UNIVERSITAS INDONESIA PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA ( STUDI KASUS PK TERHADAP PK PERKARA PERDATA ) SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UNIVERSITAS INDONESIA PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA ( STUDI KASUS PK TERHADAP PK PERKARA PERDATA ) SKRIPSI"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA ( STUDI KASUS PK TERHADAP PK PERKARA PERDATA ) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum R. HENDRO SANTOSO FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JANUARI 2013

2 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan senantiasa berakhir dengan putusan. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[1] Upaya hukum ada 2 yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa ada yang menyebutnya upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa adalah : Perlawanan (verzet), banding dan kasasi.[2] Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dikatakan luar biasa karena karena merupakan upaya hukum terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan memberikan kepastian hukum, serta persyaratan untuk itu juga ditentukan oleh undang-undang. Pada permasalahan peninjauan kembali diatas peninjauan kembali, aturan hukumnya jelas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Demikian pula ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 menegaskan Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Bahwa atas permasalahan peninjauan kembali diatas peninjauan kembali, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang menyatakan sebagai berikut : 1. Permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undangundang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan peninjauan kembali yang

3 kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara analog kepada Ketentuan pasal 45 A Undang-Undang Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985), agar dengan Penetapan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkasnya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. 2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.[3] SEMA tersebut mengisi kekosongan hukum yang ada yaitu jalan keluar bagi dua putusan peninjauan kembali yang berbeda atas obyek yang sama namun masih menyisakan ruang bagi kekosongan hukum yang akan menjadi bahasan dalam pokok permasalahan berikut. 1.2 Pokok Permasalahan Dalam hubungan dengan uraian di atas maka pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana ketentuan perundang-undangan mengatur mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata?. 2. Bagaimana ketentuan perundang-undangan mengatur mengenai Peninjauan Kembali terhadap putusan Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata? 3. Bagaimana praktek penerapan ketentuan mengenai Peninjauan Kembali terhadap putusan Peninjauan Kembali di dalam perkara perdata? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang sulit untuk dirubah kembali. Tujuannya adalah untuk mendapat keadilan hukum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan untuk mengisi kekosongan hukum telah diterbitkan SEMA Nomor 9 Tahun Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui pelaksanaan undang-undang yang mengatur tentang peninjauan kembali. b. Untuk mengetahui proses pelaksanaan permohonan peninjauan setelah diterbitkannya SEMA Nomor 9 Tahun 2010.

4 c. Untuk mengetahui kekosongan hukum yang terjadi serta jalan keluarnya. d. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan oleh suatu putusan peninjauan kembali sebagai akibat dilanggarnya undang-undang. 1.4 Definisi Operasional Dalam penulisan ini beberapa konsepsi yang digunakan sebagai pengertian hukum adalah Kerangka konsepsionil yang merupakan Kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. sehingga memberikan kejelasan mengenai konsep-konsep yang diteliti. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.[4] Konsep yang merupakan salah satu unsur teori, dengan demikian mempunyai sifat yang lebih konkrit daripada teori. Namun demikian, konsep ini masih perlu dijabarkan lebih lanjut yaitu dengan memberikan definisi operasionalnya.[5] Konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Peninjauan Kembali, adalah upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[6] Upaya hukum ini disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali dengan segala persyaratan yang ketat untuk itu.[7] b. Fatwa adalah pendapat atau pertimbangan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagai badan yang diakui konstitusi sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman.[8] c. SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) adalah suatu bentuk edaran dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi.[9] d. Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) adalah putusan yang terhadapnya telah tertutup upaya hukum biasa. Putusan ini merupakan putusan yang sudah bersifat final. Tidak dapat dicabut kembali (irrevocable judgment) oleh siapapun dan kekuasaan manapun.[10] BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Upaya Hukum

5 Menurut Sudikno Mertokusumo upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan,[11] sedangkan menurut Nasir upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum perdata untuk melawan putusan hakim dengan tujuan untuk mencegah dan atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan hakim tersebut akibat adanya penemuan bukti-bukti atau fakta-fakta baru.[12] Sudikno Mertokusumo hanya menyatakan bahwa upaya hukum itu sebagai alat saja dan tidak menjelaskan lebih jauh mengenai apa itu upaya hukum. Upaya hukum hanya bisa diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang sedang berperkara di pengadilan dalam kedudukannya entah sebagai penggugat atau tergugat. Dalam hubungan dengan upaya hukum apabila terjadi kesalahan dalam pemberitahuan isi putusan (umumnya terkait masalah tenggang waktu) maka pihak yang akan mengajukan upaya hukum bisa meminta atau menuntut agar relaas pemberitahuan itu diperbaiki. Oleh karena itu upaya hukum lebih tepat didefinisikan sebagai berikut : Upaya hukum adalah hak yang diberikan undang-undang kepada para pihak dalam suatu perkara yang tujuannya adalah untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan putusan hakim. Dalam hal ini hukum acara perdata mengenal adanya 2 (dua) upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak selama masih ada tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Upaya hukum biasa bersifat menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara kecuali putusan hakim itu amarnya menyatakan bahwa putusan itu dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij vooraad). Upaya hukum biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak ada 3 (tiga) yaitu : perlawanan (verzet), banding dan kasasi, yang masing-masing merupakan pentahapan terkecuali perlawanan Upaya Hukum Biasa Perlawanan Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan verstek (Pasal 125 ayat (3) dan Pasal 129 ayat (1) HIR untuk Jawa dan Madura, dan Pasal 149 ayat (3) dan Pasal 153 ayat (1) RBg) untuk luar Jawa dan Madura). Apabila pihak tergugat atau para tergugat tidak hadir pada persidangan setelah diberitahukan secara patut maka berdasarkan ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR gugatan diputus dengan verstek. Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat atau para tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus dating (Pasal 125 ayat (1) HIR).

6 Verstek itu hanya dapat dinyatakan, jika tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang pertama,[13] tetapi tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan verstek terhadap tergugat yang tidak hadir. Penerapan verstek bersifat fakultatif dan hakim diberi kebebasan untuk menerapkan atau tidak. Berdasarkan ketentuan Pasal 126 HIR, hakim dapat mengundurkan sidang serta memerintahkan agar pihak tergugat dipanggil untuk kedua kalinya untuk menghadap pada sidang berikutnya. Sedangkan pihak yang hadir, tidak perlu dipanggil lagi karena perintah pengunduran sidang sekaligus merupakan pemberitahuan bagi pihak yang hadir.[14] Ketentuan ini adalah layak dan bijaksana. Sebab dalam suatu perkara bukan hanya kepentingan penggugat saja yang harus diperhatikan, melainkan kepentingan tergugatpun harus pula diperhatikan (audi et alteram partem).[15] Apabila tergugat atau para tergugat yang pada sidang pertama hadir dan pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir, atau apabila tergugat atau para tergugat pada sidang pertama tidak hadir lalu hakim mengundurkan sidang berdasarkan pasal 126 HIR, dan pada sidang yang kedua ini tergugat atau para tergugat hadir dan kemudian pada sidang-sidang selanjutnya tidak hadir lagi, maka perkara akan diperiksa menurut cara biasa. Juga apabila dalam pemeriksaan tersebut ada seorang atau lebih tergugat dari sekian banyak tergugat tidak pernah hadir dalam sidang pemeriksaan perkara yang bersangkutan, terhadap tergugat atau beberapa tergugat yang tidak pernah hadir itu, tidak boleh dijatuhkan putusan verstek, melainkan harus putusan contradictoire. [16] Tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan (untuk putusan verstek yang tergugat atau para tergugatnya tidak pernah hadir dalam persidangan), berlaku ketentuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 129 HIR/153 RBg Banding Hak penggugat maupun tergugat untuk mengajukan upaya hukum banding semula diatur dalam Pasal HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan Pasal RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Akan tetapi semenjak hadirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura maka Pasal HIR yang mengatur acara banding dinyatakan tidak berlaku sedangkan ketentuan Pasal RBg masih berlaku, nampak adanya dilematis pandangan.[17] Ada pandangan yang menyatakan ketentuan Pasal RBg dinyatakan tidak berlaku sejak adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 sehingga untuk acara pemeriksaan banding di seluruh Indonesia hanya diatur dalam satu peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun

7 1947.[18] Ada pula pandangan yang menyatakan bahwa Pasal RBg masih berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura sedangkan untuk Jawa dan Madura berlaku sejak adanya Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1947.[19] Sedangkan tenggang waktu untuk mengajukan permohonan banding Mahkamah Agung RI telah memberikan pedoman yang berlaku untuk seluruh Pengadilan Negeri sebagai berikut : Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja berikutnya.[20] Dalam perkara prodeo, apabila terhadap perkara gugatan secara prodeo, pihak yang berperkara secara prodeo itu mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi, maka harus diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12, 13, 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 dan Pasal 199 ayat (4), 277, 278, 279, 280 dan 281 RBg.[21] Terdapat perbedaan penghitungan antara ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 dengan ketentuan Pasal 199 ayat (4) RBg. Ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 menyatakan 14 hari dihitung mulai hari berikutnya hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi atas permintaan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan Ketentuan Pasal 199 ayat (4) RBg menyatakan 14 hari sejak hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi tersebut.[22] Kasasi Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung maka yang dapat dimohonkan kasasi adalah putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan, yang kemudian ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang Pada prinsipnya, putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara) yang dapat diajukan permintaan banding hanya terhadap perkara yang bersifat kontentiosa (contentious) yakni perkara yang bersifat sengketa atau

8 interpartes. Adapun perkara permohonan (voluntair) yang bersifat ex parte yang dituangkan dalam bentuk penetapan merupakan putusan pengadilan tingkat pertama dan terahir dan terhadapnya tidak dapat diajukan permohonan banding.[23] Tetapi dapat diajukan kasasi berdasarkan kalimat terakhir Pasal 43 ayat (1) Permohonan kasasi dan seterusnya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Tenggang waktu permohonan kasasi diatur dalam Pasal 46 ayat (1) 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa tenggang waktu untuk menyampaikan permohonan kasasi adalah 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. 2.3 Upaya Hukum Luar Biasa Derden verzet (Perlawanan Pihak Ketiga) Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Namun bukan tidak mungkin putusan itu merugikan pihak ketiga karena hak miliknya disita. Pihak ketiga yang dimaksud disini adalah pihak-pihak selain pihak yang berperkara, tidak dalam kedudukan sebagai penggugat ataupun tergugat. Apabila terjadi putusan yang demikian maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah dengan mengajukan perlawanan (derden verzet). Dalam praktek peradilan perlawanan pihak ketiga ini dapat dilakukan terhadap sita conservatoir, sita revindicatoir dan sita eksekusi atas dasar hak milik artinya obyek sengketa adalah benar-benar milik pihak ketiga. Dengan demikian seorang penyewa, pemegang hipotik atau credit verband dan pemegang hak pakai atas tanah tidaklah dibenarkan untuk mengajukan perlawanan semacam ini. Kemudian dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa permohonan perlawanan pihak ketiga ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang secara nyata menyita (Pasal 195 ayat (6) HIR, Pasal 206 ayat (6) RBg). Berdasarkan yurisprudensi [24] maka status derden verzet (perlawanan pihak ketiga) melekat pada upaya hukum tersebut apabila : 1) Diajukan sebelum eksekusi putusan tersebut selesai dilaksanakan. 2) Diajukan sebelum perkara tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam hal adanya sita jaminan (conservatoir beslag). Di luar kedua hal ini maka bukan lagi derden verzet melainkan gugatan biasa Peninjauan Kembali

9 Peninjauan Kembali upaya hukum luar biasa yang diatur dalam : 1. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 ayat (1) dan 2. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal 67 yang berbunyi : Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan; c. Apabila telah dikabulkan mengenai suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut; d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebabsebabnya; e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yangsama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Mengenai tenggang waktu, Pasal 69 mengatur sebagai berikut : Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk : a. yang disebut sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; d. yang tersebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hokum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

10 2.3.3 Ketentuan Hukum lain yang mengatur Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali tidak hanya dalam lingkungan peradilan umum tetapi terdapat dalam juga dalam lingkungan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang[25] Peninjauan Kembali atas Putusan Peninjauan Kembali Ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan Terhadap putusan peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 yang berbunyi Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Penjelasan kedua ketentuan ini hanya menyatakan cukup jelas. Penerapan ketentuan ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung tanggal 21 Oktober 2008 Nomor 261 PK/Pdt/2008 yang amarnya antara lain : Menyatakan, bahwa permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat diterima. Putusan ini keluar sebelum Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun Terhadap permohonan peninjauan kembali yang kedua, Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun SEMA ini terbit untuk mengisi kekosongan hukum sesuai fungsi pengaturan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merupakan puncak peradilan bagi badan peradilan yang berada di bawahnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, fungsi ini sangat efektif untuk memperlancar jalannya peradilan.[26] Kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan fungsi pengaturan diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun berbunyi Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.

11 Selain SEMA, Mahkamah Agung juga berwenang memberikan petunjuk teknis dibidang peradilan yang diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang umumnya dikenal sebagai fatwa Praktek pelaksanaan SEMA Nomor 10 Tahun 2009 Terdapat 2 putusan Mahkamah Agung yang obyeknya sama berupa putusan pejabat TUN yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2005 No. 38 PK/TUN/2003. Putusan pejabat TUN yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung ini kemudian dijadikan novum (bukti baru) sebagai alasan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata No. 508/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/PDT/2008 yang amarnya mengabulkan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali. Berdasarkan alasan adanya 2 (dua) putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan terhadap obyek yang sama maka Termohon Peninjauan Kembali dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/PDT/2008 mengajukan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua berdasarkan angka 2 SEMA No. 10. Tahun 2009, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 25 Mei 2011 Nomor 118 PK/Pdt/2011 yang amarnya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang kedua, yang akan menjadi bahasan dalam penulisan ini Analisis Yuridis Putusan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Dalam Perkara PT. Dharmala Intiland melawan Ahli Waris Alm. Sia Joe Sing (Boediono). Sengketa ini adalah mengenai ke pemilikan sebidang tanah bekas HGB No. 8 / Tahun 1962, terletak di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Wilayah Jakarta Pusat, Kecamatan Tanah Abang, Kelurahan Karet Tengsin, dan sekarang setempat dikenal dengan Jalan KH.Mas Mansyur No , Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat antara PT. Dharmala Intiland melawan Ahli Waris Alm. Sia Joe Sing (Boediono) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 03 Agustus 2004 Nomor: 508/PDT.G/2003 amarnya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 30 Juni 2005 Nomor: 159/PDT/2005/PT.DKI amarnya antara lain mengabulkan gugatan Para Tergugat/Penggugat rekonvensi. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Januari 2007 Nomor: 1507 K/PDT/2006 amarnya antara lain mengabulkan gugatan Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi. Putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Mei 2009

12 Nomor: 141 PK/PDT/2008 amarnya antara lain mengabulkan permohonan Tergugat I/Penggugat rekonvensi/pembanding I/Termohon Kasasi. Permohonan permohonan Peninjauan Kembali yang kedua diajukan Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi dan diputus Mahkamah Agung tanggal 25 Mei 2011 No. 118PK/PDT/2011 yang amarnya menolak permohonan pemohon peninjauan kembali dengan pertimbangan hukum Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1(satu) kali Pada analisa kasus di atas, pertimbangan hukum Mahkamah Agung pada permohonan peninjauan kembali yang kedua adalah Peninjauan Kembali kedua tidak diperkenankan lagi sesuai dengan Pasal 66 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Pada kasus ini, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan segi normatif saja, Pada kasus ini, Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan segi normatif saja, tetapi itu tidak berarti Mahkamah Agung tidak bisa memeriksa pokok perkara dalam permohonan Peninjauan Kembali yang kedua. Apabila nyata-nyata terdapat 2 putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan, misalnya mengenai kepemilikan, satu putusan peninjauan kembali menyatakan bahwa tanah sengketa itu milik si A tetapi dalam putusan peninjauan kembali yang lain menyatakan bukan milik si A. Terhadap putusan yang demikian, Mahkamah Agung dapat memeriksa pokok perkara. Apabila setelah permohonan peninjauan kembali yang kedua diperiksa oleh Majelis Hakim Agung tidak terdapat hal-hal yang bertentangan maka pertimbangan hukum hanya menunjuk pada syarat formal yaitu ketentuan Pasal 66 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali dengan amar putusan menolak bukan tidak dapat diterima karena Pasal 74 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung hanya menyebut mengabulkan atau menolak. Mengenai amar ini ada 2 (dua) pendapat di Mahkamah Agung, selain mengabulkan atau menolak juga tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formal.[27]

13 BAB 3 P E N U T U P 5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan mengenai : 1. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali Upaya hukum peninjauan kembali hanya diatur dalam RRv (Reglement op de Rechtsvordering) atau lebih dikenal dengan Rv, yang berlaku bagi penduduk golongan Eropa dan yang disamakan dengan mereka. Sedangkan untuk penduduk golongan Indonesia dan yang disamakan dengan mereka, berlaku hukum acara perdata yang terdapat dalam HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Baik dalam HIR maupun RBg tidak ada ketentuan yang mengatur lembaga Request Civiele. Peninjauan kembali perkara perdata pada saat itu hanya diatur melalui beberapa Perma, terakhir melalui Perma No. 1 Tahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan Perma No. 1 Tahun 1982 tanggal 11 Maret Dan Perma ini pun berakhir dengan keluarnya Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang mengatur antara lain hukum acara

14 peninjauan kembail perkara perdata. Undang-Undang ini telah mengalami dua kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali Pada dasarnya permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali.pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Demikian pula ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun 2009 menegaskan Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. Berdasarkan petunjuk Mahkamah Agung pada angka 2 SEMA No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan.. Terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain dan obyek perkaranya sama, pihak-pihak yang dirugikan oleh adanya 2 (dua) putusan peninjauan kembali yang bertentangan tersebut dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. 3. Praktek penerapan ketentuan mengenai peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali a. Berdasarkan petunjuk angka 2 SEMA No. 10 Tahun 2009, pemohon peninjauan kembali dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua atau peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali. Apakah pemohon peninjauan kembali ini dahulu berkedudukan sebagai pemohon atau termohon peninjauan kembali, SEMA tidak mengaturnya. b. Berdasarkan petunjuk angka 1 SEMA No. 10 Tahun 2009, permohonan peninjauan kembali tetap diterima dan pada akta pernyataan permohonan peninjauan kembali diberi catatan bahwa permohonan tersebut berdasarkan angka 1 SEMA, selanjutnya terhadap permohonan ini dibuat penetapan ketua pengadilan dan berkas permohonan tidak dikirim ke Mahkamah Agung. 5.2 S a r a n

15 Dasar penerbitan SEMA No. 10 Tahun 2009 sendiri sudah jelas yaitu Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pasal 79 beserta penjelasannya. Namun, apabila hal ini belum merupakan pemahaman Mahkamah Agung beserta jajaran pengadilan dibawahnya karena masih ada ketidakpahaman pada pelaksanaan di tingkat bawah. Demikian pula adanya, putusan yang saling bertentangan yang obyeknya sama, bukan hanya terjadi pada putusan-putusan pengadilan tingkat bawah dan antara putusan peninjauan kembali dengan putusan peninjauan kembali yang sudah ada pengaturannya. Tetapi juga bisa terjadi antara putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dengan putusan peninjauan kembali yang belum ada pengaturannya, maka yang perlu dilakukan adalah : 1. Melakukan sosialisasi melalui Rakernas Mahkamah Agung atau melalui sarana pembinaan teknis yang frekuensinya lebih banyak supaya ada kesepahaman dalam pelaksanaan di lapangan dan atau, 2. Melakukan revisi terhadap pasal terkait dari Undang- Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang juga telah mengalami perubahan yang kedua, terakhir dengan UU Nomor 3 Tahun Melakukan revisi terhadap angka 2 SEMA tersebut sehingga menampung permohonan peninjauan kembali yang kedua karena adanya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (apakah itu pada pengadilan negeri atau pengadilan tinggi atau kasasi) yang saling bertentangan dengan putusan peninjauan kembali untuk mempermudah proses penyelesaian perkara.

16 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Bidara, O. dan Martin P. Bidara. Hukum Acara Perdata, Cet. 2, Jakarta: Pradnya Paramita, Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung HUkum Acara Perdata Masa Setengah Abad, Cet. I, Jakarta: Swara Justitia, Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Edisi 1. Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, Kekuasaan Pengadilan Tinggi Dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, Mahkamah Agung. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Buku II, Edisi Mamudji, Sri et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 8. Cet. 1. Yogyakarta: Liberty, Beberapa Azas Pembuktian Perdata dan Penerapannya Dalam Praktek, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 19 Januari Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Edisi Revisi. Cet. 2. Jakarta : Djambatan, Kompilasi Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan, Edisi 1. Cet. 1. Jakarta : PT. Alumni, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia. Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Cet. 1. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, Nasir, M. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 1. Jakarta : Djambatan, Panggabean, Henry P. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2002.

17 . Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan, Yogyakarta : Liberty, Buku Ajar Klinis Hukum Dalam Sistem Hukum Dan Peradilan, Edisi 1 Cet. 1. Bandung : PT. Alumni, Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Universitas Atmajaya, Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap, Cet. 2. Jakarta : Sinar Grafika, Soedirjo. Mahkamah Agung Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan dan Kekuasaannya Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Jakarta: PT. Media Sarana Press, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Cet. 2. Jakarta: Akademika Pressindo, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata Arti dan Makna, Cet. 1. Jakarta: Akademika Pressindo, Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1. Cet. 8. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Soepomo, R.. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Cet. 15. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Soeroso, R.. Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet. 5. Jakarta: Sinar Grafika, Soesilo, R.. RIB/HIR dengan penjelasan, Bogor: Politeia, Soetantio, Ny. Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, Cet. XI. Bandung: CV. Mandar Maju, Subekti, R.. Kekuasaan Mahkamah Agung R.I., Bandung: Alumni, Sumardjono, Maria S.W. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Tresna, R. Komentar HIR, Cet. 17. Jakarta: Pradnya Paramita, Internet :

18 Mappong, H. A. Kadir Tentang Peninjauan Kembali, agung.go.id/index.php/materi-rakernas/65-tentang-peninjauan-kembali-makalah-wakil-ketuama-bidang-yudisial diunduh tanggal 28 November 2011 Mertokusumo, Sudikno Penyempurnaan Struktural Organisasi Mahkamah Agung Sebagai Puncak Keempat Lingkungan Peradilan, blogspot.com/ diunduh tanggal 04 Juni Peraturan Perundang-undangan : Indonesia, Pengadilan Peradilan Ulangan, UU No. 20 tahun 1947, Ps. 8.. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, No. 14 Tahun 1985, LN No. 73 Tahun 1985, TLN No Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, No. 5 Tahun 2004, LN No. 9 Tahun 2004, TLN N Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, No. 3 Tahun 2009, LN No. 3 Tahun 2009, TLN N Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN N Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, SEMA No. 10 Tahun Kamus : Algra, N.E. dan H.R.W. Gokkel. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae (Fockema Andrea s Rechtsgeleard Handwoordenboek), diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanuddin St. Batuah. Jakarta: Binacipta, Termorshuizen, Marjanne dibantu oleh Caroline Supriyanto-Breur dan Hilly Djohani-Lapian, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta : Penerbit Djambatan, Lampiran-lampiran : 1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 03 Agustus 2004 No. 508/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst. 2. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 30 Juni 2005 No. 159/PDT/2005/PT.DKI 3. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Januari 2007 No K/Pdt/ Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 13 Mei 2009 No. 141 PK/Pdt/ Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 25 Mei 2011 No. 118 PK/Pdt/2011

19 [1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta: Liberty, 2009), hal [2] Ibid. [3] Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, SEMA No. 10 Tahun [4] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal [5] Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 23. [6] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 40. [7] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, 106. [8] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Yakarta : Sinar Grafika, 2009), hal [9] Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari, 142. [10] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, 442. [11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 234. [12] M. Nasir, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Jakarta: Djambatan, 2003), hal [13] R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2002), hal. 33. [14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal [15] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, [16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal [17] Ibid., hal [18] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, 148. [19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 225. [20], Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, 4. [21], Pedoman Pelaksanaan TugasDan Administrasi PengadilanBuku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2003), hal [22] Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, 210. [23] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata,

20 [24] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Pengadilan, 300. [25] Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, UU No. 37 tahun 2004, LN No. 131 tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 295, Ps [26] Ibid. [27] Hasil wawancara dengan Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung, Bapak Suwardi, S.H., M.H. pada rentang waktu Januari 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI A. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET (Oleh H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Dalam praktek beracara di muka Pengadilan sering kita dapati perkara gugatan derden

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

Makalah Rakernas

Makalah Rakernas Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden Verzet) Syahrul Sitorus Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sumatera Medan Jln. Sambu No. 64 Medan e-mail:

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrasyid, Prijatna 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), Fikahati Aneska, Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap

Lebih terperinci

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA

PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA PENCABUTAN PERKARA DI PERADILAN AGAMA Drs.H.M.TARSI HAWI, S.H. (PTA BANJARMASIN) A. PENDAHULUAN Pencabutan gugatan perkara perdata pada tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan bahkan pada

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

ASPEK YURIDIS TENTANG UPAYA HUKUM LUAR BIASA (PENINJAUAN KEMBALI) TERHADAP PUTUSAN YANG BERKEKUATAN TETAP SYARIFA NUR / D

ASPEK YURIDIS TENTANG UPAYA HUKUM LUAR BIASA (PENINJAUAN KEMBALI) TERHADAP PUTUSAN YANG BERKEKUATAN TETAP SYARIFA NUR / D ASPEK YURIDIS TENTANG UPAYA HUKUM LUAR BIASA (PENINJAUAN KEMBALI) TERHADAP PUTUSAN YANG BERKEKUATAN TETAP SYARIFA NUR / D 101 10 044 ABSTRAK Suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara perdata

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN 29 BAB II UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tanggal 22 April 1998 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

hal 0 dari 11 halaman

hal 0 dari 11 halaman hal 0 dari 11 halaman I. PENGERTIAN PENGGUNAAN LEMBAGA PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) OLEH Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung RI (H. SUWARDI, SH, MH) Subekti menyebut, putusan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

Lebih terperinci

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 ) DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 ) BAB I PENDAHULUAN Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi

BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi BAB II PEMBAHASAN Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap keputusan hakim perlu

Lebih terperinci

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA Oleh : M. Luqmanul Hakim Bastary* PENGERTIAN Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa

Lebih terperinci

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JOMBANG (Studi Perkara No. 1455/Pdt.G/2013/PA.Jbg) BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan surat edaran mahkamah agung nomor 3 tahun 2000 tentang putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil dalam eksekusi putusan serta merta di Pengadilan Negeri Pati Oleh Ariwisdha

Lebih terperinci

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Kecamatan yang bersangkutan.

Kecamatan yang bersangkutan. 1 PENCABUTAN PERKARA CERAI GUGAT PADA TINGKAT BANDING (Makalah Diskusi IKAHI Cabang PTA Pontianak) =========================================================== 1. Pengantar. Pencabutan perkara banding dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan 1 PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan A. PENGANTAR Mahkamah Agung tidak henti-hentinya melakukan perubahan dalam

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

PENINJAUAN KEMBALI DALAM SENGKETA PAJAK

PENINJAUAN KEMBALI DALAM SENGKETA PAJAK PENINJAUAN KEMBALI DALAM SENGKETA PAJAK Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. I. PENDAHULUAN Seperti diketahui, sektor perpajakan memegang peranan penting dan strategis dalam penerimaan negara.

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA A. Putusan PTUN Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. 62 Putusan hakim

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh: Agus Salim Harahap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Al-Hikmah Medan Jl. Mesjid No. 1 Medan Estate, Medan 20371 august_harahap@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK Kehadiran tergugat di persidangan adalah hak dari tergugat. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo menyatakan hal tersebut bahwa tidak ada keharusan bagi tergugat untuk

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 TATA CARA PEMANGGILAN PARA PIHAK YANG BERPERKARA PENGGUGAT/TERGUGAT YANG TERLIBAT DALAM PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (PENERAPAN PASAL 388 jo PASAL 390 HIR) 1 Oleh: Delfin Pomalingo 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan

KESIMPULAN. saja Kesimpulan dapat membantu hakim dalam menjatuhkan Putusan KESIMPULAN Kesimpulan yg dibuat oleh para pihak ttg jalannya persidangan sebelum dijatuhkan Putusan. Kesimpulan bersifat Fakultatif, artinya boleh diajukan, boleh tidak Sebaiknya dimasukan point yg menguntungkan

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

ABSTRAK Latar belakang

ABSTRAK Latar belakang ABSTRAK Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial diajukan kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut. Adakalanya permohonan eksekusi datang langsung dari pihak tereksekusi sendiri.

Lebih terperinci

JAMINAN. Oleh : C

JAMINAN. Oleh : C NASKAH PUBLIKASII SKRIPSI PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) TERHADAP SITA JAMINAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA (Study Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2 EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan eksekusi menurut

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH ( Studi Kasus di Pengadilan Negeri Magetan ) Disusun dan Diajukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

Oleh Helios Tri Buana

Oleh Helios Tri Buana TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEWARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Perkara Nomor : 168/Pdt.G/2013/PN.Ska) Jurnal Ilmiah Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM B. RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Perdata SH 1112 3 IV (Empat) Muhammad Fajar Hidayat, S.H., M.H. Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi Mata kuliah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan : 1. Pengertian Pemeriksaan Setempat Pemeriksaan Setempat atau descente ialah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 07/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Harta Bersama pada tingkat banding,

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG) MAHKAMAH AGUNG Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1 JAKARTA Jakarta, 1 Desember 1975 No Lampiran : 2 (dua) : MA./Pemb./1021/1/75 Hakim

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

Sumber Berita : Sengketa di Atas Tanah 1,5 Juta Meter Persegi, Forum Keadilan, Edisi 24-30 Agustus 2015. Catatan : Menurut Yahya Harahap dalam Buku Hukum Acara Perdata halaman 418, Eksepsi secara umum

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP TANAH BERIKUT BANGUNAN YANG DIJAMINKAN DI BANK DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat

Lebih terperinci

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Abstrack Execution decision necessarily well often cause problems related to the rules that govern which SEMA

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. 1. profil pengadilan agama malang. No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, dengan

BAB IV ANALISIS DATA. 1. profil pengadilan agama malang. No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, dengan BAB IV ANALISIS DATA A. Deskripsi Objek penelitian 1. profil pengadilan agama malang Pengadilan Agama Malang terletak di jalan Raden Panji Suroso No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Segala tingkah laku yang diperbuat

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa alasan terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi

Lebih terperinci

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN

PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN PENETAPAN AHLI WARIS DAN P3HP /PERMOHONAN PERTOLONGAN PEMBAGIAN HARTAPENINGGALAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H.,Hakim PTA NTB) I. Pendahuluan Pengadilan Agama di wilayah PTA NTB terkenal dengan banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses beracara yang sesuai dengan hukum acara perdata. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. proses beracara yang sesuai dengan hukum acara perdata. Hal tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembuktian merupakan salah satu tahapan yang terpenting dalam proses beracara yang sesuai dengan hukum acara perdata. Hal tersebut disebabkan karena pada tahapan

Lebih terperinci

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1 UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1 ABSTRAKSI Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak

Lebih terperinci

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin

SEKITAR PENYITAAN. Oleh A. Agus Bahauddin SEKITAR PENYITAAN Oleh A. Agus Bahauddin A. Pengertian Penyitaan : Menurut terminologi Belanda : beslag, dalam istilah Indonesia disebut beslah, dan istilah bakunya sita dan penyitaan. Dari istilah-istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis/lisan, di mana norma tersebut bertujuan untuk menciptakan kondisi

Lebih terperinci

ADHAPER ISSN Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015

ADHAPER ISSN Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015 J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D A T A ADHAPER Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2015 Problematika Upaya Peninjauan Kembali Perkara Perdata dalam Tata Hukum Acara Perdata di Indonesia Ghansham Anand dan

Lebih terperinci

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR PENYITAAN (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Penyitaan Sita (Beslag) adalah suatu tindakan hukum pengadilan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Keterbukaan Informasi

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia berdasarkan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PEMBAYARAN GANTI RUGI OLEH PEMERINTAH DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA BERDASARKAN PUTUSAN PERDATA YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP

TINJAUAN ATAS PEMBAYARAN GANTI RUGI OLEH PEMERINTAH DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA BERDASARKAN PUTUSAN PERDATA YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP hukum. 1 Badan hukum sebagai subyek hukum dalam hukum perdata dibagi menjadi TINJAUAN ATAS PEMBAYARAN GANTI RUGI OLEH PEMERINTAH DAERAH KEPADA PIHAK KETIGA BERDASARKAN PUTUSAN PERDATA YANG TELAH BERKEKUATAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE Oleh : Suhartanto I. Latar Belakang Permasalahan : Pada pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ditentukan bahwa

Lebih terperinci

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 2 (2014) Copyright 2014

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 3 Nomor 2 (2014)  Copyright 2014 JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 2 (2014) http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja Copyright 2014 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SAMARINDA NOMOR 66/PDT.G/2007/PN.SMDA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS ADMINISTRASI DAN TEKNIS PERADILAN TATA USAHA NEGARA EDISI 2008

PEDOMAN TEKNIS ADMINISTRASI DAN TEKNIS PERADILAN TATA USAHA NEGARA EDISI 2008 PEDOMAN TEKNIS ADMINISTRASI DAN TEKNIS PERADILAN TATA USAHA NEGARA EDISI 2008 MAHKAMAH AGUNG RI 2008 1 DAFTAR ISI Kata Pengantar... iii Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/IV/2007

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim atau lazim

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kembali hak-haknya yang dilanggar ke Pengadilan Negeri BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Banyak permasalahan yang berlatar belakang pada sengketa perdata yang disebabkan oleh karena salah satu pihak merasa dirugikan akibat hak-haknya dilanggar oleh

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

BAB 2 EKSEKUSI. cet.2, ed. revisi, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 276

BAB 2 EKSEKUSI. cet.2, ed. revisi, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 276 10 BAB 2 EKSEKUSI 2.1 Dasar Hukum Eksekusi Esensi terpenting dan aktual yang merupakan puncak dari perkara perdata adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan diskusi yang telah dikupas pada bagian sebelumnya dalam skripsi ini, maka dapat ditarik dua kesimpulan sebagai jawaban terhadap pokok persoalan yang

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-I/2003 I. PEMOHON Main bin Rinan, dkk (selaku ahli waris Rinan bin Nyirin). II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor

Lebih terperinci

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA

FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA 2 2011 DRAFT FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA FORMULIR ADMINISTRASI KEPANITERAAN PENGADILAN AGAMA DIREKTORAT PEMBINAN ADMINISTRASI PA DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA MA RI

Lebih terperinci