Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Analisis Spasial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Analisis Spasial"

Transkripsi

1 Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Analisis Spasial B. Barus 1,2, D.R. Panuju 1,2, L.S. Iman 2, B.H.Trisasongko 1,2, K. Gandasasmita 1, dan R. Kusumo 1 1) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB 2) Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB bababarus@yahoo.com; no fax Abstrak Dalam kaitan dengan ketahanan pangan, Indonesia telah menyusun UU yang terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan yang perlu dilindungi berdasarkan peraturan ini masih perlu diterjemahkan secara operasional khususnya pada saat menetapkan lahan pangan yang perlu diproteksi. Berbagai kriteria fisik seperti kesesuaian lahan, sarana irigasi, dan kriteria sosial dan ekonomi, yang semuanya terkait dengan isu statis, telah diimplementasikan dalam peraturan tersebut. Namun demikian, kriteria yang bersifat dinamis seperti potensi lahan terkonversi belum diterapkan sebelumnya, padahal isu tersebut merupakan masalah terbesar dalam usaha mempertahankan lahan pangan tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung potensi konversi lahan dalam upaya menentukan keputusan penentuan lahan pangan yang perlu dilindungi di Kabupaten Garut. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dengan SIG. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya Pemerintah Daerah dalam mengamati perkembangan dinamika lahan sawah mengingat konversi lahan sawah yang ditengarai cukup signifikan. Hasil analisis juga mengindikasikan kecepatan pencetakan sawah baru yang masih timpang dan lebih rendah dari laju konversinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa peranan jalan sangat signifikan dalam konservasi wilayah pesawahan di Kabupaten Garut. Kata kunci: konversi lahan, lahan berkelanjutan, Garut 1. PENDAHULUAN Perubahan penggunaan lahan di Indonesia telah diketahui banyak terjadi. Perubahan terbesar terjadi pada wilayah hutan yang umumnya dikonversi menjadi tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, atau komoditas lainnya. Konversi

2 hutan ditengarai merupakan tindakan yang kurang menguntungkan pada beberapa aspek. Dari segi biota tanah, Kadir et al. (1998) menunjukkan bukti bahwa organisme penghasil enzim dalam tanah menurun pada hutan yang telah dikonversi. Perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada lahan pertanian. Perubahan penggunaan lahan pada lahan kering banyak terjadi untuk mengakomodasi kebutuhan perumahan, industri dan jasa. Kondisi ini umumnya terjadi di Indonesia yaitu pada wilayah peri-urban. Firman (2004) menyajikan diskusi yang mendalam pada aspek pemanfaatan lahan pada kawasan urban dan sekitarnya. Konversi lahan pertanian yang patut diwaspadai adalah bila terjadi pada lahan sawah. Proses pencetakan sawah merupakan proses yang banyak menelan biaya, utamanya dalam membangun infrastruktur dasar seperti irigasi dan bendungan. Pantura Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dengan tingkat konversi yang tinggi di Indonesia (Firman 1997). Firman (2000) mengindikasikan bahwa dinamika perubahan lahan banyak dipengaruhi oleh kebijakan BPN dalam perijinan pengusahaan lahan. Dengan demikian data penurunan luasan lahan sawah merupakan salah satu data penting dalam perencanaan bidang pertanian. Konversi aktual lahan sawah perlu ditelaah dalam kerangka Undang-undang No. 41/2009 yang merujuk pada perlindungan lahan pangan berkelanjutan. Hal ini ditujukan untuk memberi gambaran awal kondisi konversi aktual (benchmark) dalam kontrol Undang-undang tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji penurunan luasan sawah dalam wilayah proteksi Undang-undang tersebut dalam kerangka analisis spasial. 2. METODOLOGI 2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kabupaten ini merupakan salah satu penghasil beras terpenting di Jawa Barat, sehingga merupakan salah satu bread basket untuk produksi beras nasional. Lokasi penelitian disajikan pada gambar berikut.

3 Gambar 1. Lokasi Penelitian Data dan Analisis Berbagai data dimanfaatkan dalam penelitian ini. Data utama adalah data spasial dalam bentuk citra penginderaan jauh dan peta dasar dan tematik. Citra yang digunakan adalah Landsat ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2000 dan Untuk

4 pengamatan yang lebih detil pada petak sawah, penelitian ini juga memanfaatkan citra IKONOS Pan-Sharpen pada wilayah tertentu yang diperoleh dari Kementerian Pertanian melalui Dinas Pertanian Kabupaten Garut. Keseluruhan citra penginderaan jauh dikoreksi geometri berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia pada lokasi yang bersesuaian. Analisis tutupan lahan dilakukan secara visual, dipandu oleh data lapangan dan citra resolusi tinggi IKONOS. Dari proses ini diperoleh data perubahan penggunaan lahan sawah selama kurun waktu 9 tahun. Pengolahan data spasial pertama ditujukan untuk mengetahui wilayah dengan kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Data spasial yang menjadi masukan adalah berbagai data fisik serta non-fisik, yang selanjutnya ditelaah menggunakan sistem informasi geografis. Analisis spasial lanjutan dilakukan untuk menelaah dinamika konversi lahan yang diturunkan dari data Landsat ETM+. Analisis dilakukan dalam perangkat lunak sistem informasi geografis dengan melakukan tumpangtindih boolean antara data LP2B yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Garut dan konversi lahan sawah yang dideteksi. Dengan demikian, dapat diperoleh informasi wilayah yang tidak bersesuaian antara kedua data tersebut. Wilayah ini merupakan wilayah yang prioritas untuk diperhatikan agar fungsi LP2B dapat diimplementasikan. Wilayah yang tidak bersesuaian selanjutnya dianalisis lebih lanjut untuk mengatahui posisinya terhadap jalan sebagai sarana akses terhadap lahan sawah tersebut. Hal ini dilakukan dengan analisis wilayah penyangga (buffer) dalam agregat kecamatan sebagai unit analisisnya. Dalam penelitian ini, analisis citra penginderaan jauh dan data spasial lainnya didukung oleh survei lapangan yang intensif. Survey lapangan dilakukan pada 3 periode pengamatan mengingat aksesibilitas beberapa wilayah yang menghambat. Pengamatan tanah pada wilayah tertentu dilakukan untuk memperkaya informasi. Contoh tanah diambil secara komposit sesuai standar dan dianalisis di laboratorium. Data lain yang direkam adalah lokasi sawah yang dilengkapi dengan data lokasi menggunakan perangkat penerima sinyal GPS, sehingga memungkinkan pengecekan hasil interpretasi citra. Pada seluruh titik pengamatan, foto lapangan diambil untuk keperluan dokumentasi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

5 Salah satu tujuan dari ditetapkannya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah tersedianya lahan pangan berkelanjutan pada suatu wilayah. Informasi ini merupakan dasar bagi perencanaan pertanian yang lebih baik dengan memantau kontinyuitas dari lahan pertanian. Kontinyutas merupakan aspek penting dalam aspek pertanian pangan yang perlu dijaga. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam penilaiannya adalah termasuk mempertimbangkan faktor fisik sesuai daya dukung lingkungan, aksesibilitas, dan dukungan legalitas hukum yang termuat dalam peraturan daerah (Perda). Data tersebut dapat mengarah pada identifikasi lahan sawah aktual yang terverifikasi dari data lapangan serta mempertimbangkan karakteritik fisik lingkungannya. Lahan prioritas pertanian pangan berkelanjutan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan aspek tingkat kemampuan fisik lahan, tersedianya infrastruktur irigasi dan aksesibilitas. Berdasarkan parameter tersebut maka dapat diperoleh tipe lahan sawah berdasarkan prioritas penilaian karakteristik dan sebaran per kecamatan. Tabel berikut menunjukan prioritas berbagai tipe sawah berdasarkan penilaian karakteristik fisik alami. Tabel 1. Priotitas Tipe Sawah berdasarkan Karakteristik Fisik dan Sebaran per Kecamatan Tipe Karakteristik Keterangan Kecamatan Lahan Potensial; karakteristik fisik dengan kelerengan <8% (datar), sesuai secara aktual, infrastruktur irigasi teknis, indeks pertanaman mencapai 3 kali dalam 1 musim tanam, dan aksesibilitas baik Lahan Potensial; karakteristik fisik dengan kelerengan 8-15%, sesuai secara aktual, infrastruktur irigasi tersedia (irigasi semi teknis dan pedesaan), indeks pertanaman mencapai 2 kali dalam 1 musim tanam, dan aksesibilitas baik Sawah aktual, non irigasi, semua IP, kemiringan lereng >=15 % Lahan potensial dan prioritas utama lahan sawah Lahan potensial dengan prioritas kedua, indeks pertanaman/ip ditingkatkan dengan teknologi Lahan prioritas ketiga dengan potensi longsor tinggi (jika salah pengelolaan), penting untuk isu kemandirian pangan secara lokal, calon lahan CP2B jika status necara pangan surplus Kecamatan Bayongbong, Samarang, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Wanaraja, Karangpawitan, Sukawening, Kadungora dan Malangbong Kecamatan Blubur, Limbangan, Selaawi, Leuwigoong, Sukaresmi dan Pameungpeuk Tersebar dominan di wilayah selatan Kabupaten Garut

6 Berdasarkan prioritas dari berbagai karakteristik tipe sawah, konfigurasi ruang lahan sawah untuk diusulkan sebagai lahan P2B yaitu pada skenario tipe pertama dominan tersebar di wilayah tengah sampai utara. Untuk tipe kedua, wilayah yang dominan tersebar di bagian utara dan selatan dengan dukungan fisik kemiringan lereng yang relatif datar. Tipe ketiga umumnya berada pada wilayah bagian selatan Kabupaten Garut dengan karakteristik yang relatif berbeda dimana faktor kemiringan lereng dapat diabaikan. Namun demikian, terkait dengan ketahanan pangan lokal sebagai pertimbangan utama, lahan ini dikategorikan dalam prioritas lahan P2B. Gambar 2 menyajikan pola sebaran spasial LP2B di Kabupaten Garut. Secara spasial, lahan P2B yang utama di Kabupaten Garut berlokasi di sekitar Kota Garut. Hal ini merupakan keuntungan besar bila ditinjau dari segi akses wilayah untuk kegiatan pendampingan atau penyuluhan petani. Namun demikian, perkembangan Kota Garut sebagai kota peristirahatan dan turisme menjadi salah satu ancaman terpenting yang perlu diperhatikan. Lahan P2B prioritas 1 pada wilayah selatan Kabupaten Garut umumnya memusat di sekitar Kota Kecamatan Pameungpeuk. Wilayah ini juga perlu diwaspadai mengingat hasil pengamatan lapang menunjukkan bahwa Pameungpeuk juga mulai berkembang dan terdapat indikasi kuat adanya konversi sawah menjadi penggunaan lain, utamanya prasarana dasar seperti stasiun pengisian bahan bakar.

7 Gambar 2. Pola Sebaran Spasial LP2B di Kabupaten Garut 3.2. Perubahan Lahan Sawah Citra penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam mengekstrak informasi spasial. Hal ini sangat penting dalam analisis spasial seperti konversi lahan sawah

8 yang membutuhkan liputan yang luas dalam kurun waktu yang cukup panjang. Hasil pengolahan data penginderaan jauh tahun 2009 disajikan pada gambar berikut. Gambar 3. Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2009

9 Peta penggunaan lahan yang diturunkan dari citra penginderaan jauh menunjukkan bahwa lahan sawah aktual berada di hampir seluruh wilayah, meskipun pada wilayah selatan yang cenderung lebih kering. Konsentrasi wilayah penanaman padi berada pada sekitar Kota Garut, Kota Pameungpeuk serta wilayah pebukitan selatan (Bungbulang dan sekitarnya). Pada wilayah selatan kabupaten, sebagian besar lahan sawah berasosiasi dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di pantai selatan Jawa Barat. Dengan membandingkan data sebaran sawah tahun 2009 dan tahun 2000, dapat diperoleh tabel dinamika lahan sawah di wilayah kajian. Tabel berikut menyajikan perubahan luasan sawah antara tahun 2000 dan Tabel 2. Pengurangan Luas sawah 2000 dan penggunaannya di tahun 2009 Penggunaan Non Sawah Tahun 2009 Luas Pengurangan Sawah (Ha) Persentase Hutan (Agroforestri) -2056,85 7,44% Padang Rumput -0,09 0,00% Perkebunan Karet -33,86 0,12% Perkebunan Lainnya -192,66 0,70% Permukiman -8283,60 29,95% Pertanian Lahan Kering ,06 61,13% Sungai -26,01 0,09% Tanah Terbuka -25,25 0,09% Tubuh Air -131,93 0,48% Jumlah ,16 100,00% Dari tabel tersebut diketahui bahwa total luas sawah yang berubah menjadi penggunaan non sawah adalah seluas Ha. Dari berbagai jenis perubahan terbesar, perubahan menjadi lahan kering merupakan penyumbang terbesar yaitu 61% dengan luasan sebesar Ha. Secara berurutan jenis perubahan sawah ke penggunaan lain yang dominan berikutnya adalah perubahan ke permukiman seluas 8283 Ha, dan konversi ke hutan (agroforestri). Pengamatan lapangan banyak menemukan penanaman yang intensif berbagai komoditas agroforestri seperti sengon pada lahan pertanian.

10 3.3. Perubahan Penggunaan Sawah pada Berbagai Jarak ke Jalan Berbagai kajian terkait perubahan penggunaan lahan menyatakan pentingnya peranan dari aksesibilitas atau jarak ke jalan raya dengan besaran luas perubahan penggunaan lahan sawah (Wahab, 2009). Pada penelitian ini dilakukan kajian pengaruh jarak ke jalan raya terhadap penurunan maupun perluasan lahan sawah di wilayah Kabupaten Garut. Hasil identifikasi luasan perubahan disajikan pada Gambar berikut. Gambar 4. Luas Perubahan Lahan Non Sawah ke Sawah dan dari Sawah ke Non Sawah pada Jarak 100m, 500m dan 1000m dari jalan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa secara umum luas perubahan lahan sawah semakin besar dengan semakin jauhnya jarak dari jalan raya. Namun terdapat pola yang tidak linier pada perubahan lahan sawah pada jarak 100m dan 500m. Hal ini terjadi karena kategori jalan yang dipertimbangkan dalam identifikasi luas sawah pada kedua jarak tersebut berbeda. Pada jarak 100m kategori jenis jalan yang dipertimbangkan termasuk di dalamnya jenis jalan kolektor dan jalan lokal. Sedangkan untuk identifikasi pada jarak 500m dan 1000m kategori jalan yang dipertimbangkan hanya jalan nasional (jalan tol) dan jalan provinsi. Untuk dapat membandingkan pengaruhnya secara lebih sebanding, pada gambar selanjutnya disajikan rataan luas perubahan setiap 100m jarak dari jalan tersebut.

11 Gambar 5. Rataan Luas Perubahan per 100 m Jarak ke Jalan pada Kategori Jarak 100m, 500m dan 1000m Dari gambar tersebut diketahui bahwa semakin jauh jarak dari jalan rata-rata luas perubahan lahan sawah ke penggunaan lahan non sawah semakin kecil. Secara umum luas konversi sawah ke penggunaan non sawah lebih besar dibandingkan dengan luas pembentukan sawah baru. Dari kedua gambar yang terakhir disajikan dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas jalan memiliki peran signifikan dalam mendukung semakin dinamisnya perubahan lahan. Perluasan jalan tol dan jalan provinsi mempercepat proses perubahan luas sawah ke penggunaan non sawah. 4. KESIMPULAN Dengan diimplementasikannya Undang-undang No 41 Tahun 2009 yang berusaha memproteksi lahan sawah, diharapkan bahwa jaminan ketahanan pangan di suatu wilayah diharapkan lebih pasti pencapaiannya. Namun demikian, ancaman konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah sebagai dampak semakin intensifnya pembangunan permukiman dan jaringan infrastruktur, akan mengancam keberlanjutan lahan untuk produksi pangan tersebut. Kabupaten Garut sebagai salah satu kabupaten di Jawa Barat yang berkontribusi besar dalam produksi pangan tidak terlepas dari ancaman konversi sawah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cukup signifikan di wilayah studi. Sebagian besar konversi terjadi untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering, sebagai langkah awal untuk pola pemanfaatan lain (umumnya non

12 pertanian). Namun demikian, hasil analisis juga menunjukkan signifikannya konversi cepat (langsung) ke permukiman. Pada wilayah studi juga ditemukan konversi sawah ke pengusahaan agroforestri. Terkait dengan jaringan jalan yang juga merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong konversi lahan, pada lokasi ini juga dapat disimpulkan bahwa semakin jauh jarak sawah dari jalan, rata-rata luas perubahan lahan sawah ke penggunaan lahan non sawah menjadi semakin kecil. Hal ini dapat menjadi masukan penting bagi parapihak pemangku kepentingan pada aspek pertanian. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pertanian Kabupaten Garut atas kerjasama yang baik selama penelitian ini dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Firman, T Land Conversion and Urban Development in the Northern Region of West Java, Indonesia. Urban Studies 34(7), Firman, T Rural to Urban Land Conversion in Indonesia during Boom and Bust Periods. Land Use Policy 17(1), Firman, T Major issues in Indonesia's urban land development. Land Use Policy 21(4), Kadir, SA, K Arata, K Makoto Activities of Some Soil Enzymes in Different Land Use Systems after Deforestation in Hilly Areas of West Lampung, South Sumatra, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition 44(1), Wahab, A Dampak Peningkatan Kualitas Jalan Lingkar Barat Enrekang terhadap Pengembangan Kawasan Pertanian. Tesis Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012

EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 EXECUTIVE SUMMARY ZONASI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2012 K E M E N T E R I A N P E K E R J A A N U M U M B A D A N P E N E L I T I A N D A N P E N G E M B A N G A N P U S A T P E N E L I T

Lebih terperinci

ANALISA BANJIR BANDANG BERDASARKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN GARUT - PROVINSI JAWA BARAT TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016

ANALISA BANJIR BANDANG BERDASARKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH DI KABUPATEN GARUT - PROVINSI JAWA BARAT TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGNDERAAN JAUH Jl. Kalisari LAPAN No. 8 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710 Telp. 021-8710065, 021-8722733 Faks. 021-8722733 Email: timtanggapbencana@lapan.go.id

Lebih terperinci

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008. Luas Panen (Ha)

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008. Luas Panen (Ha) Tabel 5.1.03 : Tambah Tanam,, dan Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2008 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.087 3.359 19.790 58.92 011. Caringin 1.308 1.110 6.524 58.77 020. Talegong

Lebih terperinci

SEBARAN KEBUN KELAPA SAWIT AKTUAL DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI LAHAN BERGAMBUT DI PULAU SUMATERA

SEBARAN KEBUN KELAPA SAWIT AKTUAL DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI LAHAN BERGAMBUT DI PULAU SUMATERA 17 SEBARAN KEBUN KELAPA SAWIT AKTUAL DAN POTENSI PENGEMBANGANNYA DI LAHAN BERGAMBUT DI PULAU SUMATERA 1,2Baba Barus, 1,2 Diar Shiddiq, 2 L.S. Iman, 1,2 B. H. Trisasongko, 1 Komarsa G., dan 1 R. Kusumo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA OLEH : DR. M LUTHFUL HAKIM PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Lebih terperinci

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2007

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2007 TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI Kecamatan Tambah Tanam (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.861 2.568 14.265 55,55 011. Caringin 1.611 1.383 7.673 55,48 020. Talegong

Lebih terperinci

Penelitian Strategis Unggulan IPB

Penelitian Strategis Unggulan IPB Penelitian Strategis Unggulan IPB PENGEMBANGAN KONSEP ALOKASI LAHAN UNTUK MENDUKUNG REFORMA AGRARIA DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI SPASIAL Oleh : Baba Barus Dyah Retno Panuju Diar Shiddiq Pusat Pengkajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006 TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 2.925 3.669 19.642 53,54 011. Caringin 795

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT)

PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT) J. Tanah Lingk., 14 (1) April 2012: 29-36 ISSN 1410-7333 PEMETAAN LAHAN BERPOTENSI UNTUK MENDUKUNG USULAN PERENCANAAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT) Mapping of

Lebih terperinci

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha)

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha) Tabel 5.1.03 : Tambah Tanam,, dan Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut 2009 Tambah Tanam (Ton) (Kw) (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3.151 2.877 17.955 62,41 011. Caringin 1.562 1.503 9.345 62,18 020. Talegong

Lebih terperinci

UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL

UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL UPAYA MEMPERTAHANKAN PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TEGAL Rizal Imana 1), Endrawati Fatimah 2), Sugihartoyo 3) Jurusan Teknik Planologi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

TABEL PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT KECAMATAN, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH (SUSEDA KAB. GARUT 2005)

TABEL PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT KECAMATAN, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH (SUSEDA KAB. GARUT 2005) TABEL 3.19. PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH Laki-laki pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekol- pernah Masih bersekolsekolah 010. Cisewu

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS (GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau

Lebih terperinci

JUMLAH SEKOLAH, KELAS, GURU, RUANG KELAS, MURID LULUSAN, MENGULANG DAN PUTUS SEKOLAH SD DI KABUPATEN GARUT TAHUN Guru R. Kelas Murid Lulusan

JUMLAH SEKOLAH, KELAS, GURU, RUANG KELAS, MURID LULUSAN, MENGULANG DAN PUTUS SEKOLAH SD DI KABUPATEN GARUT TAHUN Guru R. Kelas Murid Lulusan SD DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2004 Kecamatan Sekolah Jml Rombel Guru R. Kelas Murid Lulusan Mengulang Putus Sekolah Cisewu 27 168 154 167 3.647 598 35 - Caringin 20 145 91 107 3.844 556 24 11 Talegong 23

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia. Luas lahan pertanian sawah di Indonesia saat

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Soedarto (2009:179) Demam berdarah dengue adalah penyakit virus yang tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropis. Penderitanya adalah anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1 Peta Transek Daerah Penelitian

LAMPIRAN. Lampiran 1 Peta Transek Daerah Penelitian 39 LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Transek Daerah Penelitian 40 Lampiran 2 Matriks Perubahan Lahan Tahun 2007-2014 Landuse Ht Kc Ld Ltb Ltk Pmk Sw Tba Total (Ha) Ht 39,3 4,0 7,6 1,3 2,8 2,3 37,74 2,7 97,8 Kc

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Taman Kanak- Kanak di Kabupaten Garut Tahun Murid laki-laki

Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Taman Kanak- Kanak di Kabupaten Garut Tahun Murid laki-laki Tabel 4.1.02 : Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Taman Kanak- Kanak di Kabupaten Garut Sekolah Guru Murid laki-laki Murid Perempuan Total Murid (1) (2) (3) (4) (5) (6) 010. Cisewu 6 81 9 97 106 011.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik antara lain (1) luasan relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik yang bersifat spesifik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1

Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1 Konversi Lahan Sawah Berbasis Perubahan Penutup Lahan Citra Multiwaktu di Kota Langsa Iswahyudi 1, Abdurrachman 2 1 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Samudra 2 Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

Jumlah Petugas Pelayanan Akseptor Baru Keluarga Berencana di Kabupaten Garut Tahun 2009

Jumlah Petugas Pelayanan Akseptor Baru Keluarga Berencana di Kabupaten Garut Tahun 2009 Tabel 4.2.19 : Jumlah Petugas Pelayanan Akseptor Baru Keluarga Berencana di Kabupaten Garut Tahun 2009 PLKB DOKTER BIDAN JUMLAH (1) (2) (3) (4) (5) 010. Cisewu 3-3 6 011. Caringin 3-2 5 020. Talegong 3-3

Lebih terperinci

Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRW berbasis Karakter lokal dan Lingkungannya

Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRW berbasis Karakter lokal dan Lingkungannya 1 Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRW berbasis Karakter lokal dan Lingkungannya Oleh : Baba Barus, Didiet O. Pribadi, Andi S. Putra, O.Rusdiana, dan Setia hadi (Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 LAMPIRAN I : PERATURAN NOMOR TANGGAL : : 18 Tahun 2013 31 Desember 2013 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA TAHUN ANGGARAN 2014 Rekening Hal 1 dari 2 1 2 3 4. PENDAPATAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting di dalam pembangunan nasional karena sektor ini memanfaatkan sumber daya alam dan manusia yang sangat besar (Soekartawi,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kota Provinsi Sumatera Barat (Gambar 5), dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Kota merupakan salah satu dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang 5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi

Lebih terperinci

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Fisik Daerah Geografi Kabupaten Garut secara geografis terletak di antara 6 0 56 49-7 0 45 00 Lintang Selatan dan 107 o 25 8-1088 o 7 30 Bujur Timur dengan batas wilayah

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PRIORITAS PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH PADA KAWASAN STRATEGIS PERKOTAAN DI KABUPATEN GARUT

PRIORITAS PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH PADA KAWASAN STRATEGIS PERKOTAAN DI KABUPATEN GARUT J. Tanah Lingk., 16 (2) Oktober 2014: 67-74 ISSN 1410-7333 PRIORITAS PERLINDUNGAN LAHAN SAWAH PADA KAWASAN STRATEGIS PERKOTAAN DI KABUPATEN GARUT Priority Zoning for Paddy Field Protection on Strategic

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda. perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu penggerak utama dari roda perekonomian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional.

Lebih terperinci

Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial

Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial AY 13 Multiple Criteria Evaluation (MCE) According to Smith (1980), multiple criteria evaluation (MCE) is defined as: "The weighting of independent criteria

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kawasan perkotaan cenderung mengalami pertumbuhan yang dinamis (Muta ali, 2011). Pertumbuhan populasi selalu diikuti dengan pertumbuhan lahan terbangun sebagai tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

: Persentase Penduduk Usia 10 Tahun menurut Ijasah/STTB yang Dimiliki di Kabupaten Garut Tahun 2012

: Persentase Penduduk Usia 10 Tahun menurut Ijasah/STTB yang Dimiliki di Kabupaten Garut Tahun 2012 4.1.01 : Persentase Penduduk Usia 10 Tahun menurut Ijasah/STTB yang Dimiliki di Kabupaten Garut Tahun 2012 Ijasah/STTB yang Dimiliki Laki-laki Male Perempuan Female Jumlah Total (1) (2) (3) (4) Tdk punya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

Jumlah Populasi Ternak Menurut Jenis di Kab. Garut Kecamatan Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Domba Kambing Kuda

Jumlah Populasi Ternak Menurut Jenis di Kab. Garut Kecamatan Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Domba Kambing Kuda Jumlah Populasi Ternak Menurut Jenis di Kab. Garut Kecamatan Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Domba Kambing Kuda (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 010. Cisewu - 33 629 12,676 2,424-011. Caringin - 701 632 6,921

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsorlahan merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau mineral campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP

KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP KAJIAN POLA PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN GARUT BERBASIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN HIDUP Study of Spatial Pattern of Environmental Carrying Capacity in Garut Ardhy Firdian 1), Baba Barus 2) *, Didit Okta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di wilayah Kabupaten Siak Propinsi Riau. Jaringan jalan yang terdapat di

I. PENDAHULUAN. di wilayah Kabupaten Siak Propinsi Riau. Jaringan jalan yang terdapat di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subsektor prasarana wilayah khususnya prasarana jalan dan jembatan merupakan hal yang sangat menentukan didalam memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah Kabupaten Siak Propinsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci