BAB V ARAHAN PENGELOLAAN. Arahan Pengelolaan 49. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V ARAHAN PENGELOLAAN. Arahan Pengelolaan 49. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga"

Transkripsi

1 BAB V ARAHAN PENGELOLAAN 5.1. Arahan Umum Pengelolaan Hutan Arahan umum pengelolaan hutan di kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga mengikuti diagram di bawah ini (Gambar 5.1.). Berdasarkan kondisi aktual di lapangan yang berupa persebaran hutan dan potensinya, serta informasi sebaran kegiatan manusia di dalam kawasan hutan dan diperkuat dengan kebijakan pemerintah Indonesia tentang pengelolaan hutan maka dapat disusun alternatif pengelolaan untuk tiap tipe hutan yang ada. Arahan Pengelolaan 49

2 Sebaran Hutan dan potensinya Sebaran Kegiatan Manusia di Kawasan Hutan Analisis Kemungkinan Tumpang Tindih Penggunaan Penentuan Tujuan Pengelolaan Kebijakan Pemerintah Alternatif Pengelolaan Gambar 5.1. Alur pikir penyusunan arahan pengelolaan kawasan hutan 5.2. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan di Indonesia Tata Hutan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, kegiatan pengelolaan hutan di mulai dengan melakukan tata hutan. Kegiatan tata hutan adalah adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Melalui peraturan pemerintah yang sama, kawasan hutan di Indonesia dikelompokkan dalam hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Kriteriakriteria untuk kegiatan tata hutan untuk masing-masing kelompok hutan adalah sebagai berikut: a. Hutan Lindung Kegiatan tata hutan lindung diselenggarakan pada Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). b. Hutan Konservasi Yang dimaksud hutan konservasi adalah kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam dan taman buru. Kegiatan tata hutan pada hutan konservasi diselenggarakan pada Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi(KPHK). Arahan Pengelolaan 50

3 c. Hutan Produksi Tata hutan pada hutan produksi diselenggarakan dalam Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Kegiatan tata hutan pada masing-masing KPH (KPHL, KPHK, dan KPHP) secara umum terdiri dari; a. tata batas hutan; b. inventarisasi hutan; c. pembagian ke dalam blok atau zona; d. pembagian petak dan anak petak; dan e. pemetaan Rencana Pengelolaan Hutan Jenis rencana pengelolaan hutan dan kewenangan yang menyusun disajikan dalam bentuk Tabel 5.1. Terdapat dua rencana pengelolaan hutan, yaitu; rencana pengelolaah hutan jangka panjang dan rencana pengelolaan hutan jangka pendek. Tabel 5.1. Jenis Perencanaan, Wewenang dan Unsur-unsur Perencanaan Hutan Jenis Perencanaan Wewenang Unsur-unsur Perencanaan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Kepala KPH a. tujuan yang akan dicapai KPH; b. kondisi yang dihadapi; dan c. strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan hutan; pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan perlindungan hutan dan konservasi alam Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH a. tujuan pengelolaan hutan lestari dalam Skala KPH yang bersangkutan; b. evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya; c. target yang akan dicapai; d. basis data dan informasi; e. kegiatan yang akan dilaksanakan; f. status neraca sumber daya hutan; g. pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan h. partisipasi para pihak. Arahan Pengelolaan 51

4 Pemanfaatan Hutan Pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan ditujukan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Secara umum pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan; pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. a. Hutan Lindung Berdasarkan PP No.6 Tahun 2007, kegiatan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Seluruh kegiatan pemanfaatan hanya tidak dapat dilaksanakan pada blok perlindungan. Arahan Pengelolaan 52

5 1) Pemanfaatan kawasan pada Hutan Lindung Kegiatan pemanfaatan kawasan adalah dapat meliputi: a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; atau f. budidaya hijauan makanan ternak. Kegiatan pemanfaatan di kawasan hutan lindung dilakukan dengan tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; pengolahan tanah terbatas; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak untuk menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. 2) Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung antara lain: a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon 3) Pemungutan hasil hutan pada Hutan Lindung Kegiatan pemungutan hasil hutan di hutan lindung meliputi: a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet. Arahan Pengelolaan 53

6 Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami; tidak merusak lingkungan; dan tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Pada hutan lindung, dilarang memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya dan dilarang emungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undangundang. b. Hutan Produksi Berdasarkan PP No.6 Tahun 2007, kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi adalah; 1) usaha pemanfaatan kawasan; 2) usaha pemanfaatan jasa lingkungan; 3) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam; 4) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman; 5) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; 6) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman; 7) pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam; 8) pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; 9) pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman. 1) Pemanfaatan kawasan pada Hutan produksi Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi antara lain berupa: a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa; dan f. budidaya sarang burung walet. Arahan Pengelolaan 54

7 Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi tidak bersifat limitatitf dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan: luas areal pengolahan dibatasi; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. 2) Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan produksi Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dilakukan, melalui kegiatan : a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan: tidak mengubah bentang alam; tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan/atau tidak mengurangi fungsi utamanya. Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada Pemerintah. 3) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha : a. pemanfaatan hasil hutan kayu; atau b. pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya. Usaha pemanfaatan meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan. Arahan Pengelolaan 55

8 Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan: hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan; luas dan letak kawasan hutan produksi masih produktif, tetapi tidak layak untuk dijadikan 1 (satu) unit izin usaha; dan kawasan hutan produksi yang tidak produktif, harus berupa tanah kosong, alang-alang dan/atau semak belukar. 4) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada : a. HTI; b. HTR; atau c. HTHR. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya.pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman dapat berupa: a. tanaman sejenis; dan b. tanaman berbagai jenis. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Usaha pemanfaatan tersebut dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Arahan Pengelolaan 56

9 Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTR merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam dapat berupa : a. tanaman sejenis; dan b. tanaman berbagai jenis. Pada hutan produksi, berdasarkan rencana pengelolaan KPH, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTHR dalam hutan tanaman dilakukan melalui penjualan tegakan. Kegiatan penjualan tegakan meliputi kegiatan pemanenan, pengamanan, dan pemasaran. 5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi, antara lain berupa pemanfaatan : a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil. 6) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi antara lain berupa pemanfaatan: a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil; b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan tanaman dapat pula dilakukan terhadap hutan tanaman hasil kegiatan rehabilitasi. 7) Pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam Pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat setempat, dengan ketentuan paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan dan juga diberikan untuk memenuhi kebutuhan individu, Arahan Pengelolaan 57

10 dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) meter kubik untuk setiap kepala keluarga dan tidak untuk diperdagangkan. 8) Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan dapat diperdagangkan. Pemungutan itu dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam dilakukan terhadap tumbuhan liar dan/atau satwa liar harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9) Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan dapat diperdagangkan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman dapat pula dilakukan terhadap hutan tanaman hasil rehabilitasi. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap kepala keluarga. Pemungutan yang berupa tumbuhan liar dan satwa liar diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Hutan Desa Hutan desa dapat diberikan pada hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan hak pengelolaan kepada lembaga desa. Hak pengelolaan hutan desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan serta rehabilitasi dan perlindungan hutan. Pemanfaatan hutan desa yang berada pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Arahan Pengelolaan 58

11 Kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Setiap pemanfaatan hasil hutan pada hak pengelolaan hutan desa dikenakan PSDH dan/atau DR. Lembaga desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa, wajib melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari yang dituangkan dalam peraturan desa. Lembaga desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa bersama kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk sebagai bagian dari rencana pengelolaan hutanlembaga desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa wajib: a. menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa; b. melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa; c. melakukan perlindungan hutan; atau d. melaksanakan penatausahaan hasil hutan. d. Hutan Kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan dapat diberikan pada hutan konservasi (kecuali pada cagar alam, dan zona inti taman nasional), hutan lindung, atau hutan produksi). Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan kemasyarakatan dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang berada pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. e. Hutan Hak Hutan hak dapat juga ditetapkan sebagai hutan yang berfungsi konservasi, lindung, atau produksi. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan hak bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya. Sementara itu, pemerintah menetapkan hutan hak yang berfungsi konservasi dan lindung dengan memberikan kompensasi. Arahan Pengelolaan 59

12 Hutan hak yang berfungsi konservasi dan/atau lindung dapat diubah statusnya menjadi kawasan hutan. Apabila hutan hak ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung atau kawasan hutan konservasi, maka pemerintah memberikan ganti rugi kepada pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya, wajib mengembangkan hutan hak melalui fasilitasi, penguatan kelembagaan, dan sistem usaha Arahan Pengelolaan Hutan Lindung Keberadaan hutan lindung di suatu wilayah memiliki fungsi pokok untuk perlindungan tata air dan konservasi tanah. Dalam konteks tersebut pemanfaatan hutan lindung di Pulau Bintan dan Lingga diarahkan untuk mendukung fungsi tersebut. Pemanfaatan yang disyaratkan dalam PP No.6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan meliputi 3 kelompok yaitu: a. pemanfaatan kawasan meliputi pemanfaatan lahan hutan lindung untuk budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, dan budidaya hijauan makanan ternak. b. pemanfaatan jasa lingkungan terdiri dari pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon c. pemungutan hasil hutan meliputi rotan, madu, getah, buah, jamur, dan sarang burung walet. Bentuk-bentuk pemanfaatan hutan lindung tersebut harus dilakukan dalam kerangka tetap menjaga kelestarian dan keutuhan kawasan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan lindung selama ini memiliki kecenderungan untuk mengurangi fungsi pokok hutan lindung dalam hal luasan dan penutupan kawasan. Kondisi ini menjadi potensi bahaya yang mengancam Pulau Bintan yang merupakan kawasan pertumbuhan kota dengan laju pembangunan sarana dan prasana perkotaan terus meningkat. Kecenderungan pengurangan luasan hutan lindung disebabkan oleh faktor pembangunan permukiman, pertanian dan perkebunan, pengembangan kawasan industri, aktivitas tambang, pembangunan sarana jalan dan illegal logging. Arahan Pengelolaan 60

13 Upaya pengelolaan hutan lindung di Pulau Bintan dan Lingga dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah disyaratkan dalam PP No.6 Tahun 2007 yang dari : a. tata batas meliputi penentuan tata batas, inventarisasi potensi hutan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, pembagian kawasan hutan ke dalam blok dan pemetaan. Pembagian blok dalam kawasan lindung terdiri dari blok pemanfaatan, blok perlindungan dan blok lainnya. b. Penyusunan rencana pengelolaan (jangka panjang dan jangka pendek). c. Pemanfaatan hutan lindung meliputi tiga bentuk seperti di jelaskan di atas. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka upaya rekonstruksi pengelolaan kawasan hutan lindung di Pulau Bintan pada saat diarahkan untuk : a. Pembagian blok hutan lindung yang dibagi menjadi blok perlindungan dan blok pemanfaatan. 1) Blok perlindungan diarahkan untuk lokasi sekitar waduk, mata air yang selama ini digunakan sebagai sumber mata air bagi PDAM dan perusahaan air minum mineral serta mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Misalnya waduk di HlL. Lindung Gunung Kijang, sekitar mata air di Gunung Lengkuas yang telah dimanfaatkan untuk industri air mineral. Blok perlindungan juga ditetapkan pada wilayah-wilayah up land di hutan lindung dan cacthment area, wilayah yang memiliki topografi curam, up land mata air dan waduk, kawasan habitat satwa, kawasan ekosistem yang menyimpan jenis flora langka. 2) Blok pemanfaatan diarahkan pada wilayah yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan baik potensi kawasan, jasa wisata dan potensi hasil hutan non kayu. Blok pemanfaatan kawasan dapat dikembangkan pada wilayahwilayah yang berdekatan dengan permukiman sekaligus berfungsi sebagai penyangga. Blok pemanfaatan juga ditempatkan pada wilayah-wilayah yang memiliki potensi wisata, di dekat mata air dan wilayah yang memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan jasa dan hasil hutan non kayu. Selain itu dapat juga dibuat blok pemanfaatan khusus seperti pada lokasi yang telah dimanfaatkan menara komunikasi. Dalam konteks ini penetapan blok-blok tersebut dapat dibagi lagi ke unit terkecil yang dikenal dengan istilah sub blok atau petak. Blok perlindungan dan blok pemanfaatan letaknya tidak harus kompak dan bahkan cenderung tersebar sesuai dengan potensi kondisi peruntukan yang sesuai masingmasing tempat. Arahan Pengelolaan 61

14 b. Penentuan arahan jenis kegiatan setiap blok termasuk di dalamnya jenis pemanfaatan. Kenyataan di lapangan terdapat beberapa bentuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan arahan pengelolaan hutan lindung dan catchment area. Pemanfaatan yang tersebut cenderung mengurang luasan hutan lindung dan catchment area padahal luas hanya memiliki luas yang terbatas yang rentan terhadap kerusakan. Kondisi yang rentan dan luas yang sempit maka perlu penetapan kegiatan pengelolaan pada setiap blok dengan arahan kegiatan sebagai berikut: 1) Pemanfaatan hutan lindung yang selama tidak sesuai arahan pengelolaan seperti perkebunan, tambang, permukiman, rencana pembangunan kawasan perkantoran dan jenis lainnya, dikeluarkan dari kawasan hutan lindung dan catchment area sesuai dengan arahan pemanfaatan yang digariskan PP No.6 Tahun ) Apabila langkah 1 sulit dijalankan maka jalan kompromi yang yang dapat dilakukan dengan mengatur pemanfaatan yang ketat. Pemanfaatan yang ada selama ini harus diproteksi dengan ketat agar luas pemanfaatan yang tidak sesuai tersebut tidak meluas/merambah hutan lindung lagi. Namun harus dilakukan perubahan pola pemanfaatan yaitu: a) Pemanfaatan lahan perkebunan harus ditanami tanaman kehutanan disepanjang jalur tanaman serta diberlakukan fungsi lindung atau fungsi konservasi dengan kompensasi pemerintah. b) Pemanfaatan permukiman dan kawasan perkantoran harus ditanami tanaman pepohonan di pekarangan dengan kerapatan yang cukup. c) Pemanfaatan untuk lahan pertanian diganti jenis budidaya bukan tanaman semusim tetapi tanaman buah-buahan, atau memakau pola agroforestry. d) Oleh karena luas hutan lindung menjadi berkurang dengan ada bentuk pemanfaatan tersebut maka para pihak yang telah memanfaatkan selama ini (pemilik perkebunan, Pemda, tambang) diberi kewajiban untuk membangun hutan kota seluas lahan yang dikelola di dalam kawasan lindung. Pembangunan hutan kota ini menjadi salah satu alternatif untuk mempertahan kualitas lingkungan di Pulau Bintan. Dalam konteks pembangunan hutan kota ini, Dinas Kehutanan perlu menyusun suatu master plan pengelolaan sehingga setiap pihak yang akan terlibat jelas tanggung jawabnya. Arahan Pengelolaan 62

15 3). Pemanfaatan hutan lindung dan catchment area yang sudah sesuai dengan arahan pengelolaan, perlu dilakukan pengaturan pembagian hasil secara adil. Misal pemanfaatan air oleh PDAM, perusahaan air minum, dan menara komunikasi perlu dihitung besar nilai yang harus dibayarkan kepada kawasan hutan lindung dengan mempertimbangkan berbagai variabel. Bukan hanya sekedar biaya pajak atau sewa lahan. Biaya pemeliharaan yang kembali ke kawasan sangat kecil dan jalurnya tidak langsung, sehingga pemanfaatan kawasan hutan cenderung seperti seperti pola eksploitasi. Bedanya dengan hutan eksploitasi kayu hanya sumber daya yang dimanfaatkan berupa air dan lahan untuk membangun. Arahan pengelolaan hutan Lindung Sungai Pulai perlu ditekankan dalam laporan ini mengingat nilai penting kawasan hutan ini. Kawasan hutan lindung sungai Pulai termasuk di dalam dua (2) wilayah administrasi, yaitu administrasi Kota Tanjung Pinang dan wilayah administrasi Kabupaten Bintan. Fungsi utama Hutan Lindung Sungai Pulai, adalah sebagai penyangga kelansungan waduk Sungai Pulai, sebagai sumber air minum bagi wilayah Kota Tanjung Pinang dan sekitarnya. Selain itu juga sebagai penyangga lingkungan hidup di kedua wilayah administrative tersebut, seperti antara lain menjaga kualitas dan kuantitas lahan, iklim mikro, bentang alam, dan lingkungan yang sehat bersih dan segar. Mengingat pentingnya fungsi utama, maka dalam pengelolaan perlu diperhatikan dalam menjaga keberlangsungan produksi akan sumber air atau debit air untuk setiap saat. Demikian juga dengan kualitas sumber air yang memenuhi standard kebutuhan untuk air minum. Berdasarkan PDAM Tirta Janggi, produksi air pada saat sekarang rata-rata 150 lt perdetik sampai 200 lt per detik. Sejalan dengan kebutuhan air minum yang semakin meningkat khusus untuk Kota Tanjung Pinang, maka diharapkan debit air Waduk Sungai Pulai dapat ditingkatkan mencapai antara 400 hingga 500 lt per detik. Menjawab tujuan tersebut perlu arahan pengelolaan ke depan sebagai berikut; 1. Penetapan blok-blok sebagai kawasan perlindungan sumber daya air 2. Rehabilitasi penutupan lahan di seluruh kawasan HL Sungai Pulai 3. Pembentukan pelaksana dari instansi yang terkait, seperti Dinas Kehutanan, PDAM, Pemda pada umumnya. 4. Pembuatan rencana pengelolaan dalam kaitanya denagn produksi sumber air. Arahan Pengelolaan 63

16 5. Penjagaan blok-blok perlindungan oleh adanya penggunaan lahan hutan untuk tujuan lain, seperti perambahan untuk berbagai kegiatan yang antara lain, pertanian, permukiman, atau industri Arahan Pengelolaan Hutan Produksi Terbatas Penyusunan arahan pengelolaan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dilakukan sesuai dengan alur pikir dibawah ini (Gambar 5.2). Berdasarkan konsep kelestarian hutan dan pengaturan hutan, program dan arah pembangunan daerah serta kondisi factual di lapangan, maka disusunlah arahan pengelolaan. Tujuan spesifik untuk kawasan HPT dapat disusun untuk memberikan arahan cara pengelolaannya. Teknik pengelolaan menyangkut daur/rotasi, silvikultur, pemilihan jenis produk, serta manajemen kemudian dapat disusun untuk memberikan arahan teknis pengelolaan kawasan HPT. Konsep Kelestarian dan pengaturan hutan Program dan arah pembangunan daerah Kondisi Kawasan Biotik, fisik, social, ekonomi, budaya Arahan pembangunan Hutan Tujuan Pengelolaan Daur/rotasi Jenis Produk Silvikultur Management Teknik Pemanenan Teknologi Pengolahan Teknik Budidaya Organisasi Gambar 5.2. Arahan pengelolaan Hutan Produksi Terbatas di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga Tujuan pengelolaan kawasan Hutan Produksi Terbatas adalah memproduksi bahan-bahan olahan yang bersumber dari kawasan Hutan Produksi Terbatas secara lestari dan berkelanjutan tanpa melakukan kerusakan lingkungan yang menyebabkan Arahan Pengelolaan 64

17 terdegradasinya hutan, serta meberikan perlindungan sumber penyangga kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan meningkatkan pendapatan daerah. Mengingat kondisi riil hutan produksi di kawasan Pulau Bintan, Pulau Lingga dan Pulau Singkep yang relatif tidak dikelola oleh pemerintah, maka perlu sistem kontrol yang intensif sekaligus pembinaan kepada masyarakat Arahan Pengelolaan Hutan Mangrove Perumusan tujuan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga tidak dapat dipisahkan dari kondisi dan permasalahan di wilayah Kepulauan Riau. Kepulauan Riau sebagian besar (95%) merupakan kawasan perairan dan sisanya 5% berupa daratan. Luas wilayah daratan yang hanya 5% tersebut memiliki beban yang berat untuk memenuhi kebutuhan air bagi penduduk. Posisi Kepulauan Riau yang berdekatan dengan Singapura merupakan daerah yang menuntut adanya pertumbuhan wilayah untuk mengakomodasi kepentingan perdagangan, jasa dan industri. Oleh karena itu, wilayah daratan yang 5% tersebut akan mendapatkan tekanan yang cukup berat. Perubahan /pembangunan yang skala kecil saja akan berdampak pada ekosistem daratan apalagi untuk mewujudkan kota perdagangan, industri ataupun jasa yang membutuhkan berbagai sarana dan prasarana. Kondisi demikian akan berdampak langsung pada kondisi eksositem hutan yang ada di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga yang secara geografis berdekatan dengan Pulau Batam yang sudah berkembang menjadi kawasan perdagangan, industri dan jasa. Luas wilayah daratan yang hanya 5% dapat dipastikan tidak semua berupa kawasan hutan, artinya kawasan hutan di Wilayah Kepulauan Riau akan sangat sedikit. Luas yang sempit dengan kondisi tekanan yang besar dalam bentuk perambahan, eksploitasi kayu, penambangan, dan konversi kawasan. Kondisi demikian akan menjadikan wilayah kepulauan Riau menjadi daerah yang rawan bencana. Rawan terhadap air bersih, rawan terhadap tsunami dan rawan terhadap longsor. Berdasarkan permasalahan umum di atas dapat dirumuskan tujuan pengelolaan kawasan hutan mangrove di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga adalah untuk kepentingan konservasi/perlindungan yang lebih besar dibandingkan kepentingan produksi. Bentuk pemanfaatan yang direkomendasikan hanya untuk pemanfaatan jasa lingkungan. Tujuan pengelolaan mangrove secara spesifik diarahkan untuk : Arahan Pengelolaan 65

18 1. Perlindungan (barrier) terhadap wilayah daratan antara lain sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap sedimen. 2. Habitat dan sumber pakan bagi ikan, udang, kepiting dan biota laut lainnya, serta jenis satwa liar. 3. Pengembangan ekowisata, penelitian dan pendidikan. 4. Pemanfaatan kayu untuk kepentingan terbatas non industri. Kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan termasuk dalam kategori jarang. Hal ini diakibatkan adanya kegiatan konversi lahan hutan mangrove menjadi fungsi lain (tambang, tambak, kebun, dan pemukiman), sehingga mengakibatkan luasan hutan mangrove menjadi semakin kecil. Permasalahan pengelolaan hutan mangrove di kabupaten Bintan pada umumnya berupa masalah pemanfaatan sumberdaya, konversi kawasan hutan mangrove menjadi tata guna lahan yang lain, dan pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan yang berada diatas kawasan mangrove. Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Lingga relatif masih baik dan utuh, kondisi ini jauh lebih baik daripada Kabupaten Bintan. Kawasan mangrove di Kabupaten ini belum mengalami banyak konversi seperti yang terjadi di Kabupaten Bintan. Hal ini terjadi karena sumberdaya alam di Kabupaten Lingga secara keseluruhan belum banyak dieksploitasi sehingga masih relatif utuh. Meskipun demikian kawasan mangrove di kabupaten ini juga sudah mengalami pengelolaan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga ke depan diarahkan untuk memenuhi fungsi seperti yang telah diuraikan pada tujuan pengelolaan. Arahan pengelolaan yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi beberapa pola sesuai dengan kondisi dan permasalahan pada setiap lokasi. Wilayah daratan yang luasnya hanya 5% dan dikelilingi oleh wilayah perairan menjadikan wilayah daratan sebagai kawasan yang rentan terhadap gangguan dari arah laut/perairan. Gangguan yang bersumber dari arah perairan tidak kalah dampaknya dibandingkan dengan bahaya darat seperti longsor. Gelombang tsunami telah menjadi suatu ancaman yang sangat berbahaya bagi wilayah perairan sebagaimana terjadi di Propinsi NAD. Rehabilitas kawasan mangrove menjadi suatu alternatif solusi untuk mencegah dampak tsunami terhadap wilayah daratan. Arahan Pengelolaan 66

19 Ancaman lain yang terjadi berupa intrusi air laut akibat pembangunan yang pesat di wilayah daratan yang mengakibatkan kebutuhan akan air tanah semakin tinggi sehingga permukaan air tanah semakin menurun yang menyebabkan terjadi intrusi air laut. Kondisi ini akan besar potensinya terjadi di Kab. Bintan dan Lingga untuk mendukung pembangunan Pulau Batam. Kondisi hutan mangrove di kedua kabupaten yang mulai rusak dibeberapa tempat akibat perambahan untuk pertanian, perkebunan, permukiman, eksploitasi kayu, tambang menjadikan fungsi hutan mangrove tidak optimal untuk mengendalikan gelombang tsunami, abrasi, intrusi air laut. Oleh karena itu, diperlukan upaya rehabilitasi kawasan mangrove agar fungsi lindung dapat terjaga. Rehabilitasi kawasan mangrove dilakukan dengan berbagai pola sesuai kepentingan dan permasalahan yang ada pada setiap lokasi. Kepentingan yang dimaksudkan dalam pengelolaan mongrove antara lain perikanan, industri, permukiman, wisata dan berbagai kepentingan lain. Pola pengelolaan mangrove di kawasan ini lebih ditekankan untuk kepentingan perlindungan daripada kepentingan produksi, namun pemanfaatan yang diarahkan berupa pemanfaatan jasa hutan mangrove atau bentuk pemanfaatan yang bersifat mutualisme yang tidak mengurangi fungsi lindung Mangrove. Wilayah-wilayah mangrove yang di belakangnya terdapat permukiman, maka kawasan mangrove tersebut harus direhabilitasi dan dipertahankan untuk perlindungan dari abrasi, gelombang tsunami dan intrusi air laut. Pola rehabilitasinya dapat dibangun dengan membuat berbagai layer mangrove mulai dari layer depan Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Verbenacea (Avicennia), Senneratiaceae (Sonneratia) sampai layer/zona belakang Palmae (Nypa fruticans). Pola pengelolaan yang mirip dilakukan pada wilayah yang dibelakang telah dikembangkan budidaya perikanan, industri sagu dengan merehabilitasi atau mempertahankan mangrove namun zona atau layernya dapat lebih tipis atau terdiri dari 2-3 layer saja. Pengelolaan mongrove pada tipr ini dapat dikembangkan dengan model tumpangsari/silvofishery mangrove yang dikelola oleh masyarakat setempat. Wilayah-wilayah perairan yang memiliki gelombang indah, pasir putih, terumbuh karang dan panorama alam yang indah dapat dikembangkan ke arah pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. Pola pengembangan ekowisata ini juga dapat dibuat beberapa bentuk yang dapat diintergrasikan dengan kepentingan lain seperti ekowisata berbasis silvofishery, pengolahan sagu, dusun wisata dan wisata rekreatif. Arahan Pengelolaan 67

20 Hutan mangrove yang selama ini dimanfaatkan untuk kepentingan industri arang (panglong) maupun tambang perlu ditinjau ulang karena kedua bentuk pengelolaan terebut menjadi faktor terjadi degradasi mangrove baik kualitas maupun kuantitas. Kedua pola pengelolaan tersebut akan semakin mempersempit luas kawasan hutan di kedua kabupaten tersebut, sehingga ancaman terhadap bahaya kekeringan akibat intrusi air laut, abrasi, angin, dan gelombang tsunami semakin besar. Rehabilitasi terhadap kawasan tersebut harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi mangrove sebagai barrier. Rehabilitasi pada kawasan ini dapat dikembangkan juga untuk kepentingan penelitian dan pendidikan dengan mengembangan station research mangrove seperti yang ada di Bali. Station research mangrove dapat mendorong percepatan rehabilitasi mangrove dan dapat dijadikan salah satu pusat penelitian dan pendidikan mangrove di Indonesia. Stasiun Penelitian Hutan Mangrove Keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam tidak bisa lepas dari system pengelolaan yang baik, sehingga mampu mencapai tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan pada saat proses perencanaan. Sistem manajemen pengelolaan sumberdaya alam tidak boleh lepas dari tiga pilar utama: 1. Lestari secara ekologis (ecological sustainability) 2. Memiliki keuntungan ekonomis (economical benefits) 3. Dapat diadaptasikan secara sosio-cultural (socio-cultural adapted) Untuk dapat melaksanakan tiga pilar utama pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan tersebut maka diperlukan suatu penelitian yang berkelanjutan (sustainability research) untuk mengetahui trend pengelolaan yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Langkah ini diambila karena tidak semua sistem pengelolaan tidak kompatibel untuk dilaksanakan di semua lokasi, situasi dan kondisi, sehingga untuk menghasilkan suatu sistem pengelolaan yang baik dan sesuai maka diperlukan penelitian. Kesalahan pemilihan sistem pengelolaan sumberdaya alam akan berakibat kerugian dan kerusakan pada sumber daya alam itu sendiri. Kegiatan penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan membutuhkan suatu stasiun penelitian yang berfungsi sebagai pusat penggalian data, pengolahan data, dokumentasi data, monitoring kegiatan serta evaluasi. Dengan adanya stasiun penelitian maka penelitian yang dijalankan akan memiliki alur pemikiran yang jelas, sehingga tujuan dari kegiatan akan lebih mudah dan cepat untuk dicapai. Arahan Pengelolaan 68

21 Untuk lokasi stasiun penelitian itu sendiri harus mewakili kondisi seluruh ekosistem dan memiliki faktor-faktor yang berkenaan dengan tujuan pengelolaan, dalam hal ini adalah memiliki kaitan dengan sistem pengelolaan yang akan dibangun; adanya interaksi antara faktor ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Dari penelitian yang telah dilakukan maka telah ditemukan beberapa lokasi yang berpotensi untuk dijadikan stasiun penelitian, yakni: Tabel 5.2. Calon Lokasi Stasiun Penelitian Mangrove No. Kabupaten Lokasi 1. Lingga 1. Desa Merawang 2. Desa Musai 3. Desa Pekaka 4. Desa Keranding 2. Bintan 1. Desa Selat Bintan 2. Desa Bintan Buyu 3. Desa Berakit Arahan Pengelolaan 69

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN, KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan salah satu

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KEMITRAAN PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2), Pasal 94 ayat (3), Pasal

Lebih terperinci

NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan

Lebih terperinci

2017, No Kehutanan tentang Kerja sama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tent

2017, No Kehutanan tentang Kerja sama Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tent No.1242, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. KPH. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.49/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2017 TENTANG KERJA SAMA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEHUTANAN ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEHUTANAN ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEHUTANAN ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : a. GUBERNUR ACEH,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih meningkatkan

Lebih terperinci

2 Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran N

2 Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran N BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1496, 2014 KEMENHUT. Hutan Desa. Penyelenggaraan. Pengelolaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk lebih meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.89/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan BB. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan 2. Pengukuhan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi

Lebih terperinci

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN LAMPIRAN XXVII PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR : Tahun 2010 TANGGAL : Juli 2010 AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URUSAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UMUM Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan - 130-27. BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah daerah. 2. Penunjukan,,, Pelestarian Alam, Suaka Alam dan Taman Buru

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hi

2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hi BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1495, 2014 KEMENHUT. Hutan Kemasyarakatan. Pemanfaatan. Pengelolaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR I. PENJELASAN UMUM Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KERJASAMA PEMANFAATAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 SERI E NOMOR 02 PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KOTA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN LINDUNG, HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN Peraturan terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) COOPERATION

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan; BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan

Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan - 1 - Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten di bidang Kehutanan dan Perkebunan serta mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN HAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN HAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan hak di Bulukumba memiliki peran dan

Lebih terperinci

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN

BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR V TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS KESATUAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa degradasi sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su

2016, No Kepada 34 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Su BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 134, 2016 KEMENLH-KEHUTANAN. Dekonsentrasi. 34 Gubernur. Pelimpahan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/MenLHK-Setjen/20152015

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGURUSAN HUTAN MANGROVE DAN HUTAN PANTAI

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGURUSAN HUTAN MANGROVE DAN HUTAN PANTAI FINAL DRAFT 15092011 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGURUSAN HUTAN MANGROVE DAN HUTAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci