BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Kata koperasi berasal dari bahasa Latin Cooperate yang dalam bahasa Inggris

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Kata koperasi berasal dari bahasa Latin Cooperate yang dalam bahasa Inggris"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Teoritis Pengertian Koperasi Kata koperasi berasal dari bahasa Latin Cooperate yang dalam bahasa Inggris Cooperative. Co artinya bersama dan operation artinya bekerja. Sehingga cooperation berarti bekerja atau berusaha bersama-sama. Kata Koperasi mempunyai makna khusus yang dapat didefinisikan sebagai perkumpulan yang memberikan kebebasan keluar masuk sebagai anggota dan bertujuan untuk dapat meningkatkan kebutuhan materi anggota dengan menjalankan usaha secara bersama (Hudiyanto, 2002). Koperasi merupakan suatu bisnis yang dimiliki oleh para pengguna yang dikontrol para pengguna dan yang membagikan keuntungan yang diperoleh berdasarkan atas tingkat partisipasi dari pengguna. Dari pengertian operasional ini bisa dikemukakan 3 (tiga) konsep tentang koperasi yaitu: 1. Prinsip pemilikan oleh pengguna dimana orang yang memiliki dan mendanai adalah orang yang terlibat sebagai user. 2. Prinsip kontrol oleh penguna, yaitu bahwa pengawasan atas koperasi dilakukan oleh orang yang menggunakan (terlibat) dalam koperasi. 8

2 9 3. Prinsip keuntungan pengguna, yaitu bahwa keuntungan koperasi didistribusikan kepada para user berdasarkan atas tingkat keterlibatannya dalam koperasi. Menurut Undang-Undang No 25 tahun 1992, koperasi merupakan badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang beradasarkan atas asas kekeluargaan. Dari definisi di atas maka bisa diambil beberapa pengertian penting dari koperasi yaitu: 1. Koperasi adalah organisasi dari orang-orang. Orang-orang itu berkumpul karena memiliki kesamaan kebutuhan ekonomi, sehingga mereka melakukan usaha bersama. 2. Koperasi merupakan usaha dimana orang-orang berkumpul bukan untuk menyatukan uang atau modal melainkan mereka menyatukan modal sebagai akibat dari adanya kesamaan kepentingan. Oleh karena itu, persyaratan utama bagi masuknya anggota bukan atas dasar besarnya kesangupan membayar simpanan pokok, simpana wajib dan simpanan suka rela, melainkan atas dasar dorongan kepentingan ekonomi masyarakat yang menjadi anggota. 3. Koperasi merupakan usaha yang harus dapat memberikan pelayanan ekonomi kepada anggotanya dan masyarakat lingkungannya. Dalam kegiatannya koperasi selalu mementingkan pelayanan kepada anggota dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena orientasi pelayanan adalah kepada anggota, maka koperasi tidak bisa (tidak boleh) melakukan hubungan (pelayanan) kepada non anggota hanya karena cara itu dianggap lebih mudah dan menguntungkan

3 10 dari pada melayani anggota. Untuk menghindarkan kecenderungan memilih yang lebih menguntungkan (tetapi meninggalkan anggota) maka pengambilan keputusan tidak berdasarkan modal. Pengambilan keputusan atas dasar modal jelas mengakibatkan kecenderungan mengutamakan keuntungan dari pada anggota. 4. Koperasi adalah perkumpulan di bidang ekonomi yang didukung oleh orangorang sebagai anggotanya dan menghimpun kekuatan secara bersama untuk mencapai tujuan. 5. Koperasi merupakan usaha yang demokratis, dimana terdapat kebebasan orang untuk masuk dan keluar dalam koperasi, dan sekaligus ada jaminan kedudukan yang sama antar anggota koperasi. 6. Bagi Indonesia koperasi mempunyai tujuan ganda. Disamping untuk memenuhi kebutuhan anggotanya, juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat watak sosialnya Prinsip Koperasi Prinsip sering diartikan sebagai sesuatu aturan yang berlaku untuk mengarahkan perilaku yang pada umumnya merupakan aturan fundamental atau bersifat komprehensif. Dengan prinsip itu maka perilaku dari para pelakunya harus dirujukkan dalam kondisi apapun. Kalau perilaku seseorang dalam kondisi apapun sudah tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip maka orang itu dianggap sudah tidak berperilaku sesuai dengan prinsip yang sudah disepakati. Prinsip koperasi pada dasarnya bermanfaat untuk dua hal berikut:

4 11 1. Sebagai pedoman bagi pengurus dan manajer koperasi dalam menjalankan aktivitasnya. Karena prinsip merupakan aturan perilaku dan kebenaran dasar maka prinsip itu akan menjadi penting bagi pengambilan keputusan agar tujuan koperasi bisa tercapai. 2. Untuk membandingkan dan mengelompokkan koperasi. Dengan merujuk pada prinsip tertentu akan memudahkan mengidentifikasi filosofis seperti kaitannya dengan kebijakan dan praktek keseharian. Akan dengan mudah dilihat apakah sesuatu gerakan atau bisnis merupakan koperasi yang sebenarnya atau hanya masuk dalam kelompok mirip koperasi. Dalam Pasal 33 UU no 25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa prinsip koperasi Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi mengandung makna bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksa oleh siapapun dan dapat mengundurkan diri dari koperasi sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam anggaran dasar. Sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan dan diskriminasi dalam bentuk apapun. 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis. Prinsip demokratis menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota. Para anggota itulah yang memegang dan melakukan kekuasaan tertinggi. 3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan adil dan sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.

5 12 Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang disetor dalam koperasi tetapi juga berdasarkan pertimbangan jasa usaha anggota terhadap koperasi. Hal ini merupakan wujud dari nilai kekeluargaan dan keadilan. 4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Modal dalam koperasi pada dasarnya dipergunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk sekedar mencari keuntungan. Oleh karena itu balas jasa terhadap modal yang diberikan kepada anggota juga terbatas dan tidak didasarkan semata-mata atas besarnya modal yang diberikan. Terbatas dimaksudkan sebagai wajar, tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar. 5. Kemandirian Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain dan memiliki kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri dan kehendak untuk mengelola diri sendiri Penggolongan Koperasi Menurut Hudiyanto (2002), penggolongan koperasi dilakukan sesuai dengan tekanannya masing-masing. Cara penggolongan bisa didasarkan atas: 1. Fungsi yang diemban oleh koperasi 2. Golongan masyarakat yang menjadi anggota 3. Jenis komoditi yang diusahakan Dilihat dari fungsinya maka koperasi dibedakan menjadi 5 (lima) jenis yaitu: 1. Koperasi Konsumsi

6 13 Koperasi konsumsi disebut juga koperasi pemakai adalah koperasi yang didirikan oleh sekelompok orang yang menggunakan barang dan jasa. Pengertian pemakaian (Konsumsi) menunjuk pada aktivitas pemanfaatan sesuatu jenis barang. Karena yang terkumpul dalam koperasi tersebut adalah orang yang membeli, menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa. Maka koperasi konsumsi juga disebut koperasi konsumen. 2. Koperasi Kredit Koperasi kredit adalah koperasi yang melakukan kegiatan atau usaha simpan pinjam berupa uang tunai. Kegiatan simpan pinjam yang diorganisasi dalam koperasi kredit sangat diperlukan pula oleh koperasi-koperasi lainnya. Penyediaan uang tunai juga sangat dibutuhkan oleh para petani, pedagang dan setiap manusia pada umumnya. 3. Koperasi Produksi Koperasi produksi merupakan koperasi dari para produsen suatu barang. Koperasi ini didirikan untuk menyamakan persepsi dan langkah dalam menghadapi pasar dan persaingannya dengan usaha besar individual. Dengan demikian diharapkan diantara produsen kecil tidak terjadi saling menjatuhkan, melainkan terjadi situasi saling menguntungkan. Informasi tentang produk dan teknologi baru, harga dan penjualan dikumpulkan dan dibagikan secara bersama. 4. Koperasi Pemasok Koperasi pemasok sering dirujukkan sebagai koperasi pembelian yang aktivitasnya meliputi semua jenis keperluan dari semua aktivitas. Koperasi

7 14 pembelian memungkinkan tersedianya berbagai barang yang dibutuhkan secara stabil. Ketika terjadi kelangkaan barang yang dibutuhkan koperasi akan mengusahakan tetapnya pasokan. 5. Koperasi Pemasaran Koperasi pemasaran merupakan koperasi yang dibentuk dengan tujuan untuk memperlancar dan mempertinggi daya saing dalam memasarkan produk lewat peningkatan daya tawar bersama Modal Koperasi Menurut Hudiyanto (2002), modal usaha koperasi merupakan hal pokok yang pertama kali harus ada dalam koperasi. Sebagaimana bentuk usaha lainnya koperasi memerlukan pendanaan dalam jumlah yang besar untuk membeli atau menyewa tanah, bangunan, peralatan, persediaan dan berbagai aset yang lain serta untuk membiayai keperluan operasional usaha. Modal koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman. Modal sendiri merupakan sumber modal yang paling utama yang didapatkan dengan cara spesifik dan diusahakan berkembang dengan cara yang spesifik pula. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari pemiliknya secara langsung dan akan menanggung resiko atau kerugian apabila terjadi kondisi pailit. Karena modal sendiri merupakan modal yang akan menanggung resiko kerugian, maka usaha dengan basis modal sendiri yang kuat merupakan salah satu nilai lebih yang dilihat pihak lain. Modal koperasi dapat diperoleh dari sumber anggota maupun non anggota, yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Simpanan Pokok

8 15 Simpanan pokok merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh setiap anggota koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok merupakan simpanan yang tidak dapat diambil selama yang bersangkutan menjadi anggota. Besarnya simpanan pokok masing-masing anggota koperasi adalah sama. 2. Simpanan Wajib Simpanan wajib merupakan sejumlah uang yang diserahkan oleh anggota dalam jumlah tertentu yang mungkin tidak sama antar anggota. Simpanan wajib tidak bisa diambil oleh anggota selama ia masih menjadi anggota koperasi. Simpanan wajib merupakan komitmen dari anggota koperasi untuk secara rutin menyetorkan iuran dengan jumlah yang sesuai dengan kemampuan seorang anggota. 3. Dana Cadangan Dana cadangan merupakan bagian dari sisa hasil usaha yang tidak dibagikan kepada anggota yang dimaksud untuk menambah modal koperasi. Dana cadangan ini merupakan modal sendiri yang cukup penting. 4. Hibah Hibah merupakan transfer atau pemberian dana dari pihak lain secara gratis, yaitu tidak ada kewajiban bagi koperasi untuk membayar kembali baik berupa pokok pemberian maupun jasa. Meskipun sebagian besar koperasi cenderung melakukan akumulasi modal sendiri, namun pada umumnya mereka masih memerlukan juga pinjaman dari

9 16 luar. Dalam UU No 25/1992 disebutkan bahwa sumber bagi modal pinjaman adalah: 1. Pinjaman dari anggota 2. Pinjaman dari koperasi lainnya maupun angota koperasi lainnya 3. Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya 4. Penerbitan obligasi dan surat utang lainnya Kewajiban Perpajakan Koperasi Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan ditegaskan bahwa Badan adalah sekumpulan orang dan/atau yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Berdasarkan ketentuan tersebut maka Koperasi termasuk sebagai Wajib Pajak badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Secara umum kewajiban perpajakan koperasi adalah : Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP Menghitung, Menyetorkan dan Melaporkan Pajak Penghasilan Koperasi Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan

10 17 Kewajiban perpajakan di bidang PPN Laporan Keuangan Koperasi Hasil akhir dari akuntansi koperasi adalah laporan keuangan. Laporan keuangan koperasi terdiri dari: a. Neraca, Neraca menyajikan informasi mengenai aktiva, kewajiban dan ekuitas koperasi pada waktu tertentu. Modal koperasi terdiri dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan koperasi, dan hibah/donasi. Simpanan sukarela dimasukkan dalam utang lancar. Hal ini disebabkan Simpanan Sukarela merupakan simpanan yang dapat diambil setiap saat. Aktiva disajikan menurut tingkat likuiditas dan utang disusun berdasarkan jatuh temponya. b. Perhitungan hasil usaha, Laporan perhitungan hasil usaha atau laporan sisa hasil usaha (SHU) memuat hasil usaha dengan anggota dan laba/rugi kotor dengan non-anggota. Pada dasarnya, harus diadakan pemisahan antara penggunaan pendapatan yang diperoleh dari pelayanan terhadap anggota sendiri dan terhadap pihak ketiga atau non-anggota. Demikian pula harus dibedakan penjualan kepada anggota dan bukan anggota. Jadi bagian sisa hasil usaha yang diperoleh dari pelayanan terhadap pihak ketiga, termasuk bukan anggota, tidak boleh dibagikan pada anggota karena bagian pendapatan ini bukan diperoleh dari jasa anggota sehingga lebih baik digunakan untuk biaya cadangan.

11 18 c. Laporan arus kas, Laporan arus kas adalah laporan yang menyajikan informasi perubahan kas pada periode tertentu yang terdiri dari saldo awal, sumber penerimaan, pengeluaran kas pada periode tertentu. d. Catatan atas laporan Keuangan. Catatan atas laporan Keuangan menyajikan pengungkapan (disclosure) yang memuat: 1. Yang berhubungan dengan perlakuan akuntansi antara lain mengenai: a. Pengakuan pendapatan dan beban sehubungan dengan transaksi koperasi baik dengan anggota maupun dengan nonanggota. b. Kebijakan akuntansi tentang aktiva tetap, penilaian persediaan, piutang dan lain-lain. c. Dasar penetapan harga pelayanan baik kepada anggota maupun kepada nonanggota. 2. Pengungkapan informasi yang lain, di antaranya: a. Kegiatan atau pelayanan utama koperasi kepada anggota baik yang tercantum di AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) maupun dalam praktik yang dilakukan koperasi b Aktivitas koperasi dalam pengembangan sumber daya dan mempromosikan usaha ekonomi anggota, pendidikan dan pelatihan perkoperasian, usaha, manajemen yang diselenggarakan untuk anggota dan penciptaan lapangan usaha baru untuk anggota.

12 19 c. Ikatan atau kewajiban bersyarat yang timbul dari transaksi koperasi dengan anggota dan nonanggota. d. Pengklasifikasian piutang dan utang yang timbul dari transaksi koperasi dengan anggota dan nonanggota. e. Pembatasan penggunaan dan risiko atas aktiva tetap yang diperoleh dari hibah atau sumbangan. f. Aktiva yang dioperasikan oleh koperasi tetapi bukan milik koperasi. g. Aktiva yang diperoleh dari hibah dalam bentuk pengalihan saham dari perusahaan swasta. h. Pembagian Sisa hasil Usaha dan penggunaan cadangan. i. Hak dan tanggungan pemodal yang modalnya berupa modal penyertaan. j. Penyelenggaraan Rapat Anggota dan keputusan-keputusan penting yang berpengaruh pada perlakuan akuntansi dan penyajian laporan keuangan Pajak Penghasilan Pasal Pengertian PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 adalah Pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan dengan cara pemotongan pajak melalui Pemotong Pajak PPh Pasal 21. Sehingga sebagai pihak yang dipotong PPh Pasal

13 20 21, maka pihak yang memperoleh penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 berhak mendapatkan Bukti Potong PPh Pasal 21 dari Pemotong Pajak PPh Pasal 21. Sebelum melakukan Pemotongan Pajak PPh Pasal 21, maka Pemotong Pajak harus terdaftar terlebih dahulu sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak. Untuk mengetahui apakah Wajib Pajak mempunyai kewajiban sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada saat pendaftaran NPWP. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 mempunyai kewajiban menyetor PPh Pasal 21 ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dan melaporkan Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21. Dalam melaporkan objek pemotongan PPh Pasal 21 pada SPT Masa PPh Pasal 21 selama satu tahun harus sama dengan biaya-biaya yang merupakan objek PPh Pasal 21 dalam laporan laba rugi sebagai lampiran SPT Tahunan PPh. 2. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Pemotong PPh Pasal 21 terdiri dari : Pemberi kerja yang terdiri dari: 1. Orang pribadi dan badan;

14 21 2. Cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badanbadan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar: 1. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

15 22 2. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri; 3. Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang; Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan. 3. Bukan Pemotong PPh Pasal 21 Bukan Pemotong PPh Pasal 21 meliputi : Kantor perwakilan Negara asing. Organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan tersebut, organisasi internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak. Syarat bagi Organisasi-organisasi internasional agar tidak menjadi Pemotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Indonesia menjadi anggota organisasi internasional tersebut.

16 23 2. Organisasi internasional tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 4. Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak PPh Pasal 21 Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam PER-32/PJ/2015 Tanggal 7 Agustus 2015 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk penerima pensiun. Jenis Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 antara lain : 1. Pegawai. 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya. 3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.

17 24 4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama. 5. Mantan pegawai. 6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan. 5. Objek Pajak PPh Pasal 21 Obyek pajak PPh pasal 21 terdiri dari : 1. Objek PPh Pasal 21 Yang Tidak Final Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban APBN dan APBD adalah meliputi : Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi: a. Pejabat Negara, untuk: 1. Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan. 2. Imbalan tetap sejenisnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

18 25 Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas). Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut. PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD. Tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan terhadap objek pajak penghasilan diatas adalah berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. 2. Objek PPh Pasal 21 Yang Final Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban APBN dan APBD adalah meliputi : Penghasilan selain penghasilan yang tetap dan teratur setiap bulan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas. Dalam hal penghasilan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut.

19 26 PPh Pasal 21 yang terutang atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final ditanggung oleh Penerima Penghasilan. PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh bendahara disetorkan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftarnya bendahara tersebut. Kode Jenis setoran untuk PPh Pasal 21 atas penghasilan Yang Final Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri Dan Pensiunannya Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban APBN dan APBD adalah Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan dan tidak bersifat berkesinambungan. Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah : Imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Contoh : PT. Brevet Pajak Cahaya membayar Imbalan atau honor yang diberikan kepada Pengajar (Rusman) atas pekerjaannya sebagai pengajar pajak. Rusman berstatus bukan pegawai di PT.Brevet Pajak Cahaya dan mempunyai tugas sebagai pengajar setiap minggu sekali. Maka PT. Brevet Pajak Cahaya berkewajiban memotong PPh Pasal 21 atas honor yang diterima oleh Rusman sebagai imbalan kepada bukan pegawai yang

20 27 bersifat berkesinambungan karena pekerjaannya dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun. Imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan adalah : Imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Contoh : PT. Abadi Surya Jaya membayar Imbalan atau honor yang diberikan kepada Arsitek (Aditya) atas jasa mendesain kantor yang hanya dilakukan satu kali saja dalam tahun. Maka PT. Abadi Surya Jaya berkewajiban memotong PPh Pasal 21 atas honor yang diterima oleh Aditya sebagai imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan. 4. Beasiswa Yang Termasuk Objek Pajak Penghasilan (PPh) Beasiswa yang termasuk objek Pajak Penghasilan adalah : Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan / atau pendididikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dengan ketentuan penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan : a. Pemilik. b. Komisaris.

21 28 c. Direksi. d. Pengurus. Dari Wajib Pajak pemberi beasiswa. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. 6. Pengurang Penghasilan Bruto a. Biaya Jabatan Pengertian Biaya Jabatan adalah Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pegawai tetap. Besarnya Biaya Jabatan Untuk Tahun Pajak 2015, 2014, 2013 dan 2012 adalah sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto. Besarnya biaya jabatan setinggi-tingginya Rp ,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp ,00 (enam juta rupiah) setahun; b. Biaya Pensiun Pengertian Biaya Pensiun adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Penerima Pensiun dalam perhitungan PPh Pasal 21

22 29 atas penghasilan yang diterimanya. Besarnya Biaya Pensiun untuk Tahun Pajak 2014, 2013 dan 2012 adalah sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp ,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp ,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun. Biaya Pensiun dikurangkan dari Penghasilan Bruto yang diterima oleh Pensiunan PNS, anggota TNI, Anggota POLRI, Pegawai BUMN dan Karyawan Perusahaan Swasta. 7. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) adalah besarnya penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha dan/atau pekerjaan bebas jumlahnya dibawah PTKP tidak akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh Pasal Besarnya PTKP Untuk Tahun Pajak 2014 dan 2013 Besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk tahun pajak 2014 dan 2013 sebagai berikut : 1. Rp ,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; 2. Rp ,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

23 30 3. Rp ,00 (dua puluh empat juta tiga ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 Tentang Pajak Penghasilan; 4. Rp ,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. PTKP ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menjalankan kewajiban PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi. 9. Tarif Pajak PPh Pasal Tarif Pajak PPh Pasal 21 Untuk Pegawai Tetap Tarif Pajak PPh Pasal 21 Untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh Pegawai Tetap adalah berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai berikut: Tabel 1 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak sampai dengan Rp ,00 5% (lima puluh juta rupiah) (lima persen) di atas Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 15% (lima belas persen)

24 31 di atas Rp ,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) di atas Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) 25% (dua puluh lima persen) 30% (tiga puluh persen) Sumber: UU Perpajakan, Pasal 17 No 36/2008 tentang pajak penghasilan. 2. Tarif Pajak PPh Pasal 21 Final Untuk Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Polri dan Pensiunannya meliputi: Atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD tarif pajak sebagai berikut: b. Sebesar 0% (nol persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya. c. Sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya. d. Sebesar 15% (lima belas persen) dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya. Bendahara mempunyai kewajiban menyetor PPh Pasal 21 Final atas penghasilan tersebut diatas dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan Kode Jenis Setoran dan melaporkan PPh Pasal 21 tersebut dengan SPT Masa PPh Pasal 21 setiap bulan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana bendahara tersebut terdaftar.

25 32 Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Polri dan Pensiunannya mempunyai kewajiban untuk melaporkan penghasilan tersebut diatas setiap tahun dengan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 Merupakan pajak badan usaha koperasi untuk tahun berjalan yang dipotong dari hasil SHU selama 1 (satu) tahun buku. Dalam hal ini koperasi wajib memotong pajak badan untuk tahun berjalan dari hasil SHU yang diperoleh setiap tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Pasal 45 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan. Tarif Pajak PPh Badan dari penghasilan Non Final adalah berdasarkan Pasal 17 dan 31 E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh. Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2014 dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut: Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2014 berdasarkan Pasal 17 dan Pasal 31 E Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai berikut : 1. Tarif Pajak untuk tahun pajak 2014 adalah sebesar 25 % dari Penghasilan Kena Pajak. 2. Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham

26 33 yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif tersebut yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 3. Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp ,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif tersebut (25 %) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp ,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). 4. Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. 5. Tarif Pajak Pasal 17 dan 31 E dikenakan atas penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak Badan yang telah dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan PP 46 Tahun Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2014 berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 menyatakan atas peredaran usaha bruto bulan Januari sampai dengan Desember 2014 dari Wajib Pajak Badan yang mempunyai kriteria tertentu berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat 2 sebesar 1 % dari peredaran usaha bruto dan bersifat final.

27 Penelitian Terdahulu Terdapat tiga penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian yang dilakukan, yakni penelitian yang dilakukan oleh : 1. Idris (2006), Perhitungan dan Perlakuan Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 25 Pada CV. Haltim Raya Ternate. Persamaan dengan penelitian ini adalah membahas tentang perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25, sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari Objek Penelitian. 2. Winata (2009), Perlakuan Akuntansi Atas Pembayaran Imbalan Dan Pemotongan, Serta Penyetoran PPh Pasal 21 Pada Pegawai PT X Tahun Pajak Yuansari (2012), Perlakuan Akuntansi Perpajakan Pada Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri Dan Penyajiannya Di Laporan Keuangan Fiskal Studi Kasus PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah menggunakan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan bagaimana perlakuan terhadap akuntansi, sedangkan perbedaan dalam ketiga penelitian tersebut adalah terdapat penambahan pembahasan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 25, jenis penelitian yang digunakan, dan tarif perhitungan pajak penghasilan. 2.2 Rerangka Pemikiran Penerimaan negara dari sektor pajak merupakan penerimaan yang paling diharapkan oleh pemerintah saat ini. Oleh karena itu, pemerintah dengan

28 35 kekuasaan yang dimilikinya sedang berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan dari sektor pajak. Pajak berfungsi untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya, oleh karenanya pengenaan pajak dipandang dari sudut ekonomi harus diatur senetral-netralnya dan sekali-kali tidak boleh dibelokkan untuk mencapai tujuan yang menyimpang. Fenomena historis yang selalu hadir adalah bahwa upaya suatu negara dalam menghimpun dana keuangannya merupakan sarana bagi sumber pembiayaan bagi semua tujuannya. Berdasarkan ketentuan pasal 29 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun Sejak tanggal 1 Januari 1984 sistem pemungutan di Indonesia telah diubah, yaitu dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System yang dapat diartikan pemberian wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya hutang pajak. Pada sistem self assessment wajib pajak aktif mulai menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang sendiri dan fiskus pada sistem ini bersifat pasif yaitu hanya memberikan pelayanan, penerangan, pengawasan maupun pemeriksaan. Dianutnya self assessment system diharapkan membawa misi dan konsekuensi adanya perubahan sikap kesadaran warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela. Karena dari sisi administrasi dan pengawasan, maka semakin besar tingkat kepatuhan sukarela (voluntary compliance) semakin kecil pula keberuntungan untuk mengawasinya. Pengawasan ini terutama

29 36 ditunjukan terhadap wajib pajak yang berusaha menghindari atau tidak membuat pernyataan pajak, ini adalah salah satu masalah bagi penegakan hukum administrasi pajak di Negara manapun. Berdasarkan dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat digambarkan dengan rerangka pemikiran sebagai berikut: Gambar 1 Rerangka Pemikiran

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor, tanggal 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Mulai berlaku : 1 Januari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memiliki dimensi atau pengertian yang berbeda-beda menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3) menyatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. No.691, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Perpajakan 1. Pengertian pajak Menurut Rochmat Soemitro seperti dikutip oleh Waluyo ( 2007 : 3 ) mengemukakan bahwa : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. Akuntansi Perkoperasian Sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial, koperasi memiliki perbedaan dengan bentuk perusahaan lainnya. Namun apabila dilihat dari kebutuhannya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Copyright 2002 BPHN UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 *8679 Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional : 3 PAJAK PENGHASILAN Tujuan Instruksional : A. Umum Mahasiswa diharapkan mendapatkan pemahaman tentang pajak penghasilan secara umum B. Khusus o Mahasiswa mengetahui subjek pajak dan bukan subjek pajak.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Secara umum pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. 2011. Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 57/PJ/2009 tentang Pedoman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Koperasi 1. Definisi Koperasi a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi: Koperasi adalah badan usaha

Lebih terperinci

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO Oleh: I s r o a h, M.Si. isroah@uny.ac.id PRODI/JURUSAN PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 PAJAK PENGHASILAN UMUM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tanggal 9 Nopember 1994 DENGAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi pajak dalam pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1adalah kontribusi wajib kepada negara

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan)

PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) PERTEMUAN 13: PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan) A. TUJUAN PEMBELAJARAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai PPh Pasal 25 (Umum /Perhitungan), Anda harus mampu: 1.1 Memahami Definisi PPh Pasal 25, Subjek

Lebih terperinci

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yang termasuk subjek pajak Orang pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

Lebih terperinci

Repositori STIE Ekuitas

Repositori STIE Ekuitas Repositori STIE Ekuitas STIE Ekuitas Repository Final Assignment - Diploma 3 (D3) http://repository.ekuitas.ac.id Final Assignment of Accounting 2015-12-22 Tinjauan Atas Penerapan Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc

Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc Dosen: Adhi Prakosa, M. Sc PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2 I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94 TAHUN 2010 TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN Dengan diundangkannya

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1993 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991 DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.140, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak Penghasilan. Pasal 21. APBN. APBD. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) 1. PT ABC mempekerjakan Tuan A (Status K3, tanpa NPWP) seorang tukang bangunan, untuk mengganti lantai keramik

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue) Maupun keuntungan ( gain ). Definisi penghasilan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

PAJAK PENGHASILAN (PPh) PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengaturan PPh UU No. 7/1983 UU No. 7/1991 UU No. 10/1994 UU No. 17/2000 UU No. 36/2008 tentang PPh Subjek Pajak Orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat subjektif (berdomisili

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan kehidupan suatu negara. Dalam Undang-undang

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2010 TENTANG TARIF PEMOTONGAN DAN PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 10-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 50, 1983 FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pajak Penghasilan 2.1.1. Pengertian Pajak Penghasilan Di Indonesia, pajak atas penghasilan sudah dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu. Dimulai dari dikenalkannya Paten Recht

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain: BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Pajak Secara umum pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah. Beradasarkan peraturan perundang-undangan yang hasilnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang terbesar dan sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Kewajiban perpajakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan bertugas memberikan layanan kesehatan kepada pasien dalam rangka membantu menyembuhkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) 5 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan penerimaan negara yang paling utama, untuk itu pajak merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan pelaksanaan

Lebih terperinci

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PEMOTONGAN PPh PASAL 21 1 Dasar Hukum 1. Pasal 21, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK

Lebih terperinci

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY. PPh UMUM 1

KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY. PPh UMUM 1 KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY PPh UMUM 1 STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan konsep dan prosedur dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu pendapatan negara yang terbesar dan berperan penting dalam pembangunan negara. Karena pajak mempunyai kontribusi yang tinggi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo, 6 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Mardiasmo (2013:1) Pajak adalah iuran rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Koperasi dan Karakteristiknya Sejarah koperasi lahir pada permulaan abad ke-19 sebagai suatu reaksi terhadap sistem perekonomian kapitalisme di Negara-negara Eropa. Sistem ekonomi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu wujud nyata serta partisipasi masyarakat dalam rangka ikut membiayai pembangunan nasional.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu:

Sistem/Cara Pemungutan Pajak ada 3, yaitu: PERPAJAKAN ORGANISASI NIRLABA Tri Purwanto Pengantar Pajak Organisasi Nirlaba UU No 28 Th 2007 ttg KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Perpajakan. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, S.H yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB PAJAK PAJAK . PAJAK yang dibayarkan digunakan untuk kegiatan Penyelenggaraan Negara, dan Membiayai pembangunan seperti pembangunan gedung-gedung sekolah, Sarana Kesehatan (rumah sakit), sarana umum, pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

a. Koperasi dimiliki oleh anggota yang bergabung atas dasar sedikitnya ada satu kepentingan ekonomi yang sama.

a. Koperasi dimiliki oleh anggota yang bergabung atas dasar sedikitnya ada satu kepentingan ekonomi yang sama. AKUNTANSI PERKOPERASIAN PSAK NO. (REVISI ) 0 PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN NO. (REVISI ) AKUTANSI PERKOPERASIAN Paragraf-paragraf yang dicetak dengan huruf tebal dan miring adalah paragraf standar

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian atau definisi pajak yang dikemukakan

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian atau definisi pajak yang dikemukakan 6 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Ada beberapa pengertian atau definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli. Definisi pajak menurut para ahli antara lain : 1. Prof. Dr.

Lebih terperinci

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009

PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 PERSANDINGAN UNDANG-UNDANG PPN DAN PPnBM UU NO 8 TAHUN 1983 stdtd UU NO 18 TAHUN 2000 & UU NO 42 TAHUN 2009 UU No 8 Th 1983 stdtd UU No 18 Th 2000 UU No 42 Tahun 2009 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991) Pajak merupakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. 2.1 Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini terdiri

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang KUP No. 16 Tahun 2009 Pasal 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

Lebih terperinci

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM Disusun oleh : 1. Nanda Rosyid F0311082 2. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 3. Nur Chayati

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-34/PJ/2010

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci