PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.55 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
|
|
- Fanny Sutedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.55 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004, telah diatur ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan terhadap kecelakaan kapal; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut di atas, perlu mengatur tata cara pemeriksaan kecelakaan kapal dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3734); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3929); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4227); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4369); 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2005; 7. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Tahun MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL. 1 / 14
2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal adalah kegiatan penyelidikan atau pengusutan suatu peristiwa kecelakaan kapal yang dilaksanakan atas dasar laporan kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti-bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal. 2. Pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal adalah kegiatan penyelidikan atau pengusutan dan persidangan suatu peristiwa kecelakaan kapal sebagai tindak lanjut pemeriksaan pendahuluan. 3. Tersangkut adalah Nakhoda atau Pemimpin Kapal dan/atau Perwira Kapal yang diduga melakukan kesalahan dan/atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang menyebabkan kecelakaan kapal. 4. Saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan mengenai suatu peristiwa kecelakaan kapal yang didengar sendiri, dilihat sendiri atau dialami sendiri, atau pihak lain yang berwenang yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kapal yang mengalami kecelakaan atau peristiwa kecelakaan tersebut. 5. Saksi Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya dalam pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal untuk membuat terang suatu peristiwa kecelakaan kapal. 6. Perwira Kapal adalah para mualim, masinis, dan perwira radio kapal. 7. Penasehat Ahli adalah orang yang karena keahliannya ditunjuk oleh Tersangkut untuk mendampingi Tersangkut selama berlangsungnya pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal. 8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang perhubungan laut. BAB II PEMERIKSAAN PENDAHULUAN Bagian Pertama Laporan Kecelakaan Kapal Pasal 2 (1) Pemeriksaan kecelakaan kapal dilakukan terhadap semua kecelakaan kapal yang terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia dan kecelakaan kapal berbendera Indonesia yang terjadi di luar wilayah perairan Indonesia. (2) Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. kapal tenggelam; b. kapal terbakar; c. kapal tubrukan; 2 / 14
3 d. kecelakaan Kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda; e. kapal kandas. Pasal 3 (1) Setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya terjadi kecelakaan kapal, sesuai batas kemampuannya wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada: a. Syahbandar pelabuhan terdekat bila kecelakaan terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; b. Pejabat Perwakilan RI terdekat dan Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal atau pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia. (2) Kewajiban melaporkan kecelakaan kapal kepada Syahbandar atau Pejabat Perwakilan RI atau Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah kewajiban penyampaian laporan oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal atau Perwira Kapal tidak dapat dilaksanakan. (3) Laporan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan secara lisan atau bahasa isyarat lainnya atau tertulis. Pasal 4 (1) Nakhoda atau Pemimpin Kapal, yang: a. kapalnya mengalami kecelakaan kapal; b. menyebabkan kapal lain mendapat kecelakaan kapal; c. mengetahui kapal lain mendapat kecelakaan kapal; d. membawa awak kapal atau penumpang dari kapal yang mengalami kecelakaan kapal, wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada Syahbandar pelabuhan terdekat bila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia. (2) Nakhoda atau Pemimpin Kapal berbendera Indonesia yang mengalami kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal atau pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah kecelakaan kapal terjadi berada di luar wilayah perairan Indonesia. Pasal 5 (1) Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibuat secara tertulis oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal. (2) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal meninggal dunia atau hilang dalam kecelakaan kapal, laporan kecelakaan kapal dibuat oleh Perwira Kapal dengan urutan tanggung jawab di atas kapal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (3) Pembuatan Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengisi blangko sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini dan disampaikan kepada Syahbandar pada pelabuhan terdekat atau pelabuhan tujuan atau pelabuhan pertama yang disinggahi. (4) Kapal berbendera Indonesia yang mengalami kecelakaan di luar wilayah perairan Indonesia, Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) disampaikan kepada Pejabat Perwakilan Indonesia terdekat atau Pejabat 3 / 14
4 Pemerintah negara setempat yang berwenang atau pelabuhan pertama yang disinggahi. (5) Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) disampaikan selambat-lambatnya satu dua puluh empat jam setelah Nakhoda atau Pemimpin Kapal tiba di pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah terjadinya kecelakaan kapal. Pasal 6 Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) yang dilaporkan kepada Pejabat Perwakilan Indonesia terdekat atau Pejabat Pemerintah negara setempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (4) diteruskan kepada Direktur Jenderal untuk digunakan sebagal dasar penyusunan Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) yang ditandatangani Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Bagian Kedua Tata Cara Mencari Keterangan dan Pemanggilan Pasal 7 Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal yang dilakukan oleh Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal dapat mencari keterangan yang diperlukan dari: a. Nakhoda atau Pemimpin Kapal; b. Perwira Kapal; c. Anak Buah Kapal; d. Pihak lainnya. Pasal 8 (1) Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal setelah menerima Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) melakukan pemanggilan terhadap Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya, dibuat secara tertulis. (2) Surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memuat hari, tanggal, waktu dan tempat diadakan dengan menyebut nama, jabatan/pekerjaan dan kapasitasnya dalam pemeriksaan pendahuluan, yang disampaikan langsung kepada Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya, melalui Perusahaan Pelayaran, keluarga yang bersangkutan, Pejabat Pemerintah setempat atau orang lain yang dianggap patut menyampaikan surat panggilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini. (3) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak memenuhi panggilan harus menyampaikan alasan secara tertulis yang disampaikan kepada Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya surat panggilan. (4) Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal melakukan panggilan yang kedua dan apabila panggilan kedua tetap tidak dipenuhi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja, dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilaporkan kepada pihak yang berwajib. 4 / 14
5 bagian Ketiga Tata Cara Pembuatan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan Pasal 9 (1) Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan kecelakaan kapal. (2) Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan: a. kesimpulan hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal; b. laporan kecelakaan kapal; c. dokumen lain yang diperlukan. Pasal 10 (1) Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal dituangkan secara tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) dengan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini, dilakukan dengan cara interogasi dan/atau tanya jawab dan tidak boleh dilakukan penekanan, pemaksaan, dan pengaruh kepada yang diperiksa. (2) Untuk mempermudah Pemeriksaan Pendahuluan dapat mempergunakan Alat Perekam atau Radio Tape yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP). Pasal 11 Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan oleh Tim yang dipimpin Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pasal 12 (1) Hasil pemeriksaan dibacakan kembali oleh Pemeriksa dengan jelas dan dapat dimengerti oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya. (2) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal. Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak keberatan atas hasil pemeriksaan yang dibacakan, yang bersangkutan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) pada kolom yang telah ditentukan. (3) Dalam hal Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak mau menanda tangani Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP), dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP). (4) Setelah Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) selesai dibuat, Pemeriksa membuat Resume atau Kesimpulan dengan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan ini. Bagian Keempat Penyelesaian Dan Penyerahan Berkas 5 / 14
6 Pasal 13 (1) Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan dokumendokumen pendukungnya yang diperlukan telah lengkap, disampaikan kepada Direktur Jenderal rangkap 3 (tiga). (2) Dokumen-dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berdasarkan ukuran dan jenis kapal dan disusun sesuai urutan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan ini. (3) Dokumen-dokumen pendukung yang merupakan fotokopi harus dilegalisir oleh Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal dengan membubuhkan tandatangan dan cap stempel kantor. (4) Setelah dokumen-dokumen pendukung diperiksa, dipelajari dan dievaluasi Direktur Jenderal, apabila terdapat kekurangan dokumen-dokumen pendukung dikembalikan kepada Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal, untuk dilengkapi dan diberi petunjuk. Pasal 14 Direktur Jenderal mengirim Berkas Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BBAPP) dan kelengkapan dokumen pendukung kepada Mahkamah Pelayaran untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal. Bagian Kelima Penghentian Pemeriksaan Pasal 15 (1) Direktur Jenderal mengeluarkan surat penghentian pemeriksaan kecelakaan kapal dengan surat penetapan penghentian pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal yang tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan ini, (2) Surat penghentian pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya memuat keterangan mengenai dasar alasan tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dan penetapan sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal. Pasal 16 (1) Alasan tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dan penetapan sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), didasarkan pada pertimbangan secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan sekurang-kurangnya menyangkut aspek keselamatan pelayaran yang meliputi nautis teknis dan pengawakan. (2) Alasan tidak dilakukannya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (1), dilaporkan kepada Menteri. BAB III PEMERIKSAAN LANJUTAN Bagian Pertama 6 / 14
7 Penetapan Majelis Pasal 17 (1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Berkas Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BBAPP) dan kelengkapan dokumen pendukung dan tercatat pada Mahkamah Pelayaran, Ketua Mahkamah Pelayaran menetapkan Majelis untuk pemeriksaan lanjutan terhadap berkas perkara kecelakaan kapal. (2) Pembentukan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menunjuk beberapa anggota Mahkamah Pelayaran sesuai keahlian yang dibutuhkan dalam Pemeriksaan Lanjutan Kecelakaan Kapal. Pasal 18 (1) Susunan keanggotaan Majelis Hakim harus berjumlah ganjil dan sekurangkurangnya terdiri dari 5 (lima) orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Pelayaran dengan susunan terdiri dari Ahli Nautika Tingkat I, Ahli Teknika Tingkat I, atau Ahli Teknika Tingkat II, Sarjana Teknik Perkapalan dan seorang Sarjana Hukum dan diketuai seorang Ahli Nautika Tingkat I yang merangkap sebagai anggota. (2) Dalam melaksanakan tugas, Majelis Hakim dibantu seorang Sekretaris yang berfungsi sebagai pencatat dalam Sidang Majelis dan selanjutnya Sekretaris Majelis dapat dijabat oleh Sekretaris Mahkamah Pelayaran atau seorang Sekretaris Pengganti. (3) Sekretaris Majelis adalah seorang Sarjana Hukum. (4) Ketua Mahkamah Pelayaran dapat menjadi Ketua Majelis Hakim dalam pemeriksaan kecelakaan kapal. Pasal 19 (1) Majelis dipimpin oleh seorang Ketua Majelis, apabila Ketua Majelis berhalangan, maka Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk penggantinya. (2) Anggota Majelis yang tidak hadir dalam persidangan karena suatu alasan, Ketua Mahkamah Pelayaran harus menunjuk pengganti sesuai keahliannya. Pasal 20 (1) Anggota Majelis harus mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga dengan Tersangkut, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan Tersangkut. (2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis dalam waktu selambatlambatnya 2x24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sebelum persidangan dimulai. (3) Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk pengganti anggota majelis hakim dengan keahlian yang sama dengan jumlah anggota tetap ganjil dan tidak boleh kurang dari 5 (lima) anggota majelis. Pasal 21 Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah hasil sidang diputuskan, diketahui anggota majelis hakim terkena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk penggantinya sesuai kualifikasi ijasah dan dilakukan sidang ulang. 7 / 14
8 Pasal 22 (1) Pengunduran diri yang disebabkan oleh selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dikarenakan berhalangan, Ketua Majelis atau Anggota Majelis yang berhalangan wajib mengajukan permohonan baik secara lisan atau tertulis kepada Ketua Mahkamah Pelayaran sebelum sidang dimulai. (2) Permohonan pengunduran diri tersebut pada ayat (1) harus memuat alasan ketidakhadiran secara jelas. (3) Dalam hal permohonan pengunduran diri dapat diterima maka Ketua Mahkamah Pelayaran segera menunjuk penggantinya disesuaikan dengan keahlian. (4) Apabila permohonan pengunduran diri ditolak maka yang bersangkutan tetap melaksanakan tugasnya. Bagian Kedua Penelitian Berkas Perkara dan Pemanggilan Pasal 23 (1) Majelis melakukan penelitian dengan mempelajari berkas perkara yang diterima, kemudian menentukan Tersangkut, Saksi dan Saksi Ahli serta kelengkapan Dokumen Kapal yang diperlukan dalam persidangan. (2) Apabila dari hasil penelitian yang dimaksud pada ayat (1) menyatakan perkara layak disidangkan maka selanjutnya Ketua Majelis meneruskan berkas perkara kepada Sekretaris Mahkamah Pelayaran untuk dibuatkan Surat Panggilan kepada Tersangkut dan Saksi-saksi terkait untuk hadir dalam persidangan yang telah ditentukan waktu dan tempatnya. Pasal 24 (1) Pemanggilan sidang dibuat secara tertulis dan jelas dikirimkan kepada yang bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai. (2) Surat panggilan harus memuat hari, tanggal, waktu dan tempat diadakan dengan menyebutkan nama, jabatan/pekerjaan, dan kapasitasnya dalam pemeriksaan lanjutan pada sidang Mahkamah Pelayaran. (3) Surat panggilan terhadap Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli dianggap sah apabila dilakukan dengan surat yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Pelayaran sesuai format baku yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan ini. (4) Ketua Mahkamah Pelayaran dapat menugaskan Sekretaris Mahkamah Pelayaran untuk menandatangani surat panggilan atas nama Ketua Mahkamah Pelayaran. Pasal 25 (1) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, yang bersangkutan harus menyampaikan secara tertulis alasan ketidakhadirannya kepada Mahkamah Pelayaran selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum hari sidang dimulai, (2) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, akan dilakukan pemanggilan kedua dengan dikirimkan kepada yang bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai. 8 / 14
9 (3) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, maka sidang tetap dilaksanakan dan diputus tanpa kehadiran yang bersangkutan. Pasal 26 (1) Dalam hal yang bersangkutan berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik Indonesia, pemanggilan dapat dilakukan dengan cara pengiriman melalui perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk diteruskan ke tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum sidang dimulai. (2) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, yang bersangkutan harus menyampaikan secara tertulis alasan ketidakhadirannya kepada Mahkamah Pelayaran selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum hari sidang dimulai. (3) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, akan dilakukan pemanggilan kedua dengan dikirimkan kepada yang bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai. (4) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, maka sidang tetap dilaksanakan dan diputus tanpa kehadiran yang bersangkutan. Pasal 27 (1) Perusahaan pelayaran wajib menghadirkan Tersangkut dan Saksi untuk memenuhi panggilan Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Perusahaan pelayaran yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1), dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Pasal 28 (1) Apabila Sidang Majelis memandang ketidakhadiran Saksi dan/atau Saksi Ahli dalam sidang disebabkan oleh hal atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang bersangkutan berkehendak memberikan kesaksian atau keterangannya, maka Sidang Majelis dapat meminta kepada yang bersangkutan memberikan kesaksian atau keterangannya secara tertulis di luar tempat dilaksanakan Sidang Majelis (2) Kesaksian atau keterangan di luar tempat dilaksanakan Sidang Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan: a. di kantor Syahbandar tempat terjadinya kecelakaan; atau b. di kantor Syahbandar di luar tempat terjadinya kecelakaan yang mudah dijangkau oleh saksi dan/atau saksi ahli. (3) Kesaksian atau keterangan dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai dan diketahui Syahbandar. Pasal 29 (1) Sebelum memberikan kesaksian atau keterangan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 9 / 14
10 ayat (1) Saksi dan/atau Saksi Ahli mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama dan kepercayaannya dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. (2) Sumpah dan janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat oleh Mahkamah Pelayaran dalam bentuk berita acara sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan ini, yang ditandatangani oleh yang bersangkutan yang isinya sebagai berikut: a. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Islam sumpah sebagai berikut: "Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya sebagai Saksi dalam peristiwa ini akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya"; b. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Kristen Katolik janji sebagai berikut "Saya berjanji, bahwa saya sebagai Saksi dalam peristiwa ini akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya"; c. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Hindu janji sebagai berikut: " Om atah paramawisesa, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya, om canti, canti, canti, om"; d. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Budha sumpah sebagai berikut: " Demi sang Hyang Adi Budha, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya"; e. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Kong Hu Cu sumpah sebagai berikut: " Hong Tian Kam Ciat Bonggan Cia Cwee, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya, om canti, canti, canti, om'. (3) Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Syahbandar sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) yaitu Syahbandar di tempat terjadinya kecelakaan atau Syahbandar di luar tempat terjadinya kecelakaan yang mudah dijangkau oleh Saksi dan/atau Saksi Ahli. Bagian Ketiga Perlengkapan Atribut Persidangan Pasal 30 (1) Ruang Sidang Majelis Mahkamah Pelayaran disusun menurut tata cara sebagai berikut: a. Meja ditutup kain warna hijau dan kursi Majelis letaknya lebih tinggi dari tempat Sekretaris Majelis, Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli, Penasehat Ahli dan Pengunjung. b. Meja dan kursi Sekretaris Majelis terletak di sisi kiri depan Majelis, c. Kursi Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli terletak di hadapan Majelis. d. Kursi Penasehat Ahli terletak di sebelah kanan Majelis. e. Tempat pengunjung terletak di belakang tempat Tersangkut. f. Bendera merah putih terletak di sisi kanan meja Majelis dan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang Majelis. g. Meja peta laut diletakkan diantara meja Majelis dengan tempat kursi Tersangkut. h. Papan tulis apabila diperlukan dapat diletakkan di dalam ruang sidang yang tidak mengganggu. 10 / 14
11 (2) Ruang Sidang Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergambar dalam denah yang tercantum dalam Lampiran IX Peraturan ini. (3) Dalam hal Sidang Majelis dilaksanakan di luar tempat kedudukan Mahkamah Pelayaran, tata cara penyusunan ruang Majelis sedapat mungkin disusun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Pakaian Anggota Majelis berupa pakaian sipil harian dengan memakai atribut nama dan lencana hakim. (5) Sekretaris Majelis memakai pakaian sipil harian dengan atribut nama dan logo Departemen Perhubungan. Bagian Keempat Sidang Majelis Pasal 31 (1) Ketua Majelis membuka Sidang Majelis dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. (2) Ketua Majelis berwenang memeriksa tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli secara tersendiri atau bersama-sama. (3) Pada permulaan sidang, Ketua Majelis menanyakan kepada Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tentang nama lengkap, kesehatan, tempat tanggal lahir, timur, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat dalam sidang. (4) Ketua Majelis menanyakan kepada Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli apakah ia sudah benar-benar mengetahui alasan pemeriksaan lanjutan dan apabila Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tidak mengerti maka Ketua Majelis memberi penjelasan yang diperlukan. Pasal 32 (1) Dalam Sidang Majelis, Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli dapat menyanggah keterangan yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan yang telah ditandatangani sesuai dengan kebenaran yang nyata, (2) Sanggahan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan Keputusan Sidang Majelis. Pasal 33 Saksi dapat ditetapkan sebagai Tersangkut apabila dalam Sidang Majelis ditemukan bukti-bukti yang cukup sebagai Tersangkut. Pasal 34 Apabila dalam Sidang Majelis, Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tidak dapat berbahasa Indonesia, maka Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli harus didampingi penterjemah atas biaya yang bersangkutan. Bagian Kelima Penasehat Ahli 11 / 14
12 Pasal 35 (1) Dalam Sidang Majelis, Tersangkut dapat didampingi Penasehat Ahli. (2) Penasehat Ahli sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memiliki keahlian di bidang Nautika atau Teknika atau Elektronika atau Teknik Perkapalan atau Hukum yang menguasai dan memahami tentang perkapalan dan pelayaran. (3) Penilaian keahlian seperti tersebut dalam ayat (2) dilakukan oleh Majelis. (4) Jumlah Penasehat Ahli sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang. Pasal 36 Dalam Sidang Majelis Tersangkut dapat meminta kepada Ketua Majelis untuk berkonsultasi dengan Penasehat Ahli dan sidang dapat ditunda sementara. Pasal 37 (1) Penunjukan Penasehat Ahli untuk mendampingi Tersangkut dibuat secara tertulis di atas kertas bermeterai cukup. (2) Selambat- lambatnya sebelum sidang dimulai, surat penunjukan Penasehat Ahli harus sudah diterima oleh Ketua Majelis. (3) Dalam hal Penasehat Ahli yang ditunjuk dianggap menghambat persidangan, Ketua Majelis meminta agar Penasehat Ahli diganti. Pasal 38 Penasehat Ahli dapat memberikan keterangan apabila diminta oleh Majelis. Bagian Keenam Putusan Pasal 39 (1) Putusan Majelis ditetapkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai oleh Majelis dan setelah Majelis melakukan pembahasan tentang hasil pemeriksaan. (2) Putusan diambil dengan cara: a. masing-masing Anggota Majelis mengusulkan tentang ada atau tidaknya kesalahan Tersangkut dan berat ringannya sanksi yang akan dijatuhkan sesuai dengan keyakinannya dengan menjelaskan dasar pertimbangan dan ketentuan yang dijadikan acuan; b. putusan diambil dengan suara bulat; atau c. jika terdapat perbedaan pendapat diantara Anggota Majelis tentang ada atau tidaknya kesalahan Tersangkut dan berat ringannya sanksi, maka penetapannya diambil berdasarkan suara terbanyak. 12 / 14
13 Pasal 40 Keputusan Mahkamah Pelayaran adalah Putusan Majelis yang dibuat dalam bentuk tertulis, sebagaimana tercantum dalam Lampiran X Peraturan ini. Pasal 41 (1) Keputusan Mahkamah Pelayaran yang terdiri dari: a. Ihtisar kejadian kecelakaan kapal sesuai pemeriksaan pendahuluan. b. Keterangan yang diperoleh di hadapan Sidang Majelis Mahkamah Pelayaran. c. Pendapat Mahkamah Pelayaran, tentang: 1) Kapal, dokumen kapal dan awak kapal; 2) Keadaan cuaca; 3) Muatan/penumpang; 4) Navigasi dan olah gerak; 5) Sebab-sebab kecelakaan kapal; 6) Upaya penyelamatan; 7) Kesalahan dan/atau kelalaian. d. Diktum, yang terdiri dari 1) Kesimpulan sebab-sebab terjadinya kecelakaan; 2) Peraturan yang diberlakukan; 3) Sanksi yang dijatuhkan. (2) Keputusan Mahkamah Pelayaran ditandatangani oleh ketua, para anggota dan Sekretaris Majelis. Pasal 42 (1) Keputusan Mahkamah Pelayaran dibacakan oleh Ketua Majelis dalam Sidang terbuka untuk umum. (2) Hari dan tanggal pembacaan putusan Majelis diberitahukan kepada Pihak yang terkait, selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum putusan dibacakan. Pasal 43 (1) Keputusan Mahkamah Pelayaran dapat berupa pembebasan atau pengenaan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa: a. Peringatan; b. Pencabutan sementara sertifikat keahlian pelaut untuk bertugas dalam jabatan tertentu dikapal untuk waktu paling lama 2 (dua) tahun. BAB IV KETENTUAN PENUTUP 13 / 14
14 Pasal 44 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 17 Oktober 2006 MENTERI PERHUBUNGAN, Ttd. M. HATTA RAJASA SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Presiden RI; 2. Wakil Presiden RI; 3. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 4. Menko Bidang Perekonomian; 5. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; 6. Menteri Dalam Negeri; 7. Menteri Keuangan; 8. Menteri Perindustrian; 9. Menteri Perdagangan; 10. Menteri Pertanian; 11. Menteri Kelautan dan Perikanan; 12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 13. Menteri Pertahanan; 14. Menteri Negara BUMN; 15. Panglima TNI; 16. Kapolri; 17. Para Gubenur/ Bupati/ Walikota seluruh Indonesia; 18. Sekjen, Irjen, Para Dirjen dan Para Kepala Badan di lingkungan Departemen Perhubungan; 19. Para Kepala Biro di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Perhubungan; 20. Para Kepala Kantor Administrator Pelabuhan/Kepala Kantor Pelabuhan; 21. Ketua Mahkamah Pelayaran. 14 / 14
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 93 ayat (3) Undang-undang
Lebih terperinci*35478 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 1 TAHUN 1998 (1/1998) TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Copyright (C) 2000 BPHN PP 1/1998, PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL Menimbang: *35478 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 1 TAHUN 1998 (1/1998) TENTANG PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL PRESIDEN
Lebih terperinciPERATURAN KETUA MAHKAMAH PELAYARAN NOMOR : HK.208/01/XI/MP.2015 TENTANG PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN LANJUTAN KECELAKAAN KAPAL
PERATURAN KETUA MAHKAMAH PELAYARAN NOMOR : HK.208/01/XI/MP.2015 TENTANG PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN LANJUTAN KECELAKAAN KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH PELAYARAN Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciDRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK
Lebih terperinci2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1758, 2015 KY. Laporan Masyarakat. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KM.1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR (PORT CLEARANCE)
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KM.1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT PERSETUJUAN BERLAYAR (PORT CLEARANCE) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB VII PERADILAN PAJAK
BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciPERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam
Lebih terperinciKomisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
\ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1995 TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1995 TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciKEPUTUSAN BERSAMA DAN 129/KMA/SKB/IX/ /SKB/P.KY/IX/2009 TENTANG
KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 129/KMA/SKB/IX/2009 04 /SKB/P.KY/IX/2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, TATA KERJA DAN TATA
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA
Lebih terperinci2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon
No.1580, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPK. DPP-KPK. Pencabutan. PERATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PEGAWAI KOMISI PEMBERANTASAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.1055, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Pengambilan Keputusan. Pembentukan. Tata Kerja. Tata Cara. PERATURAN BERSAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 76 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MAHKAMAH PELAYARAN
MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 76 TAHUN 2017 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA MAHKAMAH PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI
Lebih terperinciTATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 (Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000) KOMISI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Lebih terperinciP E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I
S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA LAINNYA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Lebih terperinciTENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/DPR RI/IV/2007-2008 TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT
Lebih terperinci2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.617, 2015 KKI. Pelanggaran Disiplin. Dokter dan Dokter Gigi. Dugaan. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH
KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya
Lebih terperinci2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.291, 2017 KEMENDAG. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/M-DAG/PER/2/2017 TENTANG BADAN PENYELESAIAN
Lebih terperinciKETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN BERSAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA Nomor : 04/PB/MA/IX/2012 04/PB/P.KY/09/2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, TATA KERJA, DAN TATA CARA PENGAMBILAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
Lebih terperinciKOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK
KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang:
Lebih terperinci2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELANTIKAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPerpajakan 2 Pengadilan Pajak
Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinci2017, No sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huru
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1428, 2017 BAWASLU. Penanganan Pelanggaran Administrasi. Pencabutan. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 72 Undang-undang Nomor 6 Tahun
Lebih terperinci2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent
No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1995 TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 1995 TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan
Lebih terperinciKomisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciMAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH MAHASISWA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA DAN TATA TERTIB PERSIDANGAN MAHKAMAH MAHASISWA MAHKAMAH MAHASISWA, Menimbang : a. bahwa Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia merupakan
Lebih terperinciBADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tanggal 23 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELANTIKAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELANTIKAN KEPALA DAERAH DAN/ATAU WAKIL KEPALA DAERAH DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN, PEMERIKSAAN, DAN PENYELESAIAN BANDING MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 54, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3606) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT,
Lebih terperinciMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 06/PMK/2005 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 06/PMK/2005 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang
Lebih terperinciBUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI
SALINAN BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR : 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
No.144, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN BPK. Kode Etik. Majelis Kehormatan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5905) PERATURAN BADAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS
PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang
Lebih terperinciBUPATI TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOBA SAMOSIR NOMOR 4 TAHUN 2016
SALINAN BUPATI TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOBA SAMOSIR NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat
Lebih terperinciGUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN
GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,
Lebih terperinciHukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual
Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciMATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO
MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciDIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI,
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERDAGANGAN DALAM NEGERI NOMOR : 76/PDN/KEP/6/2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMILIHAN CALON ANGGOTA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK), PENGANGKATAN KETUA
Lebih terperinci*9788 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 1997 (17/1997) TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Copyright (C) 2000 BPHN UU 17/1997, BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK *9788 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 17 TAHUN 1997 (17/1997) TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 4 Tahun : 2015
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 4 Tahun : 2015 Menimbang Mengingat PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERANGKAT
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun
Lebih terperinciPERATURAN SEKRETARIS JENDERAL DEWAN ENERGI NASIONAL NOMOR : 001 K/70.RB/SJD/2011 TENTANG
PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL DEWAN ENERGI NASIONAL NOMOR : 001 K/70.RB/SJD/2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN ENERGI NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, SEKRETARIS
Lebih terperinciBUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN 1 BUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 12 Tahun : 2016
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 12 Tahun : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris
No.180,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 HA PIOAUSPOI TENTANG MAJELIS KEHORMATAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.180,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 HA PIOAUSPOI TENTANG MAJELIS KEHORMATAN
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 167 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PELANTIKAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 167 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PELANTIKAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 40, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3684) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1189, 2016 KI. Kode Etik Anggota. (Penjelasan Dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 11). PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE
Lebih terperinciBAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1
LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE
Lebih terperinciP E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I
S A L I N A N P E M E R I N T A H K A B U P A T E N K E D I R I PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEDIRI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEDIRI,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciSALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN KASUS DUGAAN PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN
Lebih terperinciBADAN PERMUSYAWARATAN DESA
PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG Menimbang : Bahwa untuk
Lebih terperinci