BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota. Gorontalo menurut Perda No.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota. Gorontalo menurut Perda No."

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaturan hukum Penyelenggaraan Transparansi Pemerintahan di Kota Gorontalo menurut Perda No. 3 Tahun 2002 Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 2002 dikaji dan dibentuk karena adanya berbagai tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan Pemerintah yang sifatnya terbuka utamanya dalam bidang Pembangunan di Kota Gorontalo, sehingga Pemerintah membentuk aturan yang mengatur tentang Transparansi terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Mewujudkan hal itu, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Gorontalo yang saat itu diketuai Bapak Hj. Adhan Dambea, saat ini menjabatsebagai Walikota Gorontalo mengajukan Peraturan Daerah tentang Transparansi yang secara teknis mengatur dan mendesain beberapa aspek yang wajib disampaikan Pemerintah Kota Gorontalo. Secara garis besar aspek maupun pengaturan hukum tentang penyelenggaraan pemerintahan Kota Gorontalo yang tercantum dalam Perda Transparansi meliputi; 1. Informasi seluruh proses perencanaan pembangunan (Visi, Misi dan Strategi) mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota. 2. Informasi pembahasan APBD mulai dari penganggaran sampai dengan pembahasan dan penetapan. 3. Informasi yang berkaitan dengan penataan Tata Ruang Kota Gorontalo. 43

2 4. Informasi proses pengawasan mencakup obyek yang diawasi sampai hasil-hasil audit. 5. Proses perjanjian dan kontrak kerja sesuai dengan kewenangan masing-masing badan publik. Perda Transparansi itu sendiri terdiri dari 11 BAB, 40 pasal meliputi : - Bab I berisi Ketentuan Umum yang terdiri dari 1 pasal dan 18 ayat. - Bab II berisi Kewajiban dan Hak yang terdiri dari 9 pasal. Pasal 2 mengatur tentang Kewajiban yang meliputi Informasi, Prosedur, dan Pengambilan Kebijakan. Pasal 3 dan Pasal 4 berisi Informasi Yang Wajib Diumumkan Secara Aktif. Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 berisi tentang Informasi Yang Wajib Tersedia Setiap Saat. Pasal 8 yang berisi tentang Informasi Yang Wajib Diumumkan Secepatnya. Pasal 9 yang berisi tentang Prosedur. Pasal 10 yang berisi tentang Proses Pengambilan Kebijakan. - Bab III berisi Hak Masyarakat Terhadap Badan Publik Informasi yang terdiri dari 3 pasal. Pasal 11 dan Pasal 12 yang berisi tentang Prosedur, dan Pasal 13 yang berisi tentang Pengambilan Kebijakan. - Bab IV berisi Informasi Yang Dikecualikan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 14 dan terdiri dari 4 ayat. - Bab V berisi Komisi Transparansi yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 15. Pasal 16 yang berisi tentang Kedudukan. Pasal 17 yang berisi Tentang Susunan. Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 yang berisi tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Komisi Transparansi. 44

3 - Bab VI berisi Tugas, Fungsi Dan Wewenang Komisi Transparansi yang terdiri dari 7 pasal. Pasal 21. Pasal 22 yang berisi tentang Tugas. Pasal 23 yang berisi tentang Fungsi. Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 yang berisi tentang wewenang. Pasal 27 yang berisi tentang Mekanisme Pengaduan Kepada Komisi Transparansi. - Bab VII berisi Keberatan yang terdiri dari 3 Pasal. Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal Bab VIII berisi Anggaran Dan Biaya yang di terangkan pada Pasal 31 dan Pasal Bab IX berisi Sanksi Pidana yang terdiri dari 6 pasal. Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal Bab X berisi Ketentuan Peralihan yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal Bab XI berisi Ketentuan Penutup yang terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 40. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 ditetapkan Walikota Gorontalo Medi Botutihe tanggal 13 Maret Diberlakukan di Gorontalo pada tanggal 27 Maret 2002 dan diundangkan Sekretaris Daerah Kota Gorontalo Abdul Wahab Thalib dalam Lembaran Daerah Kota Gorontalo tahun 2002 Nomor 03 seri E. Berkaitan dengan hal di atas, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Gorontalo Adhi Mo o SH mengatakan, bahwa lahirnya Perda Transparansi ini jauh sebelum adanya UU yang mengatur hal serupa, (UU No. 14 Tahun 2008) tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurut Kabag Hukum bahwa Perda Transparansi dalam pembahasannya telah melalui kajian beberapa unsur antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Kota dan Unsur DPRD Kota Gorontalo yang menjadi bukti adanya komitmen Pemkot Gorontalo dalam hal memberikan pelayanan kepada 45

4 masyarakat khususnya dibidang informasi pembangunan daerah, meski disayangkan belum mengikutsertakan peran akademisi atau Perguruan Tinggi dalam penyusunannya. Terlebih menurut Adhi, hadirnya Komisi Transparansi yang dibentuk oleh DPRD sebagai bukti keseriusan dan komitmen dalam memberikan perlindungan dan jaminan perolehan informasi oleh masyarakat 1. Pada dasarnya apa yang sudah diatur dalam perda transparansi ini menurut Adhi, belum sepenuhnya terlaksana maksimal. Faktor penghambatnya adalah minimnya pengetahuan masyarakat adanya suatu lembaga independent yang disebut dengan Komisi Transparansi serta peran komisi ini dalam proses pembangunan berkelanjutan. Terlebih, komisi transparansi yang didirikan sejak tahun 2003 yang pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan berfungsi melakukan penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi dan sebagainya yang diatur dalam keputusan Walikota tersebut belum sepenuhnya bekerja sesuai dengan tufoksinya. Disamping itu, mengingat salah satu aspek transparansi adalah komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah, maka sewajarnya kantor pemerintahan harus mempublikasikan informasi yang berhubungan dengan rakyat mengenai struktur, fungsi dan operasi serta kinerja yang dihasilkan oleh organisasi tertentu. Selain itu, prosedur internal yang digunakan kantor atau lembaga pemerintah dalam melakukan 1 Wawancara, tanggal 15 Juni

5 pelayanan harus disusun secara baik guna memenuhi hak masyarakat terhadap informasi. Pernyataan Kabag Hukum Kota Gorontalo dipertegas oleh Ketua Komisi Transparansi Abd. Hais Isa, S.Ag melalui Sekertarisnya Drs. Ridwan S. Saleh, bahwa lembaga independent yang saat ini berkedudukan di Kota Gorontalo, memiliki lima (5) personil serta dua (2) orang staf sebagai pengelola administrasi dan keuangan kurang berjalan efektif, salah satu faktor penghambat adalah pemahaman masyarakat tentang tugas dan fungsi komisi ini belum begitu maksimal disebabkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, serta ketidak jelasan wewenang dan dukungan yang diberikan pemerintah baik dari segi anggaran maupun petunjuk teknis. Ridwan mengakui bahwa semua itu dapat dilihat dari kurang efektifnya komisi transparansi saat ini dalam menjalankan tugasnya sesuai amanat perda, seperti terbatasnya kewenangan yang diberikan dalam menjalankan tugas yang ditetapkan dalam keputusan walikota. Misalnya, komisi transparansi tidak diperkenankan untuk melakukan sidang komisi dalam memutuskan perkara atau menyelesaikan sengketa transparansi seperti yang tercantum dalam UU KIP. Selain itu pula, tidak adanya kejelasan penganggaran untuk komisi ini yang menyebabkan terhambatnya aktivitas pelaksanaan sosialisasi dan tugas operasional lainnya. Harus diingat pula bahwa perda merupakan produk politis, sehingga kadang kala kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi perda,dan hal itu harus diberi perhatian seriusagar tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Seperti halnya terjadi dalam Perda Transparansi di Kota Gorontalo yang 47

6 menurut pengurus komisi transparansi (Ridwan Saleh) 2 penegasan dan pemberlakuannya bersifat setengah-setengah, dalam arti belum adanya ketegasan dari pihak pemerintah untuk melegitimasi sepenuhnya apa yang menjadi peran komisi transparansi termasuk penyesuaian aturan ini ke dalam peraturan lebih tinggi yang telah ada sekarang (UU KIP), sekaligus menjadi pedoman bagi aturan di bawahnya untuk menghindari adanya vorg norm (kekaburan norma) dalam pemberlakuannya. Perda merupakan produk politis yang kadang kala kebijakan daerah pun bisa di politisasi dan terkadang tidak sesuai lagi dengan isi dan cita hukum. Ridwan mencotohkan, di dalam Perda terdapat ketetapan bahwa semua Badan Publik wajib menyediakan informasi yang disampaikan langsung kepada Komisi Transparasi untuk selanjutnya dilaporkan ke pemerintah daerah dalam rangka perbaikan dan pengembangan kedepan. Akan tetapi, ketika badan publik bersangkutan memberikan informasi tentang penurunan prestasi dalam unit kerjanya, hal itu justru berdampak buruk bagi badan publik itu sendiri. Bahkan tak jarang menurut Ridwan, pimpinan badan publik kena imbas berupa peneguran maupun pemecatan. Hal ini menjadi sebuah situasi menyulitkan dan terkesan dipaksakan, begitu pula dialami komisi transparansi yang seakan dianaktirikan. Dikatakan Ridwan, bukan tanpa alasan hal ini dikemukakan mengingat kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah daerah baik materil maupun moril. Sehingga tak mengherankan jika saat ini pengurus komisi transparansi berkeinginan 2 wawancara 48

7 untuk melebur dan bergabung ke dalam Komisi Informasi yang lebih jelas pengakuannya, yakni pembentukannya melalui UU KIP dan didukung oleh Standar Operasional Prosuder (SOP) serta aturan mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding peraturan daerah yang sifatnya lemah. Menurut Ridwan, keinginan para anggota komisi transparansi agar dilakukan revitalisasi organisasi akan disampaikan langsung kepada Walikota Gorontalo, selanjutnya disarankan pula agar Perda melakukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yaitu UU Kerebukaan Informasi Publik No. 14 Tahun Menganalisis masalah perda, peneliti membahasnya dalam beberapa aspek diantaranya, Perda ditinjau dari landasan Asas Pembentukan, Kesesuaian Norma dan Hierarki Perundang-undangan serta ketidaksesuian Perda dengan UU KIP. 1. Landasan dan Asas Pembentukan Perda Pada dasarnya Penerbitan suatu peraturan perundang-undangan di negara Indonesia hingga kini masih terus berlangsung karena dinilai merupakan sebuah kebutuhan, terutama dalam menjamin kehidupan masyarakat yang adil dan terwujudnya hak serta kewajiban yang dilindungi. Namun demikian ada hal yang patut diperhatikan dan kadang kala menjadi faktor penghambat implementasi aturan tersebut, antara lain tidak adanya partisipasi masyarakat untuk mengisi ruang aspirasi dan melakukan apresiasi terhadap substansi peraturan perundangan-undangan yang sedang disusun. 49

8 Sistem partisipatoris dimaksud dibutuhkan dalam negara demokratis karena sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham mengenai kebutuhannya. Bermula dari pemerintahan modern yang saat ini cenderung semakin luas dan kompleks, negara dalam hal ini pemerintah semestinya lebih membina hubungan yang baik masyarakat dalam rangka penguatan partisipasi publik. Partisipasi warga negara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembangunan, dimana hal ini memberikan pula kemungkinanan kepada seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan tersebut. Selain masyarakat secara umum, pihak lain seperti akademisi turut berperan penting dalam memberikan pendapat demi terwujudnya kesempurnaan aturan, termasuk pakar bahasa dapat dimintai masukan dalam tahapan penyusunannya yang kesemua itu dituangkan ke dalam Naskah Akademik. Berkaitan dengan hal di atas, perda sepatutnya memuat Naskah Akademik (NA) sebagai penjabaran landasan dan pembentukannya, mengingat hal ini telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2011 pasal 19 dan 48, yakni pengajuan rancangan peraturan disertai dengan NA. Akan tetapi, hal ini belum direalisasikan dalam pembentukan perda transparansi. Salah satu bagian terpenting lainnya dalam pembentukan Perundang-undangan termasuk perda transparansi adalah landasan filosofis terkait nilai yang berkembang dalam masyarakat dan sosiologis adalah harapan masyarakat dimana menjadi bagian terpenting dalam memberikan pandangannya sebelum dilakukan penerapan sebuah 50

9 aturanyang diinginkan dan dicita-citakan masyarakat sebagai objek pelaksanaan aturan dimaksud. Hal lain yang patut diperhatikan dalam penerbitan suatu aturan adalah terpenuhinya asas hukum antara lain keterbukaan, artinya bahwa dalam setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Jika dikaitkan dengan indikator transparansi sebagai mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi semua proses-proses pelayanan publik, sepatutnya dilakukan pemerintah sejak awal. Tujuannya adalah menjamin kondisi yang sehat, menciptakan komunikasi dan manajemen pemerintahan dalam upaya meningkatkan kinerja optimal pemerintah melalui bentuk keputusan dan kebijakan mengikat masyarakat umum demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Indikator lainnya adalah, transparansi sebagai mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan, maupun proses-proses di dalam sektor publik sangat dibutuhkan dalam memperkuat sistem demokrasi sebagai upaya mendukung pluralisme dan kebersamaan antara masyarakat dan pemerintah, terutama meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik yang diberikan stakeholder. Mengkaji asas lain dalam pembentukan peraturan yang juga telah dicantumkan dalam kajian pustaka peneliti, yakni kejelasan tujuan yang berarti bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan pasti yang hendak dicapai serta asas dapat dilaksanakan harus dimiliki oleh sebuah aturan. 51

10 Maksud dari asas ini adalah, bahwa setiap regulasi yang diterbitkan pejabat berwenang sebaiknya memperhatikan efektifitas pemberlakuannya di lapangan atau dengan kata lain bisa diterima dengan baik masyarakat, selain itu juga dengan mempertimbangkan terlebih dahulu landasan pembentukannya baik filosofis, yuridis maupun sosiologis. Hal inilah yang belum diimplementasikan sepenuhnya dalam penyusunan perda transparansi. Berdasarkan wawancara peneliti, perda yang dibentuk bersama tim legislatif dan eksekutif serta melibatkan juga unsur yudikatif ini, tidak mengikutsertakan pihak akademisi yang dibuktikan dengan tidak dibuatkannya Naskah Akademik (NA), seperti yang diamanatkan UU.Naskah akademik sendiri yang jika diartikan dalam UU adalah sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Hal ini pula membuktikan betapa peran NA dalam Peraturan Perundangundangan menjadi media dalam menampung dan menghimpun aspirasi serta kepentingan masyarakat yang kemudian diterjemahkan melalui pasal dalam Peraturan, demi tercapainya asas dan tujuan hukum itu sendiri. Perda tranparansi saat ini jika dikaitkan dengan asas pembentukannya, peneliti menilai masih sangat jauh dan lemah dari apa yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-udangan. Seperti asas yang memuat bahwa setiap pembentukan peraturan 52

11 perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. Contoh, perda transparansi seyogianya menjadikan UU KIP No. 14 Tahun 2008 sebagai salah satu landasan yuridisnya, mengingat materi muatan yang ada dalam aturan ini secara menyeluruh mengatur hal serupa seperti terdapat dalam Perda yang merupakan aturan dengan tingkatan lebih rendah. Memperjelas hal di atas, peneliti menguraikan fakta mengenai keberadaan kedua aturan yang tercantum dalam tabel di bawah ini : Tabel Persamaan materi muatan dalam UU No. 14 Tahun 2008 dan Perda No UU KIP PERDA 1 Pasal 10 (1) Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. (2) Kewajiban menyebarluaskan Informasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami. Pasal 8 1) Badan publik wajib mengumumkan secara serta merta tanpa penundaan suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak. 2) Kewajiban menyebarluaskan informasi sebagaimarma dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat dan dengan cara-cara yang dapat menjamin masyarakat luas menjangkaunya dan mendapatkannya secara merata. 2 BAB V INFORMASI YANG BAB IV INFORMASI YANG DIKECUALIKAN 53

12 DIKECUALIKAN Pasal 17 Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: 1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; 2. mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana; 3.mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; 4.membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau 5.membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum. b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan Pasal 14 Setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap orang untuk mendapatkan informasi publik, kecuali : 1) lnformasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi publik yang apabila dibuka dapat : a. Mengungkapkan identitas informasi, pelapor, pengadu, saksi, dan / atau korban yang mengetahui adanya kejahatan, atau ; b. Mengungkapkan data intelejen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan kriminal dan terorisme, atau ; c. Membahayakan keselamatan dan kehidupan petugas penegak hukum dan / atau keluarganya, atau : d. Membahayakan keamanan peralatan, sarana /prasarana penegakan hukum. 2) Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindangan dari persaingan usaha tidak sehat. 3) Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang 54

13 perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu: 1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; 2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi; 3. jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya; 4. gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer; h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional yaitu : a. Informasi tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri. b. Dokumen yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan. c. Data perkiraan kemampuan militer negara lain. d. Jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangannya. e. Keadaan pangkalan tempur. 4) Informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang dapat melanggar kerahasiaan pribadi yaitu informasi yang dapat : a. Mengungkapkan riwayat, kondisi dan perawatan kesehatan fisik, psikiatrik, psikologi seseorang. b. Mengungkapkan kondisi keuangan, aset pendapatan, rekening bank seseorang kecuali yang sudah diumumkan dalam lembaran negara. c. Mengungkapkan tentang hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabililas, intelektualitas, atau rekomendasi kemampuan seseorang. 55

14 pribadi, yaitu: 1. riwayat dan kondisi anggota keluarga; 2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; 3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; 4. hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan. Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi Data yang terlihat diatas (Tabel) menunjukkan, bahwa adanya kemiripan kata maupun kalimatdalam Peraturan Daerah dengan UU KIP, dimana seharusnya perda merupakan penjabaran dari materi/substansi Undang-undang atau aturan yang lebih diatasnya. Hal ini tentu bisa mengundang pertanyaan, mengingat hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap Pemerintah dan DPRD Kota Gorontalo, bahwa proses keberadaan UU KIP antara lain didorong oleh adanya suatu regulasi daerah yang pada saat itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang mengatur tentang keterbukaan dan diistilahkan dengan Transparansi di Kota Gorontalo. Akan tetapi apapun yang menjadi alasan dalam proses penerbitan UU KIP, hal ini 56

15 sepatutnya menjadi suatu bahan referensi daerah dalam melaksanakan perbaikan dan penyusunan perda transparansi. Terlihat pada kolom satu Perda adalah; (1). Badan publik wajib mengumumkan secara serta merta tanpa penundaan suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak. (2) Kewajiban menyebarluaskan informasi sebagaimarma dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat dan dengan cara-cara yang dapat menjamin masyarakat luas menjangkaunya dan mendapatkannya secara merata. Kalimat ini hampir tidak memiliki perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan antara keduanya, yakni pada Pasal 10 UU KIP. Contoh lain yang terlihat jelas adalah pada BAB IV Peraturan Daerah dan BAB V UU KIP yang menyatakan hal serupa dengan kalimat yang sama, dapat mengundang persepsi lain pembaca, bahwa kedua aturan ini dibuat dan disusun menggunakan rancangan yang sama atau berasal dari 1 (satu) sumber, meskipun keduanya berbeda waktu pengundangannya. Meski demikian peneliti tidak akan berspekulasi bahwa kedua aturan di atas disusun melalui suatu konsep kajian yang sama, walaupun dari hasil wawancara yang diperoleh peneliti melalui pemerintah kota dalam hal ini kepala bagian hukum, mengaku bahwa jika UU KIP ini lahir atas dasar Kejar Tayang. Menyikapi pernyataan di atas, agar menghindari adanya perbedaan dan ketidakharmonisan aturan, sebaiknya peraturan daerah dibuat dan disusun dengan memadukan antara substansi yang diatur dalam UU dan disesuaikan dengan kondisi 57

16 wilayah/daerah yang lebih dipersempit ruang lingkupnya sehingga mencapai suatu hasil yang optimal dalam pencapaian sasaran/tujuan. Contoh : pada BAB IV (Perda) Informasi yang apabila dibuka dan diberikan kepada orang merugikan strategi pertahanan dan keamanan nasional yaitu; a. Informasi tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri. b. Dokumen yang memuat rencana strategi pelaksanaan peperangan. c. Data perkiraan kemampuan militer negara lain. d. Jumlah dan komposisi satuan tempur dan rencana pengembangannya. e. Keadaan pangkalan tempur. Menurut peneliti, penekanan kalimat diatas sebaiknya lebih diperkecil dalam lingkup suatu daerah, mengingat hal itu telah diatur dan dijelaskan melalui Peraturan yang lebih berwenang yakni Undang-undang KIP. Misalnya pada point (a) keamanan Negara diganti menjadi keamanan Daerah. Selain Itu, Informasi tentang intelejen taktik, strategi pertahanan dan keamanan negara dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri telah diatur oleh negara dalam hal ini Pemerintah Pusat karena menyangkut masalah nasional, yang pada dasarnya mengenai ketentuan itu masih dalam pengaturan dan kewenangan pemerintah pusat yang belum diserahkan ke daerah melalui UU Otonomi Daerah, seperti juga telah dicantumkan sebelumnya dalam Bab Tinjauan Pustaka. 58

17 Melalui uraian singkat di atas, cukup menjadi alasan bahwa sebaiknya UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, menjadi bagian dari landasan yuridis perda transparansi sebagai acuan yang lebih tinggi. 2. Kesesuaian Norma Kejelasan rumusan dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunannya, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan atau bahkan bertentangan dengan peraturan di atasnya.berkenaan dengan hal tersebut, selain fungsi naskah akademik sangat diharapkan menjadi kekuatan dalam penyusunan aturan berupa pemberian pendapat kalangan akademisi, akan tetapi saran dan masukan pakar bahasa menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam pencapaian kesempurnaan aturan. Menelaah perda transparansi, peneliti membedakan aturan tersebut dengan UU KIP yang akan melihat kesesuian maupun pertentangan norma yang ada serta membahasnya melalui kajian, baik berupa hukum maupun kajian sosial, dalam bentuk tabel berikut penjelasan di bawahnya. Tabel Perbedaan UU No. 14 Tahun 2008 dengan Perda No. 3 Tahun 2002 No UU KIP Perda 59

18 1 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (Ayat 12 UU) Pemohon Informasi Publik adalah warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini 2 Asas dan Tujuan dimuat secara jelas yang tertuang dalam BAB II BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Ayat (18) Pemohon adalah setiap warga negara atau subyek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum yang meminta informasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini. Tidak dimuat secara jelas mengenai Tujuan Pembentukan Peraturan Daerah 3 BAB III Hak Dan Kewajiban Pemohon Dan Pengguna Informasi Publik Serta Hak Dan Kewajiban Badan Publik Bagian Kesatu Hak Pemohon Informasi Publik Pasal 4 (3) Setiap Pemohon Informasi Publik berhak mengajukan permintaan Informasi Publik disertai alasan permintaan tersebut. BAB III Hak Masyarakat Terhadap Badan Publik Informasi Pasal 12 1) Permintaan informasi dan warga kota tidak perlu untuk mencantumkan kepentingan memperolehinformasi tersebut. 4 Bagian Ketiga Informasi yang Wajib tersedia Setiap Saat Pasal 11 (1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang Pasal 5 Informasi yang wajib tersedia setiap saat 1) Badan publik wajib rnenyediakan informasi publik setiap saat yang 60

19 meliputi: a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; antara lain meliputi : a. daftar dari seluruh informasi publik yang berada dibawah penguasaannya termasuk informasi yang berada dalam kategori pengecualian. 5 Dalam Pasal 14 memuat tentang Informasi Publik yang wajib disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara dalam UndangUndang 6 BAB VII KOMISI INFORMASI Bagian Kedelapan Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 30 (Point h) pengangkatan anggota komisi informasi berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun Belum mencantumkan materi yang ada dalam Pasal 14 UU KIP sebagai penjabaran substansi/materi Perda BAB V KOMISI TRANSPARANSI Pasal 18 Pengangkatan dan Pemberhentian Untuk dapat diangkat sebagai anggota Komisi Transparansi, seorang calon harus memenuhi syarat seperti dalam ayat ( 1) Warga Negara Indonesia berusia minimal 27 tahun dan maksimal 60 tahun Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi Pertama, berdasarkan uraian tabel pada kolom satu,menunjukkan bahwa peraturan daerah menekankan kepada Pemohon informasi adalah bagi mereka subyek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Sementara itu, dalam UU 61

20 KIP tidak membatasi bagi pemohon informasi dengan kriteria demikian. Artinya adalah, dalam perundang-undangan ini (KIP) tidak mengatur bahwa pemberian informasi hanya bagi mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum, yang jika diberi makna arti cakap disini adalah bagi mereka yang dianggap telah dewasa dan mampu bertanggung jawab dalam hukum. Hal tersebut di atas dianggap bertentangan dengan Asas dan Tujuan UU KIP yang notabene memiliki kekuatan hukum lebih tinggi, yakni pada Bab II Pasal 2 ayat 1 Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik yang memang dalam pengertiannya tidak dijelaskan lebih detail mengenai syarat/ketentuan pengguna informasi dimaksud. Terlebih lagi dalam Bab yang sama pasal 3 UU KIP berisi tujuan Undang-undang adalah untuk mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Membahas pasal ini, peneliti ingin mengungkapkan bahwa keadaan seperti itu seakan membatasi hak masyarakat terutama yang dianggap dan berada dalam kategori tidak cakap. Contoh ilustrasi kecil adalah (jika seorang pelajar yang dikategorikan belum dewasa dan belum mampu bertanggung jawab, menginginkan sebuah penjelasan atau informasi tentang keputusan yang akan diambil sekolahnya dalam hal peningkatan kualitas yang diukur melalui kebijakan kepala sekolah, baik terkait strategi pengembangan kurikulum maupun cara peningkatan mutu lainnya, namun karena diberi batasan bahwa anak itu dianggap belum dewasa dan tidak layak diberi penjelasan (tidak cakap) sehingga anak didik tersebut tidak diberikan 62

21 pemahaman dalam bentuk informasi, padahal yang bersangkutan telah dijamin dan dilindungi oleh UU yakni diperbolehkan dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa). Menurut peneliti, sesuai alasan diatas, seyogianya Pasal 1 Perda tidak mencantumkan kata cakap sebab bisa bertetangan dengan Tujuan dari UU KIP yang pada dasarnya memang tidak membatasi hal demikian. Kedua, perda tidak memuat secara khusus tentang Asas dan Tujuan seperti dalam UU KIP, yang menurut peneliti perlu dicantumkan terutama tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah peraturan. Ini menghindari agar tidak terjadi seperti masalah pada kolom satu (1). Jika saja dalam materi Perda mencantumkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, maka tidak terjadi pembatasan hak dan kewajiban masyarakat terutama dalam hal perolehan informasi, dan tidak melahirkan pula pertentangan pasal di dalam aturan. Sekilas mengkaji tujuan atau sasaran yang hendak dicapai sebuah aturan menjadi sangat urgen utamanya menghindari kekaburan norma dimana dalam peraturan daerah tidak dicantumkan secara pasti dan jelas apa yang dicitacitakan (cita hukum). Ketiga, terdapat perbedaan antara Pasal 12 dalam Perda terhadap Pasal 4 UU KIP. Permintaan informasi dalam Peraturan Daerah tidak perlu mencantumkan kepentingan memperoleh informasi, sementara UU mengatur hal demikian yaitu; memerintahkan agar permintaan tersebut disertai dengan alasan yang jelas untuk memastikan kepentingan penggunaannya. Melihat persoalan ini, peneliti menyarankan agar perda yang memiliki kekuatan hukum lebih rendah mengikuti UU demi terwujudnya kesesuaian antar keduanya 63

22 selain juga tidak terjadi pertentangan norma, khususnya jika hal itu bisa berdampak kerugian bagi masyarakat, badan publik dan negara. Keempat, terdapat pertentangan antara pasal 5 ayat 1 bagian (a) Perda Transparansi dengan Pasal 11 ayat 1 (a) UU KIP, (kolom 4). UU KIP memberikan penekanan bahwa setiap badan publik wajib menyediakan informasi berupa daftar seluruh informasi publik yang ada di bawah penguasaannya dan tidak termasuk informasi yang yang dikecualikan, sementara Perda menegaskan bahwa informasi tersebut termasuk yang berada dalam kategori pengecualian. Bagian ini terdapat suatu pertentangan yang apabila dikaji melalui persoalan hukum, maka Perda jelas menyalahi aturan perudang-undangan yang lebih di atasnya termasuk bila dikaji dari sisi ekonomi sosial pernyataan yang ada dalam peraturan daerah bisa berdampak pada kerugian pihak-pihak terkait seperti kelompok badan publik yang mengelola masalah keuangan (perbankan), terlebih kerahasiaan kepentingan negara dan masyarakat. Melihat kenyataan diatas, dapat dinilai tidak adanya persepsi antara perda dengan peraturan di atasnya sehingga disarankan agar peraturan daerah No. 3 Tahun 2002 menyesuaikan perundang-undangan lebih tinggi, dengan tujuanmelahirkan kerangka dan konsep hukum menjadi satu kebulatan utuh. Lima, pasal 14 UU KIP memuat tentang Informasi Publik yang wajib disediakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara berupa; a). nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, 64

23 dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; b). nama lengkap pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perseroan; c). laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diaudit. Perda sendiri dalam muatannya belum mencantumkan materi yang ada dalam pasal Undang-undang tersebut, sehingga peneliti menyarankan perlu ditinjau kembali agar bisa dituangkan dalam Perda, bertujuan untuk mewujudkan kejelasan tentang sistem peraturan yang ditetapkan dan memberi kemudahan dalam pemberian layanan informasi yang dilakukan badan publik termasuk kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan informasi dimaksud. Keenam, perbedaan ketentuan antara Bab VII UU KIP dengan Bab V Perda, khususnya pada pengangkatan Anggota Komisi yang dibentuk berdasarkan perintah aturan. Dalam UU KIP yang memiliki kedudukan lebih tinggi mempersyaratkan batas maksimal Usia pengangkatan anggota komisi transparansi adalah 27 tahun, sedangkan Perda menetapkan batas usia paling rendah 35 tahun. Peneliti menilai hal itu perlu dilakukan penyesuaian kembali oleh peraturan dibawahnya. Penetapan batas umur yang diberikan oleh UU yakni minimal 35 tahun tentu telah melalui sebuah pembahasan dan pengkajian oleh pemerintah pusat, mengingat kematangan usia pun bisa mempengaruhi cara memimpin seseorang terutama dalam pengambilan keputusan. 3. Perda Dikaji dalam Hierarki Perundang-undangan 65

24 Tidak adanya konsistensi suatu peraturan perundang-undangan yang dimulai dari perancangan, pembahasan dan perumusan sampai ke tahap penetapan tentu bisa mengakibatkan tumpang tindih aturan satu dengan lainnya.hal demikian bisa terjadi karena pembentukannya yang kurang memperhatikan kesesuaian antara aturan yang lebih rendah dengan ketetapan lebih tinggiyang dikeluarkan pemerintah. Selain tidak didahului suatu kajian ilmiah dalam bentuk naskah akademik akan tetapi kurangnya koordinasi yang menyebabkan tidak sinkronnya suatu aturan, padahal jika dilihat dan dikaji kedua aturan tersebut justru mengatur persoalan serupa. Terlebih jika aturan yang dibuat tidak memperhatikan prosedur akan menciptakan suatu kejanggalan dan secara mekanismenyaperlu diatur dan disesuaikan untuk mencapai keselarasan, terutama menjaga keseimbangan aturan yang diharapkan menghasilkan sebuah produk hukum yang menunjukkan adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Tercantum dalam kajian pustaka peneliti yaitu asas tingkatan hirarki, dimana peraturan lebih tinggi kedudukannya memiliki kekuatan hukum yang tinggi pula dan Undang-undang baru menyampingkan UU yang lama. Akan tetapi, hal ini bertentangan dengan apa yang berlaku dalam perda transparansi. Jika ditinjau dari asas (hirarki), seharusnya perda menyesuaikan dengan UU KIP yang diterbitkan belakangan, baik penyesuaian norma, substansi dan nomenklatur. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan adanya penegasan mengenai teknik penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang saat ini jelas tertuang dalam UU No.12 tahun 2011 (Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang- 66

25 undangan Pasal 5 bagian c, yang isinya berupa kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan serta pada bagian f yang mengatur kejelasan rumusan). Perda Transparansi yang diterbitkan sejak tahun 2002 sampai dengan saat ini masih diberlakukan pemerintah Kota Gorontalo, jika dilihat dari asas hirarki pada UU No. 12 Tahun 2011 memiliki kedudukan paling rendah dibanding peraturan perundangan lainnya. Selain itu, adanya asas seperti yang diutarakan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terhadap perundang-undangan yang antara lain Undang-undang di buat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, memperjelas bahwa keberadaan UU KIP jelas memberi pengaruh dan dampak terhadap pemberlakuan perda transparansi yang pada dasarnya memang terdapat pertentangan norma seperti yang telah dijelaskan peneliti terlebih dahulu. Asas lain menyebutkan bahwa Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat lex priori), dan undang-undang tidak dapat diganggu gugat serta sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan/pelestarian (asas welvaarstaat). Pernyataan ini menjadi hal yang patut diperhatikan pemerintah kota gorontalo kaitannya dengan kesesuaian aturan dalam perda transparansi terhadap aturan yang diterbitkan dengan kedudukan lebih tinggi dan memuat materi baru yang tidak terdapat dalam perda. Dengan demikian, pemerintah kota gorontalo seharusnya melakukan pembenahan isi maupun substansi yang diatur perda melalui penekanan yang ada 67

26 dalam UU Keterbukaan Informasi Publik dengan cara merevitalisasi nomenklatur saat ini. Keberadaan perda tranparansi dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, penulis menilai bahwa keadaan ini menggambarkan tidak lagi dalam satu kesatuan sistem hukum nasional atau sistem perundangundangan seperti yang telah dijabarkan diatas (UU No. 12 tahun 2011). Pembentukan peraturan daerah pun selain didasarkan pada Pancasila yang menjadi sumber segala hukum dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, juga tertuang dalam Pasal 5 UU No 12 tahun 2011 meliputi beberapa asas, diantaranya kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, artinya bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Selain itu, dijelaskan pula dalam UU No.32 Tahun 2004 bahwa hal-hal yang dapat membatalkan perda adalah, apabila bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi serta telah habis masa berlaku yang ditentukan dalam peraturan tersebut. Perda transparansi pada dasarnya memang telah dibuat dan disusun oleh pejabat berwenang, sehingga secara hukum tidak berlaku bahwa perda batal demi hukum, akan tetapi dapat dibatalkan dengan memperhatikan keputusan pejabat yang lebih diatasnya dalam hal ini pemerintah sebagai pembuat UU KIP. 68

27 4. 2 Ketidaksesuaian Perda Transparansi No. 3 Tahun 2002 dengan UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 dan Perundang-undangan lainnya Peraturan daerah menjadi salah satu bagian dari sistem hukum yang diakui keberadaannya apabila mengikuti ketentuan sebagaimana telah dijelaskan peneliti sebelumnya dan memiliki kekuatan hukum mengikat selagi dilakukan berdasarkan perintah aturan yang lebih tinggi. Membahas Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002, peneliti melakukan kajian perbandingan melalui UU No. 14 Tahun 2008 dan mengelaborasinya dengan peraturan lain terkait sistematika perumusan perundang-undangan.sebelumnya telah dikemukakan pula keberadaan UU KIP yang mengatur hal sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perda, sehingga peneliti akan melihat ketidaksesuaian antara peraturan daerah untuk selanjutnya dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap peraturan yang telah ada. Tabel ketidaksesuaian Perda No. 3 Tahun 2002 dengan UU No. 14 Tahun 2008 (KIP) No UU KIP Perda 1 Penyelesaian Sengketa dimuat dalam BAB VIII (Pasal 37 sampai dengan Pasal 39) Perda tidak mencantumkan tata cara penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan transparansi (Pasal 21) 2 Memuat cara-cara penyelesaian Sengketa : Memuat cara penyelesaian sengketa melalui Ajudikasi non litigasi (Pasal 42) Tidak memuat cara penyelesaian sengketa (Ajudikasi) sebagaimana ketentuan dalam Perda 69

28 3 Memuat Sidang Komisi dalam BAB VIII Pasal 42 dan 43 4 Penting untuk memuat UU KIP sebagai Landasan Yuridis Tidak memuat Sidang Komisi dalam penyelesaian sengketa UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Tidak Terlalu Signifikan Dimasukkan Dalam Landasan Yuridis Perda No. 3 tahun 2002 Landasan Yuridis mengenai UU Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat hal itu tidak dibahas dalam BAB mapun Pasal Peraturan Daerah Perlu dikaji penerapan/pelaksanaan Landasan Yuridis pada point 18 yang memuat Keputusan Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangundangan dan bentuk rancangan undang-undang 5 BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 52 Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana BAB IX SANKSI PIDANA Pasal 33 1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi atau melaksanakan putusan yang telahdiberikan komisi ransparansi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan danserendah-rendahnya 3 (tiga) bulan serta denda setinggi-tingginya Rp (seratus jutarupiah) dan serendah-rendahnya Rp (lima puluh juta rupiah). 70

29 kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp ,00 (lima juta rupiah). Sumber : UU KIP dan Perda Transparansi Berdasarkan tabel di atas, peneliti membahas setiap kolom melalui uraian di bawah ini : Pertama, penyelesaian sengketa dalam UU KIP dituangkan dalam Bab VII, yakni diserahkan kepada Komisi Informasi (pasal 37 sampai pasal 39). Pasal 37 ayat (1) Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik. Pasal 38 ayat (2) Proses penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Dalam peraturan daerah, tugas komisi transparansi tertuang pada pasal 21 yakni Lembaga yang bersifat independen dan mempunyai tugas berfungsi serta berwewenang menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi. Akan tetapi, tidak dicantumkan cara penyelesaian sengketa seperti pada UU KIP, terlebih mengatur soal batas waktu maksimal penyelesaian, karena yang diatur hanya sebatas waktu pengajuan keberatan selama 30 hari dan tambahan waktu 14 hari bagi 71

30 badan publik dalam memberikan jawaban.hal ini tidak memberikan kepastian dan membingungkan masyarakat berkaitan dengan pemberian keputusan komisi transparansi sehingga menunjukkan ketidak sinkronisasinya Perda dengan UU KIP. Persoalan yang juga muncul dalam perda adalah, selain tidak dijelaskan langkah selanjutnya yang akan ditempuh apabila keberatan pemohon tidak dipenuhi, juga tidak dicantumkan pula proses yang ditempuh komisi transparansi apabila hal ini tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, padahal erat kaitannya dengan tugas dan wewenang komisi transparansi. Kedua,Pasal 42 UU KIP mencantumkan tentang Penyelesaian Sengketa melalui Ajudikasi yakni proses penyelesaian sengketa infomasi publik antara para pihak yang diputus oleh komisi informasi. Mengingat pasal 21 perda yang berbunyi, komisi transparansi adalah lembaga yang bersifat independen yang mempunyai tugas berfungsi dan berwewenang menyelesaikan sengketa masalah yang berkaitan dengan transparansi, seharusnya diberi penekanan dalam perda cara penyelesaian sengketa (seperti pada masalah kolom 2), yakni dengan memasukan ajudikasi non litigasi (upaya yang ditempuh apabila mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan). Peneliti menilai Ajudikasi perlu dicantumkan dalam peraturan daerah mengingat hal itu menjadi bagian dan fungsi komisi transparansi yang dapat dilihat pada pasal 24 dan 25 perda, yakni (berhak untuk memutuskan hal berkaitan dengan sengketa terutama permintaan informasi). 72

31 Ketiga, Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik pula menekankan penyelesaian perkara dengan cara menyelenggarakan sidang komisi yang tertuang dalam pasal 42 dan pasal 43 (KIP). Pasal 43 ayat (1); Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara paling sedikit 3 (tiga) orang anggota komisi atau lebih dan harus berjumlah gasal. Pasal 43 ayat (2); Sidang Komisi Informasi bersifat terbuka untuk umum. Menurut wawancara dan hasil observasi peneliti di komisi transparansi, hal tersebut tidak dicantumkan secara tertulis pada Bab atau Pasal Perda, yakni pelaksanaan teknis tugas komisi transparansi, termasuk keputusan walikota sebagai penjelasan pasal 26 Perda yang menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut komisi transparansi diatur dengan keputusan walikota. Melihat kurang adanya kejelasan mengenai hal tersebut, peneliti berpendapat hendakya peraturan daerah mengatur cara penyelesaian sengketa melalui sidang komisi yang dicantumkan melalui pasal atau penjelasan termasuk dalam keputusan walikota, yang memberi kekuatan terhadap legitimasi komisi transparansi sebagai lembaga independent. Keempat, terkait tabel dalam kolom 4, peneliti membahasnya melalui point a, b dan c dibawah ini : a. Perlu dikaji kembali landasan yuridis dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2002 dengan meninjau UU Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan. Peneliti menilai, jika dilihat dari efektivitas dan pemanfaatannya tidak begitu maksimal di dalam Perda. 73

32 Hal ini disebabkan kurangnya respon dan penjelasan rinci mengenai keberadaan aturan ini dalam pasal perda, mengingat juga UU Perbankan mengatur masalah yang sifatnya khusus. Keberadaan UU tentang Perbankan juga menjadi salah satu bagian dari badan publik, akantetapi hal ini melahirkan sebuah pertanyaanmengapa perda hanya mencantumkan regulasi tersebut, sementara ada badan publik lainnya yang juga mempunyai payung hukum berupa UU. b. Ketentuan Landasan Yuridis tentang UU Peradilan Tata Usaha Negara menurut peneliti kurang efektif, mengingat hal tersebut tidak dibahas dalam Bab mapun Pasal Peraturan Daerah. Peneliti mengkaji bahwa dalam Perda seharusnya dicantumkan pula keberadaan atau kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, apakah sebagai badan publik atau menjadi salah satu bagian dalam proses penyelesaian masalah tentang transparansi dalam pemberian informasi Publik. Penggunaan suatu aturan yang ditetapkan dalam landasan yuridis seperti PTUN, sebaiknya menjadi faktor pendukung dan pemberi kejelasan rumusan materi yang diatur, namun peneliti tidak melihatada penekanan tentang hal tersebut dalam perda transparansi. Disarankan, perda memperjelas fungsi penggunaan suatu regulasi yang lebih tinggi kedudukannya, apakah merupakan media penyelesaian sengketa ataupun memperkuat keberadaan peraturan di bawahnya. c. Penetapan landasan yuridis pada point 18 peraturan daerah, memuat Keputusan Presiden No 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangundangan dan bentuk rancangan undang-undang. Peneliti menilai hal itu belum sepenuhnya diimplementasikan dalam peraturan daerah, terutama penerapan point 26 74

33 dalam Kepres yang menekankan, apabila jumlah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, maka urutan dicantumkan berdasarkan tata urutan hirarki peraturan perundang-undangan yang diurutkan secara kronologis berdasarkan saat pengeluarannya. Artinya adalah, dengan melihat waktu pemberlakukanaturan terdahuluyang dikeluarkan oleh pihak berwenang. Pada peraturan daerah masih terdapat kekeliruan penerapan pasal dalam Kepres No 44 Tahun 1999, dan bisa menjadi alasan agar peraturan daerah No. 3 Tahun 2002 ini diperbarui penulisannya mengikuti tatacara yang ada. Kekurangan penulisan dalam perda dimaksud, dapat dilihatpada konsideran Mengingat point 12 dan 13. Melihat ketentuan yang ada dalam Kepres, penulis menyarankan agar point diatas (13) tentang UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diundangkan melalui (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166) diurutkan terlebih dahulu sebelum UU No. 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Gorontalo yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2000 nomor 258, Tambahan Lembaran Negara nomor 4060 pada point (12). Kelima, pemberlakuan sanksi dalam perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal serupa, seperti terdapat dalam UU Keterbukaan Informasi Publik. Sebagaimana diatur UU KIP, pemberian sanksi berupa denda paling banyak Rp (Lima Juta Rupiah) jelas bertentangan dengan penetapan dalam peraturan daerah yang memberlakukan serendah-rendahnya Rp (Lima Puluh Juta Rupiah). 75

34 Lebih jelas peneliti menguraikan keberadaan Bab IX tentang Sanksi Pidana dalam perda transparansi. Pada pasal 33 ayat 1 menyebutkan Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi atau melaksanakan putusan yang telah diberikan komisi transparansi, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan serta denda setinggi-tingginya Rp (seratus juta rupiah) dan serendah-rendahnya Rp (lima puluh juta rupiah) dan atau tidak merampas barang untuk daerah kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan peraturan daerah mengenai pemberlakuan sanksi tersebut di atas selain bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik, juga bertentangan pula dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni pasal 143. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa : (1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan. (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya. Peraturan daerah menetapkan sanksi berupa denda paling rendah Rp , menjadi sesuatu hal yang dinilai sangat berlebihan dan cenderung bisa membebani masyarakat maupun badan publik. Menyikapi persoalan itu, menurut 76

Hendry Ch Bangun Wakil Pemimpin Redaksi Warta Kota 21 November 2011

Hendry Ch Bangun Wakil Pemimpin Redaksi Warta Kota 21 November 2011 Hendry Ch Bangun Wakil Pemimpin Redaksi Warta Kota 21 November 2011 Media dan Informasi Informasi adalah sumber berita, tanpa informasi tidak ada berita Informasi dapat berupa fakta, dapat berupa peristiwa,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 7

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 7 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan negara (pemerintah) serta memberi perlindungan hukum bagi rakyat. Salah A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sistem Konstitusi sebagai perwujudan negara hukum di Indonesia tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk membatasi kekuasaan negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI, DAN INFORMATIKA KOTA TANJUNGPINANG DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i BAB I KETENTUAN UMUM...

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2005

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2005 No.4, 2005 LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2005 PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG TRANSPARANSI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

Bab 3. Undang - Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dewan Pers

Bab 3. Undang - Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dewan Pers e Bab 3 Undang - Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik e 1 2 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Menimbang : DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 21 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN TENTANG PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 20102010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK I. UMUM Undang-Undang Nomor 14

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK dan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Oleh : M.BASRI BUDI UTOMO AS.SIP Wakil Ketua I GN-PK Pusat ( Bidang Pencegahan

Lebih terperinci

BUPATI BOLAANG MONGONDOW SELATAN

BUPATI BOLAANG MONGONDOW SELATAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW SELATAN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG TRANSPARANSI PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH Menimbang : a. Bahwa dalam rangkan memenuhi

Lebih terperinci

Pedoman Pengecualian Informasi Berdasarkan UU No.14 Tahun 2008

Pedoman Pengecualian Informasi Berdasarkan UU No.14 Tahun 2008 Pedoman Pengecualian Informasi Berdasarkan UU No.14 Tahun 2008 1. Pengantar Undang-undang no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mendefinisikan Informasi Publik sebagai informasi

Lebih terperinci

MENGENAL UU NO. 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Bagian I. Oleh M.Ema Lestari Lamanepa

MENGENAL UU NO. 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Bagian I. Oleh M.Ema Lestari Lamanepa MENGENAL UU NO. 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Bagian I Oleh M.Ema Lestari Lamanepa Sejak disyahkan undang-undang ini tanggal 30 April 2008 dan mulai diberlakukan tanggal 1 Mei 2010,

Lebih terperinci

Buku Saku Hak Atas Informasi. Pendahuluan

Buku Saku Hak Atas Informasi. Pendahuluan Hak-Hak Atas Informasi Pendahuluan Apa itu informasi? Informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu bentuk yang penting bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata yang dapat dirasakan dalam

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGKLASIFIKASIAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGKLASIFIKASIAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGKLASIFIKASIAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI INFORMASI PUSAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 18 2009 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 18 TAHUN 2OO9 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAKSANAAN UJI KONSEKUENSI INFORMASI PUBLIK Nomor: SOP /HM 04/HHK

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAKSANAAN UJI KONSEKUENSI INFORMASI PUBLIK Nomor: SOP /HM 04/HHK STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAKSANAAN UJI KONSEKUENSI INFORMASI PUBLIK BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 2016 SOP PELAKSANAAN UJI KONSEKUENSI INFORMASI PUBLIK Halaman : 3 dari 21 DAFTAR DISTRIBUSI DISTRIBUSI

Lebih terperinci

No Bahwa secara umum ruang lingkup dalam pengaturan Pengklasifikasian Informasi Publik yaitu mengenai: 1. ketentuan umum; 2. asas dan tujuan

No Bahwa secara umum ruang lingkup dalam pengaturan Pengklasifikasian Informasi Publik yaitu mengenai: 1. ketentuan umum; 2. asas dan tujuan No.15 TAMBAHAN BERITA NEGARA R.I KI. Pengklasifikasian Informasi Publik (Penjelasan Atas Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 429) PENJELASAN ATAS PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN KUNINGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN KUNINGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN KUNINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik;

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik; - 2 - Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5071); 6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara

Lebih terperinci

3. HAK BADAN PUBLIK 1. Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.

3. HAK BADAN PUBLIK 1. Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. INFORMASI TENTANG HAK DAN TATACARA MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK, SERTA TATACARA PENGAJUAN KEBERATAN SERTA PROSES PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK BERIKUT PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB YANG DAPAT

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Pasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini.

Pasal 4. (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini. CAPAIAN POSITIP DALAM UU KIP PELEMBAGAAN /PENGAKUAN Pasal 4 Kecuali ayat (3) yang masih mensyaratkan permintaan HAK PUBLIK ATAS INFORMASI (1) Setiap Orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 3 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA PANGKALPINANG

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA PANGKALPINANG WALIKOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN WALIKOTA MAGELANG NOMOR 31 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN WALIKOTA MAGELANG NOMOR 31 TAHUN 2012 TENTANG - 1 - WALIKOTA MAGELANG PERATURAN WALIKOTA MAGELANG NOMOR 31 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI SIDENRENG RAPPANG PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI SIDENRENG RAPPANG PROVINSI SULAWESI SELATAN ~ 1 ~ BUPATI SIDENRENG RAPPANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME KONSULTASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME KONSULTASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME KONSULTASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa guna menindaklanjuti kesepakatan bersama

Lebih terperinci

PANDUAN PENGISIAN INFORMASI PUBLIK. No. JENIS INFORMASI KETERSEDIAAN. Informasi tentang profil Badan Publik

PANDUAN PENGISIAN INFORMASI PUBLIK. No. JENIS INFORMASI KETERSEDIAAN. Informasi tentang profil Badan Publik PANDUAN PENGISIAN INFORMASI PUBLIK No. JENIS INFORMASI KETERSEDIAAN Informasi tentang profil Badan Publik 1 Kedudukan domisili beserta alamat lengkap 2 ruang lingkup kegiatan 3 visi dan misi 3 maksud dan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PEMERINTAH KOTA BLITAR PEMERINTAH KOTA BLITAR PERATURAN DAERAH KOTA BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KOTA BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALOPO, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah merupakan bagian

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 20 Tahun : 2010 Seri : E PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN INFORMASI PUBLIK

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik

6. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG TATA KERJA PEJABAT PENGELOLA INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BULUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 2 SERI E TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG TRANSPARANSI, PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI JEMBER PROVINSI JAWA TIMUR 1 BUPATI JEMBER PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS, PEMERINTAH KABUPATEN MUSI RAWAS Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD 32 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1255, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA ADMINISTRASI INFORMASI PUBLIK. Pengelolaan. Pelayanan. Pedoman. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Neg

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Neg No.1585, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BASARNAS. Informasi Publik. Uji Konsekuensi. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR PK. 22 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KONSEKUENSI INFORMASI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA KELOLA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA KELOLA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TATA KELOLA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR.6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1

2011, No Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.300, 2011 KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI. Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR 02 /M/PER/V/2011

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang: Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 1 angka 4,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI, PERATURAN MENTERI NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI NOMOR 02 /M/PER/V/2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI DI KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 06 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG ASPIRATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

2 Geospasial tentang Pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik di Badan Informasi Geospasial; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

2 Geospasial tentang Pelaksanaan Keterbukaan Informasi Publik di Badan Informasi Geospasial; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.502, 2015 BIG. Informasi Publik. Keterbukaan. Pelaksanaan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN KETERBUKAAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KAB LUMAJANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG, Menimbang : a. bahwa produk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 10 TAHUN 2004 PERAURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 6 TAHUN 2004 T E N T A N G TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia

16. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG TRANSPARANSI, PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PERTAHANAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTAHANAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci