TINJAUAN PUSTAKA. 1. Gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. 1. Gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang"

Transkripsi

1 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Sitorus (2004) mengungkapkan pengertian sumberdaya lahan/tanah (land resources) adalah 1. Gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis yang terdiri dari lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang berada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Komponen-komponen penyusun sumberdaya lahan terdiri dari : (1) iklim, (2) air, (3) bentuk lahan dan topografi, (4) tanah, (5) formasi geologis, (6) vegetasi, (7) organisme/hewan, (8) manusia dan (9) produk budaya manusia. 2. Dari sudut pandang sistematik, sumberdaya lahan dapat dianggap sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu : (1) sub-sistem tanah, (2) sub-sistem klimatologi, (3) sub-sistem hidrologi, (4) sub-sistem vegetasi, (5) sub-sistem manusia dan budayanya dan (6) sub-sistem penunjang aktivitas manusia. 3. Sebagai faktor produksi yang secara bersamaan digunakan dengan tenaga kerja, modal dan pengelolaan sebagai faktor produksi yang mana lahan dapat menghasilkan makanan, serat, bahan bangunan, mineral, sumberdaya energi, dan bahan mentah lainnya yang digunakan dalam masyarakat modern. Dimana lahan dapat digunakan dalam 10 tipe

2 11 penggunaan utama yaitu : (1) lahan perumahan, (2) lahan komersial dan industri, (3) lahan tanaman, (4) lahan padang rumput dan penggembalaan, (5) Lahan hutan, (6) lahan mineral, (7) lahan rekreasi, (8) lahan trasportasi, (9) area pelayanan (area militer, tahanan, kuburan, waduk, lokasi listrik tenaga air), (10) Lahan gundul. 4. Barang konsumsi yang mempunyai nilai (value), misalnya untuk perumahan, tempat rekreasi, taman (parks) sering diperlakukan sebagai barang konsumsi meskipun dapat juga dianggap sebagai faktor produksi. Hardjowigeno (2003) juga memberikan defenisi lahan secara ilmiah yaitu kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi yang meliputi tanah yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan media untuk tumbuhnya tanaman beserta faktor-faktor fisik lingkungannya seperti lereng, hidrologi, iklim, dan sebagainya. Lahan merupakan input yang sangat dibutuhkan dalam banyak aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, permukiman, komersial, dan penggunaan untuk industri dan juga eksplorasi mineral yang terkandung di dalamnya. Lahan adalah sumberdaya alam yang sangat penting yang secara mudah dapat dipergunakan yang pada awalnya diperkenalkan oleh ilmu ekonomi modern pada akhir abad ke- 18 (Hartwick and Olewiler, 1986). Menurut Reksohadiprodjo (1985), apabila lahan digunakan bersamabersama dengan faktor-faktor produksi lain seperti tenaga kerja, modal, teknologi, dan lain-lain menjadi bahan pertimbangan untuk tempat tertentu bagi pemanfaatan tertentu pula. Pemanfaatan lahan sangat menentukan cara-cara masyarakat

3 12 berfungsi. Lahan yang merupakan sumber dasar atau asal makanan, permukiman, air serta zat asam harus dimanfaatkan secara baik sehingga menjamin ekosistem yang stabil, membatasi pencemaran udara, serta menciptakan struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional masyarakat dan tidak terbatas pada perkembangan kota-desa saja Aspek Ekonomi Sumberdaya Lahan Penetapan harga lahan dapat diterapkan secara : 1. Land rent berdasarkan tingkat kesuburan lahan maupun besarnya surplus yang didapat dari surplus lahan tersebut 2. Ekonometrika berdasarkan karekteristik lingkungan yang mempengaruhi di sekitar lokasi 3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan harga lahan di pasaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kategori letak lahan Teori Nilai Lahan (Land rent) Menurut Barlowe (1986) sewa lahan merupakan konsep penting dalam teori ekonomi sumberdaya lahan. Sewa lahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik, dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu. 2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yaitu merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.

4 13 Sewa tanah dan keuntungan usaha merupakan dua konsep sewa lahan penting yang digunakan dalam ekonomi sumberdaya lahan. Kedua konsep tersebut hanya berbeda dalam satu hal yaitu contract land merupakan pembayaran yang sebenarnya kepada pemilik lahan. Pembayaran ini dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari surplus pendapatan (land rent) yang seharusnya oleh pemilik lahan. Kekurangan maupun kelebihan dari surplus pendapatan merupakan hak dari penyewa. Sewa lahan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai surplus ekonomi dari kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan dapat dilihat dari surplus ekonomi karena kesuburan tanahnya dan surplus ekonomi karena lokasi ekonomi. Perbedaan kesuburan tanah mengakibatkan perbedaan output dengan biaya produksi total yang sama. Lahan subur akan menghasilkan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam besarnya biaya produksi rata-rata per unit untuk lahan dengan berbagai tingkat kesuburan tersebut. Perbedaan kualitas lokasi mengakibatkan adanya perbedaan dalam land rent. Hal ini disebabkan dengan biaya produksi rata-rata per unit yang sama, harga output yang diterima produsen di daerah pasar proporsional dengan harga jual output, sedangkan pada lokasi yang lebih jauh, harga yang diterima produsen akan lebih rendah karena meningkatnya biaya trasportasi. Adanya perbedaan harga yang diterima produsen tersebut mengakibatkan land rent tertinggi adalah lokasi

5 14 yang dekat dengan pasar dan land rent semakin rendah atau menurun apabila semakin jauh dari pasar. Teori sewa lahan menurut model klasik yang banyak digunakan adalah konsep dari David Ricardian dan Von Thunen (Barlowe, 1986). David Ricardo memberikan konsep tentang sewa lahan atas dasar perbedaan alam kesuburan tanah terutama pada masalah sewa lahan di sektor pertanian, tetapi dalam analisisnya David Ricardo tidak terlepas dari asumsi yaitu pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya lahan yang subur dan melimpah. Ricardo berpendapat hanya lahan yang subur yang digunakan untuk budidaya pertanian dan tidak ada pembayaran sewa lahan sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut, karena penduduk masih jarang atau sedikit jumlahnya. Sewa lahan akan muncul apabila jumlah penduduk bertambah sehingga meningkat permintaan akan lahan yang mengakibatkan digunakannya lahan kurang subur oleh masyarakat. Teori sewa lahan dari David Ricardo secara ringkas dapat diuraikan dalam contoh berikut : Dengan suatu tingkat penggunaan input tenaga kerja dan kapital yang sama (misalnya dengan biaya Rp. 1 juta) pada suatu areal yang sama, dengan empat perbedaan tingkat kesuburan tanah. Kesuburan dibedakan dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu lahan A, B, C, D dengan kapasitas produksi masing-masing 100 unit, 80 unit, 60 unit, 50 unit. Dengan asumsi tersebut untuk menghasilkan tiap unit produksi pada lahan kualitas A diperlukan biaya Rp ,- untuk lahan B Rp ,- lahan C Rp ,- dan lahan D Rp ,-. Apabila lahan kualitas A cukup tersedia untuk menghasilkan seluruh kebutuhan produksi, maka harga pasar produk akan berkaitan dengan Rp ,- biaya produksi per unit. Tidak ada rent yang perlu

6 15 dibayar, karena setiap pengguna lahan dapat menggunakan lahan dengan kualitas/tingkat kesuburan yang sama. Situasi ini akan berubah apabila lahan kualitas B harus digunakan untuk menghasilkan produk karena pertumbuhan penduduk. Pada keadaan ini harga produk harus meningkat pada tingkat Rp ,- untuk menutupi biaya produksi pada lahan kualitas B tersebut. Harga produk yang lebih tinggi ini akan memberikan surplus ekonomi sebesar Rp ,- per unit produk kepada si pengguna lahan kualitas A. Surplus ini sebenarnya tidak diperlukan untuk menjamin produksi yang berkesinambungan dari lahan A, tetapi karena sudah demikian adanya, itu menjadi land rent kepada pemilik lahan A tersebut. Demikian seterusnya untuk lahan C dan D. Lahan A mempunyai nilai sewa karena pertumbuhan penduduk, lahan B mulai digunakan untuk perluasan tanam, dan selanjutnya lahan B mulai memiliki nilai sewa apabila lahan C mulai digunakan untuk perluasan tanam. Lahan C akan mulai memiliki nilai sewa lahan apabila lahan D mulai digunakan untuk perluasan tanam. Dengan demikian lahan A memiliki nilai sewa lahan yang tertinggi yang ditunjukkan oleh surplus ekonomi dari lahan D. Teori sewa lahan model Ricardo ditentukan berdasarkan perbedaan dalam kualitas lahan yang hanya melihat faktor kemapuan lahan untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi lahan. Faktor lokasi lahan dalam menentukan nilai sewa lahan (land rent) dibahas dalam model Von Thunen. Model ini menunjukkan berbagai tanaman yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan menemukan bahwa sewa lahan di dekat pusat pasar lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar.

7 16 Menurut Von Thunen sewa lahan berkaitan dengan biaya trasport dari daerah produksi ke pusat pasar. Semakin jauh jarak lokasi lahan dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Lahan yang lokasinya dekat ke pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dengan sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan. Sewa lahan mempunyai hubungan yang terbalik dengan jarak lokasi lahan ke pasar seperti terlihat dalam Gambar 1. Land rent (Rp) Land rent (Rp) P C Land rent Biaya Y Keterangan : P = Harga produk C = Biaya produksi K, X = Jarak lahan ke pasar K X Jarak ke pasar (km) Gambar 1. Pengaruh Biaya Transportasi dari Berbagai Lokasi ke Pasar terhadap Land Rent Sumber : Barlowe, Raleigh (1986) Barlowe (1986) mengajukan konsep penggunaan lahan tertinggi dan terbaik. Sebagian besar lahan dapat digunakan dalam berbagai penggunaan. Lahan yang mempunyai nilai tertinggi dijumpai di sebagian besar kawasan pusat perdagangan. Lahan dalam keadaan penggunaan tertinggi dan terbaik apabila digunakan dapat memberikan keuntungan optimum kepada pengguna atau kepada

8 17 masyarakat yang dapat diukur dengan istilah moneter, dalam nilai sosial dan intangible value atau kombinasi keduanya. Penggunaan lahan tertinggi dan terbaik dari sebidang lahan sering dapat diubah mengikuti perubahan dari kualitas lahan, perubahan teknologi dan perubahan kecenderungan permintaan. Dalam masyarakat modern, lahan pada umumnya memberikan keuntungan yang lebih tinggi apabila digunakan untuk keperluan komersial atau industri (A), dibandingkan dengan tipe penggunaan lainnya. Kemudian diikuti berikutnya oleh penggunaan untuk pemukiman (B) lalu diikuti dengan berbagai tipe lahan tanaman dan padang rumput (C), padang penggembalaan (D) seperti terlihat dalam Gambar 2. Penggunaan Komersial dan Industri (A) Perumahan (B) P Lahan Pertanian dan Padang Rumput (C) Nilai Lahan dan Sewa Ekonomi Lahan Zona transper dari A ke B Zona transper darib ke C Q Zona transper dari C ke D R Padang Penggembalaan (D) Pusat Kota Kapasitas Penggunaan Menurun Gambar 2. Profil Umum Penggunaan Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)

9 18 Margin antara penggunaan untuk komersialdan industri dengan perumahan terjadi di titik P. Pada titik ini lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk perumahan daripada dilanjutkan untuk penggunaan komersial. Transfer margin yang lain yang juga nyata adalah di titik Q dimana lebih menguntungkan untuk menggeser ke penggunaan untuk lahan pertanian dan padang rumput daripada dilanjutkan untuk penggunaan pemukiman dan titik R dimana menjadi lebih mengguntungkan untuk menggeser ke penggunaan padang penggembalaan daripada dilanjutkan untuk penggunaan untuk pertanian dan padang rumput. Setiap orang pada tiap-tiap kasus ini dapat melanjutkan penggunaan transfer margin lahannya sebesar mungkin atau tidak ada margin lagi dan masih menghasilkan uang. Setiap orang yang menggunakan lahannya diantara adanya transfer margin dan tidak ada margin dikatakan peggunaan dengan prinsip zona transfer. Penjelasan di atas merupakan konsep nilai lahan dan prinsip highest and best uses yang dapat digunakan untuk menjelaskan kompetisi antara penggunaan lahan dan hasil dari pengalokasian sumberdaya lahan diantara penggunaanya. Kompetisi ini berlanjut seperti sebuah proses yang tidak berkesudahan dan berakibat pada kemampuan mengamati alokasi yang berkelanjutan dan berulang dalam penggunaan sumberdaya lahan diantara variasi penggunaan dan pemakai lahan tersebut Teori Harga Lahan Alonso (1970) menggunakan istilah harga lahan (land price) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land value) dalam menganalisis masalah ekonomi lahan perkotaan. Istilah harga lebih dapat mencerminkan nilai pasar (market

10 19 expressions) atas harga kontrak (contract rent), harga jual (sales prices), dan biaya kepemilikan (cost of ownership). Harga jual adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai alternatif dan merupakan nilai diskonto dari total nilai sewa di masa mendatang sedangkan biaya pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Alonso (1970) juga mendefenisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Defenisi tersebut belum secara jelas membedakan antara harga lahan dengan nilai lahan. Akan tetapi harga lahan sudah mengkaitkan dengan dimensi pasar sebagai wahana transaksi dan merupakan kumulatif nilai dari beberapa jenis rente lahan seperti rente ricardian, rente lokasi atau rente sosial. McAuslan (1989) menyatakan bahwa semua lahan memiliki nilai. Nilai itu tergantung dari nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan di atas lahan tersebut tetapi sukar untuk menemukan dan kemudian menggunakan suatu cara untuk menilainya kecuali melalui pasar. Seperti halnya untuk barang ekonomi yang lainnya, pasarlah merupakan cara yang paling baik dengan melihat perpotongan antara penawaran dan permintaan lahan tersebut dalam menentukan harga lahan tersebut. Daniel (2002) menyatakan harga atas lahan ditentukan secara objektif ekonomis. Nilai ekonomis lahan komersial biasanya dianggap sebagai kapitalisasi atau pengejawatahan dari bunga. Semakin tinggi bunga maka akan semakin rendah harga lahan tersebut dengan asumsi penghasilan atau hasil bersih dari lahan tersebut tetap.

11 20 Menurut Randall (1987) perbedaan harga lahan dengan nilai lahan adalah harga lahan cenderung bernilai lebih tinggi dari nilai lahan baik pada wilayah pertanian maupun di wilayah perkotaan. Menurut teori lokasi, hal ini disebabkan karena tidak terdapat ekonomi aglomerasi. Rente lokasi (urban rent) memiliki gradien kurva yang lebih tajam dibandingkan dengan rente Ricardian (agriculture rent) sehingga terjadi spesialisasi penggunaan lahan antara wilayah kota dan wilayah desa. Pada kenyataannya, kadang-kadang untuk wilayah-wilayah yang terpencil harga lahan dapat lebih rendah dibandingkan nilai lahan. Harga lahan juga tidak terlepas dari faktor lingkungan, perbedaan lokasi lahan dengan atribut lingkungan yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam nilai atau harga lahan yang bersangkutan atau secara konkrit harga lahan akan semakin meningkat jika kualitas lingkungan bertambah baik. Meningkatnya harga lahan sesungguhnya banyak berkaitan dengan banyaknya fasilitas yang diciptakan, terutama oleh investasi pemerintah yang bersifat pekerjaan umum seperti pembangunan jalan, fasilitas listrik, lapangan terbang, saluran irigasi, pengolahan limbah, dan sebagainya. Semua fasilitas umum tersebut menimbulkan kemudahan dan meningkatkan kepuasan (utility) dan tentunya kepuasan ini akan menambah kesediaan bagi orang untuk membayar. Menurut Suparmoko (1989) harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum tersebut akan meningkat pula. Dengan perkataan lain, adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan luasan lahan, yang dibarengi pula dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk

12 21 daerah pusat kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai alternatif penggunaan, seperti untuk industri atau penggunaan lain yang menguntungkan. Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harga lahan tidak terlepas dari nilai lahan dan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan, fasilitas-fasilitas yang tersedia di sekitar lahan ditentukan dalam kekuatan permintaan dan penawaran di pasar lahan. Menurut Daniel (2002) ada 2 faktor dalam menentukan harga lahan yaitu dilihat dari faktor penawaran lahannya dan faktor permintaan lahan tersebut. Dari faktor penawarannya yaitu kualitas dan lokasi lahan tersebut. Kualitas lahan dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan, dan kandungan mineral dalam lahan tersebut. Dari lokasi lahan, dapat dilihat dari aksesibilitas lahan tersebut seperti tersedianya sarana angkutan umum, lembaga perkreditan, pasar, kondisi jalan, dan keamanan dari bahaya banjir. King (2000) juga memberikan defenisi harga lahan dilihat dari kualitasnya. Ada empat faktor yang menentukan harga lahan tersebut yaitu : (1) lokasi, (2) karakteristik propertinya : luas, jumlah dan luas kamar, dan jumlah kamar mandi, (3) karakteistik lingkungan sekitar : pajak properti, angka kejahatan, (4) karakteristik aksesibilitas : jarak ke tempat krja, pusat perbelanjaan, dan adanya transportasi umum. Sutarjo (1992) memberikan penjelasan tentang pengaruh kualitas dan lokasi lahan terhadap harga lahan. Kenaikan nilai dan harga lahan merupakan suatu konsekuensi dari suatu perubahan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Lahan yang semula penggunaannya tidak pasti dijadikan suatu kawasan yang

13 22 produktif akan menaikkan nilai dan harga lahan Pembangunan kota memerlukan lahan yang luas dan memerlukan komponen-komponen kegiatan fungsional yang mendukung dan bersifat produktif seperti sarana transporasi, pasar, bank, dan kondisi jalan akan merupakan suatu hal yang sangat peka terhadap kemungkinan kenaikan harga lahan. Permintaan lahan juga mempengaruhi harga lahan. Penentu permintaan lahan tersebut adalah selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan, dan ekspektasi konsumsi terhadap harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut maka harga lahan juga akan semikin mahal (Menurut Halcrow dan Mazzota, 1992). Harga Lahan (Rp / m 2 ) S 2 S 1 P 2 D 2 P 1 D 1 Q 1 Unit Kepemilikan Lahan (Q) Gambar 3. Kurva Permintaan dan Penawaran Lahan Sumber : Barlowe, Raleigh (1986)

14 23 Pada harga keseimbangan bersifat fleksibel, selalu berubah-ubah dan cenderung meningkat karena penawaran lahan yang semakin terbatas yang disertai permintaan lahan yang semakin bertambah. Dengan mengasumsikan bahwa kurva supply lahan bersifat hampir tidak elastik dan kurva permintaan bersifat sangat elastik dan berubah sesuai dengan perkembangan ekonomi, sehingga terjadi pergeseran kurva permintaan lahan dari D1 meningkat ke D2. Pergeseran permintaan lahan tersebut mendorong peningkatan harga dari P1 meningkat ke P2 dengan penurunan tingkat penawaran lahan, dapat ditunjukkan pada Gambar 3 di atas (Barlowe, 1986) Nilai Jual Objek Pajak Lahan Nilai jual objek pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli, yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli. NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi (lahan, perairan, pedalaman, serta laut wilayah Indonesia) beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun di bawahnya, dan/atau bangunan yang melekat di atasnya. Pengelompokan nilai jual rata-rata atas permukaan bumi berupa lahan dan/atau bangunan digunakan sebagai pedoman untuk memudahkan perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang. Klasifikasi lahan dan bangunan adalah untuk dapat menghitung besarnya pajak PBB terutang, maka objek bumi dan atau bangunan tersebut harus diketahui dahulu besarnya harga atau NJOP per meter perseginya berdasarkan letak, lingkungan, dan strategis objek, menurut klasifikasi objek yang bersangkutan.

15 24 Tata cara penilaian objek PBB secara teknis penilaian terdiri dari 2 cara, yaitu penilaian massal dan penilaian individual (Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan). Penilaian individual adalah suatu sistem penilaian terhadap objek pajak secara manual dengan memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak yang dimaksud. Teknik penilaian individual diterapkan untuk jenis objek pajak kontruksi khusus atau umum yang telah dinilai secara CAV (Computer Assisted Valuation). Dalam penilain individual, meskipun pendataan dilakukan tidak tepat pada tanggal 1 Januari, tetapi analisis penilaian harus disesuaikan dengan keadaan tanggal 1 Januari tahun pajak berjalan. Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) disusun atas dasar model bangunan yang dianggap dapat melewati tipikal kelompok bangunan tertentu. Kemudian dilakukan perhitungan untuk menetukan nilai bangunan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada lampiran Pemukiman Menurut UU No. 2 thn 1992 pemukiman adalah suatu perumahan atau kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan. Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik kota atau desa berfungsi sebagai tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sedangkan pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan, karena pada umumnya di

16 25 pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan banyak dijumpai di kawasan perkotaan. Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi. Masalah pemukiman manusia di Indonesia, sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya, mencerminkan akibat keterbelakangan pembangunan dan sekaligus juga merupakan masalah yang menyertai proses pembangunan sendiri. Keterbelakangan pembangunan menimbulkan akibat-akibat terhadap pemukiman manusia cenderung untuk memburuk karena pertambahan penduduk yang lebih cepat dibandingkan dengan penambahan fasilitas-fasilitas pelayanan umum. Masalah-masalah ini dihadapi dalam situasi dan skala yang berlain-lainan di daerah-daerah perkotaan dan di daerah-daerah perdesaan. Urbanisasi di Indonesia tidaklah sepesat di negara-negara lain tetapi tekanan penduduk berpusat di beberapa kota besar saja.

17 26 Sebagai akibat konsentrasi-konsentrasi penduduk yang meningkat di kotakota besar terutama di Pulau Jawa adalah penggunaan lahan yang tidak terkendalikan dan sangat kurangnya tanah yang cocok bagi pembangunan lingkungan, perumahan, dan prasarna. Spekulasi tanah dan meningkatnya harga tanah, merupakan hambatan-hambatan utama bagi pembangunan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan bagi pembangunan pemukiman sehat. Sebagai akibat urbanisasi yang pesat, daerah-daerah perkotaan telah meluas yang mengakibatkan berkurangnya tanah-tanah pertanian yang subur di daaerah sekelilingnya. Survei-survei keadaan perumahan sekarang menunjukkan bahwa kebanyakan rumah-rumah tidak memenuhi syarat-syarat perumahan yang sehat dan layak. Banyak daerah-daerah tempat tinggal yang sedang tumbuh tidak mendapatkan penyediaan air minum dan tanpa sistem pembuanagn sampah. Daerah-daaerah perkampungan buruk (slums) tumbuh dengan pesat di kota-kota besar karena urbanisasi yang tidak terkendalikan. Daerah-daerah tersebut menyebabkan lingkungan-lingkungan pemukiman merosot keadaannya. Kekurangan akan perumahan menyebabkan kepadatan baik dalam rumah-rumah maupun jumlah penghuni dalam rumah yang telah ada. Hal-hal tersebut akan mempunyai akibat terhadap keadaan kesehatan. Di banyak daerah di Pulau Jawa kepadatan penduduk yang makin meningkat telah melampaui daya dukung sistem ekologi perdesaan. Penduduk yang berkelebihan di desa-desa terdesak ke lereng-lereng pegunungan atau ke kota-kota dan menyebabkan eksploitasi SDA secara tidak terkendalikan dan irasional dengan akibat kerusakan pada sistem ekologi. Tekanan penduduk yang

18 27 makin mendesak di daerah-daerah perdesaan mengakibatkan kebutuhan akan tanah yang lebih besar yang memaksa orang-orang untuk menduduki tanah yang tadinya tidak diperuntukkan bagi pemukiman dan pertanian, atau banyak orang yang menempati tanah yang peka terhadap bencana alam seperti tanah longsor, banjir, letusan gunung. Sebagai akibatnya, sering terjadi banjir dengan akibatakibat malapetaka. Sumber-sumber air yang tadinya berada di daerah-daerah hutan pegunungan telah berkurang bersamaan dengan pembukaan hutan-hutan yang menyebabkan pula cepatnya erosi daerah-daerah tertentu, merobah sungai menjadi arus-arus yang belumpur dalam musim hujan, bahkan menjadi lembah-lembah yang kering sama sekali di musim kemarau. Pada saat ini mayoritas penduduk pedesaan masih sangat tergantung dari air yang berasal dari sumber-sumber yang tidak terlindungi, dari sungai-sungai atau kolam-kolam yang biasanya sudah tercemar. Jelaslah bahwa penyakit yang berhubungan dengan kurang tersedianya air dan kurang tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan merupakan sebab utama bagi kematian di daerah-daerah perdesaan. Dengan demikian masalah kesehatan dan program pembangunan kesehatan merupakan unsur yang utama dalam pembangunan pemukiman Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian Rony (1996) yang melakukan penelitian tentang Penemuan Harga Lahan dan Kelembagaan yang Mempengaruhinya diperoleh : Harga lahan di Kotamadya Bogor, baik di wilayah lama maupun di wilayah perluasan terutama dipengaruhi oleh keberadaan jalan primer, jalan

19 28 sekunder, status administrasi (kelurahan atau desa), jarak terhadap pusat ekonomi, dan jangkauan terhadap sarana angkutan umum. Di samping itu dipengaruhi juga oleh status kepemilikan lahan, kepadatan penduduk kelurahan/desa, keberadaan kompleks pemukiman, dan kebijakan detil tata ruang. Kelembagaan jual beli lahan formal dapat mendukung keberlangsungan transaksi di kota Bogor tetapi berlangsung secara tidak efisien karena membutuhkan biaya transaksi yang lebih besar dibandingkan ketentuan perundangan. Biaya kontrak yang diperlukan untuk membuat akta berbeda menurut status kepemilikan lahan, wilayah administrasi, dan jenis PPAT. Lahan dengan status kepemilikan bersertifikat (SHM) membutuhkan biaya yang lebih rendah dibandingkan lahan konversi (HMA) yaitu 0,5 12,5 persen. Biaya kontrak di wilayah perluasan lebih tinggi dibandingkan di wilayah kotamadya yaitu 0,5 12,5 persen berbanding 0,5 6 persen. Kelembagaan jual beli lahan non-formal (calo tanah) meningkakan biaya informasi sehingga menurunkan efisiensi transaksi, tetapi masih dibutuhkan untuk menigkatkan efektivitas pelaksanaan jual beli. Biaya informasi yang dibutuhkan berbeda menurut tipe calo tanah. Jual beli lahan status hak milik bersetifikat dan hak guna bangunan banyak dilakukan jasa notaris, sebaliknya untuk lahan konversi (HMA) banyak menggunakan jasa camat. Pemanfaatan lahan di dekat bantaran sungai dan sudut kota banyak dihuni para pemukim tidak sah, karena tuntutan yang bersifat ekonomi, serta karena informasi asimetrik tentang peruntukan kawasan di lokasi bantaran sungai dan sudut kota. Perkembangan lahan publik di kotamadya Bogor telah mengalami penurunan luas yang drastis yaitu -14,68 ha atau -7,3 persen ( ), yang

20 29 paling besar berkurangnya adalah lapangan olahraga dan taman kota yaitu -13,57 ha atau (-66,83 persen), dan dikonversi untuk permukiman dan industri. Penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2004) tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Tanah Sareal menghasilkan : karakteristik penjual lahan di kecamatan Tanah Sareal serara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/derajat. Memilki mata pencaharian sebagai wiraswasta, buruh tani, pegawai negeri, dan pegawai swasta. Penjual lahan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar 55 tahun. Penjual lahan sebagian besar memiliki tanggungan keluarga, yaitu berkisar 4-5 orang. Motivasi yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan merupakan motivasi berdasarkan pertimbangan pribadi penjual sehingga perlu dilakukannya transaksi lahan. Penjual lahan tersebut merupakan salah satu alternatif penjual untuk memperoleh tambahan dana untuk modal usaha, membayar hutang, dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Faktor penarik bagi penjual dalam melakukan dikarenakan adanya beberapa faktor yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penjual sehingga dilakukannnya transaksi jual beli lahan, diantaranya tingkat harga lahan yang tinggi, peluang bisnis lahan yang menjanjikan, dan tingkat suku bunga bank yang tinggi. Harga dan nilai lahan di Kecamatan Tanah Sareal diduga dipengaruhi oleh luas lahan, status lahan, kepadatan penduduk, sarana angkutan umum, keamanan lingkungan, fasilitas air, dan fasilitas telepon pada tarif kepercayaan 85 persen. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga

21 30 lahan dan nilai lahan pada taraf 85 persen adalah prasarana jalan, jarak pasar, dan kompleks pemukiman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nuryanti (2006) di Kecamatan Telukjambe Timur didapat : luas total lahan yang dijual oleh sebanyak 40 responden sebesar meter persegi. Ditinjau dari status lahannya, lahan yang dijual sebagian besar sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) yaitu 24 orang, sedangkan lahan yang dijual dengan status hak milik adat (HMA) yaitu sebanyak 16 orang dimana sebagian besar tanahnya adalah tanah warisan. Karakteristik penjual lahan di Kecamatan Telukjambe Timur secara keseluruhan telah mengikuti pendidikan formal, minimal SD/sederajat. Memiliki mata pencaharian sebagai wiraswata dan rata-rata merupakan kepala keluarga yang berumur berkisar antara tahun. Alasan yang mendorong penjual untuk melakukan penjualan lahan adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, memperoleh tambahan dana untuk modal usaha dan membayar hutang. Secara umum faktor-faktor yang diduga tidak berpengaruh nyata terhadap harga lahan dan nilai lahan adalah kepadatan penduduk, prasarana jalan, jarak pasar, kompleks pemukiman, keamanan lingkungan dan fasilitas air. Penelitian-penelitian terdahulu di atas dilakukan tanpa melihat pemerataan lokasi lahan tersebut, penelitian tersebut dilakukan pada 40 responden hanya yang telah terdaftar di PPAT Kecamatan dan Notaris sedangkan penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cibinong pada semua kelurahan yaitu 12 kelurahan sehingga penelitian ini lebih dapat merepresentasikan harga lahan secara lebih baik dibanding dengan penelitian sebelumnya. Variabel-variabel yang digunakan merupakan variabel berdasarkan teori dan fakta yang relevan. Penelitian

22 31 sebelumnya menggunakan model regresi liniear berganda dan model double-log namun tidak memeberikan penjelasan secara mendalam model yang terbaik dalam menjelaskan harga lahan sedangkan penelitian ini memberikan model terbaik dalam menjelaskan harga dan nilai lahan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena lahan merupakan input penting yang diperlukan untuk mendukung

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR. Oleh: Rocky D F Silalahi A

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR. Oleh: Rocky D F Silalahi A FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN PEMUKIMAN DI KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN BOGOR. Oleh: Rocky D F Silalahi A14304007 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN

BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN 8.1. Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Lahan Lahan mempunyai tempat yang khusus dalam kelompok sumber daya, karena lahan diperlukan dalam semua aspek kehidupan manusia dan lahan juga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi

PENDAHULUAN. Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan faktor input penting dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti pertanian dan kehutanan, pemukiman penduduk, komersial, dan penggunaan untuk industri serta

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Harga lahan secara nyata merupakan keseimbangan antara permintaan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Harga lahan secara nyata merupakan keseimbangan antara permintaan dan III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Teori Supply Demand Lahan Harga lahan secara nyata merupakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran baik melalui lembaga formal maupun non-formal.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN DI SEKITAR BANDARA RAJA HAJI FISABILILLAH KEPULAUAN RIAU

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN DI SEKITAR BANDARA RAJA HAJI FISABILILLAH KEPULAUAN RIAU ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA LAHAN DI SEKITAR BANDARA RAJA HAJI FISABILILLAH KEPULAUAN RIAU (Kasus: Harga Lahan di Kecamatan Tanjungpinang Timur, Tanjungpinang, Kepulauan Riau) FEBRIASTUTI

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah TINJAUAN PUSTAKA Definisi Land Rent Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumberdaya lahan. Menurut (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah hasil

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai ilmu yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Penjual Lahan yang Melakukan Transaksi Lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Penjual Lahan yang Melakukan Transaksi Lahan VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6. 1 Latar Belakang Penjual Lahan yang Melakukan Transaksi Lahan 6. 1. 1 Jenis Kelamin Responden berdasarkan jenis kelamin lebih didominasi oleh laki-laki sebanyak 25 orang (62,5

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. Proses penentuan harga lahan tidak terlepas dari karakteristik lahan

KERANGKA PEMIKIRAN. Proses penentuan harga lahan tidak terlepas dari karakteristik lahan III KERANGKA PEMIKIRAN 3. 1 Kerangka Pemikiran Teoritis Harga lahan merupakan nilai lahan di pasar yang merupakan pertemuan antara permintaan dan penawaran baik melalui lembaga yang formal maupun nonformal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan BAB I PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan akan dipaparkan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan infrastruktur permukiman kumuh di Kecamatan Denpasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh konversi lahan. Menurut Budiman (2009), konversi lahan disebabkan oleh alasan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di wilayah perkotaan. Salah satu aspek

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

PENGANTAR PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR

PENGANTAR PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR PENGANTAR PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR TIU dan TIK TUJUAN INTRUKSIONAL UMUM Memberikan seperangkat pengetahuan tentang prinsip-prinsip baik sistem maupun analisis pengembangan sumberdaya air dan unsur-unsurnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Menurut Rachman (1984) perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Real Estate dan Properti Real Estate didefinisikan sebagai tanah secara fisik dan benda yang dibangun oleh manusia yang menjadi satu kesatuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan penduduk kota yang sangat pesat selama beberapa dekade terakhir, baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Lahan Sawah Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk terhadap lahan baik itu untuk

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk terhadap lahan baik itu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, menyebabkan peningkatan kebutuhan penduduk terhadap lahan baik itu untuk kegiatan pertanian, industri, perumahan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan tajam. Lahan lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan pada gilirannya akan mempengaruhi manusia. Interaksi antara manusia dengan lingkungannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan melakukan segala aktivitasnnya. Permukiman berada dimanapun di

BAB I PENDAHULUAN. dan melakukan segala aktivitasnnya. Permukiman berada dimanapun di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permukiman tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia karena permukiman salah satu kebutuhan pokok, tempat manusia tinggal, berinteraksi dan melakukan segala

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. Mengingat : 1. bahwa rumah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi bangsa Indonesia, namun migas itu sendiri sifat nya tidak dapat diperbaharui, sehingga ketergantungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terkait otonomi daerah, banyak wilayah-wilayah di Indonesia mengusulkan diri untuk

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan semakin meningkatnya kebutuhan seperti untuk perumahan, perdagangan,

BAB I PENDAHULUAN. dengan semakin meningkatnya kebutuhan seperti untuk perumahan, perdagangan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting karena sebagian besar kehidupan manusia memerlukan tanah. Kebutuhan manusia akan tanah untuk berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG Aladin Nasution*) Abstrak Secara umum tingkat pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi.

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi. TINJAUAN PUSTAKA Fungsi Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Menurut fungsinya hutan mempunyai fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan yang mempunyai fungsi konservasi adalah kawasan hutan

Lebih terperinci

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi Ketentuan Umum 2.1. Istilah dan Definisi Penyusunan RDTR menggunakan istilah dan definisi yang spesifik digunakan di dalam rencana tata ruang. Berikut adalah daftar istilah dan definisinya: 1) Ruang adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG KAWASAN SIAP BANGUN DAN LINGKUNGAN SIAP BANGUN YANG BERDIRI SENDIRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : Menetapkan :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG PENYEDIAAN, PENYERAHAN, DAN PENGELOLAAN PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) A. Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut: a) Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG

PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG Oleh: Aladin Nasution*) Abstrak Dalam pembangunan pertanian diperlukan empat faktor penggerak yaitu sumberdaya lahan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM 1 of 11 7/26/17, 12:19 AM KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2016 TENTANG TATA CARA PENILAIAN UNTUK PENENTUAN NILAI JUAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi dari

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ini memberikan dampak yang nyata dalam berbagai bidang kehidupan

Lebih terperinci

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864 DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN 2016 KELOMPOK DATA JENIS DATA : DATA UMUM : Geografi DATA SATUAN TAHUN 2015 SEMESTER I TAHUN 2016 I. Luas Wilayah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang lautannya lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia 2/3 dari luas Indonesia. Daratan Indonesia subur dengan didukung

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR ISI. PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 8 1.3 Tujuan dan Manfaat... 8 1.4 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang adalah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

Berdasarkan pendekatan literature, maka defenisi dan kegiatan bank tanah dapat berupa:

Berdasarkan pendekatan literature, maka defenisi dan kegiatan bank tanah dapat berupa: Pengertian Bank Tanah Pengertian Bank Tanah sebagaimana yang tercantum dalam buku the best practise land bank adalah suatu lembaga yang dibentuk untuk mempromosikan revitalisasi (menghidupkan kembali)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung yang selalu bertambah pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan otonomi daerah, serta pertambahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perumahan merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendasar, dan dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan rendah

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. IV METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci