TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ecological Model of Child Development Sumber: Santrock (1992)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ecological Model of Child Development Sumber: Santrock (1992)"

Transkripsi

1 9 TINJAUAN PUSTAKA Ecological Model of Child Development Bronfenbrenner dalam Santrock (1992) mengembangkan teori sistem ekologi untuk menjelaskan bagaimana semua yang ada pada diri anak dan lingkungan anak mempengaruhi tumbuh kembangnya. Urie Bronfenbrenner menamakan aspek yang berbeda atau tingkat lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak, diantaranya lingkungan mikrosistem, mesosistem, eksosistem dan makrosistem di sekitarnya, seperti yang terdapat pada Gambar 1. Gambar 1 Ecological Model of Child Development Sumber: Santrock (1992) Mikrosistem adalah sistem lingkungan di sekitar kehidupan anak yang merupakan lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari, atau tempat dimana anak saling berinteraksi yang mencakup lingkungan rumah, sekolah, peer group dan dalam kehidupan bertetangga. Di lingkungan inilah anak paling banyak berinteraksi, belajar, dan mengenali lingkungan sekitarnya yang dapat dia pelajari, amati dan amalkan sehingga menjadi perilaku yang berpola tetap dan menjadi suatu kebiasaan. Sementara itu, mesosistem adalah sebuah sistem lingkungan

2 10 yang merujuk pada hubungan antara dua atau lebih mikrosistem dimana anak terlibat atau berpartisipasi di dalamnya, misalnya hubungan antara pasangan suami dan istri di rumah atau antar guru di sekolah. Sistem lingkungan selanjutnya adalah eksosistem, yaitu sebuah sistem lingkungan berupa lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, tetapi anak tidak secara langsung berinteraksi, misalnya tempat kerja orang tua atau lembaga dan institusi pemerintah. Sementara itu, makrosistem adalah sistem lingkungan yang meliputi lingkungan budaya yang lebih luas melebihi lingkungan mesosistem dan eksositem di sekitar kehidupan anak, dan secara tak langsung mempengaruhi anak, misalnya sistem sosial politik dan ekonomi di dalam masyarakat yang menentukan kebijakan dan program terhadap anak. Kelompok Peer Group Selain keluarga, peer group merupakan lingkungan mikro yang memiliki pengaruh langsung pada anak. Kelompok teman sebaya atau peer group adalah kelompok anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Relasi yang baik diantara teman-teman sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Anak-anak mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan melalui pengalaman mereka ketika menjalin persahabatan yang karib dengan kawan-kawan terpilih, remaja dapat belajar menjadi mitra yang lebih terampil dan peka (Santrock 2007). Sejumlah ahli menekankan pengaruh negatif dari teman-teman sebaya bagi perkembangan anak dan remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Selain itu pengalaman ditolak dan diabaikan oleh kawan-kawan sebaya berkaitan dengan kesehatan mental dan masalah kejahatan di masa selanjutnya. Budaya kawan-kawan sebaya dapat mempengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai dan kendali orang tua terhadap mereka. Selain itu, teman-teman sebaya juga dapat memperkenalkan remaja kepada alkohol, minuman keras, kenakalan, serta bentuk-

3 11 bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa (Santrock 2007). Hurlock (1990) menyatakan bahwa pada masa puber ketika minat terhadap kegiatan bermain yang melelahkan berubah menjadi minat kepada kegiatan sosial yang lebih formal dan tidak menguras tenaga sehingga terjadi pengelompokan sosial baru dari kelompok sosial di masa kanak-kanak. Pengelompokan sosial remaja tersebut adalah: Teman dekat, biasanya terdiri dari dua atau tiga orang sahabat karib dan dari jenis kelamin yang sama Kelompok kecil, biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Mulanya dari jenis kelamin yang sama kemudian meliputi kedua jenis kelamin Kelompok besar, terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman dekat. Karena kelompok ini besar, maka penyesuaian minat berkurang di antara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar di antara mereka. Kelompok yang terorganisir, kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa. Dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja. Banyak remaja yang mengikuti kelompok itu merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun Kelompok geng, remaja yang tidak termasuk kelompok manapun mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan temanteman melalui perilaku antisosial Keterikatan dengan Peer Group Menurut Baron dan Byrne (2005), keterikatan atau kohesivitas adalah derajat ketertarikan yang dirasakan oleh individu terhadap suatu kelompok. Ketika kohesivitas tinggi, atau ketika kita suka dan mengagumi suatu kelompok orangorang tertentu maka tekanan untuk melakukan konformitas bertambah besar. Konformitas sendiri diartikan sebagai mengadopsi sikap atau perilaku orang lain

4 12 karena merasa didesak oleh orang lain, baik desakan nyata atau bayangannya saja (Santrock 2007). Cartwright dan Zander (1968) dalam Ramayanti (2000) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keterikatan pada kelompok, yang diantaranya adalah keterlibatan anggota dalam kegiatan-kegiatan kelompok, saling ketergantungan diantara anggota kelompok, ukuran kelompok, daya tarik interpersonal, kesamaan diantara anggota, struktur, suasana, tujuan kelompok, dan kepemimpinan. Sementara Hogg (1992) dalam Nurhuda (2008) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keterikatan kelompok diantaranya interaksi atau keakraban diantara anggota, ancaman yang dirasakan bersama, pengalaman inisiasi, karakteristik kepribadian dan tingkah laku yang menyenangkan, kesamaan diantara anggota, status, situasi kelompok, penerimaan dari anggota lain dan keberhasilan kelompok. Cartwright dan Zander (1968) dalam Ramayanti (2000) menyatakan bahwa kohesi terhadap kelompok akan mempengaruhi pribadi anggotanya. Anggota yang memiliki kohesi kelompok tinggi akan jauh lebih menunjukkan konformitas terhadap norma kelompok. Selain itu, anggota kelompok yang kohesif akan lebih siap menerima pengaruh dari anggota yang lain dan sebaliknya juga lebih bisa mempengaruhi orang lain. Perkembangan Remaja Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata Latin (adolescere) (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock 1980). Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan dan melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (Papalia et al 2009). Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock 1980).

5 13 Cobb (2001) mengkategorikan usia remaja menjadi remaja awal dan remaja akhir. Rentang usia untuk remaja awal adalah tahun, sedangkan untuk remaja akhir yaitu tahun. Havighurst dalam Sarwono (2010) menjabarkan tugas perkembangan bagi remaja yang diantaranya, menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif, menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun, menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan), berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab, serta mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya Pada tahap perkembangan sosial Erikson, usia remaja berada pada tahap krisis identity vs role diffusion dimana remaja membangun konsep diri yang positif atau bagaimana remaja menilai dirinya, akan meningkatkan kepercayaan diri remaja tersebut. Sarwono (2010) menyatalkan bahwa pada tahap ini individu sudah ingin menonjolkan identitas dirinya, akan tetapi ia masih terperangkap oleh masih kaburnya peran dia dalam lingkungan asalnya. Karakter Karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang artinya memberi goresan (to scratch) atau mengukir (to engrave). Dalam bahasa Arab karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk), yang memiliki arti tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Karakter berkembang dari nilai menjadi kebaikan, yaitu sifat dalam diri yang dapat dipercaya untuk merespon situasi dengan moral yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter dimulai dari penalaran moral. Kohlberg (1969) dalam Papalia et al. (2008) menggambarkan tiga tingkatan dari penalaran moral (moral reasoning), yang masing-masing dibagi menjadi dua tahap, yaitu: 1) pre-conventional yang terbagi dalam tahap punishment and obedience orientation dan instrument-relativist orientation dimana orang berperilaku di bawah kontrol eksternal. Mereka menuruti peraturan

6 14 untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau berperilaku karena mementingkan diri sendiri. Tingkat ini umum ditemui pada anak usia 4 sampai 10 tahun; 2) conventional yang terdiri dari tahapan interpersonal corcodance orientation dan law and order orientation, orang telah menginternalisasi standar dari figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi baik, menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial. Tingkat ini biasanya tercapai setelah usia 10 tahun; 3) post-conventional yang terdiri dari tahapan social contract orientation, dan the universal ethical principle orientation, orang mengenali konflik antara standar moral dan membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan, dan hukum. Orang biasanya tidak mencapai tingkatan dari penalaran moral ini sampai setidaknya awal masa remaja atau lebih umum di masa dewasa awal. Thomas Lickona (1991) menyatakan bahwa karakter terdiri dari nilai yang berlaku dan nilai dalam tindakan. Karakter mengandung tiga hal yang saling berhubungan, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Karakter baik terdiri dari mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik. Ketiganya sangat dibutuhkan untuk menghidupkan dan mematangkan moral. Moral knowing meliputi kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, pandangan, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri. Sementara moral feeling adalah sisi emosi dari karakter yang terdiri dari nurani, penghargaan diri, empati, mencintai kebaikan, kendali diri, dan rendah hati. Terakhir adalah moral action yang merupakan outcome dari dua bagian karakter sebelumnya. Jika orang telah memiliki kualitas moral secara pengetahuan dan emosi bisa dipastikan mereka pun suka melakukan kebenaran yang mereka tahu dan rasakan. Aspek karakter dari moral action ini diantaranya adalah kompetensi, hasrat, dan kebiasaan (Lickona 1991). Pada tahapan penalaran moral Lickona (1983), remaja berada pada tahapan keempat, yaitu responsibility to the system. Pada tahapan ini, remaja menganggap bahwa mereka harus memenuhi tanggung jawabnya kepada sistem sosial dan nilai dimana dirinya berada, dan alasan mereka berperilaku adalah untuk menjaga sistem tetap utuh dan untuk mempertahankan harga diri sebagai individu yang memiliki kewajiban.

7 15 Hormat Santun Rasa hormat memiliki arti menunjukkan hormat akan nilai dari seseorang atau sesuatu. Thomas Lickona (1991) menyatakan rasa hormat adalah satu dari two great moral values selain rasa tanggung jawab. Kedua nilai tersebut merupakan inti dari semesta yang merupakan moralitas umum. Rasa hormat terdiri dari tiga bentuk utama yaitu hormat pada diri sendiri, hormat pada orang lain, dan hormat pada semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang menopang mereka. Hormat pada diri sendiri mengharuskan kita untuk memperlakukan hidup kita dan orang seperti memiliki nilai yang tidak bisa dipisahkan. Hormat pada orang lain mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang sebagai manusia, sekalipun orang yang tidak disukai, yang memiliki martabat dan hak yang sama dengan kita. Hormat pada semua jaringan kompleks kehidupan, melarang kekejaman pada hewan, dan memanggil kita untuk bertindak peduli kepada lingkungan hidup. Bentuk lain dari rasa hormat diantaranya, hormat pada kepemilikan barang, memahami bahwa barang merupakan perpanjangan dari seseorang atau kumpulan orang; hormat pada wewenang, memahami bahwa bentuk wewenang yang sah dipercayakan pada orang yang peduli pada orang lain (Lickona 1991). Shwalb dan Shwalb (2006) menyatakan bahwa anak dan remaja yang memiliki sikap hormat akan menjadi orang dewasa yang penuh hormat, toleransi, dan warga negara yang baik. Lemahnya sikap hormat pada diri membuat remaja akan mengembangkan konsep diri yang negatif dan tidak mampu menghormati orang lain. Tumbuh dengan ketidak mampuan untuk menghormati orang yang lebih tua, akan membuat para generasi muda tidak bisa bertahan di dunia kerja yang mana mereka harus memahami adanya kekuasaan dari orang lain. Selain itu, Shwalb dan Shwalb (2006) juga menyatakan bahwa pelaku bully mungkin meningkatkan sikap hormat di antara teman-temannya dengan mengancam orang lain atau meningkatkan harga diri karena status dominan mereka.

8 16 Empati Empati berasal dari bahasa Yunani empatheia yang berarti ikut merasakan. Sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Sementara menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu (Dhamas 2009). Menurut Hoffman dalam Goleman (2009) ditemukan bahwa ada proses alamiah empati sejak bayi dan masa-masa selanjutnya. Disebutkan bahwa bayi akan terganggu bila mereka mendengar bayi lain menangis, ini dianggap sebagai tanda-tanda awal empati. Kemudian pada umur satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan menangis seolah mereka sendiri yang mengalaminya. Setelah tahun pertama, ketika bayi sudah lebih menyadari bahwa mereka berbeda dari orang lain, mereka akan mencoba menghibur bayi lain yang menangis. Pada usia dua tahun, anak-anak mulai memahami bahwa perasaan orang lain berbeda dengan perasaannya, sehingga mereka lebih peka terhadap isyarat-isyarat yang mengungkapkan perasaan orang lain. Pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati paling lanjut muncul ketika anak-anak sudah mampu memahami kesulitan yang ada di balik situasi yang tampak. Pada tahap ini mereka dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas, dan mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa remaja, dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan kesusahan dan ketidakadilan (Goleman 2009). Empati mendasari banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Ada sejumlah bukti bahwa tingkat empati yang dirasakan orang mewarnai pula pertimbangan moral mereka. Serangkaian studi yang dilakukan memperlihatkan

9 17 bahwa sebagian besar perbedaan dalam kepekaan empati ada kaitannya dengan bagaimana orang tua menerapkan disiplin pada anak-anak. Penganiayaan emosi yang hebat dan terus menerus, termasuk perlakuan kejam dan sadis, penghinaan, dan kekasaran akan menumpulkan empati (Goleman 2009). Perilaku Bullying Sullivan (2000) menyatakan bahwa tindakan bullying bukan merupakan tindakan kriminal melainkan perilaku antisosial. Menurut Clarke (2003) perilaku antisosial didefinisikan sebagai segala tindakan yang menunjukkan kurangnya perasaan dan kepedulian pada kesejahteraan orang lain. Salah satu bentuk perilaku antisosial adalah tindakan agresi. Sears, Freedman, dan Peplau (1985) menyatakan agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Sehingga definisi bullying menurut Sullivan (2000) adalah tindakan agresi dan atau manipulasi yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh satu atau sekelompok orang kepada orang lain yang bertujuan menyakiti orang tersebut. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan Andina (2004) terhadap tiga orang pelaku bullying menunjukkan beberapa pemicu perilaku bullying, yang diantaranya adalah karena adanya tradisi di sekolah, pernah menjadi korban sebelumnya, merasa tidak dihormati oleh junior, ingin menunjukkan kekuasaan sebagai senior, dan rasa iri karena junior lebih kaya dan bergaya dari senior. Sullivan (2000) membagi bullying menjadi tiga, yaitu: Fisik yang meliputi tindakan seperti memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain. Kontak verbal yang meliputi tindakan seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip) Perilaku nonverbal, terdiri dari tindakan langsung dan tidak langsung. Perilaku nonverbal langsung meliputi tindakan seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan,

10 18 mengejek, atau mengancam. Sedangkan perilaku non-verbal tidak langsung meliputi tindakan seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng. Perilaku bullying harus dapat dibedakan dengan tindakan kriminal, perilaku sub-bullying dan non-bullying. Menyerang orang lain dengan senjata dan menghilangkan nyawa orang lain merupakan contoh tindakan kriminal. Perilaku sub-bullying atau non-bullying cenderung terjadi dalam permainan, seperti permainan yang melibatkan fisik atau verbal yang terkadang permainan tersebut dilakukan secara kasar, berkelahi, berguling-guling dan bermain dengan cara mengolok-olok teman. Duffy (2004) dalam Saputri (2010) membagi peran pelaku bullying menjadi tiga dimensi, yaitu: 1. Bully adalah tipe pelaku utama, yaitu pelaku yang melakukan bullying secara langsung atas inisiatifnya sendiri. 2. Assisting the bully adalah pelaku yang melakukan bullying dengan cara membantu pelaku utama yang sedang melakukan bullying, misal ikutikutan memukul siswa yang dipukul. 3. Reinforcing the bully adalah pelaku yang melakukan bullying dengan cara mendukung tindakan bullying itu sendiri, misalnya dengan menyetujui pengucilan terhadap siswa.

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Cara Pemilihan Contoh 23 METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross-sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, dan sumberdaya alam yang melimpah. Namun dengan ketiga potensi yang dimilikinya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah 35 BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan BAB III METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional Variabel. Perilaku Bullying Secara operasional, definisi bullying dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Coloroso (006:43-44),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain. Untuk mewujudkannya digunakanlah media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterikatan antarmanusia adalah wujud harfiah yang telah ditetapkan sebagai makhluk hidup. Hal demikian ditunjukkan dengan sifat ketergantungan antara satu individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial

BAB I PENDAHULUAN. perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Bullying 2.1.1. Pengertian Bullying Beberapa tokoh mengemukakan bullying dalam berbagai definisi yang beragam. Sullivan (2000) menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. penelitian adalah pada Tahun Ajaran 2013/2014. yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan

III. METODE PENELITIAN. penelitian adalah pada Tahun Ajaran 2013/2014. yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan 38 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 19 Bandar Lampung. Waktu penelitian adalah pada Tahun Ajaran 2013/2014. B. Metode Penelitian Metode penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK TURUN MENJADI ANAK JALANAN Terdapat tiga faktor internal yang disebutkan dalam penelitian ini, yaitu impian bebas, ingin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek dan Lokasi Penelitian 1. Subyek Penelitian Nama : SR Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 19 April 1999 Usia : 14 tahun Agama : Islam Alamat Kelas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah (School Violence) Oleh : Nandang Rusmana Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan di Sekolah Faktor psikologis (hiperaktivitas, konsentrasi terhadap masalah,

Lebih terperinci

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA FENOMENA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Banyak di tayangkan kasus kekerasan rumahtangga yang di lakukan baik ayah kepada anak, suami kepada istri, istri kepada suami yang mengakibatkan penganiyayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aksi-aksi kekerasan terhadap orang lain serta perusakan terhadap benda masih merupakan topik yang sering muncul baik di media massa maupun secara langsung kita temui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA. Asmika Madjri PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL & PROSES ADAPTASI REMAJA Asmika Madjri PENGERTIAN PERKEMBANGAN PERKEMBANGAN- Proses terus menerus- kedepan- tidak dapat diulang- serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak, dan mengabungkan diri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Anak Anak a. Pengertian Anak adalah aset bagi suatu bangsa, negara dan juga sebagai generasi penerus yang akan memperjuangkan cita-cita bangsa dan menentukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan dilingkungan institusi pendidikan yang semakin menjadi permasalahan dan menimbulkan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hari pertama masuk sekolah, ia diculik dan dibawa ke rumah seniornya. Di sana, ia dibentak dan dipukuli oleh beberapa orang seniornya. Menurut pengakuan D, bukan hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang paling mendapat perhatian dalam rentang kehidupan manusia. Hal ini disebabkan banyak permasalahan yang terjadi dalam masa remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahrga Daerah Istimewa Yogyakarta Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Perubahan zaman yang semakin pesat membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan yang terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif dan

Lebih terperinci

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,. BAB I RENCANA PENELITIAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan sepanjang hayat (long life education), karena pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh antara pendidik dengan yang di didik (Sukmadinata, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah proses dengan metode-metode tertentu, sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara betingkahlaku yang sesuai dengan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masalah kenakalan di kalangan pelajar sekolah sedang hangat dibicarakan. Perilaku agresif dan kekerasan yang dilakukan pelajar sudah di luar batas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya 2.1 Kekerasan dalam pacaran 2.1.1 Konsep Pacaran BAB II KAJIAN TEORI Menurut KBBI (1986) pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan kehadiran orang lain untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan dengan orang lain tentunya sering dihadapkan pada berbagai permasalahan yang melibatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Bullying Berdasarkan penelitian SEJIWA (Semai Jiwa Amini) tahun 2008, bullying diilhami dari kata bull (bahasa inggris) yang berarti banteng yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. langsung maupun tidak langsung seperti pada media massa dan media cetak. Seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agresivitas bukan merupakan hal yang sulit ditemukan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap hari masyarakat disuguhkan tontonan kekerasan, baik secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI Titing Rohayati 1 ABSTRAK Kemampuan berperilaku sosial perlu dididik sejak anak masih kecil. Terhambatnya perkembangan sosial anak sejak kecil akan menimbulkan

Lebih terperinci

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK

UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK UPAYA MENGURANGI PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN LAYANAN KONSELING KELOMPOK Dina Afriana (afriana.dina@yahoo.com) 1 Yusmansyah 2 Diah Utaminingsih 3 ABSTRACT The aims of this research to

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual.

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. Remaja tidak mempunyai tempat

Lebih terperinci

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM

KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM 0 KOMPONEN KARAKTER (Thomas Lickona) Oleh: Kuncahyono Pasca UM (Kompasiana, 2010) Melihat kondisi bangsa saat ini dimana banyak terjadi penyimpangan moral di kalangan remaja dan generasi muda, maka perlu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Menurut Friedmen (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada stereotif yang umum berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh resiko (secara psikologis),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media massa, dimana sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MASA REMAJA (ADOLESENCE) PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir logis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah merupakan tempat pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan peserta didiknya pengetahuan secara kognitif akan tetapi juga mengajarkan kepada peserta didiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA

PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA PENGARUH KONFORMITAS DAN HARGA DIRI TERHADAP KECENDERUNGAN MENJADI KORBAN KEKERASAN (BULLYING VICTIM) PADA REMAJA NUR IKHSANIFA Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda INTISARI Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Komunikasi Rakhmat (1992) menjelaskan bahwa komunikasi berasal dari bahasa latin communicare, yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan. Thoha (1983) selanjutnya

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini bagi masyarakat, aksi-aksi kekerasan baik yang dilakukan secara individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi-aksi kekerasan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak kekerasan dapat muncul dimana saja, seperti di rumah, di sekolah, maupun masyarakat. Kekerasan yang terjadi di sekolah dikenal dengan sebutan aksi bullying.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17- Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-21 yaitu dimana remaja tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkanperubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012

PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL 3/22/2012 PERKEMBANGAN SOSIAL PENGERTIAN PERKEMBANGAN SOSIAL Yusuf (2007) menyatakan bahwa Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai

Lebih terperinci

Singgih D. Gunarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu

Singgih D. Gunarso mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu Kenakalan Remaja 1 Definisi Kelainan tingkah laku/tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat (Bakolak Inpres No. 6/1977

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescent yang mempunyai arti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perbedaan harus diwujudkan sejak dini. Dengan kata lain, seorang anak harus belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia diciptakan berbeda, maka perbedaan dalam pendapat, persepsi, dan tujuan menjadi sebuah keniscayaan. Kemampuan menerima dan menghargai

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : NITALIA CIPUK SULISTIARI F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya yang berbeda. Siswanya sering berpindah berpindah dari satu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi yang dapat menyebabkan kesepian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Masa anak usia sekolah merupakan masa dimana anak mulai mengalihkan perhatian dan hubungan dari keluarga ke teman-teman sebayanya. Pada masa sekolah anak lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat dimana remaja menghabiskan sebagian waktunya. Remaja berada di sekolah dari pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore, bahkan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyesuaian Sosial 2.1.1 Pengertian penyesuaian sosial Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi. Agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Kesimpulan tersebut meliputi

BAB V PENUTUP. yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Kesimpulan tersebut meliputi BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan setelah dikonfirmasikan dengan teori yang ada, peneliti dapat menarik kesimpulan mengenai beberapa hal yang menjadi fokus dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk pengajaran siswa atau murid di bawah pengawasan guru dalam proses belajar dan mengajarkan siswa

Lebih terperinci