BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan merupakan obyek buatan manusia yang mempunyai fungsi utama yaitu menampung air pada saat debit air tinggi untuk digunakan pada saat debit air sangat rendah. Dibangunnya suatu bendungan, memungkinkan manusia untuk memodifikasi distribusi air menurut alam, dan menciptakan distribusi air buatan. Dalam pendistribusian air selalu memperhatikan kontrol dan pengendalian volume air bendungan supaya kebutuhan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan untuk jangka waktu tertentu dapat tercukupi. Bendungan Sermo terletak di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendungan yang dibangun pada tahun 1994 sampai dengan 1997 ini merupakan primadona bagi penduduk Kulon Progo karena mampu mengurangi genangan banjir Sungai Serang, memenuhi kebutuhan air minum, serta mampu mengaliri irigasi daerah Clereng, Pengasih dan Pekik Jamal terutama pada saat musim kemarau. Dengan berkurangnya umur layanan bendungan Sermo menimbulkan suatu masalah yang harus dihadapi yaitu menjaga umur layanan dan volume tampung bendungan sermo agar sesuai dengan yang direncanakan. Volume maksimal air yang mampu ditampung oleh bendungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya sedimentasi. Sedimentasi terjadi karena adanya erosi yang mengakibatkan transpor sedimen dari daerah hulu ke daerah hilir. Besar erosi berbanding lurus dengan besar sedimentasi yang terjadi. Sedimentasi yang besar akan mengakibatkan pendangkalan pada bendungan sehingga volume tampung bendungan menurun. Sedimentasi juga berpengaruh pada pola operasi bendungan, semakin besar dan cepat laju sedimentasi maka akan semakin sedikit air yang dapat didistribusikan dan akan terjadi penurunan nilai fungsi bendungan. Paparan diatas merupakan beberapa alasan mengapa kecepatan sedimentasi sangatlah penting untuk diketahui. Diketahuinya nilai kecepatan sedimentasi pada 1

2 2 bendungan sermo dapat digunakan untuk memprediksi laju sedimentasi dimasa mendatang dan dasar dalam merencanakan langkah-langkah pemeliharaan bendungan supaya bendungan Sermo tetap berfungsi dengan baik sesuai dengan fungsi yang telah direncanakan. I.2. Rumusan Masalah Permasalahan yang dimiliki Bendungan Sermo yaitu menjaga umur layanan dan volume tampung bendungan agar sesuai dengan yang direncanakan. Volume maksimal air yang mampu ditampung oleh bendungan dipengeruhi oleh beberapa faktor, salah satunya sedimentasi. Sedimentasi berpengaruh pada pola operasi bendungan, semakin besar dan cepat laju sedimentasi maka akan semakin sedikit air yang dapat didistribusikan dan akan terjadi penurunan nilai fungsi bendungan. Berdasarkan rumusan tersebut pertanyaan penelitiannya sebagai berikut : Seberapa besar kecepatan sedimentasi Bendungan Sermo diwaktu yang akan datang? Bagaimana prediksi MTD Bendungan Sermo diwaktu yang akan datang.? I.3. Batasan Masalah Mengingat luasnya permasalahan yang ada, maka dalam penelitian ini kajian dibatasi pada hal hal berikut: 1. Menggunakan data survei batimetri bendungan Sermo pada tahun 2005, 2006, 2011, 2012, Analisis data menggunakan metode perbandingan yaitu membandingkan MTD (digital terrain model) bendungan Sermo. 3. Perbedaan volume tampungan air maksimal tiap epok dianggap sebagai volume sedimentasi. 4. Data yang diasumsikan diukur dengan menggunakan alat yang memiliki kemampuan yang sama dalam pengukuran kedalamannya. 5. Diasumsikan selama rentang pengukuran tidak terjadi pengerukan sedimen dasar bendungan. 6. Faktor arus, curah hujan, struktur tanah, dan faktor perubahan lainya diasumsikan sama setiap tahun.

3 3 I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai kecepatan sedimentasi serta dapat memprediksi MTD bendungan sermo ditahun I.5. Manfaat Penelitian Dengan tercapainya tujuan proyek akan didapat beberapa manfaat yang berguna untuk menjaga umur layanan bendungan sehingga sesuai dengan yang direncanakan, antara lain : 1. Memprediksi area - area penumpukan sedimen di bendungan Sermo. 2. Memprediksi volume maksimal air yang dapat ditampung bendungan sermo untuk waktu mendatang. 3. Sebagai dasar penentuan pola operasi bendungan Sermo. 4. Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan alternatif pengendalian sedimentasi dalam kurun waktu tertentu. I.6. Tinjauan Pustaka Sejumlah penelitian telah banyak dilakukan untuk menghitung volume sedimen yang ada di beberapa tempat. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Widyangga (2013). Dalam penelitiannya, Widyangga menghitung volume sisa erupsi gunung merapi yang ada di sungai Gendol Merapi. Widyangga menghitung volume sisa erupsi gunung merapi dengan mengunakan data dari DEM foto udara dan DEM dari LIDAR. Kedua data tersebut ternyata mengalami perbedaan referensi tinggi, oleh karena itu dilakukan proses transformasi untuk menyamakan referensi tinggi dari kedua data tersebut. Saat data telah memili sistem referensi tinggi yang sama hal yang dilakukan selanjutnya adalah proses perhitungan volume. Proses perhitungan volume menggunakan software Global Mapper. Hasil dari penelitian tersebut adalah besar nilai cut volume adalah ,1 dan untuk besar nilai fill volume adalah ,055 Nilai cut volume yang kemudian dianggap sebagai volume yang hilang akibat terbawa erupsi Merapi dan nilai fill volume yang kemudian dianggap sebagai sisa erupsi yang menumpuk di daerah sungai Gendol.

4 4 Cahyono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul pemantauan perubahan kedalaman dan persebaran sedimentasi bendungan berdasarkan data pengukuran batimetri. Perhitungan sedimentasi serta perubahan volume air yang terjadi pada bendungan diturunkan dari data topografi dasar bendungan. Hasil pemetaan berupa peta batimetri 3 dimensi. Persebaran dan kondisi sedimentasi bendungan diketahui dengan membandingkan peta batimetri 2006 dengan peta Berdasarkan hasil perhitungan besar sedimentasi yang terjadi sebanyak ,912 yang tersebar pada dasar bendungan dengan luas komulatif sebesar dengan ketebalan rata rata 0,647 m. Hasil pengukuran arus menunjukkan bahwa tidak terdapat arus di dasar bendungan yang bisa memindahkan sedimentasi, yang ada hanyalah arus di permukaan bendungan saja. I.7. Landasan Teori Survei Batimetri Survei bathymetri/survey hidrografi pada dasarnya merupakan kelanjutan dari survei topografi daratan. Perbedaannya terletak pada wahana, tempat, dan peralatan ukurnya. Dimana proses pengambilan data bathymetri ini disebut dengan pemeruman. Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Proses penggambaran dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan hingga visualisasinya) disebut sebagai survei bathymetri (Poerbandono, dkk., 2005). Adapun tahap-tahap pelaksanaan survey hidrografi ini adalah : Persiapan dan perencanaan. Pada tahap ini adalah tahap pemebuatan bantuk lajur pemeruman yang dinginkan. Dimana lajur pemeruman ini disesuaikan dengan lokasi yang kan di sounding. Berdasarkan fungsinya pemeruman dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu lajur utama, lajur silang, lajur tambahan/investivigasi. Pengertian dari setiap lajur adalah sebagai berikut ini: 1. Lajur perum utama, yaitu lajur perum yang direncanakan sedemikian rupa sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat tergambarkan dasar perairanya (Soeprapto, 2001). Cara menentukan lajur perum utama yaitu

5 5 dengan ketentuan jarak lajur perum utama tidak boleh melebihi 10mm pada skala survei dan angka kedalaman yang digambarkan sepanjang lajur perum utama harus dipilih dengan memberikan prioritas terhadap puncak, lembah dan titik-titik perubahan kemiringan. Kemudian memilih angka kedalaman antara titik perum dengan jarak tidak melebihi 5 mm pada skala survei. 2. Lajur perum silang, yaitu lajur perum yang dibuat memotong lajur perum utama. Tujuan diadakannya lajur perum silang adalah untuk mendekteksi ada tidaknya kesalahan hasil pengukuran baik secara horizontal maupun kedalaman pada sisitem lajur utama. Cara menentukan lajur perum silang yaitu lajur perum silang harus memotong lajur perum utama dengan sudut lebih besar dari 45 o diusahakan mendekati tegak lurus. Jarak antara lajur perum silang umumnya tidak lebih dari 10 kali jarak antara lajur perum utama. 3. Lajur perum tambahan/ investivigasi, yaitu lajur perum yang dijalan kan karena ada hal-hal yang tidak terduga misalnya adanya perubahan kedalaman yang terlalu signifikan,pusaran arus atau mengisi gap akibat penyimapangan pengambilan data pada lajur utama yang terdapat antara 2 lajur yang bersebelahan pada sistem lajur perum utama (Soeprapto, 2001) Kalibrasi alat pemeruman. Agar data hasil ukuran dalam pemetaan batimetri hasilnya baik, perlu dilakukan kalibrasi pada alat pemeruman terlebih dahulu sebelum melalukan pemeruman titik-titik perum. Kalibrasi yang lazim dilakukan untuk alat pemeruman pada survei batimetri adalah kalibrasi dengan menggunakan barcheck. Bracheck ini terbuat dari lempeng logam, berbentuk lingkaran atau segi empat yang di gantung kan pada tali atau rantai bersekala dan diletakan dibawah transducer. Tali atau rantai berkala digunakan sebagai pembanding hasil ukuran dengan hasil yang terbaca oleh alat perum gema. Pembandingan pengukuran kedalaman dilakukan untuk setiap perubahan kedalaman, mulai dari 0 meter hingga kedalaman maksimum yang akan diperum dengan interval 1 meter (Poerbandono, dkk., 2005). Data pegukuran barchek yang diperoleh digunakan untuk mencari hubungan antara kedalaman sebenarnya dengan kedalaman hasil ukuran menggunakan echosounder dalam bentuk persamaan linear.

6 Pengumpulan data batimetri. Pada pengumpulan data batimetri dilakukan kegiatan penentuan posisi titik pemeruman (x,y), penentuan kedalaman titik pemeruman (h) dan penentuan pasang surut air. 1. Penentuan posisi titik pemeruman, dilakukan untuk menentukan koordinat horzontal survei batimetri. Penentuan posisi titik pemeruman ini dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain : a. Penentuan posisi dengan metode optik yaitu penentuan posisi pada survei batimetri dengan menggunakan teodolit dengan cara melakukan pemotongan kemuka ataupun pemotongan kebelakang, dimana berkas cahaya pada garis bidik instrumen menggantikan garisgaris pengamatan. Metode ini menuntut target untuk di bidik harus terlihat oleh pengamat. Faktor-faktor lain yang dominan mempengaruhi pengamat untuk melihat target adalah kelengkungan bumi dan refraksi. Efek kelengkungan bumi hanya memberikan pengaruh kecil pada kemempuan alat ukur optik karena pada umumnya instrumen optik memiliki keterbatasan jangkauan pandang, sehingga hanya dapat digunakan untuk daerah yang sempit pada permukaan bumi yang dapat dinggap bidang datar. Efek refraksi akan membelokkan berkas sinar yang dipakai sebagai gari pengamatan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan densitas atmosfer karena variasi suhu, tekanan dan kelembaban udara. Pengaruh refraksi ini dapat direduksi dengan prosedur pengukuran. Teknik pengukuran yang dapat digunakan dalam metode optik ini yaitu teknik theodolite tracking dan teknik sextan. Teknik theodolite tracking yaitu teknik yang mengaplikasikan kombinasi LOP (Line of Position) garis lurus, lingkaran konsentrikdan lingkaran eksentrik dengan menggunakan dua teodolit kompas untuk mengukur arah-arah α iu dan α ju dari titiktitik referensi i dan j ke titik u. Teknik sextan yaitu teknik pengukuran posisi dengan metode opti yang dilakukan dengan menggukur sudut yang dibentuk oleh kapal dengan dua titik referensi di darat (Poerbandono, dkk., 2005).

7 7 b. Penentuan Posisi Dengan Gelombang Elektromagnetik (Satellite Receiver) yaitu penenetuan posisi dengan menggunakan satelit GPS yang dipasang pada kapal survei. Metode yang dapat digunakan yaitu metode GPS absolut. Metode Absolut penetuan posisinya menggunakan data pseudorange, dimana ada 4 parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X,Y,Z) dan parameter kesalahan jam receiver GPS, sehingga di perlukan minimal 4 buah satelit yang harus ditangkap oleh receiver. Penentuan posisi secara absolut pada satu epoch menghasilkan data yang masih kecil ketelitiannya. Hal ini disebabkan data hasil pengamatan masih mengandung kesalahan akibat ionosfer dan troposfer. Kesalahan akibat ionosfer dan tropsfer ini dapat dihilangkan dengan cara melakukan perubahan metode dari yang absolut menjadi metode penentuan posisi secara deferensial. 2. Penentuan kedalaman titik pemeruman, merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar perairan (Poerbandono, dkk., 2005). Pengukuran kedalaman pada survei batimetri salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan metode gelombang akustik. Gelombang akustik ini dipancarkan oleh transducer (pemnacar) yang di pasang dibawah wahana apung dan di pantulkan kemudian ditangkap kembali oleh hidrofon (penerima), sehingga dapat diperoleh nilai kedalamanya berdasarkan selang waktu tempuh gelombang pergi-pulang. Alat survey batimetri yang menggunakan metode gelombang akustik ini adalah echosounder (Alat Perum Gema). Sistem dalam echosounder biasanya terdiri dari catu daya, transducer, hidrofon dan perekam data. Prinsip kerja dari sistem tersebut ialah transducer memancarakan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu ke dasar perairan secara tegak lurus, kemudian dipantulkan oleh dasar perairan lalu diterima kembali oleh hidrofon. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima, sehingga diperoleh data kedalaman yang dicatat alat perekam yang

8 8 merupakan fungsi dari selang waktu. Proses tersebut dapat diuraikan pada persamaan (I.1) (Poerbandono, dkk., 2005):...(I.1) Dimana : d : kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran v(t) : cepat rambat gelombang suara di air t1 & t2 : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan dan saat penerimaan gelombang pantulnya. Nilai kecapatan rambat gelombang di air adalah m/detik, maka nilai kedalaman perairan dapat di tentukan berdasarkan hubungan berikut ini (Poerbandono, dkk., 2005):...(I.2) Dimana : D : Kedalaman laut yang terukur saat kedalaman v(t) : Cepat rambat gelombang suara standar Δt : Selang waktu saat gelombang dipancarkan dan gelombang kembali diterima. 3. Penentuan pasang surut air, pengamatan ini dilakukan untuk menentukan bidang referensi kedalaman yang biasa disebut Chart Datum. Sehingga data hasil pemeruman di proyeksikan ke bidang referensi tersebut. Area yang sempit biasanya menggunakan Chart Datum yang bersifat lokal, namun untuk area yang luas Chart Datum ini bersifat global seperti MSL (Mean Sea Level) atau LWS (Low Sea Level) Uji Kualitas Data Pemeruman. Uji kualitas data pemeruman ini mengacu pada standar IHO dan SNI, dimana toleransi kesalahan untuk kedalaman yang terukur disesuaikan dengan orde survei yang dilakukan. Dalam penelitian ini hanya akan dilakukan uji kualitas kedalaman. Nilai toleransi dihitung dengan persamaan (I.3) yang merupakan persamaan batas toleransi kesalahan nilai kedalaman yang

9 9 ditetapkan IHO SP 44 tahun 2008 dan SNI 7646:2010 dengan tingkat kepercayaan 95%....(I.3) Keterangan notasi: a : kesalahan independen b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen d : kedalaman (bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen) Nilai a dan b dalam persamaan (I.3) tersebut di sesuaikan dengan orde survei yang dilakukan seperti yang ditunjukkan pada Tabel I.1. Hal Tabel I.1. Standar minimal survei hidrografi Orde spesial 1a 1b 2 Deskripsi daerah Area dimana izin kapal menjadi penting Area dengan kedalaman kerang dari 100 meter. Perizinan kapal kurang begitu penting. area dengan kedalaman kurang dari 100 meter. Perijinan kapal tidak dipertimbangkan dalam penentuan tipe dari alur pelayaran yang diharapkan menjadi area transit Area yang lebih dalam dari 100 meter dimana deskripsi bawah laut secara umumnya dipertimbangkan dengan baik (memadai) Maksimal kesalahan vertikasl yang diperbolehkan dengan derajat kepercayaan 95% 2 meter 5 meter + 5% kedalaman 5 meter + 5% kedalaman 20 meter + 10% kedalaman Maksimal kesalahan vertikal diperbolehkan dengan derajat kepercayaan 95% a = 0,25 m a = 0,5 m a = 0,5 m a = 0,1 m b = 0,0075 m b = 0,013 m b = 0,13 m b = 0,023

10 10 Peninjauan keseluruhan dasar laut Diperlukan Diperlukan Tidak diperlukan Tidak diperlukan Fitur yang di deteksi Lebih dari 1 meter 2-40 meter, atau 10% dari kedalaman diluar 40 meter Tidak berlaku Tidak berlaku Rentang lajur maksimum yang direkomendasi Tidak di definisikan sebagai peninjauan dasar laut secara keseluruhan Tidak di definisikan sebagai peninjauan dasar laut secara keseluruhan 3 kali kedalaman rata rata atau 25 meter, yang lebih besar dari survey lidar bathimetrik dengan rentang pemeruman 5 x 5 meter 4 x rata-rata kedalaman Posisi dari titik bantu yang fix untuk navigasi dan topografi. untuk keperluan navigasi (95% derajat kepercayaan) Posisi dari garis pantai dan topografi kurang begitu penting untuk navigasi (95% derajat kepercayaan) Posisi rata rata dari titik bantu yang masih float untuk navigasi (95% derajat kepercayaan) 2 meter 2 meter 2 meter 5 meter 10 meter 20 meter 20 meter 20 meter 10 meter 10 meter 10 meter 20 meter (Sumber: IHO SP- 44 Tahun 2008) Sesuai dengan standarisasi yang berlaku menurut SNI dan IHO, kualitas data kedalaman akan diterima jika nilai tabel t untuk tingkat kepercayaan data dikalikan terhadap standar deviasi yang ada berada diantara atau disajikan dengan persamaan (1.4). Diterima apabila 1,96 x s...(1.4)

11 11 I.7.2. Digital Elevation Model (DEM) Digital elevation model (DEM) dalah bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dari distribusi titik yang mewakili dalam pembentukan permukaan bumu dapat dibedakan dalam bentuk teratur, semi teratur, dan acak. Sedangkan dilihat dari teknik pengumpulan datanya dapat dibedakan dalam pengukuran secara langsung pada objek, pengukuran pada model, dan dari sumber dan peta analog (Chrissandi, 2010). Dalam aplikasinya terdapat beberapa macam istilah model permukaan digital, antara lain MTD (digital terrain model), DSM (digital surface model), dan DEM (digital elevation model). DSM merupakan model digital yang mengakomodir keseluruhan objek dipermukaan bumi (gedung, tanaman, dll) sementara MTD hanya pada terrain saja tanpa objek yang lain seperti gedung dan tanaman. Hasil pengolahan data batimetri diperoleh DSM karena alat merekam secara keseluruhan area yang diukur. Selanjutnya dari DSM tersebut dilakukan filtering pada terrainnya, sehingga yang diperoleh untuk perhitungan hanya terrain pada area pengukuran batimetri. Digital Elevation Model (DEM) merupakan representasi statistik permukaan tanah yang kontinyu dari titik titik yang diketahui koordinat X, Y, dan Z nya pada suatu sistem koordinat tertentu. (Petrie, dkk 1990). DEM dibentuk dari titik titik yang mewakili nilai koordinat (X, Y, Z). Permukaan tanah dimodelkan dengan membagi area menjadi bidang bidang yang terhubung satu sama lain. Dimana bidang bidang terbentuk oleh titik pembentuk DEM. Titik titik tersebut dapat berupa titik sample permukaan tanah atau titik hasil interpolasi atau ekstrapolasi titik titik sample. Kegiatan melakukan sampling merupakan pekerjaan pengambilan data ketinggian yang dianggap dapat mewakili relief permukaan tanah secara keseluruhan. Menurut Prahasta (2008), terdapat tiga macam bentuk struktur dasar DEM, yaitu : 1. Struktur garis, struktur model garis menampilkan nilai ketinggian elevasi dari sebuah terrain di dalam sebuah kontur sering disebut Digital Line Graphs (DLG)

12 12 2. Struktur grid, dalam strukur ini nilai ketinggian dari suatu terrain diwakili oleh suatu nilai piksel yang mempunyai ketinggian. Pada model grid, representasi permukaan lebih mudah untuk dilakukan. Suatu grid cell mempunyai luasan, sehingga atribut elevasi atau ketinggian dapat dinyatakan dengan nilai rata rata ketinggian titik yang berada pada piksel tersebut. Pembentukan DEM dengan struktur model grid sangat tergantung dari resolusi piksel yang digunakan dalam pembentukan DEM. Semakin besar resolusi pikselnya, maka ketelitian DEM akan semakin menungkat namun akan terlalu banyak menghabiskan memory 3. Jaringan segitiga (TIN). Untuk struktur model jaringan segitiga (TIN), suatu terrain ditampilkan melalui suatu jaringan segitiga yang datar. Permukaan terrain ditampilkan melalui suatu jaringan segitiga yang datar. Permukaan terrain dibentuk berdasarkan titik titik sampling yang mewakili karakteristik dari terrain tersebut. Untuk membentuk suatu terrain dibutuhkan minimal tiga buah sampling untuk membentuk suatu segitiga. I.7.3. Sedimentasi Sedimen dapat diartikan sebagai endapan atau deposit bahan padat yang terkumpul pada permukaan bumi di bawah pengaruh medium (udara, air, es, gravitasi), dan di bawah kondisi suhu dan tekanan normal yang ada pada permukaan bumi itu (Benton, dalam Yerusalem, 2001) Secara geologi sedimen didefinisikan sebagai fragmen-fragmen material yang diendapkan oleh air atau angin. Sedimentasi merupakan kelanjutan dari proses erosi, oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi volume sedimen yang masuk ke bendungan adalah: ( Langbein dalam Kironoto, 1996 ) 1. Musim : a. curah hujan, b. run off. 2. Tumbuh-tumbuhan : a. rimbun, b. gersang. 3. Geologi dan sifat tanah permukaan.

13 13 4. Kemiringan tanah dan sungai. 5. Tata guna lahan. Namun demikian pengetahuan mengenai kelima faktor tersebut tidak menjamin ketepatan perkiraan volume sedimen yang masuk ke bendungan. Dari kelima faktor di atas yang paling berpengaruh terhadap besarnya sedimen di bendungan adalah curah hujan tahunan. Intensitas pelepasan partikel tanah, jumplah partikel tanah yang diangkut air, ukuran partikel yang diangkut, dan jumplah sedimen yang diendapkan disuatu tempat akan berubah-ubah sesuwai dengan lokasi pengikisan tanah. Hal ini berkaitan dengan kemiringan lereng pada arah aliran. Masa pengairan air akan mempengarui kekuatan aliran air yang mengikis dan mengangkut partikel-partikel tanah. Selain berubah menurut ruang dan waktu, proses pembentukan sedimen juga tergantung pada intensitas waktu aliran permukaan yang akan menunjukkan lamanya aliran air di permukaan yang mengikis tanah. I.7.4 Perhitungan Volume Antara 2 Permukaan DEM Volume mempunyai dimensi kubik, misalnya meter kubik (m3). Pada pembahasan kali ini yang dimaksud volume adalah volume tanah. Sering terjadi bahwa bentuk tanah yang akan dihitung volumenya tidak ideal, artinya tidak selalu berbentu balok atau silinder. Permukaan tanah yang tidak beraturan akan dihitung volumenya dengan beberapa metode. Bidang tanah ini mempunyai referensi pada bidang datar atau bidang proyeksi tertentu. Prinsip hitungan volume adalah 1 (satu) luasan dikalikan dengan 1 (satu) wakil tinggi. Apabila ada beberapa luasan atau beberapa tinggi, maka dibuat wakilnya, misalnya dengan merata-ratakan luasan ataupun merata-ratakan tingginya.

14 14 Gambar I.1. Raster grid Raster grid (Gambar I.1) ini umumnya digunakan untuk menghitung volume galian dan timbunan tanah. Setiap volume di mana sisi samping dan sisi alas adalah datar, dan bagian permukaan tidak beraturan sehingga berbentuk seperti grid. Gambar I.2 menunjukkan batas-batas penggalian dengan tingkat permukaan dalam meter di A, B, C dan D. Jika ABCD daerah adalah area galian, maka volume galian adalah (Schofield, 2001) : V = daerah alas ABCD x rerata tinggi Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah ukuran dari grid luasan itu sendiri. Ukuran grid harus sesuai dengan bentuk permukaan yang akan dihitung volumennya. Jika ukuran grid kurang sesuai maka permukaan tersebut dapat dibagi menjadi dua segitiga dengan diagonal. V = rencana daerah ABCD x rerata tinggi Jika ukuran setiap grid sama, data tersebut mudah ditabulasi dan bekerja dengan memperlakukan ukuran grid secara keseluruhan.

15 15 Gambar I.2. Perhitungan volume Pendekatan ini diadopsi oleh program Global Mapper dengan memisahkan wilayah tersebut menjadi sangat kecil dengan bentuk segitiga atau grid piksel, volume merupakan hasil kali luas grid seperti yang ditunjukkan dalam Gambar I.2 dengan tinggi dari tiap grid piksel. I.8. Hipotesis Bendungan Sermo setiap tahun mengalami penurunan daya tampung air karena adanya sedimentasi. Besar sedimentasi setiap tahunnya sangat bervariasi. MTD prediksi tahun yang akan datang dapat dimodelkan menggunakan MTD terakir hasil pengukuran dan rata-rata sedimentasi pertahun.

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk Sermo merupakan struktur bangunan berisi air yang berada di permukaan tanah yang berlokasi di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh) N. Oktaviani 1, J. Ananto 2, B. J. Zakaria 3, L. R. Saputra 4, M. Fatimah

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 APLIKASI ECHOSOUNDER HI-TARGET HD 370 UNTUK PEMERUMAN DI PERAIRAN DANGKAL (STUDI KASUS : PERAIRAN SEMARANG) Muhammad Al Kautsar 1), Bandi Sasmito, S.T., M.T. 2), Ir. Hani ah 3) 1) Program Studi Teknik

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

Jurnal Geodesi Undip Januari2014 Survei Bathimetri Untuk Pengecekan Kedalaman Perairan Wilayah Pelabuhan Kendal Ahmad Hidayat, Bambang Sudarsono, Bandi Sasmito *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl.

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI II.1. Survey Bathimetri Survei Bathimetri dapat didefinisikan sebagai pekerjaan pengumpulan data menggunakan metode penginderaan atau rekaman dari permukaan

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI Spesifikasi Pekerjaan Dalam pekerjaan survey hidrografi, spesifikasi pekerjaan sangat diperlukan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

BAB IV EVALUASI SEDIMEN DI WADUK SELOREJO DAN ALTERNATIF PENANGANANNYA

BAB IV EVALUASI SEDIMEN DI WADUK SELOREJO DAN ALTERNATIF PENANGANANNYA DAN ALTERNATIF PENANGANANNYA 50 BAB IV DAN ALTERNATIF PENANGANANNYA 4.1. Tinjauan Umum Sedimentasi adalah mengendapnya material fragmental oleh air sebagai akibat dari adanya erosi. (Ir. CD. Soemarto,

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Tujuan pembahasan analisis pelaksanaan perencanaan alur pelayaran untuk distribusi hasil pertambangan batubara ini adalah untuk menjelaskan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri. Pemetaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pelabuhan merupakan salah satu jaringan transportasi yang menghubungkan transportasi laut dengan transportasi darat. Luas lautan meliputi kira-kira 70 persen dari luas

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA

ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA ANALISIS TRANSPOR SEDIMEN MENYUSUR PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN METODE GRAFIS PADA PELABUHAN PERIKANAN TANJUNG ADIKARTA Irnovia Berliana Pakpahan 1) 1) Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I1 Latar Belakang Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya Undang-undang No 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tepatnya

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survei hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah :

01. BATIMETRI. Adapun bentuk-bentuk dasar laut menurut Ross (1970) adalah : 01. BATIMETRI TUJUAN PRAKTIKUM - Mahasiswa dapat mengenal bentuk-bentuk dasar perairan. - Mahasiswa dapat mengetahui aturan-aturan dasar dan membuat kontur-kontur batimetri. - Mahasiswa dapat melukiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Embung merupakan bangunan air yang menampung, mengalirkan air menuju hilir embung. Embung menerima sedimen yang terjadi akibat erosi lahan dari wilayah tangkapan airnya

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA II - 1 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Sedimentasi Keandalan suatu waduk didefinisikan oleh Lensley (1987) sebagai besarnya peluang bahwa waduk tersebut mampu memenuhi kebutuhan yang direncanakan sesuai dengan

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan jalan air alami yang mengalir menuju Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir

Lebih terperinci

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal DRAINASE POLDER Drainase sistem polder berfungsi untuk mengatasi banjir yang diakibatkan genangan yang ditimbulkan oleh besarnya kapasitas air yang masuk ke suatu daerah melebihi kapasitas keluar dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemetaan laut khususnya pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan

Lebih terperinci

GARIS KONTUR SIFAT DAN INTERPOLASINYA

GARIS KONTUR SIFAT DAN INTERPOLASINYA U +1000-2000 1300 1250 1200 1150 1100 1065 0 1050 1000 950 900 BAB XIII GARIS KONTUR SIFAT DAN INTERPOLASINYA Garis kontur (contour-line) adalah garis khayal pada peta yang menghubungkan titik-titik dengan

Lebih terperinci

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME 3.1 Pendahuluan Survei batimetri merupakan survei pemeruman yaitu suatu proses pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh gambaran

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan pesat maka permintaan akan barang dan jasa yang berasal dari sumber daya air akan meningkat.

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada saat ini kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan pelabuhan, perencanaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-1 BAB III METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir III-2 Metodologi dalam perencanaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013 Analisis Presisi Pemeruman Di Daerah Perairan Semarang Dengan Menggunakan Garmin GPS Map 420S Restu Maheswara Ayyar Lamarolla 1) Bandi Sasmito, ST., MT 2) Ir. Haniah 3) 1) Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

III - 1 BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

III - 1 BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI III - 1 BAB III 3.1 Tinjauan Umum Dalam penulisan laporan Tugas Akhir memerlukan metode atau tahapan/tata cara penulisan untuk mendapatkan hasil yang baik dan optimal mengenai pengendalian banjir sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Galian dan Timbunan Galian dan timbunan atau yang lebih dikenal oleh orang-orang lapangan dengan Cut and Fill adalah bagian yang sangat penting baik pada pekerjaan pembuatan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di

I. PENDAHULUAAN. A. Latar Belakang. Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di I. PENDAHULUAAN A. Latar Belakang Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah di Barat dan Utara, Samudra

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

KAJIAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) UNTUK NORMALISASI SUNGAI MENDOL KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN

KAJIAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) UNTUK NORMALISASI SUNGAI MENDOL KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN Kajian Rencana Anggaran Biaya (RAB) Untuk Normalisasi Sungai Mendol KAJIAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) UNTUK NORMALISASI SUNGAI MENDOL KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN Nurdin 1, Imam Suprayogi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI No Klaster Unit Kompetensi Kode Unit Judul Unit Elemen Persyaratan Dasar Metode Uji Durasi Biaya Uji 1 Operator Utama M.711000.015.01 Mengamati Pasut Laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul dengan ibukota Kabupaten Wonosari terletak di sebelah Tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak sekitar 39 km. Kabupaten Gunungkidul juga dikenal

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 1 PENDAHULUAN Bab PENDAHULUAN Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari 1

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai tempat terutama daerah tropis khususnya di daerah pegunungan yang nantinya akan sangat berpengaruh

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN A.

BAB IV METODE PENELITIAN A. BAB IV METODE PENELITIAN A. Tinjauan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar angkutan sedimen dasar (bedload) pada Sungai Progo, gradisi butiran, dan erosi juga sedimentasi yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, yang kemudian disebut PPP Sadeng, merupakan satu-satunya pelabuhan perikanan pantai yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. PPP

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI Oleh: Andri Oktriansyah JURUSAN SURVEI DAN PEMETAAN UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG 2017 Pengukuran Detil Situasi dan Garis Pantai

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE PERANCANGAN SISTEM DRAINASE Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelak-sanaan dan pemeliharaan yang minimum. Ruas-ruas saluran harus stabil terhadap erosi dan sedimentasi

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul ) BAB 4 ANALISIS 4.1. Penyajian Data Berdasarkan survei yang telah dilakukan, diperoleh data-data yang diperlukan untuk melakukan kajian dan menganalisis sistem penentuan posisi ROV dan bagaimana aplikasinya

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan oleh masyarakat pada saat ini. Masyarakat memerlukan listrik untuk digunakan dalam aktivitas seharihari.

Lebih terperinci

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A DAFTAR PUSTAKA Adil, Irdam. (2007). Komunikasi Pribadi. Djunarsjah, E. (2001). Standar Survei (Baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO tahun 1998). Forum Ilmiah Tahunan ISI. Surabaya. Djunarsjah, E. (2005).

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN VOLUME WADUK CACABAN DENGAN SURVEI PEMERUMAN WADUK

STUDI PERUBAHAN VOLUME WADUK CACABAN DENGAN SURVEI PEMERUMAN WADUK STUDI PERUBAHAN VOLUME WADUK CACABAN DENGAN SURVEI PEMERUMAN WADUK Anggara WWS. 1, Nuny Sundari 2 1) Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang 2) PT. Dehas Inframedia Karsa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

Cetakan I, Agustus 2014 Diterbitkan oleh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura

Cetakan I, Agustus 2014 Diterbitkan oleh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura Hak cipta dilindungi Undang-Undang Cetakan I, Agustus 2014 Diterbitkan oleh: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pattimura ISBN: 978-602-97552-1-2 Deskripsi halaman sampul : Gambar

Lebih terperinci

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR Peta topografi adalah peta penyajian unsur-unsur alam asli dan unsur-unsur buatan manusia diatas permukaan bumi. Unsur-unsur alam tersebut diusahakan diperlihatkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air,

Lebih terperinci

PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG

PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Program Studi Teknik Sipil Oleh : DONNY IRIAWAN

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Peta Potensi Ikan Perairan Indonesia (Sumber

Gambar 1.1. Peta Potensi Ikan Perairan Indonesia (Sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi DIY mempunyai pantai sepanjang kurang lebih 110 km yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan sangat besar. Potensi lestari sumberdaya ikan di Samudra Indonesia

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian berada di kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan Lhoknga mempunyai 4 (empat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia yang merupakan daerah katulistiwa mempunyai letak geografis pada 8 0 LU dan 11 0 LS, dimana hanya mempunyai dua musim saja yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pemetaan batimetri pada umumnya dilakukan pada daerah perairan yang luas dan relatif dalam seperti lepas pantai dengan mengikuti lajur pemeruman yang telah ditentukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat dua jenis perairan di dunia ini, yaitu perairan laut dan perairan kedalaman atau yang juga disebut inland water. Perairan kedalaman dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Dinamika morfologi muara menjadi salah satu kajian yang penting. Hal ini disebabkan oleh penggunaan daerah ini sebagai tempat kegiatan manusia dan mempunyai

Lebih terperinci