Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas"

Transkripsi

1 Laporan Penelitian Faktor-faktor risiko rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas Diah Yamini Darsika, Made Tjekeg, Made Sudipta, Luh Made Ratnawati Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar Bali - Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Polusi udara merupakan zat iritan dengan berat molekul rendah yang terdiri dari beberapa campuran gas diantaranya ozon, nitrogen dioksida, partikel debu, sulfur dioksida yang dapat menyebabkan gangguan fungsi saluran napas atas berupa rinitis dengan gejala seperti hidung tersumbat, ingus serta lendir belakang hidung. Polisi lalu lintas merupakan kelompok yang berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor risiko yang terkait dengan rinitis akibat kerja (RAK) akibat pajanan polusi udara. Metode: Deskriptif analitik dengan pendekatan studi potong lintang pada 56 orang polisi lalu lintas di wilayah Poltabes Denpasar. Teknik pengambilan sampel dengan consecutive sampling, dikerjakan pada bulan Maret Dilakukan anamnesis, rinoskopi anterior, PNIF dan uji tusuk kulit. Analisis data dengan uji Pearson Chi square dan uji t. Hasil: Tidak ditemukan hubungan bermakna antara faktor riwayat atopi dan kebiasaan merokok dengan kejadian RAK. Masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun memiliki hubungan bermakna terhadap timbulnya RAK yang disebabkan pajanan polusi udara (p=0,002). Kesimpulan: Polisi lalu lintas yang telah bekerja selama delapan tahun lebih rentan terkena RAK akibat pajanan polusi udara. Kata kunci: polusi udara, polisi lalu lintas, rinitis akibat kerja ABSTRACT Background: Air pollution is irritant substances with low molecular weight that consisted of some mixture of gases including ozone, nitrogen dioxide, particles of dust, sulfur dioxide which can cause airway function disturbances over form of rhinitis with symptoms such as nasal congestion, runny nose and post nasal drip. Traffic policemen are at risk to the impact caused by pollutants. Purpose: To know the risk factors associated with occupational rhinitis due to air pollution exposure. Methods: Descriptive analytical methods with cross-sectional study on subjects 56 traffic policemen in the Poltabes Denpasar s area. It uses the consecutive sampling on March Anamnesis, anterior rhinoscopy, PNIF and skin prick test was performed. Pearson Chi square test and t test were employed to analyze the data. Result: We found no relationship between history of allergy and smoking with the incidence of occupational rhinitis. The subjects who had worked for eight years or more, had a significant relationship with the incidence of occupational 1

2 rhinitis (p=0.002). Conclusion: The policemen with over eight years working period is more prone to occupational rhinitis due to air pollution exposure. Key words: air pollution, traffic police, occupational rhinitis Alamat korespondensi: Diah Yamini Darsika, Bagian THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah. Jl. Diponegoro Denpasar-Bali. PENDAHULUAN Pencemaran udara saat ini merupakan masalah utama kesehatan lingkungan di daerah perkotaan yang padat penduduk, padat lalu lintas dan tingkat pembangunan industri yang tinggi. Kendaraan bermotor merupakan penyumbang polusi udara terbesar yang mengandung partikel padat, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, ozon, dan lain-lain. Aktivitas penduduk kota Denpasar di sektor transportasi mengalami peningkatan tajam ditandai dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Pada tahun 2002, belum menembus angka unit, namun tahun 2007 meningkat menjadi unit. Sedangkan pengukuran kualitas udara di Bali didapatkan konsentrasi debu di kota Denpasar melampaui standar baku mutu lingkungan yang ditetapkan, yaitu 368,99 µg/nm 3. Begitu pula kadar gas CO, SO 2 dan NO 2 diukur pada beberapa ruas jalan kota Denpasar menunjukkan kadar tertinggi dibandingkan pengukuran di kabupaten lain di Bali. 1 Studi di berbagai negara diantaranya Thailand dan Italia melaporkan bahwa polusi udara memberikan dampak peningkatan keluhan saluran napas pada individu yang terpajan dibandingkan dengan yang tidak terpajan. Studi yang dilakukan terhadap polisi lalu lintas di Thailand didapatkan prevalensi keluhan rinitis sebesar 17,8%, sedangkan prevalensi keluhan saluran napas atas terhadap polisi lalu lintas di Italia melalui investigasi selama lima tahun, didapatkan sebesar 28% dengan usia rata-rata 39 tahun dan masa dinas rata-rata 11 tahun. 2,3 Studi kohort selama delapan tahun yang dilaporkan Amin, 4 mempelajari hubungan antara polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin mendapatkan dampak negatif dari debu akan muncul setelah terpajan paling sedikit empat tahun. Polusi udara merupakan zat iritan yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan nervus V. Pengaktifan beberapa neurotransmiter peptida pada sistem persarafan saluran napas menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, rasa menyengat atau terbakar dan gangguan penghidu. 5 Komponen polusi udara juga dapat mencetuskan keluhan alergi pada saluran 2

3 napas melalui beberapa faktor, diantaranya interaksi komponen polusi udara dengan serbuk sari akan meningkatkan pengeluaran karakter antigen serbuk sari tersebut, sehingga menjadi alergen termodifikasi. Selain itu, komponen polusi khususnya ozon, partikel debu, sulfur dioksida memiliki efek inflamasi pada jalan napas yang akan meningkatkan permeabilitas membran, sehingga mempermudah penetrasi alergen pada membran mukus dan mempermudah terjadinya interaksi dengan sel sistem imun. Sedangkan partikel asap di sel telah ditunjukkan memiliki efek peningkatan produksi IgE secara langsung. 6 Definisi rinitis akibat kerja/rak menurut EAACI Task Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. 7 Polisi lalu lintas, sopir dan pekerja di jalan raya merupakan kelompok yang berisiko terhadap dampak yang ditimbulkan oleh polusi udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang terkait dengan rinitis akibat kerja oleh pajanan polusi udara pada polisi lalu lintas. METODE Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko RAK yang disebabkan pajanan polusi udara, dan dilaksanakan pada bulan Maret Penelitian ini dilakukan terhadap 56 polisi lalu lintas Poltabes Denpasar, yang dalam empat tahun terakhir terus-menerus bertugas di lapangan selama delapan jam per hari. Sampel dipilih secara consecutive sampling, yaitu semua populasi yang bersedia ikut serta dalam penelitian dan memenuhi kriteria penelitian, yaitu tidak dalam pengobatan dengan antihistamin generasi I dalam waktu 3 4 hari, generasi II dalam waktu 7 10 hari dan atau kortikosteroid oral dalam waktu empat minggu, tidak ada infeksi akut yang ditandai dengan suhu badan lebih dari 37 C dan tidak dalam pengaruh obat antipiretik. Tidak ada sekret purulen di kavum nasi dari hasil pemeriksaan rinoskopi anterior. Pada semua subjek dilakukan anamnesis tentang keluhan klinis, riwayat personil dan keluarga yang mencakup riwayat atopi dan merokok, dilanjutkan pemeriksaan rinoskopi anterior untuk mengetahui gambaran kavum nasi, mukosa hidung, ada tidaknya sekresi hidung, serta pemeriksaan orofaring untuk melihat sekret belakang hidung. Lima puluh enam subjek yang memenuhi kriteria selanjutnya diperiksa aliran udara hidung dengan menggunakan nasal peak flow meter (in check peak nasal inspiratory flow meter; Clement Clarke International Ltd, UK) setelah sebelumnya diberikan penjelasan tata cara penggunannya. Inspirasi dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing subjek dan hasil 3

4 yang dipilih adalah nilai yang tertinggi. Pemeriksaan PNIF ini dilakukan sebelum berdinas dan delapan jam setelah berdinas. Hasil dikatakan positif RAK apabila terdapat penurunan aliran udara sebesar lebih atau sama dengan 20% dari baseline yang diambil sebelum subjek berdinas. RAK ditetapkan bila terdapat dua atau lebih gejala rinitis berupa: bersin-bersin, hidung beringus, hidung tersumbat atau ingus belakang hidung yang timbul atau memberat pada saat bekerja dan hilang atau berkurang pada saat pulang kerja atau pada saat libur dan terdapat penurunan aliran udara 20% dengan pemeriksaan PNIF pada awal dan akhir berdinas. Selanjutnya pada subjek yang positif RAK ini, dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit untuk menentukan RAK atopi dan RAK nonatopi. Semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif dengan menghitung persentase RAK. Analisis dilakukan untuk menguji hubungan antara RAK dengan masa kerja, usia, riwayat atopi dan merokok dengan menggunakan program SPSS 13.0 dan Win PEPI. Hasil analisis memperlihatkan nilai rasio prevalensi risiko, interval kepercayaan 95%, serta nilai p. Untuk menunjukkan adanya hubungan bermakna dengan RAK ditandai dengan nilai p<0,05 dengan uji Pearson Chi square dan uji t. HASIL Prevalensi dan karakteristik subjek F r e k u e n s i Prevalensi RAK didapatkan sebesar 28,6%, yaitu 16 dari 56 subjek yang diperiksa. Dari 16 subjek RAK positif tersebut dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit, didapatkan RAK atopi 10 subjek (62,5%) dan RAK nonatopi sebanyak 6 subjek (37,5%). Kejadian RAK terbanyak adalah pada pria sebesar 15 dari 16 subjek (93,8%), sedangkan pada wanita hanya 1 dari 16 subjek (6,2%). Berdasarkan usia, kejadian RAK terbanyak pada usia kurang dari 40 tahun, yaitu 9 subjek (56,3%). Kejadian RAK dengan masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun lebih banyak dibandingkan dengan masa kerja kurang dari delapan tahun, yaitu sebesar 62,5%. Berdasarkan riwayat atopi, kejadian RAK terbanyak adalah pada subjek dengan riwayat atopi negatif, yaitu 13 dari 16 subjek (81,2%). Berdasarkan riwayat merokok, kejadian RAK terbanyak ditemukan pada bukan perokok, yaitu sebanyak 11 dari 16 subjek (68,7%). Distribusi PNIF I dan PNIF II Rerata PNIF I adalah 116,0 ± 33,1 dengan hasil uji distribusi normal. Untuk kelompok RAK nilai rerata PNIF I yang didapat sebelum bekerja: 141,8 ± 39,7 dengan koefisien variasi tiga kali pengukuran 20,2% Mean = Std. Dev. = N = Rerata PNIF I

5 Gambar 1. Grafik distribusi berdasarkan PNIF I Rerata PNIF II adalah 110,6 ± 35,8 dengan hasil uji distribusi normal. Untuk kelompok RAK nilai rerata PNIF II yang didapat setelah delapan jam bekerja: 102,5 ± 33,9 dengan koefisien variasi tiga kali pengukuran 23,0%. kasus (43,8%), sedangkan pada 40 kasus kelompok tanpa RAK yang terbanyak adalah keluhan ekstranasal berupa radang tenggorok sebesar 22 kasus (55,0%), kelelahan 20 kasus (50,0%) dan mulut kering 18 kasus (45,0%). Analisis dengan menggunakan uji t menunjukkan hubungan bermakna antara 14 Mean = Std. Dev. = N = 56 gejala klinis dan RAK (p=0,04). Pemeriksaan rinoskopi anterior F r e k u e n s i Rerata PNIF II Gambar 2. Grafik distribusi berdasarkan PNIF II Pada 16 kasus kelompok RAK temuan rinoskopi anterior terbanyak berupa hipertrofi konka inferior pada 10 kasus (62,5%), kavum nasi sempit pada 8 kasus (50,0%) dan konka inferior pucat pada 7 kasus (43,8%). Pada 40 kasus kelompok tanpa RAK yang terbanyak ditemukan konka inferior pucat, yaitu pada 16 kasus (40,0%), hipertrofi konka inferior pada 9 kasus (22,5%) dan kavum nasi sempit pada 8 kasus (20,0%). Analisis statistik dengan uji t Keluhan klinis Keluhan intranasal terbanyak pada 16 kasus kelompok RAK berupa hidung tersumbat sebesar 10 kasus (62,5%), keluhan bersin 8 kasus (50,0%), dan hidung beringus 7 tidak dijumpai hubungan bermakna antara temuan pemeriksaan rinoskopi anterior dengan timbulnya RAK (p=0,14). Hubungan berbagai faktor risiko dengan terjadinya RAK Tabel 1. Hubungan berbagai faktor risiko dengan terjadinya RAK RAK Faktor Ya Tidak n=16 n=40 RP IK 95% p Usia 1,5 0,6-3,4 0,35 <40 th 9 (56,3%) 17 (42,5%) 40 th 7 (43,7%) 23 (57,5%) Masa kerja 3,5 1,6-29, <8 th 6 (37,5%) 32 (80,0%) 5

6 8 th 10 (62,5%) 8 (20,0%) R. Atopi 0,6 2-1,9 0,39 Positif 3 (18,8%) 12 (30,0%) Negatif 13 ( 81,2%) 28 (70,0%) Merokok 0,6 0,1-2,4 0,43 Perokok 5 (31,3%) 17 (42,5%) Bukan Perokok 11 (68,7%) 23 (57,5%) Adanya kecenderungan peningkatan risiko RAK pada usia kurang dari 40 tahun dibandingkan dengan usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun, walaupun secara statistik tidak bermakna. Masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun, berisiko timbulnya RAK. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara riwayat atopi dan merokok dengan kejadian RAK. DISKUSI Terdapat hubungan yang erat antara keluhan klinis dengan timbulnya RAK (p=0,04), dengan rasio prevalensi menunjukkan keluhan klinis intranasal lebih berisiko terjadi pada kelompok RAK daripada kelompok tanpa RAK. Polusi udara merupakan zat iritan yang mengandung gas nitrogen dioksida, sulfur dioksida, ozon, partikel debu, karbon monoksida yang menyebabkan rangsangan terhadap serabut sensoris dari percabangan n.v yang menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi plasma atau edema neurogenik, hipersekresi, serta kontraksi otot polos yang menimbulkan keluhan klinis seperti bersin, rinorea, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, rasa menyengat atau terbakar dan gangguan penghidu. 5,8,9 Gambaran rinoskopi anterior terbanyak berupa hipertrofi konka inferior, yaitu sebesar 62,5%. Hal ini disebabkan karena proses inflamasi yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan jaringan berupa pelepasan epitel yang rusak, penebalan jaringan membran basalis mukosa, hiperplasia dan hipertrofi kelenjar mukosa, edema submukosa dan infiltrasi sel radang. Apabila pajanan berlangsung terus, kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel, sehingga kepekaan jalan napas akan meningkat baik terhadap alergen maupun bukan alergen. 10 Terdapat 16 kasus (28,6%) RAK positif yang ditandai dengan penurunan PNIF lebih dari 20%. Hidung merupakan target potensial pajanan polusi udara yang akan menimbulkan iritasi mukosa hidung, perubahan resistensi aliran udara dan perubahan pada bersihan mukosilia. PNIF atau peak nasal inspiratory flow meter buatan Clement Clark ltd, merupakan alat untuk mengukur derajat aliran udara hidung dengan menghitung besarnya kecepatan aliran udara dalam satuan liter per menit. Sampai saat ini belum ada kriteria yang 6

7 baku mengenai persentase derajat penurunan aliran udara pada obstruksi hidung. 11 Eire 12 pada penelitiannya menggunakan kriteria RAK dengan penurunan PNIF sebesar 20% dari nilai baseline yang diukur setelah delapan jam bekerja dibandingkan dengan nilai PNIF sebelum bekerja. Cho 13 dalam studinya mendapatkan reprodusibilitas PNIF dengan koefisien variasi 10,1%, yang artinya jika pemeriksaan dilakukan secara berulang-ulang hanya memberikan variasi sebesar 10,1%. Pada penelitian ini, koefisien variasi tiga kali pengukuran untuk kelompok RAK pada PNIF I sebesar 20,2% dan PNIF II sebesar 23,0%. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan variabilitas nilai PNIF diantaranya karena nilai PNIF tergantung pada kemampuan subjek saat menghirup dan menghembuskan napas, pemasangan masker hidung yang tidak tepat, kurang koordinasi atau karena terjadi kolaps dinding lateral hidung ketika menghirup napas. 14,15 Hubungan usia dengan RAK didapatkan kecenderungan meningkatnya risiko usia kurang dari 40 tahun untuk mengalami RAK, dibandingkan dengan kelompok usia lebih dari atau sama dengan 40 tahun sekalipun secara statistik tidak bermakna (RP=1,5, IK 95%=0,6 3,4, p=0,35). Hal ini disebabkan karena polusi udara merupakan bahan iritan yang menyebabkan sensitivitas pada serabut sensoris tipe C yang merupakan percabangan n.v, sehingga reaksi yang terjadi tidak tergantung pada kadar IgE yang akan mengalami penurunan setelah usia 40 tahun. 8,9 Dijumpai risiko kejadian RAK lebih tinggi pada kelompok masa kerja lebih dari atau sama dengan delapan tahun dibandingkan dengan kelompok masa kerja kurang dari delapan tahun. (RP=3,5 IK 95%=1,6 29,6, p=0,002). Jadi, semakin lama masa kerja semakin tinggi risiko terjadinya RAK. Sarin 9 menyatakan adanya pajanan kronis yang menahun terhadap zat iritan di udara akan meningkatkan prevalensi alergi dan hiperesponsif mukosa hidung, baik terhadap alergen atau zat iritan. Amin 4 melaporkan dampak negatif dari polutan debu akan jelas setelah terpajan paling sedikit empat tahun. Dari 16 kasus RAK, didapatkan 3 subjek (18,8%) dengan riwayat atopi positif dan 13 subjek (81,2%) riwayat atopi negatif. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara riwayat atopi dengan risiko terjadinya RAK (RP=0,6, IK 95%=0,2 1,9, p=0,39). Hal ini disebabkan karena polusi udara merupakan pajanan iritan multipel yang menimbulkan reaksi pada saluran napas melalui mekanisme nonimunologi seluler atau sel T dan melalui pelepasan neuropeptida dari ujung saraf eferen yang mengaktifkan sel mast dan menimbulkan inflamasi neurogenik. 16 Tidak ditemukan hubungan antara faktor risiko merokok terhadap kejadian RAK (RP=0,6, IK 95%=0,1 2,4, p=0,43). Penelitian terhadap polisi lalu lintas di Bangkok, didapatkan hasil statistik yang tidak signifikan 7

8 antara timbulnya keluhan pada saluran napas dengan status merokok, ditandai dengan odds ratio 1,1 (IK 95%=1,0 1,2) pada polisi lalu lintas yang tidak pernah merokok. 17 Pada penelitian ini ditemukan keluhan klinis yang menonjol pada kelompok RAK, yaitu keluhan intranasal diantaranya berupa keluhan hidung tersumbat, hidung beringus dan bersin. Masa kerja 8 tahun merupakan faktor risiko kejadian RAK, sehingga diperlukan tindakan perlindungan, pencegahan dan pengobatan agar tidak terjadi komplikasi dan bertambah beratnya penyakit dengan penggunaan masker, pemberian antioksidan berupa diet atau suplemen yang mengandung vitamin, mineral dan asam amino, serta dilakukan mutasi personil secara berkala. Agar hasil penelitian lebih representatif perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan kelompok kontrol dan dengan jumlah sampel yang lebih besar. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Laporan kegiatan analisis kualitas udara di povinsi Bali. Pemerintah provinsi Bali Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, Wongsurakiat P, Nana A, Maranetra KN, et al. Respiratory symptoms and pulmonary function of traffic policemen in Thonburi. Chot Mai Het Thang Phaet 1999; 82: DeToni A, Filon Larese F, Finotto L. Respiratory diseases in a group of traffic police officers: results of a 5-year follow up. G Ital Med Lav Ergon 2005; 27(3): Amin M. Penyakit paru obstruktif menahun: polusi udara, rokok dan alfa-1-antitripsin. Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University Press; h Shusterman D. Toxicology of nasal irritants. Curr Allergy Asthma Rep 2003; 3: Parnia S, Brown JL, Frew AJ. The role of pollutants in allergic sensitization and the development of asthma. Allergy 2002; 57(12): Moscato G, Vandenplas J, Malo L, Castano R, Walusiak J, et al. EAACI position paper on occupational rhinitis. Respiratory Res 2009; 10: Meggs WJ. Neurogenic inflammation and sensitivity to environmental chemical. Environ Health Perspect 1993; 101: Sarin S, Undem B, Sanico A, Togias A. The role of the nervous system in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2006; 118: Vignola AM, Gagliardo R, Guerrera D, Chiappara G. New evidence of inflammation in asthma. Thorax 2000; 55(suppl2): Clement Clark International. Introduction to in-check nasal [homepage on the internet]. c2006 [updated 2007 Dec 21; cited 2008 Jul 17]. Available from: flow/index.html. 12. Eire MA, Pineda F, Losada S V, Cuesta CG, Villalva MM. Occupational rhinitis and asthma due to cedroarana (cedrelinga catenaeformis ducke) wood dust allergy. J Investig Allergol Clin Immunol 2006; 16(6): Cho SI, Hauser R, Christiani DC. Reproducitibility of nasal peak inspiratory flow among healthy adults: assesment of 8

9 epidemiologic utility. Chest 1997; 112: Nathan RA, Eccles R, Howarth PH, Steinsva SK, Alkis Togias A. Objective monitoring of nasal patency and nasal physiology in rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2005; 115: Willing S, San Pedro M, Munt P, Fitzpatrick MF. The acute impact of continuous positive airway pressure on nasal resistance: a randomized controlled. Comparison J Appl Physiol 2007; 102: Baratawidjaya KG, Rengganis I. Alergi dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing; h Boudoung D, Wanida J, Karita K. Particulate air polution and chronic respiratory symptom among traffic policemen in Bangkok. Arch Environ Health 2003; 58:

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI

ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI Setiawathi NP, Sudipta M, Sagung Puteri AA, Sari Wulan DS Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang)

FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang) FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang) Andhita Restu Damayanti 1, Willy Yusmawan 2, Zulfikar Naftali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara sering terjadi karena eksploitasi sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Penggalian atau penambangan berupa pasir, batu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

Pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar ph cairan hidung

Pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar ph cairan hidung ORLI Vol. 47 No. 1 Tahun 2017 Pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% Laporan Penelitian Pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9% terhadap peningkatan rata-rata kadar ph cairan hidung *Ferryan Sofyan, *Dyan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv. ABSTRAK...

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv. ABSTRAK... DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... viii

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu

Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu Laporan Penelitian Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu Emanuel Quadarusman, Sutji Pratiwi Rahardjo, Abdul Qadar Punagi, Riskiana Djamin Departemen Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan di berbagai bidang yang semakin meningkat apabila tidak disertai oleh upaya pengelolaan lingkungan yang baik, maka dapat mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU AKIBAT PAPARAN ASAP PADA PEDAGANG SATE DI DENPASAR

PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU AKIBAT PAPARAN ASAP PADA PEDAGANG SATE DI DENPASAR PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU AKIBAT PAPARAN ASAP PADA PEDAGANG SATE DI DENPASAR Pande Made Indra Premana 1, I Putu Adiartha Griadhi 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia setiap detik selama hidupnya akan membutuhkan udara. Secara ratarata manusia tidak dapat mempertahankan hidup tanpa udara lebih dari tiga menit. Udara tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan pariwisata di Bali yang sangat pesat membawa dampak yang positif yaitu berkembangnya industri makanan sehingga menciptakan lapangan kerja. 1 Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya membutuhkan udara untuk mempertahankan hidupnya.

Lebih terperinci

DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014

DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014 DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014 MANUSKRIF SKRIPSI OLEH ULVA YULIANTI 10101001015 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2014 DETERMINAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2012-2013 Rinitis alergi bukan merupakan penyakit fatal yang mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagi kelangsung hidup manusia terutama masalah lingkungan, Pencemaran udara yang paling banyak terjadi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit alergi merupakan masalah kesehatan serius pada anak. 1 Alergi adalah reaksi hipersentisitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. 2 Mekanisme alergi

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG Effi Sihaloho,2014. Pembimbing I: Riani Setiadhi, drg., Sp. PM Pembimbing II:

Lebih terperinci

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Hubungan antara Polusi Udara Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia Balita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi paru dan penurunan kualitas hidup manusia. 2 Penyakit paru

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi paru dan penurunan kualitas hidup manusia. 2 Penyakit paru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Paru merupakan suatu organ respiratorik yang memiliki area permukaan alveolus seluas 40 m 2 untuk pertukaran udara antara O 2 dengan CO 2. 1 Kelainan yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI

FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI DAERAH CARGO PERMAI, KABUPATEN BADUNG, BALI I Putu Fajar Sukmajaya 1, I Made Muliarta 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) UDARA TERHADAP TINGKAT KEWASPADAAN PETUGAS PARKIR DI BERBAGAI JENIS TEMPAT PARKIR

ABSTRAK HUBUNGAN KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) UDARA TERHADAP TINGKAT KEWASPADAAN PETUGAS PARKIR DI BERBAGAI JENIS TEMPAT PARKIR ABSTRAK HUBUNGAN KADAR KARBON MONOKSIDA (CO) UDARA TERHADAP TINGKAT KEWASPADAAN PETUGAS PARKIR DI BERBAGAI JENIS TEMPAT PARKIR Elisa Gunawan, 2009. Pembimbing I Pembimbing II : dr. Hanna Ratnawati, MKes

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama 72 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Insiden Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama kehidupan adalah 10,9%. Moore, dkk. (2004) mendapatkan insiden dermatitis atopik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat pajanan terhadap bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). Kelainan saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan salah satu komponen lingkungan yang paling penting setelah air dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Pada keadaan normal, sebagian besar udara

Lebih terperinci

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Elia Reinhard 2 O. I. Palandeng 3 O. C. P. Pelealu Kandidat skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated allergy). 1,2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran serta polusi. Pada tahun 2013 industri tekstil di Indonesia menduduki 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pembangunan dan penggunaan teknologi di sektor industri berdampak positif terhadap peningkatan kualitas hidup dan pendapatan namun juga berdampak negatif

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU PEKERJA DENGAN GEJALA ISPA DI PABRIK ASAM FOSFAT DEPT. PRODUKSI III PT. PETROKIMIA GRESIK

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU PEKERJA DENGAN GEJALA ISPA DI PABRIK ASAM FOSFAT DEPT. PRODUKSI III PT. PETROKIMIA GRESIK HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN PERILAKU PEKERJA DENGAN GEJALA ISPA DI PABRIK ASAM FOSFAT DEPT. PRODUKSI III PT. PETROKIMIA GRESIK Rizka Hikmawati Noer, Tri Martiana Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 9 yang menyatakan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2014 pada pasal 1 ayat 9 yang menyatakan 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada anak yang memiliki atopi yang sebelumnya telah terpapar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA

PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA (Effect Of Poor Air Quality On Lung Function And Respiratory Complaints Among

Lebih terperinci

ANALISIS KADAR CO dan NO 2 SERTA KELUHAN KESEHATAN PEDAGANG ASONGAN DI TERMINAL AMPLAS TAHUN 2014 SKRIPSI. Oleh : IRMAYANTI NIM.

ANALISIS KADAR CO dan NO 2 SERTA KELUHAN KESEHATAN PEDAGANG ASONGAN DI TERMINAL AMPLAS TAHUN 2014 SKRIPSI. Oleh : IRMAYANTI NIM. ANALISIS KADAR CO dan NO 2 SERTA KELUHAN KESEHATAN PEDAGANG ASONGAN DI TERMINAL AMPLAS TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh : IRMAYANTI NIM. 081000069 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas I Ngaglik, Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Yogyakarta pada

Lebih terperinci

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Rahmy Sari S.Pd PERNAPASAN/RESPIRASI Proses pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida (CO 2 ), dan menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh) Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya Pernapasan

Lebih terperinci

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU 1 Andreas R. Tumbol 2 R. E. C. Tumbel 2 Ora I. Palandeng 1 Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bagian/SMF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan industri dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Namun pembangunan industri dengan berbagai macam jenisnya tentunya memiliki dampak positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperkirakan bahwa sekitar satu juta orang keracunan insektisida secara

BAB I PENDAHULUAN. memperkirakan bahwa sekitar satu juta orang keracunan insektisida secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) memperkirakan bahwa sekitar satu juta orang keracunan insektisida secara tidak disengaja dan dua juta orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak

BAB I PENDAHULUAN. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai,

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

ARTIKEL ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO RINITIS ALERGI PADA SISWA SEKOLAH UMUR 16-19 TAHUN DI KODYA SEMARANG (Studi Kasus pada Siswa SMA N 3 dan SMA N 12 Semarang ) PREVALENCE AND RISK FACTORS OF ALLERGIC RHINITIS

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA

PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA PENGARUH PENURUNAN KUALITAS UDARA TERHADAP FUNGSI PARU DAN KELUHAN PERNAFASAN PADA POLISI LALU LINTAS POLWILTABES SURABAYA EFFECT OF POOR AIR QUALITY ON LUNG FUNCTION AND RESPIRATORY COMPLAINTS AMONG TRAFFIC

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian Hubungan Gejala Klinis Dengan Hasil Tes Cukit Kulit Pada Pasien Dengan Rinitis Alergi di RS. H. Adam Malik Medan Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya volume dan kapasitas paru-paru manusia hanya dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Tetapi selain itu, faktor penyakit dan aktifitas seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan bakar bensin merupakan produk komersial dengan volume terbesar di dunia. Bahan bakar bensin adalah substansi kompleks dengan komposisi yang bervariasi tergantung

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian,

BAB I PENDAHULUAN. ini. Udara berfungsi juga sebagai pendingin benda-benda yang panas, penghantar bunyi-bunyian, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu unsur atau zat yang sangat penting setelah air. Seluruh makhluk hidup membutuhkan udara sebagai oksigen demi kelangsungan hidupnya di muka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan

BAB I PENDAHULUAN. sektor kehidupan seperti gangguan sosioekonomi, dampak politik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA WANITA DI RUMAH SAKIT HA. ROTINSULU BANDUNG PERIODE ARTIKEL

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA WANITA DI RUMAH SAKIT HA. ROTINSULU BANDUNG PERIODE ARTIKEL HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA WANITA DI RUMAH SAKIT HA. ROTINSULU BANDUNG PERIODE 2011-2012 ARTIKEL Diajukan untuk memenuhi tugas akhir Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat sudah banyak yang mengetahui bahwa menghisap rokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, tetapi sampai sekarang masyarakat Indonesia masih banyak yang merokok,

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat telah dikenal sejak tahun 1997 dan merupakan bencana nasional yang terjadi setiap tahun hingga

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci