian itu seringkali dibuang tanpa dicatat. Seringkali akan sangat membantu untuk mendefinisikan secara formal Tingkat Pencatatan untuk dosis ekivalen atau pemasukan, dimana diatas nilai tersebut, hasil yang diperoleh cukup menarik untuk dicatat dan disimpan. Hasil lainnya dapat dengan sederhana dinyatakan sebagai lebih rendah dari Nilai Tingkat Pencatatan yang telah ditentukan. Nilai yang tidak dicatat ini, dalam menentukan dosis ekivalen tahunan atau masukan zat radioaktif, untuk tujuan proteksi radiasi, harus dianggap nol. 7. Tingkat Investigasi didefinisikan sebagai nilai dosis ekivalen atau masukan, dimana nilai tersebut hasilnya dianggap cukup penting untuk membenarkan investigasi selanjutnya. Untuk tiap jenis pengukuran yang telah ditentukan adalah mungkin untuk menetapkan Tingkat Investigasi Turunan sedemikian rupa sehingga pengukuran di bawah Tingkat Investigasi Turunan, dengan tingkat keyakinan yang cukup baik akan sesuatu dengan suatu dinilai dosis ekivalen atau masukan dibawah Tingkat Investigasi yang terkait. 8. Walaupun investigasi secara rinci akan tergantung pada situasi pada saat kejadian, pengalaman telah menunjukkan bahwa seringkali 9

11 berguna untuk mempunyai tingkat investigasi yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga apabila nilai suatu bilangan tidak melebihi atau diperkirakan tidak akan melebihi tingkat intervensi, maka sangat tidak mungkin bahwa intervensi akan dibutuhkan. Oleh karena intervensi pasti akan mengganggu Operasi Normal atau dalam beberapa kasus mematahkan rantai pertanggungjawaban, maka intervensi tidak boleh dianggap ringan. Untuk penyinaran akibat pekerjaan, yaitu untuk pekerja radiasi, yaitu tercantum dan SK Kepala BAPETEN No. 1/1999 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi, nilai batas dosis ekivalen ditentukan agar supaya tujuan atau apa yang diharapkan dari proteksi radiasi dapat dicapai. Tujuan proteksi radiasi adalah untuk membatasi peluang terjadinya efek stokastik dan mencegah terjadinya efek non stokastik, yaitu : 1. Untuk menghindari efek non stokastik, ditetapkan nilai batas dosis. a. 0.5 Sv (5- rem) untuk semua jaringan kecuali lensa mata. b Sv (15 rem) untuk lensa mata. Batas ini berlaku, baik apabila merupakan penyinaran tunggal pada jaringan tubuh maupun bersama-sama dengan organ lain. 2. Untuk membatasi dosis efek stokastik ditetapkan nilai batas dosis ekivalen efektif untuk penyinaran seluruh tubuh adalah 50 msv (5 rem) dalam satu tahun. Prinsip pembatasan dosis untuk efek stokastik tersebut di atas berlaku, baik untuk penyinaran seluruh tubuh yang merata maupun yang tidak merata. Oleh karena itu dalam rekomendasi yang terbit pada tahun 1977, ICRP mengenalkan konsep Dosis ekivalen efektif. C. Dosis Ekivalen Efektif 10

12 Dalam menentukan standar keselamatan radiasi dianggap bahwa kemungkinan terjadinya efek stokastik pada suatu jaringan sebanding dengan dosis ekivalen yang diterima jaringan tersebut. Namun demikian oleh karena adanya perbedaan kepekaan di antara jaringan yang berbeda, terjadi perbedaan faktor perbandingan antara jaringan tersebut. Kepekaan relatif terhadap efek stokastik yang merugikan ini dinyatakan dalam resiko per Sv dari beberapa organ yang akan memberikan kontribusi pada seluruh resiko. Apabila dosis radiasi diterima tubuh dengan merata, faktor resikonya adalah : Untuk penyinaran sebagian tubuh terhadap radiasi eksternal atau dari penyinaran internal sebagai akibat dari masuknya zat radioaktif kedalam tubuh manusia, dosis ekivalen efektif H Ε besarnya adalah : H Ε - Σ W t H t (1) Dimana W t adalah faktor bobot dari jaringan T yang menunjukkan kepekaan dari organ tubuh terhadap efek stokastik. Ini berarti bahwa nilai H Ε yang diperoleh tidak akan lebih besar dari 50 msv dalam satu tahun. Tabel 3. Faktor bobot dan faktor resiko jaringan terhadap efek stokastik. Jaringan Resiko Sv-1 Keterangan Gonad 4.0 x 10-3 Resiko genetik terhadap 2 generasi pertama Payudara 2.5 x 10-3 Rata-rata untuk semua usia dan Sumsum tulang Faktor bobot sama untuk pria dan wanita 2.0 x 10-3 Leukemia 0.12 belakang Paru-paru 2.0 x 10-3 Cancer 0.12 Thyroid 5.0 x 10-4 Cancer 0.03 Permukaan 5.0 x 10-4 Osteosarcoma 0.03 tulang Selebihnya 5.0 x 10-3 Cancer 0.30 Resiko total 1.65 x 10-2 D. NBD berdasarkan rekomendasi ICRP No. 60 Tahun

13 1. Nilai Batas Dosis Untuk Pekerja. a. Nilai Batas Dosis. Penyinaran akibat kerja dari tiap pekerja harus diawasi, sehingga nilai batas seperti berikut ini tidak dilampaui: 1. dosis efektif sebesar 20 msv tiap tahunnya, dirata-ratakan selama 5 tahun berturut-turut (awal dari dimulainya masa ratarata ini disamakan dengan hari pertama masa tahunan setelah NBD sesuai standar ini diberlakukan). 2. Dosis efektif sebesar 50 msv untuk satu tahun. 3. dosis ekivalen pada lensa sebesar 150 msv dalam satu tahun, dan 4. dosis ekivalen pada ekstrimitas (tangan dan kaki) atau kulit sebesar 500 msv dalam satu tahun (nilai batas dosis ekivalen pada kulit dirata-ratakan untuk luas 1 cm 2 dari daerah kulit yang memperoleh penyinaran tertinggi). Untuk siswa dan magang yang berusia antara 16 sampai 18 tahun yang mengikuti latihan untuk pekerjaannya yang menggunakan penyinaran radiasi, dan untuk siswa yang berusia antara 16 sampai 18 tahun yang menggunakan sumber radiasi dalam studinya, penyinaran radiasi harus diawasi sehingga nilai batas berikut tidak dilampaui: a. dosis efektif sebesar 6 msv dalam satu tahun. b. dosis ekivalen pada lensa mata sebesar 50 msv dalam satu tahun dan c. dosis ekivalen pada ekstremitas atau kulit sebesar 150 msv dalam satu tahun. b. Keadaan Khusus. Apabila dalam keadaan khusus, walaupun sudah berusaha dengan sebaik-sebaiknya untuk melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja dengan radiasi, namun untuk sementara 12

14 perubahan nilai batas dosis masih diperlukan, dan telah disetujui oleh IYB, maka: 1) masa rata-rata dapat diperpanjang sampai 10 tahun berturutturut, dan dosis efektif bagi tiap pekerja radiasi tidak lebih besar dari 20 msv dirata-ratakan selama masa tersebut dan tidak boleh lebih besar dari 50 msv dalam satu tahun, serta keadaan harus ditinjau ulang apabila seseorang pekerja radiasi mencapai penerimaan dosis sebesar 100 msv sejak dimulainya masa rata-rata tersebut. 2) perubahan sementara dari pembatasan dosis harus ditentukan oleh Instansi Berwenang akan tetapi tidak boleh lebih besar dari 50 msv untuk masa satu tahun, dan perubahan sementara ini tidak boleh lebih lama dari masa 5 tahun. 2. Nilaia Batas Dosis Untuk Penyinaran Masyarakat. a. Nilai Batas Dosis. Dosis rata-rata yang diperkirakan akan diterima oleh grup kritik yang sesuai dari anggota masyarakat, yang berasal dari suatu kegiatan tidak akan lebih besar dari nilai batas berikut ini: 1) dosis efektif sebesar 1 msv dalam satu tahun 2) dalam keadaan khusus, dosis efektif sampai dengan 5 msv dalam satu tahun dengan syarat bahwa dosis rata-rata selama lima tahun berturut-turut tidak lebih dari 1 msv dalam satu tahun. 3) dosis ekivalen pada lensa mata sebesar 15 msv dalam satu tahun, dan 4) dosis ekivalen pada kulit sebesar msv dalam satu tahun. b. Pembatasan dosis bagi penggembira dan pengunjung pasien. Seringkali penderita atau pasien yang memperoleh pengobatan dengan menggunakan zat radioaktif terbuka (radioaktifmaka) atau sumber radioaktif terbungkus (brachitherapy) memerlukan dukungan moral dari keluarga. Batasan dosis (contrain) bagi 13

15 mereka ini bukan bagi pekerja radiasi dalam bidang kesehatan yang melayani pasien adalah: 1) untuk orang dewasa tidak boleh lebih besar daripada 5 msv selama masa pemeriksaan diagnosa dan terapi dari seorang pasien. 2) untuk anak-anak yang mengunjungi pasien yang menelan zat radioaktif (kedokteran nuklir), tidak boleh lebih besar dari 1 msv. Nilai batas Dosis seperti yang tertera diatas tadi adalah: 1) merupakan jumlah dari dosis radiasi eksterna dan interna, atau salah satu dari keduanya, yaitu dosis radiasi eksterna saja atau dosis radiasi interna saja; 2) tidak termasuk penyinaran medik; 3) tidak termasuk penyinaran radiasi alam. Ditinjau dari segi pembatasan dosis, perkembangan pembatasan dosis adalah sebagai berikut : 1925, Pengawasan dosis berdasarkan waktu kerja, yaitu maksimum 7 jam perhari, 5 hari perminggu dengan cuti tidak kurang dari 1 bulan per-tahun. 1928, Disetujui adanya suatu tingkat dosis yang dapat ditolerir yang berarti bahwa terdapat nilai ambong, dibawah nilai ambang tersebut. pengaruh radiasi tidak tampak Laju dosis (nilai batas dosis) sebesar 0,2 R/ hari. 1935, Laju dosis (nilai batas dosis) menjadi sebesar 0,3 R/ hari 1950, Nilai batas dosis (laju dosis) menjadi 0,3 R/ minggu 1955, Nilai batas dosis dianggap perlu dekat dengan nilai dosis dimana akibat buruk dari radiasi dapat terjadi. Akibat Genetik yang dapat terjadi tanpa suatu nilai ambang, mulai dianggap penting. 1956, Nilai Batas Dosis (NBD) yang diijinkan diturunkan menjadi 5 Rem/ tahun, adanya hubungan dengan usia pekerja radiasi yaitu 5 (N-18). 14

16 1977, Dalam publikasi No. 26, ICRP tidak lagi menggunakan istilah Nilai Batas Dosis Yang Diizinkan, akan tetapi mengemukakan konsep ALARA (semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya dengan memperhatikan faktor ekonomi dan sosial). Nilai Batas Dosis ekivalen ditentukan sebesar 50 msv (5 rem) dalam satu tahun. 1990, Dalam publikasi No 60, ICRP merekomendasikan nilai batas dosis untuk pekerja diturunkan lagi yaitu dosis efektif sebesar 20 msv tiap tahunnya, dirata-ratakan selama 5 tahun berturutturut (awal dari dimulainya masa rata-rata ini disamakan dengan hari pertama masa tahunan setelah NBD sesuai standar ini diberlakukan) dan dosis efektif sebesar 50 msv untuk satu tahun. NBD untuk masyarakat yaitu dosis efektif sebesar 1 msv dalam satu tahun dan dalam keadaan khusus, dosis efektif sampai dengan 5 msv dalam satu tahun dengan syarat bahwa dosis rata-rata selama lima tahun berturut-turut tidak lebih dari 1 msv dalam satu tahun. Nilai Batas Dosis (NBD) yang ditetapkan dalam SK Kepala Bapeten No. 1/1999 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi adalah penerimaan dosis yang tidak boleh dilampaui dalam setahun tidak tergantung pada laju dosis, baik untuk radiasi eksterna maupun interna. Dalam hal ini tidak termasuk penyinaran medis dan alam. Pekerja radiasi tidak boleh berumur kurang dari 18 tahun dan pekerja wanita dalam masa menyusui tidak diizinkan bertugas didaerah radiasi dengan resiko kontaminasi tinggi. 1. Nilai batas dosis untuk penyinaran seluruh tubuh 50 msv (5.000 mrem) per tahun. 2. Nilai batas dosis untuk wanita dalam usia subur 13 msv (1.300 mrem) dalam jangka 13 minggu pada abdomen dan wanita hamil 10 msv (1.000 mrem) pada janin, terhitung sejak dinyatakan mengandung hingga saat bayi lahir. 3. Nilai batas dosis untuk penyinaran local; 500 msv ( mrem) dalam satu tahun. Telah ditetapkan pula nilai batas untuk : 15

17 a. Lensa mata 150 msv ( mrem) setahun. b. Kulit 500 msv ( mrem) dalam setahun. Dalam hal kontaminasi radioaktif pada kulit diambil dosis ratarata pada permukaan seluas 100 cm2. c. Tangan, lengan, kaki dan tungkai 500 msv ( mrem) setahun. 4. Pembatasan dosis untuk penyinaran khusus direncanakan. Hanya boleh dilakukan bagi pekerja radiasi kategori A dan telah mendapat izin dari Pengusaha Instalasi Nuklir (PIN) setempat dengan mempertimbangkan bahwa sudah tidak ada cara lain, usia dan kesehatan. a. Dua kali NBD b. Lima kali NBD untuk seumur hidup Penyinaran khusus tersebut tak boleh diberikan kepada pekerja radiasi, apabila : a. Selama 12 bulan sebelumnya pernah menerima dosis lebih besar daripada NBD seluruh tubuh (dan usia subur). b. Pernah menerima penyinaran akibat keadaan darurat atau kecelakaan sehingga jumla dosis melebihi 5x NBD untuk seluruh tubuh (lokal). c. Wanita usia subur dan menolak. 5. Pembatasan dosis untuk anggota masyarakat umum untuk seluruh tubuh 5 msv (500 mrem) dalam setahun (1/10 x NBD pekerja radiasi). Demikian pula halnya untuk penyinaran lokal yaitu 50 msv dalam setahun. 6. Penyinaran anggota masyarakat secara keseluruhan Setiap penguasa instalasi nuklir harus menjamin kontribusi penyinaran yang berasal dari instalasinya kepada anggota masyarakat serendah mungkin dan harus dikaji ulang dan dilaporkan pada instansi yang berwenang, khususnya harus diperkirakan dosis genetik. 16

18 7. Nilai batas dosis dalam satu tahun untuk magang dan siswa yang harus menggunakan sumber radiasi : a. yang berusia diatas 18 tahun, sama dengan nilai batas dosis untuk pekerja radiasi. b. yang berusia antara 16 dan 18 tahun adalah 0,3 dari NBD untuk pekerja radiasi. c. Yang berusia dibawah 16 tahun adalah 0,1 dari NBD untuk masyarakat umum, dan tidak boleh menerima dosis sebesar 0,01 dari NBD masyarakat umum, dalam sekali penyinaran. E. Nilai Batas Masukan dan Tahunan Batas Turunan Nilai batas dosis seperti yang telah ditetapkan dengan SK. Kepala Bapeten dalam buku Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap radiasi mencakup dosis eksterna dan dosis interna. Untuk membatasi pemasukan zat radioaktif ke dalam tubuh manusia ditentukan nilai batas masukan zat radioaktif tahunan atau ALI (Annual Limit of Intake). Nilai Batas Masukan Tahunan ini ditentukan dengan memperhatikan efek stokastik dan non-stokastik yaitu tidak melebihi penerimaan dosis ekivalen sebesar 50 msv, dan dosis yang diterima jaringan lunak dan organ tidak melebihi 500 msv. Pemasukan zat radioaktif ke dalam tubuh ini akan menyebabkan dosis ekivalen efektif terikat yaitu dihitung untuk masa kerja selama 50 tahun. Distribusi zat radioaktif di dalam tubuh, yang tergantung juga pada jenis unsur dan senyawa zat radioaktif tersebut disamping nilai batas untuk efek stokastik dan non-stokastik menentukan besar nilai Batas Masukan Tahunan (BMT). Nilai BMT untuk pekerja radiasi dan masyarakat umum ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai batas turunan yaitu kadar radioaktivitas udara ditempat kerja pekerja radiasi (Derived Air Concentration/DAC) dan batas masukan tahunan melalui saluran pencernaan makanan. Dalam menentukan nilai kadar radioaktivitas udara untuk pekerja radiasi, jumlah jam kerja dalam satu tahun dihitung 2000 jam, sedangkan udara 17

19 yang dihirup oleh seorang manusia (acuan) adalah 20 liter dalam satu menit, dengan demikian maka : KRU = BMT Bq (2) 2400 m 3 Keterangan : KRU = Kadar radioaktivitas udara BMT = Batas masukan tahunan. Untuk menentukan batas masukan melalui pencernaan makanan perhitungannya agak sulit terutama untuk zat radioaktif yang sulit diserap oleh tubuh. Saluran pencernaan akan memperoleh dosis terbanyak dan dianggap bahwa zat radioaktif terdistribusi secara merata dalam tiap bagian saluran pencernaan dan perlu diketahui pula waktu rata-rata zat radioaktif berada dalam tiap bagian saluran pencernaan makanan tersebut. Dalam menentukan Batas Masukan Tahunan, disamping nilai batas untuk efek Stokastik dan Non-Stokastik juga tergantung pada pada distribusi zat radioaktif didalam tubuh, yang tergantung pada jenis unsur dan senyawa zat radioaktif tersebut, dan cara pemasukan apakah melalui saluran pernafasan atau saluran pencernaan. Sebagai contoh, misalnya suatu radioanuklida masuk ke dalam tubuh manusia, dan menyinari organ/ jaringan X, Y dan Z. Dimisalkan bahwa pemasukan 1 Bq. Radionuklida tersebut menyebabkan dosis ekivalen terikat pada tiap organ tersebut sebesar H X, H y, dan H Z. Jika faktor bobot jaringan tersebut masing-masing adalah w x, w y dan w z, maka dosis ekivalen efektif dari pemasukan 1 Bq adalah: H = w x H x + w y H y + w z H z (3) Nilai Batas Masukan Turunan (NBMT) dihitung sedemikian rupa sehingga: w T H T = 50 msv Jadi BMT : 50 dalam Bq (4) w X H X + w Y H Y + w Z h Z 18

20 Dari rumus diatas tampak bahwa Batas Masukan Tahunan ditentukan sedemikian rupa sehingga resiko efek stokastik dari berbagai organ tubuh untuk jangka waktu 50 tahun setelah pemasukan zat radioaktif tersebut tidak akan melebihi resiko akibat penyinaran seluruh tubuh sebesar NBD tahunan yaitu sebesar 50 msv. Namun demikian syarat yang lebih menentukan yaitu efek non-stokastik pada organ tidak dapat diabaikan, yaitu bahwa dosis radiasi pada suatu organ tidak boleh lebih besar dari 0,5 Sv (50 rem), atau 0,15 Sv (15 rem) pada lensa mata dalam satu tahun. Untuk sekitar 20 % dari seluruh radionuklida, BMT ditentukan berdasarkan efek non-stokastik. Sebagai contoh misalnya untuk natrium -22, calcium BMT ditentukan berdasarkan nilai dosis untuk efek stokastik, sedangkan untuk yodium-131 dan plutonium-239 ditentukan berdasarkan nilai dosis untuk efek non-stokastik. Dalama menentukan dosis radiasi yang diterima seeorang pekerja radiasi dalam satu tahun, dosis radiasi eksterna dan interna harus diperhatikan, yaitu dijumlahkan sedemikian rupa sehingga nilai batas dosis untuk efek stokastik tidak terlampaui. Jadi H wb + I j < 1 (5) H wb, L I j, L dimana: H wb, adalah dosis ekivalen yang diterima dalam satu tahun yang berasal dari dosis eksterna. H wb, L adalah nilai batas ekivalen. I j adalah pemasukan radionuklida dalam satu tahun. I j, L nilai batas masukan tahunan dari radionuklida tersebut diatas. 19

21 Tabel 4. Beberapa Nilai BMT. Nuklida Senyawa BMT Pernafasan (Bq) Natrium -22 Yodium-131 Cs 137 Pu 239 semua senyawa semua senyawa semua senyawa dioksida Pu senyawa lainnya, oksida, hidroksida senyawa lainnya 2 x x x x x 10 2 Pencernaan (Bq) 1 x x x x x

22 BAB III. KETENTUAN UMUM PROTEKSI RADIASI Dalam PP 63 Tahun 2000 diatur hal-hal yang berkaitan dengan proteksi dan keselamatan radiasi. A. Sistem Pembatasa Dosis. Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup, pengusaha instalasi yang melaksanakan setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir harus memenuhi prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan sebagai berikut : 1. setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus mempunyai manfaat yang lebih besar dibanding dengan resiko yang ditimbulkan 2. penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak melebihi nilai batas yang ditetapkan Badan pengawas 3. kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber radiasi harus dirancang dan dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi yang terjadi ditekan serendah-rendahnya B. Syarat Peralatan Radiasi 1. Pengusaha instalasi yang merancang, membuat, mengoperasikan dan atau merawat sistem dan koponen sumber radiasi yang mempunyai potensi bahaya radiasi harus mencegah terjadinya penerimaan dosis yang berlebih 2. Sistem dan komponen sumber radiasi tersebut harus dirancang dan dibuat sesuai dengan standar 3. Dalam menerapkan dosis untuk keperluan medik dengan tujuan diagnostik dan terapi, pengusaha instalasi harusmemperhatikan perlindungan pasien terhadap radiasi. C. Sistem Menajemen Keselamatan Radiasi. Pengusaha instalasi harus menerapkan sistem manajemen keselamatan radiasi, yang meliputi : 21

23 1. Organisasi Proteksi Radiasi a. Pengusaha instalasi harus memiliki organisasi proteksi radiasi yang sekurang-kurangnya terdiri atas unsur pengusaha instalasi, petugas proteksi radiasi dan pekerja radiasi b. Setiap pengusaha instalasi yang memanfaatkan tenaga nuklir harus mempunyai sekurang-kurangnya 1 (satu) orang petugas proteksi radiasi c. Pengusaha instalasi wajib menunjuk orang lain atau dirinya sendiri sebagai petugas proteksi radiasi 2. Pemantauan dosis radiasi dan radioaktivitas a. Pengusaha instalasi harus mewajibkan setiap pekerja radiasi untuk memakai peralatan pemantau dosis perorangan, sesuai dengan jenis instalasi dan sumber radiasi yang digunakan b. Apabila hasil evaluasi dosis menunjukkan penerimaan dosis berlebih, maka pengusaha instalasi harus melaksanakan tindak lanjut c. Pengusaha instalasi bertanggung jawab atas pelaksanaan pencatatan dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi d. Pencatatan dosis radiasi dilakukan oleh Petugas Proteksi Radiasi (PPR) e. Catatan dosis radiasi harus dapat ditunjukkan sewaktu-waktu apabila diminta oleh Badan Pengawas f. Pengusaha instalasi harus memberikan salinan catatan dosis radiasi kepada pekerja radiasi yang akan memutuskan hubungan kerja. g. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauan daerah kerja secara terus menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu h. Pengusaha instalasi harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemantauan daerah kerja i. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauantingkat radioaktivitas buangan zat radioaktif ke lingkungan hidup secara terus menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu. j. Pengusaha instalasi harus mencatat dan mendokumentasikan hasil pemantauan tingkat radioaktivitas buangan zat radioaktif tersebut. 22

24 3. Peralatan proteksi radiasi Pengusaha instalasi harus menyediakan dan mengusahakan peralatan proteksi radiasi, pemantau dosis perorangan, pemantau daerah kerja dan pemantau lingkungan hidup yang dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan jenis sumber radiasi yang digunakan. 4. Pemeriksaan kesehatan a. Setiap orang yang akan bekerja sebagai pekerja radiasi harus sehat jasmani dan rohani serta serendah-rendahnya berusia 18 (delapanbelas) tahun b. Pengusaha instalasi harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan awal secara teliti dan menyeluruh untuk setiap orang yang akan bekerja sebagai pekerja radiasi c. Pengusaha instalasi harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan bagi setiap pekerja radiasi secara berkala selama bekerja sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun d. Pengusaha istalasi harus memeriksakan kesehatan pekerja radiasi yang akan memutuska hubungan kerja secara teliti dan menyeluruh e. Hasil pemeriksaan kesehatan pekerja harus diberikan kepada pekerja radiasi yang bersangkutan f. Pengusaha instalasi harus melaksanakan pencatatan hasil pemeriksaan kesehatan setiap pekerja radiasi dalam kartu kesehatan g. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi, pengusaha instalasi harus menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan bagi pekerja radiasi yang diduga menerima paparan radiasi berlebih 5. Penyimpanan dokumentasi Pengusaha instalasi harus tetap menyimpan dokumentasi yang memuat catatan dosis, hasil pemantauan daerah kerja, hasil pemantauan lingkungan dan kartu kesehatan pekerja 6. Penerapan jaminan kualitas a. Pengusaha instalasi harus membuat program jaminan kualitas bagi instalasi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi 23

25 b. Program jaminan kualitas yang telah dibuat oleh pengusaha instalasi harus disampaikan kepada Badan pengawas untuk disetujui c. Program jaminan kualitas yang telah disetujui harus dilaksanakan oleh pengusaha instalasi 7. Pendidikan dan latihan a. Setiap pekerja radiasi harus memperoleh pendidikan dan pelatihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja terhadap radiasi b. Pengusaha instalasi bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dimaksud D. Kalibrasi 1. Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasikan alat ukur radiasi secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali 2. Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi keluaran radiasi (output) peralatan radioterapi secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali E. Penaggulangan Kecelakaan Radiasi Pengusaha instalasi harus melakukan upaya pencegahan tejadinya kecelakaan radiasi. Dalam upaya penanggulangan kecelakaan radiasi, keselamatan manusia harus diutamakan. Dalam hal terjadi kecelakaan radiasi pengusaha instalasi harus segera melaporkan terjadinya kecelakaan radiasi dan upaya penanggulangannya kepada Badan pengawas dan instansi tekait lainnya. F. Pembatasan Penyinaran Dalam SK. Kepala Bapeten No. 1/1999 (yang saat ini sedang direvisi) diatur bahwa Pembatasan penyinaran dilakukan dengan cara pembagian daerah kerja, klasifikasi pekerja radiasi, dan pemeriksaan dan pengujian perlengkapan proteksi radiasi dan alat ukur radiasi. 1. Pembagian Daerah Kerja a) Daerah pengawasan yaitu daerah yang memungkinkan seorang menerima dosis radiasi kurang dari 15 msv (1.500 mrem) dalam 24

26 setahun dan bebas kontaminasi. Batas daerah kerja harus diberi tanda yang jelas. Daerah Pengawasan, dibagi lagi menjadi : 1) Daerah radiasi sangat rendah yaitu yang memungkinkan seseorang menerima dosis 1 msv atau lebih dan kurang dari 5 msv dalam satu tahun. Dalam hal ini tidak diharuskan adanya pengaturan. 2) Daerah radiasi rendah yaitu yang memungkinkan seseorang menerima dosis 5 msv atau lebih dan kurang dari 15 msv dalam satu tahun untuk seluruh tubuh atau nilai yang sesuai untuk organ tertentu. b) Daerah pengendalian yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis radiasi 15 msv atau lebih dalam setahun.daerah Pengendalian, dibagi lagi menjadi : 1) Daerah radiasi Daerah radiasi sedang, yaitu yang memungkinkan seseorang menerima dosis 15 msv atau lebih dan kurang dari 50 msv dalam satu tahun untuk seluruh tubuh atau nilai yang sesuai untuk organ tertentu. Daerah radiasi tinggi, yaitu yang memungkinkan seseorang menerima dosis 50 msv atau leib dalam satu tahun atau nilai yang sesuai terhadap organ tertentu. 2) Daerah kontaminasi Kontaminasi radioaktif dapat didefinisikan sebagai adanya zat radioaktif yang tidak terwadahi dan yang tidak dikehendaki berada disuatu lokasi atau tempat tertentu. Contohnya adalah bubuk radioaktif tumpah dilantai (kontaminasi permukaan), zat radioaktif cair tumpah di tangan seseorang (kontaminasi personel) dan zat radioaktif yang mengudara (kontaminasi udara). Radiasi tidak akan mengakibatkan kontaminasi, akan tetapi kontaminasi radioaktif akan menimbulkan bahaya radiasi eksterna apabila jumlahnya besar dan memancarkan radiasi yang dapat menembus jaringan tubuh, dan bahaya radiasi interna apabila kemudian masuk ke dalam tubuh 25

27 manusia. Oleh karena itu dalam buku Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi ditentukan tiga daerah kontaminasi, yaitu : a) Daerah kontaminasi rendah, yaitu daerah dengan tingkat kontaminasi yang sama dengan laboratorium perunut radioaktif. b) Daerah kontaminasi sedang, yaitu daerah yang tingkat kontaminasi radioaktifnya 0,37 Bq/cm 2 ( 10-5 µci/cm 2 ) atau lebih dan kurang dari 3,7 Bq/cm 2 ( 10-4 µci/cm 2 ) untuk alfa dan 3,7 Bq/cm 2 ( 10-4 µci/cm 2 ) atau lebih dan kurang dari 37 Bq/cm 2 ( 10-3 µci/cm 2 ) untuk beta, sedang kontaminasi udara tidak melebihi sepersepuluh Batas Turunan Kadar Zat Radioaktif di udara. c) Daerah kontaminasi tinggi, yaitu daerah dengan tingkat kontaminasi 3,7 Bq/cm 2 atau lebih untuk alfa dan 37 Bq/cm 2 atau lebih untuk beta, sedang kontaminasi udara kadang-kadang lebih besar dari sepersepuluh batas turunan udara. Petugas Proteksi Radiasi (PPR) bertanggung jawab atas terlaksananya tugas-tugas dalam daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis lebih dari 5 msv dalam satu tahun dan dalam daerah kontaminasi. G. Klasifikasi Pekerja Radiasi Untuk tujuan pemonitoran dan pembatasan penyinaran dibedakan dua kategori pekerja radiasi : 2. Kategori A Yang mungkin menerima dosis sama dengan atau lebih besar dari 15 msv per tahun. 3. Kategori B Yang mungkin menerima dosis lebih kecil dari 15 msv per tahun. 26

28 H. Perlengkapan/alat ukur radiasi harus mempunyai unjuk kerja yang baik Untuk menjamin kebenaran nilai penyinaran, dosis serap, fluks, atau aktivitas sumber radiasi diperlukan alat ukur yang dapat dipertanggungjawabkan ketelitian/ kebenaran hasil pengukurannya. Oleh karena itu alat ukur radiasi, keluaran sumber radiasi dan radionuklida perlu dikalibrasi. I. Pemonitoran a. Pemonitoran daerah kerja b. Pemonitoran perorangan eksterna dan interna Hasil pemonitoran dilaporkan berkala dan bila dosis yang diterima lebih besar dari NBD atau melebihi 2 X NBMT maka PPR harus menyerahkan masalah ini kepada dokter instalasi yang bertanggungjawab menaksir efeknya. J. Pencatatan dosis PPR harus menyimpan untuk jangka waktu 30 tahun dokumen : a. Hasil pemonitoran daerah kerja yang digunakan untuk menentukan dosis perorangan. b. Dosis radiasi perorangan. c. Dosis radiasi akibat kecelakaan atau keadaan darurat dan laporan kecelakaan tersebut. Hasil pencatatan dosis dan kecelakaan harus dilaporkan ke Instansi yang berwenang. K. Pengawasan Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000, antara lain mengatur mengenai pemeriksaan kesehatan pekerja radiasi. Pengawasan Kesehatan ini dimaksudkan untuk menentukan apakah keadaan kesehatan pekerja radiasi sesuai dengan tugas yang akan dilakukan dan untuk mengetahui apakah ada pengaruh radiasi pada kesehatan pekerja radiasi tersebut selama bekerja dengan radiasi (ingat efek stokastik dan non-stokastik). Keharusan pemeriksaan kesehatan ini tidak hanya bagi mereka yang 27

29 bekerja di Batan atau industri lain yang menggunakan sumber radiasi pengion akan tetapi juga bagi pekerja radiasi dalam bidang medik, dan telah diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 172/MenKes/PER/III/91. Selain untuk memantau keadaan kesehatan pekerja radiasi, pemeriksaan kesehatan juga penting bagi penguasa Instalasi Nuklir, jika dikemudian hari ada pekerja radiasi yang menggugat bahwa sakit yang dideritanya adalah diakibatkan oleh radiasi yang diterimanya (Medico-legal), walaupun resiko sakit akibat radiasi ini sangat kecil. Peraturan mengenai pengawasan kesehatan antara lain: 1. Penguasa Instalasi Nuklir wajib melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap calon pekerja radiasi, sekali setahun bagi pekerja radiasi dan pekerja radiasi yang akan memutuskan hubungan kerja dengan Instalasi Nuklir. 2. Pemeriksaan kesehatan khusus harus dilaksanakan apabila dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi melampaui nilai seperti yang tercantum dalam peraturan mengenai pembatasan dosis dan diterima dalam waktu yang singkat. Juga apabila pemasukan zat radioaktif diperkirakan melebihi dua kali batas dosis tahunan dan apabila telah terjadi kontaminasi interna. 3. Seluruh hasil pemeriksaan kesehatan harus dicatat dalam kartu kesehatan dan kartu ini harus disimpan untuk jangka waktu sekurangkurangnya 30 tahun sejak berhenti bekerja dengan radiasi. Di dalam kartu kesehatan harus ada keterangan tentang sifat pekerjaan dan alasan pemberian pemeriksaan kesehatan khusus. 4. Perlengkapan pertolongan pertama pada kecelakaan radiasi harus tersedia di daerah kerja yang isinya tergantung pada jenis kecelakaan yang mungkin terjadi, jenis radiasi, jenis kontaminasi dan jenis kontaminasi pada tubuh manusia. 28

30 BAB IV. PROTEKSI RADIASI EKSTERNA A. Sumber Bahaya Bahaya eksterna berasal dari sumber radiasi yang terdapat diluar tubuh. Jika zat radioaktif masuk dalam tubuh, maka akan timbul bahaya radiasi interna. Untuk mengatasinya diperlukan cara pengendalian yang sangat berlainan. Partikel alpha umumnya tidak dianggap sebagai sumber berbahaya eksterna yang potensial karena daya tembusnya sangat kecil dengan demikian mudah tertahan pada lapisan luar dari kulit. Bahaya eksterna mungkin ditimbulkan oleh pancaran beta, sinar-x, gamma atau neutron yang dapat menembus lebih dalam kebagian dalam tubuh. Bahaya eksterna dikendalikan dengan mempergunakan tiga prinsip dasar proteksi radiasi yaitu memperhitungkan waktu, jarak dan penahan radiasi. B. Faktor Proteksi Radiasi Eksterna 1. Faktor Waktu Besar dosis radiasi yang diterima oleh seorang yang sedang bekerja dengan laju dosis tertentu berbanding langsung dengan lama waktu ia berada di tempat itu. D t - D o. t (5) D t D o t = Dosis yang diterima = Laju dosis mula-mula = waktu Dosis = laju dosis x waktu Contoh : Seorang pekerja radiasi diizinkan menerima dosis sebesar 100 mrem dalam 1 minggu, berapa jam seminggu ia boleh bekerja dalam medan radiasi dengan laju dosis 10 mrem/jam? Dari rumus (1): D t = D o x t 100 mrem = 10 mrem x t t = 10 jam 29

31 Lama waktu seorang pekerja radiasi dalam suatu ruangan yang mengandung radiasi pengion itu sering kali bergantung pada pekerjaan yang dilakukannya, mungkin lebih lama dari 10 jam, untuk dapat mengatasi hal itu harus dicoba mengurangi laju penyinaran ditempat tersebut yaitu dengan cara memperbesar jarak antara sumber radiasi dengan pekerja, atau dengan mempergunakan penahan radiasi. 2. Faktor Jarak Paparan radiasi berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber radiasi. Bila sumber radiasi dimensinya kecil sekali, maka fluks radiasi pada jarak t dari sumber ini berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Karena laju dosis proporsional dengan fluk maka laju dosispun mengikuti hukum kuadrat terbalik. Hal ini secara eksak hanya berlaku untuk sumber radiasi berbentuk titik, detektor berbentuk titik dan jika absorbsi radiasi antara sumber dan detektor dapat diabaikan. D r = K 1 (6) r 2 K = tetapan yang besarnya bergantung pada sumber atau ; D r R 2 = K sehingga dapat ditulis : D r1 r 1 = D r2 r 2 = D r3 r 3 = K, tetap (7) D r1 = laju dosis pada jarak r 1 D r2 = laju dosis pada jarak r 2 D r3 = laju dosis pada jarak r 3 Contoh : Sebuah sumber dosis Co 60 memberikan, pada jarak 2 m, laju dosis sebesar 50 mrem/jam pada jarak manakah laju dosis besarnya 20 mrem/jam? Dengan memakai dengan rumus diatas, diperoleh ; 50 x (2) 2 = 20 x r 2 30

32 r = (50 x 2 2 /20) 1/2 r = (10) 1/2 m Dari rumus tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa jika jarakdijadikan dua kali lebih besar, maka laju dosis menjadi : dan jika jarak diperbesar 3 kali laju dosis berkurang menjadi : 1 atau 9 kali lebih kecil 3 2 Sebaliknya bila jarak sumber radiasi diperpendek ½ kali, laju dosis radiasi akan menjadi 4 kali lebih besar dan bila jarak diperpendek menjadi 1/3 kali, maka laju dosis menjadi 9 kali lebih besar. Jadi bila terlalu dekat pada sumber, misalnya langsung menyentuh atau memegang sumber radiasi, maka laju dosis pada tangan berlipat ganda besarnya. Oleh karena itu dilarang memegang sumber radiasi langsung dengan tangan. Untuk menangani sumber radiasi diperlukan perlengkapan khusus misalnya tang jepit panjang, atau pinset. Walaupun aktivitas sumber radiasi kecil dan merupakan sumber radiasi terbungkus, larangan memegang sumber secara langsung tetap berlaku, jadi harus menggunakan peralatan tersebut diatas untuk menghindari penerimaan dosis radiasi yang berlebihan pada tangan. 3. Faktor Penahan Radiasi Dalam praktek, pemakaian sumber radiasi harus dilengkapi dengan penahan radiasi dalam jumlah yang cukup untuk melemahkan (attenuate) pancaran yang kuat. Berbagai jenis radiasi mempunyai daya tembus yang berbeda. Sedang sifat serap bahan terhadap macam radiasi yang dihadapi juga berbeda, maka jumlah dan jenis bahan penahan radiasi yang diperlukan bergantung pada jenis sumber yang dihadapi. Penyerapan sinar gamma secara kuantitatif berbeda dengan penyerapan alpha dan beta. Bahan utama yang digunakan sebagai penahan radiasi gamma atau sinar-x adalah timbal, baja, beton. a. Partikel Alpha 31

33 Partikel alpha mudah sekali diserap. Biasanya sehelai kertas tipis saja sudah cukup untuk menahan seluruh pancaran alpha. Dengan demikian partikel alpha tidak merupakan persoalan pelik dalam bidang proteksi terhadap sumber radiasi eksterna. b. Partikel Beta Partikel beta mempunyai daya tembus lebih besar daripada partikel alpha. Energinya biasanya antara 1 dan 10 MeV. Dalam hal ini Perspex setebal 1 cm sudah cukup menyerap seluruh pancaran beta. Dengan memandang bahwa pancaran beta ini mudah diserap secara keseluruhan oleh bahan yang relatif tipis itu, maka orang sering sekali menganggap enteng radiasi beta ini dan kadang-kadang tidak berhati-hati dan berani memegang sumber beta langsung dengan tangan, padahal laju dosis pada jarak 3 mm dari sumber demikian mungkin sebesar rad per jam. Sebagai kelanjutan, proses penyerapan partikel beta dapat menimbulkan pancaran sinar-x yang dikenal dengan Bremstrahlung. Bremstrahlung ini besarnya proporsional dengan bilangan atom (Z) dari zat penyerap dan dengan engergi partikel beta (E) yang bersangkutan. Untuk mengetahui perkiraan bahaya Bremstrahlung, pendekatan hubungan berikut dapat dipakai : f = ZE maks Keterangan : F = fraksi energi sinar beta yang jatuh berubah menjadi foton (Bremstrahlung) Z = nomor atom bahan penyerap E = energi partikel beta MeV Dengan demikian untuk bahan penahan partikel beta harus diambil zat yang mempunyai harga Z lebih rendah, umumnya dalam praktek tidak lebih dari 13 : Energi rata-rata partikel beta ditentukan oleh distribusi dari partikel beta, umumnya diambil : E rata-rata = 1 E maks (8) 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan yang berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang

Lebih terperinci

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi Telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion dan Surat Keputusan Kepala BAPETEN No.01/Ka-BAPETEN/V-99

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aplikasi teknologi nuklir telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan, salah satunya dalam bidang kesehatan atau medik di bagian radiologi khususnya profesi kedokteran

Lebih terperinci

Dasar Proteksi Radiasi

Dasar Proteksi Radiasi Dasar Proteksi Radiasi 101 Tujuan Proteksi Radiasi Mencegah terjadinya efek non-stokastik yang berbahaya, dan membatasi peluang terjadinya efek stokastik hingga pada nilai batas yang dapat diterima masyarakat;

Lebih terperinci

Bab 2. Nilai Batas Dosis

Bab 2. Nilai Batas Dosis Bab 2 Nilai Batas Dosis Teknik pengawasan keselamatan radiasi dalam masyarakat umumnya selalu berdasarkan pada konsep dosis ambang. Setiap dosis betapapun kecilnya akan menyebabkan terjadinya proses kelainan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi merupakan suatu bentuk energi. Ada dua tipe radiasi yaitu radiasi partikulasi dan radiasi elektromagnetik. Radiasi partikulasi adalah radiasi yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB V KETENTUAN KESELAMATAN RADIASI

BAB V KETENTUAN KESELAMATAN RADIASI BAB V KETENTUAN KESELAMATAN RADIASI Ketentuan Keselamatan Radiasi diatur dengan SK Kepala BAPETEN No. 01/Ka- BAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan kerja terhadap radiasi. Ketentuan keselamatan radiasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.672, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Radiasi Proteksi. Keselamatan. Pemanfaatan. Nuklir. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi nuklir merupakan suatu bentuk pancaran energi. Radiasi nuklir dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan kemampuannya mengionisasi partikel pada lintasan yang dilewatinya,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION U M U M Peraturan Pemerintah ini, dimaksudkan sebagai

Lebih terperinci

MAKALAH PROTEKSI RADIASI

MAKALAH PROTEKSI RADIASI MAKALAH PROTEKSI RADIASI PENGERTIAN, FALSAFAH, DAN ASAS PROTEKSI RADIASI DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1 NAMA : 1. A MUIS MUALLIM (15001) 2. ALMIN PRABOWO ANWAR (15002) 3. ANDI MUTMAINNAH IVADA DEWATA (15003)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 01/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 01/Ka-BAPETEN/V-99 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI KEPUUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS ENAGA NUKLIR NOOR 01/KaBAPEEN/V99 ENANG KEENUAN KESELAAAN KERJA ERADAP RADIASI KEPALA BADAN PENGAWAS ENAGA NUKLIR, enimbang : a. bahwa pemanfaatan zat radioaktif dan/atau

Lebih terperinci

PENGUKURAN RADIASI. Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Pengukuran Besaran Listrik Dosen Pengajar : Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan S.T., M.T.

PENGUKURAN RADIASI. Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Pengukuran Besaran Listrik Dosen Pengajar : Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan S.T., M.T. Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Pengukuran Besaran Listrik Dosen Pengajar : Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan S.T., M.T. Oleh : ADI WIJAYANTO 1 Adi Wijayanto Badan Tenaga Nuklir Nasional www.batan.go.id CAKUPAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PERSYARATAN UNTUK MEMPEROLEH SURAT IZIN BEKERJA BAGI PETUGAS TERTENTU DI INSTALASI YANG MEMANFAATKAN SUMBER RADIASI PENGION DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam

Lebih terperinci

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL No.05 / Tahun III April 2010 ISSN 1979-2409 PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Suliyanto, Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Congrat Roentgen tahun 1895 dan unsur Radium oleh Fierre dan Marie Curie, 3

BAB I PENDAHULUAN. Congrat Roentgen tahun 1895 dan unsur Radium oleh Fierre dan Marie Curie, 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan Radiologi dimulai dengan penemuan sinar-x oleh William Congrat Roentgen tahun 1895 dan unsur Radium oleh Fierre dan Marie Curie, 3 tahun kemudian, penemuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 2007 LINGKUNGAN HIDUP. Tenaga Nuklir. Keselamatan. Keamanan. Pemanfaatan. Radioaktif. Radiasi Pengion.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilhelm Conrad Roentgen seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman, pertama kali menemukan sinar-x pada tahun 1895 sewaktu melakukan eksperimen dengan sinar katoda. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam penggunaan teknologi nuklir disadari benar bahwa selain dapat diperoleh manfaat bagi kesejahteraan manusia juga ditemui posisi bahaya bagi keselamatan manusia.

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang : Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang : Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang : Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 11 TAHUN 1975 (11/1975) Tanggal : 16 APRIL 1975 (JAKARTA) Sumber : LN 1975/15;

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR FORMULIR PERMOHONAN SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR FORMULIR PERMOHONAN SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN. TENTANG SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU YANG BEKERJA DI INSTALASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB II Besaran dan Satuan Radiasi

BAB II Besaran dan Satuan Radiasi BAB II Besaran dan Satuan Radiasi A. Aktivitas Radioaktivitas atau yang lebih sering disingkat sebagai aktivitas adalah nilai yang menunjukkan laju peluruhan zat radioaktif, yaitu jumlah inti atom yang

Lebih terperinci

PEMANTAUAN PAPARAN RADIASI DAN KONTAMINASI DI DALAM HOTCELL 101 INSTALASI RADIOMETALURGI

PEMANTAUAN PAPARAN RADIASI DAN KONTAMINASI DI DALAM HOTCELL 101 INSTALASI RADIOMETALURGI PEMANTAUAN PAPARAN RADIASI DAN KONTAMINASI DI DALAM HOTCELL 101 INSTALASI RADIOMETALURGI Suliyanto, Muradi, Endang Sukesi I. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN Kawasan puspiptek Gedung 20, Serpong

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR: 12/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA PENAMBANGAN DAN PENGOLAHAN BAHAN GALIAN RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II. DASAR PENGETAHUAN PROTEKSI RADIASI

BAB II. DASAR PENGETAHUAN PROTEKSI RADIASI BAB II. DASAR PENGETAHUAN PROTEKSI RADIASI A. PENDAHULUAN Bab II tentang Dasar Pengetahuan Proteksi Radiasi direncanakan selesai dalam waktu 2 kali 3 jam (3 x 50 menit) tatap muka. Sebagai Pendahuluan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU YANG BEKERJA DI INSTALASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sangat di pengaruhi oleh upaya pembangunan dan kondisi lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sangat di pengaruhi oleh upaya pembangunan dan kondisi lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu unsur yang penting untuk menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Kesehatan bukanlah semata-mata merupakan tanggung

Lebih terperinci

ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007

ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007 ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007 Budi Prayitno (1) dan Suliyanto (1) 1. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir- BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian a. Tempat Kerja Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1549, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. TENORM. Keselamatan Radiasi. Proteksi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMANTAUAN PENERIMAAN DOSIS EKSTERNA DAN INTERNA DI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2012

PEMANTAUAN PENERIMAAN DOSIS EKSTERNA DAN INTERNA DI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2012 PEMANTAUAN PENERIMAAN DOSIS EKSTERNA DAN INTERNA DI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2012 Sudaryati, Arca Datam S. dan Nur Tri Harjanto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir - BATAN ABSTRAK PEMANTAUAN PENERIMAAN

Lebih terperinci

TEORI DASAR RADIOTERAPI

TEORI DASAR RADIOTERAPI BAB 2 TEORI DASAR RADIOTERAPI Radioterapi atau terapi radiasi merupakan aplikasi radiasi pengion yang digunakan untuk mengobati dan mengendalikan kanker dan sel-sel berbahaya. Selain operasi, radioterapi

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III BESARAN DOSIS RADIASI

BAB III BESARAN DOSIS RADIASI BAB III BESARAN DOSIS RADIASI Yang dimaksud dengan dosis radiasi adalah jumlah radiasi yang terdapat dalam medan radiasi atau jumlah energi radiasi yang diserap atau diterima oleh materi yang dilaluinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia karena terpapari sinar-x dan gamma segera teramati. beberapa saat setelah penemuan kedua jenis radiasi tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia karena terpapari sinar-x dan gamma segera teramati. beberapa saat setelah penemuan kedua jenis radiasi tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut beberapa ahli, radiasi dapat menembus sel jaringan tubuh manusia secara perlahan lahan dalam jangka waktu yang lama yang dapat menyebabkan infeksi, perdarahan,

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 Tentang : Keselamatan Dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 Tentang : Keselamatan Dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 Tentang : Keselamatan Dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA bahwa untuk melaksanakan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tindakan tertentu, maupun terapetik. Di antara prosedur-prosedur tersebut, ada

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tindakan tertentu, maupun terapetik. Di antara prosedur-prosedur tersebut, ada BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan terbanyak radiasi pengion buatan manusia adalah di dunia medis. Radiasi pengion tersebut digunakan dalam penegakan diagnosis, panduan tindakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah survei deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu mengumpulkan data. Fungsi analisis

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI B.Y. Eko Budi Jumpeno Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070 PENDAHULUAN Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. bersinggungan dengan sinar gamma. Sinar-X (Roentgen) mempunyai kemampuan

BAB. I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Penelitian. bersinggungan dengan sinar gamma. Sinar-X (Roentgen) mempunyai kemampuan BAB. I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Sinar-X merupakan sepenggal spektrum gelombang elektromagnetik yang terletak di ujung energi tinggi spektrum gelombang elektromagnetik di bawah dan bersinggungan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1202, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Kedokteran Nuklir. Radiasi. Keselamatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1202, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Kedokteran Nuklir. Radiasi. Keselamatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1202, 2012 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Kedokteran Nuklir. Radiasi. Keselamatan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

PENGUKURAN LAJU DOSIS PAPARAN RADIASI EKSTERNAL DI AREA RADIOTERAPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG. Diterima: 6 Juni 2016 Layak Terbit: 25 Juli 2016

PENGUKURAN LAJU DOSIS PAPARAN RADIASI EKSTERNAL DI AREA RADIOTERAPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG. Diterima: 6 Juni 2016 Layak Terbit: 25 Juli 2016 PENGUKURAN LAJU DOSIS PAPARAN RADIASI EKSTERNAL DI AREA RADIOTERAPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG Novita Rosyida Pendidikan Vokasi, Universitas Brawijaya Jl. Veteran 12-16 Malang, 65145, Telp. 085784638866,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 01 A Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum 02 Tujuan Instruksional Khusus. 02

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 01 A Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum 02 Tujuan Instruksional Khusus. 02 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 01 A Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum 02 Tujuan Instruksional Khusus. 02 BAB II PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR. 03 A. Tujuan dan Ruang Lingkup Izin. 03 1. Izin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Aplikasi teknologi nuklir telah banyak dimanfaatkan tak hanya sebatas pembangkit listrik namun sudah merambah ke bidang medis, industri, pemrosesan makanan, pertanian,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIF DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIF DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIF DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini pembuatan isotop radioaktif telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16 Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Dokumen yang Perlu Dipahami 1 Label Peringatan 2 ALARA 2 Dosimeter 3 Risiko Radiasi 3 Prinsip Proteksi Radiasi 5 Aturan Keselamatan Umum 6

Dokumen yang Perlu Dipahami 1 Label Peringatan 2 ALARA 2 Dosimeter 3 Risiko Radiasi 3 Prinsip Proteksi Radiasi 5 Aturan Keselamatan Umum 6 Badan Tenaga Nuklir Nasional Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri BIDANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN Jl. Tamansari 71, Bandung 40132 Telp. 2503997 ext. 444 Daftar Isi Dokumen yang Perlu Dipahami 1

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KOMPARASI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI INTERNA PEKERJA PPTN SERPONG BERDASARKAN ICRP 30 TERHADAP ICRP 68

KOMPARASI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI INTERNA PEKERJA PPTN SERPONG BERDASARKAN ICRP 30 TERHADAP ICRP 68 KOMPARASI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI INTERNA PEKERJA PPTN SERPONG BERDASARKAN ICRP 30 TERHADAP ICRP 68 Ruminta Ginting, Yanni Andriyani, Tri Bambang L *) ABSTRAK KOMPARASI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI INTERNA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1550, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Radiasi. Impor. Ekspor. Pengalihan. Barang. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEDOKTERAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KETENAGANUKLIRAN

KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KETENAGANUKLIRAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KETENAGANUKLIRAN I. Pendahuluan. Pada tanggal 10 April 1997 Presiden RI telah menyetujui Rancangan Undang Undang menjadi undang undang di bidang tenaga nuklir yang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DENGAN

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Kedokteran Gigi Radiografi kedokteran gigi merupakan pemeriksaan penunjang dari pemeriksaan klinis yang biasanya digunakan untuk membantu penegakan diagnosa dan rencana

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang No.185, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Keselamatan. Keamanan. Zat Radio Aktif. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5728). PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

: Panduan Penyusunan Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi Dalam Kegiatan Well Logging LEMBAR PENGESAHAN

: Panduan Penyusunan Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi Dalam Kegiatan Well Logging LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN 1. Tanda Tangan 2. 3. TTD TTD TTD 4. Tanggal 1. 03-10-2011 2. 03-10-2011 3. 03-10-2011 4. 03-10-2011 03-10-2011 03-10-2011 Nama 1. Roy Candra Primarsa, ST 2. Yerri Noer Kartiko, ST, MT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF DAN PESAWAT SINAR-X UNTUK PERALATAN GAUGING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan.

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. No.1937, 2014 BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SURAT IZIN

Lebih terperinci

TINJAUAN DOSIS RADIASI EKSTERNAL TERHADAP PEKERJA DALAM PERBAIKAN DETEKTOR NEUTRON JKT03 CX 821 DI RSG-GAS

TINJAUAN DOSIS RADIASI EKSTERNAL TERHADAP PEKERJA DALAM PERBAIKAN DETEKTOR NEUTRON JKT03 CX 821 DI RSG-GAS TINJAUAN DOSIS RADIASI EKSTERNAL TERHADAP PEKERJA DALAM PERBAIKAN DETEKTOR NEUTRON JKT03 CX 821 DI RSG-GAS Mashudi, Unggul Hartoyo, Suhartono, Sunarningsih Kawasan Puspiptek, Gd 31, Serpong, Tangerang-Selatan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DOSIS RADIASI INTERNAL DENGAN WBC UNTUK PEKERJA PUSAT TEKNOLOGI LIMBAH RADIOAKTIF SERPONG TAHUN 2012

PEMANTAUAN DOSIS RADIASI INTERNAL DENGAN WBC UNTUK PEKERJA PUSAT TEKNOLOGI LIMBAH RADIOAKTIF SERPONG TAHUN 2012 PEMANTAUAN DOSIS RADIASI INTERNAL DENGAN WBC UNTUK PEKERJA PUSAT TEKNOLOGI LIMBAH RADIOAKTIF SERPONG TAHUN 2012 ABSTRAK Tri Bambang L Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN PEMANTAUAN DOSIS RADIASI INTERNAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemanfaatan teknologi nuklir kini tidak hanya di bidang energi seperti pada PLTN tetapi juga untuk berbagai bidang, salah satu yang kini telah banyak diterapkan di

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA

PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA Suparno -BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:ptapb@batan.go.id ABSTRAK PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini survei deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpul data.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini survei deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpul data. BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini survei deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu pengumpul data. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan bisa dikatakan tanpa kesehatan yang baik segala yang dilakukan tidak akan maksimal.

Lebih terperinci

PENGUKURAN DOSIS PAPARAN RADIASI DI AREA RUANG CT SCAN DAN FLUOROSKOPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG. Novita Rosyida

PENGUKURAN DOSIS PAPARAN RADIASI DI AREA RUANG CT SCAN DAN FLUOROSKOPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG. Novita Rosyida PENGUKURAN DOSIS PAPARAN RADIASI DI AREA RUANG CT SCAN DAN FLUOROSKOPI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG Novita Rosyida Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya, Jl. Veteran 12-16 Malang 65145, Telp. 085784638866

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG LABORATORIUM DOSIMETRI, KALIBRASI ALAT UKUR RADIASI DAN KELUARAN SUMBER RADIASI TERAPI, DAN STANDARDISASI RADIONUKLIDA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUKU PINTAR PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DI RUMAH SAKIT

BUKU PINTAR PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DI RUMAH SAKIT BUKU PINTAR PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DI RUMAH SAKIT Penyusun: Eri Hiswara BUKU PINTAR PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DI RUMAH SAKIT Penyusun: Eri Hiswara BUKU PINTAR PROTEKSI DAN KESELAMATAN

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. No. Dok : Tanggal : Revisi : Halaman 1 dari 24

LEMBAR PENGESAHAN. No. Dok : Tanggal : Revisi : Halaman 1 dari 24 Halaman 1 dari 24 LEMBAR PENGESAHAN Disiapkan oleh Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal Diperiksa oleh Disahkan oleh Halaman 2 dari 24 Pernyataan Kebijakan Proteksi dan Keselamatan Radiasi Setiap kegiatan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DOSIS PERORANGAN DI PUSAT TEKNOLOGI NUKLIR BAHAN DAN RADIOMETRI - BATAN BANDUNG

PEMANTAUAN DOSIS PERORANGAN DI PUSAT TEKNOLOGI NUKLIR BAHAN DAN RADIOMETRI - BATAN BANDUNG PEMANTAUAN PERORANGAN DI PUSAT TEKLOGI NUKLIR BAHAN DAN RADIOMETRI - BATAN BANDUNG Afida Ikawati, Irma Dwi Rahayu, Rini Heroe Oetami Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri, BATAN Jl. Tamansari No.71

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan para tenaga kerjanya (Siswanto, 2001). penting. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan para tenaga kerjanya (Siswanto, 2001). penting. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan pembangunan di semua sektor kegiatan industri dan jasa semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan tersebut ternyata tidak hanya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 12-1972 dicabut: PP 29-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 137, 2000 IPTEK.Badan.Instalasi.Perizinan.Pemanfaatan.Tenaga Nuklir.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS ALPHA PADA BAK PENAMPUNG AIR PENDINGIN ACCUTOM PASCA PEMOTONGAN LOGAM U-Zr

PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS ALPHA PADA BAK PENAMPUNG AIR PENDINGIN ACCUTOM PASCA PEMOTONGAN LOGAM U-Zr PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS ALPHA PADA BAK PENAMPUNG AIR PENDINGIN ACCUTOM PASCA PEMOTONGAN LOGAM U-Zr Akhmad Saogi Latif Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN ABSTRAK PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS ALPHA

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA

Lebih terperinci

OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI

OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI Gatot Wurdiyanto dan C. Tuti Budiantari Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN OPERASI REAKTOR NONDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus diterapkan di dunia kerja oleh semua orang yang berada di tempat kerja baik pekerja maupun pemberi kerja, jajaran pelaksana,

Lebih terperinci