Perkawinan Terlarang : Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno Karya I Made Sujaya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Perkawinan Terlarang : Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno Karya I Made Sujaya"

Transkripsi

1 Perkawinan Terlarang : Pantangan Berpoligami di Desa-desa Bali Kuno Karya I Made Sujaya Oleh : SITA T. VAN BEMMELEN (Yayasan Bali Sruti) Tertarik. Saya menjadi tertarik dengan buku ini, karena judulnya. Saya sudah membelinya sebelum saya tahu akan diadakan acara ini. Rasa tertarik terkait pengamatan saya sebagai outsider sekaligus insider suatu keluarga besar Brahmana di Bali di mana perkawinan poligami bukan kekecualian pada masa yang lalu. Mertua laki-laki yang sudah almarhum punya istri empat, ada dua kakak ipar yang juga punya istri lebih dari satu. Baru pada generasi yang sama dengan suami saya para lelaki dari griya kami sepertinya tidak berminat lagi beristri lebih banyak. Mungkin masih ada yang berminat, tetapi entah mengapa mereka tetap mempertahankan perkawinan dengan istri satu orang saja. Hanya satu orang yang diketahui pernah punya rencana ngemaduang, tapi akhirnya tidak jadi: istrinya minta cerai duluan. Saya juga tertarik karena akhir tahun lalu saya sendiri ikut meramaikan wacana tentang poligami yang menjadi inspirasi bagi penulis buku Perkawinan Terlarang, Pak Made Sujaya. Saya diundang sebagai nara sumber dalam acara interaktif di Bali TV yang disiarkan pada tanggal 19 desember. Waktu itu ada seorang bapak, saya lupa namanya, yang telponnya masuk. Permintaannya agar dilakukan sesuatu untuk mencegah trend yang diamatinya sendiri. Menurutnya, jumlah laki-laki yang mengambil istri kedua di lingkungan desa meningkat. Wah, payah kalau begitu, saya pikir. Dan apa, ya, yang bisa dilakukan? 1

2 Melihat judul buku Pak Made, saya langsung teringat pada permintaan bapak itu. Rupanya, ada tradisi di Bali yang melarang berpoligami. Mungkin solusinya ada di situ?, saya pikir. I. Mengenai Buku Ini I.1. Kita Diajak Tamasya Setelah mulai membaca, ternyata buku ini tidak hanya tentang larangan berpoligami saja. Penulis bagai seorang guide mengajak kita berkunjung ke desa-desa yang menjadi lokasi kajiannya. Desa pertama adalah Tenganan Pegringsingan di kabupaten Karangasem dekat Candidasa, desa yang pernah saya kunjungi sekian tahun lalu. Empat desa lain yang semuanya letaknya di kabupaten Bangli, yaitu Desa Penglipuran, Bayung Gede, Bonyoh, dan Umbalan. Setiap desa diperkenalkan dengan deskripsi rute jalan kesana, dan alam sekitarnya seolah-olah kami adalah turis yang diajak bertamasya. Kita sepertinya menghirup udara segar di desa-desa itu, menikmati keindahan alam sekitarnya, bentuk khas tata ruang dan bangunan di desa-desa ini. Kita juga menjadi tahu mengenai asal-usul dan sejarah desa itu serta mata pencaharian penduduknya, yang cukup bervariasi sesuai dengan kondisi alam dan tradisi kerajinan setempat. Rasanya asyik sekali, ingin langsung berangkat kesana. Pintar juga, si penulis, mengantar kami jalan-jalan, walau dalam bayangan saja. I.2. Sejarah Asal-usul Desa Bali Kuno Termasuk perkenalannya dengan desa-desa tempat kajiannya, Pak Made memberikan keterangan tentang asal-usul nama dan sejarah setiap desa. Leluhur penduduk desa Tenganan Pegringsingan menurut kisah orang setempat berasal dari desa Paneges di daerah Bedulu, Gianyar. Pak Made menceritakan sebuah mitos yang menyangkut pemberian wilayah desa oleh raja Bedahulu kepada penduduk pertama. Wilayah yang boleh mereka tempati 2

3 seluas bau busuk bangkai seekor kuda kesayangan Sang Raja dapat dicium! Ini bukan satu-satunya kisah yang berada di antara mitos dan fakta sejarah yang disajikan Pak Made. Memang bijak untuk memasuki kisah-kisah seperti ini karena bagi saya dan pasti juga bagi pembaca lain memberikan nilai tambah pada buku ini. Siapakah yang tidak suka membaca cerita mitos, dongeng, dan lain sebagainya? Empat desa yang lain ternyata memiliki hubungan kekerabatan dari dahulu kala. Desa Bali Kuno yang rupanya menjadi desa induk sejumlah desa Bali Kuno lain, adalah desa Bayung Gede. Namun, entah kenapa, kondisi desa ini terkait topik buku ini dibahas setelah kondisi desa Penglipuran, yang penduduknya diketahui berasal dari desa Bayung Gede penduduknya dan oleh karena itu diduga memiliki banyak persamaan dengannya. Kiranya tepat sekali penulis percaya pada informannya tentang hubungan antar dua desa ini. Bukti yang disebut adalah kebiasaan orang Penglipuran untuk Nunas tirtha ke Bayung Gede. Hubungan yang sejenis dapat saya amati antara griya suami saya di Klungkung dan griya asal keluarga besar di Sidemen. Kami harus nunas tirtha kesana untuk upacara tertentu. Adapun persamaan lain, yaitu orang Bayung Gede ditarik oleh raja Bangli dan diberikan tanah di wilayah yang kemudian dinamakan Penglipuran. Begitu pula ceritanya asal-usul griya kami di Klungkung: katanya seorang pedanda dari Sidemen ditarik oleh raja Klungkung ke Klungkung dan diberi tanah tidak jauh dari puri. Desa Bonyoh kemungkinan besar juga merupakan pemecahan dari Bayung Gede dan letaknya tidak jauh dari desa induk itu, walau juga ada versi mengenai asal-usul desa ini yang lain. Dan desa terakhir, yaitu Umbalan, kelihatannya desa pecahan dari Bonyoh. Hubungan antar dua desa ini dapat dilihat dari kunjungan orang Umbalan ke Bonyoh kalau ada odalan di Pura Klenting di sana dan adanya larangan saling ambil istri (juang kejuang) yang dipertahankan dua desa ini. 1 Mungkin ada cerita mitos di belakangnya? 1 Pantangan ini juga terdapat di masyarakat Toba Batak dimana desa-desa tertentu yang berasal dari leluhur yang sama melestarikannya. Latar belakangnya adalah bahwa tidak boleh menikah dengan orang yang 3

4 1.3. Persamaan antar Desa: Ulu-apad dan Pantangan Berpoligami Yang jelas dari buku ini adalah bahwa empat desa yang disebut pertama - Tenganan, Bayung Gede, Penglingsiran, dan Bonyoh - termasuk kategori Bali kuno karena mengenal sistem sosial dan ritual yang sama, yang disebut Uluapad. Artinya Ulu-apad adalah mendaki tangga sampai ke ujung. Sistem ini menempatkan seluruh krama desa adat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin atau tetua adat berdasarkan senioritas perkawinan, yaitu pasangan yang paling lama menikah menempatkan posisi dalam ritual adat/agama yang paling tinggi, yang kedua ambil posisi di bawahnya dan seterusnya. Sebutan untuk fungsi ritual memang berbeda-beda tapi mendasari prinsip ulu-apad yang sama. Pasangan yang berperan dalam menjalankan fungsi-fungsi ini dikenal dengan istilah bulu-angkep yang etimologinya tidak saya temukan. Semua desa ini juga memiliki persamaan lain, yaitu pelarangan atau pantangan berpoligami. Desa Umbalan tidak mengenal sistem Ulu-apad, tapi pantangan berpoligami berlaku di sana juga. Oleh karena itu penulis Pak Made berpendapat, bahwa budaya desa ini adalah campuran antara budaya Bali kuno dan Bali Majapahit. Bukti lainnya adalah bahwa ada keluarga Umbalan yang menggunakan tradisi Bali Kuno dalam mengurusi mayat yaitu bea tenam (arti dan etimologinya?), dan juga ada yang berpegang pada tradisi Bali Majapahit, yaitu ngaben. Argumentasi penulis ini cukup masuk akal. I.4. Sanksi, Efektivitas dan Dampak Menarik pula untuk melihat bagaimana caranya masyarakat setiap desa tersebut mencoba untuk menghindari terjadinya poligami. Di bawah ini disusun informasi tentang sangsi dan kepercayaan terkait poligami per desa (diambil dari karya Pak Made Sujaya). leluhurnya sama, walau desa itu sudah merupakan pemecahan dari marga induk yang sama dan larangan menikah tidak perlu dipertahankan lagi. 4

5 Desa Sanksi Adat untuk Pelanggar Hukuman niskala Tengganan P. Penglipuran Bayung Gede Bonyoh 1. Laki-laki yang termasuk krama desa ngarep kehilangan status krama desa ngarep dan dapat status krama gumi pulangan (lapisan penduduk kedua). (Kiranya tidak diatur dalam awig-awig). 1. sama dengan 1. Tengganan 2. larangan diatur dalam awig-awig 3. perkawinan kedua tidak dipuput oleh Jero Kubayan (?). 4. dikucilkan ke Karang Mamadu (tanah di luar desa yang dianggap leteh di sebelah selatan desa (kurang suci) 5. Tidak boleh sembayang di pura emongan desa (karena dianggap kotor), hanya dirumahnya saja. Pelanggar tidak akan kena sangsi kalau istri pertama diceraikan. 1. Keluarga poligamis harus tinggal di luar pekarangan desa, di tebenan (hilir), sebelah selatan atau barat. Tempatnya adalah pemondokan yang namanya Peludu. Catatan. Tidak ditulis dalam awig-awig 1. Pantangan ngemaduang ditulis dalam awig2. (baru oleh kelian yang terakhir) 2. Status krama adat lelaki yang memaduang praktis dicabut Musibah akan menimpa warga yang menjalani hidup berpoligami (cepat meninggal dunia) kalau menetap di pekarangan desa. Sudah terbukti. 5

6 Umbalan 3. Tidak diperkankan tangkil ke desa (sembahyang di pura emongan) 4. Perkawinan kedua tidak diupacarai oleh mangku desa. 5. Hanya saja poligamis tetap berhak dikubur di kuburan desa (setra) Dulu: 6. Dilarang masuk ke pekarangan desa (sudah dihapus) Catatan. Yang dianggap krama desa hanya lakilaki yang beristri dan istrinya harus satu. 1. Status sebagai krama desa lenyap (menjadi krama tamiu krama pendatang/warga dinas tetap) 2. Tidak boleh bersembayang di Pura Puseh Agung dan Pura Dalem Pingit. 3. Seluruh keluarganya sepekarangan kena sangsi adat 1 dan 2! Catatan. Pantangan tidak ditulis dalam awigawig. Catatan 2. Laki-laki yang ingin menikah dengan istri lain, harus bercerai dulu dan baru boleh menikah lagi kalau istri pertama telah menikah. Ida Batara Sasuhan akan memberikan hukuman niskala Menarik bahwa pantangan berpoligami tidak dilarang secara formal melalui awig-awig, kecuali di desa Bonyoh dan itupun suatu fenomena baru. Tapi itu tidak berarti bahwa pantangan ini yang merupakan dresta (kebiasaan?) kehilangan gigi. Khususnya sanksi-sanksi sosial dan ritual yang dijatuhkan pada keluarga berpoligami - dikeluarkan sebagai krama desa inti (krama desa ngarep), larangan bersembayang di sejumlah pura desa, upacara perkawinan tidak dipimpin oleh petinggi adat, dan harus bikin tempat tinggal di luar pekarangan -, jelas sangat berat. Khususnya larangan bersembayang di pura 6

7 desa tertentu dan keharusan tinggal di luar pekarangan desa akan mengingatkan si pelanggar seumur hidup bahwa dia tidak berkedudukan sederajat dengan yang laki-laki sedesa yang lain. Rupanya toleransi desa hanya sebatas tidak dicopot haknya atas tempat di kuburan desa setelah meninggal dunia. Bagaimana efektivitas dari sanksi-sanksi tersebut? Apakah membuat kaum laki-laki takut atau kapok mengambil istri kedua? Jumlah kasus yang terhitung oleh para informan tidak banyak. Di Tenganan tidak ada menurut informan. Di Penglipuran dulu ada, tapi sejak lama tidak lagi ada kasus. Dua lakilaki di Umbalan yang melarang pantangan berpoligami memilih pindah ke luar desa. Di Bayung Gede paling sedikit ada satu pelanggar yang masih menetap disitu tapi informasi lanjut tidak ada. Kesulitan untuk mempertahankan pantangan ini terlihat dari pengalaman di desa Bonyoh. Belum lama terdapat tiga kasus pelarangan yang tidak dapat restu dari para pemimpin adat (peduluan). Sementara itu pemerintahan dinas mengizinkannya. Hasilnya? Akhirnya bendesa adat sampai memundurkan diri dan terjadi kevakuman selama delapan tahun. Penggantinya memasukkan pantangan berpoligami sebagai awig-awig. 2 Aspek yang relevan terkait hal seperti awig-awig yang berisi larangan atau patangan berpengaruh pada komposisi masyarakat desa. Seperti penulis Made Sujaya telak menyebutkan dalam pendahuluan, banyak orang kota berasal dari desa dan mereka tetap pulang dan rindu sama desa asal mereka. Bisa saja itu benar, tapi apakah orang kota asal desa itu masih ingin kembali menetap di desa? Tidak jarang orang yang sukses di kota dan sudah menjadi biasa dengan kebebasan dari serangkaian kewajiban adat di desa, merasa kewajiban adat di desa adalah beban. Belum lagi kontrol sosialnya yang ketat. Fenomena braindrain dari desa tidak terlihat di Bali saja tapi juga di daerah pedesaan provinsi lain. Akibatnya, masyarakat desa kehilangan darah, tidak bertambah jumlah penduduk. Mungkin itu juga terjadi di 5 desa yang dikaji dalam buku ini yang 2 Hal

8 penduduknya tidak banyak. Perkembangan penduduk hanya tercatat untuk Tenganan Pegringsingan. Ternyata, banjar yang masih mempertahankan adat secara ketat, Banjar Kauh dan Tengah, pertambahan penduduk hanya sedikit sekali, sedangkan banjar yang menampung pasangan yang tidak dapat mempertahankan aturan endogami saja yang subur Desa Tenganan KK Jiwa KK Jiwa 1. Banjar Kauh Banjar Tengah Banjar Pande I.5. Tafsiran Adanya Pantangan Berpoligami Bagaimana tafsiran para informan lokal Pak Made tentang adanya pantangan /larangan terkait poligami? Sejumlah informan mengaitkannya dengan sistem ulu-apad. Mangku Widia, penglingsir desa adat dari Tenganan: Krama desa dipantangkan berpoligami karena sistem ulu-apad yang mengharuskan mereka yang ikut dalam jajaran krama desa haruslah buluangkep (sepasang suami-istri). Informan ini juga menilainya sebagai penghargaan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan. 3 Pak Suwela dari Bayung Gede memberikan tafsiran yang kurang lebih sama: Hak dan kewajiban antara krama laki-laki dan perempuan yang ikut dalam keanggotaan ulu-apad sama. Jika orang sudah memiliki istri lebih dari satu akan terjadi kepincangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. 4 Jero Kubayan Mulih, seorang lansia yang berumur 80 tahun dari Penglipuran memberikan tafsiran yang bersifat duniawi. Menurut dia pantangan ini mungkin lahir karena dulu para pemimpin desa ini harus mengurusi orang bertengkar dalam keluarga lantaran masalah adanya istri baru. 5 Pandangan I 3 Hal Hal Hal

9 Wayan Nyirma dari Bonyoh juga senada: orang ngemaduang sulit untuk mencapai kebahagiaan seperti yang dirasakan warga yang hanya memiliki seorang istri. 6 Sayang, tidak jelas apa yang secara konkrit dimaksudkan dengan kepincangan yang disebut oleh informan Pak Suwela dari Bayung Gede. Mengapa sistem ulu-apad terganggu kalau seorang laki-laki punya istri lebih? Fungsi adat apa yang tidak dapat dikerjakan dengan semestinya dan alasan religiusnya apa? Rupanya penulis Made Sujaya menerima adanya kaitannya antara sistem ulu-upad dan berlakunya pantangan berpoligami apa adanya, tanpa menelusurinya lebih mendalam. Mungkin karena informan yang dikonsultasi juga tidak dapat menjelaskannya lebih jauh? Pengamatan saya, banyak orang Bali memang cenderung menerima aturan adat apa adanya, tanpa mempertanyakan mengapa harus begitu. Mungkin Made Sujaya juga merasa tafsiran yang dimaksud bukan tugasnya sebagai seorang wartawan. Dan memang, itu termasuk bidang ilmu antropologi Kaya informasi Etnografis mengenai Pantangan Lain Selain pantangan berpoligami buku ini juga memberikan informasi mengenai serangkaian pantangan dan kebiasaan unik lain yang dilestarikan di lima desa yang diperkenalkan pada pembaca buku Perkawinan Terlarang. Penduduk desa Tenganan masih diharuskan menikah dengan orang sedesa: yang tidak mematuhi aturan endogami ini tidak dapat ditempatkan lagi sebagai krama desa inti. Perceraian dan pernikahan ulang bagi janda dan duda dilarang (kecuali bagi duda dengan seorang gadis), begitu pula adopsi anak. Gadis yang lahir di luar nikah dibuang dari desa bila tidak laki-laki yang mau bertanggungjawab. Sejumlah rite de passage saat orang menikah diceritakan secara detil. Macam-macam pantangan yang menyangkut larangan lantaran orang atau tempat tertentu dianggap leteh (kotor) juga dibahas. 6 Hal

10 Semua informasi itu membuat buku ini menarik sebagai sumber mengenai kehidupan penduduk desa-desa Bali kuno atau Bali Aga. Boleh dikatakan Pak Made Sujaya telah berhasil mengangkat desa-desa Bali Kuno yang selama ini kerap terabaikan dalam pembicaraan tentang desa adat atau desa pakraman 7. I.7. Sedikit Mengganggu Secara umum buku Perkawinan Terlarang sangat enak dibaca. Gaya tulis Pak Made mirip gaya tulis wartawan kondang Aryantha Soethama yang mungkin dapat dikatakan mentornya? Hanya satu hal yang saya merasa mengganggu dan itu menyangkut banjirnya istilah-istilah dalam bahasa Bali yang tidak semuanya dijelaskan arti dan makna, baik yang umum maupun yang mungkin hanya berlaku setempat. Hal tersebut dapat dinilai mengganggu oleh pembaca yang tidak mengenal budaya Bali sama sekali. Saya sendiri yang pengetahuan mengenai istilah adat Bahasa Bali masih terbatas, juga sering bertanya-tanya. 8 Mungkin masalah ini dapat diatasi dengan menambah glosari tentang istilah yang termasuk penjelasan etimologis. Hal kedua yang ingin saya kemukakan menyangkut informan yang dipakai sebagai sumber. Rupanya penulis hanya mewawancarai kaum laki-laki yang punya kedudukan dalam pemerintahan atau adat/ritual atau sudah berusia lanjut. 9 Sebaiknya pilihan informan itu dibahas dalam pendahuluan. Informan yang diseleksi memang cocok sebagai sumber kunci mengenai aturan yang diberlakukan di desa. Tetapi sejauh mana orang desa juga mengenalnya? Bagaimana pendapat mereka tentang aturan tersebut dan apa yang membuat mereka mematuhinya? Ada satu orang, Wayan Suwela dari Bayung Gede saja 7 Hal. 89. Bahwa budaya di desa-desa ini terabaikan sebenarnya masuk akal, karena jumlah desa kuno ini sedikit sehingga tidak representatif untuk desa adat di Bali dalam wacana tentang desa adat versus desa dinas. Apalagi dari segi fungsionaris desa, yang dipilih dan bukan ditentukan oleh sistem up pemerintahan 8 Contoh: apa perbedaan antara leteh dan cuntaka? 9 Tenganan: 1) I Nyoman Nuja, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD); 2) Jro Mangku Widia, penglisir Desa Adat dan sekretaris Desa. Penglipuran: 1) I Wayan Supat (Bendesa adat Pakraman Penglipuran; 2) Jero Kubayan Mulih (usia 84). Bayung Gede 1) Jro Mangku Sriman, kelian Desa Pakraman; 2) I Wayan Suwela, orang poligamis. Bonyoh: 1) I Wayan Gandra, bendesa adat; 2) I Wayan Kanta, lansia; 3) I Wayan Nyirma, perbekel. Umbalan: 1) Jero Mangku Wayan Natri, Kelian Dinas Umbalan; 2) I Wayan Tekek, kelian desa adat Umbalan. 10

11 yang tercantum sebagai pelanggar pantangan berpoligami. Mengingat beratnya sanksi mengapa dia akhirnya memilih menikah dengan satu istri lagi? Pertanyaan itu rupanya tidak diangkat, jawabannyapun tidak ada. Dan bagaimana perasaan dan pengalaman dua istrinya, khususnya yang pertama? Menurut saya, ada baiknya kalau wartawan ikut mematuhi keharusan mutlak bagi seorang antropolog bahwa sumber informasi tidak boleh tetua adat saja, tapi sebaiknya terdiri dari wakil kelompok sosial yang berbeda dan termasuk laki-laki dan perempuan. Barulah dapat dihasilkan suatu gambaran tentang budaya yang bersifat holistik. Secara umum penulis jelas bermaksud untuk memperhatikan tatanan gender di masyarakat Bali kuno dan khususnya kedudukan perempuan (untuk diskusi lihat di bawah). Tapi yang perlu diwaspadai adalah bias gender yang terselip tanpa sadar dalam deskripsi. Contoh yang cukup mengganggu adalah uraian tentang tradisi Tenganan Materuna Nyoman. 10 Pada paragraf pertama yang ditampilkan adalah pemuda dan gadis Tenganan Pegringsingan yang diarahkan untuk tidak buru-buru menikah dan wajib ikut organisasi daha-teruna. Kemudian mengenai prosesi Materuna Nyoman keliling desa ditulis bahwa anakanak yang diajak mengenakan pakaian adat, tidak berdestar, mengenakan kain dan menyelipkan sebilah keris di pingang mereka. Dari deskripsi ini saya ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan anak-anak hanya anak laki-laki. Anak perempuan tidak pernah berdestar dan keris adalah barang laki-laki. Ataukah saya salah tafsir? Kalau benar inilah contoh seksisme dalam bahasa, karena istilah anak-anak yang mencakup baik laki-laki maupun perempuan dan bukan anak laki-laki saja. Buku ini dilengkapi dengan koleksi foto-foto dalam warna hitam putih. Tentunya selalu menarik untuk memandang foto, tapi foto itu sendiri juga dapat menimbulkan banyak pertanyaan mengenai relevansinya terkait teks. Mengapa foto pertama yang ditampilkan dari hampir setiap desa menggambarkan gedung 10 Hal

12 pemerintahan komplit dengan plangnya? Sedangkan gambar itu justru sedikit kaitannya dengan desa Bali kuno. Lebih baik mungkin foto rapat krama desa. Soalnya saya juga ingin tahu apakah hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam ulu-apad juga terlihat dari kehadiran kedua-duanya atau seperti biasa di desa di Bali, rapat dihadiri kaum laki-laki saja. Sejumlah foto lain membuat penasaran. Foto pasangan pengantin Tenganan (hal. 24) misalnya yang sama sekali tidak kelihatan ciri khas Tenganan dari segi pakaian (mengapa tidak?). Dan foto setra ari-ari Bayung Gede, yang tentunya suatu fenomena menarik, tapi tidak dibahas oleh penulis. II. Topik Diskusi II.1. Tinggi Nilainya Lembaga Perkawinan? Penulis menutup bagian tentang desa Tenganan dengan cukup yakin: Setelah berkeluarga (..) lembaga perkawinan yang suci itu patut dijaga. Berpoligami pantang, cerai pun dilarang (hal 17). Pertanyaan saya: apakah perkawinan dalam sistem nilai Bali kuno memang dipandang sebagai hal yang suci? Dan apakah adanya pantangan berpoligami dan larangan bercerai memang adalah buktinya? Alasan mengapa saya angkat pertanyaan ini adalah bahwa ada sejumlah tradisi yang membuat saya bimbang. Misalnya, mengapa upacara perkawinan sangat sederhana di Tenganan dan tidak dipuput oleh sulinggih tapi oleh seorang perempuan yang namanya Tu Genah (rupanya semacam pemangku)? Apakah itu bukan bukti bahwa perkawinan kalaupun suci tidak memiliki derajat kesucian yang tinggi? Selain itu, dari pengupasan sejumlah pantangan seputar perkawinan saya justru dapat kesan bahwa bukan kesucian perkawinan merupakan concern utama masyarakat Bali kuno, tapi kesucian pekarangan desa dan tempat sembayangnya. Itulah yang sepertinya ada di belakang 12

13 pantangan berpoligami. Orang berpoligami dianggap bisa membuat ruang suci leteh, sama dengan seorang gadis yang hamil di luar nikah. 11 Pantangan bagi sepasang suami-istri yang baru menikah untuk masuk desa melalui pintu gerbang utama (Bayung Gede) mungkin juga termasuk kategori ini. Mereka mungkin dianggap belum langsung dalam keadaan stabil = bersih sehingga dapat mengganggu kesucian pekarangan desa. Analisis yang saya tawarkan adalah bukan kesucian perkawinan merupakan kerangka referensi (frame of reference) masyarakat Bali kuno, tetapi kesucian ruang dan manusia. Dengan kata lain konsep perkawinan yang suci adalah asing bagi masyarakat desa Bali kuno. Mungkin saja konsep ini telah merasuk kedalam mindset orang Bali secara umum, suatu wujud penjajahan kesadaran atau imperialisme budaya, entah dari budaya dominan di Indonesia ataupun dari Barat Kadang-kadang wujud imperialisme budaya sangat dirasakan masyarakat. Contoh, wacana di Bali tentang RUU pornografi yang heboh luar biasa tahun lalu. Atau wacana tentang kesetaraan dan keadilan gender. Tapi wujud imperialisme tersebut tidak selalu terdeteksi atau tercium semudah itu. 12 II.1. Perempuan Sederajat atau Korban? Tidak perlu diragukan bahwa penulis buku Perkawinan Terlarang merasa terpanggil untuk memberikan gambaran mengenai kedudukan perempuan di desa Bali Kuno. Sistem ulu-apad yang mementingkan sepasang suami-istri yang utuh sebagai kesatuan yang berhak mengisi posisi adat disaji sebagai contoh atau bukti kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pantangan berpoligami kemudian dipresentasikan sebagai bukti posisi terhormat bagi perempuan. 11 Gadis hamil di luar nikah dibuang dari desa Tenganan. Saat sebuah seminar beberapa waktu silang dibahas seorang perempuan hamil di luar nikah harus dinikahi, karena membuat desa leteh. Keadaan leteh itu hanya dapat dihapus dengan mengadakan upacara mecaru yang lumayan besar. 12 Ini tidak berarti bahwa pengaruh dari luar selalu buruk, baik kebaikan maupun keburukan untuk masyarakat perlu dinilai dengan kepala dingin alias rasio. 13

14 Komentar saya menyangkut analisis terhadap hubungan gender dalam sebuah masyarakat yang hanya melihat satu atau dua aspek saja. Suatu kesimpulan tentang itu harus melihat keseluruhan aturan yang berpengaruh pada hubungan itu dan juga praktek implementasinya. Umumnya laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam semua bidang kehidupan, tapi sekaligus tidak ada masyarakat yang luput dari pembedaan gender. Boleh saja, perempuan dan laki-yang berstatus menikah ditempatkan sederajat dalam sistem ulu-apad dan bahkan hak warisnya sama seperti di Tenganan. Tapi dalam soal perkawinan, perempuan yang menikah dengan orang dari luar Tenganan tidak diberikan hak huni lagi di desanya dan kehilangan hak warisnya. Sementara itu laki-laki masih diperbolehkan menetap di Tenganan walau bukan dalam banjar tempat krama desa inti (krama desa ngarep) dan tidak kehilangan hak waris. Unsur patrilineal masyarakat Bali yang memberikan hak istimewa pada kaum lakilaki masih terlihat di situ. Ternyata, terkait poligami penulis juga menyadari bahwa perempuan, khususnya istri pertama, bukan dalam posisi setara: Perempuan tetap saja menjadi korban. Demi menghindari sanksi adat, seorang lelaki akan menceraikan istri pertamanya. (..) Dan masih istri pertama tentu bisa dipastikan menderita secara batin. (hal 32). Sebenarnya bukan ini saja contoh kerentanan posisi perempuan. Istri pertama, yang suaminya berpoligami juga ikut kena sanksi yang dijatuhkan pada suami. Dia harus ikut pindah ke tempat tinggal di luar desa. Walau tidak diberitahu secara eksplisit, saya menduga dia juga tidak diizinkan lagi bersembahyang di pura desa. Ini jelas bentuk ketidakadilan gender apabila istri pertama tidak ikut andil dalam keputusan suami untuk berpoligami, alias tidak dapat dikatakan bersalah. 13 Contoh ketidakadilan gender lain adalah hanya perempuan yang hamil di luar nikahlah yang dapat dikeluarkan dari desa kalau yang menghamilinya tidak bersedia menikah dengan dia. Laki-laki tidak (Tenganan) akan dikenakan sanksi ini. Dua contoh ini juga menunjukkan bahwa 13 Ada juga kemungkinan istri pertama mendorong suami menikah lagi, misalnya kalau perkawinan mereka tidak menghasilkan keturunan. 14

15 status perempuan dalam kerangka pikir budaya Bali tradisional cenderung didefinisikan dalam dan tergantung pada hubungannya dengan laki-laki, bukan sebagai manusia yang mandiri (person in her own right). Sebenarnya ini adalah ciri umum dalam masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan patrilineal. Maksud saya, dalam penilaian hubungan gender kita harus memakai tolok-tolok ukur yang jelas dan melihat keseluruhan sistem sosial secara holistis. II.3. Pedoman Hidup untuk Masa Depan? Apakah kearifan lokal berupa pantangan berpoligami dapat menjadi panutan bagi masyarakat sebali? Letak persoalannya adalah bahwa bagaimanapun juga perolehan keturunan, khususnya keturunan laki-laki, bagi kebanyakan laki-laki Bali adalah prioritas nomor satu. Dan bahkan lebih dipentingkan daripada mempertahankan perkawinan Kiranya, di masa yang akan datang mencari istri kedua tetap akan dicoba-coba sebagai strategi sebagian laki-laki Bali yang tidak dapat keturunan dari istri pertama. Strategi kaum laki-laki yang disebut di atas masih diterima oleh maysarakat Bali, termasuk oleh perempuan yang merasa berkepentingan atas keturunan anak laki-lakinya, yaitu mertua perempuan. Lagipula, apabila seorang laki-laki yang sudah beristri menghamili seorang perempuan yang bukan istrinya, masih ada anggapan bahwa dia wajib bertanggung jawab dan menikahi perempuan tersebut demi anak yang dikandungnya. Status anak yang lahir di luar nikah yang kurang lebih diakui sebagai astra kiranya sudah lenyap dari ingatan, dan sepertinya bukan alternatif lagi. Dalam kasus seperti itu, istri pertama sepertinya tidak dapat berkutik. Siapalah yang pernah mempertanyakan, apalagi mempersoalkan, haknya? Ya, dia seolah-olah dituntut menelan pil pahit saja harus menyesuaikan dengan kondisi hidup dimadu yang pasti tidak pernah diinginkannya Itu tidak berarti bahwa istri pertama di Bali selalu menantang suami yang ingin menikah lagi. Apabila perkawinan tidak harmonius, istri pertama dapat memberikan persetujuan dengan syarat dia akan dibebaskan untuk mengurus suami dan melayaninya secara seksual. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan perempuan bahwa kondisi ini lebih baik daripa kondisi sebagai janda cerai karena sebegai istri pertama dia 15

16 Mengingat solusi-solusi yang sudah berbudaya ini yang begitu erat kaitannya dengan kedudukan istimewa laki-laki sebagai purusa kiranya tokoh adat lokal sulit dapat dibujuk untuk mendorong masyarakat desa mencantumkan larangan berpoligami yang dianut masyarakat desa Bali kuno dalam awig-awig desa. Tapi siapa tahu? Sementara itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan semakin luas wawasannya, perempuan Bali akan semakin tidak bersedia menerima bila suami ingin menikah istri lagi. Mereka, khususnya kalau sudah punya penghasilan yang mencukupi, akan cenderung memilih bercerai daripada menerima seorang madu di sampingnya. Betapapun tak menyenangkan kondisi sosial seorang janda cerai II.4. Romantisasi Kearifan Lokal? Topik diskusi relevan yang lain menyangkut pencitraan (image building) masyarakat Bali umumnya dan masyarakat Bali kuno khususnya. Era reformasi telah membuka lebar ruang untuk menekspresikan identitas daerah, agama dan kesukuan, setelah ancaman tuduhan SARA yang begitu mencengkram pada masa Orde Baru telah dibuang ke tempat sampah. Ternyata, keharusan untuk menguburkan identitas tersebut pada waktu itu, menimbulkan semacam haus untuk meraihnya kembali. Pada dasarnya itu kecenderungan yang normal dari psikologi masa dan juga positif. Siapa yang bisa hidup tentram tanpa identitas diri yang jelas? Hanya saja, pencitraan yang bersifat romantis dan lugu mengandung bahaya. Solusi yang realistis untuk masalah sosial kekinian tidak selalu dapat digali dari masa lalu waktu kondisi ekonomi, sosial, dan politik begitu berbeda. Yang jelas bagi saya, larangan berpoligami seperti dilestarikan di desa Bali kuno dengan sanksi yang bersangkutan bukan solusi. Masalahnya, seperti juga terbukti dari sedikit kasus di desa tersebut, laki-laki si pelanggar dengan relatif tetap akan dihormati oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan sebagai janda cerai dia akan kehilangan akses pada anak dan harta bersama. (Informasi dari dua perempuan Bali langsung kepada penulis). 16

17 mudah dapat menarik diri dari komunitas yang menetapkan pantangan ataupun awig-awig. Dia bisa pindah ke desa lain saja dimana dia bisa mendapat kedudukan sebagai krama adat pendatang. Itulah dampak dari mobilitas yang semakin luas. Boleh saja desa Bali kuno mempertahankan ciri eksklusifnya, tapi untuk komunitas desa di Bali secara umum itu adalah mustahil. Pada penulis ingin saya sampaikan, bahwa saya tidak bermaksud menyindir bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan citra yang romantis tentang budaya Bali kuno yang kearifan lokalnya patut ditiru di tempat lain. Hanya saja, pembaca yang tidak kritis mungkin dapat memaknai karyanya seperti itu. III. Kata Penutup Buku Perkawinan Terlarang merupakan karya yang pantas direkomendasikan kepada siapa saja yang ingin tahu lebih banyak mengenai budaya Bali kuno yang masih dilestarikan masyarakat desa di pedalaman pulau tercinta ini. Pertama, buku ini mengupas banyak fenomena yang khas dan sangat menarik. Kedua, ditulis dengan gaya bahasa yang sangat hidup sehingga kita merasa dapat terjun ke dunia yang penuh pesona dan asing, namun sekaligus masih dekat. Ketiga, karya ini jelas merupakan sumbangan yang berarti dan segar pada wacana mengenai budaya Bali. Sebuah wacana yang akan tetap mengalir deras berkat pemikir kreatif dan orang muda yang peduli seperti Made Sujaya. 17

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

Sekilas Perkawinan Dini di Bali. Sita T. van Bemmelen

Sekilas Perkawinan Dini di Bali. Sita T. van Bemmelen Sekilas Perkawinan Dini di Bali Sita T. van Bemmelen Perkawinan Dini: usia minimal U.U. Perkawinan 1974: 16 tahun untuk perempuan, 18/19 untuk laki-laki (patokan untuk kontribusi ini) Walau ada perubahan

Lebih terperinci

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan

Lebih terperinci

KARANG MEMADU DESA PENGLIPURAN, TRADISI YANG MASIH TERJAGA. Yulia Ardiani (Staff UPT. Puskom ISI Denpasar)

KARANG MEMADU DESA PENGLIPURAN, TRADISI YANG MASIH TERJAGA. Yulia Ardiani (Staff UPT. Puskom ISI Denpasar) KARANG MEMADU DESA PENGLIPURAN, TRADISI YANG MASIH TERJAGA Yulia Ardiani (Staff UPT. Puskom ISI Denpasar) ABSTRAK Desa panglipuran terkenal dengan desa wisata yang memiliki keunikan tersendiri dengan keseragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi merupakan kebiasaan dalam suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan dan tumbuh kembangnya sangat diperhatikan. Tak heran banyak sekali orang yang menunggu-nunggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak,

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak, remaja, dewasa, dan tua. Masa dewasa inilah manusia menetapkan keputusan besar dalam hidupnya

Lebih terperinci

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Dengan naluri mahluk, dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Novel Surga Yang Tak Dirindukan adalah karya Asma Nadia. Penelitian ini memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak Dirindukan Karya Asma Nadia Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN HASIL WAWANCARA Informan I Nama : Manimbul Hutauruk Tanggal Wawancara : 31 Januari 2015 Tempat : Rumah Bapak Manimbul Hutauruk Waktu : Pukul 13.00 WIB 1. Berapa lama anda tinggal di Desa Hutauruk?

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkawinan akan mengungkapkan bahwa banyak keputusan menyeluruh, pilihan-pilihan, atau alternatif sedang dipertimbangkan, dan bahwa semua itu membentuk atau menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Desa pakraman, yang lebih sering dikenal dengan sebutan desa adat di Bali lahir dari tuntutan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak mampu hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan suatu alat penghubung antara yang satu dengan yang lain, baik itu komunikasi Verbal maupun Non verbal. Dimana tanpa adanya komunikasi maka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh masyarakat adat batak toba. Sistem ini dalam arti positif merupakan suatu sistem dimana seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN)

HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA ADAT PANJAITAN JABODETABEK( NELSON PANJAITAN) X : Selamat siang pak N : Iya, siang X : Saya ingin bertanya-tanya tentang perkawinan semarga pak, kenapa perkawinan semarga itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai alam dan mengolahnya bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki beragam adat dan budaya daerah yang masih terjaga kelestariannya. Bali adalah salah satu provinsi yang kental adat dan budayanya.

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO. 42 BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN 1974 A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.1/1974 Pelaksanaan Pernikahan Suku Anak Dalam merupakan tradisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika

1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti (Bolinger BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Makna Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat dimengerti

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami 114 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami dibawah tangan pada masyarakat batak toba di Kota Bandar Lampung saat ini, maka dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh

BAB VI KESIMPULAN. tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh BAB VI KESIMPULAN Desa Jungutbatu yang secara administratif terletak di kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali menyimpan sejumlah pesona alam dan kebudayaan tersendiri. Desa ini berada di pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan serta memiliki keturunan, dimana keturunan merupakan salah satu tujuan seseorang melangsungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon

BAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan aset, anak adalah titisan darah orang tua, anak adalah warisan, dan anak adalah makhluk kecil ciptaan Tuhan yang kelak menggantikan peran orang tua sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah I.1.1. Indonesia adalah Negara yang Memiliki Kekayaan Budaya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan memiliki berbagai suku, bahasa, dan agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago) yang terdiri dari berbagai suku bangsa (etnis) yang tersebar di seluruh penjuru wilayahnya. Banyaknya suku bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk melengkapi kehidupannya. Proses pernikahan menjadi salah satu upaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, setiap pasangan tentu ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rempah-rempah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan manusia di dunia. Kehidupan masyarakat Indonesia pun sangat dekat dengan beragam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagian yang terkecil dan yang pertama kali digunakan manusia sebagai sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga inilah kemudian

Lebih terperinci

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan

B. Rumusan Masalah C. Kerangka Teori 1. Pengertian Pernikahan A. Latar Belakang Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya untuk berkembang

Lebih terperinci

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?... Identitas diri: 1. Jenis kelamin : Pria / Perempuan 2. Status pernikahan : Menikah / Tidak Menikah 3. Apakah saat ini Anda bercerai? : Ya / Tidak 4. Apakah Anda sudah menjalani pernikahan 1-5 tahun? :

Lebih terperinci

Dalam pelajaran ini saudara akan mempelajari...

Dalam pelajaran ini saudara akan mempelajari... Tugas Seorang Suami Seorang pemuda yang bahagia dengan cepat pulang ke rumah untuk memberitahukan orang tuanya kabar baik bahwa pacarnya telah berjanji untuk menikahinya. Tetapi sang ayah, daripada menanggapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BABI PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BABl PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi pasangan suami istri, memiliki keturunan merupakan sesuatu yang dinantikan. Pasangan yang baru menikah ataupun sudah lama berkeluarga tapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih dititikberatkan

Lebih terperinci

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN

TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN TANPA EVOLUSI, FASHION ADAT TENGANAN MATRUNA NYOMAN DAN MADAHA MASIH DIAGUNGKAN Oleh Nyoman Ayu Permata Dewi Mahasiswa Pasca Sarjana Pengkajian Seni ISI Denpasar Email :permatayu94@gmail.com ABSTRAK Kain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia adalah Negara majemuk dimana kemajemukan tersebut mengantarkan Negara ini kedalam berbagai macam suku bangsa yang terdapat didalamnya. Keaneka ragaman suku

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan-kebutuhan seperti makhluk hidup lainnya, baik kebutuhan-kebutuhan untuk melangsungkan eksistensinya sebagai

Lebih terperinci

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA

BAB 2. KAJIAN PUSTAKA BAB 2. KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Perkawinan Dini Definisi umur anak dalam Undang-undang (UU) Pemilu No.10 tahun 2008 (pasal 19, ayat1) hingga berusia 17 tahun. Di Indonesia, menurut UU No 1/1974 tentang

Lebih terperinci

dan Pertunangan Pernikahan

dan Pertunangan Pernikahan Pertunangan dan Pernikahan Biasanya sebelum orang memulaikan suatu perkongsian di dunia bisnis banyak perencanaan dan persiapan terjadi Sebelum kontrak atau persetujuan terakhir ditandatangani, mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan berkeluarga atau menempuh kehidupan dalam perkawinan adalah harapan dan niat yang wajar dan sehat dari setiap anak-anak muda dan remaja dalam masa perkembangan

Lebih terperinci

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK

BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK BAB III TRADISI NGALOSE DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA KEPUH TELUK KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK A. Gambaran Tentang Desa Kepuh Teluk 1. Letak Geografis Desa Kepuh Teluk Desa atau Kelurahan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di

BAB VII PENUTUP. Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendapat ulama Banjar terhadap akad nikah tidak tercatat secara resmi di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, hukum poligami

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam masyarakat, perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata dalam

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Badung dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan.

BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Badung dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan. BAB IV GAMBARAN UMUM PANTAI KEDONGANAN SEBAGAI LOKASI PENELITIAN 4.1 Aspek Geografis dan Kondisi Fisik Pantai Kedonganan terletak di Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

Resensi Buku JADI KAYA DENGAN BERBISNIS DI RUMAH OLEH NETTI TINAPRILLA * FENOMENA WANITA * WANITA BERBISNIS : ANTARA KELUARGA DAN KARIR

Resensi Buku JADI KAYA DENGAN BERBISNIS DI RUMAH OLEH NETTI TINAPRILLA * FENOMENA WANITA * WANITA BERBISNIS : ANTARA KELUARGA DAN KARIR 69 Resensi Buku JADI KAYA DENGAN BERBISNIS DI RUMAH OLEH NETTI TINAPRILLA * FENOMENA WANITA * WANITA BERBISNIS : ANTARA KELUARGA DAN KARIR Feryanto W. K. 1 1 Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan

Lebih terperinci

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA)

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA) GUIDENA, Vol.1, No.1, September 2011 MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA) Nurul Atieka Universitas Muhammadiyah Metro PENDAHULUAN Semua orang dalam membina keluarga, menginginkan keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan budaya Indonesia mengalami pasang surut, pada awalnya, Indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita terdahulu, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-nya

Lebih terperinci

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki beraneka ragam suku bangsa dan budaya. Masing-masing budaya memiliki adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini tidak sedikit kaum wanita yang mengerutkan kening, terkejut, bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata poligami.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah sebagai upacara peniadaan jenazah secara terhormat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kematian adalah akhir dari kehidupan. Dalam kematian manusia ada ritual kematian yang disebut dengan pemakaman. Pemakaman dianggap sebagai akhir dari ritual kematian.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perlawanan budaya merupakan perjuangan hak yang bertentangan agar terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Poligami berasal dari kata poly atau polus dalam bahasa Yunani, yang

BAB I PENDAHULUAN. Poligami berasal dari kata poly atau polus dalam bahasa Yunani, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Poligami berasal dari kata poly atau polus dalam bahasa Yunani, yang berarti banyak dan gamein atau gamis yang berarti kawin atau perkawinan. Poligami seringkali dimaknai

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba,

BAB I PENDAHULUAN. seperti marsombuh sihol dan rondang bittang serta bahasa (Jonris Purba, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Simalungun merupakan salah satu suku dengan ragam keunikan yang dimiliki, tanah yang subur, masyarakat yang ramah dan lemah lembut. Memiliki kekayaan warisan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini lebih menekankan pada penanaman nilai dan karakter bangsa. Nilai dan karakter bangsa merupakan akumulasi dari nilai dan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

Bab II. Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan. Cerita Juanita. Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan

Bab II. Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan. Cerita Juanita. Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan Bab II Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan Cerita Juanita Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan Untuk pekerja di bidang kesehatan 26 Beberapa masalah harus diatasi

Lebih terperinci

Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita.

Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita. Rumah Tangga dibentuk untuk memulihkan kembali citra Allah pada pria dan wanita. Keluarga dapat menjadi tempat kebahagiaan yang besar. Keluarga yang harmonis menunjukkan asas-asas hidup Kekristenan sejati,

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci