II. LANDASAN TEORI 2.1. Millenimun Development Goals dan AMPL Millennium Development Goals

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. LANDASAN TEORI 2.1. Millenimun Development Goals dan AMPL Millennium Development Goals"

Transkripsi

1 I. Latar Belakang Air adalah salah satu elemen bumi yang paling dinamis. la tidak punya alamat tetap, tidak punya address, tidak facebook addicted, tidak punya kantor, juga tidak memiliki nomor handphone. Ia terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan gampang berubah fase mengikuti siklus kehidupan bumi. Suatu kali ia menjadi uap, terbang bersama angin, tumbuh menjadi awan, dan jatuh sebagai hujan di halaman Kantor Bupati Bangka atau di halaman Kantor Prakarsa, atau bisa jatuh dimana saja di sebuah lokasi yang ratusan kilometer jauhnya dari tempat persinggahan sebelumnya. Di saat yang lain, ia tersimpan sebagai air tanah, tersintesis menjadi biomassa yang mengandung energy dan pada akhirnya kembali terurai menjadi air. Betapapun dinamisnya, air tidak tersedia di semua tempat dalam jumlah yang cukup dan volume yang sama. Ada tempat yang surplus kelimpahan air, dan banyak tempat lainnya yang selalu defisit neracanya. Maka, air menjadi faktor pembatas daya dukung ekologis yang sangat potensial memicu masalah sosial, politik, dan ekonomi utamanya saat ia berstatus air tanah, air danau, dan air sungai yang secara langsung menopang kehidupan umat manusia. Agar persoaloan tersebut tidak menjadi kanyataan, kita harus terus menjaga harmoninya, menjaga sumberdayanya dan menjaga keberlanjutannya. Tapi, who care?, sudahkah kita pebuli?. Jika pertanyaan-pertanyaan itu dialamatkan kepada masyarakat Bangka atau bahkan Bangka Belitung, maka jawabnya jelas, mereka belum atau mungkin juga tidak peduli. Indikasinya, sumber-sumber dan cadangan air tanpa sengaja dirusak-rusak begitu rupa, hutan-hutan tanpa sengaja diluluhlantakkan, reklamasi dilakukan setengah hati dan reboisasi sepertinya dilupakan. Semua untuk kepentingan eksploitasi timah, untuk kepentingan ekonomi sesaat, untuk kepentingan yang ironisnya juga mengatasnamakan masyarakat. Eksploitasi timah, baik yang legal maupun illegal ini tidak hanya menghancurkan sebagian besar sumber dan cadangan air bersih, tetapi juga merusak lahan, memperparah Daerah Aliran Sungai, menghancurkan landscape dan mendegradasi lingkungan. Kolongkolong atau danau-danau eks penambangan timah yang digenangi air semakin banyak terlihat dimana-mana, merata diseluruh wilayah. Dari sisi lain, pengelolaan limbah pertambangan yang tidak managable telah mengakibatkan banyak sumber air yang menjadi sumber air baku bagi masyarakat mengalami polusi logam berat. Sungai-sungai mengalami pencemaran dan pendangkalan, air tanah dan air permukaan mengalami penurunan kapasitas. Wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pantai, air tanah-nya mengalami intrusi air laut yang korosif dan sudah tercemar limbah penambangan pantai. Kompleksitas permasalahan air bersih tersebut ternyata juga dilengkapi dengan rendahnya kepedulian masyarakat terhadap sanitasi sehingga menyebabkan rendahnya cakupan pelayanan sanitasi lingkungan. Keadaan ini tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyaknya rumah tangga yang memilih buang air besar di sembarang tempat, bisa di sungai, di kebun, di hutan atau di lingkungan outdoor lainnya. Indikator rendahnya kesadaran masyarakat terlihat dari rendahnya prosentase kepemilikan jamban keluarga. Kedua persoalan, air bersih dan sanitasi, bagaikan duet maut yang mematikan, yang jika tidak cepat diatasi akan berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat, seperti meningkatnya kasus penyakit diare, typus, disentry dan penyakit kulit serta penyakit lainnya yang berhubungan dengan rendahnya kualitas lingkungan hidup manusia. Bahkan juga memicu terjadinya penyakit generative yang dalam beberapa waktu lalu sempat terekspos ke permukaan yaitu fenomena kelahiran bayi dengan usus terburai dan tanpa tempurung kepala. 1

2 Berdasarkan kondisi diatas, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka mempunyai kewajiban untuk mengambil suatu tindakan yang lebih konkrit dengan melaksanakan kebijakan nasional tentang pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL). Program ini diharapkan dapat memperbaiki akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi, memenuhi target yang disepakati dalam Millenium Development Goals (MDGs), mengurangi separuh penduduk yang tidak mendapatkan akses air minum yang sehat serta penanganan sanitasi dasar, meningkatkan kualitas kesehatan, memperbaiki produktivitas dan menggapai kesejahtraan. Persoalannya kemudian adalah, pelaksanaan pembangunan AMPL ini tentu saja memerlukan pembiayaan yang sangat besar. APBD yang jumlahnya terbatas, banyaknya urusan pemerintahan yang harus dijalankan, serta nuansa politis yang sangat kental dalam penentuan dan plotting anggaran, menjadikan tekanan terhadap pembiayaan AMPL sangat tinggi, tercermin dari rendahnya proporsi anggaran sektor AMPL terhadap APBD dalam beberapa tahun terakhir. Padahal tekanan terhadap sumberdaya air dan sanitasi yang terus meningkat, mensyaratkan pembiayaan yang juga terus bertambah. Oleh karena itulah diperlukan strategi pembiayaan APBD yang jitu, efektif, berkesinambungan dan berdampak luas bagi peningkatan akses air bersih dan sanitasi dasar. II. LANDASAN TEORI 2.1. Millenimun Development Goals dan AMPL Isu pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia tertuang dalam tujuan 7 target 10 dari Tujuan Pembangunan Millenium (Millennium Development Goals). Target 10 tujuan 7 tersebut berbunyi Menurunkan Sebesar Separuh, Proporsi Penduduk Tanpa Akses Terhadap Sumber Air Minum yang aman dan berkelanjutan serta Fasilitas Sanitasi Dasar pada Berdasarkan target MDGs tersebut, Indonesia menghadapi dua tantangan. Pertama, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan hingga 67% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman. Kedua, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan hingga 69,3% proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Kebijakan MDGs ini kemudian juga diperkuat oleh Deklarasi Kyoto dalam World Water Forum, 24 Maret 2003, yang menyatakan bahwa; (i) peningkatan akses terhadap air bersih adalah penting bagi pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan dan kelaparan; dan (ii) penambahan investasi pada sektor air minum dan penyehatan lingkungan sangat diperlukan dalam rangka mencapai target pengurangan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi dasar pada tahun 2015 (Bappenas dkk, 2003). Dari aspek air minum, saat ini, Indonesia telah mencapai angka 52,1% untuk proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman. Sementara untuk akses terhadap fasilitas sanitasi dasar, Indonesia telah melampaui target dengan mencapai angka 69,3% penduduk telah memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar. Namun, Kualitas dari fasilitas sanitasi dasar tersebut tidak diperhatikan dalam angka pencapaian tersebut. Oleh karena itu, masih dibutuhkan kerja keras untuk meningkatkan profil air minum dan sanitasi di Indonesia (Bappenas dkk, 2003). Kerja keras untuk meningkatkan profil air minum dan sanitasi di Indonesia, terkait erat dengan besarnya tantangan yang harus dihadapi. Tantangan pembangunan sektor air minum dalam mencapai target MDGs adalah: (i) cakupan pembangunan yang sangat besar, dimana sebaran penduduk yang tidak merata dan beragamnya wilayah Indonesia menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan; (ii) Keterbatasan sumber pendanaan, sehingga tidak cukup hanya mengandalkan investasi pemerintah, tetapi juga swasta dan masyarakat; 2

3 (iii) penurunan kualitas dan kuantitas sumber air baku yang disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukung hutan terhadap sistem siklus air, aktivitas manusia yang mengeluarkan zat pencemar ke badan air seperti limbah pabrik/industri, limbah rumah tangga, sampah padat, serta tangki septik di rumah tangga yang tidak memenuhi syarat kontruksi; (iv) Kemiskinan yang diderita penduduk; dan (v) lemahnya kemampuan manajerial operator air minum yang berdampak pada stagnasi produksi air minum perpipaan, tingginya angka kebocoran, serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas pelayanan masih dibawah standar air minum yang sehat. Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sektor sanitasi adalah; (i) pengetahuan penduduk tentang kualitas lingkungan yang masih rendah; (ii) persoalan sanitasi dasar bukan merupakan isu penting bagi kalangan politisi, pemerintah bahkan dunia usaha; (iii) rendahnya kualitas bangunan tangki septik di perkotaan; (iv) masih rendahnya masyarakat di kawasan perkotaan yang mendapatkan pelayanan sistem pembuangan air limbah (sewerage system); dan (v) tidak adanya pelayanan sanitasi yang layak memiliki dampak pada kualitas kesehatan yang rendah (Bappenas dkk, 2003). Dalam konteks Kabupaten Bangka, terdapat empat isu dan permasalahan strategis yang menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Bangka. Keempat isu tersebut adalah; (i) menurunnya kuantitas, kualitas dan kontinyuitas air minum bagi masyarakat; ii rendahnya kesadaran masyarakat untuk ber perilaku hidup bersih dan sehat; (iii) belum memadainya perangkat peraturan yang mendukung pembangunan dan pengelolaan AMPL; dan (iv) rendahnya jumlah dan kinerja kelembagaan pengelolaan AMPL (Bappeda, 2010). Keseluruhan isu ini tentu saja harus segera diselesaikan dengan baik. Disamping untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesehatan masyarakat, juga untuk indikator kinerja pembangunan suatu daerah. World Bank dalam Bappeda Kabupaten Bangka (2007), menyebutkan bahwa kinerja pembangunan di suatu wilayah dapat dilihat dari perkembangan segiempat pembangunan (development diamond) yang dapat menggambarkan sejauh mana keberhasilan pembangunan, yaitu PDRB per kapita, Life Expectancy, Gross Primary Enrollment Rate dan akses ke safe water. Akses ke safe water menurut kriteria MDGs di ukur dari persentase penduduk atau rumah tangga yang dapat akses ke persediaan air bersih. Dalam hal ini, akses ke air bersih didasarkan pada perhitungan air minum perpipaan/leding dan air minum aman/terlindungi. Sedangkan akses sanitasi yang aman didefinisikan sebagai septik tank dengan dinding kedap air dilengkapi bidang resapan, dan cubluk/lubang tanah yang berjarak aman terhadap sumber air minum yang digunakan. Hasil Susenas 2007, memperlihatkan bahwa baru 54,14 persen masyarakat Kabupaten Bangka yang memiliki akses terhadap air bersih dan hanya 51,43 persen masyarakat yang memiliki akses terhadap penyehatan lingkungan (Bappeda, 2008) 2.2. Dampak Pelayanan Air Bersih dan Sanitasi Secara umum penerima manfaat dari layanan air minum dan sanitasi dasar yang baik dikelompokkan menjadi empat yaitu sektor kesehatan, konsumen, pasien dan serta pertanian dan industri. Dampak negatifnya adalah serangan penyakit terkait lingkungan, sedangkan dampak positifnya dapat dikelompokkan menjadi dampak ekonomi langsung dan tidak langsung serta dampak non kesehatan (Bappenas, 2007). Selanjutnya disebutkan, bagi sektor kesehatan dampaknya adalah; (i) Pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare; (ii) Nilai penurunan kesehatan pekerja oleh karena sakit akibat diare; dan (iii) Pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif. Bagi pasien, dampak layanan yang baik berupa; pengurangan belanja untuk perawatan penyakit diare dan pengurangan biaya, pengurangan belanja untuk transportasi dalam mendapatkan perawatan penyakit dan pengurangan waktu dalam mendapatkan perawatan penyakit. Bagi konsumen dampaknya lebih terlihat dari sisi non kesehatan, yaitu menghemat waktu dalam mendapatkan air minum dan sanitasi dasar, minimalisasi peralatan kerja di tingkat rumah tangga, terhindar dari sumber air yang mahal, 3

4 peningkatan nilai pemukiman, dan waktu luang untuk bermacam kegiatan. Bagi pertanian dan industri dampaknya dapat berupa pengurangan belanja untuk biaya karyawan yang sakit diare, pengurangan dampak produktivitas oleh penyakit pada karyawan, pengelolaan sumber daya air yang lebih efektif, hemat waktu dan peningkatan pendapatan dan tata guna lahan Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, telah dicoba untuk menemukan bukti bukti pengaruh air minum dan sanitasi terhadap kesehatan. Beberapa jenis penyakit bisa diklasifikasikan menurut jalur penularan sebagai berikut: (a) water-borne: kolera, tipus; (b) water-washed: trakoma; (c) water-based: schistosomiasis; (d) water-related vector borne: malaria, filariasis; (e) water-disperesed infections: legionellosis. Namun demikian, jalur penyakit yang diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi cakupan air minum, sanitasi, dan higiene yang rendah adalah water-borne dan water washed. Penyakit melalui jalur waterborne dan water-washed ini seperti kolera, salmonellosis, shigellosis, amoebiasis, dan infeksi oleh protozoa dan virus lainnya. Penyakit ini ditularkan melalui jalur air, kontak personal, kontak binatang-manusia, dan makanan. Secara statistik,peningkatan pelayanan air minum dan sanitasi dasar akan berpengaruh pada penurunan angka kejadian atau jumlah kejadian per tahun dan penurunan angka kematian atau jumlah kematian per tahun (Bappenas, 2007). Sedangkan Bappeda Kabupaten Bangka (2010), menyebutkan bahwa penyakit yang terkait dengan buruknya akses air bersih dan sanitasi di Kabupaten Bangka adalah; diare, demam berdarah dengue, Chikungunya, Pneumonia, Filariasis, Campak, ISPA dan TBC Pembiayaan Sektor Air Bersih dan Sanitasi Upaya pencapaian MDGs bukan merupakan hal yang mudah. Pemerintah dihadapkan pada kondisi kebutuhan investasi yang sangat besar dan belum tercukupi oleh sumber pendanaan dari dalam negeri. Pada tahun 2006, telah dicoba dilakukan studi mengenai profil pembiayaan publik sektor air minum dan sanitasi oleh proyek WASPOLA. Secara umum, hasil studi tersebut dapat disarikan dalam uraian-urain di bawah ini. Pendanaan publik untuk sektor ini berasal dari sumber-sumber berikut: (i) alokasi anggaran pemerintah pusat untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah didelegasikan ke pemerintah daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugasperbantuan; (ii) alokasi anggaran oleh pemerintah daerah, termasuk Dana Alokasi Khusus; (iii) pinjaman luar negeri yang diserahkan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; (iv) pinjaman oleh Pemerintah Daerah; (vi) sumber-sumber pendanaan lain yang dialokasikan dari APBN biasanya lebih bersifat ad hoc atau sementara seperti contohnya Anggaran Belanja Tambahan atau kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar; (vii) sumber dana dari kalangan swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility); dan (viii) sumber dana dari masyarakat sendiri (Bappenas, 2007). Sementara Bappeda Kabupaten Bangka (2007), menyatakan bahwa dalam skala daerah, sumber pendanaan sektor AMPL di Kabupaten Bangka dapat berasal dari APBN, APBD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, APBD Kabupaten Bangka, APBDesa, Swasta, CSR dan masyarakat. Kebijakan nasional sendiri mengamanatkan peran serta masyarakat untuk berkontribusi baik secara in-kind maupun in-cash. Perkembangan kebijakan perencanaan dan penganggaran pada saat ini memberikan peluang bagi perencanaan dan pengawasan yang lebih bersifat sektoral. Reformasi pada saat ini menekankan pada anggaran yang terintegrasi dan berfokus pada kinerja, berdasarkan sudut pandang pembangunan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Proses baru ini menggunakan rencana jangka panjang dan menengah pada tingkat nasional dan daerah sebagai dasar bagi proposal anggaran tahunan. Kebijakan pada saat ini juga mempertimbangkan penggunaan kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, dengan plafon anggaran masa depan untuk pengguna anggaran (Bappenas, 2007). Kebanyakan alokasi anggaran AMPL daerah, sekitar 90%, diperuntukkan bagi investasi kapital. Sementara 2% dialokasikan untuk bantuan teknis dan 8% untuk sosialisasi dan pembangunan kapasitas. (Bappenas, 2007). Selanjutnya juga dinyatakan bahwa sekitar 50% 4

5 dari alokasi anggaran AMPL propinsi dan kabupaten diperuntukkan bagi penyediaan air. Namun, pada anggaran kota, penyediaan air mendapatkan bagian yang lebih kecil; alokasi anggaran terbesar adalah untuk saluran air. Alokasi anggaran untuk limbah padat mendapatkan bagian kecil pada semua tingkat pemerintahan, yang terbesar hanya mencapai 5% dari anggaran kota. Sanitasi mendapatkan sekitar seperlima dari total alokasi anggaran untuk penyediaan air, namun perbandingan ini bervariasi pada setiap tingkat pemerintahan. III. ANALISIS 3.1. Kebutuhan Pembiayaan MDGs Upaya pencapaian MDGs bukan merupakan hal yang mudah. Pemkab Bangka dihadapkan pada kondisi kebutuhan investasi yang sangat besar dan belum tercukupi oleh sumber pendanaan dari APBD. Besarnya kebutuhan pencapaian MDGs sektor AMPL di Kabupaten Bangka sampai dengan tahun 2015 belum dapat dihitung secara rinci, Walaupun demikian, dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dimana Kabupaten Bangka masih banyak menghadapi banyak kendala terutama dalam hal rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kondisi infrastruktur yang berada dibawah kondisi kelayakan yang dibutuhkan, maka patut diduga bahwa untuk mencapai MDG selain membutuhkan biaya yang sangat besar, juga dihadapkan pada kompetisi dalam penentuan urutan prioritas pembangunan yang berarti juga kompetisi dalam pengalokasian anggaran dalam APBD. Pengalokasian anggaran ini tidak akan terlepas dari seberapa jauh dan seberapa banyak masyarakat yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dasar. BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2007) melansir berita bahwa cakupan air bersih masyarakat Kabupaten Bangka baru mencapai 54,14 persen, dan cakupan sanitasi dasar atau jamban bahkan hanya 51,43 persen. Kondisi yang masih menyisakan banyak pekerjaan tersebut, mengharuskan Pemkab Bangka melakukan perencanaan dan perhitungan kalkulasi investasi yang berkaitan dengan air bersih atau air minum. Menggunakan basis data yang dihasilkan Susenas itu, dilakukan kalkulasi dengan berdasarkan asumsi-asumsi pembiayaan yang general dan dihitung menggunakan unit cost/kepala keluarga. Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan pembiayaan investasi ini adalah: (i) biaya investasi air minum atau air bersih yang disetarakan dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan sumur gali Rp ; (ii) biaya investasi sanitasi yang disetarakan dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan water closed Rp ; (iii) satu kepala keluarga diasumsikan menghuni satu rumah; (iii) pembiayaan hanya memperhitungkan biaya pembangunan setara sumur gali dan jamban, tanpa memperhitungkan variabel lainnya; dan (iv) kondisi tahun dasar yang digunakan adalah Selengkapnya rincian detail kebutuhan pembiayaan investasi AMPL tersebut tersaji pada tabel berikut. Tabel 1. Prediksi Pembiayaan Investasi MDGs di Kabupaten Bangka No Indikator Keseluruhan MDGs 1 Jumlah KK Belum Terlayani Air Bersih (KK) Belum Terlayani Sanitasi Dasar (KK) Pembiayaan Investasi Air Bersih (Rp) Pembiayaan Investasi Sanitasi (Rp) Pembiayaan AMPL (Rp) Pembiayaan AMPL per Tahun (Rp) Sumber: Bappeda Kab Bangka,

6 Secara umum terlihat bahwa jumlah kepala keluarga atau jumlah rumah yang memerlukan layanan air bersih dan sanitasi adalah , dengan diantaranya belum terlayani air bersih dan KK belum terlayani sanitasi atau jamban keluarga. Jika Pemkab Bangka berkehendak menuntaskan permasalahan dengan mentargetkan seluruh penduduk memiliki akses yang cukup terhadap air bersih dan sanitasi, maka diperlukan investasi yang sangat mahal. Untuk air bersih diperlukan pembiayaan yang tidak kurang dari Rp sedangkan sanitasi menelan biaya Rp Kecukupan akses masyarakat untuk ke seluruhan bidang ini, pada akhirnya menelan budget sebesar dari Rp Jumlah yang setara dengan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka untuk 4 atau 5 tahun. Meskipun demikian karena target MDGs hanya mengharuskan pengurangan 50 persen dari penduduk yang belum terlayani, atau mengurangi KK untuk air bersih dan KK untuk sanitasi, maka untuk mencapai target MDGs diperlukan pembiayaan investasi senilai Rp , dengan rataan Rp per tahun. Angka yang masih relatif sangat besar bagi Kabupaten Bangka yang PAD-nya baru mampu memenuhi 6 persen saja dari total belanja daerah setiap tahunnya. Oleh karena itu, tentu beban pembiayaan ini, tidak boleh ditanggung sendiri oleh APBD, namun harus menjadi beban seluruh stakeholder, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pihak swasta dan masyarakat Kondisi Sebelum Penerapan Strategi Pembiayaan MDGs Pentingnya AMPL, mengharuskan Pemkab Bangka mengambil suatu tindakan lebih konkrit dengan ikut melaksanakan kebijakan pembangunan AMPL yang memang harus dilaksanakan oleh seluruh pemerintahan Indonesia dalam segala level-nya. Namun pelaksanaannya bukanlah perkara yang mudah. Disamping diperlukan kerjasama semua pihak, juga diperlukan pembiayaan yang sangat besar. Rencana Strategis Pembangunan AMPL Kabupaten Bangka menyebutkan bahwa hingga 2015, diperlukan setidaknya anggaran Rp. 87 milyar agar target capaian MDGs bisa dicapai. Dalam era desentralisasi dan otonomi, pembiayaan yang begitu fantastis tersebut menjadi dilematis. Desentralisasi menjadikan Pemkab Bangka memiliki peran sentral yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan menyusun berbagai kebijakan daerah, mengendalikan anggaran, meyediakan layanan publik dan mengumpulkan pendapatan daerah. Dengan diterapkannya desentralisasai, seharusnya, proses kebijakan pembiayaan dan penganggaran pembangunan sektor AMPL menjadi lebih mudah. Otonomi daerah juga memunculkan harapan untuk bisa mendorong Pemkab Bangka agar lebih dekat dengan masyarakat dalam arti meningkakan partisipasi publik dalam proses pembangunan dan meningkatkan efektiviras layanan. Namun desentralisasi ternyata belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat. Kepentingan politis masih mendominasi keputusan pembiayaan pembangunan terutama yang mengunakan sumber dana APBD. Sehingga secara umum, meskipun suatu daerah memiliki strategi perencanaan pembangunan yang canggih, namun sepanjang kepentingan politis yang myopic tersebut masih dominan memberikan tekanan dan intervensi yang tinggi, dipastikan daerah tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan akan air bersih dan sanitasi dasar. Tabel berikut memberikan gambaran seberapa besar proporsi alokasi anggaran sektor AMPL dalam APBD Kabupaten Bangka. 6

7 Tabel 2. Alokasi Anggaran Sektor AMPL dalam APBD Kabupaten Bangka No Tahun Anggaran AMPL (Rp) APBD (Rp) Proporsi AMPL (%) , , , ,34 Sumber: Bappeda Kabupaten Bangka, 2009 Tabel diatas dengan jelas memperlihatkan bahwa meskipun secara absolut anggaran sektor AMPL terus memperlihatkan peningkatan setiap tahunnya; dari Rp ditahun 2004 menjadi Rp di tahun 2006 dan bahkan meningkat lagi hingga mencapai Rp pada tahun 2007, namun peningkatan tersebut ternyata tidak linear dan serta merta meningkatkan proporsinya terhadap total APBD. Fakta menunjukkan bahwa prosentase anggaran AMPL sama sekali tidak menunjukkan trend peningkatan positif dan linear. Pada tahun 2004, proporsi sudah mencapai 2,91 persen, namun menurun lagi menjadi 2,73 persen ditahun berikutnya. Angka ini kemudian bergerak tidak berpola dengan kembali meningkat hingga 3,53 persen, dan sayangnya kembali merosot menuju 3,34 persen di tahun Secara teoritis, proporsi anggaran sektoral sebenarnya lebih dapat menggambarkan kearah mana prioritas pembangunan suatu daerah diarahkan. Kenyataan bahwa proporsi anggaran AMPL selalu fluktuatif dan tidak menunjukkan pola pertumbuhan yang linear dan positif mencerminkan bahwa kebijakan dan prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemkab Bangka belumlah berpihak kepada sektor AMPL. Beberapa penyebab dapat dijadikan kambing hitam mengapa itu semua dapat terjadi, tidak hanya di Kabupaten Bangka, bahkan juga bisa terjadi di seluruh Indonesia. Dari sudut pandang keuangan daerah, disorientasi penganggaran APBD yang seringkali tidak berpihak kepada pelayanan publik termasuk pelayanan AMPL, diantaranya disebabkan beberapa hal berikut, yaitu: Pertama, kurang jelasnya prioritas di dalam banyak perauran perundangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah, Dalam Peraturan tersebut, terdapat puluhan urusan pembangunan, tanpa menyebut prioritas. Dengan kata lain, seluruh urusan yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Kedua, pengajuan kegiatan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah dan APBD seringkali belum sesuai dengan prioritas pembangunan daerah. Dalam dokumen tersebut hanya disebutkan bahwa prioritas pembangunan berfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun demikian anggaran yang diusulkan oleh Instansi pengelola belum sepenuhnya sesuai pada fokus sebagaimana disebutkan. Ketiga, APBD adalah dokumen politis, sehingga penyusunan anggaran seringkali berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan politis dari pada kepentingan publik. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan belum semuanya digunakan untuk membiayai pembangunan. Profil APBD yang belum memcerminkan keberpihakan terhadap AMPL, secara korelasional, dipastikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi. Selengkapnya akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi lingkungan, tersaji pada tabel berikut. 7

8 Tabel 3. Akses Air Bersih dan Sanitasi Dasar Masyarakat Kabupaten Bangka No Tahun Akses Air Bersih (%) Akses Sanitasi Dasar(%) ,78 49, ,21 50, ,14 51, ,72 52,33 Sumber: Bappeda Kabupaten Bangka, 2009 Secara absolut, terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi dalam periode Akses air bersih meningkat dari 51,78 persen menjadi 54,72 persen. Akses sanitasi juga meningkat dari 49,57 persen menjadi 52,33 persen. Tetapi jika diperhatikan dengan cermat, peningkatan yang terjadi tidaklah terlalu menggembirakan. Peningkatan hanya berkisar pada angka 1-2 persen setiap tahunnya. Kuat dugaan bahwa rendahnya angka peningkatan ini selain disebabkan faktor masyarakt itu sendiri, juga disebabkan karena perhatian pemerintah daerah yang memang masih relatif rendah yang ditunjukkan dari kebijakan dan prosentase anggaran yang belum berpihak. Keterbatasan akses inilah yang pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai kerugian mendasar bagi masyarakat. Kerugian tersebut diantaranya adalah tingginya kasus atau insiden penyakit penyakitpenyakit, baik degeratif atau bahkan penyakit degeneratif yang menimpa masyarakat. Penyakit generatif sesekali menyeruak dalam publikasi media massa adalah bayi lahir dengan usus terburai dan bayi lahir tanpa tempurung kepala. Kedua penyakit ini ditengarai karena ibu hamil yang mengkonsumsi air yang mengandung logam berat sebagai polutan pertambangan timah yang banyak mengaliri sumber-sumber air baku masyarakat. Pada tahun 2008, setidaknya tercatat 3-5 kasus penyakit generatif yang menghiasi media cetak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Angka ini tergolong angka yang fantastis untuk level provinsi dengan jumlah penduduk yang hanya mencapai jiwa. Menurut statistik kesehatan, kasus-kasus kelahiran bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala hanya terjadi pada 1 dari kelahiran. Maka bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kasus yang menimpa Kepulauan Bangka Belitung, yang jika diasumsikan tingkat pertambahan penduduk alaminya akibat kelahiran sekitar 1 persen pertahun, maka akan terdapat paling banyak kelahiran dengan 3-5 diantaranya terkena penyakit generatif. Disisi lain, hasil penelitian yang dilakukan Bappeda Kabupaten Bangka tahun 2009, menunjukkan bahwa penyakit degeneratif yang banyak menyerang adalah diare, malaria dan demam berdarah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa diare memiliki korelasi kuat dengan akses air bersih. Korelasi ini menggambarkan semakin tinggi cakupan atau akses masyarakat terhadap air bersih akan diikuti dengan semakin rendahnya insiden penyakit diare. Sebaliknya semakin rendah cakupan dan akses masyarakat terhadap air minum semakin tinggi insiden penyakit diare yang terjadi di tengah masyarakat. Hasil ini menjustifikasi fakta riil di lapangan yang menunjukkan bahwa di sebagian besar desa dan kecamatan dengan akses air bersih yang rendah, insiden penyakit diare sangat banyak terjadi. Penyebabnya adalah pada wilayah kecamatan dengan karakter seperti ini, sebagian besar masyarakatnya tentu saja banyak yang tidak memiliki akses terhadap air bersih, akibatnya untuk kebutuhan hidup pokok, termasuk konsumsi harus menggunakan air tidak bersih dan berasal dari sumber-sumber yang sama sekali tidak temasuk dalam sumber air yang diisyaratkan oleh ketentuan MDGs yang nota bene memiliki kandungan bakteri patogen penyebab diare. Penelitian juga dengan gamblang menginformasikan bahwa pada kecamatan-kecamatan tersebut, masyarakat-nya lebih banyak menggunakan air yang berasal dari sumur, pompa tangan, maupun sumber air yang semuanya tidak terlindungi, juga menggunakan air sungai maupun air kolong yang terkontaminasi. Korelasi antara akses 8

9 air bersih dengan diare terkait dengan peran bakteri patogen seperi Escherichia coli, colliform, Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic yang terdapat pada air tidak bersih sebagai pemindah atau penularan penyakit atau sebagai vehicle, yang berperan dalam menularkan penyakit-penyakit saluran pencernaan makanan. Penyebab diare lainnya yang tidak kalah krusial adalah sebagian masyarakat belum memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang memadai. Minimnya kesadaran menunjukkan bahwa masyarakat tidak melihat adanya keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kesehatan. Secara khusus hal ini ditunjukkan dari pemahaman masyarakat terhadap penyebab diare sebagai penyakit terbesar yang menyebabkan meninggalnya bayi dan balita di Indonesia. Masyarakat lebih melihat penyebab kejadian diare ini karena makanan, masuk angin, dan cuaca (hujan dan kemarau). Pemahaman ini menjadi titik balik bagaimana masyarakat melihat sebuah penyakit yang mengarah pada pencegahan. Diare adalah salah satu jenis penyakit yang ditularkan lewat air. Termasuk didalamnya adalah polio, flu burung, penyakit kulit, demam berdarah dan malaria. Ketika masyarakat menganggap diare disebabkan karena makanan dan lainnya, yang tak terkait dengan air, maka upaya pencegahan kejadian diare bisa salah kaprah. Kerentanan terhadap diare juga semakin tinggi terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Wajar, jika penyakit yang sebenarnya mudah disembuhkan ini banyak menyerang bayi dan balita, tidak hanya di Kabupaten Bangka tetapi juga di banyak negara. Diare merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada anak anak. Diperkirakan pada anak setiap tahunnya mengalami Diare akut atau gasrtroenteritis akut sebanyak kasus. Di Amerika Serikat, diperkirakan pasien berobat ke dokter dan lebih dari pasien dirawat di rumah sakit tiap tahun yang disebabkan karena Diare. Sedangkan di Indonesia, hasil survei pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kejadian Diare pada semua usia di Indonesia adalah 423 per 1000 penduduk dan terjadi 1 2 kali per tahun pada anak anak berusia dibawah 5 tahun. Sebuah penelitian bahkan menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan Rp. 56 trilyun per tahun akibat diare, penyebab terbesar atau 42 persen kematian bayi adalah diare dan 25,2 persen kematian balita juga karena diare. Dari aspek penyehatan lingkungan, penelitian Bappeda (2010) juga menyimpulkan bahwa terdapat derajat hubungan yang kuat dan negatif antara akses penyehatan lingkungan dengan insiden penyakit diare, malaria dan demam berdarah. Fakta statistik ini menggambarkan bahwa semakin tinggi akses masyarakat terhadap penyehatan lingkungan akan diikuti dengan semakin rendahnya insiden penyakit diare, malaria dan DBD. Sebaliknya semakin rendah akses masyarakat terhadap penyehatan lingkungan, semakin tinggi insiden penyakit diare, malaria dan DBD yang terjadi di tengah masyarakat. Hasil ini sekaligus juga mengklarifikasi fakta lapangan yang menunjukkan bahwa di sebagian besar kecamatan dengan akses penyehatan lingkungan yang rendah insiden serangan ke tiga jenis penyakit tersebut lebih banyak terjadi dibandingkan kecamatan lainnya. Secara umum, penyebab tingginya insiden penyakit diare, malaria dan DBD dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu; (i) sebagian besar masyarakatnya belum memiliki akses tempat pembuangan akhir tinja yang layak, tempat pembuangan sampah dan saluran air limbah; dan (ii) sebagian masyarakat-nya belum memiliki PHBS yang memadai. Kedua faktor ini secara jelas terlihat pada beberapa kecamatan dimana hanya sebagian kecil masyarakat-nya yang membuang air besar di septic tank atau cubluk, selebihnya di kebun, sungai dan danau kolong yang dijadikan sebagai toilet terbuka. Dalam konteks diare, pembuangan akhir tinja di tolilet terbuka yang sembarangan dapat mengotori tanah dimana tanah dapat menjadi media penyebaran bakteri yang terdapat pada kotoran, mengotori air yang juga dapat menyebarkan bakteri terlebih air banyak digunakan dalam kehidupan manusia. Selain itu kotoran juga dapat dijangkau oleh kecoa, 9

10 lalat dan binatang lainnya yang juga dapat menyebarkan bakteri. Bakteri yang menyebar dan masuk ke tubuh manusia akan memberikan dampak diare. Dari sisi lain, masyarakat menjadikan kepraktisan dan norma umum banyak orang melakukannya sebagai alasan utama untuk menyalurkan kotorannya ke toilet terbuka tersebut. Tidak heran, kebun-kebun, sungai dan kolong di Kabupaten Bangka bisa disebut sebagai jamban raksasa. Ketika hujan tiba, kotoran yang ada di tanah terbawa air hujan masuk ke dalam sumur atau sumber air lainnya. Air yang sudah terkontaminasi inilah yang memudahkan terjadinya diare. Dalam konteks Malaria dan DBD, kedua penyakit ini merupakan penyakit endemik di Kabupaten Bangka, bahkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kedua penyakit ini ditularkan oleh nyamuk Anopheles pada malaria dan Aedes aegypti pada demam berdarah. Sebagai vektor penular, nyamuk mempunyai peran yang sangat penting terhadap terjadinya epidemik penyakit-penyakit ini. Studi epidemiologi lingkungan memperlihatkan kejadian penyakit malaria dan DBD pada masyarakat Bangka merupakan resultance dan hubungan timbal balik antara masyarakat itu sendiri dengan lingkungan. Perubahan atau kerusakan lingkungan membawa pengaruh terhadap nyamuk sebagai vektor penyebar penyakit. Semakin besar dukungan lingkungan terhadap kehidupan nyamuk, semakin kuat penyebaran penyakit. Pada gilirannya, sebagai unsur yang terlibat langsung dalam hubungan timbal balik tersebut, apapun yang terjadi sebagai dampak dari proses interaksi berupa perubahan lingkungan akan menimpa dan dirasakan masyarakat. Eratnya hubungan antara penyehatan lingkungan dengan insiden malaria disinyalir terkait dengan perilaku sebagian masyarakat yang menggunakan toliet terbuka sebagai tempat pembuangan akhir tinja. Dalam hubungan dengan ekosistem lingkungan, pada kasuskasus tertentu, kehidupan nyamuk dihabitatnya, entah dipantai, hutan atau gunung sudah demikian harmonis dan mengikuti keseimbangan alam. Nyamuk hutan atau gunung, misalnya mereka sebelumnya cukup memenuhi kebutuhan darahnya untuk keperluan pertumbuhan telurnya dari tubuh binatang yang ada dihutan. Tanpa harus mengejar manusia, manusiapun relatif terhindar dari gigitan nyamuk. Namun seiring dengan rusaknya lingkungan ekosistem hutan dan pantai akibat praktek logging maupun mining, kehidupan dan keseimbangan alami tempat hidup mereka pun terganggu. Nyamuk pun menulari sumber dan lokasi kehidupan baru. Masyarakat yang buang air besar di kebun, sungai dan rawa harus menerima gigitan nyamuk dan pulang membawa parasit di dalam darahnya. Demikian pula masyarakat yang bermukim disekitar hutan menjadi sasaran terdekat nyamuk-nyamuk hutan yang mencari sumber kehidupan mereka. Dari aspek lain, ketiga jenis toilet terbuka tersebut, merupakan habitat pendukung penularan malaria yang cukup dominan karena merupakan tempat yang multi fungsi bagi kepentingan rumah tangga. Disamping menjalankan fungsi utamanya, kebun dan sungai, juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan sarana pembuangan air limbah rumah tangga. Menurut berbagai penelitian, tempat pembuangan sampah dan pembuangan air limbah merupakan salah satu mata rantai penularan malaria. Tempat pembuangan sampah menjadi mata rantai penularan karena dapat menjadi sarang nyamuk. Sementara tempat pembuangan air limbah di kebun, sungai atau hutan dapat menimbulkan genangan air limbah. Kedua tempat ini menjadi tempat perkembangan nyamuk Anopheles sebagai vektor penyakit malaria yang berada disekitar permukiman penduduk. Berbeda dengan malaria yang disebabkan nyamuk anopheles, vektor penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD di Kabupaten Bangka adalah Aedes aegypti. Tempat yang disukai nyamuk Aedes aegypti sebagai tempat perindukan dan penyebarannya adalah genangan air yang terdapat dalam wadah (kontainer) tempat penampungan air artifisial seperti drum, bak mandi, gentong, ember, dan sebagainya; tempat penampungan air alamiah misalnya lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang 10

11 batu; ataupun bukan tempat penampungan air misalnya vas bunga, ban bekas, botol bekas dan sebagainya. Melihat tempat favorit nyamuk Aedes aegypti tersebut, sangat wajar jika kemudian hasil analisis statistik korelasi menunjukkan terdapat hubungan negatif yang erat antara akses penyehatan lingkungan dengan insiden DBD. Semakin rendah akses penyehatan lingkungan, semakin tinggi insiden penyakit DBD yang menyerang disuatu kecamatan. Perilaku sebagian masyarakat yang masih mempertahankan kebiasaan buang air besar-nya di kebun, tentu menjadi faktor utama penyebabnya. Studi epidemiologis lingkungan, menginformasiikan bahwa sebagian besar kebun atau pekarangan halaman belakang rumah masyarakat yang menjadi tempat buang air besar, juga menjadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya limbah dan sampah keluarga tersebut, terutama yang dapat berfungsi sebagai tempat penampungan air, seperti botol dan kaleng bekas, banyak berserakan. Tempat-tempat seperti inilah, disamping tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, daun dan pelepah pisang, yang menjadi tempat perindukan dan penyebaran nyamuk Aedes aegypti. Penyebab malaria dan DBD lainnya yang juga sangat berperan adalah minimnya kesadaran PHBS masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat seringkali tidak melihat adanya keterkaitan yang kuat antara BABS di toilet terbuka dengan serangan malaria dan DBD. Fenomena ini ditunjukkan dari pemahaman masyarakat terhadap penyebab malaria dan DBD. Masyarakat lebih melihat penyebab kejadian diare bukan karena sanitasi lingkungan yang buruk, namun karena mobilitas nyamuk yang sangat tinggi, terbang dari suatu tempat ke tempat pemukiman penderita. Pemahaman ini menjadi point penting, mengapa masyarakat cenderung kurang memperhatikan persoalan toilet terbuka, tempat pembuangan sampah dan tempat pembuangan air limbah. Ketika masyarakat menganggap kedua penyakit yang cukup mematikan ini tidak disebabkan oleh faktor sanitasi lingkungan, maka upaya pencegahan menjadi sangat rumit dan bisa salah kaprah. Kerentanan terhadap malaria dan DBD juga semakin tinggi terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Wajar, jika insiden penyakit ini masih sering terjadi di Kabupaten Bangka. Secara lengkap, jumlah penduduk yang terserang penyakit berbasis lingkungan tersaji pada tabel berikut. Tabel 4. Prosentase Masyarakat Kabupaten Bangka Yang Terserang Penyakit Berbasis Lingkungan pada Tahun (%) Tahun Penyakit Diare 1,47 1,51 2,25 1,99 Malaria 2,68 3,34 5,35 3,79 DBD 0,001 0,001 0,001 0,01 Sumber: Bappeda Kab. Bangka, Strategi Pembiayaan MDGs Berbagai persoalan dan dampak mendasar yang menerpa masyarakat sebagai akibat buruknya akses air bersih dan sanitasi tersebut, mengharuskan Pemerintah Kabupaten Bangka mengambil suatu tindakan yang lebih konkrit dengan memprioritaskan pembangunan AMPL yang disertai dengan strategi penguatan pembiayaan-nya dalam APBD. Tujuan utamanya tidak lain adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap AMPL sesuai dengan target capaian MDGs dan mengeliminir tingkat serangan penyakit diare, malaria dan demam berdarah yang merupakan penyakit utama akibat akses AMPL yang buruk. Secara umum, terdapat lima strategi utama dalam peningkatan pembiayaan pembangunan AMPL. Kelima langkah tersebut adalah; (i) memperkuat kelembagaan; (ii) memperkuat perencanaan; (iii) mengawal proses penganggaran; (iv) mengembangkan kerangka regulasi; (v) dan memperluas kemitraan. 11

12 3.3.1 Memperkuat Kelembagaan Pelaksanaan strategi peningkatan pembiayaan memerlukan dukungan kelembagaan yang kuat. Oleh karena itu diperlukan lembaga yang mempunyai otoritas kordinatif dan bertanggung jawab atas tercapainya target MDGs. Otoritas tersebut mencakup wewenang dalam melakukan koordinasi perumusan kebijakan dan pelaksanaan, penyusunan anggaran, monitoring dan evaluasi. Selama ini, pembiayaan pembangunan sektor AMPl mengalir dengan sendirinya, tanpa strategi yang jelas, sangat bersifat parsial dan sektoral. Dengan kondisi ini fungsi pembiayaan tidak dapat dilaksanakan secara optimal, sehingga proporsi anggaran sektor AMPL menjadi sangat fluktuatif dan relatif tidak menunjukkan perbaikan Hal ini dikarenakan kurang kuatnya kelembagaan dan otoritas yang dimiliki, serta kurangnya dukungan anggaran untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Mengingat dua kelemahan tersebut, dibentuklah kelembagaan ad hoc yang berkedudukan dan bertanggungjawab langsung kepada Bupati. Kelembagaan ini dinamakan Kelompok Kerja (Pokja) AMPL, yang merupakan organisasi adhoc lintas sektoral dari seluruh stakeholder, dibentuk melalui SK Bupati Bangka, yang berfungsi: (i) mengkoordinasikan dan mensinkronkan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, kebijakan dan program ; (ii) meningkatkan responsivitas dan efektivitas kebijakan dan program sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal, (3) Memantau dan mengevaluasi kebijakan dan program dan perkembangan kondisi ke-ampl-an. Sejak dibentuk, berbagai hal telah dikerjakan, diantaranya yang terpenting adalah menyusun Rencana Strategis AMPL-BM di tahun Pada intinya Renstra yang bervisi Bangka 2015; Sehat Air dan Sehat Lingkungan ini membawa pesan tentang perlunya perubahan paradigma dalam pembangunan sektor AMPL di Kabupaten Bangka. Paradigma ini kemudian dijabarkan oleh Pokja dalam beberapa langkah utama yang meliputi; (i) mmeningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan Pokja; (ii) mendorong APBD yang Pro AMPL; (iii) mengembangkan kerangka regulasi; (iv) meningkatkan kualitas pengelolaan Sistem Pengelolaan Air Minum Pedesaan; (v) meningkatkan kualitas pendataan; (vi) memperkuat sistem monitoring serta evaluasi pada semua tingkatan proses pelaksanaan; dan (vii) memperkuat system informasi dan spektrum publikasi. Dalam prakteknya, kelembagaan Pokja merupakan sumberdaya yang sangat berharga karena menjadi salah satu faktor positif yang memacu pembiayaan pembangunan AMPL. Kelembagaan Pokja yang efektif merupakan predisposisi yang sangat menentukan karakter dan kecepatan pembangunan AMPL, bahkan dapat menjadi pemicu pembangunan sektor lain. Oleh karenanya, SDM dan kelembagaan Pokja AMPL terus diperkuat terutama dari sisi daya tawar. Dengan tugas pokok yang diantaranya adalah bagaimana memfasilitasi APBD yang Pro AMPL, sangat penting bagi seluruh anggota Pokja untuk memiliki kompetensi dan kapasitas yang berkaitan dengan daya tawar terutama baik dalam konteks APBD maupun dalam konteks tour of duty atau mutasi yang seringkali menjadi mimpi buruk bagi kualitas Pokja AMPL. Untuk mensiasati persoalan ini, struktur dan komposisi keanggotan Pokja diperkaya dan terdiri dari dua cluster. Cluster pertama terdiri dari SKPD teknis, meliputi Bappeda, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Dinas Pertambangan dan Energi serta PDAM. Cluster kedua terdiri dari SKPD non teknis yang sangat penting untuk memback-up berbagai strategi pembiayaan, diantaranya Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Bagian Admnistrasi Pembangunan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP), Bagian Admnistrasi Pembangunan, Bagian Informasi dan Telekomunikasi, Bagian Hukum Setda Kabupaten Bangka serta anggota Komisi A DPRD yang duduk dalam kepanitiaan anggaran legislatif sebagai representasi tokoh masyarakat. 12

13 Pembagian peran masing-masing cluster tentu saja sangat berbeda. Cluster teknis, lebih banyak berperan dalam berbagai persoalan program dan kebijakan teknis. Perkecualian dari kelompok ini adalah Bappeda, yang disamping mengkoordinasi dan menginisiasi persoaloan teknis, juga berperan penting dalam penentuan besaran dan kebijakan APBD yang Pro AMPL. Dalam struktur Panitia Anggaran Eksekutif yang di Ketuai oleh Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda yang juga Ketua Pokja bertindak sebagai Wakil Ketua. Sementara Sekretaris Bappeda selaku Sekretaris Pokja, Kepala Bidang dan Kepala subbidang Sarana Prasarana Bappeda selaku Anggota Pokja bertindak juga sebagai Anggota Panitia Anggaran Eksekutif. Cluster Pokja Non Teknis lebih difungsikan sebagai supporting actor yang membantu cluster teknis dalam menjalankan fungsinya. DPPKAD dan Bagian Administrasi Pembangunan sebagai bagian penting dari Panitia Anggaran Eksekutif, diposisikan sebagai kalalisator kebijakan APBD yang Pro-AMPL. Anggota Komisi A DPRD yang duduk dalam kepanitiaan anggaran legislatif, selain difungsikan sebagai advokator kebijakan pro-ampl di lembaga DPRD, juga bertindak sebagai katalisator dalam pembahasan RAPBD, BKPP diposisikan sebagai negosiator dalam seluruh persoalan yang menyangkut mutasi kepegawaian bagi anggota Pokja. Bagian Informasi dan Telekomunikasi disamping bertanggung jawab penuh terhadap Local Area Network yang berorientasi intranet bagi lalu lintas data antar SKPD terkait AMPL, juga bertanggungjawab dalam publikasi kebijakan dan pembangunan AMPL, terutama melalui media website (ampl.bangka.go.id). Bagian Hukum diposisikan sebagai fasilitator utama dalam menyusun dan mengembangkan kerangka regulasi. Pembiayaan yang bersumber dari APBD menjadi fokus garapan utama sekaligus sumber dana utama dalam pembangunan sektor AMPL. Hal ini disebabkan APBD memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu daerah karena memainkan 3 fungsi utama, yaitu: fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, APBD memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makro ekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan, maupun belanja negara. Dari sisi lain, APBD adalah dokumen politis, sehingga penyusunan anggaran kadang-kadang berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran sangat mudah terjadi disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan personal dan politis dari pada kepentingan public Memperkuat Perencanaan Bahwa agar pembiayaan dan pembangunan sektor AMPL yang berkeadilan dapat dilaksanakan dan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan yang aplikatif dan powrfull. Perencanaan ini sangat terkait erat dengan strategi pembiayaan. Secara teoritis, tidak akan pernah ada pembiayaan pembangunan daerah tanpa melalui proses perencanaan. Itu sebabnya, perencanaan menjadi pintu masuk bagi pengalokasian anggaran pembangunan. Dengan asumsi itu, mutlak sebagai suatu keharusan, perencanaan sektor AMPL menjadi arus utama dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah, baik perencanaan jangka menengah atau RPJMD, perencanaan jangka pendek atau perencanaan tahunan atau RKPD, Rencana Strategis SKPD, maupun berbagai perencanaan program teknis lainnya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan pembiayaan yang memadai, issue AMPL haruslah menjadi mainstreaming dalam pembangunan daerah. 13

14 Dengan keyakinan seperti itulah, isu AMPL bisa menjadi issue sexy dalam seluruh dokumen perencanaan pembangunan. Yang pertama kali dilakukan adalah menetapkan Rencana Strategis Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat (Renstra AMPL-BM) , dengan payung legalitas-nya berupa Peraturan Bupati Bangka. Renstra dengan payung hulum yang powerful inilah yang menjadi alat tawar dalam proses mainstreaming issue AMPL dalam seluruh dokumen perencanaan. Dari sisi perencanaan jangka menengah, yang sudah dilakukan adalah menjadikan Renstra AMPL sebagai referensi utama penyusunan dokumen RPJMD untuk seterusnya menjadikan pembangunan AMPL sebagai satu dari lima misi dalam RPJMD Kabupaten Bangka Dari sisi perencanaan jangka pendek, tentu saja menjadikan AMPL sebagai issue utama dalam berbagai tingkatan Musawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), mulai dari tingkat desa hingga tingkat kecamatan, dengan sasaran akhir menjadikan AMPL sebagai isu utama dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Lebih lanjut, sesuai Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, RPJMD yang sangat kental nuansa AMPL-nya, disamping menjadi acuan bagi SKPD dalam penyusunan Renstra SKPD , juga menjadi acuan dalam penyusunan RKPD. Seterusnya, RKPD merupakan pedoman bagi penyusunan APBD yang sepenuhnya menampung kegiatan dalam Rencana Kerja Anggaran seluruh SKPD Kabupaten Bangka. Dan inilah salah satu point strategis pembiayaan AMPL. Menjadi sangat strategis karena APBD; (i) menjadi acuan bagi seluruh pelaku pembangunan, karena memuat seluruh kebijakan publik; (ii) menjadi pedoman dalam penyusunan APBD karena memuat arah kebijakan pembangunan; dan (iii) menciptakan kepastian kebijakan, karena merupakan komitmen pemerintah daerah Mengawal Proses Penganggaran Proses penganggaran merupakan proses yang harus dilewati sebelum APBD ditetapkan dan bisa dijalankan. Berbeda dengan kebijakan moneter yang lazimnya memberikan dampak sangat luas dan bersifat segera, APBD sebagai kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu. Oleh karena itu kebijakan fiskal memiliki peranan penting untuk mengatasi permasalahanpermasalahan mendasar, termasuk permasalahan AMPL. Dalam pelaksanaannya, penyusunan dan penetapan APBD memerlukan berbagai tahapan. Sesuai Permendagri No 59 tahun 2007, tahapan-tahapan tersebut adalah: (i) penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plapon Anggaran Sementara (PPAS); (ii) pembahasan dan penetapan kesepakatan bersama mengenai KUA dan PPAS antara Pemkab Bangka dengan DPRD; (iii) penyusunan dan penyampaian surat edaran tentang pedoman penyusunan RKA- SKPD ; (iv) pembahasan RKA-SKPD ; (v) penyusunan Raperda APBD; dan (vi) penyusunan rancangan Perbup tentang penjabaran APBD. Keseluruhan tahapan dan proses penganggaran itulah yang menjadi fokus garapan guna meningkatkan proporsi pembiayaan sektor AMPL. Proses ini memang harus dikawal dengan cermat, karena sifatnya yang politis, maka dalam perjalanan penyusunan APBD, seringkali terjadi disorientasi kebijakan. Dalam banyak hal, seringkali perencanaan tidak berguna. RPJMD, Renstra SKPD, RKPD dan Renja SKPD yang seharusnya menjadi arah panduan, seringkali juga diabaikan. Pragmatisme seringkali menjalar dalam proses penganggaran. Dan ini tidak hanya terjadi di wilayah legislatif yang memang berorientasi politis, namun juga merambah ke wilayah eksekutif yang cenderung ego sektoral. Berbagai alasan diatas memaksa Pokja AMPL yang dipimpin oleh Kepala Bappeda, untuk memastikan agar semua tahapan berjalan pada koridor yang benar, memastikan agar issue AMPL tetap menjadi issue utama dalam proses penyusunan dan penetapan APBD. Secara urutan, aktivitas pengawalam proses penganggaran tersebut adalah: 14

MENUJU BANGKA ODF 2016: INOVASI APA YANG KAMI LAKUKAN?

MENUJU BANGKA ODF 2016: INOVASI APA YANG KAMI LAKUKAN? MENUJU BANGKA ODF 2016: INOVASI APA YANG KAMI LAKUKAN? POKJA AMPL KAB. BANGKA KONFERENSI SANITASI DAN AIR MINUN NASIONAL 2015 ALL SEASON HOTEL, JAKARTA 3 NOVEMBER 2015 INSIDEN PENYAKIT LINGKUNGAN di KAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan deklarasi Johannesburg yang dituangkan dalam Milleniun

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan deklarasi Johannesburg yang dituangkan dalam Milleniun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan deklarasi Johannesburg yang dituangkan dalam Milleniun Development Goals (MDGs) yang disepakati seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu penyakitnya yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) yang masih menjadi

Lebih terperinci

POKJA AMPL KAB. BANGKA LOKAKARYA NASIONAL AMPL JAKARTA 30 NOV - 2 DES 2009

POKJA AMPL KAB. BANGKA LOKAKARYA NASIONAL AMPL JAKARTA 30 NOV - 2 DES 2009 POKJA AMPL KAB. BANGKA LOKAKARYA NASIONAL AMPL JAKARTA 30 NOV - 2 DES 2009 Kelembagaan Pembiayaan Regulasi Saat Ini Yang Akan Datang Untuk operasionalisasi kebijakan AMPL secara keberlanjutan, dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Program dan kegiatan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan, meningkatkan produktifitas dan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kondisi umum sanitasi di Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari kondisi faktual yang diharapkan untuk mampu mengakomodir kebutuhan dasar bagi masyarakat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Definisi Air Minum menurut MDG s adalah air minum perpipaan dan air minum non perpipaan terlindung yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat penting di Indonesia dan sering menimbulkan suatu kejadian luar biasa

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1 1.1. Latar Belakang. Dalam kontek Program Pembangunan Sektor Sanitasi Indonesia (ISSDP), sanitasi didefinisikan sebagai tindakan memastikan pembuangan tinja, sullage dan limbah padat agar lingkungan rumah

Lebih terperinci

Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2014

Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2014 Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2014 Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) Tahun 2014 STRATEGI SANITASI KABUPATEN (SSK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan STRATEGI SANITASI KABUPATEN (SSK) I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi sesungguhnya masih menjadi isu strategis di Indonesia. Tidak hanya di tingkat masyarakat, namun juga pada sisi para pengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDG s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; SALINAN Menimbang PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN DAN PENETAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akses terhadap air bersih dan sanitasi telah diakui PBB sebagai hak asasi manusia melalui deklarasi dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada akhir bulan Juli 2010.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sanitasi merupakan salah satu sektor yang memiliki keterkaitan yang erat dengan kemiskinan, tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, perilaku hidup bersih dan sehat,

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Strategi Sanitasi Kota (SSK) Kabupaten Aceh Singkil merupakan suatu dokumen perencanaan yang berisi kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi secara komprehensif

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) RKPD KABUPATEN BERAU TAHUN 2013 BAB I - 1

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) RKPD KABUPATEN BERAU TAHUN 2013 BAB I - 1 LAMPIRAN : PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR : TAHUN 2012 TANGGAL : 2012 TENTANG : RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2013 RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN BERAU TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kondisi eksisting sanitasi di perkotaan masih sangat memprihatinkan karena secara pembangunan sanitasi tak mampu mengejar pertambahan jumlah penduduk yang semakin

Lebih terperinci

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: ERIN AFRIANI J.

Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh: ERIN AFRIANI J. HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN SUMBER AIR DAN KEBIASAAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT) DENGAN KEJADIAN DIARE DI DESA SAWAHAN KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2008 Skripsi ini Disusun untuk

Lebih terperinci

BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA

BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA 3.1. Aspek Non-teknis Perumusan strategi layanan sanitasi Kabupaten Lombok Timur didasarkan pada isu-isu strategis yang dihadapi pada saat ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika

Lebih terperinci

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA TAHUN LOGO2013 VISI Terciptanya Kondisi Lingkungan Masyarakat yang Sehat dan

Lebih terperinci

BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN

BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN 3.1. Enabling And Sustainability Aspect 3.1.1 Aspek Non Teknis 1) Kebijakan Daerah dan Kelembagaan Isu strategis aspek Kebijakan Daerah

Lebih terperinci

S A L I N A N PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

S A L I N A N PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 S A L I N A N PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N

B A B I P E N D A H U L U A N B A B I P E N D A H U L U A N 1.1. LATAR BELAKANG Kondisi sanitasi di Kabupaten Bojonegoro yang telah digambarkan dalam Buku Putih Sanitasi Kabupaten Bojonegoro mencakup sektor air limbah, persampahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan tertuang dalam Undang- Undang No 36 Tahun 2009. Kesehatan merupakan suatu keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar pelayanan publik. Kurangnya pelayanan prasarana lingkungan seperti infrastruktur

Lebih terperinci

Rangkuman visi, misi, tujuan, sasaran, dan arah penahapan sesuai yang telah ditetapkan.

Rangkuman visi, misi, tujuan, sasaran, dan arah penahapan sesuai yang telah ditetapkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sanitasi merupakan salah satu sektor pelayanan publik yang mempunyai kaitan erat dengan kesehatan masyarakat. Rendahnya kualitas sanitasi menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan sanitasi sampai saat ini masih belum menjadi prioritas dalam pembangunan daerah. Kecenderungan pembangunan lebih mengarah pada bidang ekonomi berupa pencarian

Lebih terperinci

2.1 Visi Misi Sanitasi

2.1 Visi Misi Sanitasi Penyiapan kerangka pembangunan sanitasi adalah merupakan milestone kedua dalam penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) dimana didalamnya terdapat sebuah tahapan yaitu formulasi visi misi. Berdasarkan Permendagri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Grobogan Halaman 1 1

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Grobogan Halaman 1 1 BAB I PENDAHULUAN 2.1 LATAR BELAKANG Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan layanan

Lebih terperinci

Kondisi AMPL. Tabel 10. Jenis dan Jumlah Fasilitas Penyediaan Air Minum. Fasilitas Jumlah Rumah Tangga Prosentase Sumur gali 37,003 61.

Kondisi AMPL. Tabel 10. Jenis dan Jumlah Fasilitas Penyediaan Air Minum. Fasilitas Jumlah Rumah Tangga Prosentase Sumur gali 37,003 61. Kondisi AMPL 3.2.1. Kondisi Air Minum Pada umumnya rumahtangga di Kabupaten Bangka memiliki berbagai fasilitas air minum pribadi atau komunal seperti sumur gali, sumur pompa, air hujan, air sungai, perpipaan,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 62 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 1158 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (RAD AMPL)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN

PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan kesehatan, pola hidup,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI Sanitasi merupakan salah satu sektor pelayanan publik yang mempunyai kaitan erat dengan kemiskinan dan kekumuhan suatu Kota/Kabupaten. Kondisi sanitasi yang tidak

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menindaklanjuti Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Salah satu target MDGS adalah mengurangi separuh penduduk pada tahun 2015 yang tidak memiliki akses air minum yang sehat serta penanganan sanitasi dasar. Sehubungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Target Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi II-1 BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Visi Pembangunan Tahun 2011-2015 adalah Melanjutkan Pembangunan Menuju Balangan yang Mandiri dan Sejahtera. Mandiri bermakna harus mampu

Lebih terperinci

Gambaran Sanitasi Lingkungan Wilayah Pesisir Danau Limboto di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013

Gambaran Sanitasi Lingkungan Wilayah Pesisir Danau Limboto di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013 Summary Gambaran Sanitasi Lingkungan Wilayah Pesisir Danau Limboto di Desa Tabumela Kecamatan Tilango Kabupaten Gorontalo Tahun 2013 Merliyanti Ismail 811 409 043 Jurusan kesehatan masyarakat Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lampiran RKPD Kabupaten Ponorogo Tahun Bab I_ Halaman 1

BAB I PENDAHULUAN. Lampiran RKPD Kabupaten Ponorogo Tahun Bab I_ Halaman 1 BAB I PENDAHULUAN 11 Latar Belakang Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sisten Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) bahwa Pemerintah maupun Pemerintah Daerah setiap

Lebih terperinci

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2014

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2014 BUPATI PEKALONGAN PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

1.2 Telah Terbentuknya Pokja AMPL Kabupaten Lombok Barat Adanya KSM sebagai pengelola IPAL Komunal yang ada di 6 lokasi

1.2 Telah Terbentuknya Pokja AMPL Kabupaten Lombok Barat Adanya KSM sebagai pengelola IPAL Komunal yang ada di 6 lokasi Lampiran 2: Hasil analisis SWOT Tabel Skor untuk menentukan isu strategis dari isu-isu yang diidentifikasi (teknis dan non-teknis) untuk sektor Air Limbah di Kabupaten Lombok Barat sebagai berikut : a.

Lebih terperinci

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI ROKAN HULU NOMOR 23 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU,

Lebih terperinci

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi 3.1. Visi dan misi sanitasi Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi Dalam rangka merumuskan visi misi sanitasi Kabupaten Lampung Tengah perlu adanya gambaran Visi dan Misi Kabupaten Lampung Tengah sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 3.1. Visi dan Misi Sanitasi Visi merupakan harapan kondisi ideal masa mendatang yang terukur sebagai arah dari berbagai upaya sistematis dari setiap elemen dalam

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Masalah Sanitasi, khususnya sanitasi di perkotaan adalah isu yang sampai hari ini belum terselesaikan secara maksimal bahkan sehingga sangat memerlukan perhatian semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan bidang Sanitasi di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting guna mendukung pencapaian target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) di tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. RKPD Kabupaten Ponorogo Tahun Bab I_ Halaman 1

BAB I PENDAHULUAN. RKPD Kabupaten Ponorogo Tahun Bab I_ Halaman 1 BAB I PENDAHULUAN 11 Latar Belakang Setiap daerah di era Otonomi memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk dapat mengatur proses pembangunannya sendiri, mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Pembangunan sanitasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara masih banyak dilakukan secara parsial, dimana masing-masing SKPD melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas pokok

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA Bab empat ini merupakan inti dari Strategi Sanitasi Kota Bontang tahun 2011-2015 yang akan memaparkan antara lain tujuan, sasaran, tahapan pencapaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012)

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012) 4.1 Sasaran dan Arahan Tahapan Pencapaian. Bab empat (IV) ini merupakan inti dari Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman tahun 2012-2016 yang akan memaparkan antara lain tujuan, sasaran, tahapan pencapaian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Bab - 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi merupakan salah satu pelayanan dasar yang kurang mendapatkan perhatian dan belum menjadi prioritas pembangunan di daerah. Dari berbagai kajian terungkap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengertian sehat sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengertian sehat sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pengertian sehat sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, dan spiritual yang memungkinkan setiap orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat diwujudkan jika masyarakat Indonesia

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

DINAS KESEHATAN KOTA CIMAHI

DINAS KESEHATAN KOTA CIMAHI DINAS KESEHATAN KOTA CIMAHI GAMBARAN UMUM CIMAHI OTONOMI SEJAK TAHUN 2001 LUAS CIMAHI = ± 40,25 Km2 (4.025,75 Ha) WILAYAH: 3 KECAMATAN 15 KELURAHAN 312 RW DAN 1724 RT 14 PUSKESMAS JUMLAH PENDUDUK 2012

Lebih terperinci

Sia Tofu (Bersama dan Bersatu) dan Visi Pembangunan Kabupaten Pulau Taliabu Tahun

Sia Tofu (Bersama dan Bersatu) dan Visi Pembangunan Kabupaten Pulau Taliabu Tahun .1 Visi dan Misi Sanitasi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 106 Tahun 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMBENTUKAN DAN PENYELENGGARAAN FORUM DELEGASI MUSRENBANG KABUPATEN SUMEDANG BUPATI SUMEDANG Menimbang : a. bahwa pembangunan Daerah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pemerintah Daerah Dan Fungsi Pemerintah Daerah 1. Pengertian Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat (5), pengertian pemerintahan daerah adalah sebagai

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA ASKI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN (RAD-AMPL) KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2015-2019

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pokja AMPL Kota Makassar

BAB 1 PENDAHULUAN. Pokja AMPL Kota Makassar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat, karena berkaitan dengan kesehatan, pola hidup,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI RINGKASAN EKSEKUTIF Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (Program PPSP) merupakan program yang dimaksudkan untuk mengarusutamakan pembangunan sanitasi dalam pembangunan, sehingga sanitasi

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Buku Putih Sanitasi Kabupaten Kepulauan Aru 2014 BAB 1. PENDAHULUAN

Buku Putih Sanitasi Kabupaten Kepulauan Aru 2014 BAB 1. PENDAHULUAN BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara Nasional Pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang sangat serius dalam mencapai salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) khususnya yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Layanan yang tidak optimal dan buruknya kondisi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH +- PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MELAWI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang: a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( )

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( ) LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-2000) LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-2000) Bagian

Lebih terperinci

BUKU PUTIH SANITASI KAB. WAKATOBI (POKJA SANITASI 2013) BAB I PENDAHULUAN

BUKU PUTIH SANITASI KAB. WAKATOBI (POKJA SANITASI 2013) BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sektor sanitasi merupakan salah satu sektor pelayanan publik yang mempunyai kaitan erat dengan kesehatan masyarakat. Rendahnya kualitas sanitasi menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI 4.1 Visi dan Misi AMPL Kabupaten Klaten A. VISI Visi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Kabupaten Klaten : Terpenuhinya air minum dan sanitasi

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

KOTA TANGERANG SELATAN

KOTA TANGERANG SELATAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN KOTA TANGERANG SELATAN PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN POKJA AMPL KOTA TANGERANG SELATAN 2011 Daftar Isi Bagian 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Karimun sebagai daerah yang sangat berpengaruh pada pasang surut dan yang sebagian besar dikelilingi oleh lautan dan penduduk yang masih banyak mendiami pesisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN MADIUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir 30% penduduk Indonesia masih buang air besar sembarangan (BABS), baik langsung maupun tidak langsung 18,1% diantaranya di perkotaan. Genangan di permukiman dan

Lebih terperinci

SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN KEBIJAKAN UMUM APBD DAN PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA

SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN KEBIJAKAN UMUM APBD DAN PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA LAMPIRAN II.1 : PERATURAN BUPATI BUNGO NOMOR : 45 TAHUN 2009 TANGGAL : 11 NOVEMBER 2009 TENTANG : SISTEM DAN PROSEDUR PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BUNGO. SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Strategi sanitasi kabupaten bintan Tahun anggaran Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Strategi sanitasi kabupaten bintan Tahun anggaran Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang 1-1

PENDAHULUAN Latar Belakang 1-1 Bab 1 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah dewasa ini semakin meningkat, namun tidak diimbangi secara optimal dengan penyediaan layanan sektor sanitasi dasar yang layak bagi

Lebih terperinci

Pendahuluan. Bab Latar Belakang

Pendahuluan. Bab Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang sebagai salah satu pusat pertumbuhan di wilayah metropolitan Jabodetabek, yang berada di wilayah barat DKI Jakarta, telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang LAMPIRAN I PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR TAHUN 2013 TANGGAL BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan adalah sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur

Lebih terperinci

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi 2.1. Visi Misi Sanitasi Visi Kabupaten Pohuwato Tabel 2.1: Visi dan Misi Sanitasi Kabupaten/Kota Misi Kabupaten Pohuwato Visi Sanitasi Kabupaten Pohuwato Misi Sanitasi

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG GERAKAN BUANG AIR BESAR SEMBARANGAN NOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya

Lebih terperinci

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN Prioritas dan sasaran merupakan penetapan target atau hasil yang diharapkan dari program dan kegiatan yang direncanakan, terintegrasi, dan konsisten terhadap pencapaian

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, 1 BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa untuk lebih menjamin ketepatan dan

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LUMAJANG NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KABUPATEN LUMAJANG TAHUN 2015-2019 BUPATI LUMAJANG,

Lebih terperinci