BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Defenisi Kebakaran Menurut National Fire Protection Association (NFPA), kebakaran sebagai peristiwa oksidasi dimana bertemunya tiga unsur yaitu bahan bakar yang dapat terbakar, oksigen yang terdapat diudara dan panas yang dapat berakibat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan kematian. Menurut Perda DKI No 3 tahun1992, secara umum kebakaran adalah suatu peristiwa atau kejadian timbulnya api yang tidak terkendali yang dapat membahayakan keselamatan jiwa maupun harta benda. Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebakaran merupakan nyala api yang terjadi karena tiga unsur bertemu pada suatu komposisi / waktu yang tidak dikehendaki dan bersifat merugikan Klasifikasi Kebakaran Klasifikasi kebakaran merupakan penggolongan atau pembagian jenis kebakaran berdasarkan jenis bahan bakar yang terbakar. Pembagian atau penggolongan ini bertujuan agar diperoleh kemudahan dalam menetukan cara pemadamannya. Klasifikasi kebakaran di Indonesia mengacu kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 01/Men/1980 yang terdiri dari 4 kelas yaitu kelas A,B,C, dan D, sedangkan menurut NFPA klasifiksi kebakaran terdapat 5 kelas yaitu A, B, C, D, dan K. adapun beberapa negara lainnya menetapkan klasifikasi kebakaran dengan menambah jenis kelas E. Klasifikasi kebakaran dapat dilihat pada tabel berikut. 6

2 7 Tabel 2.1 Klasifikasi kebakaran Kelas Kebakaran Pemadaman Bahan bakar padat (bukan logam). Contoh : kertas, kayu, plasitik,dll. Bahan bakar gas/cairan. Contoh : amoniak, solar, dll. Instalasi listrik bertegangan. Contoh : arus pendek, dll Bahan bakar logam. Contoh : tembaga, besi, baja, dll. Bahan-Bahan Radioaktif Air, uap air, pasir, busa, CO 2, serbuk kimia kering, cairan kimia CO 2, serbuk kimia kering, busa CO 2, serbuk kimia kering, uap air Serbuk kimia sodium klorida, grafit <belum diketahui secara spesifik> Lemak dan minyak masakan Cairan kimia, CO 2 (Sumber :Kusdono Pringgodani, 2008) Bahaya Kebakaran Bahaya kebakaran menurut Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. Kebakaran yang terjadi sering mengakibatkan kecelakaan yang berkelanjutan, adapun bahaya yang disebabkan dari peristiwa kebakaran yang dihasilkan yaitu: 1. Bahaya Panas Pada saat terjadinya kebakaran, panas yang ditimbulkan akan mengalami perpindahan dengan berbagai cara yaitu: a. Radiasi yaitu perpindahan panas yang memancar ke segala arah. b. Konduksi yaitu perpindahan panas melalui benda logam (perambatan panas). c. Konveksi yaitu perpindahan panas yang menyebabkan perbedaan tekanan udara.

3 8 d. Loncatan bunga api yaitu suatu reaksi antara energi panas dengan udara (O 2 ). 2. Bahaya Asap Asap berasal dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahanbahan yang mengandung unsur karbon. Ketebalan asap tergantung dari jenis bahan yang terbakar dan temperatur kebakaran tersebut. 3. Bahaya Ledakan Bahaya ledakan dapat terjadi pada saat kebakaran. Jika di antara bahanbahan yang terbakar terdapat bahan yang mudah meledak, misalnya terdapat tabung-tabung gas bertekanan, maka dapat terjadi ledakan. 4. Bahaya Gas Gas beracun yang biasanya dihasilkan oleh proses kebakaran yaitu HCN, NO 2, HCL dan lain-lain. Gas beracun tersebut dapat meracuni paruparu dan menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan dan mata. Sedangkan gas lain seperti CO 2 dan H 2 S dapat mengurangi kadar oksigen di udara Klasifikasi Bahaya Kebakaran Klasifikasi kebakaran adalah penggelompokan atau pembagian kebakaran atas dasar jenis bahan bakarnya. Pengklasifikasian ini bertujuan untuk memudahkan usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran. Menurut SNI menjelaskan bahwa potensi bahaya kebakaran dapat dikelompokan menjadi : 1. Bahaya kebakaran ringan Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah sehingga menjalarnya api lambat. Adapun jenis tempat kerja tersebut adalah tempat ibadah, gedung/ruang perkantoran, gedung/ruang pendidkan, gedung/ruang Rumah Sakit, gedung/ruang Perhotelan, gedung/ruang Restoran, dsb.

4 9 2. Bahaya kebakaran sedang I Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, penimbunan yang mudah terbakar sedang bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang. Adapun bangunan tersebut adalah tempat parkir, pabrik elektronik, pabrik roti, pabrik barang bekas, pabrik minuman, dsb. 3. Bahaya kebakaran sedang II Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sehingga menjalarnya api sedang. Adapun jenis bangunan tersebut adalah pabrik bahan makanan, percetakan dan penerbitan, bengkel mesin, gedung perpustakan, pabrik barang keramik, pabrik barang kulit, dsb. 4. Bahaya kebakaran sedang III Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. Adapun jenis bangunan tersebut adalah bengkel mobil, pabrik lilin, pabrik plastik, pabrik sabun, pabrik ban, dsb. 5. Bahaya kebakaran berat Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudian terbakar tinggi, menyimpan bahan cair. Apabila terjadi kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi dan penjalaran api yang cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan industri seperti: Pabrik kimia, Pabrik kembang api, pabrik cat, pabrik karet buatan, dsb. 2.2 Bangunan Gedung Defenisi Bangunan Gedung Bangunan Gedung menurut Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 45/PRT/M/2007 merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, Sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia

5 10 melakukan kegiatan, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sedangkan menurut UU No.28 Tahun 2002 bangunan gedung didefenisikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebgai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus Klasifikasi Bangunan Gedung Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya. Berdasarkan Keputusan Meteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000, tentang pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan membagi kelas bangunan menjadi beberapa kelas, yaitu: 1. Kelas 1 : Bangunan gedung hunian biasa a. Kelas 1a : Bangunan hunian tunggal yang berupa satu rumah tinggal, dan satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house,villa. b. Kelas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya dengan luas total lantai kurang dari 300 m 2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi. 2. Kelas 2 : Bangunan gedung hunian yang terdiri dari 2 atau lebih unit hunian yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah. 3. Kelas 3 : Bangunan gedung hunian diluar bangunan gedung kelas 1 dan 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk: a. Rumah asrama, rumah tamu, losmen b. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel

6 11 c. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah d. Panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak e. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya. 4. Kelas 4 : Bangunan gedung hunian campuran merupakan tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut. 5. Kelas 5 : Bangunan gedung kantor merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan usaha professional, pengurusan administrasi, atau usaha komersial, diluar bangunan kelas 6, 7, 8, atau Kelas 6 : Bangunan gedung perdagangan merupakan bangunan gedung toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk: a. Ruang makan, kafe, restoran b. Ruang makan malam, bar, took atau kios sebagai bagian dari suatu hotel c. Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum d. Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel. 7. Kelas 7 : Bangunan gedung penyimpanan/gudang merupakan bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk tempat parkir umum dan gudang/tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang. 8. Kelas 8 : Bangunan gedung laboratorium/industri/pabrik merupakan bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan. 9. Kelas 9 : Bangunan gedung umum merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu: a. Kelas 9a : Bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium.

7 12 b. Kelas 9b : Bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan kelas lain. 10. Kelas 10 : Banguan gedung atau struktur yang bukan hunian a. Kelas 10a : bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport atau sejenisnya. b. Kelas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang atau sejenisnya. 11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus : bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya. 12. Bangunan gedung yang penggunaannya insidentil : bagian bangunan gedung yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan gedung lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya. 13. Klasifikasi jamak : bangunan gedung dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan: a. Bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya. b. Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah. c. Ruang-ruang pengelolah, ruang mesin, ruang boiler atau sejenisnya diklasifikasikan sesuai bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.

8 Hotel Defenisi Hotel Pada abad ke-17 kata hotel berasal dari bahasa latin yaitu hospitium yang artinya ruang tamu dan mengalami proses perubahan menjadi hostel yang artinya tempat penampungan untuk pendatang atau bangunan penyedia tempat dan makanan untuk umum. Lambat laun seiring dengan perkembangan zaman, kata hostel tersebut berubah menjadi kata hotel seperti yang kita kenal. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (SK Menteri Parpostel) No : KM.94/HK.103/MPPT/1987 tentang Ketentuan Usaha dan Penggolongan Hotel, Hotel merupakan suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan, penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial. Menurut Prof. Fred Lawson (1976:27) hotel merupakan sarana tempat tinggal umum untuk wisatawan dengan memberikan pelayanan jasa kamar, penyedia makanan dan minuman serta akomodasi dengan syarat pembayaran. Sedangkan menurut Prof. K. Krapf, hotel merupakan sebuah gedung/bangunan untuk menyediakan penginapan, makanan dan pelayananan lainnya bagi mereka yang mengadakan perjalanan. Dari beberapa pengertian hotel tersebut dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan suatu bangunan yang menyediakan pelayanan penginapan dan pelayanan lainnya bagi masyarakat umum serta dikelola secara komersial. Fungsi utama dari bangunan hotel adalah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan tamu sebagai tempat tinggal sementara seperti istirahat, tidur, mandi, makan, minum, hiburan dan lain-lain. Namun dengan perkembangan dan kemajuan hotel sekarang ini, fungsi hotel bertambah sebagai tujuan konferensi, seminar, lokal karya, musyawarah nasional dan kegiatan sejenis lainnya yang menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap.

9 Klasifikasi Hotel Merupakan suatu sistem pengelompokan hotel-hotel ke dalam berbagai kelas atau tingkatan, berdasarkan penilaian tertentu. Klasifikasi hotel dapat dibagi menjadi beberapa faktor antara lain : berdasarkan harga jual, tipe tamu hotel, sistem pengelompokan bintang, lama tamu menginap, lokasi, dan aktifitas tamu. Menurut keputusan direktorat Jendral Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No 22/U/VI/1978, klasifikasi hotel dibedakan dengan menggunakan simbol bintang yaitu hotel bintang satu sampai hotel bintang lima. Semakin banyak bintang yang dimiliki suatu hotel, semakin berkualitas hotel tersebut. Klasifikasi hotel berdasarkan lokasi dimana hotel tersebut dibangun adalah sebagai berikut: 1. City Hotel Hotel yang berlokasi di perkotaan, dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tamu yang melakukan kegiatan bisnis. 2. Urban Hotel Hotel yang berlokasi di daerah pinggiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Disebut juga dengan residential hotel karena berlokasi di daerah-daerah tenang yang di peruntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lamu. 3. Sub Urban Hotel Hotel yang berlokasi di pinggiran batas kota yang menghubungan satu kota dengan kota besar lainnya seperti motel (motor hotel). Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri. 4. Resort Hotel Hotel yang berlokasi di daerah wisata dan menyediakan tempat-tempat rekreasi, seperti di pegunungan (mountain hotel), di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau, dll. Hotel ini diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi.

10 Sarana Proteksi Kebakaran Pencegahan kebakaran adalah segala usaha yang dilakukan agar tidak terjadi penyalaan api yang tidak terkendali. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian, untuk memberantas kebakaran. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran disebut juga dengan proteksi kebakaran yaitu merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan pencegahan, pengamatan dan pemadaman kebakaran dan meliputi perlindungan jiwa dan keselamatan manusia serta perlindungan harta kekayaan. Menurut peraturan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008, setiap bangunan gedung harus mempunyai pengelolaan proteksi kebakaran untuk mencegah terjadinya penyalaran kebakaran ke ruangan ataupun ke bangunan lainnya. Oleh karena itu, bangunan gedung perlu mengaturan zonazona yang berpotensi menimbulkan kebakaran, serta kesiapan dan kesiagaan sistem proteksi kebakaran. Sistem proteksi kebakaran ini terbagi atas 2 macam yaitu sarana proteksi kebakaran aktif dan sarana proteksi kebakaran pasif Sarana Sistem Proteksi Aktif Sistem proteksi kebakaran aktif merupakan sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman, selain itu sistem itu digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran (Perda DKI Jakarta, 2008). Salah satu dari pelaksanaan pengamanan ini adalah melengkapi gedung dengan sarana proteksi aktif yang terdiri dari : alarm (audible dan visible), detektor (panas, asap, nyala), alat pemadam api ringan (APAR), hidran dan sprinkler.

11 Sarana Sistem Proteksi Pasif Sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilakasanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur bangunan sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sistem proteksi pasif berperan dalam pengaturan pemakaian bahan bangunan dan interior bangunan dalam upaya menguranggi intensitas kebakaran serta menunjang terhadap tersedianya sarana jalan keluar yang aman terhadap kebakaran untuk melakukan proses evakuasi. Sistem proteksi pasif terdiri dari kelengkapan tapak, sistem proteksi pasif dan sarana penyelamatan Kelengkapan Tapak Kelengkapan tapak dapat didefenisikan sebagai kelengkapan komponen dan tata letak bangunan terhadap lingkungan sekitar dikaitkan dengan bahaya kebakaran dan upaya pemadaman. Komponen kelengkapan tapak meliputi sumber air, jalan lingkungan, jarak antar bangunan dan hidran halaman (Kepmen PU No.10/KPTS/2000) A. Sumber air Sumber air merupakan sumber yang meyediakan pasokan air yang akan dipergunakan sebagai media pemadaman kebakaran pada bangunan gedung. Menurut Kepmen PU No.02/KPTS/1985 bahwa sumber air lingkungan dapat berupa sumur arthesis, reservoir/tangki penampungan air untuk kebakaran. Sumber air dilingkungan memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan dan pemadaman kebakaran. B. Jalan lingkungan Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan memudahkan operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia jalan lingkungan dengan pekerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran (peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008).Jalan Akses Pemadam Kebakaran yang dipersyaratkan adalah:

12 17 1. Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus disediakan pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung setelah selesai dibangun atau direlokasi. 2. Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan untuk pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi jalan-jalan tersebut. Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai hunian tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan, asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran. Gambar 2.1 Posisi perkerasan pada rumah hunian. (Sumber : SNI ) Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung kelas 1, 2 dan 3), perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung. Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

13 18 1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15 meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter. Gambar 2.2 Perkerasan untuk keluar masuknya mobil pemadam kebakaran (Sumber : SNI ) 2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses pemadam kebakaran diukur secara horizontal. 3. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih dari 1 : 8,3. 4. Jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran. 5. Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain bangunan gedung, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh menghambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran. 6. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack).

14 19 Gambar 2.3 Posisi jack mobil pemadam kebakaran (Sumber : SNI ) 7. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 m harus diberi fasilitas belokan. 8. Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5 m dan harus memenuhi persyaratan. Gambar 2.4 Radius terluar untuk belokaan yang dapat dilalui (Sumber : SNI ) 9. Tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam minimum 4,5 meter untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.

15 20 C. Jarak antar bangunan Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, maka harus ditentukan jarak minimum antar bangunan gedung. Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan untuk menentukan garis sempadan bangunan gedung. Ketentuan jarak minimum menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008 dapat dilihat pada tabel berikut. No. D. Hidran halaman Tabel 2.2 Tinggi Bangunan Gedung (m) Jarak antar bangunan gedung Jarak Minimum Antar Bangunan Gedung (m) 1 < < 14 <6 3 < 40 < 8 4 >40 > 8 (Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008) Hidran halaman adalah hidran yang terletak diluar bangunan/gedung pada lokasi yang aman dari api dan penyaluran pasokan api kedalam bangunan dilakukan melalui katup Siamese. Untuk menentukan jumlah dan titik hidran halaman menggunakan acuan SNI yaitu : a) Tiap bagian dari jalur akses mobil pemadam di lahan bangunan harus dalam jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota yang memenuhi persyaratan tersebut tidak tersedia, maka harus disediakan hidran halaman. b) Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam sedemikian hingga tiap bagian dari jalur tersebut berada dalam jarak radius 50 m dari hidran.

16 21 c) Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 2400 liter/menit pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 45 menit. d) Jumlah pasokan air untuk hidran halaman yang dibutuhkan ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2.3 Jumlah pasokan air hidran halaman (Sumber : SNI ) Sistem Proteksi Pasif Sistem proteksi pasif dapat didefenisikan sebagai sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan tehadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur, sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran (Kepmen PU No. 10/KPTS/2000). Perencanaan struktur berkaitan dengan kemampuan bangunan untuk tetap stabil pada saat terjadi kebakaran, sedangkan perencanaan konstruksi berkaitan dengan jenis material yang digunakan. Material yang mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap api, maka akan lebih baik pula terhadap pencegahan penjalaran api, pengisolasian serta memberi waktu yang cukup untuk pengevakuasian penghuni. Sistem proteksi pasif terdiri dari konstruksi tahan api dan kompartemen.

17 22 A. Konstruksi Tahan Api Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi persyaratan pengujian sifat bakar dan sifat penjalaran api pada permukaan sesuai ketentuan yang berlaku tentang bahan bangunan. Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen bangunan (dinding, kolom dan balok) harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api yang dinyatakan dalam waktu (30, 60, 120, 180, 240) menit. Hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan material bangunan yang memperhatikan sifat penjalaran dan penyebaran material, kemampuan terbakarnya suatu material dan sifat penyalaan material bila terbakar. Selain itu, harus memmpunyai kemampuan struktur dari komponen-komponen struktur seperti rangka atap, lantai, kolom dan balok (tulang-tulang kekuatan pada bangunan). Perencanaan yang optimal dari hal tersebut adalah untuk menimalkan kerusakan pada bangunan, mencegah penjalaran kebakaran dan melindungi penghuni yaitu dengan memberikan waktu yang cukup dalam melakukan evakuasi. Menurut SNI , ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi, yaitu: 1. Tipe A Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat komponen pemisah pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan bersebelahan dan dinding yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding bangunan yang bersebelahan. 2. Tipe B Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam bangunan, dan dinding luar mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar bangunan.

18 23 3. Tipe C Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran. Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan jumlah lantai dan tipe konstruksi sesuai dengan tabel berikut: Tabel 2.4 Tipe minimum konstruksi ketahanan api pada kelas bangunan (Sumber : SNI ) B. Kompartemenisasi dan Pemisahan Kompartemen adalah usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai, kolom, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan kelas bangunan gedung (Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008). Kompartemen merupakan konsep yang penting dalam usaha penyelamatan manusia dalam menghadapi bhaya kebakaran. Gagasan dasarnya adalah menahan dan membatasi penjalaran api agar dapat melindungi penghuni dan barang-barang dalam bangunan untuk tidak langsung bersentuhan dengan sumber api. Pada bangunan tinggi, dimana mengevakuasi seluruh orang dalam gedung dengan cepat adalah suatu hal yang mustahil, kompartemen dapat menyediakan penampungan sementara bagi penghuni atau pengguna bangunan untuk menunggu sampai api dipadamkan atau jalur menuju pintu keluar sudah aman. Gambar 2.5 Ruang penampungan sementara / kompartemen (Sumber : Junawa, Jimmy S, 2005)

19 24 Menurut SNI , ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume maksimum seperti ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 2.5 Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran atau atrium (Sumber : SNI ) Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara, ventilasi, atau peralatan lif, tangki air atau unit-unit utilitas sejenis, tidak diperhitungkan sebagai daerah luasan lantai atau volume dari kompartemen atau atrium, bila sarana itu diletakkan pada puncak bangunan Sarana Penyelamatan Jiwa Menurut Peraturan Menteri No.26/PRT/M/2008, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk meyelamatkan diri dengan aman tanpa terlambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat. Sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan. Adapun tujuan dari sarana penyelamtan adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau luka pada waktu melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat. Sarana penyelamatan jiwa terdiri dari tangga darurat, pintu darurat, tanda petunjuk arah, saran jalan keluar, penerangan darurat, dan pengendaliaan asap. A. Tangga Darurat Merupakan tempat yang paling aman untuk evakuasi penghuni dan harus bebas dari gas panas dan gas beracun. Oleh sebab itu tangga darurat harus direncanakan khusus untuk penyelamtan bila terjadi kebakaran. Berikut ini syarat perencanaan tangga darurat menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI yaitu :

20 25 a) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 30 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali yaitu 45m). b) Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi kipas penekan/pendorong udara yang dipasang diatas udara pendorong akan keluar melalui grill disetiap lantai yang terdapat di dinding tangga darurat dekat pintu darurat untuk memberi tekanan positif. c) Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan minimal 9 m. d) Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m. e) Tangga darurat/penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasar langsung kearah luar. B. Pintu Darurat Pintu darurat atau pintu kebakaran merupakan pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan hanya digunakan sebagai jalan keluar untuk usaha penyelamatan jiwa manusia apabila terjadi kebakaran. Menurut NFPA 101, pint darurat tidak boleh terhalang dan tidak boleh terkunci serta harus berhubungan langsung dengan jalan penghubung, tangga atau halaman luar. Daun pintu darurat ini harus membuka keluar dan jika tertutup maka tidak bisa dibuka dari luar (self closing door). Berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI yaitu : a) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah.

21 26 b) Lebar pintu darurat minimum 100 cm dan dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga). c) Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/jarak capai 25 meter dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung. d) Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam. e) Pintu harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis, tanda peringatan (TANGGA DARURAT TUTUP KEMBALI), dicat dengan warna merah dan dilengkapi dengan minimal tiga engsel. f) Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api minimal 1m 2 dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu. Gambar 2.6 Pintu darurat (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005) C. Tanda Penunjuk Arah / EXIT Tanda keluar atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras dan pintu menuju tangga darurat. Tanda jalan keluar yang jelas akan memudahkan dan mempercepat proses evakuasi karena menghilangkan keraguaan penghuni gedung pada saat terjadinya peristiwa kebakaran (NFPA 101) Ukuran tanda arah yang bertuliskan EKSIT atau kata lain yang cocok, dengan huruf yang mudah dilihat, tingginya minimal 15 cm, tebal huruf minimal 2 cm. Kata EKSIT harus mempunyai lebar huruf minimal 5 cm kecuali huruf I dan jarak minimum antar huruf minimum 1 cm. Tanda arah yang lebih besar dibuat dengan lebar, tebal dan jarak huruf yang proportional dengan tingginya.

22 27 Gambar 2.7 Standar ukuran tanda arah. (Sumber : SNI ) Tanda arah yang diterangi dari dalam memiliki kondisi pencahayaan normal (300 Lux) dan darurat (10 Lux) dengan jarak baca minimum 30 m.tanda arah yang diterangi dari luar tingkat pencahayaannya harus minimal 50 Lux dan perbandingan kontrasnya minimal 0,5. Indikator arah harus ditempatkan di luar tulisan EKSIT (EXIT),minimal 1 cm dari setiap huruf, dan harus dimungkinkan menyatu atau terpisah dari papan tanda arah. Harus terlihat sebagai tanda arah pada jarak minimum 12 m pada tingkat pencahayaan rata-rata 300 Lux dalam kondisi normal dan 10 Lux dalam kondisi darurat di lantai. Gambar 2.8 Tanda arah dan Eksit. (Sumber : SNI ) Lokasi Pemasangan tanda petunjuk menurut SNI adalah : 1. Arah menuju tempat yang aman harus diberi tanda arah dengan tanda arah yang disetujui, di lokasi yang mudah dibaca dari segala arah jalan. 2. Pada setiap pintu menuju tangga yang aman, harus dipasang tanda EKSIT (EKSIT) diatas gagang pintu setinggi 150 cm dari permukaan lantai terhadap garis tengah tanda arah.

23 28 Gambar 2.9 Lokasi pemasangan tanda EXIT pada pintu dan dinding. (Sumber : SNI ) 3. Jalan masuk ketempat aman harus diberi tanda arah pada lokasi yang mudah dibaca dari semua arah, bila jalan menuju tempat tersebut tidak mudah terlihat oleh penghuninya. Gambar 2.10 D. Sarana Jalan Keluar / Koridor Lokasi pemasangan tanda arah EXIT pada koridor. (Sumber : SNI ) Sarana jalan keluar adalah jalan yang tidak terputus atau terhalang menuju jalan umum, termasuk didalamnya pintu penghubung, jalan penghubung, ruangan penghubung, tangga terlindung, tangga kedap asap, pintu jalan keluar dan halaman luar. Sedangkan jalan keluar adalah jalan yang diamankan dari ancaman bahaya kebakaran dengan dinding, lantai, plafon dan pintu jalan keluar yang tahan api.

24 29 Sarana jalan keluar menurut SNI harus dirancang untuk mendapatkan tinggi ruangan minimal 2,3 m (7 ft, 6 inci) dengan bagian tojolan dari langit-langit sedikitnya 2 m (6 ft, 8 inci) tinggi nominal di atas lantai finishing. Tinggi ruangan diatas tangga harus minimal 2 m (6 ft, 8 inci) dan harus diukur vertikal dari ujung anak tangga ke bidang sejajar dengan kemiringan tangga. Gambar 2.11 Standar minimal tinggi ruangan. (Sumber : SNI ) Menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 / PRT / M / 2008, sarana jalan keluar harus memiliki persyaratan sebagai berikut: a) Lebar koridor bersih minimum 1,80 m. b) Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukan arah ke pintu darurat atau arah keluar. c) Koridor harus bebas dari barang-barang yang dapat mengganggu kelancaran evakuasi. d) Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m. e) Panjang gang buntu maksimal 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler. E. Pencahayaan Darurat Pencahayaan darurat pada sarana jalan keluar harus terus menerus menyala selama penghuni membutuhkan sarana jalan keluar. Pencahayaan buatan yang dioperasikan sebagai pencahayaan darurat dipasang pada tempattempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan untuk menjaga pencahayaan sampai ke tingkat minimum yang ditentukan.

25 30 Ketentuan teknis menurut SNI adalah setiap lampu darurat harus bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman (minimal 10 Lux di ukur pada lantai). Jika mempunyai sistem terpusat, satu daya cadangan dan kontrol otomatisnya harus dilindungi dari kerusakan karena api dengan konstruksi penutup yang mempunyai Tingkat Ketahanan Api (TKA) tidak kurang dari 1 jam. Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku. Identifikasi lampu darurat menurut SNI adalah : a) Diameter simbol minimum 10 mm. b) Simbol harus diletakkan di tempat yang mudah dilihat. c) Simbol tidak boleh diletakkan pada diffuser lampu darurat atau tutup plafon yang dapat dibuka. Gambar 2.12 Identifikasi simbol lampu darurat. (Sumber : SNI ) Lokasi pemasangan pencahayaan darurat sesuai dengan standar adalah sebagai berikut: 1. Lampu darurat dipasang pada tangga-tangga, gang, koridor, ram, lif, jalan lorong menuju tempat aman, dan jalur menuju jalan umum. 2. Sepanjang jalan kearah koridor, lobi dan jalan keluar dengan jarak langsung dari titik masuk gang, lobi atau jalan keluar melebihi 13 meter. Gambar 2.13 Lokasi pemasangan lampu darurat dalam ruangan. (Sumber : SNI )

26 31 Jangka waktu uji fungsi peralatan lampu darurat yang menggunakan sistem tenaga batterai harus dilakukan pada setiap 30 hari, selama 30 detik. Uji tahunan harus dilakukan dengan waktu uji selama 1½ jam. Peralatan harus beroperasi penuh selama jangka waktu pengujian. F. Pengendalian Asap Perambatan asap disebabkan oleh perbedaan tekanan karena adanya perbedaan suhu ruangan dan dampak timbunan asap yang mencari jalan keluar. Asap dapat tersedot melalui lubang vertikal pada bangunan seperti ruang tangga, shaft, atau atrium dan menjalar secara horizontal. Perambatan asap dapat menyebabkan terjadinya pemanasan lebih awal sebelum api menjalar ke tempat itu sehingga memicu timbulnya titik api baru. Selain itu, asap yang ditimbulkan menghalangi petugas pemadam kebakaran dalam menemukan titik permasalahannya. Pengendalian asap dapat dilakukan dengan beberapa cara (Depnaker ILO 1987) yaitu: 1. Melemahkan (dilution) yaitu dengan cara memberikan ventilasi untuk memasukan udara segar dari luar dan memberikan saluran asap. Jendela dan pintu yang dapat dibuka sebanding dengan 10% luas lantai. 2. Menghabiskan (exhaust) yaitu memberikan peralatan mekanis untuk mengendorkan/menyedot asap dan terintegrasi dengan sistem tata udara. 3. Membatasi yaitu memasang sarana penghambat asap untuk mencegah menjalarnya asap ke suatu daerah. Gambar 2.14 Tirai penghalang asap (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005 )

27 32 4. Tekanan udara yaitu tempat-tempat jalur pelarian seperti koridor dan ruang tangga harus bebas dari asap dan gas dengan cara memberikan tekanan udara. Gambar 2.15 Pengendalian asap pada bangunan tinggi (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005) Persyaratan pengendalian asap pada bangunan tinggi yang mempunyai atrium di dalamnya adalah : a) Pintu keluar yang berada pada sekeliling atrium harus menggunakan pintu tahan api. b) Bangunan dengan fungsi hotel, apartemen dan asrama hanya boleh mempunyai atrium maksimal 110 m² dan dilengkapi dengan pintu keluar yang tidak menuju atrium. c) Adanya pemisahan vertikal, sehingga lubang atrium maksimal terbuka setinggi tiga lantai. d) Pemisahan vertikal ini berlaku pula bagi ruang pertemuan dengan kapasitas 300 orang atau lebih dan perkantoran yang berada di bawah apartemen, hotel, atau asrama. e) Mezanin dibuat dengan bahan yang tahan api sekurang-kurangnya 2 jam. f) Ruangan yang bersebelahan dengan mezanin dibuat dengan bahan tahan api sekurang-kurangnya satu jam. g) Jarak dari lantai dasar ke lantai mezanin minimal 2,2 meter. h) Mezanin tidak boleh terdiri dari dua lantai. 10 % dari luas mezanin dapat ditutup (misalnya untuk kamar kecil, ruang utilitas dan kompartemen). i) Ruang mesanin yang tertutup harus mempunyai dua pintu keluar. Jarak tempuh antar pintu keluar maksimum adalah 35 meter.

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I

SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Pertemuan ke-12 Materi Perkuliahan : Sistem penanggulangan bahaya kebakaran 1 (Sistem deteksi kebakaran, fire alarm, fire escape) SISTEM PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN I Kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan

Lebih terperinci

Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda arah dan Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung.

Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda arah dan Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung. Kembali SNI 03-6574-2001 Tata Cara Perancangan Pencahayaan Darurat, Tanda arah dan Sistem Peringatan Bahaya pada Bangunan Gedung. 1 Ruang Lingkup. 1.1 Standar pencahayaan darurat, tanda arah dan sistem

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2012 NOMOR 14 PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 14 TAHUN 2012

BERITA DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2012 NOMOR 14 PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 14 TAHUN 2012 BERITA DAERAH KOTA DEPOK TAHUN 2012 NOMOR 14 PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN kondisi jalur di pusat perbelanjaan di jantung kota Yogyakarta ini kurang memadai. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini telah melakukan evaluasi terhadap kondisi jalur evakuasi darurat

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VI PEMBAHASAN. perawatan kesehatan, termasuk bagian dari bangunan gedung tersebut.

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB VI PEMBAHASAN. perawatan kesehatan, termasuk bagian dari bangunan gedung tersebut. BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Klasifikasi Gedung dan Risiko Kebakaran Proyek pembangunan gedung Rumah Sakit Pendidikan Universitas Brawijaya Malang merupakan bangunan yang diperuntukkan untuk gedung rumah sakit.

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. Kembali Tata cara perencanaan akses bangunan dan akses lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 1. Ruang lingkup. Standar ini dimaksudkan sebagai acuan yang diperlukan dalam perencanaan

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan sistem protekasi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung.

Tata cara perencanaan sistem protekasi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung. Tata cara perencanaan sistem protekasi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada bangunan rumah dan gedung. 1. Ruang lingkup. 1.1. Standar ini ditujukan untuk mengamankan dan menyelamatkan jiwa, harta

Lebih terperinci

128 Universitas Indonesia

128 Universitas Indonesia BAB 8 PENUTUP 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap audit keselamatan kebakaran di gedung PT. X Jakarta, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bangunan gedung

Lebih terperinci

DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA

DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Audit Keselamatan Kebakaran Gedung PT. X Jakarta Tahun 2009 DAFTAR PERTANYAAN AUDIT KESELAMATAN KEBAKARAN GEDUNG PT. X JAKARTA Data Umum Gedung a. Nama bangunan : b. Alamat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Beberapa penelitian yang terkait dengan kebakaran gedung diantaranya. Pertama penelitian oleh Erna Kurniawati pada tahun 2012 yang berjudul Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran pada

Lebih terperinci

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL

DAFTAR STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL DAFTAR (SNI) BIDANG BAHAN KONSTRUKSI BANGUNAN DAN REKAYASA SIPIL No. Judul Standar Nomor Standar Ruang Lingkup D Pemukiman (Cipta Karya) 2. Keselamatan & Kenyamanan Metoda Uji 1. Metode Pengujian Jalar

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM NOMOR: 10/KPTS/2000 TENTANG

MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM NOMOR: 10/KPTS/2000 TENTANG MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI NEGARA PEKERJAAN UMUM NOMOR: 10/KPTS/2000 TENTANG KETENTUAN TEKNIS PENGAMANAN TERHADAP BAHAYA KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Bangunan Gedung Pengertian bangunan gedung menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya, hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur. Sedangkan secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. umumnya, hasil karya dan budaya menuju masyarakat adil dan makmur. Sedangkan secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Secara filosofi, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan jasmani

Lebih terperinci

PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN Materi 7 PERSYARATAN BANGUNAN UNTUK PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN Oleh : Agus Triyono, M.Kes PENGANTAR Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan bangunan untuk penanggulangan bahaya kebakaran

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Obyek Penelitian

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Obyek Penelitian BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Obyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Hotel UNY yang beralamat di Jl Karangmalang Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta. Lokasi Hotel UNY dapat dikatakan sangat strategis

Lebih terperinci

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran.

PENCEGAHAN KEBAKARAN. Pencegahan Kebakaran dilakukan melalui upaya dalam mendesain gedung dan upaya Desain untuk pencegahan Kebakaran. LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN Pencegahan Kebakaran

Lebih terperinci

KONDISI GEDUNG WET PAINT PRODUCTION

KONDISI GEDUNG WET PAINT PRODUCTION STANDAR APAR MENURUT NFPA 10/ No. Per 04/Men/1980 Terdapat APAR yang sesuai dengan jenis kebakaran Tedapat label penempatan APAR Penempatan APAR mudah dilihat, mudah diambil, dan mudah digunakan pada saat

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung. Kembali SNI 03 1746-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 1. Ruang lingkup. 1.1. Standar ini ditujukan untuk

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. bahan bakar berasal dari gas berupa: LPG. generator, boiler dan peralatan masak di dapur.

BAB VIII PENUTUP. bahan bakar berasal dari gas berupa: LPG. generator, boiler dan peralatan masak di dapur. BAB VIII PENUTUP 8.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian terhadap evaluasi sistem penanggulangan kebakaran di kapal penumpang KM Lambelu, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Darurat (Emergency) Pada Bangunan Gedung Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO

TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO TUGAS AKHIR EVALUASI EMERGENCY RESPONSE PLAN DAN ALAT PEMADAM API RINGAN PADA PT. PHILIPS INDONESIA ADHITYA NUGROHO 6506 040 032 Latar Belakang PT. Philips Indonesia merupakan pabrik lampu yang dalam proses

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung.

Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung. Kembali SNI 03 1746-2000 Tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung. 1. Ruang lingkup. 1.1. Standar ini ditujukan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa bencana kebakaran

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

LAMPIRAN 1 PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LAMPIRAN 1 PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI TENTANG PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Nomor : 384 / KPTS / M / 2004 Tanggal : 18 Oktober 2004

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini ilmu dan teknologi telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan ini diiringi pula dengan berkembangnya dunia industri yang semakin maju. Pemanfaatan

Lebih terperinci

- Mengurangi dan mengendalikan bahaya dan resiko - Mencegah kecelakaan dan cidera, dan - Memelihara kondisi aman

- Mengurangi dan mengendalikan bahaya dan resiko - Mencegah kecelakaan dan cidera, dan - Memelihara kondisi aman PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Kebakaran merupakan hal yang sangat tidak diinginkan, tidak mengenal waktu, tempat atau siapapun yang menjadi korbannya. Masalah kebakaran di sana-sini masih banyak terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. monoksida, atau produk dan efek lainnya (Badan Standar Nasional, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. monoksida, atau produk dan efek lainnya (Badan Standar Nasional, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran merupakan kejadian timbulnya api yang tidak diinginkan atau api yang tidak pada tempatnya, di mana kejadian tersebut terbentuk oleh tiga unsur yaitu unsur

Lebih terperinci

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun.

Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. SELAMAT ATAS PILIHAN ANDA MENGGUNAKAN PEMANAS AIR (WATER HEATER) DOMO Dengan cara pemakaian yang benar, Anda akan mendapatkan manfaat yang maksimal selama bertahun-tahun. Bacalah buku petunjuk pengoperasian

Lebih terperinci

WALI KOTA BALIKPAPAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

WALI KOTA BALIKPAPAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BALIKPAPAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA

PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN DAN KEWASPADAAN BENCANA Menimbang : DIREKTUR RUMAH SAKIT JANTUNG HASNA MEDIKA 1. Bahwa penanggulangan kebakaran

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa ancaman

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS PENGELOLAAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN. (Kepala keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit)

PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS PENGELOLAAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN. (Kepala keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit) Lampiran 1 PEDOMAN WAWANCARA ANALISIS PENGELOLAAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI RSUP H ADAM MALIK MEDAN (Kepala keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit) Pertanyaan : 1. Apakah RSUP H Adam Malik mempunyai

Lebih terperinci

Evaluasi Fungsi Tangga Darurat pada Gedung-gedung di Universitas Negeri Semarang

Evaluasi Fungsi Tangga Darurat pada Gedung-gedung di Universitas Negeri Semarang TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Evaluasi Fungsi Tangga Darurat pada Gedung-gedung di Universitas Negeri Semarang Moch Fathoni Setiawan, Andi Purnomo, Eko Budi Santoso Lab. Struktur dan Teknologi Bangunan, Sains

Lebih terperinci

BAB IV: KONSEP PERANCANGAN

BAB IV: KONSEP PERANCANGAN BAB IV: KONSEP PERANCANGAN 4.1 Konsep Massa Bangunan Konsep massa bangunan di ambil dari axis terhadap site di Tapak dan lingkungan sekitar. 1. Letak site yang berdempetan dengan kawasan candi prambanan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 4 TAHUN TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 4 TAHUN TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015... TENTANG MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN A. UMUM Kebakaran senantiasa menimbulkan hal-hal yang tidak

Lebih terperinci

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Student Housing Student housing atau asrama mahasiswa didefinisikan sebagai suatu fasilitas tempat penginapan yang ditunjukan untuk anggota suatu kelompok, umumnya

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PRASARANA RUMAH SAKIT SARANA KESELAMATAN JIWA

PEDOMAN TEKNIS PRASARANA RUMAH SAKIT SARANA KESELAMATAN JIWA PEDOMAN TEKNIS PRASARANA RUMAH SAKIT SARANA KESELAMATAN JIWA DIREKTORAT BINA PELAYANAN PENUNJANG MEDIK DAN SARANA KESEHATAN DIREKTORAT BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2012 i PENGANTAR

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran di PPS Nizam Zachman Jakarta. Bagian Tata Usaha. Bidang Tata Operasional

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran di PPS Nizam Zachman Jakarta. Bagian Tata Usaha. Bidang Tata Operasional 6 PEMBAHASAN 6.1 Kelembagaan Penanggulangan Kebakaran di PPS Nizam Zachman Jakarta Unit pemadam kebakaran dan penanggulangan bencana (Damkar-PB) Pos Jaga Muara Baru dan TB.Mina Antasena mempunyai hubungan

Lebih terperinci

PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 26/PRT/M/2008 TANGGAL 30 DESEMBER 2008 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT

Lebih terperinci

ANALISIS TIGA FAKTOR DOMINAN SISTEM PROTEKSI AKTIF DAN PASIF SERTA SISTEM TANGGAP DARURAT KEBAKARAN DI GEDUNG VOKASI UI TAHUN 2013

ANALISIS TIGA FAKTOR DOMINAN SISTEM PROTEKSI AKTIF DAN PASIF SERTA SISTEM TANGGAP DARURAT KEBAKARAN DI GEDUNG VOKASI UI TAHUN 2013 ANALISIS TIGA FAKTOR DOMINAN SISTEM PROTEKSI AKTIF DAN PASIF SERTA SISTEM TANGGAP DARURAT KEBAKARAN DI GEDUNG VOKASI UI TAHUN 2013 Tri Kurniawan* L. Meily Kurniawidjaja** Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Lebih terperinci

Lampiran 1 DENAH INSTALASI ICU. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1 DENAH INSTALASI ICU. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1 DENAH INSTALASI ICU Lampiran 2 PEDOMAN WAWANCARA DENGAN KEPALA INSTALASI SARANA DAN PRASARANA ANALISIS SISTEM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI FASILITAS INTENSIVE CARE UNIT(ICU)RSUP

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PENGAMANAN OBJEK VITAL DAN FASILITAS PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS Prosedur Perencanaan Sistem Proteksi Kebakaran

BAB IV HASIL DAN ANALISIS Prosedur Perencanaan Sistem Proteksi Kebakaran BAB IV Bab IV Hasil dan Analisis HASIL DAN ANALISIS 4.1. Prosedur Perencanaan Sistem Proteksi Kebakaran Sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran merupakan suatu kombinasi dari berbagai sistem untuk

Lebih terperinci

Keselamatan Kerja Bidang Kebakaran Pada Fasilitas Hotel

Keselamatan Kerja Bidang Kebakaran Pada Fasilitas Hotel Keselamatan Kerja Bidang Kebakaran Pada Fasilitas Hotel I Wayan Sukania Staf Pengajar Program Studi Teknik Industri Universitas Tarumanagara Jakarta Abstraksi Hotel sebagai industri jasa sudah selayaknya

Lebih terperinci

Page 1 of 14 Penjelasan >> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DALAM WILAYAH KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DALAM WILAYAH KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DALAM WILAYAH KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa ancaman bahaya

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil Penilaian

Lampiran 1 Hasil Penilaian Lampiran 1 Hasil Penilaian FORMULIR ISIAN DATA ANGUNAN Tanggal : 12 s.d. 16 September 2017 Pemeriksa : Akhid Gunawan Tanda Tangan : DATA ANGUNAN Nama bangunan : Hotel UNY Alamat : Jl arangmalang aturtunggal

Lebih terperinci

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN

MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN LAMPIRAN III PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA MITIGASI DAMPAK KEBAKARAN III.1.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 12 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 12 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 12 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum

K3 KEBAKARAN. Pelatihan AK3 Umum K3 KEBAKARAN Pelatihan AK3 Umum Kebakaran Hotel di Kelapa Gading 7 Agustus 2016 K3 PENANGGULANGAN KEBAKARAN FENOMENA DAN TEORI API SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN FENOMENA & TEORI API Apakah...? Suatu proses

Lebih terperinci

BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG 1 BUPATI BENGKAYANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Lebih terperinci

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN LAMPIRAN II PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA SISTEM DETEKSI DAN PEMADAMAN KEBAKARAN

Lebih terperinci

BAB II PIRANTI INPUT DAN OUTPUT. Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan

BAB II PIRANTI INPUT DAN OUTPUT. Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan BAB II PIRANTI INPUT DAN OUTPUT 2. 1. Pendahuluan Kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen, sehingga dapat menghasilkan

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan. Ungkapan yang sering kita dengar tersebut menggambarkan bahwa api mempunyai manfaat yang banyak tetapi juga dapat mendatangkan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga

BAB 1 : PENDAHULUAN. potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran

Lebih terperinci

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB IV KONSEP PERANCANGAN BAB IV KONSEP PERANCANGAN IV.1 KONSEP TAPAK DAN RUANG LUAR IV.1.1 Pengolahan Tapak dan Ruang Luar Mempertahankan daerah tapak sebagai daerah resapan air. Mempertahankan pohon-pohon besar yang ada disekitar

Lebih terperinci

EVALUASI TANGGA KEBAKARAN SEBAGAI SARANA EVAKUASI KEBAKARAN ( STUDI KASUS UMB TOWER )

EVALUASI TANGGA KEBAKARAN SEBAGAI SARANA EVAKUASI KEBAKARAN ( STUDI KASUS UMB TOWER ) LAPORAN PENELITIAN EVALUASI TANGGA KEBAKARAN SEBAGAI SARANA EVAKUASI KEBAKARAN ( STUDI KASUS UMB TOWER ) PENELITI: ARYO INDRA NUGROHO (NIM: 41209010031) PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bangunan gedung menurut UU RI No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 16 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 16 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 16 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWAKARTA, Menimbang : a. bahwa untuk menghindari

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DAN RETRIBUSI PEMERIKSAAN ALAT PEMADAM KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru.

BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. dengan lingkungannya yang baru. BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan Beberapa hal yang menjadi dasar perencanaan dan perancangan Asrama Mahasiwa Bina Nusantara: a. Mahasiswa yang berasal dari

Lebih terperinci

BAB V KONSEP. Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki

BAB V KONSEP. Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki BAB V KONSEP 5.1 Konsep Perancangan Tapak 5.1.1 Pencapaian Pejalan Kaki Gambar 5.1: Kesimpulan Analisa Pencapaian Pejalan Kaki Sisi timur dan selatan tapak terdapat jalan utama dan sekunder, untuk memudahkan

Lebih terperinci

2. DETONATOR 1. DEFINISI BAHAN PELEDAK

2. DETONATOR 1. DEFINISI BAHAN PELEDAK UNDANGUNDANG No. 1 Tahun 1970, Tentang Keselamatan Kerja UNDANGUNDANG No. 4 Tahun 2009, Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara PP No. 19 Tahun 1973, Tentang Pengaturan dan Pengawasan K3 Pertambangan

Lebih terperinci

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG QANUN KOTA LANGSA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DAN RETRIBUSI PEMERIKSAAN ALAT PEMADAM DALAM WILAYAH PEMERINTAH KOTA LANGSA B I S M I L L A H I R R A H M A N I R R A H I M

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran Gedung

BAB III LANDASAN TEORI. A. Evaluasi Sistem Proteksi Kebakaran Gedung A III LANDASAN TEORI A. Evaluasi Sistem Proteksi ebakaran Gedung Evaluasi terhadap sistem proteksi kebakaran dapat dilakukan dengan menggunakan suatu jenis pedoman. Salah satu pedoman yang bisa dipakai

Lebih terperinci

PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP DALAM SISTEM RESI GUDANG

PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP DALAM SISTEM RESI GUDANG LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI NOMOR : 03/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 TANGGAL : 9 JULI 2007 PERSYARATAN UMUM DAN PERSYARATAN TEKNIS GUDANG TERTUTUP 1. Ruang lingkup

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I No.KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DITEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R.

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I No.KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DITEMPAT KERJA MENTERI TENAGA KERJA R. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I No.KEP.186/MEN/1999 TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DITEMPAT KERJA Minimbang : MENTERI TENAGA KERJA R.I 1. bahwa kebakaran di tempat kerja berakibat sangat merugikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Suatu bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran

LAMPIRAN. Suatu bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran LAMPIRAN Sistem proteksi pasif terdiri dari : Ketahanan Api dan Stabilitas Suatu bangunan gedung harus mampu secara struktural stabil selama kebakaran sehingga pada saat terjadi kebakaran pengguna gedung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ground Tank Ground tank atau dalam bahasa Indonesia lebih sering disebut Tangki bawah tanah, merupakan salah satu bentuk bak penampungan air yang dibangun atau diletakkan

Lebih terperinci

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-01/Bapedal/09/1995 Tanggal : 5 September 1995 TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BAB V KONSEP PERANCANGAN V.1. Konsep Perancangan Makro V.1.1. Konsep Manusia Pelaku kegiatan di dalam apartemen adalah: 1. Penyewa meliputi : o Kelompok orang yang menyewa unit hunian pada apartemen yang

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan Maret 2013 di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan Maret 2013 di 22 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan pada Mei hingga Juli 2012, dan 20 22 Maret 2013 di Laboratorium dan Perbengkelan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 9. Cukup jelas. Pasal 2. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6. Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 0000 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

Instalasi hydrant kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran tetap yang menggunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan melalui

Instalasi hydrant kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran tetap yang menggunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan melalui Teknik Perpipaan Instalasi hydrant kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran tetap yang menggunakan media pemadam air bertekanan yang dialirkan melalui pipa-pipa dan slang kebakaran. Sistem ini terdiri

Lebih terperinci

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG

WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG WALIKOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG NOMOR 06 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDAR

Lebih terperinci

Sistem Proteksi Kebakaran pada Gedung UKM Universitas Brawijaya Malang

Sistem Proteksi Kebakaran pada Gedung UKM Universitas Brawijaya Malang Sistem Proteksi Kebakaran pada Gedung UKM Universitas Brawijaya Malang Atika Rossydina Putri Prabawati 1 dan Heru Sufianto 2 1 Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DI KABUPATEN KENDAL

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DI KABUPATEN KENDAL PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pelatihan

BAB V PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pelatihan BAB V PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Konsep Perancangan 5.1.1 Aspek Fungsional Pengelompokan berdasarkan area aktivitas besar : Pelatihan pelatihan kerja (teori&praktek) uji sertifikasi,informasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 PENDAHULUAN Sistem pemadam kebakaran atau sistem fire fighting disediakan digedung sebagai preventif (pencegahan) terjadinya kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem sprinkler,

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Hasil penelitian yang dilakukan di PT. Asahimas Chemical mengenai

BAB V PEMBAHASAN. Hasil penelitian yang dilakukan di PT. Asahimas Chemical mengenai digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan di PT. Asahimas Chemical mengenai penerapan emergency preparedness & response yang dapat penulis bahas sebagai berikut : A. Emergency

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERANCANGAN BAB V KONSEP PERANCANGAN 5.1. Konsep Perancangan Perancangan Asrama Mahasiswa Universitas Mercu Buana ini diharapkan dapat menjadi hunian asrama yang nyaman aman dan mudah dijangkau bagi mahasiswa Universitas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 12 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 12 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG Salinan NO : 12/LD/2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 12 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

STUDI TINGKAT KEANDALAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN APARTEMEN (Studi Kasus Apartemen Di Surabaya)

STUDI TINGKAT KEANDALAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN APARTEMEN (Studi Kasus Apartemen Di Surabaya) DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), Vol. 39, No. 1, July 2012, 15-22 ISSN 0126-219X STUDI TINGKAT KEANDALAN SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN APARTEMEN (Studi Kasus Apartemen

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR

MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KEBAKARAN PADA KAPAL PENUMPANG MELALUI UPAYA PERANCANGAN DETEKTOR Mohamad Hakam Prodi : Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pada era globalisasi sekarang ini, semua negara berlomba-lomba untuk meningkatkan kemampuan bersaing satu sama lain dalam hal teknologi. Hal ini dapat dilihat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2004 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2004 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA KEBAKARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Data Proyek Gambar 5.1 RUTRK Tapak Luas Lahan : 10.150 m 2 KDB : 20% x 10.150 m 2 = 2.030 m 2 KLB : 2,5 x 10.150 m 2

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan. mengenai isu krisis energi dan pemanasan global.

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan. mengenai isu krisis energi dan pemanasan global. BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V. 1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan Konsep dasar perancangan kostel ini yaitu untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi mahasiswa Binus University, khususnya

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Perencanaan dan Perancangan 5.1.1 Program Ruang Topik dari proyek ini adalah perilaku atlet, dengan tema penerapan pola perilaku istirahat atlet

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG KETENTUAN DESAIN SISTEM PROTEKSI TERHADAP KEBAKARAN DAN LEDAKAN INTERNAL PADA REAKTOR DAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Repository.Unimus.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebakaran merupakan suatu bencana/musibah yang akibatkan oleh api dan dapat terja mana saja dan kapan saja. Kebakaran yang akibatkan oleh ledakan atau ledakan yang akibatkan

Lebih terperinci

Syarat Bangunan Gedung

Syarat Bangunan Gedung Syarat Bangunan Gedung http://www.imland.co.id I. PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia sedang giatnya melaksanakan kegiatan pembangunan, karena hal tersebut merupakan rangkaian gerak perubahan menuju kepada

Lebih terperinci

Pemeriksaan keselamatan kebakaran bangunan gedung

Pemeriksaan keselamatan kebakaran bangunan gedung Pemeriksaan keselamatan kebakaran bangunan gedung 1 Ruang lingkup Pedoman ini mencakup langkah-langkah pemeriksaan keselamatan bangunan terhadap bahaya kebakaran yang dimaksudkan untuk mengetahui tingkat

Lebih terperinci

Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA

Sistem Pencegahan dan. Kebakaran. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA Sistem Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA Kecelakaan kerja Frank Bird Jr : kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi

Lebih terperinci