TAK ADA PILIHAN RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TAK ADA PILIHAN RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF"

Transkripsi

1 TAK ADA PILIHAN RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF

2 Amnesty International Publications Pertama diterbitkan pada tahun 2010 oleh Amnesty International Publications Sekretariat Internasional Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom Hak Cipta Amnesty International Publications 2008 Indeks: ASA 21/024/2010 Bahasa asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Inggris Semua hak dilindungi undang-undang. Tidak ada bagian dari penerbitan ini yang bisa diproduksi kembali, disimpan dalam sistem yang bisa diambil kembali, dalam bentuk atau cara apa pun, elektronik, mekanis, fotokopi, perekaman atau lainnya tanpa seizin penerbit. Foto Sampul: Amnesty International Amnesty International adalah gerakan global 2,8 juta orang di lebih dari 150 negara dan wilayah, yang melakukan kampanye untuk hak asasi manusia (HAM). Visi kami adalah setiap orang bisa menikmati semua hak-hak yang diabadikan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal dan instrumen HAM internasional lainnya. Kami melakukan riset, kampanye, advokasi, dan memobilisasi guna mengakhiri pelanggaran HAM. Amnesty International merupakan organisasi independen dari pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi, atau agama apa pun. Pekerjaan kami sebagian besar didanai dari kontribusi dari para anggota kami dan sumbangan-sumbangan

3 DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF...5 METODOLOGI...5 PENSTEREOTIPAN GENDER DAN KONSEKUENSINYA...5 RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF...6 Perempuan dan gadis yang tidak menikah...7 Perempuan dan gadis yang menikah...7 Halangan lain atas hak-hak seksual dan reproduktif...8 ABORSI TIDAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI...8 PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK RENTAN...10 REKOMENDASI...11

4 4 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif

5 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif 5 RINGKASAN EKSEKUTIF Banyak perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan marjinal di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam mengakses informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif. Sejumlah hambatan yang mereka hadapi merupakan akibat langsung dari perundang-undangan dan kebijakan yang diberlakukan oleh negara yang mendiskriminasi kaum perempuan dan para gadis. Penghalang lainnya muncul dari sikap dan praktik yang mendiskriminasi di kalangan pekerja kesehatan serta para anggota komunitas lainnya, yang juga gagal ditangani negara. Dalam laporan Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif (Indeks: ASA 21/013/2010), Amnesty International menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi kaum perempuan dan para gadis dalam mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif mereka. Rintangan yang digambarkan dalam laporan ini merupakan pelanggaran kewajiban Hak Asasi Manusia (HAM) internasional Indonesia untuk melindungi perempuan dan gadis dari diskriminasi, serta juga merupakan pelanggaran atas hak akan kesehatan, khususnya kesehatan reproduktif. Kegagalan untuk menjamin bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hak-hak seksual dan reproduktif mereka dengan terbebas dari diskriminasi, pemaksaan, dan kriminalisasi melemahkan kemampuan Indonesia untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (Millennium Development Goals, MDG), dan terutama MDG3 mengenai kesetaraan gender dan MDG5 mengenai perbaikan kesehatan ibu. METODOLOGI Temuan laporan ini terutama berdasarkan pada kunjungan ke Indonesia bulan Maret 2010 ketika delegasi Amnesty International mengunjungi Jawa (Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur); Sumatra (Aceh dan Sumatra Utara); Bali; dan Lombok di Nusa Tenggara Barat (Indonesia bagian timur). Delegasi mewawancarai lebih dari seratus perempuan dan gadis Indonesia mantan dan mereka yang masih bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) mengenai isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas dan reproduksi. Delegasi juga mewawancarai 33 perempuan dan gadis lainnya mengenai masalah hak-hak seksual dan reproduktif di Lombok dan Aceh. Selama riset tersebut, Amnesty International bertemu para pekerja kesehatan, dukun melahirkan tradisional, para pejabat pemerintah daerah, aktivis hak-hak perempuan, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), pengacara, pejabat kepolisian, pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perwakilan badan-badan donor, dan akademisi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, seksualitas, dan reproduksi. PENSTEREOTIPAN GENDER DAN KONSEKUENSINYA Penstereotipan gender dalam bidang hubungan keluarga lazim terjadi di Indonesia dan

6 6 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif perempuan serta para gadis berada dalam tekanan untuk menerima sikap yang mencerminkan pandangan sempit serta terbatas tentang seksualitas perempuan. Situasi ini membuat perempuan dan gadis terbuka terhadap diskriminasi dan pelanggaran atas HAM mereka. Hal ini juga merusak kemampuan perempuan dan gadis untuk membuat keputusan secara bebas tentang hidup mereka. Karena kegagalan mengatasi stereotip gender ini, negara tidak menghormati kewajiban HAM internasionalnya, terutama ketetapan-ketetapan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Meskipun kelaziman ini mulai menurun, perkawinan di usia dini masih secara relatif tersebar luas di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan dan daerah kumuh. Amnesty International bertemu banyak perempuan dan gadis pada bulan Maret 2010 yang menikah ketika mereka masih anak-anak, terkadang pada usia semuda 13 tahun. Meskipun usia mereka masih begitu muda, banyak yang memiliki anak pertama segera setelah menikah, walaupun kehamilan pada usia dini bisa banyak meningkatkan risiko kematian dalam kehamilan dan persalinan bagi para gadis. Undang-undang Perkawinan mengatur bahwa kaum lelaki yang menjadi kepala rumah tangga sementara perempuan bertanggung jawab mengurusi rumah tangga. UU Perkawinan menyatakan usia sah untuk menikah adalah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 untuk lelaki. UU Perkawinan juga mengizinkan poligami. Salah satu kondisi yang mengizinkan lelaki untuk mencari istri lain adalah jika istrinya tidak dapat memiliki anak. Kondisi ini mendukung pandangan stereotip bahwa fungsi primer perempuan adalah mengandung anak, dan menstigmatisasi perempuan dan gadis yang menikah tapi tidak bisa memiliki anak, atau yang tidak punya anak dan ingin menunda kehamilan. Selain itu ada pula peningkatan dalam pengesahan undang-undang yang membatasi hak-hak seksual dan privasi, terutama sejak proses desentralisasi dari tahun , termasuk undang-undang yang mempidana seks konsensual di antara dua orang dewasa atau menghukum lelaki dan perempuan dewasa yang tidak menikah dan berduaan tanpa ditemani sanak-saudara (misalnya Khalwat). Perempuan dan gadis sering secara tidak proporsional terpengaruh undang-undang tersebut, akibat adanya pandangan mengenai seksualitas yang distereotipkan secara gender. Karena mereka bisa menjadi hamil, kehamilan di luar pernikahan bisa dianggap sebagai bukti tindakan pidana. Meskipun perlindungan hukum yang tersedia bagi para korban dan saksi kekerasan dalam rumah tangga sudah meningkat banyak, perempuan dan gadis yang menjadi korban kekerasan seksual masih terus menghadapi sejumlah besar hambatan secara hukum dan praktik ketika mereka melaporkan pelanggaran ke polisi. Terlebih dari itu, meskipun Mutilasi Kelamin Perempuan (MKP) merupakan hal yang lazim di Indonesia dan merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap perempuan, saat ini tidak ada undang-undang di Indonesia yang khusus melarang praktik MKP ini. RINTANGAN ATAS KESEHATAN REPRODUKTIF Keseluruhan konteks penstereotipan gender dalam hubungannya dengan seksualitas, perkawinan dan mengandung anak didukung oleh perundang-undangan, kebijakan serta praktik yang diskriminatif yang menjadi rintangan atas kesehatan reproduktif perempuan dan gadis di Indonesia.

7 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif 7 PEREMPUAN DAN GADIS YANG TIDAK MENIKAH Baik UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (No 52/2009) dan UU Kesehatan (No 36/2009) menyatakan bahwa akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduktif hanya diberikan kepada pasangan yang menikah dengan sah, yang artinya mengesampingkan orang-orang yang tidak menikah dari layanan ini. Bidan dan dokter pemerintah yang diwawancarai pada bulan Maret 2010 membenarkan bahwa biasanya mereka tidak memberikan layanan kesehatan reproduktif, termasuk kontrasepsi dan keluarga berencana, kepada perempuan dan gadis yang tidak menikah. Para petugas kesehatan kabupaten dan pejabat pemerintah lainnya yang diwawancarai Amnesty International pada bulan Maret 2010 mengatakan bahwa kontrasepsi dan layanan keluarga berencana hanya dimaksudkan untuk orang yang menikah sesuai hukum dan kebijakan. Dengan menolak memberikan akses kepada perempuan dan gadis untuk mendapatkan metode-metode keluarga berencana seperti kontrasepsi, negara meneruskan diskriminasi dengan dua alasan. Pertama, yaitu diskriminasi dengan alasan status perkawinan. Kedua, penolakan layanan kontrasepsi untuk lelaki dan perempuan yang tidak menikah memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap perempuan dan gadis karena mereka bisa menjadi hamil, maka ada juga- dalam praktiknya diskriminasi dengan alasan gender. Situasi ini menyebabkan perempuan dan gadis yang tidak menikah menghadapi risiko kehamilan tak diinginkan, penyakit yang ditularkan secara seksual, dan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, remaja yang tidak menikah yang menjadi hamil sering kali dipaksa untuk berhenti sekolah. Daripada menghadapi penolakan masyarakat luas, sejumlah perempuan dan gadis mungkin memutuskan - atau dipaksa - untuk menikah ketika mereka menjadi hamil, atau jika tidak, mencari aborsi yang tak aman yang memberikan mereka risiko masalah kesehatan serius dan mortalitas ibu. Untuk perempuan dan gadis yang ingin memelihara bayi mereka, tetap tak jelas bagaimana mereka bisa mengakses layanan kesehatan reproduktif selama kehamilan dan pada saat kelahiran, tanpa menikah terlebih dahulu. Riset Amnesty International mengisyaratkan bahwa ketakutan akan stigmatisasi dapat membuat perempuan dan gadis hamil yang belum menikah, khususnya jika mereka dari komunitas miskin dan termarginalisasi, enggan meminta perawatan sebelum dan sesudah melahirkan. Perempuan dan gadis yang tak menikah yang menjadi korban perkosaan mungkin tidak menerima akses layanan kesehatan reproduktif, baik apakah itu karena mereka tidak tahu bahwa mereka berhak atas layanan itu atau karena takutnya akan stigmatisasi. PEREMPUAN DAN GADIS YANG MENIKAH Menurut Survei Demografis dan Kesehatan 2007, tingkat kebutuhan yang tak terpenuhi untuk layanan dan informasi keluarga berencana serta kontrasepsi di kalangan perempuan dan gadis yang menikah masih tetap tinggi, khususnya di antara mereka yang hidup dalam kemiskinan. Ada pembatasan yang signifikan atas akses perempuan dan gadis yang menikah terhadap layanan serta informasi keluarga berencana. Ini sebagian disebabkan oleh adanya persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari suami. Dalam UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, pilihan atas kontrasepsi bukanlah tergantung pada satu individu

8 8 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif saja. Wawancara dengan para pekerja kesehatan mengkonfirmasi bahwa persetujuan dari suami diperlukan untuk mengakses sejumlah metode kontrasepsi. Melampau interpretasi UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga yang menuntut adanya persetujuan suami, riset Amnesty International juga menemukan bahwa akses ke kontrasepsi sering kali dibatasi untuk perempuan dan gadis jika mereka belum punya anak. Wawancara Amnesty International dengan pekerja kesehatan mengisyaratkan mereka takut jika mereka dimintai pertanggungjawaban jika seorang perempuan tidak memiliki anak setelah diberi sebuah metode kontrasepsi. Seorang bidan yang diwawancarai di Aceh menjelaskan meskipun dia tidak menganggap alat kontrasepsi bisa menyebabkan ketidaksuburan, dia memilih tidak memberikan akses ke metode kontrasepsi modern bagi perempuan yang tidak punya anak. Dia menjelaskan dia tidak ingin melawan keyakinan budaya masyarakat dan dimintai pertanggunggugatan atas hal ini. HALANGAN LAIN ATAS HAK-HAK SEKSUAL DAN REPRODUKTIF Perundang-undangan Indonesia, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mengandung sejumlah ketetapan yang membatasi akses terhadap hak-hak seksual dan reproduktif, atau memiliki dampak menakutkan dalam pemberian informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduktif. KUHP Indonesia mengandung ketetapan-ketetapan hukum yang mempidanakan pemberian informasi kepada orang sehubungan dengan pencegahan dan penghentian kehamilan (lihat Pasal 534, 535 dan juga 283). Hukuman berkisar antara dua sampai sembilan bulan penjara. Selain itu, pasal 299 KUHP menjatuhkan hukuman sampai empat tahun penjara kepada siapa pun yang mengobati seorang perempuan, yang menyebabkan gugurnya kandungannya atau yang membuatnya mendapat pengharapan bahwa pengobatan itu membantu menggugurkan kandungannya (sebagai contoh kontrasepsi darurat). Walaupun Amnesty International tidak mengetahui adanya individu yang dihukum penjara karena melanggar ketetapan-ketetapan ini, fakta bahwa ketetapan tersebut menjadi bagian perundang-undangan Indonesia memiliki efek yang menakutkan bagi para pemberi informasi. Sejumlah pegiat hak-hak seksual dan reproduktif yang diwawancarai bulan Maret 2010 mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka khususnya merasa berisiko ditangkap karena memberikan informasi mengenai kontrasepsi modern seperti kondom. Mereka juga menyatakan kekhawatiran mengenai UU Pornografi baru (No. 44/2008) yang belum lama disahkan, dan yang menurut mereka bisa menghalangi mereka menyebarkan informasi mengenai pendidikan seks dengan terbebas dari ancaman kriminalisasi. ABORSI TIDAK AMAN DAN ANCAMAN KRIMINALISASI Aborsi merupakan tindak pidana dalam kebanyakan kasus di Indonesia. Perempuan atau gadis yang berusaha menggugurkan kandungan (usia sah atas tanggung jawab pidana di Indonesia adalah delapan tahun), atau seorang pekerja kesehatan yang melakukannya, bisa dikenai hukuman masing-masing sampai empat dan 10 tahun penjara. Ini artinya aborsi di Indonesia sering kali dilakukan secara gelap dalam kondisi yang tidak aman. Menurut angka resmi pemerintah, aborsi secara tak aman bertanggung jawab terhadap antara lima sampai 11 persen kematian ibu di Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Indonesia tahun 2001 memperkirakan mungkin ada sampai dua juta kasus pengguguran sengaja per

9 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif 9 tahunnya di Indonesia 30 persen di antara mereka adalah perempuan tak menikah. Menurut UU Kesehatan tahun 2009, aborsi dianggap sah dalam kasus jika kesehatan ibu atau janin terancam, atau dalam kasus korban perkosaan. Akan tetapi, seorang perempuan yang hamil karena diperkosa, atau seorang perempuan yang mengalami komplikasi yang mengancam nyawa akibat kehamilan, harus melewati beberapa kriteria seleksi untuk bisa mengakses layanan aborsi. Sejumlah kriteria ini akan sulit dipenuhi dalam praktiknya, khususnya untuk perempuan dan gadis yang tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perawatan kesehatan yang umumnya terjadi karena faktor jarak dan/atau sosial-budaya. Untuk mendapatkan layanan aborsi sah dalam kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, UU Kesehatan menuntut adanya persetujuan dari suami (Pasal 76.d). Dengan kata lain, seorang perempuan tidak diizinkan UU ini untuk mendapatkan layanan aborsi sah di Indonesia kecuali jika dia memiliki suami, dan suaminya menyetujui. Ketetapan yang menyangkut adanya persetujuan suami bersifat diskriminatif dengan dasar perkawinan dan jenis kelamin karena ketetapan ini menyingkirkan perempuan dan gadis yang tidak menikah dari layanan aborsi aman yang sah. Selain itu persyaratan yang menyangkut persetujuan suami dalam kasus-kasus yang membahayakan nyawa seorang perempuan membuat hidupnya berisiko. Pemberian aborsi legal untuk korban perkosaan hanya diizinkan dalam waktu enam minggu pertama kehamilan. Kerangka waktu yang terbatas ini berarti kebanyakan korban perkosaan mungkin tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman dalam kerangka waktu yang disyaratkan karena mereka mungkin belum tahu bahwa mereka hamil pada saat itu. Korban pemerkosaan mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mengakui dan melaporkan kepada yang berwenang bahwa mereka diperkosa, khususnya dalam keadaan latar belakang yang menstigmatisasi seks sebelum dan di luar perkawinan, dan dalam sejumlah kasus malah bisa dipidanakan. Selain itu, ada ketidaktahuan di antara perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi mengenai ketentuan baru yang berkaitan dengan perkosaan dalam UU Kesehatan 2009, dan mengenai pengecualian hukum pada umumnya. Di samping itu, para pekerja kesehatan yang diwawancarai Amnesty International bulan Maret 2010 hanya mengetahui adanya satu pengecualian, yaitu layanan aborsi sah bisa diberikan kepada perempuan dan gadis jika ada komplikasi yang berkaitan dengan kesehatan ibu atau janin. Umumnya mereka tidak mengetahui pengecualian yang berhubungan dengan layanan aborsi sah untuk korban perkosaan. Kebanyakan pejabat pemerintah yang diwawancarai Amnesty International juga tidak mengetahui tentang ketentuan baru ini. Di kalangan sejumlah pekerja kesehatan kelihatannya ada keengganan untuk memberikan perempuan dan gadis akses terhadap layanan aborsi yang aman karena keyakinan moral atau agama mereka. Wawancara Amnesty International dengan para pekerja kesehatan, dukun melahirkan tradisional dan ornop-ornop mengisyaratkan bahwa ancaman kriminalisasi memiliki efek penghambat besar bagi profesi kesehatan. Sepengetahuan Amnesty International, penuntutan hukum terhadap mereka yang melakukan aborsi sangat jarang. Namun dalam beberapa bulan belakangan ini ada beberapa yang ditangkap dengan dakwaan aborsi.

10 10 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif Mendekriminalisasi aborsi di Indonesia akan menjamin bahwa baik perempuan maupun pekerja kesehatan tidak akan menghadapi tuntutan pidana hanya karena semata-mata berusaha menggugurkan kandungan atau memberikan bantuan medis yang tepat. Bilamana perempuan dan dokter tidak lagi diancam kriminalisasi, layanan aborsi yang aman akan lebih mungkin diakses oleh lebih banyak perempuan yang artinya membatasi jumlah aborsi tidak aman yang memberikan risiko terhadap kesehatan perempuan, dan dalam sejumlah kasus menyebabkan kematian atau cedera. Para dokter di Indonesia akan lebih mungkin memberikan layanan aborsi dalam kasus di mana mereka memang dimaksudkan untuk memberikan layanan itu, tapi jika ada ancaman kriminalisasi mereka tidak akan melakukannya. Dekriminalisasi aborsi tidak berarti pihak berwenang di Indonesia akan memberikan layanan aborsi dalam semua keadaan - ini hanya berarti bahwa aborsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan di mata hukum. PEKERJA RUMAH TANGGA SEBAGAI KELOMPOK RENTAN Pekerja Rrumah Tangga (PRT) perempuan dan gadis di Indonesia, yang diperkirakan berjumlah 2,6 juta orang, biasanya meninggalkan sekolah saat masih muda dan dengan demikian memiliki akses terbatas terhadap sejumlah informasi mengenai seksualitas dan reproduksi. Amnesty International bertemu dengan banyak PRT remaja di bulan Maret 2010 yang berhenti sekolah waktu mereka masih berusia di bawah 15 tahun. Akses terhadap program pemerintah mengenai pendidikan seks menjadi lebih sulit bagi remaja yang meninggalkan sistem pendidikan, meskipun juga ada batas atas informasi yang diberikan kepada remaja dalam sistem pendidikan. Dalam kasus PRT remaja, akses mereka terhadap sumber informasi publik tentang masalah seksual dan reproduktif mungkin juga terbatas karena mereka hidup di rumah majikan, dan sering belum menikah. Mereka mungkin tidak bisa bergerak bebas ke luar rumah, atau tidak bisa dengan bebas mengakses sumber informasi publik di dalam rumah. Tahun 2007 Amnesty International menyoroti sampai sejauh mana PRT di Indonesia sebagian besar adalah perempuan dan gadis berada di posisi yang rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan pelanggaran atas hak-hak mereka, sebagian karena mereka tidak sepenuhnya diakui sebagai pekerja dan umumnya pekerjaan mereka dilakukan di belakang layar. Tidak adanya perlindungan hukum berdampak pada pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif para PRT. Sebagai contoh, mereka berisiko kehilangan pekerjaan karena hamil, tanpa adanya kompensasi dalam bentuk apa pun. Mereka juga mungkin dipaksa untuk bekerja dalam situasi yang berbahaya untuk diri mereka sendiri dan bayi mereka yang belum lahir. Dalam sebuah perkembangan yang positif, naskah legislasi yang menyangkut perlindungan PRT sedang dibahas tahun ini di Komisi IX DPR untuk yang membidangi urusan Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kependudukan. Akan tetapi, naskah yang didapatkan Amnesty International pada bulan April 2010 masih belum memenuhi hukum dan standar HAM internasional, khususnya yang berhubungan dengan perlindungan pekerja perempuan sebelum dan sesudah kehamilan. Rancangan Undang-Undang itu tidak mengandung satu ketetapan pun yang menyangkut kebutuhan khusus perempuan, meskipun mayoritas besar PRT di Indonesia adalah perempuan.

11 Tak ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif 11 REKOMENDASI Guna memerangi diskriminasi gender, serta menangani rintangan terhadap kesehatan reproduktif, yang merupakan salah faktor penyumbang pada tingginya mortalitas ibu, Amnesty International merekomendasikan pihak berwenang untuk mengambil langkahlangkah berikut sebagai prioritas: Mencabut semua undang-undang dan regulasi, baik di tingkat pusat dan daerah, yang melanggar hak-hak seksual dan reproduktif, dan memastikan bahwa perempuan dan gadis dapat mewujudkan hak-hak mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi, dan ancaman kriminalisasi. Ketetapan-ketetapan hukum dan kebijakan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan kesehatan seksual dan reproduktif yang mendiskriminasi dengan alasan status perkawinan harus dicabut, karena hal-hal itu merupakan rintangan khusus dalam memastikan bahwa perempuan dan gadis yang tidak menikah dapat mengakses informasi dan layanan reproduktif yang mereka perlukan; Tidak menjadikan aborsi sebagai tindakan kriminal dalam keadaan apa pun guna memerangi tingginya jumlah aborsi gelap yang berbahaya. Dalam kasus adanya perempuan dan gadis yang hamil tanpa diinginkan sebagai akibat pemerkosaan atau saat kehamilan bisa mengancam hidup atau kesehatan perempuan, pastikanlah bahwa mereka memiliki akses terhadap layanan aborsi yang aman; dan Sahkan undang-undang tentang PRT sejalan dengan standar-standar internasional, guna memastikan bahwa para perempuan dan gadis PRT bisa mendapatkan perlindungan dengan tingkat yang sama seperti para pekerja lain di Indonesia. UU itu harus menyertakan ketetapan yang berkaitan dengan kebutuhan khusus perempuan, termasuk ketetapan mengenai maternitas.

12 Amnesty International International Secretariat Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom

INDONESIA LAPORAN KEPADA KOMITE PENGHAPUSAN PEREMPUAN

INDONESIA LAPORAN KEPADA KOMITE PENGHAPUSAN PEREMPUAN INDONESIA Publikasi Amnesty Internasional Dipublikasikan pertama kali pada 2012 oleh Publikasi Amnesty International International Secretariat Peter Benenson House 1 Easton Street London PBB WC1X0DW TENTANG

Lebih terperinci

HAL: SURAT TERBUKA KEPADA MENTERI KESEHATAN MENGENAI UU KESEHATAN BARU DI INDONESIA

HAL: SURAT TERBUKA KEPADA MENTERI KESEHATAN MENGENAI UU KESEHATAN BARU DI INDONESIA FEDERASI LEMBAGA BANTUAN HUKUM ASOSIASI PEREMPUAN INDONESIA UNTUK KEADILAN Jl. Raya Tengah No.16 Rt. 01/09, Kramatjati, Jakarta Timur 13540 T: +62 (0)21 87797289 F.: +62 (0)21 87793300 E: apiknet@centrin.net.id,

Lebih terperinci

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018 KAJIAN KRITIS DAN REKOMENDASI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA TERHADAP RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (R-KUHP) YANG MASIH DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA MENGABAIKAN KERENTANAN

Lebih terperinci

URUSAN YANG BELUM SELESAI: AKUNTABILITAS POLISI DI INDONESIA

URUSAN YANG BELUM SELESAI: AKUNTABILITAS POLISI DI INDONESIA URUSAN YANG BELUM SELESAI: AKUNTABILITAS POLISI DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF Amnesty International Publications Pertama diterbitkan tahun 2009 oleh Amnesty International Publications International

Lebih terperinci

MENINGGAL TERLALU MUDA

MENINGGAL TERLALU MUDA Natalie Behring/Panos Pictures MENINGGAL TERLALU MUDA KEMATIAN IBU MERENGGUT NYAWA SATU PEREMPUAN SETIAP MENIT 2 MENINGGAL TERLALU MUDA KEMATIAN IBU MERENGGUT NYAWA SATU PEREMPUAN SETIAP MENIT Amnesty

Lebih terperinci

TAK ADA pilihan RINtANgAN AtAS KESEHAtAN REPRoDUKtIf DI INDoNESIA KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

TAK ADA pilihan RINtANgAN AtAS KESEHAtAN REPRoDUKtIf DI INDoNESIA KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA TAK ADA pilihan RINtANgAN AtAS KESEHAtAN REPRoDUKtIf DI INDoNESIA KESEHATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA Amnesty International adalah gerakan global 2,8 juta orang di lebih dari 150 negara dan wilayah, yang

Lebih terperinci

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Bahan Bacaan: Modu 2 Pengertian Anak Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin A. Situasi-Situasi yang Mengancam Kehidupan Anak Sedikitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals atau disingkat MDG s dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium yang merupakan paradigma pembangunan global

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang pengguguran kandungan atau aborsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1, aborsi /abor.si/ berarti

Lebih terperinci

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun adalah suatu periode masa

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk Kekerasan Seksual Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan 1 Desain oleh Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI A. Hukum Aborsi Akibat Perkosaan Aborsi akibat perkosaan merupakan permasalahan

Lebih terperinci

Kesetaraan gender di tempat kerja: Persoalan dan strategi penting

Kesetaraan gender di tempat kerja: Persoalan dan strategi penting Kesetaraan gender di tempat kerja: Persoalan dan strategi penting Kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja di Asia Timur dan Tenggara: Panduan 1 Tujuan belajar 1. Menguraikan tentang konsep dan

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA I. UMUM Keutuhan dan kerukunan rumah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

MENGADILI KEYAKINAN UNDANG-UNDANG PENODAAN AGAMA INDONESIA

MENGADILI KEYAKINAN UNDANG-UNDANG PENODAAN AGAMA INDONESIA MENGADILI KEYAKINAN UNDANG-UNDANG PENODAAN AGAMA INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF Publikasi Amnesty International Dipublikasi pertama kali pada tahun 2014 oleh Amnesty International Publications Sekretariat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063] BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 190 (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik

Lebih terperinci

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum No. Draft RUU Bantuan Hukum Versi Baleg DPR RI 1. Mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat

Lebih terperinci

Aborsi Tidak Aman Jadi Penyebab Kematian Ibu 16 Agustus :58:42

Aborsi Tidak Aman Jadi Penyebab Kematian Ibu 16 Agustus :58:42 Aborsi Tidak Aman Jadi Penyebab Kematian Ibu 16 Agustus 2004 11:58:42 Setiap tahun, 307 ibu mati dari 100.000 kelahiran hidup. Dari jumlah itu, 11 persen di antaranya meninggal karena aborsi tidak aman.

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000 2 K-183 Konvensi Perlindungan Maternitas, 2000 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia sendiri,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup modern sekarang ini menimbulkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 95, 2004 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4419)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan Bentuk 1 Desain oleh : Thoeng Sabrina Universitas Bina Nusantara untuk Komnas Perempuan 2 Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

Penyebab kematian ibu melahirkan Musdah Mulia

Penyebab kematian ibu melahirkan Musdah Mulia Penyebab kematian ibu melahirkan Musdah Mulia 1) Rendahnya tingkat kualitas hidup perempuan Sejumlah penelitian mengungkapkan, ada banyak faktor penyebab kematian ibu melahirkan, namun penyebab utama adalah

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN 1 K-81 Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan

Lebih terperinci

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Oleh: Chitrawati Buchori and Lisa Cameron Maret 2006 Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan sudah lama terjadi, namum sebagian masyarakat belum

Lebih terperinci

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes

APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN. IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes APLIKASI ETIKA DALAM PRAKTIK KEBIDANAN IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes Praktek Kebidanan Oleh Bidan meliputi: 1. Pemeriksaan kehamilan 2. Pertolongan persalinan 3. Pelayanan keluarga berencana 4. Pemeriksaan

Lebih terperinci

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Wajib Lapor Tindak KDRT 1 Rita Serena Kolibonso. S.H., LL.M. Pengantar Dalam beberapa periode, pertanyaan tentang kewajiban lapor dugaan tindak pidana memang sering diangkat oleh kalangan profesi khususnya

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982 2 K-158 Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB XX KETENTUAN PIDANA

BAB XX KETENTUAN PIDANA Undang-undang Kesehatan ini disyahkan dalam sidang Paripurna DPR RI tanggal 14 September 2009 1 PASAL-PASAL PENYIDIKAN DAN HUKUMAN PIDANA KURUNGAN SERTA PIDANA DENDA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Tingkat aborsi tahunan di Asia berkurang antara tahun 1995 dan 2003 dari 33 menjadi 29 aborsi per 1.000 wanita berusia 15 44 tahun. Di Asia Timur, tingkat

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184)

R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) 1 R184 - Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) 2 R184 Rekomendasi Kerja Rumahan, 1996 (No. 184) Rekomendasi mengenai Kerja Rumahan Adopsi: Jenewa, ILC

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap tahun 4,2 juta bayi lahir di Indonesia (Lombok. News, 2011), sedangkan angka kematian ibu sebesar 228

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap tahun 4,2 juta bayi lahir di Indonesia (Lombok. News, 2011), sedangkan angka kematian ibu sebesar 228 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun 4,2 juta bayi lahir di Indonesia (Lombok News, 2011), sedangkan angka kematian ibu sebesar 228 dari 100.000 (BKKBN, 2012). Pertambahan penduduk pada tahun

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981

R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 R-165 REKOMENDASI PEKERJA DENGAN TANGGUNG JAWAB KELUARGA, 1981 2 R-165 Rekomendasi Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan

Lebih terperinci

PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs GOAL 5 DI PROVINSI BENGKULU

PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs GOAL 5 DI PROVINSI BENGKULU PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs GOAL 5 DI PROVINSI BENGKULU encegahan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan pemenuhan kebutuhan melalui KB adalah langkah besar menuju perbaikan kesehatan ibu dan pengurangan

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK

AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK AMNESTY INTERNATIONAL PERNYATAAN PUBLIK Index: ASA 21/1381/2015 7 April 2015 Indonesia: Dua perempuan divonis bersalah di bawah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena postingannya di media

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Deskripsi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Sejarah Singkat

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN

1 LATAR 3 TEMUAN 7 KETIDAKMAMPUAN Daftar isi TERLANGGARNYA HAK PEREMPUAN ATAS RASA AMAN Hasil Pemantauan Hak Perempuan atas Rasa Aman di Transportasi Publik hal : 1 LATAR BELAKANG 3 TEMUAN PEMANTAUAN PEREMPUAN 7 KETIDAKMAMPUAN NEGARA MENJAMIN

Lebih terperinci

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni 2010 26 PENDAHULUAN Pengertian aborsi menurut hukum adalah tindakan menghentian kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesehatan Reproduksi 2.1.1 Pengertian Kesehatan Reproduksi Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS 1 (satu) bulan ~ Notaris tidak membuat akta Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kekerasan Secara umum kekerasan identik dengan pengerusakan dan menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Namun jika kita pilah kedalam jenis kekerasan itu sendiri, nampaknya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG KERJASAMA PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan

Lebih terperinci