[Logo] PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL MENYELURUH ASEAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "[Logo] PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL MENYELURUH ASEAN"

Transkripsi

1 [Logo] PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL MENYELURUH ASEAN Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Vietnam, Negara-negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ( ASEAN ) selanjutnya secara bersama-sama disebut Negara-negara Anggota atau secara sendiri-sendiri Negara Anggota. MENGINGAT keputusan-keputusan pada Pertemuan Para Menteri Ekonomi ASEAN ( AEM ) ke-39 yang diselenggarakan di Kota Makati, Filipina, pada tanggal 23 Agustus 2007 untuk merevisi Persetujuan Kerangka Kerja tentang Kawasan Penanaman Modal ASEAN yang ditandatangani di Kota Makati, Filipina, pada tanggal 7 Oktober 1998 ( Persetujuan AIA ), sebagaimana yang telah diubah, menjadi suatu perjanjian penanaman modal menyeluruh yang berwawasan ke depan, dengan bentukbentuk dan ketentuan-ketentuan yang telah diperbaiki, sebanding dengan kebiasaan-kebiasaan internasional terbaik dalam rangka meningkatkan penanaman modal diantara negara-negara ASEAN serta untuk meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN dalam menarik aliran masuk penanaman modal ke dalam ASEAN. MENYADARI perbedaan tingkatan pembangunan di dalam Negara-negara ASEAN, terutama di Negara-negara Anggota terbelakang yang membutuhkan fleksibilitas, termasuk perlakuan khusus dan membedakan, untuk mencapai masa depan ASEAN yang lebih terpadu dan saling tergantung. MENEGASKAN KEMBALI perlunya langkah ke depan dari Persetujuan AIA dan Persetujuan ASEAN untuk Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal yang ditandatangani di Manila, Filipina, pada tanggal 15 Desember 1987 ( ASEAN IGA ), sebagaimana telah diubah, dalam rangka meningkatkan lebih lanjut integrasi regional untuk mewujudkan visi Masyarakat Ekonomi ASEAN ( AEC ); MEYAKINI bahwa aliran masuk penanaman modal baru dan penanaman modal kembali yang berkelanjutan akan meningkatkan dan memastikan pembangunan perekonomian yang dinamis di negara-negara ASEAN. 1

2 MENGAKUI bahwa lingkungan penanaman modal yang kondusif akan meningkatkan arus modal, barang dan jasa, teknologi dan sumber daya manusia secara lebih bebas, serta pembangunan ekonomi dan sosial secara keseluruhan di ASEAN; dan MENEKADKAN untuk meningkatkan lebih lanjut kerja sama ekonomi antara dan antar Negara-negara Anggota; TELAH MENYETUJUI HAL-HAL sebagai berikut: BAGIAN A Pasal 1 Tujuan Tujuan dari Persetujuan ini adalah untuk menciptakan suatu rezim penanaman modal yang bebas dan terbuka di ASEAN dalam rangka mencapai tujuan akhir dari integrasi ekonomi dalam AEC sesuai dengan Cetak Biru AEC, melalui hal-hal sebagai berikut: (a) liberalisasi progresif atas rezim-rezim penanaman modal di Negara-negara Anggota; (b) ketentuan peningkatan perlindungan yang lebih baik kepada para penanam modal dari semua Negara Anggota dan penanaman modalnya; (c) peningkatan transparansi dan prediktabilitas aturan-aturan, peraturan-peraturan, dan prosedur penanaman modal yang kondusif untuk meningkatkan penanaman modal di Negara-negara Anggota; (d) promosi bersama dari kawasan sebagai suatu kawasan penanaman modal terpadu; dan (e) kerja sama untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk penanaman modal yang dilakukan oleh para penanam modal dari suatu Negara Anggota di wilayah Negara-negara Anggota lainnya. Pasal 2 Prinsip-prinsip Pedoman Persetujuan ini wajib menciptakan suatu lingkungan penanaman modal yang liberal, fasilitatif, transparan, dan berdaya saing di ASEAN dengan berpedoman pada prinsip-prinsip berikut ini: 2

3 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) memberikan liberalisasi penanaman modal, perlindungan, promosi dan fasilitasi penanaman modal; liberalisasi penanaman modal secara progresif dalam rangka menciptakan lingkungan penanaman modal yang bebas dan terbuka di kawasan ini; memberikan manfaat bagi para penanam modal dan penanaman modalnya yang berbasis di ASEAN; menjamin dan memberikan perlakuan preferensial antar Negara-negara Anggota; tidak ada langkah mundur terhadap komitmen-komitmen yang dibuat berdasarkan Persetujuan AIA dan ASEAN IGA; memberikan perlakuan khusus dan membedakan serta fleksibilitas-fleksibilitas lainnya kepada Negara-negara Anggota, bergantung pada tingkat pembangunan dan sensitivitas sektoralnya; perlakuan timbal balik dalam penikmatan konsesi diantara Negara-negara Anggota, apabila sesuai; dan mengakomodasi perluasan lingkup Persetujuan ini untuk mencakup sektor-sektor lainnya di masa mendatang. Pasal 3 Lingkup Penerapan 1. Persetujuan ini wajib berlaku terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau diterapkan oleh suatu Negara Anggota terkait dengan: (a) para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya; dan (b) penanaman modal, di wilayahnya, para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya. 2. Persetujuan ini wajib berlaku terhadap penanaman modal yang telah ada pada tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini, serta untuk penanaman modal yang dibuat sesudah berlakunya Persetujuan ini. 3. Untuk maksud liberalisasi dan tunduk pada Pasal 9 (Persyaratan-persyaratan), Persetujuan ini wajib berlaku untuk sektor-sektor berikut ini: (a) fabrikasi; (b) pertanian; 3

4 (c) (d) (e) (f) (g) perikanan; kehutanan; pertambangan dan penggalian; jasa-jasa yang terkait dengan sektor-sektor fabrikasi, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan dan penggalian; dan setiap sektor lainnya, sebagaimana dapat disepakati oleh semua Negara Anggota. 4. Persetujuan ini wajib tidak berlaku untuk: (a) setiap kebijakan perpajakan, kecuali Pasal 13 (Transfer) dan Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi); (b) subsidi atau hibah yang diberikan oleh suatu Negara Anggota; (c) pengadaan barang oleh pemerintah; (d) jasa-jasa yang dipasok dalam pelaksanaan kewenangan pemerintah oleh badan atau otoritas yang berwenang dari suatu Negara Anggota. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, jasa yang dipasok dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan adalah setiap jasa yang dipasok bukan berdasarkan komersil tidak juga dalam rangka persaingan dengan satu atau lebih pemasok jasa; dan (e) kebijakan-kebijakan yang diterapkan atau dipertahankan oleh suatu Negara Anggota yang mempengaruhi perdagangan jasa berdasarkan Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di bidang Jasa, yang ditandatangani di Bangkok, Thailand, pada tanggal 15 Desember 1995 ( AFAS ). 5. Meskipun telah diatur pada sub-ayat 4 (e), untuk maksud perlindungan penanaman modal berkenaan dengan moda kehadiran komersial dari pemasokan jasa, Pasal 11 (Perlakuan terhadap Penanaman Modal), Pasal 12 (Kompensasi pada Kasus Kerusuhan), Pasal 13 (Transfer), Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi) dan Pasal 15 (Subrogasi) serta Bagian B (Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal antara Penanam Modal dan Negara Anggota), wajib berlaku secara mutatis mutandis, untuk setiap kebijakan yang mempengaruhi pemasokan jasa oleh pemasok jasa dari suatu Negara Anggota melalui kehadiran komersial di wilayah Negara Anggota lainnya, tetapi hanya sepanjang yang terkait dengan penanaman modal dan kewajiban berdasarkan Persetujuan ini, tanpa memperhatikan apakah sektor jasa dimaksud terjadwal dalam jadwal komitmen Negara-negara Anggota yang dibuat berdasarkan AFAS atau tidak. 4

5 6. Tidak satupun dalam persetujuan ini wajib mempengaruhi hak dan kewajiban setiap Negara Anggota berdasarkan setiap konvensi perpajakan. Dalam hal terjadi ketidakkonsistenan antara persetujuan ini dan konvensi dimaksud, konvensi dimaksud yang wajib berlaku sepanjang ketidakkonsistenannya. Pasal 4 Definisi Untuk maksud Persetujuan ini: (a) penanaman modal yang dilindungi, berdasarkan suatu Negara Anggota, adalah penanaman modal yang dilakukan di wilayah Negara Anggota tersebut oleh penanam modal dari Negara Anggota lainnya, baik yang sudah ada sejak mulai berlakunya Persetujuan ini, atau didirikan, disetujui atau diperluas kemudian, dan telah diakui berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan serta kebijakan-kebijakan nasional Negara Anggota tersebut, dan apabila sesuai, secara khusus disetujui secara tertulis 1 oleh otoritas yang berwenang dari suatu Negara Anggota. (b) mata uang yang dapat digunakan secara bebas adalah mata uang yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional ( IMF ) berdasarkan Pasal-Pasal dari Persetujuannya dan setiap perubahan-perubahannya kemudian; (c) penanaman modal 2 adalah setiap jenis aset, yang dimiliki atau dikendalikan, oleh penanam modal, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (i) benda bergerak dan benda tidak bergerak serta hak-hak kebendaan lainnya seperti hipotik, hak gadai atau jaminan gadai; (ii) saham-saham, stocks, surat-surat obligasi dan surat-surat utang perusahaan dan setiap bentuk keikutsertaan dalam suatu badan hukum dan hak-hak atau bunga yang diperoleh daripadanya; (iii) hak kekayaan intelektual yang diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari masing-masing Negara Anggota; (iv) klaim atas uang atau atas setiap pelaksanaan kontrak yang terkait dengan suatu usaha dan 1 Untuk maksud perlindungan, tata cara terkait dengan persetujuan tertulis khusus wajib memenuhi seperti diatur dalam Lampiran 1 (Persetujuan Tertulis). 2 Apabila suatu aset tidak memenuhi karakteristik dari suatu penanaman modal, maka aset tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu penanaman modal apapun bentuknya. Karakteristik dari suatu penanaman modal meliputi komitmen modal, harapan keuntungan atau laba, atau asumsi risiko. 5

6 memiliki nilai keuangan; 3 (v) hak-hak berdasarkan kontrak, termasuk kontrak terima jadi (turnkey), kontrak pembangunan, kontrak pengelolaan, kontrak produksi atau kontrak bagi hasil; dan (vi) konsesi usaha yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi dan memiliki nilai keuangan yang diberikan berdasarkan hukum atau berdasarkan suatu kontrak, termasuk setiap konsesi untuk mencari, mengolah, mengambil atau mengusahakan sumber daya alam. Istilah penanaman modal juga mencakup jumlah yang dihasilkan dari penanaman modal, terutama laba, bunga, keuntungan modal, dividen, royalti dan biaya. Setiap perubahan bentuk dimana aset yang ditanamkan atau ditanamkan kembali wajib tidak mempengaruhi penggolongannya sebagai penanaman modal; (d) penanam modal adalah orang perseorangan dari suatu Negara Anggota atau suatu badan hukum dari suatu Negara Anggota yang sedang melakukan atau telah melakukan suatu penanaman modal di wilayah setiap Negara Anggota lainnya; (e) badan hukum adalah setiap entitas hukum yang didirikan secara sah atau sebaliknya diselenggarakan berdasarkan hukum yang berlaku dari suatu Negara Anggota, baik bertujuan untuk memperoleh laba maupun sebaliknya, dan baik yang dimiliki oleh swasta atau dimiliki oleh pemerintah, termasuk setiap enterprise, korporasi, trust, kemitraan, usaha patungan, kepemilikan tunggal, asosiasi, atau organisasi; (f) kebijakan adalah setiap kebijakan dari suatu Negara Anggota, baik yang berbentuk hukum, peraturan, aturan, prosedur, keputusan, dan tindakan-tindakan atau kebiasaan administratif, yang telah diterima atau dipertahankan oleh: (i) pemerintah atau lembaga berwenang di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota; atau (ii) badan-badan nonpemerintah dalam pelaksanaan kekuasaan yang didelegasikan oleh pemerintah atau lembaga berwenang di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota; (g) orang perseorangan adalah setiap orang perseorangan yang memiliki kebangsaan atau kewarganegaraan dari, atau hak tinggal tetap di Negara Anggota sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan nasionalnya ; (h) Negara Anggota ASEAN Baru adalah Kerajaan Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, Uni Myanmar, dan Republik Sosialis Vietnam; 3 Untuk kepastian yang lebih baik, penanaman modal tidak berarti klaim atas uang yang timbul semata-mata dari: (a) kontrak komersial untuk penjualan barang atau jasa; atau (b) perpanjangan pemberian kredit sehubungan dengan kontrak komersial tersebut. 6

7 (i) WTO adalah Organisasi Perdagangan Dunia; dan (j) Persetujuan WTO adalah Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang dibuat di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, sebagaimana mungkin telah diubah. Pasal 5 Perlakuan Nasional 1. Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan,, dalam keadaan yang serupa, seperti yang diberikan kepada para penanam modalnya sendiri berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya di wilayahnya. 2. Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada penanaman modal dari para penanam modal setiap Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan, dalam keadaan serupa, bagi penanaman modal di wilayah para penanaman modalnya sendiri berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya. Pasal 6 Perlakuan yang Sama 4 1. Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya perlakuan yang tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan, dalam keadaan yang serupa, kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya atau suatu Negara bukan Anggota berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya.. 4 Untuk kepastian yang lebih baik: (a) Pasal ini wajib tidak berlaku untuk prosedur penyelesaian sengketa antara penanam modal-negara yang berlaku dalam perjanjian-perjanjian lainnya di mana Negara pihak merupakan pihak di dalamnya; dan (b) terkait dengan penanaman modal yang termasuk di dalam lingkup Persetujuan ini, setiap perlakuan preferensial yang diberikan oleh suatu Negara Anggota kepada penanam modal dari setiap pihak lainnya wajib diperluas berdasarkan prinsip perlakuan yang sama bagi seluruh Negara Anggota. 7

8 2. Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada penanaman modal yang dilakukan oleh para penanam modal dari Negara Anggota lainnya perlakuan tidak kurang menguntungkan dengan yang diberikan oleh Negara Anggota tersebut, dalam keadaan yang serupa, terhadap penanaman modal yang dilakukan di wilayahnya oleh para penanam modal Negara Anggota lain atau suatu Negara bukan Anggota berkenaan dengan perijinan, pendirian, pengambilalihan, perluasan, pengelolaan, pelaksanaan, pengoperasian dan penjualan atau pelepasan penanaman modal lainnya. 3. Ayat 1 dan 2 wajib tidak diartikan sedemikian rupa sehingga mewajibkan suatu Negara Anggota untuk memperluas kepada para penanam modal atau penanaman modal dari Negara-negara Anggota lainnya manfaat dari setiap perlakuan, preferensi atau keutamaan yang dihasilkan dari: (a) setiap pengaturan sub-regional antara dan antar yang dibuat diantara Negara-negara Anggota; 5 atau (b) setiap perjanjian yang telah ada sebagaimana yang telah diberitahukan oleh Negara-negara Anggota kepada Dewan AIA sesuai dengan Pasal 8 ayat 3 Persetujuan AIA. 6 Pasal 7 Larangan terhadap Persyaratan Pelaksanaan 1. Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan mengenai Kebijakan-kebijakan Penanaman Modal yang terkait dengan Perdagangan dalam Lampiran 1A dari Persetujuan WTO ( TRIMS ), yang tidak disebut secara spesifik dalam atau dimodifikasi dalam Persetujuan ini, wajib berlaku, secara mutatis mutandis, terhadap Persetujuan ini. 2. Negara-negara Anggota wajib melaksanakan penilaian bersama terhadap persyaratan pelaksanaan tidak lebih dari 2 tahun sejak tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini. Tujuan dari penilaian dimaksud wajib meliputi peninjauan kembali persyaratan pelaksanaan yang telah ada dan mempertimbangkan kebutuhan untuk komitmen-komitmen tambahan berdasarkan Pasal ini. 5 Untuk kepastian yang lebih baik, pengaturan-pengaturan sub-regional antara dan diantara Negara-negara Anggota wajib meliputi tetapi tidak terbatas pada Greater Mekong Sub-region atau GMS, ASEAN Mekong Basin Development Cooperation atau AMBDC, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle atau IMT-GT, Indonesia-Malaysia-Singapura Growth Triangle IMS-GT, Brunei-Indonesia-Malaysia-Filipina East ASEAN Growth Area atau BIMP-EAGA. 6 Subayat ini merujuk pada Traktat Persahabatan dan Hubungan Ekonomi antara Kerajaan Thailand dan Amerika Serikat yang ditandatangani di Bangkok, Thailand tanggal 29 Mei

9 3. Negara-negara ASEAN yang bukan Anggota WTO wajib mematuhi ketentuan-ketentuan WTO sesuai dengan komitmen aksesinya terhadap WTO. Pasal 8 Manajemen Senior dan Dewan Direksi 1. Suatu Negara Anggota wajib tidak mensyaratkan bahwa suatu badan hukum dari Negara Anggota tersebut untuk menunjuk posisi pengelola senior, orang perseorangan dari setiap kewarganegaraan tertentu. 2. Suatu Negara Anggota dapat mensyaratkan bahwa mayoritas dari dewan direksi dari suatu badan hukum di Negara Anggota tersebut, merupakan kewarganegaraan tertentu, atau penduduk di wilayah Negara Anggota tersebut, dengan syarat bahwa persyaratan ini tidak menghalangi secara material kemampuan penanam modal untuk melaksanakan pengendalian atas penanaman modalnya. Pasal 9 Pensyaratan 1. Pasal 5 (Perlakuan Nasional) dan Pasal 8 (Manajemen Senior dan Dewan Direksi) wajib tidak berlaku terhadap: (a) setiap kebijakan yang ada, yang dipertahankan oleh suatu Negara Anggota pada: (i) pemerintah tingkat pusat, sebagaimana ditentukan oleh Negara Anggota tersebut dalam daftar pensyaratannya dalam Jadwal sebagaimana dirujuk pada ayat 2; (ii) pemerintah tingkat provinsi, sebagaimana ditentukan oleh Negara Anggota tersebut dalam daftar pensyaratannya dalam Jadwal sebagaimana dirujuk pada ayat 2; dan (iii) pemerintah tingkat kabupaten/kota; (b) kelanjutan atau pembaharuan segera dari setiap pensyaratan sebagimana dirujuk pada subayat (a). 2. Masing-masing Negara Anggota wajib menyerahkan daftar pensyaratannya kepada Sekretariat ASEAN untuk mendapatkan pengesahan oleh Dewan AIA dalam waktu 6 bulan setelah penandatanganan Persetujuan ini. Daftar ini wajib merupakan bagian dari Jadwal pada Persetujuan ini. 9

10 3. Setiap perubahan atau modifikasi terhadap setiap pensyaratan sebagaimana tercantum dalam Jadwal yang dirujuk pada ayat 2 wajib sesuai dengan Pasal 10 (Modifikasi Komitmen). 4. Masing-masing Negara Anggota wajib mengurangi atau menghapuskan pensyaratanpensyaratan sebagimana diuraikan dalam Jadwal dimaksud sesuai dengan tiga tahapan Jadwal Strategis Cetak Biru AEC dan Pasal 46 (Perubahan). 5. Pasal 5 (Perlakuan Nasional) dan Pasal 6 (Perlakuan yang Sama) wajib tidak berlaku untuk setiap kebijakan yang dicakup dengan suatu pengecualian untuk atau penyimpangan dari, kewajibankewajiban berdasarkan Pasal 3 dan 4 dari Persetujuan mengenai Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual terkait dengan Perdagangan dalam Lampiran 1C dari Persetujuan WTO, sebagaimana mungkin telah diubah ( Persetujuan TRIPS ), sebagaimana diatur secara spesifik dalam Pasal-Pasal tersebut dari Pasal 5 dari Persetujuan TRIPS. Pasal 10 Modifikasi Komitmen 1. Selama jangka waktu 12 bulan setelah tanggal penyampaian masing-masing daftar pensyaratan Negara Anggota, suatu Negara Anggota dapat menerapkan setiap kebijakan atau memodifikasi setiap pensyaratannya yang dibuatnya dalam Jadwal berdasarkan Pasal 9 (Pensyaratan) untuk pemberlakuan yang menjanjikan bagi para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya dan penanaman modalnya, dengan syarat bahwa kebijakan-kebijakan atau modifikasi dimaksud wajib tidak berdampak sebaliknya bagi setiap penanam modal dan penanaman modal yang telah ada. 2. Setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dirujuk pada ayat 1, suatu Negara Anggota dapat melalui perundingan dan kesepakatan dengan setiap Negara Anggota lainnya yang telah membuat komitmen-komitmen berdasarkan Persetujuan ini, menerapkan setiap kebijakan atau memodifikasi atau menarik komitmen-komitmen dan pensyaratan-pensyaratan dimaksud, dengan syarat 10

11 bahwa kebijakan, modifikasi atau penarikan dimaksud wajib tidak berdampak sebaliknya bagi setiap penanam modal atau penanaman modal yang telah ada Dalam setiap perundingan dan perjanjian yang dimaksud pada ayat 2, yang dapat memuat ketentuan-ketentuan untuk penyesuaian kompensasi berkenaan dengan sektor-sektor lainnya, Negaranegara Anggota yang terkait wajib mempertahankan suatu tingkat umum timbal balik dan komitmenkomitmen saling menguntungkan serta pensyaratan-pensyaratan yang tidak kurang menguntungkan bagi para penanam modal dan penanaman modal daripada yang diberikan dalam Persetujuan ini sebelum perundingan-perundingan dan perjanjian-perjanjian dimaksud. 4. Meskipun telah diatur pada ayat 1 dan 2, suatu Negara Anggota wajib tidak,, berdasarkan setiap kebijakan yang diterapkan sesuai dengan Pasal ini setelah mulai berlakunya Persetujuan ini, mensyaratkan penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya dengan alasan kewarganegaraan penanam modal dimaksud, untuk menjual atau sebaliknya melepas suatu penanaman modal yang telah ada pada saat kebijakan tersebut berlaku efektif, kecuali diuraikan sebaliknya dalam persetujuan awal oleh lembaga-lembaga berwenang yang relevan. Pasal 11 Perlakuan terhadap Penanaman Modal 1. Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan perlakuan yang adil dan seimbang dan perlindungan dan keamanan sepenuhnya bagi penanaman modal yang dilindungi dari para penanam modal setiap Negara Anggota lainnya..penanaman modal yang dilindungi 2. Untuk kepastian yang lebih baik: (a) perlakuan yang adil dan seimbang, mensyaratkan masing-masing Negara Anggota untuk tidak menolak keadilan dalam setiap proses hukum atau administratif sesuai dengan prinsip proses yang berlaku; dan (b) perlindungan dan keamanan sepenuhnya mensyaratkan masing-masing Negara Anggota untuk mengambil tindakan-tindakan dimaksud sebagaimana mungkin diperlukan untuk 7 Untuk menghindari keraguan, Negara-negara Anggota wajib tidak menerima setiap kebijakan atau memodifikasi setiap pensyaratannya berdasarkan Jadwal selama jangka waktu 6 bulan setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana diuraikan pada ayat 1. 11

12 memastikan dilindungi. perlindungan dan keamanan sepenuhnya bagi penanaman modal yang 3. Suatu penetapan bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan lainnya dari Persetujuan ini, atau suatu perjanjian internasional yang terpisah, tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu pelanggaran terhadap Pasal ini. Pasal 12 Kompensasi dalam Kasus Kerusuhan Masing-masing Negara Anggota wajib memberikan kepada para penanam modal dari setiap Negara Anggota lainnya, terkait dengan penanaman modal yang dilindungi, yang mengalami kerugian di wilayahnya karena konflik bersenjata atau kerusuhan sipil atau negara dalam keadaan darurat, perlakuan nondiskriminasi terkait dengan restitusi, kompensasi atau pertimbangan bernilai lainnya. Pasal 13 Transfer 1. Masing-masing Negara Anggota wajib mengijinkan semua transfer terkait dengan suatu penanaman modal yang dilindungi yang akan dilakukan secara bebas dan tanpa penundaan, ke dalam atau ke luar wilayahnya. Tranfer-transfer tersebut meliputi: (a) kontribusi terhadap modal, termasuk kontribusi awal; (b) laba, keuntungan modal, dividen, royalti, biaya perijinan, biaya bantuan teknis dan biaya teknis dan pengelolaan, bunga dan pendapatan terkini lainnya yang berasal dari setiap penanaman modal yang dilindungi; (c) hasil dari penjualan atau likuidasi penanaman modal yang dilindungikeseluruhan atau sebagian setiap penanaman modal yang dilindungi; (d) pembayaran-pembayaran yang dilakukan berdasarkan suatu kontrak, termasuk perjanjian pinjaman; (e) pembayaran-pembayaran yang sesuai dengan Pasal 12 (Kompensasi dalam Kasus Kerusuhan) dan Pasal 14 (Pengambilalihan dan Kompensasi); (f) pembayaran-pembayaran yang timbul dari penyelesaian suatu sengketa dengan setiap cara, termasuk pengadilan, arbitrase atau kesepakatan para Negara Anggota yang sedang 12

13 (g) bersengketa; dan penghasilan dan pendapatan lainnya dari personel yang dipekerjakan dan diijinkan untuk bekerja sehubungan dengan penanaman modal yang dilindungi di wilayahnya. 2. Masing-masing Negara Anggota wajib mengijinkan transfer yang terkait dengan suatu penanaman modal yang dilindungi yang akan dilakukan dalam mata uang yang dapat digunakan secara bebas pada nilai tukar pasar yang sedang berlaku pada saat transfer dimaksud. 3. Meskipun telah diatur pada ayat 1 dan 2, suatu Negara Anggota dapat mencegah atau menunda suatu transfer melalui penerapan yang seimbang, nondiskriminasi dan itikad baik, dari peraturan perundang-undangannya yang terkait dengan: (a) kepailitan, kebangkrutan, atau perlindungan terhadap hak-hak para kreditor; (b) penerbitan, perdagangan atau penanganan surat berharga, efek berjangka, opsi-opsi, atau turunan-turunannya; (c) kejahatan atau pelanggaran dan pemulihan terhadap proses kejahatan dimaksud; (d) laporan keuangan atau penyimpanan catatan tentang transfer-transfer apabila diperlukan untuk membantu aparat penegak hukum atau lembaga-lembaga yang berwenang mengatur keuangan; (e) memastikan kepatuhan terhadap perintah-perintah atau putusan-putusan dalam proses hukum atau administratif; (f) perpajakan; (g) jaminan sosial, pensiun PNS, atau skema tabungan wajib; (h) hak-hak pesangon karyawan; dan (i) pensyaratan untuk mendaftar dan memenuhi formalitas lainnya yang dibebankan oleh Bank Sentral dan lembaga-lembaga berwenang relevan lainnya dari suatu Negara Anggota. 4. Tidak ada satupun dalam Persetujuan ini wajib mempengaruhi hak dan kewajiban Negara-negara Anggota sebagai anggota IMF, berdasarkan Pasal-Pasal Persetujuan IMF, termasuk penggunaan tindakan-tindakan pertukaran yang sesuai dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF, dengan syarat bahwa suatu Negara Anggota wajib tidak membebankan pembatasan, pada setiap transaksi modal yang tidak konsisten dengan komitmen-komitmen spesifik berdasarkan Persetujuan ini berkenaan dengan transaksi-transaksi dimaksud, kecuali: (a) atas permintaan dari IMF; 13

14 (b) (c) berdasarkan Pasal 16 (Kebijakan untuk Mengamankan Neraca Pembayaran); atau apabila, dalam keadaan pengecualian, perpindahan modal menyebabkan, atau mengancam menyebabkan, gangguan serius terhadap perekonomian atau keuangan pada Negara Anggota yang bersangkutan. 5. Kebijakan-kebijakan dimaksud sesuai dengan subayat 4(c) 8 : (a) wajib konsisten dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF; (b) wajib tidak melebihi kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan-keadaan yang diuraikan dalam subayat 4(c); (c) wajib bersifat sementara dan wajib dihapuskan sesegera mungkin keadaan-keadaan yang tidak lagi membenarkan penggunaan atau kelangsungannya; (d) wajib dengan segera diberitahukan kepada Negara-negara Anggota lainnya; (e) wajib diterapkan sedemikian rupa sehingga setiap Negara Anggota lainnya yang diperlakukan tidak lebih menguntungkan daripada setiap Negara Anggota lainnya atau negara yang bukan Anggota; (f) wajib diterapkan berdasarkan suatu prinsip Perlakuan Nasional; dan (g) wajib menghindari kerugian yang tidak perlu bagi para penanam modal dan penanaman modal yang dilindungi, serta kepentingan komersial, ekonomi dan keuangan dari Negaranegara Anggota lainnya. Pasal 14 Pengambilalihan dan Kompensasi 9 1. Suatu Negara Anggota wajib tidak mengambilalih atau menasionalisasi suatu penanaman modal yang dilindungi baik secara langsung maupun dengan kebijakan-kebijakan yang setara dengan pengambilalihan atau nasionalisasi ( pengambilalihan ), 10 kecuali: (a) untuk kepentingan umum; 8 Untuk kepastian yang lebih baik, setiap kebijakan yang dilakukan untuk memastikan stabilitas nilai tukar, termasuk untuk mencegah aliran modal spekulatif, wajib tidak diterima atau dipertahankan untuk maksud melindungi suatu sektor tertentu. 9 Pasal ini wajib dibaca dengan Lampiran 2 (Pengambilalihan dan Kompensasi). 10 Untuk menghindari keraguan, setiap kebijakan pengambilalihan yang terkait dengan tanah wajib ditetapkan dalam masingmasing peraturan perundang-undangan dalam negeri Negara Anggota dan setiap perubahan daripadanya, serta wajib untuk maksud-maksud dan berdasarkan pembayaran kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimaksud. 14

15 (b) (c) (d) dengan cara yang nondiskriminasi; berdasarkan pembayaran kompensasi yang segera, memadai, dan efektif; dan sesuai dengan proses hukum yang berlaku. 2. Kompensasi sebagaimana dirujuk pada subayat 1(c) wajib: (a) dibayar tanpa penundaan; 11 (b) setara dengan nilai pasar yang adil dari penanaman modal yang dialihkan segera sebelum atau pada saat ketika pengambilalihan diumumkan kepada publik, atau ketika pengambilalihan dilakukan yang mana yang dapat diterapkan. (c) tidak mencerminkan setiap perubahan nilai karena pengambilalihan yang diinginkan telah diketahui lebih awal; dan (d) dapat diwujudkan sepenuhnya dan dapat ditransfer secara bebas sesuai dengan Pasal 13 (Transfer) antara wilayah-wilayah Negara Anggota. 3. Dalam hal terjadi penundaan, kompensasi dimaksud wajib meliputi suatu bunga yang pantas sesuai dengan peraturan perundang-undangan Negara Anggota yang melakukan pengambilalihan dimaksud. Kompensasi tersebut, termasuk setiap bunga yang terhutang, wajib dapat dibayar baik dalam mata uang dimana penanaman modal dimaksud dilakukan pertama kali atau apabila diminta oleh penanam modal tersebut, dalam mata uang yang dapat digunakan secara bebas. 4. Apabila suatu penanam modal meminta pembayaran dalam suatu mata uang yang dapat digunakan secara bebas, kompensasi sebagaimana dirujuk pada subayat 1(c), termasuk setiap bunga yang terhutang, wajib dipertukarkan ke dalam mata uang pembayaran sesuai dengan nilai tukar pasar yang berlaku pada tanggal pembayaran tersebut. 5. Pasal ini wajib tidak berlaku untuk penerbitan perijinan-perijinan yang diberikan terkait dengan hak kekayaan intelektual sesuai dengan Persetujuan TRIPS. Pasal 15 Subrogasi 11 Negara-negara Anggota memahami bahwa mungkin proses hukum dan administratif yang perlu dipenuhi sebelum pembayaran dapat dilakukan. 15

16 1. Apabila suatu Negara Anggota atau suatu badan dari suatu Negara Anggota melakukan pembayaran kepada penanam modal dari Negara Anggota tersebut berdasarkan suatu jaminan, kontrak asuransi atau bentuk ganti rugi lainnya yang telah diberikan berdasarkan risiko nonkomersial berkenaan dengan suatu penanaman modal, Negara Anggota lainnya wajib mengakui subrogasi tersebut atau transfer setiap hak atau hak milik berkenaan dengan penanaman modal tersebut. Hak atau klaim yang disubrogasikan atau ditransfer wajib tidak lebih besar daripada hak atau klaim asal dari penanam modal tersebut. Namun demikian, hal ini tidak menyiratkan pengakuan dari Negara Anggota tersebut terhadap putusan dari setiap kasus atau jumlah klaim yang timbul daripadanya. 2. Apabila suatu Negara Anggota atau suatu badan dari suatu Negara Anggota telah melakukan pembayaran kepada penanam modal dari Negara Anggota tersebut dan telah mengambil alih semua hak dan klaim penanam modal tersebut, penanam modal tidak dapat, kecuali diberikan kewewenangan untuk bertindak atas nama Negara Anggota atau badan dari Negara Anggota yang melakukan pembayaran, mengajukan hak dan klaim terhadap Negara Anggota lainnya tersebut. 3. Dalam pelaksanaan hak-hak atau klaim-klaim yang disubrogasikan, suatu Negara anggota atau badan dari Negara Anggota yang mengajukan hak-hak atau klaim-klaim tersebut wajib mengungkapkan lingkup pengaturan klaim dengan para penanam modalnya kepada Negara Anggota yang relevan dimaksud. Pasal 16 Kebijakan untuk Mengamankan Neraca Pembayaran 1. Dalam hal terjadi kesulitan neraca pembayaran dan keuangan eksternal yang serius atau ancaman terhadapnya, suatu Negara Anggota dapat menerima atau mempertahankan pembatasan pembayaran atau transfer yang terkait dengan penanaman modal. Diakui bahwa tekanan-tekanan tertentu pada neraca pembayaran dari suatu Negara Anggota dalam proses pembangunan ekonomi dapat memerlukan penggunaan pembatasan untuk memastikan, antara lain, terjaganya tingkat cadangan keuangan yang memadai untuk pelaksanaan program pembangunan ekonominya. 2. Pembatasan sebagaimana dirujuk pada ayat 1 wajib: (a) konsisten dengan Pasal-Pasal Persetujuan IMF. 16

17 (b) (c) (d) (e) menghindari kerugian yang tidak perlu terhadap kepentingan-kepentingan komersial, ekonomi, dan keuangan dari Negara Anggota lainnya; tidak melebihi dari yang diperlukan untuk menangani keadaan-keadaan sebagaimana diuraikan pada ayat 1; bersifat sementara dan akan dihapuskan secara bertahap seiring dengan membaiknya situasi sebagaimana diuraikan pada ayat 1; diterapkan sedemikian rupa sehingga salah satu dari Negara Anggota lainnya dimaksud diperlakukan tidak kurang menguntungkan daripada yang diberikan kepada setiap Negara Anggota lainnya atau negara bukan Anggota. 3. Setiap pembatasan yang diterapkan atau dipertahankan berdasarkan ayat 1, atau setiap perubahannya, wajib dengan segera diberitahukan kepada Negara-negara Anggota lainnya. 4. Sepanjang pembatasan tersebut tidak mengulang proses berdasarkan dalam kerangka WTO, IMF, atau proses serupa lainnya, Negara Anggota yang menerapkan setiap pembatasan berdasarkan ayat 1 wajib memulai konsultasi dengan setiap Negara Anggota lainnya yang meminta konsultasi dimaksud dalam rangka untuk meninjau kembali pembatasan yang diterapkannya. Pasal 17 Pengecualian Umum 1. Dengan tunduk pada persyaratan bahwa kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan cara yang sewenang-wenang atau dengan cara diskriminatif yang tidak dapat dibenarkan diantara Negara-negara Anggota atau para penanam modal mereka apabila terjadi keadaan-keadaan serupa, atau merupakan suatu pembatasan terselubung terhadap para penanam modal dari Negara Anggota lain dan penanaman modal mereka, tidak satupun dalam Persetujuan ini wajib diartikan untuk menghalangi penerapan atau penegakan oleh setiap Negara Anggota terhadap kebijakan-kebijakan: (a) yang diperlukan untuk melindungi moral masyarakat atau untuk menjaga ketertiban umum; 12 (b) yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan; 12 Pengecualian tentang ketertiban umum dapat diminta oleh suatu Negara Anggota hanya apabila terdapat suatu ancaman nyata dan cukup serius terhadap kepentingan masyarakat yang mendasar. 17

18 (c) (d) (e) (f) yang diperlukan untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten dengan Persetujuan ini, termasuk yang berkaitan dengan: (i) pencegahan praktik-praktik penipuan dan kecurangan untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya wanprestasi terhadap suatu kontrak; (ii) perlindungan terhadap privasi individu yang berkaitan dengan pengolahan dan penyebarluasan data pribadi dan perlindungan terhadap kerahasiaan catatan-catatan dan rekening-rekening individu; (iii) keselamatan; yang ditujukan untuk memastikan pengenaan atau pemungutan pajak langsung yang adil atau efektif 13 berkenaan dengan penanaman modal atau penanam modal dari setiap Negara Anggota; yang dibebankan untuk perlindungan kekayaan-kekayaan negara yang memiliki nilai seni, sejarah atau arkeologis; yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, apabila kebijakan-kebijakan dimaksud diberlakukan seiring dengan pembatasanpembatasan terhadap produksi atau konsumsi dalam negeri. 2. Sepanjang menyangkut kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pemberian jasa-jasa keuangan, ayat 2 (Peraturan Dalam Negeri) dari Lampiran tentang Jasa-jasa Keuangan dari Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa dalam Lampiran 1B dari Persetujuan WTO ( Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa atau GATS ) wajib dimasukkan kedalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini, secara mutatis mutandis. Pasal 18 Pengecualian Keamanan Tidak satupun dalam Persetujuan ini wajib diartikan: (a) mensyaratkan setiap Negara Anggota untuk memberikan setiap informasi, yang pengungkapkannya dinilai bertentangan dengan kepentingan-kepentingan keamanan utamanya; atau 13 Untuk maksud subayat ini, catatan kaki nomor 6 Pasal 14 Persetujuan Umum tentang Perdagangan di Bidang Jasa dalam Lampiran 1B pada Persetujuan WTO (GATS) dimasukkan kedalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini, secara mutatis mutandis. 18

19 (b) (c) mencegah setiap Negara Anggota untuk melakukan setiap tindakan yang dianggap perlu untuk perlindungan kepentingan-kepentingan keamanan utamanya, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (i) tindakan yang terkait dengan bahan nuklir yang dapat difisikan atau difusikan atau bahanbahan turunannya; (ii) tindakan yang terkait dengan lalu lintas senjata, amunisi, dan peralatan perang dan lalu lintas barang dan bahan-bahan lainnya yang diangkut secara langsung atau tak langsung dengan maksud untuk memasok pendirian suatu markas militer; (iii) tindakan yang diambil pada waktu perang atau keadaan darurat lainnya terkait dengan hubungan dalam negeri atau internasional; (iv) tindakan yang diambil sedemikian rupa untuk melindungi prasarana publik yang sangat penting, termasuk prasarana komunikasi, listrik dan air, dari upaya-upaya sengaja yang dimaksudkan untuk melumpuhkan atau menurunkan kemampuan prasarana dimaksud; atau mencegah setiap Negara Anggota dalam melakukan setiap tindakan sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Pasal 19 Penolakan Manfaat 1. Suatu Negara Anggota dapat menolak manfaat-manfaat dari Persetujuan ini kepada: (a) penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud apabila penanam modal dari Negara yang bukan Negara Anggota memiliki atau mengendalikan badan hukum dan badan hukum tersebut tidak memiliki operasi usaha yang substantif di wilayah Negara Anggota lainnya tersebut; (b) penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud apabila penanam modal dari Negara Anggota yang menolak memiliki atau mengendalikan badan hukum dan badan hukum dimaksud tidak memiliki operasi usaha yang substantif di wilayah Negara Anggota lainnya tersebut; dan (c) penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang merupakan badan hukum dari Negara Anggota lainnya tersebut dan pada penanaman modal dari penanam modal dimaksud 19

20 apabila penanam modal dari suatu Negara bukan Anggota memiliki atau mengendalikan badan hukum, dan Negara Anggota yang menolak tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Negara bukan Anggota dimaksud. 2. Setelah adanya pemberitahuan kepada Negara Anggota dari penanam modal dimaksud, dan tanpa mengurangi arti dari ayat 1, suatu Negara Anggota dapat menolak manfaat-manfaat dari Persetujuan ini kepada penanam modal dari Negara Anggota lainnya dan pada penanaman modal dari penanam modal tersebut, apabila diartikan bahwa penanam modal tersebut telah melakukan penanaman modal yang melanggar hukum dalam negeri dari Negara Anggota yang menolak dengan membuktikan kepemilikannya di bidang-bidang penanaman modal yang diperuntukkan untuk orang perseorangan dan badan hukum dari Negara Anggota yang menolak tersebut. 3. Suatu Badan hukum adalah: (a) yang dimiliki oleh penanam modal sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan dalam negeri masing-masing Negara Anggota; (b) yang dikendalikan oleh penanam modal apabila penanam modal tersebut telah memiliki kuasa untuk menentukan mayoritas para direksinya atau sebaliknya yang menangani secara langsung secara sah. Pasal 20 Formalitas Khusus dan Pengungkapan Informasi 1. Tidak satupun dalam Pasal 5 (Perlakuan Nasional) atau Pasal 6 (Perlakuan yang Sama) wajib diartikan untuk mencegah suatu Negara Anggota menerapkan atau mempertahankan kebijakan yang menerapkan formalitas-formalitas khusus terkait dengan penanaman modal, termasuk suatu persyaratan bahwa penanaman modal yang diasumsikan berdasarkan hukum menurut peraturan perundang-undangan dari Negara Anggota dimaksud dan mematuhi persyaratan pendaftaran, dengan syarat bahwa formalitas-formalitas tersebut secara substansi tidak menghalangi hak yang diberikan oleh suatu Negara Anggota kepada para penanam modal dari Negara Anggota lainnya dan penanaman modal sesuai dengan Persetujuan ini. 2. Meskipun telah diatur pada Pasal 5 (Perlakuan Nasional) atau Pasal 6 (Perlakuan yang Sama), suatu Negara Anggota dapat meminta penanam modal dari Negara Anggota lainnya, atau penanaman 20

21 modal yang dilindungi, untuk memberikan informasi berkenaan dengan penanaman modal tersebut semata-mata untuk keperluan informasi atau statistik. Negara Anggota tersebut wajib melindungi setiap informasi rahasia dari setiap pengungkapan yang akan mengurangi keabsahan kepentingan komersial atau badan hukum tertentu, baik yang publik maupun swasta atau daya saing dari penanam modal tersebut atau penanaman modal yang dilindungi. Tidak satupun pada ayat ini wajib diartikan untuk menghalangi suatu Negara Anggota dari sebaliknya untuk menerima atau mengungkapkan informasi yang terkait dengan keseimbangan dan itikad baik dari penerapan hukumnya. Pasal 21 Transparansi 1. Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dalam Persetujuan ini, masing-masing Negara Anggota wajib: (a) dengan segera dan sekurang-kurangnya setiap tahun memberitahukan kepada Dewan AIA mengenai perjanjian-perjanjian atau pengaturan-pengaturan yang terkait dengan penanaman modal yang telah diberlakukan dan dimana perlakuan preferensial dimaksud telah diberikan; (b) dengan segera dan sekurang-kurangnya setiap tahun memberitahukan kepada Dewan AIA tentang pengenalan hukum baru atau perubahan yang dilakukan terhadap hukum, peraturan, atau pedoman administratif yang ada, yang berpengaruh secara signifikan terhadap penanaman modal atau komitmen-komitmen suatu Negara Anggota berdasarkan Persetujuan ini; (c) mempublikasikan semua hukum, peraturan, dan pedoman administratif yang berlaku secara umum yang sesuai dengan, atau mempengaruhi penanaman modal di wilayah Negara Anggota tersebut; dan (d) mendirikan atau menunjuk suatu badan pengaduan apabila, atas permintaan dari setiap orang perseorangan, badan hukum atau setiap Negara Anggota lainnya, semua informasi terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diminta untuk dipublikasikan atau disediakan berdasarkan subayat (b) dan (c) dapat diperoleh dengan segera. 2. Tidak satupun ketentuan dalam Persetujuan ini wajib meminta suatu Negara Anggota untuk memberikan atau mengijinkan akses terhadap setiap informasi rahasia, termasuk informasi berkenaan dengan penanam modal atau penanaman modal tertentu, pengungkapan yang akan menghalangi 21

22 penegakan hukum, atau sebaliknya bertentangan dengan kepentingan umum, atau yang akan mengurangi keabsahan kepentingan komersial dari suatu badan hukum tertentu, baik publik maupun swasta. Pasal 22 Izin Masuk, Tinggal Sementara dan Bekerja bagi Penanam modal dan Personil Kunci Berdasarkan hukum, peraturan, dan kebijakan nasional tentang imigrasi dan perburuhan yang terkait dengan izin masuk, tinggal sementara, izin untuk bekerja, dan konsisten dengan komitmenkomitmennya dalam AFAS, masing-masing Negara Anggota wajib memberikan izin masuk, tinggal sementara dan izin untuk bekerja bagi para penanam modal, eksekutif, manajer, dan anggota dewan direksi dari suatu badan hukum dari setiap Negara Anggota lainnya, dengan maksud untuk mendirikan, mengembangkan, mengelola, atau menyarankan pengoperasian, di wilayah Negara Anggota dimaksud terhadap penanaman modal yang mereka, atau suatu badan hukum dari Negara-negara Anggota lainnya mempekerjakan para eksekutif, manajer, dan anggota dewan direksinya, yang telah berkomitmen atau dalam proses berkomitmen untuk sejumlah modal yang substansial atau sejumlah sumber-sumber lainnya. Pasal 23 Perlakuan Istimewa dan Membedakan bagi Negara-Negara Anggota ASEAN Baru Dalam rangka meningkatkan manfaat-manfaat dari Persetujuan ini bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru, dan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan Pasal 1 (Tujuan) dan Pasal 2 (Prinsip-prinsip Pedoman), Negara-negara Anggota mengakui pentingnya memberikan perlakuan istimewa dan membedakan bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru, melalui: (a) bantuan teknis untuk memperkuat kapasitasnya terkait dengan kebijakan dan peningkatan penanaman modal, termasuk di bidang-bidang seperti pengembangan sumber daya manusia; (b) komitmen-komitmen di bidang-bidang yang menjadi kepentingan bagi Negara-negara Anggota ASEAN Baru; dan (c) mengakui bahwa komitmen-komitmen dari masing-masing Negara Anggota ASEAN Baru dapat dilakukan sesuai dengan tahap pembangunannya masing-masing. 22

23 Pasal 24 Peningkatan Penanaman Modal Negara-negara Anggota wajib bekerja sama dalam meningkatkan kesadaran ASEAN sebagai suatu kawasan penanaman modal terpadu dalam rangka meningkatkan penanaman modal asing ke dalam ASEAN dan penanaman modal intra ASEAN melalui, antara lain: (a) mendorong pertumbuhan dan pengembanganan Usaha Kecil dan Menengah serta enterprise multinasional di ASEAN; (b) meningkatkan industri pelengkap dan jaringan produksi diantara enterprise multinasional di ASEAN; (c) menyelenggarakan misi-misi penanaman modal yang memfokuskan pada pengembangan klaster-klaster regional dan jaringan-jaringan produksi; (d) menyelenggarakan dan mendukung penyelenggaraan berbagai penjelasan singkat dan seminarseminar mengenai peluang-peluang penanaman modal dan mengenai hukum, peraturan, dan kebijakan penanaman modal; dan (e) melaksanakan pertukaran isu-isu lainnya yang menjadi perhatian bersama terkait dengan peningkatan penanaman modal. Pasal 25 Fasilitasi Penanaman Modal Negara-negara Anggota wajib berusaha untuk bekerja sama dalam memfasilitasi penanaman modal kedalam dan diantara ASEAN melalui, antara lain: (a) menciptakan lingkungan yang diperlukan bagi semua bentuk penanaman modal; (b) merampingkan dan menyederhanakan prosedur-prosedur untuk pengajuan dan penyetujuan penanaman modal; (c) meningkatkan penyebarluasan informasi penanaman modal, termasuk aturan, peraturan, kebijakan dan prosedur penanaman modal; (d) mendirikan pusat penanaman modal satu atap; (e) memperkuat basis data mengenai semua bentuk penanaman modal bagi perumusan kebijakan untuk memperbaiki lingkungan penanaman modal ASEAN; (f) melakukan konsultasi dengan masyarakat usaha terkait dengan hal-hal penanaman modal; dan (g) menyediakan jasa konsultasi bagi masyarakat usaha dari Negara-negara Anggota lainnya. 23

24 Pasal 26 Meningkatkan Integrasi ASEAN Negara-negara Anggota mengakui pentingnya mempercepat integrasi ekonomi ASEAN melalui berbagai prakarsa, termasuk Prakarsa untuk Integrasi ASEAN, Integrasi Sektor-Sektor Prioritas, dan AEC, yang semuanya mencakup kerja sama di bidang penanaman modal. Dalam rangka untuk mendorong integrasi ekonomi ASEAN, Negara-negara Anggota wajib berusaha untuk, antara lain: (a) menyelaraskan, apabila mungkin, kebijakan-kebijakan penanaman modal dan tindakan-tindakan untuk mencapai industri pelengkap; (b) membangun dan memperkuat kapasitas Negara-negara Anggota, termasuk pengembangan sumber daya manusia, dalam merumuskan dan memperbaiki kebijakan penanaman modal untuk menarik penanaman modal; (c) berbagi infomasi mengenai kebijakan-kebijakan dan kebiasaan-kebiasaan terbaik di bidang penanaman modal, termasuk kegiatan-kegiatan dan industri-industri yang dipromosikan; dan (d) mendukung upaya-upaya peningkatan penanaman modal diantara Negara-negara Anggota untuk kemanfaatan bersama. Pasal 27 Penyelesaian Sengketa antara atau antar Negara Anggota Protokol ASEAN mengenai Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Ditingkatkan ditandatangani di Vientiane, Laos, pada tanggal 29 November 2004, sebagaimana telah diubah, wajib berlaku untuk penyelesaian sengketa berkenaan dengan penafsiran atau penerapan Persetujuan ini. BAGIAN B Penyelesaian Sengketa antara Penanam Modal dan suatu Negara Anggota Pasal 28 Definisi Untuk maksud Bagian ini: 24

25 (a) Lembaga Berwenang yang Menunjuk adalah: (i) dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (b) atau (c), Sekretaris Jenderal ICSID; (ii) dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (d), Sekretaris Jenderal Pengadilan Arbitrase Tetap; atau (iii) dalam hal arbitrase berdasarkan Pasal 33 subayat (1) (e) dan (f), Sekretaris Jenderal, atau seseorang yang menduduki jabatan yang setara dari pusat atau lembaga arbitrase dimaksud; (b) penanam modal yang bersengketa adalah penanam modal dari suatu Negara Anggota yang mengajukan klaim atas namanya sendiri berdasarkan Bagian ini, dan apabila relevan, termasuk penanam modal dari suatu Negara Anggota yang mengajukan klaim atas nama suatu badan hukum dari Negara Anggota lainnya dimana penanam modal memiliki atau mengendalikan; (c) Negara Anggota yang bersengketa adalah suatu Negara Anggota yang terhadapnya diajukan suatu klaim yang diajukan berdasarkan Bagian ini; (d) para pihak yang bersengketa adalah penanam modal yang bersengketa dan suatu Negara Anggota yang bersengketa; (e) ICSID adalah Pusat Internasional untuk Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal; (f) Aturan-Aturan Fasilitas Tambahan ICSID adalah Aturan-Aturan yang Mengatur Fasilitas Tambahan untuk Proses Administrasi oleh Sekretariat Pusat Internasional untuk Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal; (g) Konvensi ICSID adalah Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal antara Negara-negara dan Warga Negara dari Negara-negara lainnya, dibuat di Washington, D.C, Amerika Serikat, tanggal 18 Maret 1965; (h) Konvensi New York adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pengakuan dan Penegakan Putusan Arbitrase Luar Negeri, dibuat di New York, Amerika Serikat, tanggal 10 Juni 1958; 25

26 (i) Negara Anggota yang Tidak Bersengketa adalah Negara Anggota dari penanam modal yang sedang bersengketa; dan (j) Aturan-Aturan Arbitrase UNCITRAL adalah aturan-aturan arbitrase dari Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Perdagangan Internasional, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 15 Desember Pasal 29 Lingkup Cakupan 1. Bagian ini wajib berlaku untuk sengketa penanaman modal antara suatu Negara Anggota dan penanam modal dari Negara Anggota lainnya yang telah menyebabkan kehilangan atau kerugian berdasarkan dugaan pelanggaran terhadap setiap hak yang diberikan berdasarkan Persetujuan ini berkenaan dengan penanaman modal dari penanam modal tersebut. 2. Orang perseorangan yang memiliki kebangsaan atau kewarganegaraan dari suatu Negara Anggota wajib tidak dapat mengajukan suatu klaim terhadap Negara Anggota tersebut berdasarkan Bagian ini. 3. Bagian ini wajib tidak berlaku untuk klaim-klaim yang timbul dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, atau klaim-klaim yang telah diajukan sebelum mulai berlakunya Persetujuan ini. 4. Tidak satupun ketentuan dalam Bagian ini yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penanam modal yang bersengketa untuk mencari penyelesaian administrasi atau hukum yang berlaku didalam Negara dari suatu Negara Anggota yang bersengketa. Pasal 30 Konsiliasi 1. Para pihak yang bersengketa dapat setiap saat menyepakati untuk berkonsiliasi, yang dapat dimulai setiap saat dan diakhiri setiap saat atas permintaan penanam modal yang bersengketa. 26

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN DENMARK MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL Pembukaan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FEDERAL JERMAN TENTANG PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SINGAPURA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN THAILAND MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2002 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 34 TAHUN 1994 (34/1994) TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

MENGINGAT LEBIH LANJUT

MENGINGAT LEBIH LANJUT PERSETUJUAN PERDAGANGAN JASA DALAM PERSETUJUAN MENGENAI KERANGKA KERJA KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTARA PEMERINTAH NEGARA- NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN REPUBLIK KOREA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF FINLAND FOR THE PROMOTION

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya;

LAMPIRAN. Pasal 1 Definisi. Untuk maksud-maksud Persetujuan ini, kecuali konteksnya mensyaratkan sebaliknya; LAMPIRAN PERSETUJUAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 60/1994, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA

PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEDELAPAN DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA ASEAN DI BIDANG JASA Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997)

*46879 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 6 TAHUN 1997 (6/1997) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 6/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRATIK SRI LANKA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA QATAR MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 78/2004, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *51771 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 99, 2004 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 109/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK YAMAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *47909 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK PERANCIS MENGENAI KERJA SAMA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK PERANCIS MENGENAI KERJA SAMA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK PERANCIS MENGENAI KERJA SAMA ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL - 1 - Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Perancis

Lebih terperinci

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama)

REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS. Komitmen Jadwal Spesifik. (Untuk Paket Komitmen Pertama) PERSETUJUAN ASEAN-KOREA MENGENAI PERDAGANGAN JASA LAMPIRAN/SC1 REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT (RDR) LAOS Komitmen Jadwal Spesifik (Untuk Paket Komitmen Pertama) pkumham.go 1 LAOS- Jadwal Komitmen Spesifik Moda

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN TIMBAL BALIK PENANAMAN MODAL ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEPPRES 83/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 83/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN KEPPRES 83/1996, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 83 TAHUN 1996 (83/1996) Tanggal: 25 Oktober 1996

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia No.92, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Republik Rakyat Tiongkok. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Uzbekistan, selanjutnya

Lebih terperinci

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE CZECH REPUBLIC OF ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL JAKARTA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE KLRCA (Direvisi pada tahun 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada tahun 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK ASEAN

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK ASEAN MEMORANDUM SALNG PENGERTAN MENGENA JARNGAN TRANSMS TENAGA LSTRK ASEAN Pemerintah-pemerintah Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara yaitu; Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik ndonesia, Republik

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di Puket,

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA RUANG LINGKUP P3B Untuk mempermudah pemahaman pembaca tentang P3B, maka ruang lingkup P3B dengan menggunakan United Nations (UN) Model dikelompokkan sebagai

Lebih terperinci

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949 2 K-95 Konvensi Perlindungan Upah, 1949 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki

Lebih terperinci

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase Islam KLRCA Bagian I PERATURAN ARBITRASE ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) Bagian II PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) Bagian III SKEMA Bagian IV PEDOMAN UNTUK

Lebih terperinci

DAN REPUBLIK KOREA LAMPIRAN MENGENAI JASA KEUANGAN

DAN REPUBLIK KOREA LAMPIRAN MENGENAI JASA KEUANGAN PERSETUJUAN MENGENAI PERDAGANGAN JASA BERDASARKAN PERSETUJUAN KERANGKA KERJA KERJASAMA EKONOMI MENYELURUH ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA 1. Cakupan dan

Lebih terperinci

FASILITAS PENJAMINAN KREDIT DAN INVESTASI PASAL PERSETUJUAN

FASILITAS PENJAMINAN KREDIT DAN INVESTASI PASAL PERSETUJUAN FASILITAS PENJAMINAN KREDIT DAN INVESTASI PASAL PERSETUJUAN TANGGAL 27 NOVEMBER 2013 PASAL PERSETUJUAN FASILITAS PENJAMINAN KREDIT DAN INVESTASI (A) (B) (C) Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN)

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial 2 Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN SPANYOL UNTUK PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sejalan dengan retifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT

KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT KONVENSI TENTANG ORGANISASI SATELIT BERGERAK INTERNASIONAL YANG TELAH DIUBAH INMARSAT NEGARA-NEGARTA PIHAK PADA KONVENSI INI: MENIMBANG prinsip-prinsip yang terkandung dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

MEMPERHATIKAN bahwa Pasal 17 Persetujuan mengatur untuk setiap perubahan daripadanya yang akan disepakati bersama secara tertulis oleh para Pihak;

MEMPERHATIKAN bahwa Pasal 17 Persetujuan mengatur untuk setiap perubahan daripadanya yang akan disepakati bersama secara tertulis oleh para Pihak; PROTOKOL KEDUA UNTUK MENGUBAH PERSETUJUAN PERDAGANGAN BARANG DARI PERSETUJUAN KERANGKA KERJA MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI MENYELURUH ANTAR PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA

Lebih terperinci

R-180 REKOMENDASI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992

R-180 REKOMENDASI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 R-180 REKOMENDASI PERLINDUNGAN KLAIM PEKERJA (KEPAILITAN PENGUSAHA), 1992 2 R-180 Rekomendasi Perlindungan Klaim Pekerja (Kepailitan Pengusaha), 1992 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER

Lebih terperinci

PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA

PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA Apendiks 1 LAMPIRAN A PERUBAHAN PROSEDUR SERTIFIKASI OPERASIONAL (OCP) MENGENAI KETENTUAN ASAL BARANG UNTUK KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA Untuk maksud melaksanakan Ketentuan Asal Barang untuk Kawasan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH MALAYSIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai tujuan Konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK EKUADOR MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK (AGREEMENT

Lebih terperinci

PRESIDEN REPBULIK INDONESIA,

PRESIDEN REPBULIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 159/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK ARAB SURIAH MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL *48381

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Undang-Undang Arbitrase Tahun 2005 3 SUSUNAN BAGIAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 31/2000, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI RAKYAT ALJAZAIR MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK *49553 KEPUTUSAN

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

1 ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN BERHASRAT untuk

Lebih terperinci

PROTOKOL UNTUK MENGUBAH BEBERAPA PERJANJIAN EKONOMI ASEAN TERKAIT DENGAN PERDAGANGAN BARANG Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos,

Lebih terperinci

PROTOKOL UNTUK MENGUBAH BEBERAPA PERJANJIAN EKONOMI ASEAN TERKAIT DENGAN PERDAGANGAN BARANG

PROTOKOL UNTUK MENGUBAH BEBERAPA PERJANJIAN EKONOMI ASEAN TERKAIT DENGAN PERDAGANGAN BARANG PROTOKOL UNTUK MENGUBAH BEBERAPA PERJANJIAN EKONOMI ASEAN TERKAIT DENGAN PERDAGANGAN BARANG Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos,

Lebih terperinci

Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah

Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah Syarat dan ketentuan penerimaan dan penguasaan informasi nasabah Definisi Istilah-istilah berawalan huruf kapital dalam ketentuan-ketentuan ini akan memiliki arti sebagai berikut, kecuali konteks kalimatnya

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa paten merupakan kekayaan intelektual yang diberikan

Lebih terperinci

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian Presented by: M Anang Firmansyah IMF Dana Moneter Internasional adalah Salah satu badan khusus dalam system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945

Lebih terperinci

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011) DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005 UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN 2005 (Direvisi tahun 2011) 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur SUSUNAN BAGIAN Bagian I Pendahuluan 1. Judul singkat

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK 2012, No.149 4 PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Mempertimbangkan bahwa, untuk lebih lanjut mencapai

Lebih terperinci

Persetujuan Pembentukan Kantor Kajian Ekonomi Makro ASEAN+3 ( AMRO ) PARA PIHAK,

Persetujuan Pembentukan Kantor Kajian Ekonomi Makro ASEAN+3 ( AMRO ) PARA PIHAK, Persetujuan Pembentukan Kantor Kajian Ekonomi Makro ASEAN+3 ( AMRO ) PARA PIHAK, Mengingat bahwa pembentukan Chiang Mai Initiative Multiliteralisation (selanjutnya disebut CMIM) adalah untuk menyusun pengaturan

Lebih terperinci

PIAGAM DEWAN KOMISARIS PT UNILEVER INDONESIA Tbk ( Piagam )

PIAGAM DEWAN KOMISARIS PT UNILEVER INDONESIA Tbk ( Piagam ) PIAGAM DEWAN KOMISARIS PT UNILEVER INDONESIA Tbk ( Piagam ) DAFTAR ISI I. DASAR HUKUM II. TUGAS, TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG III. ATURAN BISNIS IV. JAM KERJA V. RAPAT VI. LAPORAN DAN TANGGUNG JAWAB VII.

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS

KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS KEBIJAKAN ANTI PENCUCIAN UANG FXPRIMUS PERNYATAAN DAN PRINSIP KEBIJAKAN Sesuai dengan Undang-undang Intelijen Keuangan dan Anti Pencucian Uang 2002 (FIAMLA 2002), Undang-undang Pencegahan Korupsi 2002

Lebih terperinci

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981

K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 2 K-155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 K155 Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja, 1981 Konvensi mengenai Keselamatan dan Kesehatan

Lebih terperinci

www.bphn.go.id www.bphn.go.id www.bphn.go.id Persetujuan Pembentukan Kantor Kajian Ekonomi Makro ASEAN+3 ( AMRO ) PARA PIHAK, Mengingat bahwa pembentukan Chiang Mai Initiative Multiliteralisation

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO AMEND THE BASIC AGREEMENT ON THE ASEAN INDUSTRIAL COOPERATION SCHEME (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS

KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS KONVENSI INTERNASIONAL PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RAS Disetujui dan dibuka bagi penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 2106 A (XX) 21 Desember 1965 Berlaku 4 Januari 1969

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 158 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK DAN PENGHINDARAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ANTARA REPUBLIK

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN SECOND PROTOCOL TO AMEND THE AGREEMENT ON TRADE IN GOODS UNDER THE FRAMEWORK AGREEMENT ON COMPREHENSIVE ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada perjanjian-perjanjian internasional, perkembangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sejalan dengan ratifikasi Indonesia pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO AMEND CERTAIN ASEAN ECONOMIC AGREEMENTS RELATED TO TRADE IN GOODS (PROTOKOL UNTUK MENGUBAH PERJANJIAN EKONOMI ASEAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL TO AMEND CERTAIN ASEAN ECONOMIC AGREEMENTS RELATED TO TRADE IN GOODS (PROTOKOL UNTUK MENGUBAH PERJANJIAN EKONOMI ASEAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci