BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan geometrik dilaksanakan dengan berpedoman pada tata cara peraturan Bina Marga. Didalam tata cara ini meliputi tentang deskripsi, ketentuanketentuan, dan cara pengerjaan perencanaan geometrik bagi pembangunan atau peningkatan jalan antar kota. Karena jalan merupakan prasarana penghubung yang sangat penting dalam sektor perhubungan, maka dalam merencanakan jalan raya seseorang harus memikirkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan bagi pengguna jalan. Seorang perencana haruslah mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut tingkat pelayanan dan kenyamanan dalam fungsinya sebagai suatu fasilitas penghubung. Mengingat hal tersebut maka perencana haruslah mempertimbangkan banyak faktor yang berpengaruh dalam perencanaan geometrik dari suatu jalan harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal terhadap lalu lintas sesuai dengan fungsinya. 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survey lapangan dan telah di analisis serta mengacu pada ketentuan yang berlaku (L. Hendrasin Shirley, 2000). Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas. Secara umum perencanaan geometrik jalan merupakan perencanaan bagian-bagian jalan seperti lebar badan jalan, bahu jalan, tikungan, jarak panjang, kelandaian, kebebasan samping, lengkung vertikal, dan kombinasi antara bagian-bagian tersebut. 5

2 6 Tujuan dari perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infra struktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan rasio tingkat penggunaan biaya pelaksanaan ruang. Yang menjadi dasar dari perencaaan geometrik adalah sifat, gerakan, ukuran kendaraan, karakteristik arus lalu lintas dan sifat pengemudi dalam mengendalikan gerakan kendaraannya. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan perencanaa sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat keamanan dan kenyamanan yang diharapkan (Sukirman Silvia, 1994) Data Lalu Lintas Data lalu lintas merupakan dasar informasi yang dibutuhkan untuk perencanaan dan desain suatu jalan, karena kapasitas jalan yang akan direncanakan tergantung dari komposisi lalu intas yang akan melalui jalan tersebut. Analisis data lalu lintas pada intinya dilakukan untuk menentukan kapasitas jalan, akan tetapi harus dilakukan bersamaan dengan perencanaan geometrik lainnya, karena saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Data lalu lintas didapatkan dengan melakukan pendataan kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan, sehingga dari hasil pendataan ini kita dapat mengetahui volume lalu lintas yang melintasi jalan tersebut, namun data volume lalu lintas yang diperoleh dalam satuan kendaraan per jam (kend/jam). Volume lalu lintas dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang (smp), volume lalu lintas dalam smp ini menunjukan besarnya jumlah lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang melintasi jalan tersebut. Dari lalu lintas harian rata-rata yang didapatkan kita dapat merencanakan tebal perkerasan. Untuk perencanaan teknik jalan baru, survey lalu lintas tidak dapat dilakukan karena belum ada jalan. Akan tetapi untuk menentukan dimensi jalan tersebut diperlukan data jumlah kendaraan. Untuk itu hal yang harus dilakukan sebagai berikut :

3 7 a). Survei perhitungan lalu lintas dilakukan pada jalan yang sudah ada, yang diperkirakan mempunyai bentuk, kondisi dan keadaan komposisi lalu lintas akan serupa dengan jalan yang direncanakan. b). Survei asal dan tujuan yang dilakukan pada lokasi yang dianggap tepat dengan cara melakukan wawancara kepada pengguna jalan untuk mendapatkan gambaran rencana jumlah dan komposisi kendaraan pada jalan yang direncanakan. ( L.Hendarsin Shirley, 2000) Data Peta Topografi Topografi merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan dan pada umumnya mempengaruhi alinyemen sebagai standar perencanaan geometrik. Untuk memperkecil biaya pembangunan jalan maka dalam perencanaan geometrik perlu sekali disesuaikan dengan keadaan topografi. Pengukuran peta topografi digunakan untuk mengumpulkan data topografi yang cukup guna menentukan kecepatan sesuai dengan daerahnya. Pengukuran peta topografi dilakukan pada sepanjang trase jalan rencana dengan mengadakan tambahan dan pengukuran detail pada tempat yang memerlukan alinyemen dan tempat-tempat persilangan dengan sungai atau jalan lain, sehingga memungkinkan didapatkannya trase jalan yang sesuai dengan standar. Pekerjaan pengukuran ini terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut : a). Pekerjaan perintisan untuk pengukuran, dimana secara garis besar ditentukan kemungkinan rute alternative dan trase jalan. b). Kegiatan pengukuran Kegiatan pengukuran meliputi : 1. Penentuan titik kontrol vertical dan horizontal yang dipasang setiap interval 100 meter pada rencana as jalan. 2. Pengukuran situasi selebar kiri dan kanan dari jalan yang dimaksud dan disebutkan serta tata guna tanah disekitar trase jalan. 3. Pengukuran penampang melintang (cross section) dan penampang memanjang.

4 8 4. Perhitungan perencanaan desain jalan dan penggambaran peta topografi berdasarkan titik koordinat kontrol diatas. Berdasarkan besarnya lereng melintang dengan arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan raya jenis medan dibagi menjadi tiga golongan umum yaitu datar, perbukitan dan gunung. Tabel 2.1 Klasifikasi Medan dan Besarnya Golongan Medan Lereng Melintang Datar ( D ) 0% - 9,9% Perbukitan ( B ) 10% - 24,9% Gunung (G ) 25% (sumber : Spesifikasi standar untuk perencanaan geometrik jalan luar kota dari Bipran, Bina Margs (rancangan akhir)) Data Penyelidikan Tanah Data penyelidikan tanah didapat dengan cara penyelidikan tanah. Penyelidikan tanah meliputi pekerjaan : a). Penelitian terhadap semua data tanah yang ada, selanjutnya diadakan penyelidikan proyek jalan tersebut, dilakukan berdasarkan survey langsung dilapangan maupun dengan pemeriksaan dilaboraturium. Pengambilan data CBR dilapangan dilakukan sepanjang ruas rencana, dengan interval 200 m dengan menggunakan DCP (Dyanamic Cone Penetrometer). Hasil tes Dyanamic Cone Penetrometer ini di evaluasi melalui penampilan grafik yang ada, sehingga menampakkan hasil nilai CBR di setiap titik lokasi. Penentuan nilai CBR dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu Analitis dan Grafis. 1. Cara Analitis Adapun rumus yang digunakan pada CBR analitis adalah : CBR segmen = CBR rata rata CBR min R

5 9 Nilai R tergantung dari jumlah data yang terdapat dalam suatu segmen. Tabel nilai R untuk perhitungan CBR segmen : Tabel 2.2 Nilai R untuk perhitungan CBR segmen Jumlah Titik Pengamatan Nilai R 2 1,41 3 1,91 4 2,24 5 2,48 6 2,57 7 2,83 8 2,96 9 3,08 >10 3,18 (Sumber: Silvia Sukirman, Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1993) 2. Cara Grafis Prosedurnya adalah sebagai berikut : o Termasuk nilai CBR terendah. o Tentukan berapa banyak CBR yang sama atau lebih besar dari masing-masing nilai CBR kemudian disusun secara tabelaris, mulai dari CBR terkecil sampai yang terbesar. o Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase dari 100%. o Diberi grafik hubungan antara harga CBR dengan persentasi nilai tadi. o Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%. Contoh hasil pengamatan di sepanjang jalan didapat nilai CBR sebagai berikut : 3; 4; 3; 6; 6; 5; 11; 10; 6; 6 dan 4.

6 10 Tabel 2.3 Contoh Tabulasi Nilai CBR No. CBR Jumlah yang Sama atau Lebih Besar Persentase yang Sama atau Lebih Besar (%) (11/11) x 100% = 100% % % % % % (Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1994) b). Membakukan analisa pada contoh tanah yang terganggu dan tidak terganggu, juga terhadap bahan konstruksi, dengan menggunakan ketentuan (ASTM) dan (AASTHO) maupun standart yang berlaku di Indonesia. c). Uji bahan konstruksi untuk mendapatkan : 1. Sifat-sifat indeks (indeks properties) Gs, Wn, J, e, n,sr. 2. Klasifikasi (Clasification of Soil) o Analisa ukuran butir (Graim Size Analysis) Analisa Saringan (Sieve Analysis) Hydrometer (Hydrometer Analysis) o Batas-batas Atterberg (Atterberg Limits) Liguid Limit (LL) = Batas cair Plastic Limit (PL) = Batas plastis IP = LL PL Pemadatan : c d maks dam W opt Pemadatan standar / proctor Pemadatan modifikasi Dilapangan di cek dengan sandcone ± 93 % γ d maks

7 11 4. CBR laboratorium (CBR Rencana) γ wet = Wt / Vt γ d wet / (1+W) CBR lapangan : DCP CBR lapangan Data Penyelidikan Material Data penyelidikan material diperoleh dengan melakukan penyelidikan material. Adapun pekerjaan-pekerjaan penyelidikan material meliputi : a). Mengadakan penelitian terhadap semua data material yang ada selanjutnya melakukan penyelidikan seanjang proyek tersebut yang akan dilakukan berdasarkan survey langsung dilapangan maupun dengan pemeriksaan di laboratorium. b). Penyelidikan lokasi sumber material yang adabeserta perkiraan jumlahnya untuk pekerjaan-pekerjaan penimbunan pada jalan dan jembatan serta bangunan pelengkap jalan. Pengidentifikasian material secara visual yang dilakukan oleh teknisi tanah di lapangan hanya berdasarkan gradasi butiran dan karakteristik keplastisannya saja yaitu : a). Tanah berbutir kasar Tanah yang termasuk dalam kelompok ini adalah kerikil, pasir, dan dominan kerakal. b). Tanah berbutir halus Di lapangan tanah kelompok ini sudah untuk dibedakan secara visual antara lempung dan lanau, kecuali dengan cara perkiraan karakteristik plastisnya. ( L.Hendarsin Shirley, 2000) Data data Penunjang lainnya Data-data lain yang perlu diperhatikan diantaranya data tentang drainase. Peninjauan drainase meliputi data meteorologi dan geofisika untuk kebutuhan analisis data dari stasiun yang terletak pada daerah tangkapan. Tetapi pada daerah tangkapan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat

8 12 dipakai data dari stasiun di luar daerah tangkapan yang dianggap masih dapat mewakili. Selain itu data penunjang lain yaitu peta topografi, sumbu jalan rencana diplotkan pada peta dasar (peta topografi atau peta rupa bumi), sehingga gambaran topografi daerah yang akan dilalui rute jalan dapat dipelajari. Peta ini juga digunakan untuk memperkirakan luas daerah tangkapan pada sistem sungai sepanjang trase jalan rencana. ( L.Hendarsin Shirley, 2000). 2.2 Klasifikasi Jalan Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus diidentifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan. Karena kriteria desain suatu rencana jalan yang ditentukan dari standar desain ditentukan oleh klasifikasi jalan rencana. Pada prinsipnya klasifikasi jalan dalam standar desain (baik untuk jalan dalam kota maupun jalan luar kota) didasarkan kepada klasifikasi jalan menurut undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Menurut fungsinya jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a). Jalan Arteri Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. b). Jalan Kolektor Jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

9 13 c). Jalan Lokal Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. d). Jalan Lingkungan Jalan angkutan lingkungan (jarak pendek, kecepatan rendah). Gambar 2.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan Klasifikasi Menurut Kelas Jalan Menurut kelasnya jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a). Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

10 14 Tabel 2.4 Klasifikasi Kelas Jalan dalam MST No. Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat MST (ton) 1. Jalan Arteri I II III A > Jalan Kolektor III A III B 8 8 (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997) b). Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam tabel 2.4 (Pasal 11, PP. No./43/1993). Tabel 2.5 Klasifikasi Kelas Jalan dalam LHR No. Fungsi Kelas Lalu lintas Harian Rata-Rata (smp) 1. Jalan Arteri I > Jalan Kolektor II A II B II C < Jalan Lokal III - (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997)

11 Klasifikasi Menurut Medan Jalan Klasifikasi medan jalan ini dibagi atas: a). Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. b). Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2.6 Klasifikasi Menurut Medan Jalan No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%) 1. Datar D 0 9,9 2. Perbukitan B 10 24,9 3. Pergunungan G > 25 (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997) 2.3 Parameter Perencanaan Geometrik Jalan Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan yang harus dipahami seperti, kendaraan rencana, kecepatan rencana, Volume dan kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan yang diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentu tingkat kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan Kendaraan Rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran, dan daya dari kendaraan-kendaraan yang mempergunakan jalan, kendaraan tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, umumnya dapat dikelompokkan menjadi kelompok, mobil penumpang, bus/truk, semi trailer, trailer

12 16 Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori: a. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang. b. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as. c. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer. Dimensi dasar untuk masing-masing kategori kendaraan rencana ditunjukkan dalam tabel 2.7, dan sketsa dimensi kendaraan rencana dapat dilihat pada gambar 2.2, 2.3 dan 2.4. Tabel 2.7 Dimensi Kendaraan Rencana Kategori Radius Putar Radius Dimensi Kendaraan (cm) Tonjolan (cm) Kendaraan (cm) Tonjolan Rencana (cm) Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min. Maks. Kecil Sedang Besar (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997)

13 17 Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Kecil Gambar 2.3 Dimensi Kendaraan Sedang

14 18 Gambar 2.4 Dimensi Kendaraan Besar Kecepatan Rencana Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. Kecepatan rencana tergantung kepada : a. Kondisi pengemudi dan kendaraan yang bersangkutan b. Sifat fisik jalan dan keadaan medan disekitarnya c. Cuaca d. Adanya gangguan dari kendaraan lain e. Batasan kecepatan yang diijinkan Kecepatan rencana inilah yang dipergunakan untuk dasar perencanaan geometrik (alinyemen). Kecepatan rencana dari masing masing kendaraan dapat ditetapkan pada tabel 2.8.

15 19 Tabel 2.8 Kecepatan Rencana (VR) Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kelas Jalan Fungsi Jalan Kecepatan Rencana (VR), km/jam Datar Bukit Pegunungan Arteri Kolektor Lokal (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997) Volume Lalu Lintas Volume lalulintas harian rata-rata (VLHR) adalah perkiraan volume lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam smp/hari. a. Satuan mobil penumpang (smp) Satuan mobil penumpang adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, dari berbagai tipe kendaraan telah di ubah menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang. Tabel 2.9 Satuan Mobil Penumpang (smp) Jenis Kendaraan Nilai SMP Sepeda 0,5 Mobil Penumpang/Sepeda Motor 1,0 Truk Ringan (< 5 ton) 2,0 Truk Sedang (> 5 ton) 2,5 Truk Berat (> 10 ton) 3,0 Bus 3,0 Kendaraan Tak Bermotor 7,0 (Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, 1970)

16 20 b. Ekivalensi mobil penumpang (emp) Faktor konversi sebagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (emp mobil penumpang = 1,0). Tabel 2.10 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) No. Jenis Kendaraan Datar/ Bukit Gunung 1. Sedan, Jeep Station wagon 1,0 1,0 2. Pick up, Bus kecil, Truck kecil 1,2 2,4 1,9 3,5 3. Bus dan Truck besar 1,2 5,0 2,2 6,0 (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.038/T/BM/1997) Satuan Volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan jumlah dan lebar lajur adalah : o Lalu Lintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT) Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data satu tahun penuh. LHRT = Jumlah Lalu lintas dalam 1 tahun 365 hari o Lalu Lintas Harian Rata Rata (LHR) Adalah Hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan. LHR = Jumlah Lalu Lintas selama pengamatan Lamanya Prngamatan Jarak Pandangan Keamanan dan kenyamanan pengemudi kendaraan untuk dapat melihat dengan jelas dan menyadari situasi pada saat mengemudi, sangat tergantung pada jarak yang dapat dilihat dari tempat kedudukannya.

17 21 Panjang jalan didepan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi, disebut dengan Jarak Pandangan. Jarak pandangan berguna untuk : a. Menghindarkan terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan kendaraan dan manusia akibat adanya benda yang berukuran cukup besar, kendaraan yang sedang berhenti, pejalan kaki, atau hewan-hewan yang berada pada jalur jalan. b. Memberi kemungkinan untuk mendahului kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan mempergunakan lajur sebelahnya. c. Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volume pelayanan dapat dicapai semaksimal mungkin. d. Sebagai pedoman bagi pengatur lalu-lintas dalam menempatkan ramburambu lalu-lintas yang diperlukan pada setiap segmen jalan. Dilihat dari kegunaanya jarak pandangan dapat di bedakan atas : a. Jarak Pandangan Henti ( Jh ) Yaitu jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik disepanjang jalan harus memenuhi Jh. Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan. Jarak panjang henti terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu: Jarak tanggap ( Jht ) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak rem. d1 = V x t Dimana : d1 = jarak dari sa at melihat rintangan sampai menginjak pedal rem. ( m )

18 22 V = kecepatan rencana (km/jam) t = waktu reaksi atau waktu tanggap = 2,5 detik d1 = 0,278. V. t (m) Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi rem menginjak sampai kendaraan berhenti. Syarat untuk menentukan jarak pandang henti minimum dapat dilihat pada tabel Tabel 2.11 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum VR (km/jam) Jh Min (m) (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997) b. Jarak Pandangan Mendahului ( Jd ) Yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat menyiap kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur untuk arah yang berlawanan. Tabel 2.12 Panjang Minimum Jarak Mendahului VR (km/jam) Jd Min (m) (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga) Jarak pandangan menyiap dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut: d1 = t1 (v-m + a.t1 2 )

19 23 d2 = v. t d3 = diambil cm d4 = 2/3. d d = d1 + d2 + d3 + d dmin = 2/3. d2 + d3 + d Dimana : t1 = Waktu reaksi ( t1 = v ) m = Perbedaan kecepatan kendaraan yang menyiap dan disiap = 15 km/jam v = Kecepatan rata-rata dianggap sama dengan kecepatan rencana a = Percepatan rata-rata ( a = ) d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan t2 = Waktu kendaraan pada lajur kanan (t2 = v ) Daerah yang mendahului harus disebar disepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas jalan tersebut. Adapun asumsi yang diambil dalam perhitungan adalah : Kendaraan yang disalip berjalan dengan kecepatan tetap. Sebelum penyiap berada dijalur lawan, ia telah menurangi kecepatannya selama mengikuti kendaraan yang akan disalip. Bila saat penyiapan tiba, penyiap memerlukan waktu berpikir mengenai amannya daerah penyiapan. Penyiapan dilakukan dengan start terlambat dan bersegera untuk kembali kejalur semula dengan kecepatan rata-rata 10 mph lebih tinggi dari kendaraan yang disiap. Pada waktu kendaraan penyiap telah kembali ke jalur asal, masih ada jarak dengan kendaraan lawan.

20 24 Gambar proses pergerakan mendahului untuk jarak pandang mendahului dapat dilihat pada gambar 2.5. TAHAP PERTAMA A A C C A B d1 1 3 d2 2 3 d2 TAHAP KEDUA C C A A B B d1 d2 d3 d4 Keterangan : A = Kendaraan yang mendahului B = Kendaraan yang berlawanan arah C = Kendaraan yang didahului kendaraan A Gambar 2.5 Proses Gerakan Mendahului (2/2 TB) 2.4 Alinyemen Horizontal Alinyemen adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal juga dapat dikenal dengan nama situasi jalan. Alinyemen horizontal terdiri atas bagian lurus bagian lengkung (disebut juga tikungan). Ditinjau secara umum penempatan alinemen horizontal harus dapat menjamin keselamatan dan kenyamanan bagi pemakai jalan. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1). Sedapat mungkin hindari broken back, artinya tikungan searah yang hanya dipisah oleh tangen yang sangat pendek yang dapat mengurangi keamanan dan kenyamanan pemakai jalan. 2). Pada bagian yang relatif lurus dan panjang jangan sampai tiba-tiba terdapat tikungan yang tajam yang dapat membahayakan pengemudi.

21 25 3). Kalau tidak terpaksa jangan menggunakan radius minimum sebab jalan tersebut akan sulit mengikuti perkembangan yang akan terjadi dimasa yang akan datang. 4). Apabila terpaksa menghadapi tikungan ganda maka dalam perencanaan harus di usahakan agar jari-jari (R1) lebih kecil atau sama dengan jari-jari lengkung kedua (R2) x 1,5. 5). Hindarkan sedapat mungkin lengkung yang berbalik dengan mendadak. 6). Hindarkan lengkung yang tajam pada timbunan yang tinggi Bagian Lurus Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu 2,5 menit (sesuai VR). Tabel 2.13 Panjang Bagian Lurus Maksimum Fungsi Panjang Bagian Lurus Maximum Datar Perbukitan Pegunungan Arteri Kolektor (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.038/T/BM/1997) Tikungan Dalam merencanakan sebuah tikungan haruslah memenuhi beberapa kriteria, antara lain : a). Jari Jari Minimum Agar kendaraan stabil saat melalui tikungan, perlu dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang disebut superelevasi (e). Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang. Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan melintang (f).

22 26 Untuk pertimbangan perencanaan panjang jari-jari minimum untuk berbagai variasi kecepatan dapat dilihat pada tabel Tabel 2.14 Panjang Jari-jari Minimum untuk emak = 10% VR (km/jam) Rmin (m) b). Jenis Jenis Tikungan Didalam suatu perencanaan garis lengkung maka perlu diketahui hubungan kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan (superelevasi) karena garis lengkung yang direncanakan harus dapat mengurangi gaya sentrifugal secara berangsur-angsur mulai dari nol sampai nol kembali. Bentuk tikungan dalam perencanaan tersebut adalah : 1. Tikungan Full Circle (FC) Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil. Atas dasar ini maka perencanaan tikungan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan raya, dalam merencanakan tikungan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : o Lengkung Peralihan Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R, yang berfungsi mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungangan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggali tikungan.

23 27 Bentuk lengkung peralihan dapat berupa parabola atau spiral (clothoid). Panjang lengkung peralihan (L) ditetapkan atas pertimbangan bahwa : - Lama waktu perjalanan di lengkung peralihan perlu dibatasi untuk menghindarkan kesan perubahan alinyemen yang mendadak, ditetapkan 3 detik (pada kecepatan VR). - Gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan dapat diantisipasi berangsur-angsur pada lengkung peralihan dengan aman. - Tingkat perubahan kelandaian melintang jalan (re) dari bentuk kelandaian normal kelandaian superelevasi penuh tidak boleh melampaui re-max yang ditetapkan sebagai berikut : Untuk vr 70 km/jam, re-max = m/detik Untuk vr 80 km/jam, re-maz = m/detik - Ls ditentukan dari 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar: - Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan, Ls = V R T Dimana : T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, VR ditetapkan 3 detik. = kecepatan rencana (km/jam) - Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, Ls = V R V R e R C C Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian, Ls = (e m en )V R 3.6 r e Dimana : VR = kecepatan rencana (km/jam)

24 28 em = superelevasi maximum en = superelevasi normal re = tingkat perbahan kemiringan melintang o Kemiringan Melintang Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar dan sumbuh jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Pencapaian tikungan jenis full circle untuk dapat menggambarkan pencapaian kemiringan dari lereng normal ke kemiringan penuh, kita harus hitung dulu lengkung peralihan fiktif (Ls ). Adapun Ls dihitung berdasarkan landai relatif maksimum, dan Ls dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Ls = (e + en ). B. 1/m Dimana: 1/m = landai relatif (%) e = superelevasi (m/m ) en B = kemiringan melintang normal (m/m ) = lebar jalur (m) o Kebebasan Samping Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandangan pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping). Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh M (m), diukur dari garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi. Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: - Berdasarkan jarak pandang henti

25 29 M = R (1 - cos θ) Berdasarkan jarak pandang mendahului M = R (1 - cos θ) + ½ (S L) sin θ Dimana : M = jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (m) Θ = setengah sudut pusat sepanjang L, ( ) R = radius sumbu lajur sebelah dalam, (m) S = jarak pandangan, (m) L = panjang tikungan, (m) Jenis tikungan full circle ini merupakan jenis tikungan yang paling ideal ditinjau dari segi keamanan dan kenyamanan pengendara dan kendaraannya, namun apabila ditinjau dari penggunaan lahan dan biaya pembangunannya yang relatif terbatas, jenis tikungan ini merupakan pilihan yang sangat mahal. Adapun batasan dimana diperbolehkan menggunakan full circle adalah sebagai berikut sesuai tabel Tabel 2.15 Jari-Jari Minimum Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan V (km/jam) Jari-jari minimum (m) (Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.038/T/BM/1997) Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil dari harga di atas maka bentuk tikungan yang dipakai adalah Spiral Circle Spiral. Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan full circle, yaitu : 2 V R min 127 ( e max fm) 1432,4 1432,4 D max ; D R min R e 2e max e max. D 2. D 2 D max D max

26 30 L ' s ( e en). 1. B. m V V. e L' s 0,022. 2, R. c c Tc = R tan ½ Ec = T tan ¼ LC R Dimana : = Sudut tikungan atau sudut tangen Tc = Jarak Tc dan PI R = Jari-jari Ec = Jarak PI ke busur lingkaran Lc = Panjang busur lingkaran Ls = Lengkung peralihan fiktif D = Derajat lengkung V = Kecepatan B = Lebar jalan C = Perubahan percepatan fm = Koefisien gesekan melintang = 0,19 0, V m = Landai relatif = 2.V + 40

27 31 Ts PI TC Lc Ec CT R R /2 /2 Gambar 2.6 Bentuk Tikungan Full Circle 2. Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS) Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau pegunungan, karena tikungan jenis ini memilki lengkung peralihan yang memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan tersebut menjadi aman. Adapun jarijari yang di ambil untuk tikungan spiral-circle-spiral ini haruslah sesuai dengan kecepatan dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditentukan, yaitu : o Kemiringan maksimum antar jalan kota : 0,10 o Kemiringan maksimum jalan dalam kota : 0,08 o Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-circle-spiral, yaitu R min 2 V 127 ( e max fm)

28 ,4 1432, D max ; D R min R e 2e max e max. D 2. D D max D max L ' s ( e en). 1. B. m V V. e L' s 0,022. 2,727. R. c c Ts = ( R + P ) tan ½ + k R P ES R cos 1 2 L = Lc + 2 Ls Lc.2 R s Dimana : = Sudut tikungan atau sudut tangen Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral R = Jari-jari Es = Jarak PI ke busur lingkaran Lc = Panjang lengkung lingkaran Ls = Lengkung peralihan fiktif D = Derajat lengkung V = Kecepatan B = Lebar jalan C = Perubahan percepatan fm = Koefisien gesekan melintang = 0,19 0, V m = Landai relatif = 2.V + 40 Kontrol : Lc > 20 m L > 2 Ts Jika L < 20 m, gunakan jenis tikungan spiral-spiral

29 33 Ts Xc k p SC Yc PI Es CS TS ST Y R R θs c θs Gambar 2.7 Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral 3. Tikungan Spiral-Spiral (SS) Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang tajam. Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral, yaitu : 2 V R min ( e max fm) 1432,4 1432,4 D max ; D R min R e 2e max e max. D 2. D D max D max Ls ' ( e en). 1. B. m V V. e Ls' 0,022. 2,727. R. c c

30 34 Ls = θsxπ 90 R P ES R cos 1 2 x R Ts = ( R + P ) tan ½ + k L = 2.Ls Dimana : = Sudut tikungan atau sudut tangen Ts = Titik perubahan dari tangen ke spiral R = Jari-jari Es = Jarak PI ke busur lingkaran Ls = Lengkung peralihan fiktif D = Derajat lengkung V = Kecepatan B = Lebar jalan C = Perubahan percepatan fm = Koefisien gesekan melintang = 0,19 0, V m = Landai relatif = 2.V + 40

31 35 k Ts PI Δ ES p SC = CS TS R R ST θs θs Gambar 2.8 Bentuk Tikungan Spiral-Spiral 0 c). Superelevasi Penggambaran superelevasi dilakukan untuk mengetahui kemiringan-kemiringan jalan pada bagian tertentu, yang berfungsi untuk mempermudah dalam pekerjaannya atau pelaksanaannya dilapangan. 1. Pencapaian Superelevasi o Superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung. o Pada tikungan spiral-circle-spiral, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari bentuk normal sampai lengkung peralihan (TS) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.

32 36 o Pada tikungan full circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls. o Pada tikungan spiral-spiral, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral. o Superelevasi tidak diperlukan jika jari-jari cukup besar, untuk itu cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP). atau bahkan tetap lereng normal (LN). 2. Diagram Superelevasi o Tikungan full circle BAGIAN LURUS BAGIAN LENGKUNG PENUH BAGIAN LURUS TC CT 2/3 Ls 1/3 Ls 4 sisi luar tikungan e max e = 0% e normal 1 e n 2% e n e = 0% e n x 4 e max sisi dalam tikungan 4 e max e n e n x e n e = 0% e n Pot.1-1 Pot.2-2 Pot.3-3 Pot.4-4 Pot.4-4 Pot.3-3 Pot.2-2 Pot.1-1 Ls Ls Gambar 2.9 Pencapaian Superelevasi Tikungan Full Circle

33 37 o Tikungan Spiral-Circle-Spiral BAGIAN LURUS BAGIAN LENGKUNG PERALIHAN BAGIAN LENGKUNG PENUH BAGIAN LENGKUNG PERALIHAN BAGIAN LURUS TS SC CS ST 4 sisi luar tikungan e max e = 0% e normal 2 1 e n e = 0% e n e n 4 sisi dalam tikungan 4 e = 0% e n e n e n e n e n e max e max Pot.1-1 Pot.2-2 Pot.3-3 Pot.4-4 Pot.4-4 Pot.3-3 Pot.2-2 Pot.1-1 Gambar 2.10 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral-Circle-Spiral o Tikungan Spiral-Spiral BAGIAN LURUS BAGIAN LENGKUNG BAGIAN LENGKUNG BAGIAN LURUS TS SC = CS ST sisi luar tikungan e max e = 0% e normal e n e n e = 0% e n 4 sisi dalam tikungan e = 0% e n e n e n e n e max e n Pot. 1-1 Pot. 2-2 Pot. 3-3 Pot. 4-4 Pot. 3-3 Pot. 2-2 Pot. 1-1 Gambar 2.11 Pencapaian Superelevasi Tikungan Spiral-Spiral

34 38 d). Penentuan Trase Jalan Pada perencanaan alinyemen horizontal pada seluruh bagian harus dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan fungsinya serta keamanan dan kenyamanan pemakainya. Untuk membuat trase jalan yang baik dan ideal, maka harus memperhatikan syarat-syarat berikut : 1. Syarat Ekonomis o Penarikan trase jalan yang tidak terlalu banyak memotong kontur, sehingga dapat menghemat biaya dalam pelaksanaan pekerjaan galian dan timbunan nantinya. o Penyediaan material dan tenaga kerja yang diharapkan tidak terlalu jauh dari lokasi proyek sehingga dapat menekan biaya. 2. Syarat Teknis Tujuannya adalah untuk mendapatkan jalan yang memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan tersebut. Oleh karena itu perlu diperhatikan keadaan topografi tersebut, sehingga dapat dicapai perencanaan yang baik sesuai dengan keadaan daerah setempat Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, seringkali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan karena : a). Pada waktu berbelok pertama kali hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking). b). Jarak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan. c). Pengemudi akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan tinggi.

35 39 Untuk menghindari hal-hal tersebut diatas maka pada tikungantikungan yang tajam perlu perkerasan jalan yang diperlebar. Pelebaran perkerasan ini merupakan faktor dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis, dan ukuran kendaraan rencana yang akan dipergunakan sebagai jalan perencanaan. Pada umumnya truck tunggal sebagai dasar penetuan tambahan lebar perkerasan yang dibutuhkan. Tetapi pada jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan berat, jenis kendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok dipilih untuk kendaraan rencana. Tentu saja pemilihan jenis kendaraan rencana ini sangat mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan dan biaya pelaksanaan jalan tersebut. Pelebaran perkerasan pada tikungan sangat bergantung pada jari-jari tikungan, sudut tikungan dan kecepatan rencana. Dalam peraturan perencanaan geometrik jalan raya, mengenai hal ini dirumuskan : B = n (b + c) + (n-1).td + Z Dimana : B = Lebar perkerasan pada tikungan n = Jumlah jalur lalulintas b = Lebar lintasan truck pada tikungan Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi c = Kebebasan samping ( 0,8 m ) 2.5 Alinyemen Vertikal Alinyemen Vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbuh jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cembung atau lengkung cekung.

36 40 Pada perencanaan alinyemen vertikal terdapat kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula kelandaian = 0 (datar). Kalau pada alinyemen horizontal bagian yang kritis adalah pada tikungan, maka pada alinyemen vertikal bagian kritis justru pada bagian lurus. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan alinyemen vertikal adalah : 1). Bila memungkinkan diusahakan agar pada bagian lengkung horizontal (tikungan) tidak terjadi adanya lengkung vertikal (tanjakan dan turunan). 2). Grade (kemiringan memanjang) min = 0,5 %. 3). Grade (kemiringan memanjang) maximum dibatasi oleh panjang kritisnya dengan ketentuan sebagai berikut : Tabel 2.16 Panjang Kritis GRADE (%) Panjang Kritis (m) (sumber : TPGJAK No. 038/T/BM/1997) 4). Penentuan elevasi jalan rencana harus memperhatikan kemungkinan terjadinya galian dan timbunan serta volume galian dan timbunan diusahakan sama sejauh kriteria perencanaan terpenuhi. Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.

37 Landai Maksimum dan Panjang Landai Maksimum a). Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. b). Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. c). Kelandaian maksimum untuk berbagai VR ditetapkan dapat dilihat dalam tabel Tabel 2.17 Kelandaian Maksimum VR (km/jam) <40 Kelandaian Maksimum (%) (sumber : TPGJAK No. 038/T/BM/1997) d). Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit. e). Panjang kritis dapat ditetapkan dari tabel : Tabel 2.18 Panjang Kritis Kecepatan Pada awal tanjakan Kelandaian (%) (km/jam) (sumber : TPGJAK No. 038/T/BM/1997) Lengkung Vertikal a). Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan : 1. Mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian.

38 42 2. Menyediakan jarak pandang henti. b). Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel 2.19 yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Kecepatan Rencana (km/jam) < >60 (sumber : TPGJAK No. 038/T/BM/1997) Tabel 2.19 Panjang Lengkung Vertikal Perbedaan Kelandaian Memanjang (%) 1 0,6 0,4 Panjang Lengkung (m) Rumus rumus yang digunakan dalam lengkung vertikal : g = (elevasi awal elevasi akhir) (STA awal STA akhir) x 100% A = g1 g Jh = V r T + ( Vr 3,6 Ev = AxLv 800 x = Lv.g1 A y = Ax(1/4L v) x Lv 3,6 )2 2gf Panjang Lengkung Vertikal (Lv) a). Syarat keluwesan bentuk Lv = 0,6 x V b). Syarat drainase Lv = 40 x A c). Syarat kenyaman Ev = AxV

39 43 1. Lengkung Vertikal Cekung Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangent berada diatas permukaan jalan. Lv (-) (+) g2 g1 Ev PVI Gambar 2.12 Lengkung Vertikal Cekung 2. Lengkung Vertikal Cembung Adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen berada diatas permukaan jalan. Ev g2 g1 (+) (-) Lv Gambar 2.13 Lengkung Vertikal Cembung Keterangan : PLV = titik awal lengkung parabola. PPV = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2 PTV = titik akhir lengkung parabola.

40 44 g = kemiringan tangen ; (+) naik; (-) turun. Δ = perbedaan aljabar landai (g1 - g2) %. EV = pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV1 - m) meter. Lv = Panjang lengkung vertikal V = kecepatan rencana (km/jam) Jh = jarak pandang henti f = koefisien gesek memanjang menurut Bina Marga, f = 0, Perencanaan Galian dan Timbunan Dalam perencanaan jalan raya diusahakan agar volume galian sama dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen vertikal dan horizontal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan. Langkah-langkah dalam perhitungan galian dan timbunan, antara lain : a). Penentuan stationing (jarak patok) sehingga diperoleh panjang horizontal jalan dari alinyemen horizontal (trase jalan). b). Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) yang memperlihatkan perbedaan beda tinggi muka tanah asli dengan muka tanah rencana. c). Gambar potongan melintang (cross section) pada titik stationing, sehingga didapatkan luas galian dan timbunan. d). Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rata-rata dari galian atau timbunan dengan jarak patok Stationing Penomoran (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan (STA jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan. Disamping itu dari

41 45 penomoran jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap STA jalan dilengkapi dengan gambar potongan melintangnya. Adapun interval untuk masing-masing penomoran jika tidak adanya perubahan arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal adalah sebagai berikut : a). Setiap 100 m, untuk daerah datar b). Setiap 50 m, untuk daerah bukit c). Setiap 25 m, untuk daerah gunung Nomor jalan (STA jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km disepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain : a). Patok km merupakan petunjuk jarak yang diukur dari patok km 0, yang umumnya terletak di ibukota provinsi atau kotamadya, sedangkan patok STA merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal sampai akhir pekerjaan. b). Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar yang berlaku, sedangkan patok STA merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan proyek jalan tersebut. Sistem penomoran jalan pada tikungan dapat dilihat pada gambar 2.14 Sta ST Sta CS Sta TS Sta SC Sta TC Sta CT Gambar 2.14 Sistem Penomoran Jalan

42 Perencanaan Tebal Perkerasan Perkerasan jalan adalah lapisan atas badan jalan yang menggunakan bahan bahan khusus yang secara konstruktif lebih baik dari pada tanah dasar. Perkerasan jalan berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti. Secara umum perkerasan jalan mempunyai persyaratan yaitu kuat, awet, kedap air, rata, tidak licin, murah dan mudah dikerjakan. Oleh karena itu bahan perkerasan jalan yang paling cocok adalah pasir, kerikil, batu dan bahan pengikat (aspal atau semen). Berdasarkan suatu bahan ikat, lapisan perkerasan jalan dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1). Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) Yaitu suatu perkerasan yang menggunakan bahan campuran beton bertulang, atau bahan-bahan yang bersifat kaku. 2). Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Yaitu suatu perkerasan yang menggunakan bahan campuran aspal dan agregat atau bahan-bahan yang bersifat tidak kaku/lentur. 3). Perkerasan Komposit (Composite Pavement) Yaitu perkerasan dengan memakai dua bahan, dengan maksud menggabungkan dua bahan yang berbeda yaitu aspal dan beton Jenis dan Fungsi Konstruksi Perkerasan Lentur Konstruksi perkerasan terdiri dari lapisan lapisan yang diletakkan diatas permukaan tanah dasar yang telah dipadatkan. Konstruksi perkerasan terdiri dari : Gambar 2.15 Lapisan Perkerasan Lentur

43 47 a). Lapisan Permukaan (Surface Course) Lapisan permukaan merupakan lapisan yang terletak paling atas dari suatu perkerasan yang biasanya terdiri dari lapisan bitumen sebagai penutup lapisan permukaan. Fungsi dari lapisan permukaan ini adalah sebagai berikut : 1. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi menahan beban roda selama masa pelayanan. 2. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh tidak meresap ke lapisan dibawahnya dan melemahkan lapisan lapisan tersebut. 3. Lapis aus (wearing course), yaitu lapisan yang langsung mengalami gesekan akibat rem kendaraan, sehingga mudah aus. 4. Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah. Untuk memenuhi fungsi diatas, pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama b). Lapisan Pondasi Atas (Base Course) Lapisan pondasi atas merupakan lapisan utama dalam yang menyebarkan beban badan, perkerasan umumnya terdiri dari batu pecah (kerikil) atau tanah berkerikil yang tercantum dengan batuan pasir dan pasir lempung dengan stabilitas semen, kapur dan bitumen. Adapun fungsi dari lapisan pondasi atas adalah : 1. Sebagai perletakan terhadap lapisan permukaan. 2. Melindungi lapisan dibawahnya dari pengaruh luar. 3. Untuk menerima beban terusan dari lapisan permukaan. 4. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

44 48 c). Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course) Lapisan pondasi bawah merupakan lapisan kedua dalam yang menyebarkan beban yang diperoleh dari lapisan yang diatas seperti kerikil alam (tanpa proses). Fungsi dari lapisan pondasi bawah adalah : 1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda. 2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan lapisan diatasnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi). 3. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi. 4. Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar. d). Lapisan Tanah Dasar (Subgrade) Tanah dasar (subgrade) adalah merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan maupun tebal dari lapisan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar ini. Tanah dasar ini dapat terbentuk dari tanah asli yang dipadatkan (pada daerah galian) ataupun tanah timbun yang dipadatkan (pada daerah urugan). Mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri serta kemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing tanah tergantung dari tekstur, kadar air dan kondisi lingkungan Perencanaan Tebal Perkerasan Terdapat banyak metode yang telah dikembangkan dan dipergunakan di berbagai Negara untuk merencanakan tebal perkerasan. Metode tersebut kemudian secara spesifik diakui sebagai standar perencanaan tebal

45 49 perkerasan yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan. Beberapa standar yang telah dikenal adalah : a). Metode AASHTO, Amerika Serikat Yang secara terus menerus mengalami perubahan sesuai dengan penelitian yang telah diperoleh. Perubahan terakhir dilakukan pada edisi 1986 yang dapat dibaca pada buku AASHTO Guide For Design of Pavement Structure, b). Metode NAASRA, Australia Yang dapat dibaca Interin Guide to Pavement Thicknexx Design. c). Metode Road Note 29 dan Road Note 21 Road Note 29 diperuntukan bagi perencanaan tebal perkerasan di Inggris, sedangkan Road Note 31 diperuntukan bagi perencanaan tebal perkerasan di negara-negara beriklim subtropis dan tropis. d). Metode Asphalt Institute Yang dapat dibaca pada Thickness Design Asphalt Pavement for Highways and streets, MS-1. e). Metode Bina Marga, Indonesia Yang merupakan modifikasi dari metode AASHTO 1972 revisi Metode ini dapat dilihat pada buku petunjuk perencanaan tebal perkerasan jalan raya dengan metode analisa komponen, SKBI UDC : (02) Tahapan dalam Mendesain Tebal perkerasan Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain : a). Menentukan nilai LHR setiap jenis kendaraan pada awal dan akhir umur rencana. LHRn = LHR(1+i) n Dimana : n = umur rencana jalan i = angka pertumbuhan lalu lintas, (%).

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengertian Geometrik Jalan Raya Geometrik merupakan membangun badan jalan raya diatas permukaan tanah baik secara vertikal maupun horizontal dengan asumsi bahwa permukaan tanah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan 3.1.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Menurut Bina Marga (1997), fungsi jalan terdiri dari : a. jalan arteri : jalan yang melayani angkutan utama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan geometrik dilaksanakan dengan berpedoman pada tata cara peraturan Bina Marga. Didalam tata cara ini meliputi tentang deskripsi, ketentuanketentuan, dan cara pengerjaan

Lebih terperinci

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1 PENDAHULUAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat lain. Arti lintasan menyangkut tanah yang diperkuat (diperkeras)

Lebih terperinci

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000 Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Gambar Situasi Skala 1:1000 Penentuan Trace Jalan Penentuan Koordinat PI & PV Perencanaan Alinyemen Vertikal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA Sabar P. T. Pakpahan 3105 100 005 Dosen Pembimbing Catur Arief Prastyanto, ST, M.Eng, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan geometrik dilakukan dengan berpedoman pada tata cara peraturan Bina Marga. Didalam tata cara ini meliputi tentang deskripsi. Ketentuan-ketentuan, dan cara pengerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi

Lebih terperinci

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN 3.1. KENDARAAN RENCANA Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi (termasuk radius putarnya) dipilih sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan raya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Jalan Menurut Arthur Wignall (2003 : 12) secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlakukannya izin khusus

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG Oleh : AGUS BUDI SANTOSO JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA ABSTRAK Perencanaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGATAR

DAFTAR ISI KATA PENGATAR DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Halaman Persetujuan iii Motto dan Persembahan iv ABSTRAK v ABSTRACK vi KATA PENGATAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan 2.1.1 Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap jalan, dan perlengkapannya

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA Sudarman Bahrudin, Rulhendri, Perencanaan Geometrik Jalan dan Tebal Perkerasan Lentur pada Ruas Jalan Garendong-Janala PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Raya 2.1.1 Umum Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana bentuk dan ukuran yang nyata dari suatu jalan yang direncanakan beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di zaman yang semakin maju ini, transportasi menjadi hal vital dalam kehidupan manusia. Kesuksesan bertransportasi sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan Geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinymen horizontal dan alinymen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perencanaan dan perancangan secara umum adalah kegiatan awal dari rangkaian fungsi manajemen. Inti dari sebuah perencanaan dan perancangan adalah penyatuan pandangan

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI BAB IV PERENCANAAN 4.1. Pengolahan Data 4.1.1. Harga CBR Tanah Dasar Penentuan Harga CBR sesuai dengan Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang, BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Kendaraan Rencana Menurut Dirjen Bina Marga (1997), kendaraan rencana adalah yang dimensi dan radius putarnya digunakan sebagai acuan dalam perencanaan geometric jalan. Kendaraan

Lebih terperinci

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan yang akan dibicarakan dalam bab ini, seperti kendaraan rencana, kecepatan rencana,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar perencanaan geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang menitik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan

Lebih terperinci

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN 3.1. Kendaraan Rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang merupakan wakil dari kelompoknya. Dalam perencanaan geometrik jalan, ukuran lebar kendaraan rencana

Lebih terperinci

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui 3.1. Metode Pengambilan Data BAB III METODE PERENCANAAN 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui keadaan medan yang akandiencanakan. 2. Metode wawancara dalam menambah data

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Bab II Landasan Teori

BAB II DASAR TEORI. Bab II Landasan Teori BAB II DASAR TEORI 2.1 Klasifikasi Jalan Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas : 1) Jalan Arteri 2) Jalan Kolektor 3) Jalan Lokal Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam Tata Cara

Lebih terperinci

Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus

Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus Jalan umum dikelompokan berdasarkan (ada 5) Sistem: Jaringan Jalan Primer; Jaringan Jalan Sekunder Status: Nasional; Provinsi; Kabupaten/kota; Jalan desa Fungsi:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali pustakapustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Perencanaan Geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertical sehingga

Lebih terperinci

Kelandaian maksimum untuk berbagai V R ditetapkan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Kelandaian maksimum untuk berbagai V R ditetapkan dapat dilihat dalam tabel berikut : ALINYEMEN VERTIKAL 4.1 Pengertian Alinyemen Vertikal merupakan perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP :

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP : Oleh Mahasiswa PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) JALAN DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SEPANJANG RUAS JALAN Ds. MAMEH Ds. MARBUI STA 0+00 STA 23+00 MANOKWARI PROPINSI PAPUA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Arti dan Tujuan Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP:

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP: PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP: 0721079 Pembimbing: Dr. Budi Hartanto S., Ir., M.Sc. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Menurut Hendarsin (2000) bahwa perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal sehingga

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR FATKHUL MUIN (1) ARIE SYAHRUDDIN S, ST (2) BAMBANG EDISON, S.Pd, MT (2) ABSTRAK Kabupaten Berau adalah

Lebih terperinci

4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN

4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN 4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN Alignemen vertikal jalan diperlukan pada saat arah jalan mengalami pendakian dan penurunan pada posisi arah jalan. Kondisi ini dapat merubah sudut

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Program Validasi program dimaksudkan untuk mengetahui apakah hasil dari perhitungan program ini memenuhi syarat atau tidak, serta layak atau tidaknya program ini

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Pengertian

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Pengertian 6 BAB II DASAR TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Raya Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal sehingga

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 50) Lengkung Geometrik PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL MAGISTER TEKNIK JALAN RAYA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN Lengkung busur lingkaran sederhana (full circle)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen

Lebih terperinci

5.3. Perencanaan Geometrik Jalan 1. Alinyemen Horisontal Spiral-Circle-Spiral

5.3. Perencanaan Geometrik Jalan 1. Alinyemen Horisontal Spiral-Circle-Spiral 5.3. Perencanaan Geometrik Jalan 1. Alinyemen Horisontal Spiral-Circle-Spiral PARAMETER SCS - 1 SCS - 2 Vr 80 80 19.97 6.09 R 541.743 3528.377 e 0.045374 0.045374 en 0.02 0.02 e maks 0.08 0.08 Ls 66.66667

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Pengertian

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Pengertian 5 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Fungsi Jalan 2.1.1. Pengertian Jalan Kemajuan teknologi menjadi sangat cepat dan berlanjut sampai sekarang. Pengetahuan dan segala penemuan mengenai tanah dan

Lebih terperinci

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil Oleh: DARWIN LEONARDO PANDIANGAN

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( )

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( ) Oleh : ARIF SETIYAFUDIN (3107 100 515) 1 LATAR BELAKANG Pemerintah Propinsi Bali berinisiatif mengembangkan potensi pariwisata di Bali bagian timur. Untuk itu memerlukan jalan raya alteri yang memadai.

Lebih terperinci

KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ANTAR KOTA

KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ANTAR KOTA KRITERIA PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ANTAR KOTA Karakteristik Pengguna Jalan Rencana : Masalah utama dalam memperhitungkan karakteristik pengguna jalan untuk perancangan jalan adalah sangat bervariasi

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2)

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2) PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2) LAPORAN Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma

Lebih terperinci

DIKTAT MATA KULIAH KONSTRUKSI JALAN

DIKTAT MATA KULIAH KONSTRUKSI JALAN i DIKTAT MATA KULIAH KONSTRUKSI JALAN Disusun oleh: Faqih Ma arif, M.Eng faqih_maarif07@uny.ac.id +62856 433 95 446 JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

Lebih terperinci

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN Alinemen Horizontal Alinemen Horizontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horizontal (Denah). Alinemen Horizontal terdiri dari bagian lurus dan lengkung.

Lebih terperinci

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN 2320-4240 PERENCANAAN PERKERASAN DAN PENINGKATAN GEOMETRIK JALAN Rulhendri, Nurdiansyah Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Ibnu Khaldun Bogor petot.nurdiansyah@yahoo.com,

Lebih terperinci

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang...

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i ABSTRAK... ii KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN DIAGRAM... xv DAFTAR SIMBOL... xvi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Umum... 1 1.2.

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur Ferdiansyah Septyanto, dan Wahju Herijanto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI Sebelum mengadakan pembahasan lebih lanjut maka penulis perlu mengemukakan suatu analisa bahwa landasan teori merupakan suatu pembahasan dengan dasar buku refrensi yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. harus memiliki jarak pandang yang memadai untuk menghindari terjadinya

BAB II DASAR TEORI. harus memiliki jarak pandang yang memadai untuk menghindari terjadinya BAB II DASAR TEORI Pada jalan luar kota dengan kecepatan yang rencana yang telah ditentukan harus memiliki jarak pandang yang memadai untuk menghindari terjadinya kecelakaan akibat terhalangnya penglihatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan BAB 1 PENDAHULUAN Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap jalan, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Jalan Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas umum,yang berada pada permukaan tanah, diatas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA 11 BAB II 2.1 TINJAUAN UMUM Studi pustaka adalah suatu pembahasan berdasarkan bahan baku referensi yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan maupun sebagai dasar untuk menggunakan rumus-rumus tertentu

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Klasifikasi Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Klasifikasi Jalan BAB III LANDASAN TEORI A. Klasifikasi Jalan Jalan raya di Indonesia dapat diklasifikasikan murut fungsi jalan, kelas jalan,status jalan yang ditetapkan berdasarkan manfaat jalan, arus lalu lintas yang

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Bayu Chandra Fambella, Roro Sulaksitaningrum, M. Zainul Arifin, Hendi Bowoputro Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Jalan raya adalah jalur jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia dengan bentuk, ukuran ukuran dan jenis kontruksinya sehingga dapat

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP:

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP: PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP: 0521006 Pembimbing: Ir. Silvia Sukirman Pembimbing Pendamping: Sofyan Triana, ST., MT. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN

Lebih terperinci

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN Ahmadi : 1213023 (1) Bambang Edison, S.Pd, MT (2) Anton Ariyanto, M.Eng (2) (1)Mahasiswa Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pasir

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perhitungan

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perhitungan BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Perhitungan 1. Data Spesifikasi Jalan Ruas jalan Yogyakarta-Wates Km 15-22 termasuk jalan nasional berdasarkan Keputusan Meteri Pekerjaan Umum No. 631/KPTS/M/2009

Lebih terperinci

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006 PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006 PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN STANDARD PERENCANAAN Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 Direktorat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Geometrik Jalan Perencanaan Geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang titik beratkan pada alinyem horizontal dan alinyemen vertikal sehingga dapat memenuhi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Raya 2.1.1 Umum Dalam perencanaan jalan raya, bentuk geometriknya harus sedimikian sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang

Lebih terperinci

2.2 Klasifikasi Standar Jalan Klasifikasi standar jalan terbagi menjadi 3 macam, yaitu :

2.2 Klasifikasi Standar Jalan Klasifikasi standar jalan terbagi menjadi 3 macam, yaitu : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI V.1 TINJAUAN UMUM Dalam Bab ini, akan dievaluasi tanah dasar, lalu lintas, struktur perkerasan, dan bangunan pelengkap yang ada di sepanjang ruas jalan Semarang-Godong. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat

Lebih terperinci

PROYEK AKHIR. PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

PROYEK AKHIR. PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya PROYEK AKHIR FERRYA RASTRATAMA SYUHADA NRP. 3109038001 MULYADI NRP. 3109038003 Dosen Pembimbing : R. Buyung Anugraha Affandhie, ST. MT PROGRAM DIPLOMA III TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan

Lebih terperinci

DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA

DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA PERKERASAN JALAN BY DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA Perkerasan Jalan Pada umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang tersusun dari bawah ke atas,sebagai berikut :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan suatu perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 24 BAB III LANDASAN TEORI A. Alinyemen Horisontal Jalan Raya Alinemen horisontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang kertas yang terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.

Lebih terperinci

BAB 4 JARAK PANDANG 4.1. Pengertian

BAB 4 JARAK PANDANG 4.1. Pengertian BAB 4 JARAK PANDANG 4.1. Pengertian Jarak pandang adalah panjang bagian jalan di depan pengemudi yang dapat dilihat dengan jelas, diukur dari tempat kedudukan mata pengemudi. Kemampuan untuk dapat melihat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Perencanaan geometrik adalah salah satu opsi terbaik dalam melakukan suatu desain baik itu penbangunan jalan, pelebaran jalan, dan peningkatan jalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Jalan Klasifikasi jalan merupakan aspek penting yang pertama kali harus diidentifikasikan sebelum melakukan perancangan jalan, karena kriteria desain suatu rencana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TINJAUAN UMUM Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertical sehingga

Lebih terperinci

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan melintang tegak lurus sumbu jalan, yang memperlihatkan bagian bagian jalan. Penampang melintang jalan yang akan digunakan harus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik 2.1.1 Arti Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 4 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik, sehingga dapat memenuhi fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik merupakan bagian dari perencanaan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan sehingga dapat memenuhi fungsi dasar

Lebih terperinci

NOTASI ISTILAH DEFINISI

NOTASI ISTILAH DEFINISI DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI C KAPASITAS Arus lalu-lintas maksimum (mantap) yang dapat (smp/jam) dipertahankan sepanjang potongan jalan dalam kondisi

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik - Universitas Gadjah Mada PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MODUL - 6 JARAK PANDANG HENTI DAN MENYIAP Disusun oleh: Tim Ajar Mata Kuliah Perancangan Geometrik

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida

BAB II DASAR TEORI D3 TEKNIS SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG. Debi Oktaviani Nofita Milla Ana Farida BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Jalan Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,

Lebih terperinci

BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Studi Kasus Obyek studi kasus untuk penulisan Tugas Akhir ini adalah Perencanaan Jalan Tol Kertosono Mojokerto, Surabaya yang berada pada provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1) Diajukan Oleh : ADI SISWANTO

TUGAS AKHIR. Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S-1) Diajukan Oleh : ADI SISWANTO PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR DENGAN METODE KONSTRUKSI BERTAHAP PADA RUAS JALAN DURENAN-BANDUNG-BESUKI PADA STA 171+550 182+350 DI KABUPATEN TULUNGAGUNG TUGAS AKHIR Untuk memenuhi sebagai persyaratan dalam

Lebih terperinci