Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009)"

Transkripsi

1 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS Pemotongan yang bersifat final Objek pemotongan (Pasal 2, PP Nomor 68 Tahun 2009) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus. Uang Pesangon (Pasal 1 angka 4, PP Nomor 68 Tahun 2009) Penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Uang Manfaat Pensiun (Pasal 1 angka 5, PP Nomor 68 Tahun 2009) Penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus meliputi: (Pasal 2 ayat 3, 16/PMK.03/2010) a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia; b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus; c. Pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup. Tunjangan Hari Tua (Pasal 1 angka 6, PP Nomor 68 Tahun 2009) Penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. Jaminan Hari Tua (Pasal 1 angka 7, PP Nomor 68 Tahun 2009) Penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan. Dibayarkan sekaligus (Pasal 2 ayat (2) dan penjelasan, PP Nomor 68 Tahun 2009) Dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. Pembayaran dalam beberapa kali pembayaran sepanjang dilakukan dalam waktu 2 (dua) tahun kalender dianggap sebagai pembayaran secara sekaligus, dan dihitung sebagai satu kesatuan untuk pengenaan pajaknya. Pemotong (Pasal 1 angka 9, PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua. 92

2 Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja (Pasal 1 angka 8, PP Nomor 68 Tahun 2009) Badan yang dituniuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja. Saat terutang (Pasal 2 ayat (4), 16/PMK.03/2010) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final, terutang pada saat dilakukan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus. Dasar pengenaan dan tarif pemotongan Atas penghasilan berupa Uang Pesangon (Pasal 4, PP Nomor 68 Tahun 2009) a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp ,00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (seratus juta rupiah); c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp ,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp ,00 (lima ratus juta rupiah); d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp (lima ratus juta rupiah). Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. (Pasal 3 ayat (2), 16/PMK.03/2010) Contoh penghitungan Contoh 1 (Penjelasan Pasal 4, PP Nomor 68 Tahun 2009) Atas penghasilan berupa Uang Pesangon dengan jumlah Rp ,00. Penghasilan bruto Rp ,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 15% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Rp ,00 Dalam hal pembayaran Uang Pesangon dalam contoh tersebut di atas dilakukan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : a. Bulan Desember 2009 Rp ,00 b. Bulan April 2010 Rp (+) Jumlah Rp ,00 Perhitungan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 didasarkan pada jumlah pembayaran sebagai satu kesatuan, yaitu sebesar Rp Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong: Bulan Desember 2009: Jumlah penghasilan bruto Rp ,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 0% x Rp = Rp 0,00 93

3 Bulan April 2010: Jumlah penghasilan bruto Rp ,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang : 5% x Rp = Rp ,00 15% x Rp = Rp ,00 (+) Jumlah Rp ,00 Jumlah seluruh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong : Rp 0,00 + Rp ,00 = Rp ,00 Contoh 2 (Lampiran, 16/PMK.03/2010) Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Asgar Manah sejak tahun PT Asgar Manah telah mengikuti program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan membentuk Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp ,00 dari PT Asgar Manah. Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon: 15% x Rp ,00 = Rp ,00 25% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Jumlah Rp ,00 Contoh 3 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon yang dibayarkan secara bertahap (Lampiran, 16/PMK.03/2010) Apabila PT Asgar Manah melakukan pembayaran Uang Pesangon kepada Pirman Nurjaman secara bertahap dengan jadwal pembayaran sebagai berikut: a. Bulan Januari 2010 Rp ,00 b. Bulan Januari 2011 Rp ,00 c. Bulan Juli 2011 Rp ,00 d. Bulan Januari 2012 Rp ,00 Maka Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang: a. Bulan Januari 2010: 15% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) b. Bulan Januari 2011: Rp ,00 15% x Rp ,00 = Rp ,00 c. Bulan Juli 2011: 15% x Rp ,00 = Rp ,00 d. Bulan Januari 2012: Oleh Karena pembayaran Uang Pesangon sudah memasuki tahun ketiga maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan pada bulan Januari 2012 adalah tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan PPh 21 pada bulan Januari 2012 tidak bersifat Final. 94

4 Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012: 15% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Jumlah Rp ,00 Atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua (Pasal 5, PP Nomor 68 Tahun 2009) a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp ,00 (lima puluh juta rupiah). Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. (Pasal 4 ayat (2), 16/PMK.03/2010) Contoh penghitungan Contoh 1 (Penjelasan Pasal 5, PP Nomor 68 Tahun 2009) Atas pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp ,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang: 0% x Rp ,00 = Rp 0,00 5% x Rp ,00 = Rp ,00 Jumlah = Rp ,00 Dalam hal jumlah pembayaran uang Jaminan Hari Tua tersebut di atas dibayarkan dalam beberapa kali pembayaran, misalnya : Bulan Desember 2009 sebesar Rp ,00 Bulan Februari 2010 sebesar Rp ,00 Jumlah Rp ,00 Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagai berikut: Bulan Desember 2009: Bulan Februari 2010: 5% x Rp ,00 = Rp ,00 Jumlah = Rp ,00 Contoh 2 (Lampiran, 16/PMK.03/2010) Pirman Nurjaman pada contoh 2 penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon tersebut di atas berhak atas manfaat pensiun sebesar Rp ,00 dari Dana Pensiun PT Asgar Manah. Pirman Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiun sebesar 20% dari manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun) dibayarkan secara bulanan. Dana pensiun PT Asgar Manah membayarkan Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan sekaligus sebesar 20% x Rp ,00 = Rp ,00. Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus: 5% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Jumlah Rp ,00 95

5 Sedangkan penghitungan Pajak penghasilan Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Pengalihan pembayaran Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja Pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai dapat dilakukan secara langsung oleh pemberi kerja atau dialihkan kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja. (Pasal 3 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) Pengalihan secara sekaligus a. Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon. (Pasal 3 ayat (2), PP Nomor 68 Tahun 2009) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh pemberi kerja pada saat pengalihan Uang Pesangon. (Pasal 8 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) c. Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja membayar Uang Pesangon kepada pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. (Pasal 6 ayat (4), 16/PMK.03/2010) Pengalihan secara bertahap atau berkala a. Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. (Pasal 3 ayat (3), PP Nomor 68 Tahun 2009) b. Pemberi kerja tidak mempunyai kewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 pada saat pengalihan tersebut. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon dilakukan oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja pada saat pembayaran Uang Pesangon kepada Pegawai. (Pasal 8 ayat (2, 3), PP Nomor 68 Tahun 2009) Pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup a. Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus. (Pasal 3 ayat (4), PP Nomor 68 Tahun 2009) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup. (Pasal 9, PP Nomor 68 Tahun 2009) c. Pada saat perusahaan asuransi jiwa membayar Uang Manfaat Pensiun kepada pegawai tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. (Pasal 8 ayat (4), 16/PMK.03/2010) Pemotongan yang bersifat tidak final Objek pemotongan (Pasal 6 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) Bagian penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya. Dasar pengenaan dan tarif pemotongan (Pasal 6 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan. Contoh penghitungan (Penjelasan Pasal 6 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) Pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dilakukan sekaligus, namun masih dilakukan bagian pembayaran pada tahun ketiga sebesar Rp ,00. Apabila kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan 96

6 dalam tahun tersebut hanya dibayarkan penghasilan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto tersebut, yaitu sebesar. Pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak (Pasal 6 ayat (2), PP Nomor 68 Tahun 2009) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak. Tarif pemotongan penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP (Pasal 6 ayat (3) dan penjelasan, PP Nomor 68 Tahun 2009) Atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berlaku ketentuan Pasal 21 ayat (5a) Undang- Undang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang harus dipotong apabila penerima penghasilan sebagaimana contoh di atas tidak mempunyai NPWP adalah sebesar 120% x 5% x Rp ,00 = Rp ,00. Kewajiban pemotong pajak a. Menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. (Pasal 7 ayat (1), PP Nomor 68 Tahun 2009) b. Memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. (Pasal 7 ayat (2), PP Nomor 68 Tahun 2009) c. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan dan kewajiban memberikan bukti pemotongan, tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar 0% (nol persen). (Pasal 7 ayat (3), PP Nomor 68 Tahun 2009) d. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (Pasal 9 ayat (2), 16/PMK.03/2010) e. Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir. (Pasal 9 ayat (3), 16/PMK.03/2010) f. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 dan batas akhir pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 9 ayat (4), 16/PMK.03/2010) g. Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak. (Pasal 9 ayat (7), 16/PMK.03/2010) Ketentuan peralihan Pada saat PP Nomor 68 Tahun 2009 mulai berlaku pada tanggal 16 November 2009, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya PP Nomor 68 Tahun 2009 dan pembayarannya dilakukan setelah PP Nomor 68 Tahun 2009 berlaku, berlaku ketentuan PP Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. (Pasal 11, PP Nomor 68 Tahun 2009) Saat diperolehnya penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua adalah pada saat Pegawai berhenti bekerja. (Pasal 10, 16/PMK.03/2010) 97

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2009 TENTANG TARIF PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA

Lebih terperinci

WPRESIDEN. 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan. bah$'a dengan dilakukal perubahan terhadap Undang-

WPRESIDEN. 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan. bah$'a dengan dilakukal perubahan terhadap Undang- W REPIIBLIK ]N D ONES ]A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2OO9 TENTANG TAR1F PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 Tentang Dana Pensiun

Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 Tentang Dana Pensiun Undang-Undang Nomor 11 tahun 1992 Tentang Dana Pensiun BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN PEMBERI KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN PEMBERI KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN PEMBERI KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENENTUAN JUMLAH, PEMBAYARAN, DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEMBERI KERJA SELAIN PENYELENGGARA NEGARA DAN SETIAP ORANG, SELAIN PEMBERI KERJA, PEKERJA,

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI (FORMULIR 1770 DAN LAMPIRAN-LAMPIRANNYA)

Lebih terperinci

PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Oleh: Winarto Suhendro (Staf Pengadilan Pajak)

PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Oleh: Winarto Suhendro (Staf Pengadilan Pajak) PPN TRANSAKSI LINTAS BATAS MENURUT UU PPN Oleh: Winarto Suhendro (Staf Pengadilan Pajak) PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui terdapat 2 (dua) prinsip dasar pemungutan PPN atas transaksi lintas batas (cross

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN..

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN I. UMUM 1. Peraturan Perundang-undangan perpajakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 13/ 5 /PBI/2011 TENTANG BATAS MAKSIMUM PENYALURAN DANA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN BIAYA PEMBUATAN AKTA JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI PATI,

TENTANG BUPATI PATI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK REKLAME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN,

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK REKLAME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN, PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK REKLAME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf d Undang-Undang

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUMAS 2011 KATA PENGANTAR DAFTAR

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA DAN DISKONTO OBLIGASI YANG DIPERDAGANGKAN DAN/ATAU DILAPORKAN PERDAGANGANNYA DI BURSA EFEK Peraturan Pemerintah No. 6 TAHUN 2002, Tgl. 23-03-2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.926, 2012 PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Laporan. Transaksi Keuangan. Penyedia Jasa Keuangan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS

Lebih terperinci

Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi

Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi Kategori Wajib Pajak PP Nomor 46 Tahun 2013 PJ.091/KUP/S/005/201401 Agenda Sekilas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 8/28/PBI/2006 TENTANG KEGIATAN USAHA PENGIRIMAN UANG GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa saat ini jumlah transaksi maupun nilai nominal pengiriman uang baik di

Lebih terperinci