BAB I PENDAHULUAN. bahasa secara genetik di Indonesia masih sangat kurang. Dalam sejarah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. bahasa secara genetik di Indonesia masih sangat kurang. Dalam sejarah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Linguistik Diakronis 1 yang menghasilkan pengelompokan bahasa secara genetik di Indonesia masih sangat kurang. Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, ada beberapa karya penting berkaitan dengan bahasa-bahasa di Kalimantan yang telah memberikan inspirasi dan motivasi untuk melakukan penelitian di bidang ini. Pengelompokan penduduk Kalimantan yang pertama berdasarkan evidensi (bukti) bahasa adalah pengelompokan Ray (1913). Dempwolff ( ) dengan karya besarnya Proto Austronesia mengikutsertakan bahasa Banjar dan Dayak Ngaju sebagai bagian dari Proto Austronesia. Blust (1974) merekonstruksi bahasa-bahasa di Serawak. Hudson (1967) membandingkan 16 bahasa dengan menggunakan 350 kata. Ke enam belas bahasa itu disebutnya kelompok keluarga bahasa Barito 2. Rekonstruksi Hudson (1978) berikutnya melibatkan sebelas ïsolek Dayak Darat dan tujuh belas isolek Dayak Melayu. Adelaar (1989,1992) dan Dahl (1991) mengkaji tentang hubungan bahasa Maanyan (Borneo tenggara) dengan Malagasi. Karya Hudson (1967) mengenai kelompok keluarga bahasa Barito tersebut di atas mendapat tempat khusus dalam penelitian ini karena berhubungan langsung dengan gagasan awal penelitian yang Penulis lakukan ini dengan judul Relasi Bahasa Bakumpai di Marabahan dengan Bahasa Bakumpai di Buntok dan Puruk Cahu. Selain itu karya penting lainnya yang bermanfaat bagi penelitian ini sebagai sumber data sekunder

2 2 adalah kamus bahasa Bakumpai yang disusun oleh Kawi (1985) dan Ibrahim,dkk. (1995). Bahasa Bakumpai adalah bahasa yang dituturkan oleh penduduk asli yang bermukim di kampung-kampung yang saling berjauhan letaknya dan tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah. Walaupun kampung-kampung ini dipisahkan oleh hutan rimba, rawa-rawa dan bukit, namun bahasa Bakumpai ini masih digunakan dan tidak terdapat kesulitan dalam kontak antarpenuturnya. Secara geografis di daerah aliran sungai Barito bahasa Bakumpai dapat dibedakan atas tiga isolek yaitu, isolek Bakumpai di Marabahan (selanjutnya disingkat BKM) yang berada di daerah wilayah Kalimantan Selatan dan isolek Bakumpai di Buntok (selanjutnya disingkat BKB) dan Puruk Cahu (selanjutnya disingkat BKP) di wilayah Kalimantan Tengah. BKM menjadi fokus perhatian utama dalam kajian ini karena selama ini menyimpan masalah kebahasaan yang kontradiktif. Hal itu terlihat dari silang pendapat kalangan para ahli dalam memposisikan status BKM. Seperti yang tercantum dalam peta bahasa Wurm (1983) yang mengelompokkan BKM sebagai anggota subkelompok Melayu. Nampaknya hal ini lebih didasarkan pada kajian antropologis yang dilakukan Mallinckrodt 3 (1928) dan Sellato 4 (1980). Pendapat ini sangat berbeda dengan hasil pengamatan Hudson (1967) yang mengkaji Proto- Barito dan secara sekilas menyinggung isolek Bakumpai sebagai anggota kelompok Barito Barat (non-melayu) tanpa melakukan penelitian lebih

3 3 lanjut serta tanpa memperhitungkan wilayah geografis isolek-isolek Bakumpai yang ada. Pendapat yang pertama tidak dapat diterima karena kriterianya tidak tepat dijadikan sebagai dasar pengelompokan bahasa. Dalam hal pengelompokan bahasa, status Marabahan yang anakronis 5 karena lebih ditinjau dari sudut antropologi harus dikembalikan terlebih dahulu agar dapat diamati dengan saksama berdasarkan tinjauan linguistik. Dalam hal ini linguistik diakronis, yang pada hakikatnya dalam masalah klasifikasi/penggolongan bahasa mempunyai kewenangan seperti yang lazim dikaji dalam Linguistik Historis Komparatif seperti pendapat Fernandez (1996, lihat juga Lehman,1973:6; Bynon,1979: ; Lyons,1982:129). Di sisi lain, orang Bakumpai di Marabahan merupakan salah satu kelompok minoritas dalam lingkungan mayoritas masyarakat Banjar yang menempati Provinsi Kalimantan Selatan. Orang Bakumpai di Marabahan ini dikenal juga dengan beberapa sebutan lain yaitu urang Marabahan dan urang awen 6. Wilayah Marabahan dahulunya dikenal sebagai daerah pusat perdagangan dan pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Banjar karena letaknya yang sangat strategis berada tepat di muara sungai Barito yang bersimpangan dengan sungai Nagara (Ras,1968) 7. Orang Bakumpai terkenal pula sebagai pedagang yang handal (Arman,1994). Oleh karena itu umumnya orang Bakumpai di Marabahan berperan sebagai pedagang

4 4 perantara antara pedagang Melayu Banjar dengan penduduk hulu Barito (orang Dayak) (Ibrahim, dkk.,1979). Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa kemungkinan tentang asal-usul orang Bakumpai di Marabahan. Pertama, orang Bakumpai di Marabahan adalah orang hulu yang ke hilir, kemudian belajar perdagangan dari orang Melayu Banjar dan menjadi handal serta menjadi pesaing bagi orang Melayu, selanjutnya menyebar luas kembali ke pedalaman menempati Buntok dan Puruk Cahu. Kedua, orang Bakumpai di Marabahan adalah orang Bakumpai yang memang sudah ada sejak awal di pesisir, karena kedatangan bahasa Melayu yang merupakan lingua franca dan mempengaruhi isolek Bakumpai, sehingga mereka menyingkir ke Buntok dan Puruk Cahu. Ketiga, memudarnya bahasa Dayak (Bakumpai) di pesisir karena dominasi bahasa Melayu yang datang kemudian. Dalam hal kedudukan dan peran daerah Marabahan ini menyebabkan orang Bakumpai di Marabahan sedikitnya sejak dua abad yang lalu telah menjalin hubungan sosial dengan masyarakat lain terutama sekali dengan Melayu Banjar. Situasi semacam ini mengakibatkan orang Bakumpai di Marabahan dapat menggunakan lebih dari satu bahasa (bilingualism). Dalam masyarakat bilingual sebagaimana masyarakat Bakumpai tersebut terjadi pemindahan atau peminjaman unsur-unsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain (Weinreich,1979:30 ; Romaine 2000:51). Dalam peristiwa peminjaman leksikon menurut Poedjosoedarmo (2003:55-56) dapat berbentuk adopsi kata perkata atau bahkan mungkin seperangkat butir

5 5 leksikal dari bahasa yang lain merupakan fenomena umum dalam situasi kedwibahasaan (bilingualism). Dalam situasi kontak bahasa sebagaimana Bakumpai di Marabahan tersebut di atas, selain terjadi penggunaan lebih dari satu bahasa dan peristiwa peminjaman juga terdapat peristiwa language shift. Berkaitan dengan language shift itu pula Holmes (1995:57) menjelaskan terdapat kategorisasi bahasa yang masing-masing berperan sebagai bahasa tinggi dan bahasa rendah seperti bahasa Melayu Banjar dengan BKM. Pengaruh Melayu Banjar pada BKM sangat kuat terutama sekali dalam pemakaian bahasanya karena bahasa Melayu Banjar sebagai bahasa lingua franca digunakan dalam perdagangan 8, sedangkan isolek Bakumpai di Marabahan hanya digunakan dalam lingkungan keluarga. Dominasi Melayu Banjar sebagai lingua franca ini juga mempengaruhi bahasa Sampit yang dapat dilihat dalam penelitian Penulis sebelumnya (2005). Sejak orang Bakumpai di Marabahan memeluk agama Islam, bahasa Melayu Banjar ini semakin intensif lagi digunakan sebagai salah satu identitas keislamannya dan sebagai sarana untuk menyejajarkan diri dengan orang Melayu Banjar (Ibrahim, dkk.1979) 9. Hal ini telah berlangsung lama sehingga terjadi perubahan bahasa karena dominasi Melayu Banjar yang menyebabkan generasi berikutnya dalam pemakaian bahasanya memperlihatkan Melayu Banjar sebagai bahasa ibunya. Oleh karena itu, kemungkinan status kemelayuan untuk BKM disebabkan karena penutur isolek Bakumpai di Marabahan sudah

6 6 memperlihatkan pengaruh-pengaruh bahasa Melayu yang signifikan di dalam bahasanya. Meskipun pengaruh-pengaruh itu sangat dominan, namun penentuan status kebahasaan harus mempertimbangkan masalah pinjaman atau serapan sebagai unsur yang komplimenter artinya walaupun pinjaman melayu itu sangat dominan akan tetapi BKM masih menyimpan unsur bahasa Dayak. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut. Tabel 1.1 : Data Evidensi Pengaruh Bahasa Melayu Banjar dan Pengelompokan Bahasa Bakumpai serta Unsur Kedayakan pada Ketiga Isoleknya. N o. Glos Proto Melayu Polynesia Proto Melayik Marabahan (BKM) Buntok (BKB) Puruk Cahu (BKP) Bahasa Dayak Ngaju (DNG) Bahasa Melayu Banjar (Bjr) 1 ekor *ikur *buntut buntut ikuh ikuh ikuh buntut 2 tipis *tipis *nipis nipis tipis tipis tipis nipis 3 tanya insek insek insek isek takun 4 isap *is p *(h)isap insep insep insep isep isap 5 babi *babuy *babi babui babui babui bawui babi 6 bibir *bibir *bibir bibih bibih biwih biwih bibir 7 tiga *t lu *tiga tilu tilu telu telu tiga 8 kami *kami *kami ikih ikih ikih ikei kami 9 masuk *tama *masuk tame tame tame tame masuk 10 tawa *ta-tawa *tawa tawe tawe tawe tawe tawa Keterangan : - Perwujudan leksikon Proto Melayu Polynesia dikutip dari Dempwolff ( ) yang direvisi Dyen (1971) dan Blust (1978) - Perwujudan kosakata Bakumpai dikutip dari Syahrial, dkk (1979); Kawi (1985) dan Ngabut, dkk (1985) - Perwujudan kosakata Dayak Ngaju dikutip dari Dempwolff ( ) ; Hudson (1967) dan Durasid (1990)

7 7 - Perwujudan kosakata Proto-Melayu dan Banjar dikutip dari data Nothofer (1975) dan Kawi (2002) Dari data 1 dan 2 di atas BKM memperlihatkan pengaruh bahasa Melayu Banjar yang signifikan karena bentuk leksikon buntut dan nipis tidak ditemukan dalam lingkungan kelompok isolek Bakumpai yang lain selain BKM. Dalam kenyataannya bentuk buntut dan nipis hanya direalisasikan oleh BKM dan Melayu Banjar. Data ini setidaknya memberi pertimbangan bahwa terjadi pengaruh atau proses peminjaman pada BKM karena bahasa Melayu Banjar pernah menjadi bahasa lingua franca. Bentuk buntut dan nipis merupakan unsur pewarisan dari Proto Melayu ke beberapa bahasa Melayu, sedangkan bentuk ikuh dan tipis merupakan leksikon yang berkembang dalam kelompok bahasa nonmelayu seperti Ngaju, Maanyan, Kenyah. Hal ini seperti yang diuraikan dalam diagram genetik-nya Kawi (2002) yang dikaji berdasarkan Proto Melayik-nya Adelaar (1985). Selanjutnya, data 3, 4, 5, dan 8 menunjukkan inovasi kognitif etimon Proto Melayu Polynesia (PMP) pada BKM, BKB dan BKP berupa epentesis nasal (data 3, 4 dan 5); retensi fonem /b/ (data 5). Hal ini membuktikan bahwa BKM merupakan anggota kelompok bahasa Bakumpai sama dengan dua isolek lainnya. Adapun data 9 dan 10 mencerminkan retensi etimon Proto Melayu Polynesia pada BKM dan dua isolek lainnya serta pada bahasa Dayak Ngaju. Walaupun data di atas tidak cukup, namun dapat dilihat bahwa BKM dalam data terbatas ini masih memperlihatkan kedayakannya.

8 8 Berdasarkan uraian di atas (khususnya data 1 dan 2) tidak mengherankan peta bahasa Wurm (1983) tentang BKM sebagai anggota subkelompok bahasa Melayu ini mendapatkan dukungan dari penelitian yang lebih kemudian, antara lain : Muhadjir (1997), Haenen dan Masinambow (2000) yang melihat BKM tanpa mempertimbangkan unsurunsur pinjaman yang dominan seperti uraian di atas. Namun demikian ada pula pendapat lain yang menjelaskan keeratan hubungan antara BKM dengan bahasa kelompok Dayak secara sinkronis yang berseberangan pula dengan pendapat Wurm di atas, seperti antara lain Ibrahim,dkk (1979) dan Kawi (1985). Hasil penelitiannya secara eksplisit menyatakan bahwa BKM merupakan anggota bahasa Dayak (lihat uraiannya dalam tinjauan pustaka). Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan bahasa Bakumpai umumnya hanya menggunakan satu tinjauan, yaitu hanya menguraikan hubungan kekerabatan bahasa dengan bahasa lainnya, atau hanya menguraikan hubungan kekerabatan dalam suatu bahasa. Namun, dalam penelitian ini akan dikaji BKM, BKB, dan BKP dan relasi antarisoleknya serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito. Selain itu, penelitian ini juga merekonstruksi prabahasa Bakumpai untuk memperoleh temuan linguistik sebagai evidensi yang diperlukan untuk menjelaskan perkembangan historis yang dialami isolek-isolek Bakumpai. Sesuai dengan uraian tersebut, maka keaslian penelitian ini tidak diragukan lagi.

9 9 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Peta bahasa Wurm (1983) mengelompokkan isolek Bakumpai di Marabahan sebagai anggota subkelompok Melayu, sedangkan Hudson (1967) tanpa ada pembedaan wilayah geografis mengindikasikan isolekisolek Bakumpai di daerah aliran sungai Barito sebagai anggota kelompok Barito Barat (nonmelayu). Untuk memperoleh kejelasan status isolek-isolek Bakumpai tersebut, sebagai tahap awal penelitian ini adalah menetapkan status dan menjelaskan relasi antarisolek Bakumpai, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Setelah status isolek-isolek Bakumpai dari hasil analisis kuantitatif diperoleh, dibuatlah suatu pengelompokan isolek-isolek Bakumpai yang didukung oleh evidensi-evidensi kualitatif berupa penyatu dan pemisah kelompok. Selanjutnya, agar hubungan kekerabatan antarisolek Bakumpai semakin jelas perlu pula direkonstruksi bentuk purba (asal) dari isolekisolek Bakumpai. Dengan diketahuinya bentuk purba isolek-isolek Bakumpai akan diketahui pula daerah inovasi dan daerah konservatif serta daerah asal dan arah migrasi isolek-isolek Bakumpai. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana hubungan antarisolek Bakumpai tersebut beserta hubungannya dengan bahasa lain dalam rumpun Barito. Dengan demikian, silsilah kekerabatan isolek-isolek Bakumpai dapat teruraikan mulai dari hubungannya dengan bahasa lain

10 10 dalam kelompok Barito sampai kepada hubungan di antara isolekisoleknya. Akhir dari penelitian ini adalah tersusunnya suatu bagan silsilah kekerabatan isolek Bakumpai mulai dari posisinya dalam subkelompok Barito sampai ke tataran dialek. Secara singkat permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah status isolek BKM, BKB, dan BKP? 2. Bagaimanakah rekonstruksi bentuk prabahasa (asal) isolek BKM, BKB, dan BKP? 3. Mengapa bentuk prabahasa Bakumpai dapat menjelaskan hubungan keseasalan isolek-isolek Bakumpai dengan bentuk asalnya? 4. Bagaimanakah hubungan antarisolek Bakumpai serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito? 1.3 Tujuan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian linguistik diakronis adalah kuantitatif dan kualitatif. Sehubungan dengan itu dan dengan memperhatikan pokok-pokok persoalan yang dikemukakan pada subbab 1.2 di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan status isolek BKM, BKB, dan BKP. 2. Mendeskripsikan bentuk prabahasa (asal) Bakumpai.

11 11 3. Menjelaskan kaitan bentuk prabahasa Bakumpai dengan keseasalan isolek-isolek Bakumpai. 4. Mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan antarisolek Bakumpai serta hubungannya dengan bahasa lain dalam subkelompok Barito? 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis hasil kajian ini bermanfaat sebagai referensi bagi kajian dialektologi dan linguistik historis komparatif untuk mengetahui status dan silsilah kekerabatan BKM, BKB, dan BKP. Selanjutnya, data-data kebahasaan dari penelitian ini bermanfaat pula untuk memverifikasi penelitian terdahulu tentang eksistensi Proto-Barito, sehingga dapat melengkapi entitas Proto-Barito yang lebih akurat atau terandalkan. Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk membina keharmonisan hubungan masyarakat yang terpisah oleh wilayah administratif maupun geografis. Bukti kekerabatan bahasa merupakan bukti kesamaan asal-usul yang dapat mempererat rasa persatuan. Selain itu, dari penelitian ini dihasilkan diagram pohon silsilah dan peta bahasa Bakumpai. Secara umum, manfaat peta bahasa adalah sebagai berikut (Lauder,1993:3-5): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi sehingga dapat dilihat kaidah fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) peta bahasa dapat lebih mempermudah rekonstruksi bahasa sehingga dapat

12 12 membantu bidang linguistik historis komparatif, (3) peta bahasa dapat melokalisasi konsep budaya tertentu sejauh konsep itu tercermin dalam kosakata, (4) peta bahasa sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah penyakit karena batas penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas bahasa/dialek (epidemi mudah berjangkit pada orang-orang yang sering melakukan kontak). Dalam hal ini, WHO pernah memanfaatkan peta bahasa untuk memprediksi peta penyebaran wabah penyakit menular (Kisyani-Laksono,2004:5). Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat bagi instansi yang terkait, misalnya pemerintah daerah, penyusun kurikulum (sebagai bahan pertimbangan penyusunan muatan lokal). 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan dipahami bahwa komunitas orang Bakumpai menyebar dari sungai Barito, Marabahan, kabupaten Barito Kuala (Kalimantan Selatan), Buntok dan Puruk Cahu (Kalimantan Tengah) sampai ke Long Iram Mahakam (Kalimantan Timur), sebagian lagi berada di sungai Katingan tepatnya di Tumbang Samba, Kalimantan Tengah. Dari sekian banyak daerah Bakumpai tersebut hanya Marabahan, Buntok dan Puruk Cahu yang akan dijadikan sasaran dalam penelitian ini. Mengenai tidak diambilnya beberapa daerah lainnya, disebabkan daerah-daerah Bakumpai itu

13 13 berasal/pindah dari salah satu daerah yang telah dijadikan sasaran penelitian. Penelitian ini akan bertolak dari kajian diakronis yang mengkaji bahasa Bakumpai dan dialek dialeknya dengan memanfaatkan teknik leksikostatistik untuk menyusun garis silsilah kekerabatan dan menjadi hipotesis kerja bagi rekonstruksi internal dalam rangka menetapkan prabahasa Bakumpai. Tataran kebahasaan yang dianalisis terutama tataran fonologi dan leksikon serta sebagian morfologinya yang dapat ditetapkan kaidah-kaidah perubahannya. Penekanan pada kedua bidang ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Chambers dan Trudgill (1980:46) bahwa bidang fonologi dan leksikon cukup menentukan dalam pengelompokan perbedaan bahasa. Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa perbedaan unsur kebahasaan dalam Bahasa Bakumpai modern lebih banyak ditemukan dalam bidang fonologi dan leksikon dibandingkan dengan tataran kebahasaan lainnya. Selain itu, kajian diakronis akan mengklarifikasi daerah asal dan daerah sebaran bahasa Bakumpai berdasarkan evidensi kebahasaan. Kaidah-kaidah perubahan fonologis juga mendapat perhatian dalam kajian kualitatif yang memanfaatkan rekonstruksi deduktif Proto Barito karya Hudson. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan Proto Melayu Polynesia karya Dempwolff ( ). Kajian tersebut dimaksudkan untuk mengamati hubungan bahasa Bakumpai dengan bahasa-bahasa anggota Proto-Barito lainnya.

14 Tinjauan Pustaka Kajian terhadap BKM, BKB dan BKP secara diakronis dilakukan karena kajian tentang hubungan bahasa-bahasa berkerabat di Kalimantan Selatan dan Tengah belum dilakukan dengan baik, terutama hubungan antara bahasa Dayak kelompok Barito. Hal itu dapat dilihat dalam kajian Cense dan Uhlenbeck (1958) berjudul Critical Survey of Studies on the Languages of Borneo, sama sekali tidak menyebut bahasa Bakumpai. Memang banyak dijelaskan mengenai bahasa Dayak Ngaju, baik mengenai studi strukturnya maupun daftar pustaka yang ada yang kebanyakan hasil karya sebelum Perang Dunia II, namun mengenai bahasa Bakumpai tidak disinggung-singgung. Dalam klasifikasi etnis, seperti yang dikemukakan oleh Mallinckrodt (via Hudson,1967:4), kelompok penutur Bakumpai dimasukkan ke dalam kelompok Melayu berdasarkan agama yang mereka anut. strictly speaking, this tribe which consists of devout moslems does not belong here. However, by descent they do (Hudson,1967:4). Pendapat dari Sellato (1980) tidak berbeda dengan Mallinckrodt, yang mencampur adukan antropologi dan linguistik yaitu menyoroti hubungan antara etnik dengan agama dan sekaligus dikaitkan dengan bahasa. Jadi, sub etnik Marabahan dilihat sebagai orang yang beragama Islam dan berbahasa Melayu. Pendapat Mallinckrodt dan Sellato itu kemudian diterima secara utuh oleh Wurm (1983) tanpa pertimbangan yang memadai. Hal ini terlihat

15 15 dalam peta bahasanya, karena isolek-isolek Bakumpai yang berada di wilayah Kalimantan Tengah yakni Buntok dan Puruk Cahu bersama dengan bahasa Katingan, dan Kahayan dikelompokkan sebagai anggota subkelompok Barito Barat dalam kelompok keluarga bahasa Ngaju atau Barito. Adapun isolek Bakumpai di Marabahan digolongkan sebagai anggota subkelompok Melayu. Pendapat Wurm ini mendapat dukungan pula dari penelitian yang lebih kemudian yaitu dari Muhadjir (1997) dan dari Haenen dan Masinambow (2000) yang menjelaskan hal yang sama, tanpa pertimbangan kritis. Hal ini tampak dalam karya baik Muhadjir maupun Haenen yang tidak membedakan unsur-unsur serapan dan unsur-unsur asli ketika membicarakan isolek Bakumpai di Marabahan. Adapun berdasarkan sejarah, masalah kontak bahasa isolek Bakumpai dengan etnis/suku lain ini telah dijelaskan oleh Ras (1968) yang menginformasikan Marabahan sebagai bekas daerah pelabuhan dan pusat perdagangan, maka paling sedikit sejak lebih dari dua abad yang lalu orang Bakumpai Marabahan telah menjalin hubungan yang erat dengan berbagai etnis lain di Nusantara terutama sekali dengan orang Melayu Banjar karena termasuk daerah kawasan kerajaan Melayu Banjar. Hudson (1967:11) membuat suatu klasifikasi skematis tentang bahasabahasa kelompok Barito dengan memasukkan isolek Bakumpai bersama 5 (lima) bahasa lainnya, yaitu Kapuas, Baamang, Katingan, Kahayan, Mengkatip ke dalam satu subkelompok yang dinamakan Southwest Barito

16 16 tanpa sama sekali menyinggung isolek Bakumpai di Marabahan. Tampaknya Hudson menghindari persoalan pengelompokan isolek Bakumpai Marabahan yang oleh para sarjana lain digolongkan sebagai anggota subkelompok Melayu. Adapun tanda-tanda kedekatan antara isolek Bakumpai di Marabahan dengan kelompok bahasa Dayak dapat dilihat berdasarkan beberapa hasil kajian berikut ini. Dari sudut mitologi ada kedekatan cerita rakyat yang ada dalam masyarakat Marabahan dan Dayak di Barito lainnya yang memandang Patih Bahandang Balau Patih Berambut Merah sebagai leluhur bersama (Riwut,2003). Cerita ini dapat memperjelas hubungan antara Marabahan dengan kelompok Dayak kolektif lainnya. Karya Budhi (2005) menegaskan pula tentang hubungan etnik Bakumpai di Marabahan dengan Dayak. Masih dipeliharanya tradisi leluhur berupa upacara ritual Badewa dan Manyanggar Lebo 10 dengan menggunakan bahasa ritual yang sama untuk menjalin hubungan dengan para leluhur mereka merupakan bukti silang lain dari sudut budaya. Budaya Bakumpai di Marabahan yang peduli terhadap tradisi ini mengukuhkan pertalian antarbahasa dan budaya Bakumpai di Marabahan yang terintegrasi dengan budaya Dayak. Bukti sejarah yang mengukuhkan pula kedekatan hubungan antara bahasa dan budaya Dayak dengan isolek Bakumpai di Marabahan

17 17 diperlihatkan melalui Batu Bertulis atau Batu Antik Lada 11 di desa Saripoi, kecamatan Sumber Barito Kalimantan Tengah, yang menggambarkan kisah suci pohon kehidupan Batang Garing dan Betang (rumah panggung) 12, seperti diulas dalam karya Budhi (2005). Hal itu didukung pula oleh hasil kajian Budhi (dalam Badil,2005) dalam tim gabungan ekspedisi Menjejak Benteng Akhir Budaya Dayak, dihasilkan bahwa bahasa Bakumpai di Marabahan masih serumpun dengan etnis Dayak lainnya yang menyebar hingga ke hulu sungai Barito melewati Batu Ayau 13 yang ada kaitannya dengan budaya ayau atau mengayau 14, memenggal kepala manusia ( on line 09 Juli). Selain itu suku bangsa Bakumpai merupakan suku bangsa kelompok dengan keahlian utama berdagang di daerah sungai, yang hidup menyebar dari Marabahan sampai ke daerah hulu sungai Barito (Arman,1994). Sekilas penjelasan Arman menuntun pada dugaan yang masih harus dikaji melalui penelitian ini mengenai daerah relik, asal, dan daerah sebaran bahasa Bakumpai yang biasanya dalam kajian linguistik diakronis cenderung mendapat perhatian para linguis. Selanjutnya, berdasarkan kajian antropologis terhadap suku Dayak di Kalimantan, Riwut (1979; 1984; dan 2003) juga menyatakan bahwa isolek Bakumpai 15 sebagai anggota kelompok bahasa Dayak digunakan oleh suku Dayak Bakumpai yang wilayah pemakaian bahasanya sebagian besar berada di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi Kalimantan Tengah dan Selatan. Walaupun tanpa menyebutkan isolek-isolek

18 18 Bakumpai yang ada, namun secara tersurat Riwut sudah beranggapan bahwa isolek Bakumpai yang berada di seluruh daerah pemakaian yang ada merupakan anggota kelompok Dayak. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu isyarat asumsi kedekatan isolek Bakumpai di Marabahan dan Dayak. Sejauh ini memang telah ada beberapa penelitian dalam bidang dialek geografis yang mengambil objek isolek Bakumpai di Kalimantan Tengah, yaitu : (a) dilakukan oleh Ngabut,dkk (1985) dengan judul: Dialek Bahasa Daerah Di Kabupaten Barito Selatan, dan (b) dilakukan oleh Andianto (1990) dengan judul: Pemetaan Bahasa Daerah Di Kalimantan Tengah. Kedua penelitian tersebut didukung oleh Pusat Bahasa. Penelitian Ngabut,dkk (1985) pada dasarnya merupakan penelitian dialektologi pada bahasa-bahasa yang ada di Kabupaten Barito Selatan. Salah satu objek yang dikaji adalah isolek Bakumpai di Buntok. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan mengenai isolek Bakumpai di Buntok sehubungan dengan hasil penelitian itu, sebagai berikut. a. Penelitian ini masih belum dapat memberikan gambaran yang jelas tentang isolek Bakumpai di Buntok, karena analisis yang kurang cermat. Berdasarkan perhitungan dialektometri yang dilakukan, isolek Bakumpai di Buntok ini dianggap memiliki hubungan subdialek dengan bahasa Ngaju. Demikian pula, penyatuan kelompok Bakumpai dan Dayak Ngaju dengan masingmasing dialeknya merupakan dialek-dialek berdiri sendiri. Pernyataan tersebut bahkan semakin membingungkan.

19 19 b. Penyatuan kelompok keduanya dalam satu kelompok seperti yang dilakukan Ngabut, dkk (1985) tersebut disebabkan oleh kurang representatifnya data yang digunakan. Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa data yang digunakan kurang representatif karena ketika peneliti mewawancarai informan, unsur-unsur leksikal yang ditanyakan itu tidak disertai dengan konteksnya. Sebagai contoh, untuk makna daging oleh penutur bahasa Ngaju dan isolek Bakumpai di Buntok direalisasikan dengan bentuk /isi/ (Ngabut dkk., 1985). Jika makna daging yang ditanyakan itu adalah daging buah, maka penutur bahasa Dayak Ngaju akan menjawab dengan bentuk /lunek/ ; sedangkan bentuk /isi/ digunakan untuk bentuk netral untuk makna daging baik untuk buah ataupun manusia. c. Hal lain yang cukup menarik dikemukakan sehubungan dengan penelitian dialek geografis yang dilakukan Ngabut dkk. (1985) tersebut, meskipun kajiannya berwawasan sinkronis, namun penelitian ini mengisyaratkan bahwa isolek Bakumpai di Buntok merupakan isolek yang memiliki daerah pemakaian yang cukup luas di Buntok. Daerah pemakaian isolek Bakumpai di Buntok yang sudah ditetapkan oleh Ngabut dkk. ini dapat dijadikan sebagai dasar penentuan salah satu daerah penelitian di Buntok. Kemudian, penelitian dialektologi yang dilakukan oleh Andianto (1990) yang menggunakan tinjauan tipologi sinkronis, menginformasikan bahwa

20 20 secara umum penelitian ini hanya sampai pada identifikasi jumlah bahasa dan pemetaan lokasi pemakaian bahasa di Kalimantan Tengah. Menurutnya Bakumpai merupakan salah satu bahasa dari 26 bahasa di Kalimantan Tengah. Bahasa Bakumpai dalam penelitian Andianto ini merupakan dialek-dialek bahasa Bakumpai yang ada di Buntok dan Puruk Cahu, yang di dalam disertasi ini dibahas selain bahasa Bakumpai di Marabahan. Walaupun Andianto telah berhasil mengidentifikasi bahasabahasa daerah dan lokasi pemakaiannya di Kalimantan Tengah, sejauh ini tidak dijelaskan bahasa yang digunakan sebagai linguafranca antarpenutur bahasa sebagai media komunikasi. Selanjutnya, penelitian Poerwadi,dkk (1992/1993) yang berjudul Perbandingan Bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, yang memanfaatkan metode leksikostatistik sebagai tekniknya membuat kesimpulan berkaitan dengan pengelompokan bahasa dan dialek di Kalimantan Tengah, yang di antaranya menjelaskan bahwa ada daerah bahasa Bakumpai di Buntok dan Puruk Cahu. Ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan sehubungan dengan hasil penelitian Poerwadi,dkk (1992/1993), yaitu sebagai berikut. a. Penelitian ini belum dapat memberikan gambaran tentang bahasa Bakumpai dengan daerah-daerahnya secara memadai. Walaupun sudah didukung oleh hasil penghitungan kuantitatif, namun persoalan hubungan antara bahasa Bakumpai dan daerahdaerahnya, serta hubungan daerah-daerah itu dengan bahasa induk (prabahasanya) belum dapat terungkapkan karena belum

21 21 dilakukannya penelusuran berdasarkan bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi yang merupakan upaya penemuan bukti penguat pengelompokan bahasa yang diperbandingkan. b. Kekeliruan terjadi dalam kesimpulan perhitungan leksikostatistik pada bahasa-bahasa yang diteliti oleh Poerwadi,dkk (1992/1993) menganggap bahwa hasil perhitungan leksikostatistik 80% sebagai berbeda dialek, padahal 81% ke atas-lah isolek-isolek itu dianggap sebagai dialek yang berbeda dari bahasa yang sama (periksa Crowley,1992:170). c. Tidak dilampirkannya daftar kosakata bahasa-bahasa/dialek-dialek yang diteliti, dapat mempersulit pembaca untuk melakukan pengecekan ulang terhadap hasil-hasil perhitungan yang dipaparkan Poerwadi dkk. (1992/1993). d. Berdasarkan penghitungan kuantitatif yang dirumuskan dalam diagram pohon kekerabatan bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Poerwadi dkk. (1992/1993) cukup berhasil menghipotesiskan bahwa adanya sebuah protobahasa yang menurunkan Bahasa Ngaju modern yang disebutnya proto-mentaya-bakumpai-ngaju. Ihwal penyebutan proto-mentaya-bakumpai-ngaju sebenarnya bertentangan dengan hasil penelitian itu sendiri, karena antara isolek Mentaya, Bakumpai dan Ngaju terdapat hubungan yang bersifat dialek dari bahasa yang sama, dengan persentase persamaan 82%.

22 22 Kenyataan di atas, menunjukkan bahwa baik penelitian dialek geografis maupun pengelompokan bahasa berdasarkan penghitungan leksikostatistik belum sepenuhnya dapat menjelaskan ihwal bahasa Bakumpai beserta dialek-dialeknya di Kalimantan Tengah secara memadai. Adapun penelitian Ibrahim, dkk (1979) tentang Bahasa Bakumpai mencakup aspek sinkronis yang meliputi sistem fonologi, morfologi dan sintaksisnya dengan mengambil objek pengamatan daerah berpenutur bahasa Bakumpai yang ada di Marabahan Kecamatan Bakumpai Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan penelitian Ibrahim, dkk (1979) Kawi (1985) menyusun Kamus Bakumpai- Indonesia. Selanjutnya, Ibrahim, dkk (1995) telah berhasil pula menyusun Kamus Bahasa Indonesia-Bakumpai. Dalam hasil penelitian secara sinkronis baik Ibrahim,dkk maupun Kawi menganggap bahwa bahasa Bakumpai di Marabahan merupakan dialek bahasa Bakumpai yang menjadi anggota kelompok bahasa Dayak. Laporan penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan data sekunder. Penelitian Suryadikara,dkk (1981:14) yang berjudul Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, pada dasarnya merupakan penelitian dialektologi yang disasarkan pada bahasa Banjar Hulu, namun ada disebutkan bahwa bahasa Bakumpai yang digunakan oleh penuturnya di Provinsi Kalimantan Selatan tepatnya berada di Kabupaten Barito Kuala dengan ibukotanya Marabahan, adalah salah satu dialek bahasa Ngaju.

23 23 Pada tahun yang sama, lebih jauh dalam penelitiannya Hapip (1981:10) menyebutkan Kabupaten Barito Kuala yang terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan yaitu kecamatan Bakumpai, Cerbon, Rantau Badauh, Belewang, Anjir Muara, Anjir Pasar, Alalak, Mandastana, Tabunganen, Tamban dan Kuripan merupakan kabupaten yang unik karena merupakan wilayah penutur bahasa Bakumpai, bahkan merupakan inti wilayah bahasa Bakumpai di Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi penentuan salah satu titik pengamatan bahasa Bakumpai di Marabahan. Kawi (2002:73) berdasarkan kombinasi hasil penghitungan antara berkas isoglos dan penghitungan dialektometri di Provinsi Kalimantan Selatan memperkirakan terdapat 5 (lima) kelompok bahasa, adapun bahasa Bakumpai sebagai salah satu bahasa yang digunakan oleh penuturnya di bagian barat daya Provinsi Kalimantan Selatan berbeda dengan bahasa Banjar. Penelitian ini menyiratkan bahwa isolek Bakumpai di Marabahan adalah bukan anggota subkelompok Melayu. Yayuk, dkk (2005:4) dalam penelitiannya yang berjudul Mantra Banjar, menyinggung sedikit tentang Bakumpai di Marabahan. Dikatakannya bahwa Bakumpai adalah salah satu etnis besar yang ada di Kalimantan Selatan, selain Melayu, Ngaju, Maanyan, Bukit, Dusun Denyah, Abal dan Lawangan, Bajau, dan Bugis. Walaupun dalam pernyataan yang disebutkan oleh Yayuk dkk. ini tidak menyinggung isolek Bakumpai yang ada, namun hal ini memberikan isyarat bahwa Bakumpai adalah bahasa yang mandiri.

24 24 Penelitian Baduani (2005) yang berjudul Bahasa Bakumpai : Struktur dan Identitas tidak menyebutkan secara jelas lokasi objek penelitian. Satu hal yang menarik adalah dijelaskan seluruh lokasi penutur isolek Bakumpai baik yang berada di Kalimantan Tengah dan Selatan beserta jumlah penuturnya. Diperkirakan penutur isolek Bakumpai yang menyebar di perkampungan sepanjang daerah aliran sungai Barito yang termasuk wilayah Kalimantan Tengah berjumlah ± jiwa yang meliputi daerah-daerah isolek Bakumpai di kabupaten Barito Selatan dengan ibukotanya Buntok, kabupaten Barito Utara ibukotanya Muara Teweh, dan ditambah dengan kabupaten Murung Raya di Puruk Cahu. Adapun jumlah penutur isolek Bakumpai yang berada di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan tidak disebutkan dengan jelas hanya diperkirakan 90% dari jumlah penduduk ± jiwa di tiga kecamatan yaitu kecamatan Bakumpai, Kuripan dan Tabukan Kabupaten Barito Kuala. Penelitian terakhir yang berkaitan dengan bahasa Bakumpai dilakukan Tim Pusat Bahasa (2008) yang memanfaatkan metode dialektometri sebagai tekniknya. Hasil persentase penghitungan dialektometri antara bahasa Bakumpai yang terdapat di Desa Batik Kecamatan Bakumpai Kabupaten Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan dengan bahasa Bakumpai yang terdapat di Desa Rangga Ilung dan Desa Kalanis Kecamatan Dusun Hilir Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah sebesar 24,43% (beda wicara). Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Bakumpai yang terdapat kedua provinsi tersebut merupakan bahasa yang sama.

25 25 Penelitian ini belum dapat memberikan gambaran tentang bahasa Bakumpai dengan daerah-daerahnya secara memadai. Walaupun sudah didukung oleh hasil penghitungan kuantitatif, namun persoalan hubungan antara isolek Bakumpai dan daerah-daerahnya, serta hubungan daerahdaerah itu dengan bahasa induk (prabahasanya) belum dapat terungkapkan karena belum dilakukannya penelusuran berdasarkan bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi yang merupakan upaya penemuan bukti penguat pengelompokan bahasa yang diperbandingkan. Dengan demikian, berdasarkan tinjauan pustaka di atas, jika dilihat dari sudut wilayah, pemakaian isolek Bakumpai lebih banyak dipergunakan di sepanjang perkampungan sungai Barito Kalimantan Tengah daripada wilayah pemakaian isolek Bakumpai di daerah Marabahan Provinsi Kalimantan Selatan. Di samping itu pula, walaupun jarak dari suatu perkampungan ke kampung lain di kedua wilayah bisa dilewati dengan transportasi darat namun jika musim hujan maka transportasi hanya dapat dijalani lewat perairan sungai. Oleh karena keadaan wilayah yang cukup luas dan tipe geografi yang berbeda-beda serta rintangan alam mendorong tumbuhnya daerah-daerah dan isolek Bakumpai dengan berbagai variasinya sesuai dengan pengaruh dari lingkungannya tersebut. Penelitian Relasi Bahasa Bakumpai Di Marabahan Dengan Bahasa Bakumpai di Buntok Dan Puruk Cahu ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam penelitian ini diuraikan silsilah bahasa Bakumpai mulai dari dialek hingga pada posisi bahasa Bakumpai

26 26 dalam kelompok Barito. Selain itu, khusus untuk bahasa Bakumpai belum ada kajian spesifik yang menerapkan tinjauan linguistik historis komparatif secara komprehensif memadukan dua pendekatan kuantitatif dan kualitatif. 1.7 Kerangka Teori Penelitian ini merupakan kajian linguistik historis komparatif terhadap persoalan relasi diakronis BKM,BKB, dan BKP, yang dapat dibuktikan melalui analisis unsur-unsur warisan dari prabahasa pada lokasi persebaran bahasa Bakumpai (Fernandez,1996; Hock,1988). Oleh sebab itu, sebagai bagian awal perlu dibahas pengertian linguistik historis komparatif sebagai landas tumpunya. Pembahasan kerangka teori selanjutnya akan berkaitan dengan hal-hal yang terdapat dalam rumusan masalah Linguistik Historis Komparatif Linguistik historis komparatif adalah cabang dari linguistik (teoretis) yang menyelidiki perkembangan bahasa/dialek dari suatu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perbandingan suatu bahasa/dialek dengan bahasa/dialek lain (Mahsun, 2014:60; Kridalaksana,2009; Keraf,1991). Linguistik historis komparatif merupakan subbidang linguistik yang mengkaji variasi bahasa dengan tujuan pengelompokan varian-varian itu dan menemukan relasi historis antarvarian yang terdapat dalam kelompokkelompok tersebut (Kiparsky,2015). Dengan demikian, subbidang linguistik inilah yang dikategorikan sebagai kajian linguistik yang bersifat diakronis atau disebut pula linguistik diakronis.

27 27 Ada dua pandangan pokok yang dipedomani dalam linguistik diakronis dalam menjalankan kerja akademisnya, yaitu pandangan yang terkait dengan asumsi yang dibangun hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste,1979:17; Hock,1988). Hipotesis keterhubungan berasumsi bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek itu, pada dasarnya, berhubungan satu sama lain karena semua bahasa/dialek yang ada berasal dari satu bahasa induk (protobahasa atau prabahasa). Oleh karena berasal dari satu bahasa induk, maka kerja perbandingan haruslah ditujukan pada upaya menjelaskan adanya persamaan antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda tersebut. Selain itu, karena berasal dari satu bahasa induk, maka pada bahasa-bahasa atau dialekdialek turunan akan dijumpai unsur-unsur pewarisan bahasa purba (bentuk relik, baik berupa retensi maupun bentuk inovasi fonologis). Unsur-unsur pewarisan itu memiliki ciri kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu kemiripan bentuk yang diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna ini biasa disebut kosakata seasal (cognate set). Kata-kata ini bukan sebagai pinjaman, bukan juga sebagai kebetulan atau kecendrungan semesta, melainkan sebagai warisan dari bahasa awal yang sama (Durasid,1990:16). Adapun hipotesis keteraturan, dimaksudkan bahwa rekonstruksi bahasa induk dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bahasa yang bersifat teratur. Diasumsikan bahwa

28 28 setiap (bentuk) bunyi dari suatu bahasa atau dialek akan berubah dengan cara yang sama pada tiap keadaan dan kejadian yang sama. Meskipun harus dicatat bahwa perubahan tidak selamanya berlangsung secara teratur, ada unsur-unsur kebahasaan (leksikon) tertentu yang berubah secara sporadis, karena setiap kata dalam bahasa atau dialek memiliki sejarah sendiri-sendiri. Oleh karena itu, melalui asumsi ini para ahli komparatif berupaya mengkaji kata-kata yang mempunyai arti yang sama dari berbagai bahasa atau dialek yang diperkirakan berasal dari satu induk bahasa dengan harapan dapat menemukan hubungan bunyi untuk dilakukan rekonstruksi bahasa purbanya. Arah perubahan bunyi dalam bahasa tidak dapat diramalkan. Akan tetapi ini tidak berarti perubahan tidak terkendali. Kendalinya adalah bahwa akhirnya hasil perubahan itu harus mampu menjadi sarana penyampai ujaran secara efisien dan mudah dikelola. Hal ini terkait dengan kaidah perubahan bahasa seperti dikemukakan dalam karya Poedjosoedarmo (2006:8). Berlandaskan pada dua asumsi keterhubungan dan keteraturan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka bahasa-bahasa di dunia ini (termasuk dialek-dialek dari bahasa itu) di samping dapat dikelompokkelompokan ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, juga dapat pula diperlihatkan keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok lain pada tataran yang lebih tua sejarahnya, karena pada bahasa-bahasa/dialekdialek itu masih dapat ditelusuri adanya evidensi pewarisan bahasa purba.

29 29 Kenyataan di atas selain memungkinkan untuk dilakukan pengelompokan populasi manusia penutur bahasa (dialek) juga dapat dilakukan penelusuran keterhubungan satu dengan lainnya dalam mata rantai persebaran populasi etnis/subetnis Perbedaan Unsur Kebahasaan Deskripsi perbedaan unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik (Keraf,1991:23). Dalam penelitian ini deskripsi perbedaan unsur kebahasaan lebih difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon mengingat dua perbedaan ini yang paling penting dibahas dalam melihat hubungan kekerabatan di antara isolek-isolek yang dibandingkan. Dalam kajian linguistik komparatif pada prinsipnya analisis tataran fonologi dan leksikal dapat dilakukan tanpa mengacu pada tataran lain (morfologi dan sintaksis). Seperti diungkapkan Dyen (1978:35) dan Bynon (1979:25) telaah tataran fonologi dan penemuan kaidah korespondensi fonem dapat ditetapkan jika tersedia data yang memadai. Konsep-konsep kajian linguistik diakronis serupa itu telah ditekankan ulang oleh Hock (1988:573) bahwa perubahan pada tataran fonologis dan leksikal yang lazim digunakan dalam kajian komparatif yang bermanfaat untuk menetapkan hubungan antardialek, yang memungkinkan direkonstruksi suatu prabahasa.

30 30 Perbedaan fonologi menyangkut perbedaan bunyi yang dapat muncul secara teratur disebut sebagai korespondensi dan dapat pula muncul secara sporadis disebut sebagai variasi (Mahsun,1994:27). Namun demikian, ada kalanya perubahan fonologis yang dikategorikan sebagai perubahan yang muncul secara tidak teratur di atas, kadang-kadang dalam bahasa tertentu muncul sebagai perubahan teratur (Hock,1988: ; Mahsun,1994:9). Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut sebagai korespondensi bunyi (Mahsun,1995:30). Korespondensi bunyi terjadi dalam beberapa tingkatan yaitu : 1) korespondensi sangat sempurna maksudnya adalah jika perubahan bunyi itu terjadi pada semua data yang disyarati secara linguistik dan daerah sebaran secara geografisnya sama; 2) korespondensi sempurna, jika perubahan bunyi itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistis, namun beberapa data memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama; 3) korespondensi kurang sempurna, jika perubahan bunyi itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati secara linguistis, namun sekurang-kurangnya terdapat dua data yang memiliki sebaran geografis yang sama. Berdasarkan uraian di atas ada dua hal yang patut diperhatikan dalam penentuan status kekorespondensian suatu kaidah, yaitu :

31 31 1) mengetahui kaidah-kaidah perubahan yang terjadi di antara daerah-daerah pengamatan 2) mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi tersebut. Adapun perubahan bunyi yang berupa variasi dapat berupa bermacammacam perbedaan bunyi yang muncul pada satu atau dua kosakata saja. Perbedaan yang berupa variasi menurut Jeffers dan Lehiste (1979: 64-67) dapat berupa : paduan (merger), pisahan (split), monoftongisasi (monophthongization), diftongisasi (diphthongization), delisi (deletion), penambahan, penanggalan parsial, asimilasi, disimilasi, dan metatesis (bandingkan Poedjosoedarmo, tanpa tahun; Keraf,1984:79-83; Crowley,1987:26-47; Hock,1988:62-117; Lehman,1973: dalam Mahsun,1994:29 dan Schendl,2003:45-53). Selain itu, adakalanya pada perubahan fonologis yang diperlukan untuk kejelasan lambang akan muncul perpanjangan demi perimbangan (compensatory lengthening) (Poedjosoedarmo,1998:5). Dalam kajian linguistik diakronis compensatory lengthening ini merupakan suatu jenis perubahan sporadis yang terjadi ketika menghilangnya sebuah fonem baik konsonan ataupun vokal menyebabkan vokal atau konsonan yang berada di dekatnya mengalami perpanjangan (Collins,1978 periksa pula Keraf,1984:86 ; Poedjosoedarmo,2003:58).

32 32 Pemicu lain selain yang telah disebutkan di atas terjadinya perubahan bahasa adalah faktor migrasi (Keraf,1984:173). Perpisahan penutur suatu bahasa dengan jarak yang cukup jauh mengakibatkan semakin besarnya perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kelompok penutur bahasa tersebut dan memberikan peluang munculnya bahasa/dialek baru. Walaupun demikian, unsur-unsur asli bahasanya masih dapat ditelusuri melalui penelususran hubungan kekerabatan dan kesejarahan bahasabahasa tersebut Protobahasa atau Bahasa Purba atau Prabahasa Hubungan kekerabatan antarbahasa sekerabat dapat dibuktikan melalui unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa sebagaimana dijelaskan Fernandez (1996:21). Secara teoritis, protobahasa adalah rakitan teoretis yang dirancang bangun kembali dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan kesejarahan, melalui kaidah-kaidah yang sederhana (Bynon,1979:71). Protobahasa merupakan rakitan yang teoretis-hipotesis dan merupakan suatu bangunan bahasa yang diasumsikan pernah hadir. Rakitan ini diterima sebagai prototipe bahasa seasal (Haas,1966:14). Protobahasa ini walaupun hanya diterima sebagai rakitan, namun protobahasa ini merupakan fakta hubungan keseasalan. Melalui protobahasa pula, perubahan dan penelusuran unsur-unsur dan sistem bahasa yang hidup pada masa kini dapat ditelusuri dan dijelaskan secara sistematis (Mbete,1990:14).

33 33 Adapun istilah bahasa purba menurut Rohaedi (2007) lebih tepat dianggap sebagai bahasa duga atau bahasa yang pada bahasa lampau diduga bentuknya memang demikian. Bahasa purba hampir tidak pernah digunakan. Bahasa purba lebih sesuai disebut sebagai bahasa duga, yaitu bahasa yang wujudnya pada masa lampau diduga memang demikian. (2007:100). Blust (1988) mengemukakan bahwa dalam tradisi linguistik historis komparatif, bahasa purba (a proto-language) memiliki definisi sebagai berikut: a proto-language is a hypothetical ancestor of a group of attested languages which is inferred, or reconstructed, on the basis of systematic similarities among its attested descendants or daughter languages (1988:28). Bahasa purba adalah sebuah bahasa hipotesis induk dari sejumlah bahasa yang terbukti berkerabat, yang disimpulkan atau direkonstruksi berdasarkan perbedaan-perbedaan sistematis dari bahasa-bahasa yang berkerabat itu. Di sini, Blust berpendapat bahwa bahasa purba dapat direkonstruksi atau dihasilkan dengan melihat perbedaan-perbedaan sistematis dari bahasa-bahasa yang ada sekarang, yang diasumsikan berkerabat. Artinya bahasa ini merupakan bahasa asumsi yang dihasilkan atas dasar asumsi (kekerabatan) pula. Adapun istilah prabahasa merupakan istilah yang terbentuk dari gabungan dua morfem, yaitu morfem afiks {pra-} dan morfem dasar bahasa. Oleh karena itu, prabahasa merupakan bahasa pendahuluan dalam artian sebuah bahasa yang dihipotetiskan digunakan sebagai cikalbakal dari bahasa modern yang ada sekarang ini dan direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal atau subdialektal (Mahsun,1995:82).

34 Rekonstruksi Bahasa Rekonstruksi merupakan pembentukan kembali unsur bahasa yang telah hilang melalui bentuk atau gejala pada bahasa-bahasa turunan. Rekonstruksi merupakan metode yang digunakan untuk memeroleh fonem atau morfem proto dari suatu kelompok bahasa berkerabat, yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba, yang sama sekali tidak memiliki naskah tertulis (Murmahyati, 2002). Selain itu rekonstruksi bahasa menurut Crowley (1992) adalah perkiraan tentang kemungkinan bentuk proto-bahasa dengan menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi di antara protobahasa dengan bahasa bahasa berkerabat yang diturunkannya. Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari bawah ke atas (bottom-up) dan dari atas ke bawah (top-down). Kedua teknik rekonstruksi ini pertama kali dikembangkan oleh Dempwolff ( ) dan diterapkan dalam karangannya Austronesisches Worterverzeichmis untuk menemukan kekerabatan dan merumuskan protobahasa Austronesia (Pawley and Ross,1993:429). Rekonstruksi dari atas ke bawah adalah rekonstruksi dengan melihat refleks protobahasa ke bahasa-bahasa modern. Rekonstruksi dari atas ke bawah ini biasanya bersifat deduktif. Tujuannya untuk mencari cerminan atau refleks dari bahasa proto pada bahasa-bahasa turunannya. Sedangkan rekonstruksi dari bawah ke atas bersifat induktif, biasanya

35 35 digunakan untuk mengelompokkan bahasa pada peringkat yang lebih rendah ke arah peringkat yang lebih tinggi Inovasi, Retensi, dan Relik Hubungan kekerabatan antarbahasa sekerabat harus dapat dibuktikan oleh bukti kualitatif berupa inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared innovations) yang dimiliki oleh kelompok bahasa tersebut (Mahsun,1995:86). Inovasi merupakan perubahan atau pembaharuan unsur-unsur kebahasaan baik fonologis maupun leksikon yang memperlihatkan kaidah yang berlaku (Anderson, 1979:104). Di bidang fonologi pembaharuan itu berkaitan dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosakata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa (Fernandez,1996:22). Inovasi fonologis terlihat dalam bentuk perubahan yang menyangkut jumlah dan distribusi fonem yang merupakan dasar dari berbagai tipe perubahan, seperti pelesapan seutuhnya (complete loss), pelesapan sebagian (partial loss), paduan seutuhnya (complete merger), paduan sebagian (partial merger), pembelahan (split), penambahan (excrescence), dan sebagainya (Anttila, 1989:69-70). Istilah retensi pada dasarnya merupakan bentuk yang dimiliki protobahasa baik berupa fonem atau leksem yang tetap mempunyai bentuk, dan makna yang sama pada bahasa turunannya. Konsep ini merujuk pada beberapa pendapat para ahli bahasa seperti Anderson (1979:103) dan Crowley (1992:164) menyebutkan retensi adalah unsur warisan, baik

36 36 bentuk maupun makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan sama dengan yang terdapat pada protonya. Pendapat yang senada dikemukakan Greenberg (dalam Fernandez, 1996) bahwa retensi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang tidak mengalami inovasi atau perubahan pada bahasa sekarang. Selain itu dikenal pula istilah lain yang memiliki kesamaan pengertian dengan retensi yaitu relik. Perbedaan dua istilah ini hanya pada acuannya saja, retensi mengacu kepada bentuk protobahasa dan relik bila mengacu kepada bentuk prabahasa. Baik unsur retensi maupun unsur relik secara kuantitatif dan kualitatif dapat diamati pada bahasa dan dialek. Terminologi relik atau retensi dioposisikan dengan inovasi dalam kajian diakronis. Sebagaimana tingkat penampakkan unsur relik atau retensi, penampakan unsur inovasi pada bahasa atau dialek pun berbeda. Nothofer (1987:135) menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang tidak ada unsur lama (retensi atau relik) dan inovasinya. Bahasa yang memiliki lebih banyak unsur lama daripada inovasi disebut sebagai bahasa lama atau asli atau konservatif, sedangkan bahasa yang mengandung lebih banyak inovasi daripada unsur lama, disebutnya bahasa pembaharuan atau inovatif. Kepemilikan unsur relik dan inovatif mencerminkan adanya dinamika perkembangan bahasa. Ini menjadi bukti empiris bagi kajian diakronis. Pembahasan unsur inovasi dan retensi berhubungan dengan usaha penelusuran evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti. Evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Dialektologi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri dalam suatu masyarakat. Berbagai status sosial dan budaya dalam masyarakat sangat memengaruhi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa-bahasa yang hidup dewasa ini tidak muncul begitu saja. Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami perjalanan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Linguistik Historis Komparatif Linguistik historis komparatif adalah cabang ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7).

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7). Dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI. isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi.

BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI. isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi. BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Penelitian Bagian ini menjelaskan konsep dialek, dialektometri, isoglos dan berkas isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang masuk ke dalam kelompok bahasa Melayik, termasuk Kerinci dan Iban. Selain bahasa-bahasa tersebut, bahasa Melayu Standar, Serawai,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah

BAB II KERANGKA TEORETIS. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah BAB II KERANGKA TEORETIS Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai masalah ini. Studi komparatif pertama yang meliputi seluruh rumpun bahasa Austronesia adalah hasil kajian Dempwolff

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek

BAB I PEDAHULUAN. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster angin selatan dan kata Greek 1 BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu keluarga bahasa tua. Nama Austronesia berasal dari kata Latin auster "angin selatan" dan kata Greek nêsos "pulau". Para

Lebih terperinci

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk

BAB IX TEMUAN BARU. 9.1 Kekerabatan Bahasa Or lebih dekat dengan Ft daripada Mk BAB IX TEMUAN BARU Berdasarkan penyajian dan analisis data yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, berikut ini disajikan kristalisasi hasil penelitian sekaligus merupakan temuan baru disertasi ini. 9.1

Lebih terperinci

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut.

BAB X SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, simpulan hasil penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut. BAB X SIMPULAN DAN SARAN 10.1 Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan bahasa adalah alat komunikasi verbal manusia yang berwujud ujaran yang dihasilkan oleh alat

Lebih terperinci

K A N D A I. Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14

K A N D A I. Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14 K A N D A I Volume 11 No. 1, Mei 2015 Halaman 1 14 KEKERABATAN BAHASA TAMUAN, WARINGIN, DAYAK NGAJU, KADORIH, MAANYAN, DAN DUSUN LAWANGAN (Language Kinship of Tamuan, Waringin, Dayak Nguji, Kadorih, Maanyan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian dialektologi yang meletakkan titik fokus pada kajian kebervariasian penggunaan bahasa dalam wujud dialek atau subdialek di bumi Nusantara, dewasa ini telah

Lebih terperinci

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN. diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab 8.1 Simpulan BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai dan hipotesis yang diajukan serta fakta-fakta kebahasaan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, simpulan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi 180 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kajian relasi kekerabatan bahasa-bahasa di Wakatobi memperlihatkan bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi sebagai bahasa tersendiri dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia sudah banyak dilakukan. Namun tidak demikian penelitian mengenai ragamragam bahasa dan dialek.

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialekto syang berarti varian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Dialek Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Para linguis historis komparatif Indonesia selama ini pada umumnya lebih tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama diakui bahwa di

Lebih terperinci

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan waktunya. Hal itu dimungkinkan oleh perubahan dan perkembangan pola kehidupan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA

PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No.2 Oktober 2015, 365-351 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret PEMANFAATAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATAIF DALAM PEMETAAN BAHASA-BAHASA

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Sepanjang pengetahuan peneliti permasalahan tentang Kajian Historis Komparatif pada Bahasa Banggai, Bahasa Saluan, dan Bahasa Balantak belum pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Batak Simalungun merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Batak Simalungun merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau kelompok masyarakat untuk bekerja sama dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1983: 17), dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian tentang konvergensi dan divergensi berkaitan erat dengan proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan sejumlah pemahaman terhadap

Lebih terperinci

2 (Pasir) 1 di Provinsi Kalimantan Timur. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian terhadap bahasa Paser (selanjutnya disingkat PSR). Kal

2 (Pasir) 1 di Provinsi Kalimantan Timur. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian terhadap bahasa Paser (selanjutnya disingkat PSR). Kal 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki kekayaan yang sangat luar biasa, termasuk kekayaan aneka ragam bahasa yang dimiliki ditiap daerahnya. Menutur penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas di sekolah, di

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas di sekolah, di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Mentawai merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Bahasa Mentawai digunakan untuk berkomunikasi dalam aktivitas

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU 2.1 Konsep Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang menyangkut objek, proses, yang berkaitan dengan penelitian. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kearbitreran bahasa menyebabkan banyak sekali bahasa-bahasa di dunia. Kearbitreran bahasa terjadi karena antara lambang dengan yang dilambangkannya tidak memiliki hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kekerabatan tersebut selanjutnya diabstraksikan dalam bentuk silsilah.

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kekerabatan tersebut selanjutnya diabstraksikan dalam bentuk silsilah. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedekatan hubungan dalam suatu komunitas dapat ditelusuri dengan mengamati kesamaan bahasa yang digunakan di komunitas tersebut. Bahasa, selain digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf

BAB I PENDAHULUAN. (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa mengalami perubahan dan perkembangan dari bahasa Proto (bahasa tua) sampai ke bahasa yang sekarang kita gunakan. Menurut Keraf (1996:29), bahasa Proto

Lebih terperinci

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK Jurnal Skripsi Oleh : Nursirwan NIM A2A008038 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2012 Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Bahasa Indonesia terdapat bermacam-macam dialek. Istilah dialek merupakan sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. Anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya, merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Manusia dalam menjalani kehidupannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat interaksi yang hanya dimiliki manusia (Chaer dan Agustina,2010:11). Bahasa Jawa (BJ) merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan

BAB III METODE PENELITIAN. masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini diawali dengan pendeskripsian data kebahasaan aktual yang masih hidup dan dipakai masyarakat penuturnya untuk pembuktian hubungan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting dalam kehidupan manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian mengenai isoglos dialek bahasa Jawa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur ini termasuk dalam penelitian lapangan (field study) baik penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Pantar merupakan sebuah pulau yang terletak di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau ini merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Alor. Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh manusia sangat penting peranannya dalam masyarakat, karena tanpa bahasa manusia akan sulit untuk menyampaikan ide

Lebih terperinci

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Simalungun atau Sahap Simalungun adalah bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun. Bahasa Simalungun merupakan salah

Lebih terperinci

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya Abstrak Difusi leksikal merupakan fenomena lingusitik yang dapat terjadi pada bahasa apa pun. Difusi leksikal merupakan unsur inovasi bahasa yang menyebar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS 2.1 Pengantar Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta dipelihara sebaik mungkin. Bidang ilmu yang mengkaji dialek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

BAB I PENDAHULUAN. Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah perbatasan antara wilayah tutur bahasa-bahasa Austronesia dengan wilayah tutur bahasa-bahasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedudukan bahasa sangat penting untuk manusia. Bahasa juga mencerminkan identitas suatu negara. Masalah kebahasaan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam kehidupan manusia, maka amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang perlu dikaji

Lebih terperinci

PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU. Oleh

PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU. Oleh PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU Oleh Dr. Andoyo Sastromiharjo, M.Pd., Sri Wiyanti, S.S.,M.Hum., Yulianeta, M.Pd. Dra. Novi Resmini, M.Pd., Hendri Hidayat, dan Zaenal Muttaqin FPBS Abstrak

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan objek dari linguistik, karena linguistik merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Bahasa adalah suatu sistem simbol bunyi yang

Lebih terperinci

RELASI KEKERABATAN BAHASA-BAHASA DI KABUPATEN POSO. Gitit I.P. Wacana*

RELASI KEKERABATAN BAHASA-BAHASA DI KABUPATEN POSO. Gitit I.P. Wacana* RELASI KEKERABATAN BAHASA-BAHASA DI KABUPATEN POSO Gitit I.P. Wacana* ABSTRACT Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan relasi historis kekerabatan yang terdapat dalam bahasa Pamona, Bada dan Napu

Lebih terperinci

Bahasa dan Budaya Jawa Seloguding-an. di Kabupaten Probolinggo: Potret Kebertahanan. Sebuah Entitas Masyarakat Jawa Lama dalam Dominasi Madura

Bahasa dan Budaya Jawa Seloguding-an. di Kabupaten Probolinggo: Potret Kebertahanan. Sebuah Entitas Masyarakat Jawa Lama dalam Dominasi Madura Bahasa dan Budaya Jawa Seloguding-an di Kabupaten Probolinggo: Potret Kebertahanan Sebuah Entitas Masyarakat Jawa Lama dalam Dominasi Madura Imam Qalyubi Pendahuluan Para ahli bahasa memperkirakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan

BAB I PENDAHULUAN. pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan

Lebih terperinci

STUDI LINGUISTIK DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA: KE ARAH PEMAHAMAN DIRI MELALUI KAJIAN VARIASI BAHASA

STUDI LINGUISTIK DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA: KE ARAH PEMAHAMAN DIRI MELALUI KAJIAN VARIASI BAHASA STUDI LINGUISTIK DALAM PROSES INTEGRASI BANGSA: KE ARAH PEMAHAMAN DIRI MELALUI KAJIAN VARIASI BAHASA Mahsun Universitas Mataram Abstrak The Republic of Indonesia is a nation-state built upon a diversity

Lebih terperinci

GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR

GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 GLOTOKRONOLOGI BAHASA MASSENREMPULU DAN BAHASA MANDAR Suparman 1, Charmilasari 2 Universitas Cokroaminoto Palopo 1 Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra dipandang sebagai gejala sosial, sebab pada umumnya langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada saat karya sastra tersebut dibuat. Hasil

Lebih terperinci

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF

LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF LEKSIKOSTATISTIK BAHASA ACEH, BAHASA ALAS, DAN BAHASA GAYO: KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF Jurnal Skripsi Oleh: Kurnia Novita Sari NIM A2A008030 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keanekaragaman bahasa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak

BAB 1 PENDAHULUAN. Keanekaragaman bahasa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keanekaragaman bahasa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Bahasa dalam suatu masyarakat digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun kelompok. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit

BAB I PENDAHULUAN. diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan mengenai bahasa yang digunakan di Indramayu tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah yang melatarbalakanginya. Indramayu, sebagai salah satu kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa daerah bagi penuturnya telah mendarah daging karena tiap hari

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa daerah bagi penuturnya telah mendarah daging karena tiap hari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa daerah bagi penuturnya telah mendarah daging karena tiap hari digunakan. Oleh karena itu tidak heran apabila bahasa daerah yang kita kenal pada saat ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap individu manusia tidak akan pernah luput dari berkomunikasi antar sesama, baik dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk melakukan interaksi tersebut, manusia memerlukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini akan dipaparkan metodologi penelitian yang mencakup desain penelitian, partisipasi dan tempat penelitian, pengumpulan data, dan analisis data. Adapun pemaparan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa Jawa merupakan bahasa yang memiliki jumlah penutur paling banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh masyarakat etnis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa bervariasi karena anggota masyarakat penutur itu pun beragam. Banyak faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah banyak dilakukan, baik yang dilakukan secara individual maupun secara

BAB I PENDAHULUAN. sudah banyak dilakukan, baik yang dilakukan secara individual maupun secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian tentang bahasa-bahasa di Indonesia serta variasinya hingga saat ini sudah banyak dilakukan, baik yang dilakukan secara individual maupun secara kelembagaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini diuraikan (1) latar belakang, (2) masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut. 1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat

BAB I PENDAHULUAN. semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat 1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat menentukan dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaan, bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang

BAB I PENDAHULUAN. negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia memiliki status sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi: (a) lambang kebanggaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur

BAB II KERANGKA TEORETIS. bermigrasi dari Cina Selatan lebih kurang 8000 tahun yang lalu. Dari Taiwan penutur BAB II KERANGKA TEORETIS 2.1 Sejarah Singkat Penutur Bahasa Austronesia Penutur bahasa Austronesia diperkirakan telah mendiami kepulauan di Asia Tenggara sekitar 5000 tahun yang lalu. Mereka diduga berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan yang berbeda dan lain-lain. Perbedaan dari latar belakang etnis yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. tujuan yang berbeda dan lain-lain. Perbedaan dari latar belakang etnis yang berbeda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Variasi bahasa sangat beragam ditemukan dalam masyarakat. Ketika seseorang berinteraksi akan tampak perbedaan satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut biasa dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai salah satu alat primer dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Variasi bahasa Minangkabau merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat dari perbedaan dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat Minangkabau di berbagai wilayah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia, BAB I PENDAHULUAN Dalam pendahuluan diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Uraian secara rinci dipaparkan sebagai berikut ini. A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Telepon: , Faksimile.

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Telepon: , Faksimile. KEKERABATAN BAHASA-BAHASA ETNIS MELAYU, BATAK, SUNDA, BUGIS, DAN JAWA DI PROVINSI JAMBI: SEBUAH KAJIAN LINGUISTIK HISTORIS KOMPARATIF YUNDI FITRAH DAN RENGKI AFRIA Program Studi Sastra Indonesia Fakultas

Lebih terperinci

KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA

KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA 1 KAJIAN LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MUNA, BAHASA CIA-CIA DAN BAHASA WOLIO DI SULAWESI TENGGARA Oleh La Ode Rely (Ketua) Fatmah AR. Umar (Anggota 1) Salam (Anggota 2) Universitas Negeri Gorontalo Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat dipisahkan dari pengembangan bahasa nasional. Salah satu upaya untuk mengembangkan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengutamakan peneropongan kata-kata (leksikon) secara statistik, untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu metode pengelompokan bahasa adalah leksikostatistik. Leksikostatistik merupakan suatu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi, 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi, bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri dalam suatu masyarakat bahasa. Anggota masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar masyarakat di bagian selatan Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa Ciacia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir

BAB I PENDAHULUAN. dalam lagi bahasa tercakup dalam kebudayaan. Bahasa menggambarkan cara berfikir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Bahasa selalu menggambarkan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan; lebih dalam lagi bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya masing-masing. Setiap wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya masing-masing. Setiap wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya masing-masing. Setiap wilayah memiliki cara pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Dialek merupakan disiplin ilmu yang mengkaji

Lebih terperinci

DAERAH ASAL DAN ARAH MIGRASI ORANG MINANGKABAU DI PROVINSI JAMBI BERDASARKAN KAJIAN VARIASI DIALEKTAL

DAERAH ASAL DAN ARAH MIGRASI ORANG MINANGKABAU DI PROVINSI JAMBI BERDASARKAN KAJIAN VARIASI DIALEKTAL MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 12, NO. 1, JULI 2008: 1-8 DAERAH ASAL DAN ARAH MIGRASI ORANG MINANGKABAU DI PROVINSI JAMBI BERDASARKAN KAJIAN VARIASI DIALEKTAL Nadra 1, Reniwati 2, dan Efri Yades 1 1. Jurusan

Lebih terperinci

1. Metode dan Teknik Penyediaan Data dalam Penelitian Dialektologi. mengamati, menjelaskan, dan menganalisis suatu fenomena atau data.

1. Metode dan Teknik Penyediaan Data dalam Penelitian Dialektologi. mengamati, menjelaskan, dan menganalisis suatu fenomena atau data. MATERI PELATIHAN PENELITIAN DIALEKTOLOG: SEPINTAS TENTANG METODE DAN TEKNIK PENYEDIAAN DAN ANALISIS DATA SERTA METODE PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA 1) Oleh Wahya 2) 1. Metode dan Teknik Penyediaan Data

Lebih terperinci

KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA

KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah,

Lebih terperinci

Inovasi dan Relik pada Bahasa Jawa Subdialek Lamongan

Inovasi dan Relik pada Bahasa Jawa Subdialek Lamongan Inovasi dan Relik pada Bahasa Jawa Subdialek Lamongan Inovasi dan Relik pada Bahasa Jawa Subdialek Lamongan Maghfirohtul Mubarokah Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1 Teori-Teori Yang Relevan Dengan Variabel Yang Diteliti 2.1.1 Pengertian Semantik Semantik ialah bidang linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda

Lebih terperinci

Pengertian Universal dalam Bahasa

Pengertian Universal dalam Bahasa Pengertian Universal dalam Bahasa Istilah bahasa didefinisikan sebagai wujud komunikasi antarmanusia untuk dapat saling mengerti satu sama lain, sebagaimana yang dilansir oleh Edward Sapir tahun 1921.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian dialek geografi yang dipandang erat relevansinya dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Asal-usul suku Banjar berasal dari percampuran beberapa suku, yang menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu dapat diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN. Studi kasus..., Kartika, FIB UI, 2010.

BAB 5 SIMPULAN. Studi kasus..., Kartika, FIB UI, 2010. BAB 5 SIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini: 1. Ditemukan perubahan kosakata di seluruh titik pengamatan di wilayah Kabupaten Bogor. Dalam

Lebih terperinci

ASAL-USUL BAHASA BANJAR (TINJAUAN HISTORIS KOMPARATIF) MOH. FATAH YASIN

ASAL-USUL BAHASA BANJAR (TINJAUAN HISTORIS KOMPARATIF) MOH. FATAH YASIN ASAL-USUL BAHASA BANJAR (TINJAUAN HISTORIS KOMPARATIF) MOH. FATAH YASIN Abstrac: Banjarese Language is alighted from Malayo Javanic. It is derived from the interaction of 3 tribes, Malay, Javanese, and

Lebih terperinci