KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT"

Transkripsi

1 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN JAKARTA 2013

2

3 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan pangan hewani dan hasil produk lainnya, yang pemanfaatannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat; b. bahwa dalam mencapai penyediaan pangan hewani dan hasil produk lainnya perlu diatur pengelolaan peternakan dan kesehatan hewan yang dapat menjamin kehidupan yang sehat bagi masyarakat dan lingkungan; c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan; pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia telah menyusun Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; e. bahwa pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada huruf d telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk disampaikan dalam pembahasan Pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan

4 Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; Mengingat: 1. Pasal 22D Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-8 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang II Tahun Sidang Tanggal 20 Desember 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG- UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN. PERTAMA : Pandangan dan Pendapat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah. KEDUA : Isi dan rincian pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua, Wakil Ketua, H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA

5 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/DPD RI/II/ PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN I. Pendahuluan A. Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan legislasi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22D ayat (2), jo. Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pada hari ini Dewan Perwakilan Dearah (DPD) RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. B. Dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI telah membentuk tim kerja untuk mendalami substansi dan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Diharapkan Rancangan Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat menjadi landasan hukum (ius contitutum) yang kuat, berkepastian hukum (legally binding), berkerangka aturan yang jelas (clear regulatory framework) dan berdimensi spasial yang panjang, sehingga Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan ketika nanti sudah diundangkan tidak hanya dipakai dalam kurun waktu yang pendek seperti berbagai UU yang mengalami perubahan dalam rentang waktu yang relatif singkat, namun memiliki legacy regulasi (warisan hukum) yang berjangka panjang. C. Bahwa RUU tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan harus menempatkan kepentingan nasional dan daerah di atas segala-segalanya. Dalam rangka memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, peternakan dan kesehatan hewan perlu diselenggarakan secara sendiri maupun terintegrasi dengan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan dengan pendekatan sistem agrobisnis peternakan dan sistem kesehatan hewan; serta penerapan asas kemanfaatan dan keberlanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, dan keprofesionalan. D. Bahwa Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sejatinya diundangkan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas sumber daya hewan; menyediakan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal; meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan; menyediakan jasa dan bahan baku industri; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; meningkatkan pendapatan dan devisa negara; memperluas kesempatan berusaha dan kesempatan kerja; serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. 1133

6 E. Bahwa Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memfasilitasi terwujudnya pengembangan wawasan dan paradigma baru di bidang peternakan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan di bidang peternakan terus meningkat dan berlanjut sehingga meningkatkan daya saing bangsa dan kesetaraan dengan bangsa lain yang lebih maju. Namun dalam pelaksanaanya ternyata masih terdapat beberapa kelemahan baik dari substansi pengaturan maupun dalam implementasinya di lapangan. Oleh sebab itu, lahirnya RUU Perubahan atas UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan diharapkan dapat menjawab persoalan yang dimaksud. F. Atas dasar berbagai kepentingan dan pertimbangan yang disebutkan pada bagian pendahuluan ini, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan ini, menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU ini, terutama yang terkait langsung dan tidak langsung dengan. Selain fokus pada substansi perubahan yang termuat dalam penyampaian pandangan dan pendapat ini, DPD RI juga memberikan pertimbangan dan masukan dalam rangka penyempurnaan penyusunan RUU tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. II. Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap RUU Tentang NAKESWAN Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara komprehensif terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang merupakan RUU inisiatif, maka DPD RI menyampaikan Pandangan dan Pendapat, sebagai berikut: A. Bagian Konsideran DPD RI memahami bahwa urgensi perubahan UU Nakeswan antara lain adalah dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji beberapa norma dalam UU Nakeswan yakni melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-MK Nomo137/ PUU-VII/2009 dan putusan MK Nomor 2/PUU-IX/2011. Kedua putusan tersebut berkaitan erat dengan materi zonasi dalam pemasukan hewan, kejelasan ketentuan kaidah internasional dalam pemasukan produk hewan yang dianut, dan peran otoritas veteriner dalam mengelola kesehatan hewan dunia. Selain itu MK juga membatalkan pemberlakuan pasal tentang materi sertifikasi veteriner dan halal. Selain tindak lanjut atas putusan MK, DPD RI juga berpendapat bahwa urgensi perubahan UU Nakeswan juga didasari oleh kebutuhan norma hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat yang antara lain terdiri atas inseminasi buatan, ruminansia betina produktif, pencegahan penyakit hewan dalam satu wilayah, otoritas veteriner dan pengetatan sanksi dalam penegakan hukum terkait kesejahteraan hewan. B. Bab I tentang Ketentuan Umum Dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum disebutkan ditambahkan definisi baru yakni Ternak Ruminansia Betina Produktif dan beberapa penghapusan pengertian yang terkandung dalam Ketentuan Umum. DPD RI berpendapat bahwa berdasarkan norma pembentukan peraturan perundang-undangan, penambahan pengertian Ternak Ruminansia Betina Produktif menjadi krusial berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun Hal ini karena istilah tersebut disebut berulang kali dalam batang tubuh RUU dimaksud. (Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. (Lampiran II butir 102 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011)). DPD RI juga sependapat dengan dihapuskannya beberapa butir dalam ketentuan umum yakni butir 9, 17 dan 20, 33, 44 serta 49. Penghapusan butir ketentuan umum misalnya Benih Jasad Renik yang didefinisikan sebagai mikroba yang dapat digunakan untuk kepentingan industri pakan dan/atau industri biomedik veteriner pada dasarnya adalah penyesuaian dengan prinsip perubahan yang diusung oleh RUU Perubahan ini. Artinya, DPD sependapat dengan dihapuskannya beberapa butir ketentuan umum ini khususnya dalam rangka sinkronisasi dengan beberapa perubahan yang diusung dalam rancangan undang-undang ini sepanjang sesuai dengan kaidah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. C. Bab IV tentang Peternakan Kewajiban Pemerintah [Butir 3] Dalam bab tentang Peternakan, ditambahkan ayat baru yakni ayat (2a) tentang kewajiban pemerintah untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan. DPD RI berpandangan bahwa kewajiban tersebut seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Pemerintah 1134

7 Pusat semata, namun juga dibebankan pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. DPD RI berpandangan bahwa dalam prakteknya seringkali terdapat pembiaran dan pelepasan tanggungjawab dalam penyelenggaraan kewenangan yang diamanatkan oleh UU. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kewajiban Pemerintah untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebaiknya juga dibebankan kepada pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. DPD RI berpendapat sesuai dengan semangat desentralisasi, daerah telah diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk dalam pengelolaan hewan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh sebab itu tidak boleh terjadi sentralisasi kewenangan dalam melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan, karena pemerintah daerah juga berpekepentingan untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat di daerah melalui penerapan inseminasi buatan. Selain ayat 2a, terdapat pula ayat baru yakni ayat 3a yang pada dasarnya menegaskan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat perlu membentuk unit pembenihan dan atau pembibitan yang ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi. DPD RI berpendapat bahwa keberadaan Ayat baru yakni ayat 3a ini tidak memenuhi prinsip pembentukan norma sebab materi ayatnya hanya berisi penegasan tujuan dari pembenihan yang dimaksud ayat 3 (sebelum perubahan). Oleh sebab itu DPD RI berpendapat bahwa sebaiknya ayat 3a dihapus dan dimasukkan ke dalam perubahan ayat 3 pokok sehingga ayat 3 sebaiknya berbunyi; Pasal 13 ayat (3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan yang ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi. Ternak Ruminansia Betina Produktif [Butir 4] DPD RI berpendapat bahwa perubahan terhadap Pasal 15 RUU ini sudah tepat sesuai dengan misi perubahan UU Nakeswan yang salah satunya berkaitan dengan penambahan nomenklatur baru dalam RUU ini yakni ternak ruminansia betina produktif. Dengan demikian redaksi pasal 15 RUU ini menyesuaikan dengan penambahan nomenklatur ketentuan umum yang sebelumnya mengatur pengertian ruminansia betina produktif. DPD RI juga berpendapat bahwa pengaturan ternak ruminansia betina produktif juga perlu dibarengi dengan pengaturan yang komprehensif mengenai ternak nonruminansia. Perubahan pengaturan terhadap ketentun Pasal 15 ini sebaiknya tidak mengenyampingkan keberadaan ternak non-ruminansia. Perlindungan Terhadap Benih dan Bibit Terbaik Dalam Negeri [Butir 5] DPD RI berpendapat bahwa penambahan ayat baru pada Pasal 16 RUU ini sudah tepat khususnya dalam rangka melindungi Benih dan Bibit Terbaik Dalam Negeri agar tidak dengan mudah diekspor ke luar negeri dan menjadi komoditas yang akan merugikan kepentingan nasional dan pemenuhan kebutuhan masyarakat serta terjaminnya kelestarian ternak lokal. Peran Pemerintah Daerah dalam Pendanaan [Butir 6] Pasal 18 ayat (3) mengamanahkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan dana untuk menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut. DPD RI berpendapat sumber pendanaan menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut tidak seharusnya hanya dibebankan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi hendaknya juga dibebankan penganggaran dananya pada pos anggaran Pemerintah Provinsi. Bagian Kelima tentang Budidaya dan Kemitraan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Swasta [Butir 7] Pasal 31 ayat (1) dan (2) RUU ini menyatakan bahwa peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak termasuk juga mengatur kemitraan usaha antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. DPD RI berpendapat bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (2) potensial bertentangan secara norma dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) sebab selain dalam hubungannya sebagai mitra dengan perusahaan peternakan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga memiliki peran pembinaan. Pasal 31 ayat (3) secara eksplisit berbunyi; Pemerintah dan 1135

8 Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan usaha. DPD RI berpendapat nomenklatur pembinaan dan hubungan kemitraan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah haruslah dilakukan dengan akuntabel dan proporsional demi terhindarkannya konflik kepentingan (conflict of interest) antara masing-masing pemangku kepentingan. Kewajiban Pemerintah dalam Kegiatan Pemasaran Hewan. [Butir 9] DPD RI berpendapat Pasal 36 RUU ini sebaiknya tidak hanya menormakan kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri, namun juga seharusnya menyematkan kewajiban tersebut pada pemerintah daerah. Dengan demikian DPD RI berpendapat Pasal 36 ayat (1) ini sebaiknya diubah menjadi; Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri. Terhadap penambahan Pasal baru yakni pasal 36a, DPD RI berpendapat bahwa dalam hal ini memang sangat diperlukan adanya pengaturan pengeluaran hewan ternak ke luar negeri hanya dalam keadaan produksi dan pasokan dalam negeri telah mencukupi kebutuhan masyarakat. Selain itu, DPD RI berpendapat bahwa perlu ditambahkan Pasal atau Ayat khusus yang mengatur tentang Pengawasan dan Pengendalian (tidak sekedar diatur dengan Peraturan Menteri). Tanggungjawab Pemerintah dalam Pembinaan Industri [Butir 10] Terhadap ketentuan Pasal 37, DPD RI berpendapat bahwa keterlibatan Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri haruslah juga dibarengi dengan kewajiban pemerintah daerah sehingga bisa diwujudkan sinergitas antara program yang disusun oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pencegahan Penyakit Hewan [Butir 12] Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah serta partisipasi masyarakat. DPD RI berpendapat bahwa ketentuan Pasal 41A ayat (3) yang mengatur keterlibatan masyarakat sebaiknya dirincikan dalam norma yang lebih tegas dan jelas misalnya partisipasi masyarakat dalam konteks kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pengamatan dan pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan, dan/atau pengobatan. DPD RI berpendapat bahwa belumlah cukup norma partisipasi masyarakat hanya disebutkan bahwa masyarakat membantu upaya Pemerintah dalam pencegahan penyakit hewan. Oleh sebab itu DPD RI berpendapat bahwa tanggungjawab dan bantuan masyarakat tersebut harus diatur pendelegasian yang lebih rinci dalam peraturan teknis yakni Peraturan Pemerintah. D. Bab VI Tentang Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan Pengawasan, Pemeriksaan, Pengujian, Standardisasi, Sertifikasi, Dan Registrasi Produk Hewan [Butir 14] DPD RI berpendapat bahwa dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan. Sebagaimana diketahui Pasal 58 ayat (4) UU 18/2009 menyebutkan, produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan, wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal. Pasca dikabulkannya permohonan uji materi terhadap Pasal 58 ini, MK telah memutuskan bahwa Pasal 58 ayat 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan. DPD RI berpendapat bahwa produk hewan yang berasal dari daging babi dan anjing, untuk golongan masyarakat tertentu yang memercayai hewan tersebut sebagai hewan yang suci atau hewan yang dilarang untuk dikonsumsi karena diharamkan maka sertifikat veteriner maupun sertifikat halal pasti tidak berlaku. Ketentuan Zonasi Impor Hewan [Butir 15] Ketentuan Pasal 59 RUU ini telah mengubah norma Pasal 59 sebelumnya. Sebagaimana diketahui, aturan Zone Based dalam UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD. Hingga kini Indonesia masih menganut prinsip Country Based artinya harus impor daging dan sapi hidup harus dari negara yang bebas PMK. DPD RI berpendapat bahwa revisi ketentuan norma yang sudah dibatalkan oleh MK ini sebaiknya memperhatikan 1136

9 prinsip Zone Based yang memungkinkan Indonesia bisa mengimpor dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) seperti Brasil dan India namun hanya di daerah tertentu yang dinyatakan steril. Dengan dihapuskan sistem zonasi sebagaimana diatur pada Pasal 5 ini, DPD RI berpendapat bahwa negara Indonesia hanya akan tergantung pada negara-negara tertentu yang selama ini jadi negara peng-impor dan kemungkinan harga dikendalikan negara peng-impor. Namun demikian, dengan penghapusan sistem zonasi ini akan berdampak positif pada keamanan hewan sebab pengamanan akan lebih mudah dilaksanakan. Pasal 59 ayat (4) berbunyi; Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional. DPD RI berpendapat bahwa dengan keterbatasan SDM, fasilitas dan anggaran, Pemerintah harus memastikan bahwa daerah sudah siap menyesuaikan dengan perubahan ini. Sejauh ini dari penyerapan aspirasi yang dihimpun DPD RI, daerah belum siap dengan sistem pengendalian penyakit berbasis analisis resiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner terutama terhadap penyakit eksotik sebagai upaya melindungi hewan dan produk hewan di dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya Provinsi Jawa Barat mengingat provinsi ini merupakan daerah konsumen terbesar untuk produk hewan di Indonesia. Kesejahteraan Hewan [Butir 17] DPD RI berpendapat bahwa untuk kepentingan kesejahteraan hewan pemerintah dan pemerintah daerah perlu melakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan. RUU ini ditambahkan pasal baru yakni pasal 66A yang mengatur tentang larangan penyiksaan terhadap hewan dan kewajiban bagi siapa saja untuk melaporkan dalam hal mana telah terjadi penyiksaan terhadap menyiksa atau menyalahgunakan hewan. DPD RI berpendapat bahwa belajar dari praktek di negara lain, memang diperlukan pengaturan mengenai larangan dan pemidanaan terhadap penyiksa hewan. Dalam pasal 66A ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Kemudian, setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang. E. Bab XI Penyidikan DPD RI berpendapat bahwa kiranya perlu memperhatikan keberadaan penyidik dan tindakan penyidikan yang dimaksudkan adalah kewenangan yang seringkali tumpangtindih antara Kepolisian Negara RI dan Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam melakukan penyidikan tindak pidana yang meliputi peternakan dan kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat diperlukan koordinasi yang lebih intensif antara Kepolisian Negara RI dan PPNS dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana. F. Bab XIII Ketentuan Pidana Ketentuan Pidana [Butir 21] DPD RI berpendapat bahwa sistem pemidanaan dan penerapan sanksi dalam RUU ini haruslah memiliki ketegasan pengaturan baik dari aspek formil dan materil. DPD RI berpandangan bahwa perumusan ketentuan pidana harus jelas dan tegas dan tidak tepat bila dimandatkan pengaturan lebih lanjut sanksi pidana tersebut pada peraturan lain misalnya dalam Peraturan Pemerintah dan sebagainya. Selain itu, konstruksi hukum pidana tidak membolehkan adanya suatu perbuatan diukur dengan dua indikator formil perbuatan dan materiil (akibat) sekaligus. DPD RI berpendapat bahwa ketentuan pasal 91A sudah tepat bahwa Pasal tersebut disebutkan ketentuan pidananya yakni, setiap orang yang mengetahui adanya penganiayaan tapi tidak melaporkan, dia akan dipidana kurungan paling singkat satu bulan dan paling lama tiga bulan, dan denda paling sedikit Rp 1 juta dan paling banyak Rp 30 juta. G. Bab XIII Ketentuan Penutup DPD RI berpendapat bahwa seiring dengan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 ini maka ketentuan Penutup yang diatur dalam RUU ini khususnya Pasal 97 hendaknya menyesuaikan dengan prinsip perubahan dalam RUU 1137

10 ini. DPD RI berpendapat bahwa harus ditegaskan kembali batas waktu yang tegas untuk dikeluarkannya Peraturan Pelaksana bagi pelaksanaan UU dimaksud. Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini: a. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan; b. Peraturan atau Keputusan Menteri harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan c. Peraturan Pemerintah Daerah harus telah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak peraturan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditetapkan. III. Kesimpulan A. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU yang merupakan usul inisiatif dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya baik secara mutatis mutandis maupun dengan mentaati peraturan tentang pembentukan perundangundangan dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan dan Pendapat yang telah disampaikan oleh DPD RI. B. Demikian Pandangan dan Pendapat DPD RI tentang RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuk dalam setiap upaya untuk memajukan bangsa dan Negara tercinta ini. Jakarta, 20 Desember 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua, H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua, Wakil Ketua, GKR. HEMAS DR. LAODE IDA 1138

11 DAFTAR INVENTARIS MASALAH RUU PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DARI No 1. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Menimbang:a. bahwa Negara bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan belum memberikan hasil yang optimal, sehingga perlu penerapan prinsip pengamanan maksimal terhadap pemasukan dan pengeluaran produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, pemberian sertifikasi halal bagi hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran atas kesejahteraan hewan, sesuai dengan perkembangan dan pemenuhan kebutuhan dalam masyarakat; c. bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi terhadap beberapa ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sehingga perlu diubah dan disempurnakan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Bagian Konsideran DPD RI berpandangan, dalam rangka memberikan penekanan terhadap tugas, fungsi dan kewenangan DPD RI dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam; dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang, maka DPD RI berpendapat, dalam RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, perlu mencantumkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 dan DPD RI dalam Dasar Hukum atau dalam konsideran Mengingat, karena secara tegas dinyatakan dalam UUD 1945 dan telah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Peningkatan Peran dan Fungsi Legislasi DPD RI. DPD RI memahami bahwa urgensi perubahan UU Nakeswan antara lain adalah dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji beberapa norma dalam UU Nakeswan yakni melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-MK Nomo137/ PUU-VII/2009 dan putusan MK Nomor 2/ PUU-IX/2011. Kedua putusan tersebut berkaitan erat dengan materi zonasi dalam pemasukan hewan, kejelasan ketentuan kaidah internasional dalam pemasukan produk hewan yang dianut, dan peran otoritas veteriner dalam mengelola kesehatan hewan dunia. Selain itu MK juga membatalkan pemberlakuan pasal tentang materi sertifikasi veteriner dan halal. Selain tindak lanjut atas putusan MK, DPD RI juga berpendapat bahwa urgensi perubahan UU Nakeswan juga didasari oleh kebutuhan norma hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat yang antara lain terdiri atas inseminasi buatan, ruminansia betina produktif, pencegahan penyakit hewan dalam satu wilayah, otoritas veteriner dan pengetatan sanksi dalam penegakan hukum terkait kesejahteraan hewan. RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 1139

12 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN. 2. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya. 2. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan. 3. Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya. 4. Hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu. 5. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 6. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. 7. Sumber daya genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru. 8. Benih hewan yang selanjutnya disebut benih adalah bahan reproduksi hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan embrio. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Bab I tentang Ketentuan Umum Dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum disebutkan ditambahkan definisi baru yakni Ternak Ruminansia Betina Produktif dan beberapa penghapusan pengertian yang terkandung dalam Ketentuan Umum. DPD RI berpendapat bahwa berdasarkan norma pembentukan peraturan perundangundangan, penambahan pengertian Ternak Ruminansia Betina Produktif menjadi krusial berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun Hal ini karena istilah tersebut disebut berulang kali dalam batang tubuh RUU dimaksud. (Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. (Lampiran II butir 102 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011)). DPD RI juga sependapat dengan dihapuskannya beberapa butir dalam ketentuan umum yakni butir 9, 17 dan 20, 33, 44 serta 49. Penghapusan butir ketentuan umum misalnya Benih Jasad Renik yang didefinisikan sebagai mikroba yang dapat digunakan untuk kepentingan industri pakan dan/atau industri biomedik veteriner pada dasarnya adalah penyesuaian dengan prinsip perubahan yang diusung oleh RUU Perubahan ini. Artinya, DPD sependapat dengan dihapuskannya beberapa butir ketentuan umum ini khususnya dalam rangka sinkronisasi dengan beberapa perubahan yang diusung dalam rancangan Undang-Undang ini sepanjang sesuai dengan kaidah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dihapus butir : 9, 17, 20, 33, 44 dan

13 9. Benih jasad renik adalah mikroba yang dapat digunakan untuk kepentingan industri pakan dan/atau industri biomedik veteriner. 10. Bibit hewan yang selanjutnya disebut bibit adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. 11. Rumpun hewan yang selanjutnya disebut rumpun adalah segolongan hewan dari suatu spesies yang mempunyai ciri-ciri fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada keturunannya. 12. Bakalan hewan yang selanjutnya disebut bakalan adalah hewan bukan bibit yang mempunyai sifat unggul untuk dipelihara guna tujuan produksi. 13. Produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/ atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. 14. Peternak adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan. 15. Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. 16. Usaha di bidang peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang usaha budi daya ternak. 17. Kastrasi adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkan atau menghambat fungsinya. 18. Inseminasi buatan adalah teknik memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak bunting. 19. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. 20. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat. 21. Usaha di bidang kesehatan hewan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang 1141

14 22. upaya dalam mewujudkan kesehatan hewan. 23. Pakan adalah bahan makanan tunggal ataucampuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak. 24. Bahan pakan adalah bahan hasil pertanian, perikanan, peternakan, atau bahan lainnya yang layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang telah diolah maupun yang belum diolah. 25. Kawasan penggembalaan umum adalah lahan negara atau yang disediakan Pemerintah atau yang dihibahkan oleh perseorangan atau perusahaan yang diperuntukkan bagi penggembalaan ternak masyarakat skala kecil sehingga ternak dapat leluasa berkembang biak. 26. Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang melakukan kegiatan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. 27. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan. 28. Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran hewan. 29. Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan, mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan. 30. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan. 31. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati atau walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan. 32. Medik reproduksi adalah penerapan medic veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang reproduksi hewan. 33. Medik konservasi adalah penerapan medic veteriner dalam 1142

15 34. penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang konservasi satwa liar. 35. Biomedik adalah penyelenggaraan medik veteriner di bidang biologi farmasi, pengembangan sains kedokteran, atau industri biologi untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia. 36. Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang antara lain, disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan, dan ricketsia. 37. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan; hewan dan manusia; serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia; atau dengan media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur. 38. Penyakit hewan strategis adalah penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi. 39. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. 40. Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dannproduk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. 41. Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmakoseutika, premiks, dan sediaan alami. 42. Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak. 43. Alat dan mesin kesehatan hewan adalah peralatan kedokteran hewan yang disiapkan dan digunakan untuk hewan sebagai alat bantu dalam pelayanan kesehatan hewan. 44. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. 1143

16 45. Tenaga kesehatan hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang kesehatan hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan medic veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan bersertifikat. 46. Teknologi kesehatan hewan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan dan penerapan ilmu, teknik, rekayasa, dan industri di bidang kesehatan hewan. 47. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peternakan dan kesehatan hewan. 49. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 50. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Sistem kesehatan hewan nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan unsur kesehatan hewan yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas yang berlaku secara nasional BAB IV PETERNAKAN Bagian Kesatu Benih, Bibit, dan Bakalan Pasal 13 (1) Penyediaan dan pengembangan benih, bibit,dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan. (2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan benih, bibit, dan/atau bakalan. Kewajiban Pemerintah [Butir 3] Dalam bab tentang Peternakan, ditambahkan ayat baru yakni ayat (2a) tentang kewajiban pemerintah untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan. DPD RI berpandangan bahwa kewajiban tersebut seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Pemerintah Pusat semata, namun juga dibebankan pada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. DPD RI berpandangan bahwa dalam prakteknya seringkali terdapat pembiaran dan pelepasan tanggungjawab dalam penyelenggaraan kewenangan yang diamanatkan oleh UU. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kewajiban Pemerintah untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebaiknya juga dibebankan kepada pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Ayat (3a) dihapus dan dimasukan perubahan ayat 3 Dalam hal usaha pembenihan dan/ atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan yang ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi 1144

17 Kewajiban Pemerintah untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan mendorong penerapan inseminasi buatan. (3) Dalam hal usaha pembenihan dan/ atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/ atau pembibitan. (3a )Pembentukan unit pembenihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi. (4) Setiap benih atau bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak benih atau bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu. (5) Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri. Pasal 14 (1) Pemerintah menetapkan kebijakan perbibitan nasional untuk mendorong ketersediaan benih dan/atau bibit yang bersertifikat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan. (2) Pemerintah membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis yang tinggi untuk sifat produksi dan/atau reproduksi. (3) Wilayah sumber bibit sebagaimana dimaksupada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan perbibitan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 15 (1) Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar negeri dapat dilakukan untuk: a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik; b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. mengatasi kekurangan benih atau bibit di dalam negeri; dan/ DPD RI berpendapat sesuai dengan semangat desentralisasi, daerah telah diberikan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk dalam pengelolaan hewan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh sebab itu tidak boleh terjadi sentralisasi kewenangan dalam melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan mendorong penerapan inseminasi buatan, karena pemerintah daerah juga berkepentingan untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat di daerah melalui penerapan inseminasi buatan. Selain ayat 2a, terdapat pula ayat baru yakni ayat 3a yang pada dasarnya menegaskan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat perlu membentuk unit pembenihan dan atau pembibitan yang ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi. DPD RI berpendapat bahwa keberadaan Ayat baru yakni ayat 3a ini tidak memenuhi pinsip pembentukan norma sebab materi ayatnya hanya berisi penegasan tujuan dari pembenihan yang dimaksud ayat 3 (sebelum perubahan). Oleh sebab itu DPD RI berpendapat bahwa sebaiknya ayat 3a dihapus dan dimasukkan ke dalam perubahan ayat 3 pokok sehingga ayat 3 sebaiknya berbunyi; Pasal 13 ayat (3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan yang ditujukan untuk pemurnian jenis hewan ternak tertentu atau untuk produksi. Ternak Ruminansia Betina Produktif [Butir 4] DPD RI berpendapat bahwa perubahan terhadap Pasal 15 RUU ini sudah tepat sesuai dengan misi perubahan UU Nakeswan yang salah satunya berkaitan dengan penambahan nomenklatur baru dalam RUU ini yakni ternak ruminansia betina produktif. Dengan demikian redaksi pasal 15 RUU ini menyesuaikan dengan penambahan nomenklatur ketentuan umum yang sebelumnya mengatur pengertian ruminansia betina produktif. DPD RI juga berpendapat bahwa pengaturan ternak ruminansia betina produktif juga perlu dibarengi dengan pengaturan yang komprehensif mengenai ternak nonruminansia. Perubahan pengaturan terhadap ketentun Pasal 15 ini sebaiknya tidak mengenyampingkan keberadaan ternak non-ruminansia. Perlindungan Terhadap Benih dan Bibit Terbaik Dalam Negeri [Butir 5] DPD RI berpendapat bahwa penambahan ayat baru pada Pasal 16 RUU ini sudah tepat khususnya dalam rangka melindungi Benih dan Bibit Terbaik Dalam Negeri agar tidak dengan mudah diekspor ke luar negeri dan menjadi komoditas yang akan merugikan kepentingan nasional dan pemenuhan kebutuhan masyarakat serta terjaminnya kelestarian ternak lokal. 1145

18 atau d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan. (2) Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta memerhatikan kebijakan pewilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. (3) Setiap orang yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan mutu dan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 16 (1) Pengeluaran benih, bibit, dan/ atau bakalan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin. (2) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. Pasal 17 (1) Perbaikan kualitas benih dan/ atau bibit dilakukan dengan pembentukan galur murni dan/atau pembentukan rumpun baru melalui persilangan dan/atau aplikasi bioteknologi modern. (2) Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah agama dan tidak merugikan keanekaragaman hayati; kesehatan manusia, lingkungan, dan masyarakat; serta kesejahteraan hewan. (3) Aplikasi bioteknologi modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan khusus untuk menghasilkan ternak hasil rekayasa genetic harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan peraturan perundangundangan di bidang keamanan hayati produk rekayasa genetik. Pasal 18 Peran Pemerintah Daerah dalam Pendanaan [Butir 6] Pasal 18 ayat (3) mengamanahkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyediakan dana untuk menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut. DPD RI berpendapat sumber pendanaan menjaring ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat dan menampung ternak tersebut pada unit pelaksana teknis di daerah untuk keperluan penangkaran dan penyediaan bibit ternak ruminansia di daerah tersebut tidak seharusnya hanya dibebankan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten/Kota tetapi hendaknya juga dibebankan penganggaran dananya pada pos anggaran Pemerintah Provinsi. Bagian Kelima tentang Budi daya dan Kemitraan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan Swasta [Butir 7] Pasal 31 ayat (1) dan (2) RUU ini menyatakan bahwa peternak dapat melakukan kemitraan usaha di bidang budi daya ternak termasuk juga mengatur kemitraan usaha antara perusahaan peternakan dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. DPD RI berpendapat bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (2) potensial bertentangan secara norma dengan ketentuan Pasal 31 ayat (3) sebab selain dalam hubungannya sebagai mitra dengan perusahaan peternakan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga memiliki peran pembinaan. Pasal 31 ayat (3) secara eksplisit berbunyi; Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kemitraan usaha. DPD RI berpendapat nomenklatur pembinaan dan hubungan kemitraan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah haruslah dilakukan dengan akuntabel dan proporsional demi terhindarkannya konflik kepentingan (conflict of interest) antara masing-masing pemangku kepentingan. Kewajiban Pemerintah dalam Kegiatan Pemasaran Hewan. [Butir 9] DPD RI berpendapat Pasal 36 RUU ini sebaiknya tidak hanya menormakan kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri, namun juga seharusnya menyematkan kewajiban tersebut pada pemerintah daerah. Dengan demikian DPD RI berpendapat Pasal 36 ayat (1) ini sebaiknya diubah menjadi; Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri maupun ke luar negeri. (1) Dalam rangka mencukupi Terhadap penambahan Pasal baru yakni 1146

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hewan sebagai karunia dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hewan sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Bahan Kuliah ke 5 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan Untuk Kalangan sendiri UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PENDAHULUAN Undang-undang

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.338, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Pemanfaatan. Pelestarian. Hewan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila No.6, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PUSAT KESEHATAN HEWAN PADA DINAS KETAHANAN PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. BUPATI SEMARANG, bahwa

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG OTORITAS VETERINER KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : Mengingat : a. b. c. d. 1. 2. 3. bahwa hewan merupakan karunia

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN, KESEHATAN HEWAN, DAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN HEWAN PADA PUSAT

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 45/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEINSINYURAN JAKARTA 2013 KEPUTUSAN NOMOR 45/DPD RI/III/2012-2013 TENTANG PANDANGAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

2012, No.72 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan yang

2012, No.72 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan yang No.72, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Hewan. Peternakan. Alat. Mesin. Penggunaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5296) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.130, 2014 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5543) PERATURAN

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, 1 SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DAN PENGELUARAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 48 TAHUN 2013 TENTANG BUDI DAYA HEWAN PELIHARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 Undang- Undang Nomor 18 Tahun

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF 1 GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT ... ~..$ WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 6 TAHUN 2015 TENT ANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT KESEHATAN HEWAN TERPADU PADA DINAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Pemanfaatan. Pelestarian. Hewan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA TAHUN : 2014 TENTANG. : a. bahwa Undang Nomor 18. dalam dan produktivitas

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA TAHUN : 2014 TENTANG. : a. bahwa Undang Nomor 18. dalam dan produktivitas LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 1711 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGANN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang: a. bahwa ternak sapi dan kerbau

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.427, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTAN. Produksi. Peredaran. Benih. Bibit. Ternak. Pengawasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG PENGAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang: Mengingat : a. bahwa sesuai

Lebih terperinci

PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009

PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 SALIN AN PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2 No.1866, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Hewan. Penyakit. Pemberantasan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

Lebih terperinci

iei a. bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan dibidang 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2074 tentang

iei a. bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan dibidang 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2074 tentang iei WALIKOTA PAYAKUMBUH PROPINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PAYAKUMBUH NOMO TAHUN 2015 TENTANG PEL/IIGANA PEIYGEMBANGA.IT PEMBIBITAN SAPI MILIK PEUERINTAII KOTA PAYAI('UBI'H DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT.

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT. WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT. PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PEMOTONGAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BETINA PRODUKTIF

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN Menimbang : BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Mengingat : 1. DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 95 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 95 TAHUN 2017 TENTANG SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 95 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN UNIT PELAKSANA TEKNIS DAERAH PUSAT KESEHATAN HEWAN PADA DINAS PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG REKOMENDASI PERSETUJUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH DAN/ATAU BIBIT TERNAK KE DALAM DAN KE LUAR WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam mencapai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa kesehatan hewan memiliki

Lebih terperinci

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa hewan mempunyai peranan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : bahwa dalam rangka melindungi dan

Lebih terperinci

Salinan NO : 8/LD/2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 8 TAHUN 2014

Salinan NO : 8/LD/2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 8 TAHUN 2014 Salinan NO : 8/LD/2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 8 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.46, 2016 PETERNAKAN. Ternak. Produk Hewan. Zona Pemasukan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5857). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, - BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 10 Tahun 2008 Seri : D Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK DAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAPI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Sapi Bali yang terdapat di Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang: a. bahwa peternakan memiliki kontribusi

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56,

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1990, 2014 KEMENDAG. Impor. Ekspor. Hewan. Produk Hewan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95/M-DAG/PER/12/2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/DPD RI/II/ TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 31/DPD RI/II/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DAN PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN DAERAH TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI KOTA DUMAI Hasil Rapat Bersama DPRD Tanggal 21 Juli 2008 LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI Nomor : 12 Tahun 2008 Seri : B Nomor 06 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 12 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 67 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63/DPD RI/IV/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63/DPD RI/IV/ TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH NOMOR 63/DPD RI/IV/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH ATAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDO- NESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF I. UMUM Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai wilayah gudang ternak sapi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.227, 2012 KESEJAHTERAAN. Pangan. Ketahanan. Ketersediaan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.328, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Persyaratan. Mutu Benih. Bibit Ternak. Sumber Daya Genetik Hewan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/Permentan/OT.140/3/2012

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci