MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA"

Transkripsi

1 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan obat tradisional ke arah fitofarmaka perlu adanya pedoman uji fitofarmaka b. bahwa untuk pelaksanaan hal tersebut dalam butir (a) dan dalam rangka pelaksanaan Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik lndonesia No. 760/ Menkes/ Per/ IX/ 1992 tentang fitofarmaka perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pedoman Fitofarmaka Mengingat : 1. Keputusan Presiden Rl No. 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen 2. Keputusan Presiden R l No. 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen, 3. Peraturan Menteri Kesehalan Rl No. 246/MenKes/Per/V/l990 tentang lzin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. 4. Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 700/ Men,Kes/ Per/ lx/ 1992 tentang Filofarmaka. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 99a/Men.Kes/SK/lll/1992 tentang berlakunya Sistem Kesehatan Nasional. 6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 47/ Men.Kes/ SK/ ll/ 1983 tentang Kebijaksanaan Obat Nasional. M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA.

2 Pertama : Mengesahkan dan memberlakukan Pedoman Fitofarmaka sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini, sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dalam pembuatan pengembangan fitofarmaka. Kedua Ketiga Keempat : Hasil uji fitofarmaka yang dikeluarkan oleh Sentra Uji Fitofarmaka merupakan syarat untuk pendaftaran Fitofarmaka. : Hasil Uji Fitofarmaka yang berasal dari luar negeri perlu mendapatkan pengkajian dan rekomendasi lebih dahulu dari Komisi Ahli Fitofarmaka. : Dalam rekomendasi yang dimaksud pada amar ketiga Komisi Ahli Fitofarmaka dapat menyarankan untuk melakukan uji fitofarmaka pada Sentra Uji Fitofarmaka. Kelima : Pedoman Fitofarmaka yang dimaksud dalam amar pertama dapat ditinjau dan ditetapkan kembali oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Keenam : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 4 September 1992 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA ttd Dr. Adhyatma, MPH

3 LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN R.I. NOMOR : 761/MENKES/SK/IX/1992 TANGGAL : 4 SEPTEMBER 1992 I. FITOFARMAKA DEFINISI PEDOMAN FITOFARMAKA Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. PRIORITAS PEMILIHAN 1. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh. 2. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia. 3. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar. 4. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan penderita. 5. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan. RAMUAN Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/ sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik. Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman. STANDAR BAHAN BAKU Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain.

4 Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Material Indonesia harus mendapat persetuiuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan tentang rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan lain sebagainya. ZAT KIMIA BERKHASIAT Penggunaan zat kimia berkhasiat (tunggal murni) dalam fitofarmaka dilarang. BENTUK SEDIAAN untuk mendapatkan formulasi yang tepat, diperlukan suatu percobaan. Dari beberapa percobaan tersebut dipilih formula yang memberikan keamanan, khasiat, mutu dan stabilitas yang paling tinggi. Bentuk sediaan Fitofarmaka seperti tertera pada Lampiran 1. STANDAR FITOFARMAKA setiap fitofarmaka.harus dapat dijamin kebenaran komposisi, keseragaman komponen aktif dan keamanannya baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Pada analisis terhadap ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau zat identitas lainnya. Secara bertahap industri harus mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia simplisia yang digunakan. KHASIAT Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik, seperti diuretik, spasmolitik, analgetik, antipiretik.

5 DUKUNGAN PENELITIAN Fitofarmaka harus didukung oleh. Hasil pengujian, dengan protocol pengujian yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Pengujian meliputi toksisitas, uji efek, farmakologik, uji klinik, uji kualitas dan pengujian lain yang dipersyararkan. II. UJI KLINIK FITOFARMAKA DEFINISI Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala penyakit. DASAR PEMIKIRAN 1. Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan kegunaannya masih berdasarkan pengalaman. 2. Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping sebagian besar belum didasarkan pada landasan ilmiah, karena penggunan obat tradisional baru didasarkan kepada kepercayaan terhadap Informasi berdasarkan pengalaman. 3. Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan, obat tradisional perlu dikembangkan dan secara berangsur-angsur dimanfaatkan berdasarkan atas landasan ilmiah, sehingga dapat digunakan dalam upaya pelayanan kesehatan normal kepada masyarakat. 4. Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut maka obat tradisional perlu dikelompokkan kedalam 2 golongan yaitu: a) Obat tradisional jamu. b) Fitofarmaka. Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam kesehatan, Fitofarmaka perlu mendapat prioritas. 5. Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya pelayanan kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya melalui uji klinik fitofarmaka pada manusia.

6 TUJUAN Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah: 1. Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan penyakit maupun gejala penyakit. 2. Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan manfaatnya. TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN 1. Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik Fitofarmaka termasuk formulasi, uji farmakologik eksperimental dan uji kimia. 2. Melaksanakan uji klinik fitofarmaka. 3. Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka. 4. Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik litofarmaka kepada masyarakat (peneliti diperbolehkan mempublikasikan pengujian yang dilakukan dengan memperhatikan kode etik publikasi ilmiah). 5. Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya efek samping fitofarmaka. PERSYARATAN UJI KLINIK FITOFARMAKA Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji klinik Fitofarmaka 1. Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian klinik pada manusia apabila sudah melalui penelitian toksisitas dan kegunaan pada hewan coba yang sesuai dan dinyatakan memenuhi syarat, yang membenarkan dilakukannya pengujian klinik pada manusia. 2. Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu fitofarmaka dapat didasarkan pada : a. Adanya data pengujian farmakologik pada hewan coba yang menunjukan bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai aktivitas farmakologik yang sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji klinik fitofarmaka tersebut.

7 b. Adanya pengalaman empirik dan / atau histori bahwa fitofarmaka tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan dan pengobatan penyakit atau gejala penyakit. 3. Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan pengujian multidisiplin. 4. Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat ilmiah dan metodologi suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi khasiat klinik suatu obat baru. Protokol uji klinik suatu calon fitofarmaka harus selaras dengan Pedoman Fitofarmaka yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Rl. Protokol uji klinik dengan rancangan dan metodologi yang sesuai dikembangkan dulu oleh tim peneliti. Protokol uji klinik harus dinilai dahulu oleh suatu Panitia llmiah yang independent untuk mendapatkan persetujuan. 5. Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsipprinsip etika sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan penyelesaian uji klinik. Setiap pengujian harus mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia. 6. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh tim peneliti yang mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi khasiat klinik obat. 7. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan dan penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik dipandang dari segi kelengkapan sarana, keahlian personalia, maupun tersedianya pasien yang mencukupi. Pengulian klinik dalam unit-unit pelayanan kesehatan di luar Sentra Uji Fitofarmaka, misalnya di Puskesmas atau Rumah Sakit, harus mendapatkan supervisi dan monitoring dari Sentra Uji Fitofarmaka sejak perencanaan, pelaksanaan sampai dengan penyelesaiannya. REFERENSI PENIIAIAN Referensi penilaian: 1. Semua dokumen resmi.

8 2. Dalam hal belum ada data penilaian dapat ditetapkan berdasarkan penilaian kelayakan. III. RENCANA KERANGKA TAHAP-TAHAP PENGEMBANGAN Agar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia, maka pengembangan obat tradisional tersebut harus mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi: 1. Pemilihan. 2. Pengujian Farmakologik a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum terdapat petunjuk mengenai khasiat. b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka langsung dilakukan pemastian khasiat. 3. PengujianToksisitas a. Uji toksisitas akut. b. Uji toksisitas sub akut. c. Uji toksisitas kronik. d. Uji toksisitass pesifik: - Toksisitas pada janin. - Mutagenisitas. - Toksisitasto pikal. - Toksisitaso ada darah. - Dan lain-lain. 4. Pengujian Farmakodinamik 5. Pengembangan Sediaan (formulasi). 6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan. 7. Pengujian klinik. Sesudah fitofarmaka terbukti mempunyai khasiat yang bermakna dan memenuhi syarat keamanan pemakaian pada manusia, maka pengembangan dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. 1. TAHAP PEMILIHAN (SELEKSI) Pemilihan jenis obat tradisional yang akan mengalami pengujian dan pengembangan kearah fitofarmaka berdasarkan prioritas yang digariskan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia Prioritas pemilihan diberikan kepada:

9 a. Jenis obat tradisional yang diharapkan mempunyai khasiat untuk penyakit-penyakit yang menduduki urutan atas dalam morbiditas (pola penyakit). b. Jenis obat tradisional yang diperkirakan mempunyai khasiat untuk penyakit-penyakit tertentu berdasarkan inventarisasi pengalaman pemakaian. c. Jenis obat tradisional yang diperkirakan merupakan alternatif yang jarang (atau satu satunya alternatif ) untuk penyakit tertentu. Misalnya untuk obat kencing batu (kalkuli). Ketentuan lanjut tentang prioritas pemilihan jenis obat tradisional yang akan diuji dan dikembangkan kearah fitotarmaka akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pada saat ini pengujian dilakukan terhadap calon-calon obat yang tidak bersifat narkotik. 2. TAHAP PENGUJIAN FARMAKOLOGIK Penapisan efek farmakologi Fitofarmaka ditujukan untuk melihat dan kerja farmakologik pada system biologic yang dapat merupakan petuniuk terhadap adanya khasiat terapetik. Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon fitofarmaka seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo pada hewan mamalia yang sesuai, sedapat mungkin dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak semua khasiat terapetik calon obat bisa diperkirakan secara langsung dari model-model percobaan hewan. Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji penapisan dengan model percobaan hewan misalnya daya analgetik, daya menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes, anti arthritis dll. Kegunaan uji penapisan farmakologik sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia. 3. TAHAP PENGUJIAN TOKSISITAS Uji toksisitas akut menyangkut pemberian beberapa dosis tunggal yang meningkat secara teratur pada beberapa kelompok hewan dari jenis yang sama.

10 Pengamatan kematian dalam waktu 24 jam digunakan untuk menghitung LD 50, dan hewan dipelihara selama 14 hari. Uji toksisitas akut merupakan prasyarat formal keamanan calon fitofarmaka (obat) untuk pemakaian pada manusia. Secara ideal uji toksisitas akut dilakukan pada beberapa jenis hewan, sekurang-kurangnya jenis hewan pengerat dan satu jenis hewan bukan pengerat. Namun karena berbagai pertimbangan uji toksisitas akut pada saat ini sudah cukup memadai, bila dilakukan pada tikus dari kedua jenis kelamin, menggunakan minimal hewan dari tiap kelamin perdosis. Yang perlu dicari disini adalah : a. Spektrum toksisitas akut Sistem biologik yang paling peka terhadap calon Fitofarmaka. b. Cara kematian (mode of death). c. Nilai dosis lethal median( LD 50 ) yang dihitung dengan metode statistic baku. Pada kasus dimana sulit untuk memperoleh harga LD 50 secara pasti seyogyanya dalam percobaan dosis yang diberikan sudah dicakup dosis terbesar yang secara teknis dapat diterima oleh hewan coba. Jenis hewan yang dipakai disini tidak perlu sama dengan hewan yang dipakai untuk uji jangka lama karena untuk uji jangka lama sebaiknya dipilih hewan yang mempunyai profil farmakokinetik yang sama dengan manusia terhadap obat tersebut. Demikian juga untuk uji karsinogenisitates, ratogenisitas dll. Teknik pelaksanaan pengujian keracunan harus memenuhi persyaratan yang lazim. Untuk tanaman yang belum dikenal, uji menggunakan dua jenis hewan coba yaitu tikus dan mencit dari dua jenis kelamin. Bila diperlukan dapat ditambah anjing. Calon Fitofarmaka yang di uji toksisitas akut dilakukan dengan tikus dan mencit dari kedua jenis dengan satu jenis hewan coba lain misalnya nantinya akan diberikan pada perlu diupayakan kesetaraan adalah yang manusia. Bentuk sediaan uji dapat berbeda, namun khasiat dan keamanan. Spectrum toksikologik yang perlu mendapat perhatian khusus adalah kemungkinan adanya efek toksik pada system organ-organ vital seperti kardiovaskuler, susunan saraf gastroiniestinaple, pernafasan dan lain-lain Jika calon fitofarmaka mempunyai pengaruh toksik pada system ini, umumnya akan terdeteksi pada tahap uji toksisitas akut. Pengujian toksisitas lanjut meliputi :

11 a. Toksisitas sub akut. b. Toksisitas kronik. c. Toksisitas spesifik. a. Toksisitas Sub Akut Rancangan uji toksisitas sub akut dibuat berdasarkan hasil uji toksisitas akut. Uji toksisitas sub akut. Dapat memberikan gambaran tentang toksisitas calon fitofarmaka pada penggunaan berulang untuk jangka waktu yang relatif lama. Kecenderungan kumulasi dan reversibilitas efek toksik calon fitofarmaka dapat dinyatakan dari hasil uji toksisitas sub akut. - Hewan coba ideal tiga jenis, yaitu 2 rodent dan 1 non rodent, untuk sementara cukup memadai menggunakan satu jenis yaitu tikus, minimal 3 dosis, salah satu dosis adalah dosis ekivalen yang akan digunakan pada manusia, 10 hewan per dosis, dua jenis kelamin. - Route pemberian sama dengan route yang digunakan pada manusia. - Jangka waktu uji pemberian calon fitofarmaka pada toksisitas sub akut 3 (tiga) bulan. Pemeriksaan organ-organ vital seperti hepar, ginjal, paru, otak, system hematologik, di kerjakan dengan metode standar (baku), termasuk pemeriksaan histopatologik. Teknis pelaksanaan pengujian harus dikerjakan dengan cara-cara standar (baku) yang memenuhi persyaratan ilmiah. Bilamana pada pengamatan Uji toksisitas akut terlihat adanya gejala toksik pada organ hati dan atau ginjal maka parameter perlu dilengkapi dengan parameter biokimia mengenai hati dan ginjal. b. Toksisitas Kronik Uji toksisitas kronik diprioritaskan pada calon fitofarmaka yang penggunaannya berulang/ berlanjut dalam jangka waktu sangat lama (lebih dari 6 bulan). Uji toksisitas kronik memberikan gambaran tentang toksisitas atau keamanan calon fitofarmaka pada penggunaan dosis lazim secara berulang selama hayat hewan.

12 - Rancangan uji toksisitas kronik dibuat berdasarkan hasil uji toksisitas sub akut. - Jumlah hewan coba yang digunakan harus cukup banyak, minimal 20 ekor per dosis, agar hasil uji toksisitas kronik masih dapat ditafsirkan dengan cermat, walaupun terjadi kematian hewan yang tidak berkaitan dengan hal-hal teknis percobaan selama waktu pengujian. Lama Pemberian Calon Fitofarmaka ada Uji Toksisitas. Lama pemberian fitofarmaka pada hewan coba untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan dengan lamanya pemakaian obat pada manusia. Tabel berikut memperlihatkan skema lama pemberian yang diperlukan pada uji toksisitas dihubungkan dengan pemberian pada manusia. Tabel ini merupakan modifikasi dari pedoman FDA untuk evaluasi obat yang akan digunakan pada manusia ( 1975). Lama penggunaan Lama uji toksisitas pada hewan Oleh manusia Dosis tunggal atau 1 jenis, tidak kurang beberapa dosis dari 2 minggu Beberapa hari 1 jenis, 2 minggu 2 minggu 1 jenis, 3 bulan 3 minggu 1 jenis, 6 bulan 6 bulan atau lebih 1 jenis, - 12 bulan = hewan bukan Pengerat - 18 bulan = hewan pengeral Sebagai jalan tengah, perlu selalu dicari dan dikembangkan alternatif-alternatif model dan prosedur uji toksisitas yang masih memenuhi persyaratan minimal keamanan obat. c. Toksisitas Spesifik Uji toksisitas ini misalnya uji teratogenisitas, uji karsinogenisitas, uji mutegenisitas, uji toksisitas terhadap janin, uji terhadap fungsi-fungsi reproduksi dan lain-lain. Perlu tidaknya uji-uji ini dilakukan tergantung pada kemungkinan terjadinya efek-efek toksik tersebut, sehubungan dengan pemakaiannya

13 pada manusia. Misalnya uji teratogenisitas atau uji toksisitas terhadap janin harus dikerjakan bila pemakaian klinik fitofarmaka nantinya diberikan pada masa-masa organogenesis dan kehamilan. Uji mutagenisitas dan karsinogenisitas harus dikerjakan bila fitofarmaka dipakai secara kronik, peraksanaan penguiian, harus memenuhi cara-cara standar (baku) yang lazim. Untuk sediaan-sediaan yang digunakan secara topikal dipersyaratkan untuk dilakukan pengujian toksisitas secara topikal misalnya iritasi kulit dengan model hewan percobaan yang sesuai. 4. TAHAP PENGUJIAN FARMAKODINAMIK Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas penqaruh farmakologik pada berbagai system biologik. Bila diperlukan, penelitian dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo. Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan biologic (tahap 2) dan dipandang belum bias atau belum mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik, maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat untuk lebih lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan lebih banyak tergantung pada sarana dan prasarana yang ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras. 5. TAHAP PENGEMBANGAN SEDIAAN (FORMULASI) Perkembangan sediaan dimaksudkan agar bentuk sediaan fitofarmaka yang akan diberikan pada manusia nantinya memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas maupun estetika. Syarat-syarat kualitas yang sesuai dengan cara pemberian baik peroral maupun cara pemberian lain harus diperhatikan secara khusus. Yang perlu mendapat perhatian, sediaam calon fitofarmaka yang diberikan harus : 1. Tidak memberikan bau dan rasa yang menyebabkan kegagalan pengujian (contoh pada bawang putih). 2. mempunyai ketersediaan hayati yang baik, hasil uji farmakologi dab uji klinik meragukan, kadang-

14 kadang disebabkan ketersediaan hayati calon fitofarmaka yang tidak memadai. 6. PENAPISAN FITOKIMIA DAN STANDARISASI SEDIAAN jika sebelum diketahui kandungan aktifnya, tahap pertama yang harus dilakukan bersamaan dengan pengujian klinik dalam pembuatan profil kromatogram bertahap dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. Slanjutnya dilkukan standarisasi sediaan dengan menggunakan zat identitas. Penelitian fitokimialebih lanjut adalah penentuan kandungan kimia aktif. Jika kandungan kimia aktif sediaan sudah diketahui, maka dapat dilakukan standarisasi sediaan berdasarkan atas kadar kandungan aktif tersebut. 7. TAHAP PENGUJIAN KLINIK Persyaratan dilaksanakannya uji klinik calon fitofarmaka antara lain adalah : a. Adanya dasar pertimbangan pelaksanaan Dasar pertimbangan dilakukannya uji klinik terhadap suatu calon fitofarmaka adalah: - Adanya pengalaman empiris bahwa calon fitofarmaka tersebut mempunyai manfaat klinik dalam pencegahan dan pengobatan penyakit atau gejala penyakit. - Adanya data farmakologik pada pengujian terhadap hewan yang menunjukkan fitofarmaka tersebut emmpunyai aktifitas farmakologik yang relevan. b. Persyaratan untuk uji klinik Terhadap fitofarmaka dapat dilakukan Uji Klinik pada manusia apabila sudah terbukti aman berdasarkan penelitian toksikologi dan dinyatakan memenuhi syarat keamanan untuk pengujian pada manusia. c. Kriteria Pelaksanaan Uji Klinik

15 - Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi syaratsyarallmiah dan metodologik suatu uji klinik untuk pengembangan dan evaluasi suatu obat baru. - Protokol uji klinik fitofarmaka harus sudah disetujui oleh suatu Panitia llmiah yang independent - Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh beberapa orang (tim) peneliti yang mempunyai keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi obat. - Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi prinsipprinsip etika sejak perencanaan pelaksanaan sampai dengan penyelesaian uji klinik - Setiap pengujian harus menciapatkan izin kelaikan etik (Ethical clearance) dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia. Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan di unitunit pelayanan dan penelitian yang memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik dari segi kelengkapan sarana, personalia, kemampuan maupun tersedianya pasien-pasien yang mencukupi. Uji klinik Fitofarmaka seyogyanya dilakukan sesuai dengan tahap-tahap uji klinik calon obat baru yang meliputi fase l, fase ll, fase lll dan fase lv. Uji klinik Fitofarmaka secara praktis dapat disederhanakan sebagai berikut : 1. Tahap Awal (uji klinik rancangan terbuka). Uji Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa pembanding (uncontrolled trial). Tahap ini bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan manfaat klinik, menentukan dosis yang dapat menimbulkan efek tersebut serta untuk Uji KlinikTahap Lanjut merupakan uji klinik yang definitif dengan jumlah penderita yang lebih banyak dan dilakukan dengan persyaratanpersyaratan metodologi dan monitoring yang ketat (exploratory trial). Uji klinik dilakukan dengan kelompok pembanding dapat berupa placebo atau obat standar( baku) yang sudah diketahui secara pasti.

16 Uji klinik dapat dilakukan disalah satu pusat penelitian (mono centre) atau di beberapa pusat penelitian (multi centre). 2. Tahap Pemantauan (Fase lv) Uji klinik tahap pemantauan merupakan survailan efek samping yang langka ( rare, side effects) yang baru muncul setelah pemberian jangka panjang yang tidak mungkin terkendali pada fase-fase uji klinik sebelum pemasaran. System survailan ini seyogyanya merupakan bagian dari system Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Nasional. Disamping itu, Uji Klinik Tahap Pemantauan dilakukan untuk melihat manfaat obat pada keadaan yang sesungguhnya dalam klinik, pada populasi penderita yang khusus misalnya anakanak, orang lanjut usia dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa efek yang tidak diinginkan (adverse effects) yang dapat dikenali pada tahap awal dan tahap lanjut adalah tipe yang umum. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji klinik: A. Umum: 1. Tujuan uji klinik harus jelas. 2. Memenuhi prinsip ilmiah yang telah diakui. 3. Prinsip etik penelitian pada manusia harus jelas, Kepentingan pasien harus diutamakan. 4. Dikerjakan oleh Tim Ahli yang berpengalaman di kerjakan dengan prinsip-prinsip, metodologi dan rancangan yang memadai. 5. Uji Klinik Fitofarmaka dikerjakan oleh Tim Ahli yang secara ilmiah dan etis memenuhi syarat dan berada di bawah pengawasan seorang tenaga medis yang mempunyai kompetensi klinik. 6. Tanggung jawab atas keselamatan manusia yang diteliti berada pada tenaga medis yang mempunyai kompetensi klinik.

17 7. Pasien dan keluarganya secara singkat perlu diberitahu prosedur terapik yang akan dijalani dan memberi persetujuan tertulis. 8. Calon Fitofarmaka harus memenuhi persyaratan. 9. Bentuk sediaan fitofarmaka harus sesuai dengan tujuan pengobatan dan sifat bahan bakunya. 10. Dari hasil pengujian farmakologik eksperimental dan toksisitas dengan spesies dan jumlah hewan coba yang memadai, dinyatakan memadai untuk dilanjutkan dengan Uji Klinik Fitofarmaka. 11. Adanya data yang memadai yang berasal dari pustaka ilmiah. 12. Rancangan dan Pelaksanaan setiap prosedur percobaan harus dirumuskan secara jelas dan rinci dalam suatu protocol penelitian. 13. Protokol penelitian harus diajukan kepada panitia independen yang khusus ditunjuk untuk memberi pertimbangan, ulasan dan bimbingan. 14. Uji Klinik Fitofarmaka harus: a. Didahului dengan penilaian yang cermat mengenai risiko yang dapat diramalkan b. Dapat memberi manfaat yang lebih besar bila disbanding dengan resiko yang akan dialami subyek. c. Mengutamakan kepentingan subyek dari pada kepentingan ilmiah. 15. Uji Klinik Fitofarmaka harus dihentikan bila ditemukan bahwa bahayanya melebihi manfaat yang mungkin diperoleh. 16. Uji Klinik Fitofarmaka harus memberi penjelasan kepada subyek tentang: a. Tujuan, cara, manfaat yang diharapkan, bahaya yang mungkin

18 dihadapi, keadaan kurang menyenangkan yang mungkin timbul. b. Kebebasan untuk tidak ikut serta dalam uji klinik fitofarmaka c. Kebebasan untuk membatalkan persetujuannya untuk berpartisipasi. 17. Pada Uji Klinik Fitofarmaka, penguji harus memperoleh persetujuan subyek sebaiknya secara tertulis (informed consent) setelah mendapatkan penjelasan. Persetujuan tersebut sebaiknya dari subyek, orang tua subyek atau wali subyek. B. Khusus: 1. Pemeriksaan pasien sebelum pengobatan meliputi pemeriksaan anamnestis, Klinik, laboratorium dan pemeriksaan khusus lain yang perlukan 2. Kriteria diagnostik harus dipastikan, juga stratilikasi derajat penyaklt. 3. Kriteria seleksi terdiri dari : a. Kriteria penerimaan (inclusion criteria), kriteria pasien yang memenuhi syarat untuk penelitian harus dipastikan b. Kriteria penolakan (exclusion criteria), Kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk ikut dalam penelitian. 4. Persiapan calon fitofarmaka. Bahan baku harus diketahui asal-usulnya dan diketahui mutunya. Bentuk sediaan harus memperhatikan bentuk sediaan yang digunakan oleh masyarakat. 5. Perlakuan terapi : Jenis terapi calon fitofarmaka yang diteliti, cara pemberian dosis, lama pemberian dll. 6. Kontrol (pembanding): Jenis, cara pemberian dosis, lama pemberian. Apakah 6erupa plasebo atau terapi obat standar (baku) yang lain.

19 7. Randomisasi perlakuan antara terapi calon fitofarmaka yang diteliti dan pembanding. 8. Penilaian hasil terapi : Kapan dinilai, oleh siapa, bagaimana cara penilaian dan kriteria penilaian. 9. Tehnik tersamar( blinding technique) apakah tersamar tunggal (single blind) atau tersamar ganda (double blind) 10. Pengelolaan data; pengumpulan, organisasi, pengolahannya, siapa yang melakukan, metode analisis statistika dan penyimpulan harus jelas. 11. Penulisan laporan harus mudah dipahami IV. ORGANISASI DAN TUGAS Uji Fitofarmaka melibatkan 1. Komisi Ahli Uji Fitofarmaka. 2. Sentra Uji Fitofarmaka. 3. Pelaksana Uji Fitofarmaka 1. Komisi Ahli Uji Fitolarmaka Komisi Ahli ini diangkat oleh Kesehatan R.l. dan bertanggung jawab kepada Menteri Tugas RI. Tugas a) Mengajukan saran-saran dan pertimbangan tentang rencana, pelaksanaan dan hasil uji preklinik dan uji fitofarmaka b) Memberikan masukan tentang prioritas fitofarmaka c) Menyusun dan mengusulkan protocol uji fitofarmaka d) Menyusun dan mengusulkan ketentuan limiah dan lain-lain yang perlu dianggap. 2. Sentra Uji Fitofarmaka Sentra uji fitofarmaka adalah instansi Pelayanan atau penelitian kesehatan yang disetujui Menteri untuk melaksanakan dan mengkoordinasi uji fitofarmaka. Tugas a) megkoordinasi tugas pelaksana uji fitofarmaka b) memberikan pengarahan teknis dan pelayanan rujukan kepada pelaksanan uji fitofarmaka

20 c) memberikan laporan kepada direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, mengenai perencanaan dan hasil uji fitofarmaka 3. Pelaksanan Uji Fitofarmaka Uji klinik Tahap Lanjut adalah suatu uji klinik dengan pembanding (randomized controlled trial). Sesudah diketahui adanya kemungkinan efek yang dicari barulah diteruskan dengan uji klinik terkedali. Rancangan yang paling sesuai adalah rancangan paralel atau rancangan antar subyek (randomized controlled trial parallel desaign). Subyek yang memenuhi peryaratan terbagu secara acak menjadi tiga kelompok perlakuan yang masing-masing menerima perlakuan pengobatan sebagai berikut : a. Calon fitofarmaka. b. Kontrol negatif. c. Kontrol positif obat pembanding.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir. Uji Pra-Klinik Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai. Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih

BAB I PENDAHULUAN. budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat-obatan alami secara luas sudah digunakan menjadi budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih akrab dan lebih mudah diterima

Lebih terperinci

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 FARMASI/SMK BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT Nora Susanti, M.Sc., Apt KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2017 BAB

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB VIII UJI

Lebih terperinci

Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran

Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran Uji Klinik Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran Konsep dasar pemikiran Bahan yang dipakai Pemikiran/metode 2000 SM Magis, sakral Bahan alam Kepercayaan 0 Empiris primitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

Rancangan Penelitian Epidemiologi II: Studi Eksperimental

Rancangan Penelitian Epidemiologi II: Studi Eksperimental Rancangan Penelitian Epidemiologi II: Studi Eksperimental Randomized Controlled Clinical Trial (Uji Klinik)) Pendahuluan Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan penyakit

Lebih terperinci

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR: 659/MENKES/SK/X/1991 TENTANG CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa untuk membuat obat tradisional yang memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM Masukan dapat disampaikan kepada Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen melalui email mmi_stand_ot@yahoo.com, telp/fax 021-4241038 paling lambat tanggal 15 Juni 2016 RANCANGAN

Lebih terperinci

Evaluasi Uji Klinik. Yusi Anggriani, S.Si, Apt, M.Kes

Evaluasi Uji Klinik. Yusi Anggriani, S.Si, Apt, M.Kes Evaluasi Uji Klinik Yusi Anggriani, S.Si, Apt, M.Kes Tujuan Instruksional Setelah kuliah dan diskusi, mahasiswa diharapkan: Mengetahui dan mampu menjelaskan tentang literatur primer. Mengetahui dan memaham

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN OBAT BARU

PENGEMBANGAN OBAT BARU PENGEMBANGAN OBAT BARU Pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk menjawab tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Obat modern dikembangkan

Lebih terperinci

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman akan alamnya. Keanekaragaman alam tersebut meliputi tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Negara berkembang termasuk indonesia banyak

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN, KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi hewan dan masyarakat yang mengkonsumsi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA No. 0584/MENKES/SK/VI/1995. Tentang SENTRA PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PENGOBATAN TRADISIONAL

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA No. 0584/MENKES/SK/VI/1995. Tentang SENTRA PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PENGOBATAN TRADISIONAL KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN No. 0584/MENKES/SK/VI/1995 Tentang SENTRA PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PENGOBATAN TRADISIONAL MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa pengobatan tradisional merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat dari alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan

Lebih terperinci

UJI TOKSISITAS AKUT (LD50)

UJI TOKSISITAS AKUT (LD50) UJI TOKSISITAS AKUT (LD50) 1. Tujuan percobaan Adapun tujuan yang diharapkan dalam praktikum ini adalah : a. Untuk mengetahui dosis suatu obat yang menimbulkan kematian 50% dari hewan percobaan. b. Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Uji toksisitas adalah uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi, dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh

Lebih terperinci

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment Ringkasan Uji Toksisitas Akut Toksisitas: umum-khusus, tunggalberulang, akut (beda) Minimum LD, No ED LD 50 potensi toksisitas (kelas) Konversi, kapasitas maksimum Aplikasi & makna uji toksisitas akut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya mempertahankan kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan kesehatan, namun penggunaan obat tradisional tetap mendapat tempat yang penting bahkan terus berkembang

Lebih terperinci

Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya

Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya Suharmiati Betty Roosihermiatie Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Jl. Indrapura 17 Surabaya Saat ini DM menduduki peringkat ke 4, sebagai epidemik dunia yang menyebabkan

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02002/SK/KBPOM TENTANG TATA LAKSANA UJI KLINIK KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Menimbang

Lebih terperinci

Obat tradisional 11/1/2011

Obat tradisional 11/1/2011 Disampaikan oleh: Nita Pujianti, S.Farm.,Apt.,MPH Obat tradisional Bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik (sarian) atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50 TOKSIKOMETRIK TOKSIKOMETRIK Toksikologi erat hubungannya dengan penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek toksik sehubungan dengan terpaparnya mahluk hidup. Sifat spesifik dan efek suatu paparan

Lebih terperinci

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern dr. Danang Ardiyanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Badan Litbangkes Kementeriann

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang dilaporkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai faktor risiko global penyebab kematian nomor satu pada tahun 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era ini, masyarakat Indonesia mulai memanfaatkan berbagai tanaman sebagai ramuan obat seperti zaman dahulu yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Munculnya kembali

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK KLINIS PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : HAPSARI MIFTAKHUR ROHMAH K 100 050 252 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

MATERIA MEDIKA HERBAL

MATERIA MEDIKA HERBAL MATERIA MEDIKA HERBAL MATERIA MEDIKA HERBAL Tujuan Mampu mengenali berbagai simplisia tanaman obat, yang banyak terdapat di Indonesia, penyebaran dan manfaat, serta persyaratan-persyaratan baku serta kualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mempunyai hasil alam yang berlimpah dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan. Salah satu dari hasil alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian herbal sebagai obat tradisional telah diterima luas di negara-negara maju maupun berkembang sejak dahulu kala, bahkan dalam 20 tahun terakhir perhatian dunia

Lebih terperinci

BADAN POM RI Ind P PEDOMAN PENILAIAN EFIKASI DAN KEAMANAN ANTIHIPERTENSI

BADAN POM RI Ind P PEDOMAN PENILAIAN EFIKASI DAN KEAMANAN ANTIHIPERTENSI BADAN POM RI 615.19 Ind P PEDOMAN PENILAIAN EFIKASI DAN KEAMANAN ANTIHIPERTENSI Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia 2004 I. PENDAHULUAN Pedoman ini berisi prinsip-prinsip umum untuk menilai

Lebih terperinci

Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan

Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan STUDI EKSPRIMENTAL/STUDI INTERVENSI Studi Eksperimental membandingkan data dari sekelompok manusia/obyek yang dengan sengaja diberikan tindakan/intervensi tertentu dengan kelompok lain yang sama tetapi

Lebih terperinci

PERUBAHAN KADAR UREUM DAN KREATININ PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia) (STUDI PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR)

PERUBAHAN KADAR UREUM DAN KREATININ PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia) (STUDI PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR) PERUBAHAN KADAR UREUM DAN KREATININ PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia) (STUDI PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR) SKRIPSI Oleh Febrian Naufaldi NIM 102010101026 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR : HK.00.05.41.1384 TENTANG KRITERIA DAN TATA LAKSANA PENDAFTARAN OBAT TRADISIONAL, OBAT HERBAL TERSTANDAR DAN FITOFARMAKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengumpulan Tanaman Pada penelitian ini digunakan Persea americana Mill yang diperoleh dari perkebunan Manoko, Lembang, sebanyak 800 gram daun alpukat dan 800 gram biji alpukat.

Lebih terperinci

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI

BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI BAB II. KEADAAN UMUM INSTANSI A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN INSTANSI Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000, Badan POM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang bertanggung

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap

Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap Pengertian Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun Bahan kimia berbahaya adalah bahan kimia yang memiliki sifat reaktif dan atau sensitif terhadap perubahan/kondisi lingkungan yang dengan sifatnya tersebut dapat

Lebih terperinci

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum

Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT. Macam Uji Toksisitas. Beda antara jenis uji toksisitas umum Uji Toksisitas UJI TOKSISITAS AKUT Merupakan uji keamanan pra-klinis Untuk penapisan spektrum efek toksik Hewan roden dan non-roden Dripa Sjabana, dr., M.Kes. Mata kuliah Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indikator WHO 1993 Indikator WHO 1993 adalah suatu metode untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat secara langsung menggambarkan tentang penggunaan obat yang tidak sesuai.

Lebih terperinci

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEREDARAN OBAT TRADISIONAL IMPOR BAB I KETENTUAN UMUM.

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEREDARAN OBAT TRADISIONAL IMPOR BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1297/MENKES/PER/XI/1998 TENTANG PEREDARAN OBAT TRADISIONAL IMPOR MENTERI KESEHATAN REBUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi masyarakat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian berjudul Profil Penerapan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit Umum Daerah di Pulau Bangka merupakan penelitian noneksperimental. Metode dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Boraks pada saat ini sering sekali diberitakan melalui media cetak maupun elektronik karena penyalahgunaannya dalam bahan tambahan makanan. Berdasarkan dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan tumbuhan. Sekitar 30.000 jenis tumbuhan diperkirakan terdapat di dalam hutan tropis Indonesia. Dari jumlah tersebut, 9.600 jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

SOP PENGAJUAN DAN PENILAIAN KELAYAKAN ETIK PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

SOP PENGAJUAN DAN PENILAIAN KELAYAKAN ETIK PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA SOP PENGAJUAN DAN PENILAIAN KELAYAKAN ETIK PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA A. Prosedur Pengajuan Kelayakan Etik Penelitian 1. Penilaian kelayakan etik dilakukan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya merupakan racun, tergantung dosis dan cara pemberian, karena dosis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian adalah di Poliklinik Gigi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan obat tradisional sudah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi pengetahuan masyarakat akan khasiat dan kegunaan tanaman obat hanya berdasarkan pengalaman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan suatu negara tropis di dunia yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan ini memiliki berbagai macam manfaat, salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini perkembangan penelitian dengan menggunakan bahan alam yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi berbagai macam penyakit semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang ilmu kedokteran khususnya Ilmu Fisiologi dan Farmakologi-Toksikologi. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON

KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON A2 KOMISI ETIK PENELITIAN KESEHATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON Jl. Terusan Pemuda 1A Cirebon Kode Pos 45132 Telp. 0231-483928 FORMULIR PENGAJUAN ETIK PENELITIAN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG CARA PRODUKSI KOSMETIKA YANG BAIK MENTERI KESEHATAN, Menimbang : a. bahwa langkah utama untuk menjamin keamanan kosmetika adalah penerapan

Lebih terperinci

EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT (UJI KLINIK)

EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT (UJI KLINIK) EVALUASI KHASIAT DAN KEAMANAN OBAT (UJI KLINIK) Rahmatini TINJAUAN PUSTAKA Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas E-mail : Fk.unand.rahmatini@gmail.com Abstrak Uji klinik adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia menderita kanker dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia karena

BAB I PENDAHULUAN. dunia menderita kanker dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia karena 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyakit yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Setiap tahun, 12 juta orang di seluruh dunia menderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dislipidemia merupakan perubahan-perubahan dalam profil lipid yang terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan semakin majunya zaman, mulai timbul berbagai macam penyakit tidak menular, yang berarti sifatnya kronis, dan tidak menular dari orang ke orang. Empat jenis penyakit

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Ruang Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, dimulai pada bulan April - Mei 2016. B. Jenis

Lebih terperinci

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid, BAB 1 PENDAHULUAN Inflamasi merupakan suatu respons protektif normal terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Hal ini membuat Indonesia

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak dan Farmakologi. dari instansi yang berwenang.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak dan Farmakologi. dari instansi yang berwenang. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Pada penelitian ini, disiplin ilmu yang dipakai meliputi bidang Ilmu Kesehatan Anak dan Farmakologi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Ruang lingkup

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan suatu sindrom terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pewarna sintesis yang digunakan dalam makanan adalah aman. bahan yang diwarnai berwarna merah. Penyalahgunaan Rhodamine B pada

BAB 1 PENDAHULUAN. pewarna sintesis yang digunakan dalam makanan adalah aman. bahan yang diwarnai berwarna merah. Penyalahgunaan Rhodamine B pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini bahan kimia tak lagi menjadi bahan asing yang beredar di masyarakat luas dalam bentuk bahan kimia mentah ataupun dalam bentuk obat-obatan. Zat pewarna makanan

Lebih terperinci

Penetapan Kadar Sari

Penetapan Kadar Sari I. Tujuan Percobaan 1. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut air dari simplisia. 2. Mengetahui cara penetapan kadar sari larut etanol dari simplisia. II. Prinsip Percobaan Penentuan kadar sari berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat saat ini berkembang pesat. Oleh karena bahannya yang mudah diperoleh dan diolah sehingga obat tradisional lebih banyak digunakan.

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional:

Tujuan Instruksional: Isnaini, S.Si, M.Si, Apt. Tujuan Instruksional: Mahasiswa setelah mengikuti kuliah ini dapat: Menjelaskan secara benar tujuan pemantauan obat dalam terapi Menjelaskan secara benar cara-cara pemantauan

Lebih terperinci

Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek

Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Calon subyek dapat berasal dari masyarakat (penelitian komunitas) atau pasien (penelitian klinis). Lembar penjelasan harus cukup jelas dan mudah

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan L

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1057, 2016 KEMHAN. Dampak Bahaya Bahan Kimia. Penanggulangan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN DAMPAK BAHAYA

Lebih terperinci

DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN

DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA PENDIDIKAN KEDOKTERAN 7 LAMPIRAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA UNTUK PENDIDIKAN KEDOKTERAN DESKRIPSI UMUM DESKRIPSI KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Semarang. Waktu penelitian selama 15 bulan sejak usulan penelitian proposal,

BAB IV METODE PENELITIAN. Semarang. Waktu penelitian selama 15 bulan sejak usulan penelitian proposal, BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian adalah RSUD Kota Semarang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat bahan alam,

BAB I PENDAHULUAN. antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat bahan alam, 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di Indonesia telah dikenal berbagai macam sediaan yang berasal dari bahan alam antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Harmonisasi. Klasifikasi. Label.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Harmonisasi. Klasifikasi. Label. No.309, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN. Harmonisasi. Klasifikasi. Label. PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87/MIND/PER/9/2009 TENTANG SISTEM HARMONISASI

Lebih terperinci

Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis.

Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis. Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis. Sedangkan perbedaannya, penilaian efek konvensional meliputi penilaian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : HK T e n t a n g

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : HK T e n t a n g BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN Nomor : HK.00.05.4.2411 T e n t a n g KETENTUAN POKOK PENGELOMPOKAN DAN PENANDAAN OBAT BAHAN ALAM INDONESIA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, Menimbang : Mengingat : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 949/MENKES/PER/VI/2000 TENTANG REGISTRASI OBAT JADI MENTERI KESEHATAN, a. bahwa untuk melindungi masyarakat dari

Lebih terperinci

PROSEDUR PENGKAJIAN KOMPONEN DAN/ATAU KLAIM

PROSEDUR PENGKAJIAN KOMPONEN DAN/ATAU KLAIM LAMPIRAN IX PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.12.11.09909 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN KLAIM DALAM LABEL DAN IKLAN PANGAN OLAHAN PROSEDUR PENGKAJIAN KOMPONEN DAN/ATAU KLAIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang para ahli tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat

BAB I PENDAHULUAN. sekarang para ahli tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Parasetamol atau asetaminofen telah ditemukan sebagai obat analgesik yang efektif lebih dari satu abad yang lalu tepatnya pada tahun 1893, tetapi hingga sekarang para

Lebih terperinci

Oleh : Ashfar Kurnia

Oleh : Ashfar Kurnia Oleh : Ashfar Kurnia Penilaian % Kehadiran (5%) & keaktifan (5%) 10 Mini Quiz (2x) 10 Tugas Makalah + ppt + maju + diskusi TJ 30 UTS 30 UAS 20 Siswandono & Soekardjo, B. (2000). Kimia Medisinal. Surabaya:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Manfaat berbagai macam tanaman sebagai obat sudah dikenal luas di negara berkembang maupun negara maju. 70-80% masyarakat Asia dan Afrika masih menggunakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tan dan Rahardja, 2007). Rasa nyeri merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan terhadap penyakit ringan atau berat dapat dilakukan menggunakan obat sintetis ataupun obat yang berasal dari bahan alam. Namun demikian, beberapa pihak terutama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional.

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional. Polusi Udara + ISPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Per Mortality Rate (PMR) 13 %. Di negara-negara maju seperti

BAB I PENDAHULUAN. dengan Per Mortality Rate (PMR) 13 %. Di negara-negara maju seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyebab kematian dengan kontribusi sebesar 13 % kematian dari 22 % kematian akibat penyakit tidak menular utama di dunia. Insidensi penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

DAFTAR ISI. HALAMAN SAMPUL DEPAN... i. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... iii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv HALAMAN PERNYATAAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci